Skenario 1 Fix

Unduh sebagai odp, pdf, atau txt
Unduh sebagai odp, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 46

Skenario 1

IPE BEDAH 5

Kasus
Seorang ibu membawa putrinya berusia 8 bulan dengan keluhan diare muntah ke RS UMM pada pukul 22.00. saat masuk RS
oleh petugas administrasi diarahkan masuk ke IGD diterima oleh peraawat dengan Rekam Medis (RM) C4192 dan ditanganni
oleh dokter jaga IGD.
Dokter jaga IGD melakukan assesment awal dengan amnesis pada ibu (alloanamnesis) dan pemeriksaan fisik, setelah
didiagnosis dokter jaga melapor pada dokter DPJP melalui telpon, sedangkan perawat melakukan assesment asuhan
keperawatan dengan ibu pasien
Saat konsultasi dengan DPJP, dokter jaga IGD mendapatkan advis untuk dilakukan tindakan yaitu pasien diberikan O2 nasal
2l/min, infus KN3B 15 tts/min, injeksi ranitidin dan metamizol 3x250 mg, advis DPJP dicatat dilembar RM, resep obat
disampaikan ke ibu pasien dan advis DPJP disampaikan ke perawat. Perawat menindaklanjuti advis DPJP dan keluarga pasien
menukarkan resep obat dibagian farmasi, apoteker menyampaikan ke keluarga pasien agar obat tersebut untuk diberikan ke
perawat IGD.
Dokter jaga IGD juga mengkonsulkan ke dokter gizi, menurut dokter gizi saat menyampaikan ke ibu pasien bahwa untuk
konsumsi per oral tidak bisa oleh karena pasien masih belum sadar sehingga kebutuhan makan cukup hanya melaui infus.
Hasil konsultasi dokrter gizi juga ditulis dicatatan RM. Perawat dan dokter jaga IGD melakukan tindakan dan observasi
pasien, hasil observasi dokter jaga ditulis di RM dan asuhan keperawatan juga dituliskan di RM.
Keesokan harinya dokter DPJP hadir di RS UMM, dokter jaga IGD menyampaikan hasil assesment ke DPJP. Dokter DPJP visit
pasien didampingi dokter jaga dan perawat, setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter DPJP hasilnya dicatat di RM dan
dijelaskan ke ibu pasien. Hasil pemeriksaan menunjukkan kegawatan sudah teratasi maka pasien dapat dipindah ke ruang
inap.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana kolaborasi apoteker di IGD dengan tenaga
kesehatan lainnya?
2. Bagaimana komunikasi apoteker kepada tenaga
kesehatan lainnya dalam penyampaian informasi
terkait obat?
3. Bagaimana peran apoteker dalam pelaksanaan visite
pasien bersama tenaga kesehatan lainnya?

HIPOTESIS berdasarkan PERMENKES


NO. 58 tahun 2014

Peran dan Tanggung jawab Apoteker


Berdasarkan PERMENKES No. 58 tahun 2014 tentang Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian Resep : menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus
dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep.
Persyaratan
a. Administrasi : nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien; nama, nomor ijin,
alamat dan paraf dokter; tanggal Resep; dan ruangan atau unit asal resep.
b. Farmasetik : nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan; dosis dan Jumlah Obat; stabilitas; dan aturan
dan cara penggunaan.
c. Klinis : ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat; duplikasi pengobatan; alergi dan Reaksi
Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); kontraindikasi; dan interaksi Obat.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat :
Mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan
penggunaan Obat pasien.
3. Rekonsiliasi Obat :
Membandingkan instruksi pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien.
Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak
diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan
terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain dan antar ruang perawatan.

4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)


kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini
dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya
serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
5. Visite
mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat
dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi Obat yang Tidak
Dikehendaki (ROTD).
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim.
8. Konseling
Aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau
keluarganya. Bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak
dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan
penggunaan Obat bagi pasien (patient safety).
9. Evaluasi Penggunaan Obat (PTO)
Merupakan program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan
kuantitatif.

PERMENKES No. 58 tahun 2014 tentang


Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

PERMENKES No. 58 tahun 2014 tentang


Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

Secara lebih spesifik, farmasis memiliki


tiga tanggung jawab utama:
1. Memastikan bahwa terapi obat pasien diindikasikan secara tepat,
paling efektif yang tersedia, paling aman, paling nyaman
digunakan, dan paling ekonomis
2. mengidentifikasi, memecahkan, dan mencegah permasalahanpermasalahan terapi obat;
3. Memastikan bahwa tujuan terapi obat pasien terpenuhi dan hasilhasil optimal terkait kesehatan tercapai. Semua tanggung
jawab tersebut berpusat pada menghadapi permasalahanpermasalahan terapi obat pasien.

Standar Kompetensi Apoteker di


Indonesia tahun 2011
Sembilan Kompetensi Apoteker Indonesia

1. Mampu Melakukan Praktik Kefarmasian secara Profesional Dan Etik


2. Mampu Menyelesaikan Masalah Terkait dengan Penggunaan Sediaan Farmasi
3. Mampu Melakukan Dispensing Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
4. Mampu Memformulasi dan Memproduksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sesuai
Standar yang Berlaku.
5. Mempunyai Keterampilan Komunikasi dalam Pemberian Informasi Sediaan Farmasi Dan
Alat Kesehatan
6. Mampu Berkontribusi Dalam Upaya Preventif dan Promotif Kesehatan Masyarakat
7. Mampu Mengelola Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan sesuai Standar yang Berlaku
8. Mempunyai Ketrampilan Organisasi dan Mampu Membangun Hubungan Interpersonal
Dalam Melakukan Praktik Profesionai Kefarmasian
9. Mampu mengikuti Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang Berhubungan
dengan Kefarmasian

KOMPETENSI ke-2 (terkait kasus)

Unit Kompetensi 2.1. Mampu Menyelesaikan Masalah Penggunaan Obat Yang Rasional

KOMPETENSI ke-3 (terkait kasus)


Unit Kompetesi 3.1. Mampu Melakukan Penilaian Resep

Unit Kompetensi 3.2. Melakukan Evaluasi Obat Yang


Diresepkan

Unit Kompetensi 3.3. Melakukan Penyiapan Dan Penyerahan Obat


Yang Diresepkan

Kompetensi ke 5 (terkait kasus)

Unit Kompetensi 5.1. Mampu Melakukan Pelayanan Informasi Sediaan Farmasi

Kompetensi ke 8 (terkait kasus)


Unit Kompetensi 8.2. Mampu Optimalisasi Kontribusi Diri Terhadap Pekerjaan

Unit Kompetensi 8.3. Mampu Bekerja Dalam Tim

Unit Kompetensi 8.4. Mampu Membangun


Kepercayaan Diri

Unit Kompetensi 8.5. Mampu


Menyelesaikan Masalah

Unit Kompetensi 8.6. Mampu


Mengelola Konflik

Komunikasi antar tenaga kesehatan


Komunikasi dalam suatu organisasi kesehatan dapat berupa tulisan dan atau
komunikasi yang bersifat verbal serta non-verbal. Bentuk komunikasi tertulis
antara lain rekam medik, resep serta surat edaran
Rekam medik menjadi sumber informasi siapapun yang ikut merawat pasien
tersebut masa kini atau suatu saat nanti, bahkan pasien pun berhak membaca
rekam medik tersebut,7 karena itu kelengkapan dan kejelasan tulisannya menjadi
sangat penting. Penulisan resep pada dasarnya adalah memberikan instruksi
kepada petugas apotik untuk memberikan obat kepada pasien sesuai dengan
keinginan si penulis, sedangkan surat edaran biasanya dikeluarkan oleh direktur
utama rumah sakit, direktur medik, atau kepala divisi, bergantung isi dan kepada
siapa surat edaran tersebut ditujukan.
Cara komunikasi lainnya antar petugas kesehatan adalah komunikasi verbal dan nonverbal. Cara ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk misalnya komunikasi
interpersonal yang melibatkan dua atau beberapa orang saja, atau dalam bentuk
pertemuan yang bisa melibatkan banyak orang.

Kolaborasi dan kerja sama tenaga


kesehatan
q Dokter-Farmasis-Perawat : melakukan visite pasien
q Dokter-Perawat : Handoff (operan)
q Dokter-Farmasis : penentuan terapi rasional pada pasien
Pekerjaan yang dilakukan dokter dan ahli farmasi sebenarnya bersifat saling melengkapi, dapat
dikatakan bahwa kerja sama tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap keluaran
pasien (Pasient outcame). Wujud kolaborasi antara dokter dan ahli farmasi antara lain misalnya:
o Penelusuran informasi riwayat obat yang lengkap dan akurat
o Penyediaan informasi obat yang lege artis
o Pemanfaatan evidence based prescribing
o Deteksi dini kesalahan peresepan obat; pemantauan obat (meningkatkan keamanan obat)
o Meningkatkan cost-effectiveness dalam peresepan obat
o Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masing-masing pihak demi kepuasan pasien.
o Kolaborasi yang tidak optimal dapat merugikan pasien. Pemberian obat oral yang tidak
disesuaikan dengan sifat farmakokinetik obat yang bersangkutan potensial menurunkan
efektivitas obat dan bahkan dapat meningkatkan resiko interaksi obat

Masalah-masalah kolaborasi antar


tenaga kesehatan
Masalah yang sering timbul adalah tulisan yang sulit dibaca oleh petugas lainnya, bahkan
kadang-kadang penulis sendiri pada kesempatan berikutnya tidak bisa membaca kembali
tulisannya. Kerugiannya dokter lain tidak dapat memahami situasi pasien dengan baik
sehingga tidak dapat melanjutkan perawatan dengan baik
Tidak jarang klarifikasi melalui telepon perlu dilakukan padahal pembicaraan melalui telepon
terkadang tidak mudah dilakukan karena koneksi yang buruk, atau dokter tidak mengaktivkan
pesawat telponnya. Jika tidak dapat berkomunikasi dengan pemberi intruksi sebagian petugas
akan menunda pekerjaan tersebut atau menduga-0duga instruksi apa yang harus dilakukan.
Instruksi yang tidak jelas dan tidak diklarifikasi akan berakibat fatal bagi pasien.
Perawat dan bidan juga tidak dapat membaca instruksi yang seharusnya dilakukan pada
akhirnya pasien akan terlambat mendapatkan penanganan. Instruksi yang baik seharusnya
selain dituliskan juga seharusnya dibicarakan dengan petugas yang akan melakukan instruksi
tersebut
Mengganti obat dengan obat yang serupa tanpa melakukan konfirmasi dengan dokter penulis
resep. Kesalahan ini biasa dilakukan oleh petugas apotek yang buakan apoteker misal AA, atau
petugas apoteker yang tidak memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut

Masalah Kolaborasi farmasi dengan


tenaga kesehatan lain pada kasus
q Dalam kasus ini kolaborasi antara farmasis dengan dokter tidak
terlihat dengan jelas, komunikasi hanya dilakukan melalui resep
Bentuk komunikasi dapat berupa tulisan, verbal, dan nonverbal
Tulisan : rekam medis, resep, surat edaran
q Hubungan kolaborasi antara farmasis dengan perawat juga tidak
terlalu terlihat, pasien mendapatkan resep kemudian pasien
menukarkan resep kebagian farmasi, apoteker menyampaikan
ke keluarga pasien agar obat tersebut untuk diberikan ke
perawat. Tidak ada komunikasi langsung antara apoteker
dengan perawat

ANALISA SOAP

Subject

Pasien umur 8 bulan


Keluhan diare, dan muntah
Pasien tidak sadar
MRS 22.00 (IGD)

TERAPI O2
Susah atau tidak dapat bernafas
gangguan pernapasan parah
Sianosis Central
Tanda-tanda shock, yaitu kaki dan tangan dingin dengan
waktu pengisian kapiler > 3 detik dan lemah dan denyut
Tanda-tanda darurat untuk
menggunakan oksigen dijelaskan
dalam pedoman WHO ETAT
meliputi:

nadi yang cepat


Koma (atau penurunan tingkat kesadaran serius)
Kejang
Tanda-tanda dehidrasi berat pada anak dengan diare dengan
dua dari tanda-tanda berikut: letargi atau tidak sadar, mata
cekung, kulit susah kembali setelah dicubit.

TERAPI O2
REKOMENDASI PADA METODE PENGANTARAN
OKSIGEN

KAEN 3B
Komposisi : NaC 1,75 g, KCl 1,5 g , Na laktat 2,24 g,
Anhydous dekstrose 27 g, Cairan elektrolit (mEq/
L): Na+ 50mEq , K+ 20 mEq, Cl- 50 mEq
(MIMS)
Dosis
: Dewasa atau anak >3 tahun atau BB>15 kg
50-100 ml/jam
Apoteker harus melakukan konfirmasi kembali kepada dokter
penulis resep terkait dengan tujuan penggunaan infus KAEN 3b
dan tidak adanya data pasien yang lengkap untuk menentukan
terapi yang tepat.

Pada kondisi diare dehidrasi berat ditandai dengan tidak sadar, maka yang dilakukan adalah pemberian
cairan intravena segera yaitu Ringer Lactat (RL) atau NaCl 0,9 % (bila RL tidak tersedia) 100ml/kg BB
Bayi < 1th : pemberian pertama 30 ml/kg BB selama 1 jam dilanjutkan 70ml/kg BB
Anak-anak 1th : pemberian pertama 30ml/kg BB selama 30 menit dilanjutkan 70 ml/kg BB selama 2
jam
(penatalaksanaan diare, depkes RI 2011)

INJEKSI RANITIDIN
Obat saluran pencernaan diberikan kepada balita yang terkena
diare adalah ranitidin. Obat tersebut merupakan golongan
antagonis reseptor H2 yang dapat mengatasi tukak lambung,
dan duodenum dengan cara mengurangi sekresi HCl lambung
dengan menghambat reseptor histamin H2 (BPOM RI, 2008).
Menurut Siswidari et al, 2014 pemberian ranitidin merupakan
pilihan terbaik pada pasien diare akut anak yg disertai dengan
gejalkasus
maag,
mual,
muntah
Dalam
tersebut
tidakdan
disebutkan
dosis Ranitidin, seharusnya farmasis kembali
mengonfirmasi dokter penulits resep terkait dosis yang diinginkan oleh dokter sesuai
dengan data pasien
Dosis : 2-4 mg/kg BB dengan dosis terbagi setiap 6-8 jam, maks: 50 mg setiap 6-8 jam. Diberikan melalui
suntikan IV secara perlahan atau infus IV intermiten pada anak-anak usia 1 bulan sampai 16 tahun untuk
pengobatan ulkus duodenum.
Intermitten Direct IV Injection : Diencerkan dosis 50 mg untuk konsentrasi yang tidak lebih besar dari 2,5
mg / mL (yaitu, total 20 mL) dengan 0,9% natrium klorida injeksi atau larutan IV lain yang kompatibel.
Menyuntikkan 20-mL larutan yang sudah diencerkan (mengandung 50 mg / 20 ml) pada kecepatan 4 mL
/ menit (yaitu, selama setidaknya 5 menit) (AHFS, 2011)

Metamizole
DPJP meresepkan Metamizole 3x250 mg
Dalam kasus rute pemberian metamizole masih belum jelas, sehingga
apoteker perlu mengonfirmasi ulang kepada dokter penulis resep terkait
rute yang diinginkan untuk pasien
Injeksi Metamizole pada anak 3-12 bulan hanya boleh diberikan dengan rute IM
Karena kondisi pasien tidak sadar maka farmasis memberikan rekomendasi IM dengan
dosis 15 mg/kgBB
Rute pemberian metamizole melalui rektal dosis 40 mg/ kg BB
Bioavailibilitas pemberian IM lebih besar (87%) dibandingkan dengan pemberian rektal
(54%)
Dosis lazim dewasa : iv, im, sc 0,5-1g (martindale, 28th edition p.251)

Anda mungkin juga menyukai