Kelompok 1 - Laprak KIBP

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 93

LAPORAN PRAKTIKUM

PENETAPAN KADAR BILANGAN ASAM


Mata Kuliah : Kimia Industri dan Bahan Pangan
Dosen Pengampu : 1. Dr. Endang Tri Wahyuni Maharani, M.Pd.
2. Drs. Yusrin, M.Pd.
Asisten Praktikum : M. Gufron, S.Pd

Disusunoleh :

1. Ninda Aulia Mahmudah ( B2C018002 )


2. Bhayu Eka Prasetya (B2C018010)
3. Nurlaela ( B2C018013)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2021
Tujuan

1.1 Mahasiswa dapat mempraktikan penentuan bilangan asam menggunakan metode titrasi
alkalimetri.
1.2 Mahasiswa dapat menghitung kadar bilangan asam pada minyak.
1.3 Mahasiswa dapat mengetahui kadar asam lemak pada minyak.

II. Dasar Teori


Dalam banyak literatur ilmiah dipakai istilah lipid yang berarti lemak, minyak atau
unsur yang menyerupai lemak yang didapat dalam pangan dan digunakan dalam tubuh.
Lemak mengandung lebih banyak karbon dan lebih sedikit oksigen dari pada karbohidrat.
Oleh karena itu lebih banyak mempunyai nilai tenaga (Sudarmadji, 1989).
Minyak merupakan salah satu zat makanan yang penting bagi kebutuhan tubuh
manusia. Selain itu minyak juga merupakan sumber energi dimana satu gram minyak dapat
menghasilkan 9 kkal (Winarno, 2002). Minyak (nabati) mengandung asam lemak tak jenuh
dan beberapa asam lemak esensial seperti asam olet, linolet dan linolenat (Ketaren, 1986).
Minyak berperan penting bagi pengolahan bahan pangan, kerena minyak mempunyai
titik didih yang tinggi (±200oC). Oleh karena itu minyak dapat digunakan untuk menggoreng
makanan sehingga bahan yang digoreng menjadi kehilangan kadar air dan menjadi kering.
Selain itu pula minyak dapa juga memberikan rasa yang gurih dan aroma yang spesifik
(Sudarmaji, 1996).
Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa gurih, dan
penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya yaitu
suhu pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan dapat
menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk
aldehida tidak jenuh atau akrolein tersebut. Makin tinggi titik asap makin baik minyak goreng
itu. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas. Minyak
yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi
hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan terjadinya hidrolisis, pemanasan minyak
sebaiknya dilakukan pada suhu yang tidak terlalu tinggi (suhu penggorengan 1770C - 2210C).
Minyak dan lemak yang dapat dimakan (edible fat), dihasilkan oleh alam yang dapat
bersumber dari bahan nabati atau hewani. Dalam tanaman atau hewan, minyak berfungsi
sebagai sumber cadangan energi (Winarno, 2004)
Kandungan asam lemak bebas dalam minyak yang bermutu baik hanya terdapat
dalam jumlah kecil, sebagian besar asam lemak terikat dalam bentuk ester atau bentuk
trigliserida (Keraten, 1986). Minyak kelapa dapat mengalami perubahan aroma dan cita rasa
selama penyimpanan. Perubahan ini disertai dengan terbentuknya senyawa-senyawa yang
dapat menyebabkan kerusakan minyak (Ketaren, 1986; Buckle, 1987).
Bilangan asam menunjukkan banyaknya asam lema bebas dalam minyak dan
dinyatakan dengan mg basa per 1 gram minyak. Bilangan asam juga merupakan parameter
penting dalam penentuan kualitas minyak. Bilangan ini menunjukkan banyaknya asam lemak
bebas yang ada dalam minyak akibat terjadi reaksi hidrolisis pada minyak terutama pada saat
pengolahan. Asam lemak merupakan struktur kerangka dasar untuk kebanyakan bahan lipid
(Agoes, 2008).
Bilangan asam atau angka asam adalah jumlah miligram KOH (Kalium
Hidroksida) yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram
minyak atau lemak. Bilangan Asam dipergunakan untuk mengukur jumlahasam lemak
bebas yang terdapat dalam lemak dan minyak (Ketaren, 2008)
Bilangan asam adalah ukuran jumlah asam bebas yang dihitung berdasar bobot
molekul asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah
miligram KOH 0,1 N yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat
dalam 1 gram minyak.
Bilangan asam ini menyatakan jumlah asam lemak bebas yang terkandung dalam
minyak, dan biasanya dihubungkan dengan telah terjadinya hidrolisis minyak berkaitan
dengan mutu minyak. Disamping itu, bilangan asam dinyatakan pula dalam ”derajat asam”
atau ”kadar asam”, yakni banyaknya mililiter larutan KOH 0,1 N yang diperlukan untuk
mene-tralkan asam lemak yang terkandung dalam 100 gram minyak.
III. Alat dan Bahan
3.1 Alat

No. Gambar Nama

1. Beaker Glass

2. Corong

3. Statif dan Buret

4. Erlenmeyer
5. Pipet Tetes

Neraca Analitik

6.

Kaca Arloji

7.

BatangPengaduk

8.
Pipet volume 10,0 ml

9.

3.2 Bahan

No. Gambar Nama

1. Asam Oksalat

2. NaOH
3. Indikator PP

4. MinyakGoreng

5. Dietileter

6. Etanol 95%
7. Akuades

IV. Prosedur
4.1 Standarisasi larutan NaOH

Pipet 10,0 ml larutan asam oksalat 0,100 N ke dalam


erlenmeyer

+ 2 tetes indikator PP 1%

Dititrasi larutan NaOH 0,1 N sampai berubah warna menjadi


merah muda

ulangi percobaan titrasi sebanyak 2 kali

4.2 Penetralan dietileter dan etanol 95%

Ambil 25 ml etanol 95%


Ambil 25 ml dietil eter masukan
masukan kedalam gelas beker
kedalam gelas beker
yang telah berisi dietil eter

Tambahkan tetes demi tetes


NaOH sambil diaduk sampai Tambahkan indikator PP
warna berubah menjadi merah sebanyak 3 tetes
muda
4.3 Titrasi

Timbang minyak Tambahkan


jelantah sebanyak 5 sebanyak 25 ml Tambahkan
ml masukan larutan dietil eter indikator PP
kedalam dan etanol yang sebanyak 1 ml
erlenmeyer sudah di netralkan

warna merah muda Titrasi dengan


konstan NaOH

V. Analisis Data
5.1 Standarisasi larutan NaOH
Volume Titrasi 1 Titrasi 2
Larutan asam oksalat 10,0 ml 10,0 ml

Larutan NaOH 9,80 ml 9,90 ml

5.2 Kadar bilanganAsam


No Sampel Hasil Titrasi Berat Sampel Bilangan Peroksida
(Gram) (mgKOH/g)

1 Sampel A 0,50 mL 5,4007 0,527

2 Sampel B 0,70 mL 5,42 0,735

Rata Rata 0,631

VI. Perhitungan
6.1 Standarisasi NaOH
Diketahui: Titrasi 1 = 9,80 ml
Titrasi 2 = 9,90 ml
N1 = 0,10 N
V1 = 10,00 ml
Ditanya: N NaOH?
Penyelesaian:
a. Titrasi 9,80 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 10,00= N2 X 9,80
N2 = 0,1020 N
b. Titrasi 9,90 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 10,00= N2 X 9,90
N2 = 0,1010 N
0,1020 +0,1010
̅=
𝒙
2
= 0,1015 N

6.2 Kadar bilanganAsam


Diketahui: Volume titrasi 1 = 0,50 ml
Volume titrasi 2 = 0,70 ml
N NaOH = 0,1015 N
B1 = 5,4007 gram
B2 = 5,42 gram
Ditanya: Kadar bilangan asam?
Penyelesaian:
 Sampel A
𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻
𝑉𝑥 𝑥 5,61
0,1
Kadar bilangan asam = 𝐵
0,1015
0,50 𝑥 𝑥 5,61
0,1
= 5,4007

= 0,527 mgKOH/g
 Sampel B
𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻
𝑉𝑥 𝑥 5,61
0,1
Kadar bilangan asam = 𝐵

0,1015
0,70 𝑥 𝑥 5,61
0,1
= 5,42

= 0,735 mgKOH/g

VII. Pembahasan
Praktikum kali ini akan membahas mengenai penentuan bilangan asam pada sampel
minyak murni. Metode yang digunakan dalam penentuan ini adalah metode Alkalimetri.
Prinsip penentuan bilangan asam adalah penentuan jumlah asam bebas yang dihitung berdasar
bobot molekul asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam dinyatakan sebagai
jumlah miligram KOH 0,1 N yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang
terdapat dalam 1 gram minyak.
Dalam pelaksanaannya, sampel minyak murni ditambahkan campuran etanol dan dietil
eter yang sudah dinetralkan dengan NaOH, penetralan ini dilakukan karena campuran tersebut
belum tentu dalam keadaan netral, maka dari itu harus dinetralkan dengan NaOH dengan
indikator PP yang nantinya dapat dikatakan netral ketika sudah berubah menjadi merah muda.
Penambahan campuran itu adalah sebagai pelarut asam lemak yang terkandung dalam minyak
murni, sehingga asam lemak dapat terlarut sempurna dan akan mudah bereaksi dengan
senyawa NaOH sebagai titran dengan indikator PP. TAT terjadi ketika larutan sampel menjadi
berwarna merah muda dan tidak berubah setelah ditunggu 30 detik.

Praktikum penentuan bilangan asam ini menggunakan dua sampel minyak murni.
Sampel 1 menggunakan minyak murni sebesar 5,4007 gram dan sampel 2 sebesar 5,42 gram.
Sampel dititrasi menggunakan NaOH 0,1015 N yang sudah terstandarisasi menggunakan
Asam Oksalat 0,10 N dengan Indikator PP sesuai kaidah titrasi Alkalimetri. Indikator yang
digunakan dalam praktikum ini adalah PP. Indikator tersebut akan bereaksi ketika pH sudah
menjadi basa dan membentuk larutan berwarna merah muda. TAT pada praktikum ini tercapai
ketika terbentuk warna merah muda pada sampel.
Dari praktikum ini dihasilkan bilangan peroksida pada sampel 1 sebesar 0,527
mgKOH/gram dan Sampel 2 sebesar 0,735 mgKOH/gram. Hasil rata rata yang didapatkan
sebesar 0,631 mgKOH/gram.

Menurut tabel tersebut menunjukan bahwa minyak murni yang dijadikan sampel sudah
melebihi dari batas maksimal kandungan bilangan asam pada minyak goreng berdasarkan
standar mutu minyak goreng. (Badan Standardisasi Nasional, 2013)

VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat di ambil kesimpulan bahwa:
1. Sampel minyak jelantah mengandung 0,631 mgKOH/gram atau dalam 1 gram minyak
murni mengandung 0,631 mg KOH.
2. Kandungan bilangan asam sampel sudah mencapai batas maksimal standar mutu yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu 0,6 mgKOH/gram.
DaftarPustaka

Agoes, G. 2008. Pengembangan Kesediaan Farmasi Edisi Devisi dan Perluasan. Bandung: ITB

Badan Standardisasi Nasional. (2013). Minyak Goreng. Sni 3741 : 2013, 1–23.
https://www.academia.edu/4506592/21744_SNI_3741_2013_minyak_goreng_web
Buckle, K. A. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Katare, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan Cetakan Pertama. Jakatra: IU
Press
Sudarmadji, S. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty
Sudarmadji, S., dkk. 1996. Prosedut Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta:
Liberty
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lampiran

Gambar Keterangan
Titrasi Standarisasi NaOH

Titrasi kadar bilangan asam


LAPORAN PRAKTIKUM
PENETAPAN KADAR BILANGAN PEROKSIDA
Mata Kuliah : Kimia Industri dan Bahan Pangan
Dosen Pengampu : 1. Dr. Endang Tri Wahyuni Maharani, M.Pd.
2. Drs. Yusrin, M.Pd.
Asisten Praktikum : M. Gufron S.Pd

Disusun oleh :

1. Ninda Aulia Mahmudah ( B2C018002 )


2. Bhayu Eka Prasetya (B2C018010)
3. Nurlaela ( B2C018013)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2021
I. Tujuan Praktikum
1.1 Mengetahui kadar peroksida pada minyak bekas penggorengan (jelantah).

II. Dasar Teori


A. Minyak
Minyak adalah istilah umum untuk semua cairan organic yang tidak larut/ atau
bercampur dalam air (hidrofobik) tetapi larut dalam pelarut organik. Ada sifat tambahan
lain yaitu terasa licin apabila dipegang. Dalam arti sempit kata minyak biasanya mengacu
ke minyak bumi (petroleum) atau produk olahannya : minyak tanah (kerosena). Namun
demikian, kata ini sebenarnya berlaku luas, baik untuk minyak sebagai bagian dari menu
makanan (misalnya minyak goreng), sebagai bahan bakar (misalnya minyak tanah),
sebagai pelumas (misalnya minyak rem), sebagai medium pemindahan energy maupun
sebagai wangi-wangian (misalnya minyak nilam).
Minyak adalah salah satu kelompok yang termasuk pada golongan lipid, yaitu
senyawa organik yang terdapat di alam serta tidak larut dalam air., tetapi larut dalam
pelarut organic non polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), kloroform (CHCl3), benzene
dan hidrokarbon lainnya yang polaritasnya sama.
Minyak merupakan senyawa trigliserida atau triasgliserol yang berarti “trimester
dari gliserol”. Jadi minyak juga merupakan senyawa aster. Hasil hidrolisa minyak adalah
asam karboksilat dan gliserol. Asam karboksilat ini juga disebut asam lemak yang
mempunyai rantai hidrokarbon yang panjang dan tidak bercabang.

B. Bilangan Peroksida
Bilangan proksida adalah indeks jumlah lemak atau minyak yang telah
mengalami oksidasi. Angka peroksida sangat penting untuk identifikasi tingkat oksidasi
minyak. Minyak yang mengandung asam-asam lemak tidak jenuh dapat teroksidasi oleh
oksigen yang menghasilkan suatu senyawa peroksida. Cara yang sering digunakan untuk
menentukan angka perosida adalah dengan metoda titrasi iodometri. Penentuan besarnya
angka peroksida dilakukan denga titrasi iodometri.
Salah satu parameter penurunan mutu minyak goreng adalah bilangan peroksida.
Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan
hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Bilangan
peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi,
namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi
yang masih dini.
Angka peroksida rendah bias disebabkan laju pembentukkan peroksida rendah
bias disebabkan laju pembentukkan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju
degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami
degradasi dan bereaksi dengan zat lain. Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi secara
spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan kecepatan
proses oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan.
Minyak curah terdistribusi tanpa kemasan, paparan oksigen dan cahaya pada
minyak curah lebih besar disbanding dengan minyak kemasan. Paparan oksigen, cahaya,
dan suhu tinggi merupakan beberapa factor yang mempengaruhi oksidasi. Penggunaan
suhu tinggi selama penggorengan memacu terjadinya oksidasi minyak. Kecepatan
oksidasi lemak akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah.
Peroksida terbentuk pada tahap inisiasi oksidasi, pada tahap ini hidrogen diambil
dari senyawa oleofin menghasilkan radikal bebas. Keberadaan cahaya dan logam
berperan dalam proses pengambilan hidrogen tersebut. Radikal bebas yang terbentuk
bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi, selanjutnya dapat mengambil
hidrogen dari molekul tak jenuh lain menghasilkan peroksida dan radikal bebas yang
baru.
Peroksida dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak
dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida lebih dari 100 meq peroksid/kg
minyak akan bersifat sangat beracun dan mempunyai bau yang tidak enak. Kenaikan
bilangan peroksida merupakan indicator bahwa minyak akan berbau tengik.
III. Alat dan Bahan
3.1 Alat

No. Gambar Nama

1. Beaker Glass

2. Corong

3. Statif dan Buret

4. Stop Erlenmeyer
5. Pipet Tetes

Neraca Analitik

6.

Kaca Arloji

7.

Batang Pengaduk

8.
Pipet volume 10,0 ml

9.

3.2 Bahan
No Gambar Nama

1. Na2S2O3

2. CHCl3

3. CH3COOH
KI
4.

5. KIO3

6. Minyak Jelantah

7. Amylum
IV. Langkah Kerja
4.1 StandarisasiNa2S2O3

Tambahkan 5mL KI 5 % dan 5 mL


Dipipet 10,0 mL larutan standar KIO3 H2SO4 2N titrasi dengan Na2S2O3 0.01
dan masukkan dalam stop erlenmeyer. N sampai terjadi warna kuning muda
(kocok pelan-pelan,titran cepat)

Titrasi dilanjutkan dengan Na2S2O3 0.01


Tambahkan dengan indikator amylum 1
N sampai warna biru tepat hilang (kocok
% =biru (1 mL )
kuat,titran tetes demi tetes)

4.2 Pembutan KI

ambil 1 sendok KI ke dalam gelas beker

tambah akuades sampai terdapat endapan

jika tidak terdapat endapan, tambahkan KI


terus menerus sampai endapan tidak hilang
4.3 Titrasi

Timbang 5 gram Tambah 0,5 mL KI


+ 30 mL campuran
minyak jelantah, jenuh dan biarkan
CHCL3 dan asam
masukkan ke dalam ditempat gelap selama
asetat
stop erlenmeyer 30 menit

Titrasi dengan Na2S2O3 0,01 N


Tambah 30 mL
menggunakan amylum sebagai
aquadest, kocok hinga
indikator, sampai warna biru tepat
homogen
hilang.

V. Data Pengamatan
5.1 Standarisasi Na2S2O3
Volume Titrasi 1 Titrasi 2
Larutan KIO3 10,0 ml 10,0 ml

Larutan Na2S2O3 19,50 ml 20,00 ml

No Sampel Hasil Titrasi Berat Sampel Bilangan Peroksida


(Gram) (mgO/100g)

1 Sampel A 3,7 mL 5,14 0,584

2 Sampel B 3,4 mL 4,808 0,574

Rata Rata 0,579

VI. Perhitungan
6.1 Standarisasi Na2S2O3
Diketahui: Titrasi 1 = 19,50 ml
Titrasi 2 = 20,00 ml
N1 = 0,10 N
V1 = 2 ml
Ditanya: N Na2S2O3?
Penyelesaian:
a. Titrasi 19,50 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 2= N2 X 19,50
N2 = 0,0103 N
b. Titrasi 20,00 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 2= N2 X 20,00
N2 = 0,0100 N
0,0103 +0,0100
̅=
𝒙
2
= 0,01015 N

6.2 Kadar bilangan peroksida


Diketahui: Volumetitrasi 1 = 3,70 ml
Volume titrasi 2 = 3,40 ml
N NaOH = 0,1015 N
B1 = 5,14gram
B2 = 4,808 gram
Ditanya: Kadar bilangan asam?
Penyelesaian:
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
𝑉𝑥 𝑥 0,008 𝑥 100
 Sampel A= 0,01
𝐵
0,o1015
3,70 𝑥 𝑥 0,008 𝑥 100
0,01
= 5,14

= 0,584 mg O2 / 100gram

𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
𝑉𝑥 𝑥 0,008 𝑥 100
 Sampel B = 0,01
𝐵
0,01015
3,40 𝑥 𝑥 0,008 𝑥 100
0,01
= 4,808

= 0,574 mg O2 / 100gram

VII. Pembahasan
Praktikum kali ini akan membahas mengenai penentuan bilangan peroksida pada
sampel minyak jelantah. Metode yang digunakan dalam penentuan ini adalah metode
iodometri. Prinsip penentuan bilangan peroksida adalah menentukan banyaknya/jumlah
volume natrium thiosulfate yang tepat bereaksi dengan gas Iodium yang terlepas akibat
reaksi antara senyawa peroksida dengan KI jenuh dalam suasana asam, yang mana
jumlah iodium yang terlepas equivalen dengan jumlah senyawa peroksida yang terdapat
pada minyak jelantah.
Dalam pelaksanaannya, sampel minyak jelantah ditambahkan campuran asam
asetat dan Kloroform dengan perbandingan 3:2. Penambahan campuran itu adalah
sebagai pembuat suasana asam dan juga sebagai pelarut asam lemak yang terkandung
dalam minyak jelantah, sehingga KI jenuh akan mudah bereaksi dengan senyawa
peroksida yang terdapat pada sampel minyak jelantah. Setelah penambahan KI jenuh
harus didiamkan selama 30 menit dalam tempat gelap dengan tujuan agar lebih banyak
gas iod yang dilepaskan sampel dan juga tidak terpengaruh oleh cahaya matahari. Setelah
didiamkan tambahkan aquadest pada sampel, penambahan ini ditujukan agar KI jenuh
yang ditambahkan dapat terlarut sempurna, sehingga hasil dari penentuan bilangan
peroksidanya menjadi lebih tepat.
Praktikum penentuan bilangan peroksida ini menggunakan dua sampel minyak
jelantah. Sampel 1 menggunakan minyak jelantah sebesar 5,14 gram dan sampel 2
sebesar 4,808 gram. Sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,01015 N yang sudah
terstandarisasi. Indikator yang digunakan dalam praktikum ini adalah amylum 1%.
Indikator tersebut akan bereaksi dengan gas I2 dan membentuk larutan berwarna biru.
TAT pada praktikum ini tercapai ketika warna biru tepat hilang. Teknik titrasi yang
digunakan juga sedikit berbeda yaitu pada awal dititrasi dilakukan dengan dikucurkan
secara deras dengan penggojokkan yang pelan hingga warna sampel berubah menjadi
kuning muda. Hal ini dilakukan agar gas I2 tidak banyak terbuang ke udara. Setelah
warna berubah kuning muda langsung ditambahkan amylum 1% hingga berubah warna
menjadi biru, kemudian lanjutkan titrasi dengan tetes demi tetes dengan penggojokkan
cepat. Hal ini bertujuan agar ikatan yang kuat antara I2 dan Amylum dapat terpisah dan
segera tercapai TAT.
Dari praktikum ini dihasilkan bilangan peroksida pada sampel 1 sebesar 0,584 mg
O2 / 100 gram dan Sampel 2 sebesar 0,574 mg O2 /100 gram. Hasil rata rata yang
didapatkan sebesar 0,579 mgO2/100 gram atau sama dengan 5,790 mgO/KG.

Menurut tabel tersebut menunjukan bahwa minyak jelantah yang dijadikan


sampel sudah mencapai setengah dari maksimal kandungan bilangan peroksida pada
minyak goreng berdasarkan standar mutu minyak goreng. (Badan Standardisasi Nasional,
2013)

VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat di ambil kesimpulan bahwa:
1. Sampel minyak jelantah mengandung 0,579 mgO2/100 gram atau dalam 100 gram
minyak jelantah mengandung 0,579 mgO.
2. Kandungan bilangan peroksida sampel sudah mencapai setengah dari batas
standar mutu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Daftar Pustaka

ASA. 2000. Feed Quality Management Workshop. Penentuan Bilangan Peroksida. Cawi.

Boskou, D., Salta, FN, Chiou, A., Troullidou, E., and Adrikopoulos, NK. 2006. Conten of trans,
trans-2,4 decadienal in deep-friend and pan-friend. Journal Lipid Science Technology
108: 109-15.

Chatzilazarou, A., Gartzi O., Lalas, S., Zoidis, E., and Tsaknis, J. 2006. Physicochemical
Changes Of Olive Oil and Selected Vegetabel Oil During Frying. Journal Food Lipid 13:
27-35.

Galeone, C., Talamini R., Levi F., Pelucchi C., Negri E., Glacosa A., Montnella M., Fransceschi
S., and Vecchic. 2006. Fried Foods Olive Oil and Colorectal Cancer. Eur Soc Med Onc
13: 689-92.

Badan Standardisasi Nasional. (2013). Minyak Goreng. Sni 3741 : 2013, 1–23.
https://www.academia.edu/4506592/21744_SNI_3741_2013_minyak_goreng_web
Lampiran

Gambar Keterangan
Sebelum standarisasi
Na2S2O3

Standarisasi Na2S2O3

Titrasi kadar peroksida pada


minyak jelantah
LAPORAN PRAKTIKUM
PENETAPAN KADAR KIO3DALAM GARAM BERYODIUM
Mata Kuliah : Kimia Industri dan Bahan Pangan
Dosen Pengampu : 1. Dr. Endang Tri Wahyuni Maharani, M.Pd.
2. Drs. Yusrin, M.Pd.
Asisten Praktikum : M. Gufron S.Pd

Disusunoleh :

1. Ninda Aulia Mahmudah ( B2C018002 )


2. Bhayu Eka Prasetya (B2C018010)
3. Nurlaela ( B2C018013)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2021
I. Tujuan Praktikum
1.1 Mahasiswa dapat mempraktikan penetapan kadar KIO3 dalam garam beryodium
menggunakan metode titrasi iodometri
1.2 Mahasiswa dapat menghitung kadar KIO3 dalam garam beryodium.
II. Dasar Teori
Garam adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang dalam kehidupan sehari-hari
banyak digunakan sebagai bahan tambahan bumbu pada makanan, sebagai pengawet makanan
seperti ikan asin, asinan buah-buahan, dan dasar pembuatan senyawa kimia (NaOH, Na3SO4,
NaHCO3, Na2CO3). Setiap manusia pada umumnya mengkonsumsi garam dengan jumlahnya
berbeda-beda tergantung kebiasaan masing-masing individu. Oleh karena itu, penambahan
iodium pada produk garam merupakan cara yang sangat efektif dalam menutupi kekurangan
tubuh manusia akan kebutuhan iodium. Untuk menunjang program pemerintah dibidang
kesehatan masyarakat, setiap produsen garam diwajibkan menambahkan iodium pada produk
garamnya (Diah, 2017).
Garam beriodium merupakan istilah yang biasa digunakan untuk garam yang telah
difortifikasi (ditambah) dengan iodium. Di Indonesia iodium ditambahkan dalam garam
sebagai zat aditif atau suplemen dalam bentuk kalium iodat (KIO3). Penggunaan garam
beriodium dianjurkan oleh WHO untuk digunakan di seluruh dunia dalam menanggulangi
GAKI. Cara ini dinilai lebih alami, lebih murah, lebih praktis dan diharapkan dapat lestari di
kalangan masyarakat(Wiwit, 2016)
Berdasarkan SNI No. 01-3556 tahun 2000 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 77/1995 tentang proses pembuatan dan pelabelan garam beriodium, iodium
yang ditambahkan dalam garam adalah sebanyak 30-80 mg KIO3/ Kg garam (30-80 ppm).
Hasil Survei Nasional Garam Beriodium yang dilakukan setiap tahun oleh Badan
Pusat Statistik terintegrasi dengan SUSENAS menunjukkan bahwa secara nasional persentase
rumah tangga yang mengkonsumsi garam beriodium dengan kandungan cukup sejak tahun
1997-2002 hanya berkisar antara 62-68 %.
Menurut Muhammad Akhiruddin (2011), jika dilihat dari sisi produksi dan distribusi,
hasil survei tersebut menunjukkan bahwa garam yang beredar di masyarakat masih banyak
yang tidak/kurang memenuhi syarat kandungan iodium. Hal ini diduga disebabkan karena:
1. Banyak produsen garam yang menggunakan iodium kurang dari jumlah yang
dipersyaratkan (30-80 ppm iodium sebagai KIO3).
2. Kandungan iodium hilang/berkurang selama masa penyimpanan atau transportasi.
Iodium adalah suatu unsur bukan logam yang termasuk golongan halogenida.Di alam
iodium terdapat sebagai iodium air laut, kalium iodat (KIO3) dan tiroksinyaitu hormon yang
dikeluarkan oleh therinoida.Iodium merupakan bagian dari kelenjar tiroid, yakni tirosin dan
tri-iodotirosin.Biasanya tubuh manusia mengandung 20-30 mg iodium. Kira-kira 60 %
beradadalam kelenjar tiroid (kelenjar gondok) dan selebihnya tersebar didalam jaringan-
jaringan tubuh manusia terutama pada ovarium, otot, dan darah (Anna, 1994).
Sifat-sifat iodium menurut Lenni (2007):
a. Sifat Fisika
1) Pada temperatur biasa berupa zat padat yang mengkristal berbentuk keping-keping
atau plat-plat rombis, berkilat seperti logam berwarna hitam kelabu serta bau khas
yang menusuk.
2) Iodium mudah menyublim (uap iodium berwarna merah, sedangkan uap murni
berwarna biru tua).
3) Iodium mempunyai berat atom 126, 93
4) Iodium mendidih pada suhu 1830 C dengan titik lebur 1440 C.
b. Sifat kimia
1) Molekul iodium terdiri dari atom (I2) tetapi jika dipanaskan di atas 500oC akan
terurai menjadi 2 atom I, menurut reaksi:
I2(s)2I-(aq)
2) Iodium kurang reaktif terhadap hidrogen bila dibanding unsur halogen lainnya,
tetapi sangat reaktif terhadap oksigen. Dengan logam-logam dan beberapa metaloid
langsung dapat bersenyawa. Dengan fosfor, misalnya dapat membentuk tri ioda:
2P(s)+ 3I2(g)2PI3 (i)
3) Apabila gas dialirkan ke dalam larutan iodida maka terjadilah iodium. Reaksinya
serupa dengan reaksi seng dengan asam klorida, hanya ionnya bermuatan negatif.
2KI (aq)+ Cl2 (g)2KCl (aq)+ 2I-(aq)
2I-(aq)+ Cl2(aq)2Cl-(aq)+ I2(aq)
Dalam penentuan kadar kalium iodat (KIO3) dalam garam dapur terdapatbeberapa
metode yang bisa digunakan diantaranya adalah: titrasi agentometri,titrasi iodometri dan
iodimetri, Spektrofotomtetri UV-VIS, dan metodekromatografi cair kinerja tinggi pasangan
ion (KCKT). Akan tetapi dalampenelitian ini metode yang digunakan adalah dengan
menggunakan metode iodometri. Metode ini selain mudah dikerjakan juga tidak
membutuhkan biayayang besar, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menentukan
kadar kaliumiodat (KIO3) dalam garam dapur, zat yang digunakan mudah diperoleh dan
jugaproses kerja yang sangat simpel (BPOM RI, 2016).
Titrasi iodometri adalah suatu proses tidak langsung yang melibatkan iod, ioniodida
berlebih ditambahkan kedalam suatu reagen pengoksidasi, yangmembebaskan iod dan
kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 (natrium tiosulfat).Titrasi iodometri merupakan titrasi
redoks. Banyaknya volume natrium tiosulfatyang digunakan sebagai titran setara dengan
iodium yang dihasilkan sebagai titratdan setara dengan banyaknya sampel (Ibnu Ghalib
Gandjar, 2008)
Larutan natrium tiosulfat merupakan larutan standar yang digunakan dalamkebanyakan
proses iodometri. Larutan ini biasanya dibuat dari garampentahidratnya (Na2S2O3.5H2O).
Garam ini mempunyai berat ekivalen yang samadengan berat molekulnya (248,17) maka dari
segi ketelitian penimbangan, hal inimenguntungkan. Larutan ini perlu distandarisasi karena
bersifat tidak stabil padakeadaan biasa (pada saat penimbangan). Kestabilan larutan mudah
dipengaruhi oleh pH rendah, sinar matahari dan adanya bakteri yang memanfaatkan Sulfur
(Muhammad Akhiruddin, 2011).
Kestabilan larutan Na2S2O3 dalam penyimpanan ternyata paling baik bila mempunyai
pH antara 9-10. Cahaya dapat menyebabkan larutan ini teroksidasi, oleh karena itu larutan ini
harus disimpan di botol yang berwarna gelap dan tertutup rapat agar cahaya tidak dapat
menembus botol dan kestabilan larutan tidak terganggu karena adanya oksigen di udara
(Muhammad Akhiruddin, 2011).
Bakteri dapat menyebabkan perubahan S2O3-2 menjadi SO3-2, SO4-2 dan sulfur. Sulfur
ini tampak sebagai endapan kolodial yang membuat larutan menjadi keruh. Ini pertanda
larutan harus diganti. Untuk mencegah aktivitas bakteri, pada pembuatan larutan hendaknya
dipakai air yang sudah dididihkan, selain itu dapat ditambahkan pengawet seperti natrium
karbonat, natrium benzoat dan Hgl2.
Adapun syarat-syarat standar primer yang digunakan untuk menstandarisasi suatu
larutan adalah bahannya sangat murni, mudah diperolah dan dikeringkan, mudah diperiksa
kemurniannya (diketahui macam dan jumlah pengotornya), stabil dalam keadaan biasa
(selama penimbangan), berat molekulnya tinggi untuk mengurangi kesalahan titrasi dan
bereaksi menurut syarat-syarat reaksi titrasi yakni reaksinya cepat dan berlangsung sempurna,
ada petunjuk titik akhir serta reaksi diketahui dengan pasti.
Dalam titrasi iodometri, berat ekivalen suatu zat dihitung dari banyaknya zat (mol) yang
menghasilkan atau membutuhkan atom iod KIO3 menghasilkan 6 atom iod permolekulnya,
sedangkan Na2S2O3 membutuhkan 1 atom iod permolekulnya.
IO3 + 5I + 6H 3I2 + H2O
2Na2S2O3 + I2 2NaI + Na2S2O6
Pada proses titrasi untuk penentuan titik akhir umumnya digunakan suatu indikator.
Indikator yang digunakan pada titrasi iodometri untuk penentuan kadarKIO3 adalah
indikator amilum. Pemberian indikator amilum ini bertujuan untuk memperjelas titik akhir
dari titrasi.
Pemakaian indikator amilum dapat memberikan warna biru gelap dari komplek iodin-
amilum sehingga indikator ini bertindak sebagai suatu tes yang amat sensitif untuk iodin.
Penambahan indikator amilum harus menunggu hingga titrasi mendeteksi sempurna, hal ini
disebabkan bila pemberian indikator terlalu awal maka ikatan antara ion dan amilum sangat
kuat, amilum akan membungkus iod sehingga iod sukar lepas, akibatnya warna biru sukar
hilang dan titik akhir titrasi tidak kelihatan tajam lagi. Titik akhir titrasi dinyatakan dengan
hilangnya warna biru dari larutan yang dititrasi.
Iodin sebenarnya dapat bertindak sebagai indikator bagi dirinya sendiri. Iodin juga dapat
memberikan warna ungu atau violet untuk zat-zat pelarut seperti CCl4dan kloroform
sehingga kondisi ini dapat dipergunakan dalam mendeteksi titik akhir dari titrasi.
Jika larutan iodium didalam KI pada suasana netral ataupun basa dititrasi maka
reaksinya adalah sebagai berikut:
I3- + 2S2O32-  3I- + S4O62-
Selama reaksi zat antara S2O32- yang tidak berwarna adalah berbentuk sebagai berikut:
S2O32- + I3- S2O3I- + 2I-
Yang mana berjalan terus menjadi reaksi dibawah ini:
S2O3I- + I- S4O62- + I3-
Warna indikator muncul kembali pada reaksi:
S2O3I- + S2O32- I- + S4O62-
Reaksi akan berlangsung baik jika pH dibawah 5 (Raharjadi, 2000)

III. Alat dan Bahan


3.1 Alat

No. Gambar Nama

1. Beaker Glass

2. Corong

3. Statif dan Buret


4. Stop erlenmeyer

5. Pipet Tetes

6. Neraca Analitik

7. Kaca Arloji
8. Batang Pengaduk

9. Labuukur

10. Gelasukur

11 Pipet volume 10,0 ml


3.2 Bahan
No Gambar Nama

1. natrium tiosulfat 0,1 N

2. natrium tiosulfat 0,005 N

3. Amilum

4. KIO3
5. KI

6. H2SO3

7. Asam pospat pekat

8. Garam

9. Akuades
IV. Langkah Kerja
4.1 Standarisasi Na2S2O3

Dipipet 10,0 mL larutan Tambahkan 5mL KI 5 % dan 5 mL H2SO4


standar KIO3 dan 2N titrasi dengan Na2S2O3 0,1 N sampai
masukkan dalam stop terjadi warna kuning muda (kocok pelan-
erlenmeyer. pelan,titran cepat)

Titrasi dilanjutkan dengan


Tambahkan dengan
Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru
indikator amylum 1 %
tepat hilang (kocok kuat,titran
=biru (1 mL )
tetes demi tetes)

Catat volume Na2S2O3


yang dibutuhkan

4.2 Prosedur kerja

Timbang saksama Masukkan ke dalam Larutkan dalam 125


lebih kurang 25 gram stop erlenmeyer 250 ml akuades, dikocok
sampel ml. hingga larut

Segera titrasi dengan Tambahkan 2 ml asam


Menggunakan kanji
larutan baku natrium fosfat P dan 0,5 g kalium
LP sebagai indikator
tiosulfat 0,005 N iodida P

TAT berwarna biru


tepat hilang
V. Data Pengamatan
5.1 Standarisasi Na2S2O3

Volume Titrasi 1 Titrasi 2

Larutan KIO3 10,00 ml 10,00 ml

Larutan Na2S2O3 11,10 ml 10,90 ml

5.2 Penetapan kadar KIO3 dalam garam beryodium


Berat sampel garam Volume titrasi Na2S2O3
Sampel
(gram) (ml)

Sampel A 25,009 gram 7,00 ml

Sampel B 25,343 gram 7,50 ml

VI. Perhitungan
6.1 Standarisasi Na2S2O3
Diketahui: Titrasi 1 = 11,10 ml
Titrasi 2 = 10,90 ml
N1 = 0,005N
V1 = 10,00 ml
Ditanya: N Na2S2O3?
Penyelesaian:
a. Titrasi 11,10 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,005 X 10,00= N2 X 11,10
N2 = 0,0045 N
b. Titrasi 10,90 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,005 X 10,00= N2 X 10,90
N2 = 0,0046 N
0,0045 +0,0046
̅=
𝒙
2
= 0,00455 N

6.2 Kadar KIO3


Diketahui: Volume titrasi 1 = 7,00 ml
Volume titrasi 2 = 7,50 ml
B1 = 25,009 gram
B2 = 25,343 gram
NNa2S2O3 = 0,00455 N
Ditanya: Kadar KIO3?
Penyelesaian:
 Sampel A

𝑉 𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
Kadar KIO3= × 0,1784 × × 1000
𝐵 0,005
7,00 0,00455
= × 0,1784 × × 1000
25,009 0,005

= 45,438 ppm

 Sampel B
𝑉 𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
Kadar KIO3= × 0,1784 × × 1000
𝐵 0,005
7,50 0,00455
= × 0,1784 × × 1000
25,343 0,005

= 48,044ppm
45,438 + 48,044
Jadi, kadar KIO3 =
2
= 46,741 ppm

VII. Pembahasan
Praktikum dilaksanakan pada hari Selasa, 6 April 2021 di Laboratorium Kimia Analisis
dengan judul praktikum Penetapan Kadar KIO3 dalam Garam Beryodium menggunakan
Metode Titrasi Iodometri. Tujuan dari praktikum ini adalah memahami proses penetapan
kadar KIO3 dalam garam beryodium menggunakan metode titrasi iodometri, menghitung
kadar KIO3 dalam garam beryodium.Titrasi iodometri adalah suatu proses tidak langsung
yang melibatkan iod, ioniodida berlebih ditambahkan kedalam suatu reagen pengoksidasi,
yang membebaskan iod dan kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 (natrium tiosulfat). Titrasi
iodometri merupakan titrasi redoks. Banyaknya volume natrium tiosulfatyang digunakan
sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan sebagai titratdan setara dengan
banyaknya sampel (Ibnu Ghalib Gandjar, 2008).

Percobaan penetapan kadar KIO3 dalam garam beryodium pada praktikum kali ini
yaitu menggunakan sampel garam merk refina. Percobaan ini dilakukan dengan metode titrasi
iodometri, dimana iodometri itu sendiri yaitu iodat yang berada dalam garam direaksikan
dengan KI dalam suasana asam sehingga akan dihasilkan I2. I2 yang terbentuk dititrasi
dengan Na2S2O3 menggunakan indikator amylum. Sehingga rumus persamaannya sebagai
berikut:
IO32-+ 6 H++ 5 I-  3 I2+ 3 H2O
I2+ 2 S2O3  2 I-+ S4O62-
Praktikum diawali dengan melakukan standarisasi Na2S2O3. Dipipet 10,0 mL larutan
standar KIO3 dan masukkan dalam stop erlenmeyer. Menggunakan larutan KIO3 sebagai
larutan standar atau larutan baku primer karena sudah diketahui konsentrasinya dan sifat-
sifatnya sesuai dengan syarat larutan baku primer yaitu tidak higrokopis (stabil terhadap
udara) dan kemurniannya yang baik. Tambahkan 5mL KI 5 % dan 5 mL H2SO4 2N ke dalam
stop erlenmeyer. KI sangat bersifat higrokopis oleh karena itu setelah penimbangan padatan
KI harus ditutup dengan plastik karena berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi
udara dapat menyebabkan banyak kesalahan untuk analisis selanjutnya. Fungsi penambahan
kalium iodida akan membantu melarutkan iodin karena pada kondisi normal iodium agak
sukar larut pada akuades (pelarut). Selan itu penambahan kalium iodida akan menyebabkan
larutan menjadi berwarna kuning (indikator internal) jika terdapat iodin. Iodin yang terbentuk
akan bereaksi dengan natrium tiosulfat (larutan standar). Fungsi penambahan H2SO4 dalam
larutan tersebut adalah memberikan suasana asam (ph<8,0)>8,0karena larutan yang terdiri
dari kalium iodat dan kalium iodida berada dalam kondisi netral atau memiliki keasaman
rendah. Reaksinya adalah sebagai berikut:
IO3-+ 5I-+ 6H+  3I2 + 3H2O
Kemudian titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai terjadi warna kuning muda
(kocok pelan-pelan, titran cepat). Larutan Na2S2O3 0,1 N perlu distandarisasikan karena
sifatnya belum stabil dalam waktu yang lama dan larutan Na2S2O3 0,1 N bersifat reduktor
didalam air dengan adanya CO2 sehingga endapan koloid yang dapat membuat larutan keruh.
Proses titrasi harus cepat dilakukan karena KI dalam larutan masih bisa menguap yang dapat
mengakibatkan warna TAT akan hilang sebelum waktu TAT. Warna awal larutan yaitu
cokelat menuju jingga dan setelah dititrasi menjadi warna kuning muda. Pada kondisi ini
kemudian ditambahkan dengan indikator amylum 1%. Indikator amylum digunakan karena
rentan warna biru-tua yang dapat mempermudah pengamatan perubahan pada titik akhit
titrasi, selain itu kompleks antara iodium dan amilum memiliki kelarutan yang sangat kecil
dalam air bahkan dalam larutan asam iodida mudah untuk dioksidasikan menjadi iod bebas
dengan sejumlah zat pengoksid, sehingga iod bebas ini mudah diidentifikasi dengan larutan
indikator sebagai uji kepekaan terhadap iod dari pewarnaan biru-tua yang dihasilkan oleh
indikator amilum. Indikator amilum ditambahkan pada saat akan menjelang titik akhir agar
amilum tidak mengikat Iodida yang dapat menyebabkan sulit untuk lepas kembali sehingga
warna biru tepat hilang sehingga dapat menganggu pengamatan perubahan warna pada titik
akhir yaitu larutan yang tak berwarna. Perubahan warna tersebut terjadi dari warna biru
karena masih ada I2 menjadi biru dengan amilum menjadi larutan tidak berwarna pada
penambahan 1 tetes larutan Na2S2O3 yang menandakan bahwa semua I2 yang dihasilkan pada
reaksi telah habis semua setelah dititrasi oleh larutan Na2S2O3. Catat volume Na2S2O3 yang
dibutuhkan ketika titrasi.Pada percobaan iniNa2S2O3 yang sudah distandarisasi diperoleh data
konsentrasi sebanyak 0,00455 N
Sampel yang digunakan yaitu garam beryodium merk refina yang biasa digunakan
sehari-hari.Garam beriodium yang dijual di pasar modern semuanya mengandung iodium 30
ppm atau lebih yaitu Refina, Dolpin, Daun, Kapal, Garam Indomaret dan Kapal Layar
Kokrosono. Merk Kapal dan Dolpin produksi PT. Susanti Megah Surabaya mengandung
iodium diatas 80 ppm. Tingginya kadar KIO3 menunjukkan kurangnya quality control dalam
proses iodiasasi garam (Wiwit, 2015).
Praktikum ini dilakukan secara duplo sehingga penimbangan sampel garam
dilakukan sebanyak dua kali dalam praktikum ini sampel A sebanyak 25,009 gram dan
penimbangan sampel B sebanyak 25,343gram. Proses melakukan penimbangan dengan cara
memasukkan garam langsung ke dalam beker ukuran 100 mL yang ikut dimasukkan ke dalam
neraca analitik. Setelah garam ditimbang ditambahkan aquadest sebanyak 100 mL kemudian
aduk hingga garam larut dalam akuaddes. Pindahkan larutan garam ke dalam stop Erlenmeyer
kemudian ditambahkan lagi akuades sebanyak 25 ml dikocok hingga larut. Tambahkan 2 ml
asam fosfat P dan 0,5 g kalium iodida P. Fungsi penambahan asam fosfat P yaitu asam fosfat
P akan membebaskan iodin dari iodat pada sampel garam. KI sangat bersifat higrokopis oleh
karena itu setelah penimbangan padatan kalium iodida harus ditutup dengan plastik karena
berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi udara dapat menyebabkan banyak
kesalahan untuk analisis selanjutnya. Fungsi penambahan kalium iodida berlebih akan
membantu melarutkan iodin karena pada kondisi normal iodium agak sukar larut pada
akuades (pelarut). Selain itu penambahan kalium iodida akan menyebabkan larutan menjadi
berwarna kuning (indikator internal) jika terdapat iodin. Iodin yang terbentuk akanbereaksi
dengan natrium tiosulfat (larutan standar). Jumlah natrium tiosulfat yang digunakan
proporsional terhadap jumlah iodin yang dilepaskan dari garam.
Kemudian titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai terjadi warna kuning muda
(kocok pelan-pelan, titran cepat). Larutan Na2S2O3 0,1 N perlu distandarisasikan karena
sifatnya belum stabil dalam waktu yang lama dan larutan Na2S2O3 0,1 N bersifat reduktor
didalam air dengan adanya CO2 sehingga endapan koloid yang dapat membuat larutan keruh.
Proses titrasi harus cepat dilakukan karena KI dalam larutan masih bisa menguap yang dapat
mengakibatkan warna TAT akan hilang sebelum waktu TAT. Warna awal larutan yaitu
cokelat menuju jingga dan setelah dititrasi menjadi warna kuning muda. Pada kondisi ini
kemudian ditambahkan dengan indikator amylum 1 %. Indikator amylum digunakan karena
rentan warna biru-tua yang dapat mempermudah pengamatan perubahan pada titik akhit
titrasi, selain itu kompleks antara iodium dan amilum memiliki kelarutan yang sangat kecil
dalam air bahkan dalam larutan asam iodida mudah untuk dioksidasikan menjadi iod bebas
dengan sejumlah zat pengoksid, sehingga iod bebas ini mudah diidentifikasi dengan larutan
indikator sebagai uji kepekaan terhadap iod dari pewarnaan biru-tua yang dihasilkan oleh
indikator amilum. Indikator amilum ditambahkan pada saat akan menjelang titik akhir agar
amilum tidak mengikat Iodida yang dapat menyebabkan sulit untuk lepas kembali sehingga
warna biru tepat hilang sehingga dapat menganggu pengamatan perubahan warna pada titik
akhir yaitu larutan yang tak berwarna. Perubahan warna tersebut terjadi dari warna biru
karena masih ada I2 menjadi biru dengan amilum menjadi larutan tidak berwarna pada
penambahan 1 tetes larutan Na2S2O3 yang menandakan bahwa semua I2 yang dihasilkan pada
reaksi telah habis semua setelah dititrasi oleh larutan Na2S2O3. Catat volume Na2S2O3 yang
dibutuhkan ketika titrasi.Volume yang dibutuhkan pada titrasi sampel A sebanyak 7,0 ml,
sedangkan volume yang dibutuhkan pada titrasi sampel B sebanyak 7,5 ml. Setelah melalui
perhitungan di dapat kadar KIO3 sampel A adalah 45,438 ppm sedangkan kadar KIO3 sampel
B adalah 48,044 ppm. Sehingga rata-rata kadar KIO3 sampel garam yang digunakan untuk
praktikum adalah 46,741 ppm. Berdasarkan SNI 01-3556-2000 kandungan kalium
iodatminimal 30-80 ppm (mg KIO3/kg garam). Hasil ini menandakan bahwakandungan garam
sampel tersebut sesuai dengan ketetapan SNI 01-3556-2000.
Perhitungan kadar KIO3bertujuan untuk mengetahui kadar garam yang memiliki
iodium dan dapat memenuhi kebutuhan iodium per hari agar terhindar dari berbagai penyakit
seperti GAKI. Kebutuhan tubuh akan iodium rata-rata mencapai 1-2 mikrogram per kilogram
berat badan per hari. Iodium diperlukan tubuh terutama untuk sintesis hormon tiroksin, yaitu
suatu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang sangat dibutuhkan untuk proses
pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dalam
waktu lama, kelenjar tiroid akan membesar untuk menangkap iodium, yang lebih banyak dari
darah. Pembesaran kelenjar tiroid tersebutlah yang sehari-hari kita kenal sebagai penyakit
gondok.
Iodium adalah jenis elemen mineral mikro kedua sesudah besi yang dianggap penting
bagi kesehatan manusia walaupun jumlah kebutuhan tidak sebanyak zat-zat gizi lainnya.
Manusia tidak dapat membuat iodium dalam tubuhnya seperti membuat protein atau gula,
tetapi harus mendapatkannya dari luar tubuh (secara alamiah) melalui serapan iodium yang
terkandung dalam makanan serta minuman. Iodium merupakan mineral yang termasuk unsur
gizi esensial walaupun jumlahnya sangat sedikit di dalam tubuh, yaitu hanya 0,00004% dari
berat tubuh atau sekitar 15-23 mg. Itulah sebabnya iodium sering disebut sebagai mineral
mikro atau trace element.
VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukandapat di ambil kesimpulan bahwa:
1. Untuk standarisasi Na2S2O30,1 N dengan larutan standar KIO3 sebanyak 10,0 ml
menggunaan titrasi dengan metode iodometri karena Na2S2O3 dapat dioksidasi oleh KIO3
dengan penambahan 5mL KI 5% dan 5 mL H2SO4 2N titrasi dengan Na2S2O3 0,1 N
sampai terjadi warna kuning muda kemudian ditambah indikator amylum 1 % menjadi
warna, dan titrasi dilanjutkan dengan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru tepat hilang
dengan diperoleh data konsentrasi sebanyak 0,00455 N
2. Larutan Na2S2O3 0,1 N digunakan sebanyak 7,0 ml untuk sampel garam A dan sebanyak
7,5 ml untuk sampel garam B. Titik akhir titrasi terjadi saat larutan titrat kehilangan
warna biru.
3. Penentuan kadar iodium dalam garam dilakukan dengan metode iodometri karena iodium
akan dihasilkan dari reaksi redoks oleh Na2S2O3. Kadar KIO3 garam A adalah 45,438
ppm, dangaram B memiliki kadar KIO3 adalah 48,044 ppm. Sehingga, rata-rata kadar
KIO3 kedua sampel tersebut adalah 46,741 ppm, yang artinya kadar tersebut sesuai
dengan SNI 01-3556-2000 kandungan kalium iodat minimal 30-80 ppm (mgKIO3/kg
garam)
Daftar Pustaka

Akhiruddin, Muhammad. 2011. Analisis Kadar Kalium Iodat (KIO3) dalam Garam Dapur
dengan Menggunakan Metode Iodometri yang Beredar Di Pasar Ujung Batukabupaten
Rokan Hulu. Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Pekanbaru: UIN Sultan Syarif.

BPOM RI. 2006. Penentuan Kadar Spesi Iodium Dalam Garam Beriodium dan Makanan
Dengan Metode HPLC Pasangan Ion. Jurnal BPOM RI, 7(3).

Depkes RI. 2000. Pedoman Pelaksanaan Pemantauan Garam Beryodium diTingkat Masyarakat.
Departemen Kesehtan RI. Jakarta

Gandjar , Ibnu Ghalib dkk. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Hardjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT. Gramedia

Manalu, Lenni. 2007. Pemeriksaan Kadar Kalium Iodat (KIO3) Dalam Garam dan Air Yang
dikonsumsi Masyarakat Garoga kabupaten Tapanuli Utara,Skripsi Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Medan: USU.

Poedjadi, Anna. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI- Press.

Prihatiningsih, Diah & Sherly Novitasari. 2017. Hubungan Kondisi Penyimpanan Terhadap
Kualitas Kadar Iodium Dalam Garam Di Tingkat Penjual Yang Beredar Di Pasar
Tradisional Di Denpasar Utara Tahun 2017. Jurnal Chemistry Laboratory, 4(1).

Widiyatni, Wiwid., dkk. 2016. Ketersediaan dan Pola Distribusi Garam Beriodium di
Kabupaten Jepara. Jurnal Gizi Indonesia, 3(2), 80-85.
Lampiran

Gambar Keterangan
Standarisasi Na2S2O3

Titrasi kadar KIO3 dalam garam beryodium


LAPORAN PRAKTIKUM
PENETAPAN KADAR NaCl DALAM MARGARIN
Mata Kuliah : Kimia Industri dan Bahan Pangan
Dosen Pengampu : 1. Dr. Endang Tri Wahyuni Maharani, M.Pd.
2. Drs. Yusrin, M.Pd.
Asisten Praktikum : M. Gufron S.Pd

Disusun oleh :

Ninda Aulia Mahmudah ( B2C018002 )


Bhayu Eka Prasetya (B2C0180)
Nurlaela ( B2C018013)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2021
I. Tujuan Praktikum
1.1 Mahasiswa dapat mempraktikan penentuan kadar NaCl dalam margarin menggunakan
metode titrasi Argentometri Mohr.
1.2 Mahasiswa dapat menghitung kadar NaCl dalam Margarin.
1.3 Mahasiswa dapat mengetahui kadar NaCl dalam Margarin.
II. Dasar Teori
Titrasi pengendapan adalah salah satu golongan titrasi dimana hasil reaksi
titrasinya merupakan endapan atau garam yang sukar larut. Prinsip dasarnya ialah reaksi
pengendapan yang cepat mencapai kesetimbangan pada setiap penambahan titran, tidak
ada pengotor yang mengganggu serta diperlukan indikator untuk melihat titik akhir
titrasi. Hanya reaksi pengendapan yang dapat digunakan pada titrasi (Huljani & Rahma,
2019).
Istilah argentometri diturunkan dari bahasa latin argentum, yang berarti perak.
Jadi argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu
larutan yang dilakukan dengan titrasi berdasar pembentukan endapan dengan ion Ag+.
Pada titrasi argentometri.Larutan AgNO3 yang akan dijadikan larutan baku terlebih
dahulu distandardisasi menggunakan larutan natrium klorida (NaCl)zat pemeriksaan yang
telah dibubuhi indikator dicampur dengan larutan standar garam perak nitrat AgNO3.
Dengan mengukur volume larutan standar yang digunakan sehingga seluruh ion
Ag+ dapat tepat diendapkan, kadar garam dalam larutan pemeriksaan dapat ditentukan.
Metode yang digunakan untuk menganalisis kadar klorida yaitu titrasi
argentometri metode Mohr. Metode Mohr digunakan untuk menentukan kadar klorida
dengan larutan baku perak nitrat (AgNO3) dan indikator kalium kromat (K2CrO4). Pada
titrasi ini akan terbentuk endapan baru yang berwarna. Pada titik akhir titrasi, ion
Ag+ yang berlebih diendapkan sebagai Ag2CrO4 yang berwarna merah bata. Larutan
harus bersifat netral atau sedikit bas, tetapi tidak boleh terlalu basa sebab Ag akan
diendapkan sebagai Ag(OH)2. Jika larutan terlalu asam maka titik akhir titrasi tidak
terlihat sebab konsentrasi CrO4- berkurang (Huljani & Rahma, 2019).
Pada kondisi yang cocok, metode mohr cukup akurat dan dapat digunakan pada
konsentrasi klorida yang rendah. Pada jenis titrasi ini, endapan indikator berwarna harus
lebih larut dibanding endapan utama yang terbentuk selama titrasi. Indikator tersebut
biasanya digunakan pada titrasi sulfat dengan BaCl2, dengan titik akhir akhir
terbentuknya endapan garam Ba yang berwarna merah. Ini dapat diilustrasikan dengan
prosedur mohr untuk penetapan klorida dan bromide. Pada titrasi suatu larutan netral dari
ion klorida dengan larutan perak nitrat, sedikit larutan kalium kromat ditambahkan untuk
berfungsi sebagai indikator. Pada titik akhir, ion kromat ini bergabung dengan ion perak
untuk membentuk perak kromat merah yang sangat sedikit sekali dapat larut. Titrasi ini
hendaknya dilakukan dalam suasana netral atau sangat sedikit sekali basa, yakni dalam
jangkauan pH 6,59.
Contoh prosedur ini adalah metode volhard untuk titrasi perak dengan adanya
asam nitrat bebas dengan larutan kalium atau ammonium tiosianat standar. Indikatornya
adalah larutan besi(III) ammonium sulfat. Penambahan larutan tiosianat menghasilkan
mula-mula endapan perak klorida. Kelebihan tiosianat yang paling sedikitpun akan
menghasilkan pewarnaan coklat kemerahan, disebabkan oleh terbentuknya suatu ion
kompleks (Cahyadi et al., 2020).
Ag+ + SCN-  AgSCN
Fe3+ + SCN-  [FeSCN]2+
Metode ini dapat diterapkan untuk penetapan klorida, bromide dan iodide dalam larutan
asam. Larutan perak nitrat standar berlebih ditambahkan dan kelebihannya dititrasi balik
dengan larutan tiosianat standar.
Ag+ + Cl-  AgCl
Ag+ + SCN-  AgSCN
Aksi dari indikator-indikator ini disebabkan oleh fakta bahwa pada titik ekuivalen,
indikator itu diadsorpsi oleh endapan dan selama proses adsorpsi terjadi suatu perubahan
dalam indikator yang menimbulkan suatu zat dengan warna berbeda, maka dinamakan
indikator adsorpsi.
Zat-zat yang digunakan adalah zat-zat warna asam, seperti warna deret flouresein
misalnya flouresein an eosin yang digunakan sebagai garam natriumnya.
Untuk titrasi klorida, boleh dipakai flouresein. Suatu larutan perak klorida dititrasi
dengan larutan perak nitrat, perak klorida yang mengendap mengadsorpsi ion-ion klorida.
Ion flouresein akan membentuk suatu kompleks dari perak yang merah jambu.
margarin menurut SNI 01-3541-2002 adalah produk makanan berbentuk emulsi
(w/o), baik semipadat maupun cair, yang dibuat dari lemak makan dan atau minyak
makan nabati, dengan atau tanpa perubahan kimia termasuk hidrogenasi, interesterifikasi,
dan telah melalui proses pemurnian, sebagai bahan utama serta mengandung air dan
bahan tambahan pangan yang diizinkan. Margarin dengan berbagai titik leleh untuk
produk bakeri dihasilkan dari minyak nabati (Andarwulan, Dede R Adawiyah, Nur
Wulandari, Purwiyatno Hariyadi, Ria Noviar Triana, Arief R Affandi, Ria Choriatul Nur,
Susan Tjahjadi, Maria F. Ellen, 2015).

III. Alat dan Bahan


3.1 Alat

No. Gambar Nama

Beaker Glass

1.

Corong

2.

3. Statif dan Buret


4. Erlenmeyer

5. pipet tetes

6. Neraca Analitik

7. Kaca Arloji
8. Kompor Listrik

9. Termometer

10. Pipet Volume 10,0 mL

3.2 Bahan

No. Gambar Nama

1. Margarin
AgNO3
2.

3. Indikator Kalium Kromat

4. Akuades

5. NaCl
IV. Langkah Kerja
4.1 Standarisasi AgNO3

tambahkan 3 - 4
Dipipet 10,0 mL Masukkan ke
tetes indikator
larutan NaCl dalam erlenmeyer
kromat

TAT sampai
timbul endapan Titrasi dengan
berwarna merah larutan AgNO3
bata

4.2 Prosedur Kerja

Timbang seksama
Biarkan menjadi
± 2 gram margarin, Tambahkan 100 ml
dingin hingga suhu
masukan ke dalam aquadest panas
500 C - 550 C
erlenmeyer

Titrasi dengan
AgNO3 0,1 N
Tambahkan 2 ml
hingga warna
indikator K2CrO4
coklat orange tetap
selama 10 detik
V. Data Pengamatan
Standarisasi AgNO3
Volume Titrasi 1 Titrasi 2
Larutan NaCl 10,0 ml 10,0 ml

Larutan AgNO3 9,90 ml 10,10 ml

Penetapan Kadar Cl dalam Margarin

Volume Titrasi 1 Titrasi 2

Margarin 25 ml (4,297 gram) 25ml ( 4,652 gram)

Larutan AgNO3 18,60 ml 19,70 ml

VI. Perhitungan
6.1 StandarisasiAgNO3
Diketahui: Titrasi 1 = 9,90 ml
Titrasi 2 = 10,10 ml
N1 = 0,10 N
V1 = 10,00 ml
Ditanya: N AgNO3?
Penyelesaian:
a. Titrasi 19,50 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 10,00= N2 X 9,90
N2 = 0,1010 N
b. Titrasi 10,10 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 10,00= N2 X 10,10
N2 = 0,0990N
0,1010 +0,0990
̅=
𝒙
2
= 0,10 N

6.2 Kadar NaCl


Diketahui: Volume 1 = 18,60 ml
Volume 2 = 19,70 ml
N AgNO3 = 0,10 N
G1 = 4,297 gram
G2 = 4,652 gram
Ditanya: Kadar bilanganasam?
Penyelesaian:
 Sampel A
𝑁 𝐴𝑔𝑁𝑂3
Vx x 0,585
0,1
Kadar NaCl (dalam %)= G
0,10
18,6 x x 0,585
0,1
= 4,297

= 2,532 %
 SampelB
𝑁 𝐴𝑔𝑁𝑂3
Vx x 0,585
0,1
Kadar NaCl (dalam %)= G
0,10
19,70 x x 0,585
0,1
=
4,652
= 2,477 %

 Rata-rata kadar NaCl dalam Margarin


2,532+2,477
Kadar NaCl (dalam %)= 2

=2,504 %
VII. Pembahasan
Dalam praktikum ini menggunakan metode tirasi Argentometri Mohr, dengan
prinsip Titrasi pengendapan atau argentometri didasarkan atas terjadinya pengendapan
kuantitatif, yang dilakukan dengan penambahan larutan pengukur yang diketahui
kadarnya pada larutan senyawa yang hendak dititrasi. Titik akhir tercapai bila semua
bagian titran sudah membentuk endapan.
Standarisasi larutan Metode yang digunakan untuk standarisasi AgNO3 dengan
NaCl menggunakan indikator K2CrO4, penambahan indikator membuat larutan berwarna
kuning, Titrasi dilakukan hingga mencapai TAT (Titik Akhir Titrasi), TAT ditandai
dengan munculnya endapan berwarna merah bata secara permanen. Pada percobaan ini
AgNO3 yang sudah distandarisasi diperoleh data konsentrasi 0,10 N

Pada praktikum ini menggunakan sampel margarine karena didalam margarine


mengandung larutan garam. Penambahan larutan garam ini bertujuan agar Kadar air
maksimal dalam margarin adalah 18%. Kadar air lebih dari 18% akan mengurangi daya
simpannya karena adanya reaksi hidrolisis dan adanya aktivitas mikroba, oleh sebab itu
pembuatan margarin perlu penambahan garam, selain untuk memeberi rasa juga sebagai
penghambat aktivitas mikroorganisme. Sehingga tujuan melakukan praktikum ini adalah
untuk menghitung kadar NaCl dalam margarin (Utara, 2016).

Praktikum ini dilakukan secara duplo sehingga penimbangan sampel margarine


dilakukan sebanyak dua kali dalam praktikum ini sampel pertama sebanyak 4,297 gram
dan penimbangan sampel kedua sebanyak 4,652 gram. Proses melakukan penimbangan
dengan cara memasukkan margarine langsung ke dalam labu erlenmeyer ukuran 250 mL
yang ikut dimasukkan ke dalam neraca analitik. Setelah penimbangan yaitu penambahan
aquadest yang sudah didihkan terlebih dahulu sebanyak 100 mL. Tujuan penambahan
aquadest panas ini agar tekstur margarine lebih cair dan lemak dapat larut. Kemudian
didinginkan antara suhu 500 C -550 C. Setelah itu ditambahkan autoindikator
K2CrO4penambahan indikator ini karena Indicator ini merupakan suatu senyawa organic
yang kompleks dan digunakan untuk menentukan titik akhir suatu reaksi netralisasi.

Setelah penambahan indikator tersebut, warna larutan sampel menjadi kuning.


Lalu dititrasi dengan larutan Baku AgNO3. Alasan dititrasi dengan AgNO3 adalah
berdasarkan namanya, titrasi argentometri menggunakan larutan AgNO3 sebagai
titrannya karena AgNO3 adalah satu – satunya garam perak yang terlarutkan air sehingga
pereaksi perak nitrat dengan garam lain akan menghasilkan endapan. Seperti halnya pada
NaCl, dapat ditentukan kadarnya berdasarkan reaksi :

NaCl + AgNO3  AgCl( putih)+ NaNO3


Warna putih yang terbentuk akibat reaksi antara AgNO3 dengan NaCl,apabila Cl-
habis beraksi dengan Ag+ dari AgNO3. Titik akhir titrasi dapat dinyatakan dengan
indicator larutan K2CrO4 yang dengan ion Ag+ berlebih menghasilkan endapan AgCl
yang berwarna putih mulai berubah menjadi kemerah-merahan.

2AgNO3+ K2CrO4 Ag2CrO4( merah bata) + 2 KNO

Titrasi harus dilakukan dalam suasana netral atau basa lemah dengan pH antara
6,5 – 9, dengan begitu garam perak kromat tidak akan terbentuk.

Setelah dititrasi pada larutan sampel terbentuk endapan kemerah – merahan, hal
inilah yang membuktikan bahwa metode titrasi pengendapan yang dilakukan adalah cara
mohr. Munculnya endapan yang berwarna kemerah-merahan pada titik akhir titrasi
dikarenakan kromat terikat oleh ion perak membentuk senyawa yang sukar larut
berwarna merah bata.

Hasil Volume titrasi dalam praktikum ini pada sampel pertama adalah 18,60 ml
dengan berat sampel 4,297 gram dan pada sampel kedua adalah 19,70 ml dengan berat
penimbangan sampel 4,652 gram dalam hal ini semakin banyak sampel maka semakin
banyak volume titrasi yang digunakan. Hal ini disebabkan jika sampel semakin banyak
maka reaksi antara AgNO3 dengan NaCl . banyaknya Ion Cl-dalam sampel akan
memakan waktu yang lama untuk beraksi habis dengan Ag+ dari AgNO3sehingga volume
titran untuk menghasilkan TAT akan membtuhkan semakin banyak.

Berdasarkan hasil perhitungan kadar dalam sampel pertama sebanyak 2,532 %


dan pada sampel kedua sebanyak . 2,477 % hal ini menandakan bahwa semakin berat
sampel akan menghasilkan volume titrasi yang semakin banyak sehingga kadarnya akan
semakin besar. Dengan kadar rata-rata NaCl dalam margarin sebesar 2,504 %.
Berdasarkan kadar ini sudah memenuhi standar mutu Internasional yaitu 1,8-2,1% (‫سیادت‬
‫سعید‬, 2000).
VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telahdilakukandapat di ambilkesimpulanbahwa:
1. Standarisasi larutan AgNO3 dilakukan dengan metode argentometri mohr, larutan
standar primer yang digunakan adalah NaCl 0,10 N
2. Penentuan kadar NaCl dalam margarin dilakukan dengan metode mohr , dengan
menggunakan larutan AgNO3 dengan indikator K2CrO4. Margarin dilarutkan terlebih
dahulu dengan aquades panas untuk melarutkan lemak pada margarin. TAT (Titik
Akhir Titrasi) ditunjukan dengan munculnya endapan warna merah bata permanen .
3. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan kadar NaCl dalam sampel margarin
sebesar 2,504 %, dari hasil yang diperoleh kadar NaCl pada margarin tersebut telah
memenuhi Standart Mutu Internasional yaitu1,8-2,1%.
Daftar Pustaka

Andarwulan, Dede R Adawiyah, Nur Wulandari, Purwiyatno Hariyadi, Ria Noviar Triana, Arief
R Affandi, Ria Choriatul Nur, Susan Tjahjadi, Maria F. Ellen, N. (2015). Aplikasi Margarin
Minyak Sawit Merah Pada Produk Pound Cake Dan Roti Manis ( The Application of Red
Palm Oil Margarine in Pound Cake and Sweet Bread Products ). Jurnal Institut Pertanian
Bogor, 1(October), 192–206.

Cahyadi, D., Hadiwijaya, I., & Arsyansyah, M. (2020). Verifikasi Pengujian Kandungan Perak
Nitrat dalam Tinta Pemilu dengan Titrasi Argentometri Metode Volhard. Pertemuan Dan
Presentasi Ilmiah Standardisasi, 2019, 75–82. https://doi.org/10.31153/ppis.2019.8

Huljani, M., & Rahma, N. (2019). Analisis Kadar Klorida Air Sumur Bor Sekitar Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) II Musi II Palembang dengan Metode Titrasi Argentometri.
ALKIMIA : Jurnal Ilmu Kimia Dan Terapan, 2(2), 5–9.
https://doi.org/10.19109/alkimia.v2i2.2987

Utara, U. S. (2016). Universitas Sumatera Utara.

‫سعید سیادت‬. (2000). No Title ‫زززز ززززز‬. 1645, 1–76.


Lampiran

Standarisasi AgNO3

Titrasi Sampel
LAPORAN PRAKTIKUM
PENETAPAN KADAR GULA DALAM SIRUP
Mata Kuliah : Kimia Industri dan Bahan Pangan
Dosen Pengampu : 1. Dr. Endang Tri Wahyuni Maharani, M.Pd.
2. Drs. Yusrin, M.Pd.
Asisten Praktikum : M. Gufron, S.Pd

Disusun oleh :

1. Ninda Aulia Mahmudah ( B2C018002 )


2. Bhayu Ekha Prasetya (B2C0180)
3. Nurlaela ( B2C018013)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
TAHUN 2021
I. Tujuan Praktikum
1.1 Mahasiswa dapat mempraktikan penentuan kadar Gula dalam sirup menggunakan metode
titrasi Yodometri.
1.2 Mahasiswa dapat menghitung standarisasi Na2S2O3.
1.3 Mahasiswa dapat menghitung kadar Gula dalam sirup.
II. Dasar Teori

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hamper seluruh penduduk di dunia,
khususnya bagi penduduk Negara yang berkembang. Pada tanaman, karbohidrat dibentuk dari
reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel
tanaman yang berklorofil.
Sinar Matahari
CO2 + H2O (C6H12O6)n + O2 (Karbohidrat)
Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa,
pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati, pectin, selulosa,
dan lignin. Karbohidrat yang terdapat dalam hasil ternak terutama terdiri dari glikogen. Pada
umumnya karbohidrat dapat dikelompokan menjadi monosakarida, oligosakarida, serta
polisakarida.
1. Monosakarida
Monosakarida mengandung satu gugus aldehida disebut aldosa, sedangkan ketosa
mempunyai satu gugus keton. Monosakarida dengan enam atom C disebut heksosa,
misalnya glukosa (dekstrosa atau gula anggur).
2. Oligosakarida
Oligosakarida adalah polimer derajat polimerisasi 2 sampai 10 dan biasanya bersifat larut
dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari 2 molekul disebut disakarida, dan bila terdiri dari
3 molekul disebut triosa. Bila sukrosa (sakarosa atau gula tebu). Terdiri dari molekul
glukosa dan fruktosa, laktosa terdiri dari molekul glukosa dan galaktosa.
3. Polisakarida
Polisakarida merupakan polimer molekul-molekul monosakarida yang dapat berantai lurus
atau bercabang dan dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim yang spesifik kerjanya.
Kerusakan pada karbohidrat :
a. Pencoklatan (Browning)
Pencoklatan enzimatis terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung substrat
senyawa fenolik, reaksi pencoklatan non enzimatis belum diketahui atau dimengerti
penuh. Umumnya ada 3 macam reaksi pencoklatan non enzimatik yaitu : karamelisasi,
reaksi maillard dan pencoklatan akibat vitamin C.
b. Karamelisasi
Bila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus hingga suhunya melalui titik
leburnya, misalnya pada suhu 170oC maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa.
c. Reaksi Maillard
Reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina
primer, disebut reaksi-reaksi maillard. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan
berwarna coklat, yang sering dikendaki atau kadang-kadang malah menjadi pertanda
penurunan mutu.
Banyak cara yang dilakukan atau dapat dipergunakan untuk menentukan banyaknya
karbohidrat dalam suatu bahan yaitu antara lain dengan cara kimiawi, cara fisik, cara
enzimatik, atau biokimia dan cara kromatografi. (Anonim. 2012)
Karbohidrat adalah senyawa organik terdiri dari unsur karbon, hidrogen dan oksigen
memiliki rumus umum (CnCH₂O)₄. Karbohidrat dengan kata lain merupakan senyawa yang
mengandung gugus hidroksi. Ditinjau dari gugus fungsi karbohidrat yang diikat :
1) Akdosa, karbohidrat yang mengikat gugus aldehid. Contohnya glukosa, galaktosa, ribose
2) Ketosa, karbohidrat yang mengikat gugus keton. Contohnya fluktosa.
Ditinjau dari hasil hidroksinya :
a) Monosakarida, karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis menjadi molekulmolekul
karbohidrat yang lebih sederhana lagi. Misalnya glukosa, fruktosa, ribose, galaktosa.
b) Disakarida, karbohidrat yang terbentuk dari kondensasi 2 molekul monosakarida
misalnya sukrosa, laktosa, dan maltose.
c) Oligasakarida, karbohidrat yang jika dihidrolisis terurai menghasilkan 3-10
monosakarida. Misalnya dekstin dan moltosentosa.
d) Polisakarida, karbohidrat yang terbentuk dari banyak molekul monosakarida.
e) Misalnya pati (amylum), selulosa, dan glikogen.
Beberapa monosakarida penting sebagai berikut :
1. Glukosa
Glukosa dapat diperoleh dari hidrolisis sukrosa (gula tebu) atau pati (amylum). Didalam
glukosa terdapat buah-buahan dan madu lebah. Dalam alam glukosa dihasilkan dari reaksi
antara karbondioksida dan air dengan bantuan sinar matahari dan klorotil dalam daun serta
mempunyai sifat:
 Memutar bidang polarisasi cahaya kekanan (+52,70)
 Dapat mereduksi larutan fehling dan membuat larutan merah bata.
 Dapat difermentasikan menghasilkan alkohol (etanol) dengan reaksi
C₆H₁₂D₆ → 2C₂H₅OH + 2CO₂
2. Fruktosa
Fruktosa adalah suatu ketoheksasa yang mempunyai sifat memutar cahaya terpolarisasi
kekiri dan karenanya disebut juga levulosa. Truktosa mempunyai rasa lebih manis dari
pada gula tebu atau sukrosa. Fruktosa dapat dibedakan dari glukosa dengan pereksi
Seliwanot, yaitu larutan (1,3 dihidroksibenzena) dalam HCL. Disebut juga gula buah
diperoleh dari hidrolisis sukrosa dan mempunyai sifat :
o Memutar bidang polarisasi kekiri (-92.40)
o Dapat mereduksi larutan fehling dan membentuk endapan merah bata.
o Dapat difermentasi.
Contoh disakarida yang penting yaitu laktosa. Laktosa memiliki gugus karbonil yang
berpotensi bebas pada residu glukosa. Laktosa adalah disakarida pereduksi selama proses
pencernaan, laktosa mengalami proses hidrolisis enzimatik oleh laktosa dari sel-sel mukosa
usus.
Beberapa sifat laktosa :
 Hidrolisis laktosa menghasilkan molekul glukosa dan galaktosa
 Hanya terdapat pada binatang mamalia dan manusia
 Dapat diperoleh dari hasil samping pembuatan keju
 Bereaksi positif terdapat pereaksi fehling, benedict, tolluens.
Contoh polisakarida yang paling penting yaitu pati atau amylum. Pati atau amylum
merupakan senyawa polimer dari glukosa. Apabila dilarutkan dalam air panas, pati dapat
dipisahkan menjadi amilosa dan amipektin. Amipektin ini merupakan polimer yang lebih
besar dari amilosa. Amilosa jika dihidrolisis parsial akan menghasilkan amilosa sedangkan
jika dihidrolisis lengkap akan menghasilkan glukosa. (Anonim. 2012)
Analisis KH :
 Karbohidrat yang berbentuk polimer (molekul)
 Karbohidrat yang berbentuk polimer (molekul besar & kompleks) sulit ditentukan jumlah
besar & kompleks) sulit ditentukan jumlah sebenarnya.
 Penentuan karbohidrat yang paling mudah adalah dengan cara perhitungan kasar
(proximate analysis) atau disebut juga Carbohydrate by Difference %
KH = 100% - % (protein + lemak + abu + air).
Analisis Kuantitatif KH :
a.Preparasi sampel
- penggilingan sampel (Pengecilan ukuran)
- hidrolisis dengan asam monosakarida (gula reduksi)
b. Penentuan kadar Metode Luff Schoorl
Metode Luff Schoorl
Prinsip : hidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida yang dapat mereduksi Cu2+ menjadi Cu+.
Kelebihan Cu2+ dapat dititar secara iodometri.
Acuan : SNI 01 – 2891 – 1992, Cara uji makanan dan minuman
Pereaksi Luff : Na-karbonat, Asam sitrat, CuSO4
Penentuan gula dengan cara Luff Schoorl digunakan untuk menentukan kuprioksida
(CuO) dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah
direaksikan dengan gula reduksi (titrasi sampel). Selisih titrasi blanko dengan titrasi sampel
ekuivalen dengan kuprooksida (Cu2O) yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula
reduksi yang ada dalam bahan/larutan. (Chica. 2010).
Ada banyak fungsi dari karbohidrat dalam penerapannya di industri pangan, farmasi
maupun dalam kehidupan manusia sehari-hari. Diantara fungsi dan kegunaan itu ialah: Sebagai
sumber kalori atau energy, sebagai bahan pemanis dan pengawet, Sebagai bahan pengisi dan
pembentuk, sebagai bahan penstabil, sebagai sumber flavor (karamel), dan sebagai sumber serat
(Winarno 2007).
Karbohidrat dapat digolongan menjadi dua macam yaitu karbohidrat sederhana dengan
karbohidrat kompleks atau dapat pula menjadi tiga macam, yaitu monosakarida, disakarida, dan
polisakarida. Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan
merupakan oligosakarida, polimer. Pengukuran karbohidrat yang merupakan gula pereduksi
dengan metode Luff Schoorl ini didasarkan pada reaksi sebagai berikut :
R-CHO + 2 Cu2+ R-COOH + Cu2O
2 Cu2+ + 4 I- Cu2I2 + I2
2 S2O32- + I2 S4O62- + 2 I-
Monosakarida akan mereduksikan CuO dalam larutan Luff menjadi Cu2O. Kelebihan
CuO akan direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut
dititrasi dengan larutan Na2S2O3. Pada dasarnya prinsip metode analisa yang digunakan adalah
Iodometri karena kita akan menganalisa I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar.
Dimana proses iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila
terdapat zat oksidator kuat (misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam
penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan
membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan dengan banyaknya oksidator (Winarno 2007). I2
bebas ini selanjutnya akan dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3 sehinga I2 akan membentuk
kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu, jika dalam suatu titrasi
membutuhkan indikator amilum, maka penambahan amilum sebelum titik ekivalen.
Metode Luff Schoorl ini baik digunakan untuk menentukan kadar karbohidrat yang
berukuran sedang. Dalam penelitian M.Verhaart dinyatakan bahwa metode Luff Schoorl
merupakan metode tebaik untuk mengukur kadar karbohidrat dengan tingkat kesalahan sebesar
10%. Pada metode Luff Schoorl terdapat dua cara pengukuran yaitu dengan penentuan Cu
tereduksi dengan I2 dan menggunakan prosedur Lae-Eynon. Metode Luff Schoorl mempunyai
kelemahan yang terutama disebabkan oleh komposisi yang konstan. (Yasmin. 2010).
Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan merupakan
oligosakarida, polimer dengan derajat polimerisasi 2-10 dan biasanya bersifat larut dalam air
yang terdiri dari dua molekul yaitu glukosa dan fruktosa. Gula memberikan flavor dan warna
melalui reaksi browning secara non enzimatis pada berbagai jenis makanan. Gula paling banyak
diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa
menjadi manis dan keadaan makanan atau minuman. Dalam industri pangan, sukrosa diperoleh
dari bit atau tebu (Winarno 1997).
Inversi sukrosa menghasilkan gula invert atau gula reduksi (glukosa dan fruktosa). Gula
invert akan mengkatalisis proses inversi sehingga kehilangan gula akan berjalan dengan cepat.
Menurut Parker (1987) dkk. Dalam kuswurj (2008) laju inersi sukrosa akan semakin besar pada
kondisi pH rendah dan temperatur tinggi dan berkurang pada pH tinggi (pH 7) dan temperatur
rendah. Laju inversi yang paling cepat adalah pada kondisi pH asam (pH 5) (Winarno 2007).
Penentuan kadar glukosa dilakukan dengan cara menganalisis sampel melalui pendekatan
proksimat. Terdapat beberapa jenis metode yang dapat dilakukan untuk menentukan kadar gula
dalam suatu sampel. Salah satu metode yang paling mudah pelaksanaannya dan tidak
memerlukan biaya mahal adalah metode Luff Schoorl. Metode Luff Schoorl merupakan metode
yang digunakan untuk menentukan kandungan gula dalam sampel. Metode ini didasarkan pada
pengurangan ion tembaga (II) di media alkaline oleh gula dan kemudian kembali menjadi sisa
tembaga. Ion tembaga (II) yang diperoleh dari tembaga (II) sulfat dengan sodium karbonat di sisa
alkaline pH 9,3-9,4 dapat ditetapkan dengan metode ini. Pembentukan (II)-hidroksin dalam
alkaline dimaksudkan untuk menghindari asam sitrun dengan penambahan
kompleksierungsmittel. Hasilnya, ion tembaga (II) akan larut menjadi tembaga (I) iodide
berkurang dan juga oksidasi iod menjadi yodium. Hasil akhirnya didapatkan yodium dari hasil
titrasi dengan sodium hidroksida.
Gula pereduksi yaitu monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa dapat ditunjukkan
dengan pereaksi Fehling atau Benedict menghasilkan endapan merah bata (Cu2O). selain
pereaksi Benedict dan Fehling, gula pereduksi juga bereaksi positif dengan pereaksi Tollens.
Penentuan gula pereduksi selama ini dilakukan dengan metode pengukuran konvensional seperti
metode osmometri, polarimetri, dan refraktrometri maupun berdasarkan reaksi gugus fungsional
dari senyawa sakarida tersebut (seperti metode Luff-Schoorl, Seliwanoff, Nelson-Somogyi dan
lain-lain). Hasil analisisnya adalah kadar gula pereduksi total dan tidak dapat menentukan gula
pereduksi secara individual. Untuk menganalisis kadar masingmasing dari gula pereduksi
penyusun madu dapat dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCTK). Metode ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain dapat digunakan pada
senyawa dengan bobot molekul besar dan dapat dipakai untuk senyawa yang tidak tahan panas.

III. Alat dan Bahan


3.1 Alat
No. Gambar Nama

1. Beaker Glass

2. Corong

3. Statif dan Buret

4. Stop Erlenmeyer

5. pipet tetes
6. Neraca Analitik

7. Kaca Arloji

8. Kompor Listrik

9. Termometer

10. Water Bath


11. Labu ukur 100 mL dan 250 mL

12 Pendingin Udara

3.2 Bahan

No Gambar Nama

1.

Syrup dengan merk ABC Squash


Delight
2.

H2SO4 6N

3.

KI 5%

4.

KIO3

5.

Na2S2O3 0,1 N
6.

Amylum 1 %

7.

Luff Schoorl

IV. Langkah Kerja


4.1 Standarisasi Na2S2O3

Tambahkan 5mL KI 5 % dan


5 mL H2SO4 2N titrasi dengan
Dipipet 10,0 mL larutan
Na2S2O3 0.01 N sampai Tambahkan dengan indikator
standar KIO3 dan masukkan
terjadi warna kuning muda amylum 1 % =biru (1 mL )
dalam stop erlenmeyer.
(kocok pelan-pelan,titran
cepat)

Titrasi dilanjutkan dengan


Na2S2O3 0.01 N sampai warna Catat volume Na2S2O3 yang
biru tepat hilang (kocok dibutuhkan
kuat,titran tetes demi tetes)
4.2 Penetapan kadar gula sebelum inversi

Timbang 1 gram sampel Pipet 25,0 mL Larutan A,


masukkan labu ukur 100 Pipet 25,0 mL Larutan B
masukkan ke dalam labu
mL encerkan dengan masukkan stop
ukur 250 mL, encerkan
erlenmeyer, tambah 25,0
sampai tanda batas, akuades sampai tanda
mL Larutan Luff
homogenkan (Larutan batas, homogenkan Schoorl
A) (Larutan B)

hubungkan dengan Tambah 25 mL H2SO4


pendingin udara dan 6N perlahan-lahan Titrasi dengan Na2S2O3
panaskan sampai sambil dikocok agar gas 0,1 N dengan indikator
mendidih. Dari larutan CO2 nya hilang, Amylum 1%, TAT
mendidih ditunggu 10 tambahkan 15 mL KI warna biru tepat hilang
menit, dinginkan 20%

hubungkan dengan
Lakukan titrasi blanko : pendingin udara dan
Pipet 25,0 mL Lar Luff panaskan sampai
Schoorl tambah 15 mL mendidih. Prosedur
akuades berikutnya sama seperti
sampel.

4.3 Penetapan kadar gula sesudah inversi

Tambahkan tetes demi


Pipet 25,0 mL Larutan B Panaskan pada suhu 60-
tetes HCl 4 N sampai
masukkan labu ukur 100 700C selama 30 menit,
larutan berwarna merah,
mL, tambahkan 2-3 tetes dinginkan dan netralkan
tambahkan 15 mL HCl
indikator MO dengan NaOH 0,1 N
0,1 N

hubungkan dengan
Pipet 25,0 mL Larutan
encerkan dengan pendingin udara dan
C, masukkan stop
akuades sampai tanda panaskan sampai
erlenmeyer tambah 25,0
batas, homogenkan mendidih. Dari larutan
mL Larutan Luff
(Larutan C) mendidih ditunggu 10
Schoorl
menit, dinginkan

Tambah 25 mL H2SO4
6N perlahan-lahan Titrasi dengan Na2S2O3
sambil dikocok agar gas 0,1 N dengan indikator
CO2 nya hilang, Amylum 1%, TAT
tambahkan 15 mL KI warna biru tepat hilang
20%
V. Data Pengamatan
Data Hasil titrasi Standarisasi
Percobaan V KIO3(mL) V Na2S2O3(mL)
1 10,0 10,40
2 10,0 10,30

Data Blanko
Percobaan V luff schoorl V Na2S2O3(mL)
1 25,0 26,20
2 25,0 26,30

Data Penetapan Kadar sebelum inversi


Percobaan Berat sampel V Na2S2O3(mL)
1 0,910 gram 24,30 mL
2 1,870 gram 24,50 ml

Data Penetapan Kadar setelah inversi


Percobaan Berat sampel V Na2S2O3(mL)
1 0,910 gram 24,50 mL
2 1,870 gram 25,50 ml

VI. Perhitungan
6.1 Standarisasi Na2S2O3 0,1 N
Data Hasil titrasi
Percobaan V KIO3(mL) V Na2S2O3(mL)
1 10,0 10,40
2 10,0 10,30

Koreksi Normalitas Na2S2O3 0,1 N


 Percobaan 1 : 10,40
N1 . V1 = N2 . V2
0,1. 10 = N2. 10,40
N2 = 0,096 N

 Percobaan 2 : 10,30
N1 . V1 = N2 . V2
0,1. 10 = N2. 10,30
N2 = 0,097 N
0,096+0,097
X= = 0,0965 N
2

6.2 Sampel 1
a) Penetapan Kadar Gula sebelum Inversi
 Volume titrasi blangko :
1. 26,20 mL
2. 26,30 Ml
Rata-rata = 26,25 mL
 Berat Syrup = 0,910 gram
 Volume titrasi sampel sebelum inversi :
= 24,30 mL
 selisih volume titrasi Na Thiosulfat 0,1 N antara blanko dan sampel
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= ( b-a) x 0,1
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= Vol Blangko – Vol Sampel x 0,1
0,0965
= 26,25 – 24,30 x 0,1

= 1,88 mL

 Simpangan Atas dan Bawah


Selisih V Na2S2O3 selisih mg glukosa selisih
1 2,4
0,88
1 1,88 ? 2,4
0,12 4,8
2
 Bawah
0,12
= 4,8 – [{ 𝑥 2,4}]
1

= 4,8 – 0,29
= 4,51 mg glukosa
 Atas
0,88
= 2,4 + [{ 𝑥 2,4}]
1

= 2,4 + 2,11
= 4,51 mg glukosa
 Kadar gula invert sebelum inversi sebagai glukosa (X) :
Faktor Pengenceran

1 250 ml 25,0

100 ml 25,0

100 250
P= x
25 25

= 4 x 10
= 40 X
Maka :
𝐹1 𝑥 𝑃1
= x100%
𝐵 𝑥 1000
4,51 𝑥 40
= 0,910 𝑥 1000 x100%
180,4
= x100%
910

= 19,82 %
b) Penetapan Kadar Gula sesudah Inversi
 Volume titrasi blangko :
1. 26,20 mL
2. 26,30 mL

Rata-rata = 26,25 mL

 Berat Syrup = 0,910 gram


 Volume titrasi sampel sesudah inversi :
= 24,50 mL
 selisih volume titrasi Na Thiosulfat 0,1 N antara blanko dan sampel
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= ( b-a) x 0,1
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= Vol Blangko – Vol Sampel x 0,1
0,0965
= 26,25 – 24,50 x 0,1

= 1,69 mL

 Simpangan Atas dan Bawah


Selisih V Na2S2O3 selisih mg glukosa selisih
1 2,4
0,69
?
1 1,69 2,4
0,31 4,8
2
 Bawah
0,31
= 4,8 – [{ 𝑥 2,4}]
1

= 4,8 – 0,744
= 4,056 mg glukosa
 Atas
0,69
= 2,4 + [{ 𝑥 2,4}]
1

= 2,4 + 1,656
= 4,056 mg glukosa
 Kadar gula invert sesudah inversi sebagai glukosa (X) :
Faktor Pengenceran

1 250 ml 25,0 100 ml

25,0 100 25,0

100 100 250


P= x x
25 25 25

= 4 x 4 x10
= 160 x
Maka :
𝐹1 𝑥 𝑃1
= x100%
𝐵 𝑥 1000
4,056 𝑥 160
= 0,910 𝑥 1000 x100%
648,96
= x100%
910

= 71,31 %
c) Kadar Sukrosa
= IY- X I x 0,95%
= I71,31- 19,82 I x 0,95%
= I 91,11 I x 0,95%
= I 86,5 I
d) Kadar gula jumlah sebagai Sukrosa
= Kadar gula sesudah inversi x 0,95 %
= 71,31 x 0,95 %
= 67,74 %

6.3 Sampel 2
a) Penetapan Kadar Gula sebelum Inversi
 Volume titrasi blangko :
1. 26,20 mL
2. 26,30 mL

Rata-rata = 26,25 mL

 Berat Syrup = 1,870 gram


 Volume titrasi sampel sebelum inversi :
= 24,50 mL
 Selisih volume titrasi Na Thiosulfat 0,1 N antara blanko dan sampel
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= ( b-a) x 0,1
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= Vol Blangko – Vol Sampel x
0,1
0,0965
= 26,25 – 24,50 x 0,1

= 1,69 mL
 Simpangan Atas dan Bawah

Selisih V Na2S2O3 selisih mg glukosa selisih


1 2,4
0,69
?
1 1,69 2,4
0,31 4,8
2
 Bawah
0,31
= 4,8 – [{ 𝑥 2,4}]
1

= 4,8 – 0,74
= 4,06 mg glukosa
 Atas
0,69
= 2,4 + [{ 𝑥 2,4}]
1

= 2,4 + 1,66
= 4,06 mg glukosa
 Kadar gula invert sebelum inversi sebagai glukosa (X) :
Faktor Pengenceran
1,5 250 ml 25,0

100 ml 25,0

100 250
P= x
25 25

= 4 x 10
= 40 X
Maka :
𝐹1 𝑥 𝑃1
= x100%
𝐵 𝑥 1000
4,06 𝑥 40
= 1,870 𝑥 1000 x100%
162,4
= x100%
1870

= 8,68 %
b) Penetapan Kadar Gula sesudah Inversi
 Volume titrasi blangko :
1. 26,20 mL
2. 26,30 mL

Rata-rata = 26,25 mL

 Berat Syrup = 1,870 gram


 Volume titrasi sampel sesudah inversi :
= 25,50 mL
 selisih volume titrasi Na Thiosulfat 0,1 N antara blanko dan sampel
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= ( b-a) x 0,1
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= Vol Blangko – Vol Sampel x 0,1
0,0965
= 26,25 – 25,50 x 0,1
= 1,65 mL

 Simpangan Atas dan Bawah


Selisih V Na2S2O3 selisih mg glukosa selisih
1 2,4
0,65
?
1 1,65 2,4
0,35 4,8
2
 Bawah
0,35
= 4,8 – [{ 1
𝑥 2,4}]

= 4,8 – 0,84
= 3,96 mg glukosa
 Atas
0,65
= 2,4 + [{ 𝑥 2,4}]
1

= 2,4 + 1,56
= 3,96 mg glukosa
 Kadar gula invert sesudah inversi sebagai glukosa (X) :
Faktor Pengenceran

1,5 250 ml 25,0 100 ml

25,0 100 25,0

100 100 250


P= x x
25 25 25

= 4 x 4 x10
= 160 x
Maka :
𝐹2 𝑥 𝑃2
= x100%
𝐵 𝑥 1000
3,96𝑥 160
= 1,870 𝑥 1000 x100%
633,6
= x100%
1870

= 33,88%
c) Kadar Sukrosa
= IY- X I x 0,95%
= I 33,88- 8,68 I x 0,95%
= I 25,2 I x 0,95%
= I 23,94 I
d) Kadar gula jumlah sebagai Sukrosa
= Kadar gula sesudah inversi x 0,95 %
= 33,88 x 0,95 %
= 32,186 %
VII. Pembahasan
Praktikum dilaksanakan pada hari Jumat, 16 April 2021 di Laboratorium
Kimia Analisis dengan judul praktikum Penetapan Kadar Gula Dalam Sirup. Tujuan
dari praktikum ini adalah mempraktikan penentuan kadar Gula dalam sirup
menggunakan metode titrasi Yodometri, menghitung standarisasi Na2S2O3 dan
menghitung kadar Gula dalam sirup. Titrasi iodometri adalah suatu proses tidak
langsung yang melibatkan iod, ion iodida berlebih ditambahkan kedalam suatu reagen
pengoksidasi, yang membebaskan iod dan kemudian dititrasi dengan Na2S2O3
(natrium tiosulfat). Titrasi iodometri merupakan titrasi redoks. Banyaknya volume
natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan
sebagai titrat dan setara dengan banyaknya sampel (Ibnu Ghalib Gandjar, 2008).
Percobaan penetapan kadar KIO3 diawali dengan mekalukan standarisasi
Na2S2O3 dengan menggunakan metode titrasi iodometri, dimana iodometri itu sendiri
yaitu iodat yang berada dalam garam direaksikan dengan KI dalam suasana asam
sehingga akan dihasilkan I2. I2 yang terbentuk dititrasi dengan Na2S2O3
menggunakan indikator amylum. Sehingga rumus persamaannya sebagai berikut:

IO32-+ 6 H++ 5 I-3 I2+ 3 H2O


I2+ 2 S2O32 I-+ S4O62-
Praktikum diawali dengan melakukanstandarisasi Na2S2O3. Dipipet 10,0 mL
larutan standar KIO3 dan masukkan dalam stop erlenmeyer. Menggunakan larutan
KIO3 sebagai larutan standar atau larutan baku primer karena sudah diketahui
konsentrasinya dan sifat-sifatnya sesuai dengan syarat larutan baku primer yaitu tidak
higrokopis (stabil terhadap udara) dan kemurniannya yang baik. Tambahkan 5mL KI
5% dan 5 mL H2SO4 2N ke dalam stop erlenmeyer. KI sangat bersifat higrokopis oleh
karena itu setelah penimbangan padatan KI harus ditutup dengan plastik karena
berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi udara dapat menyebabkan
banyak kesalahan untuk analisis selanjutnya. Fungsi penambahan kalium iodida akan
membantu melarutkan iodin karena pada kondisi normal iodium agak sukar larut pada
akuades (pelarut). Selan itu penambahan kalium iodida akan menyebabkanlarutan
menjadi berwarna kuning (indikator internal) jika terdapat iodin. Iodin yang terbentuk
akan bereaksi dengan natrium tiosulfat (larutan standar).Fungsi penambahan
H2SO4dalam larutan tersebut adalah memberikan suasana asam (ph<8,0)>8,0karena
larutan yang terdiri dari kalium iodat dan kalium iodida berada dalam kondisi netral
atau memiliki keasaman rendah. Reaksinya adalah sebagai berikut:
IO3-+ 5I-+ 6H+ 3I2 + 3H2O
Kemudian titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai terjadi warna kuning
muda (kocok pelan-pelan,titran cepat). Larutan Na2S2O3 0,1 N perlu distandarisasikan
karena sifatnya belum stabil dalam waktu yang lama dan larutan Na2S2O3 0,1 N
bersifat reduktor didalam air dengan adanya CO2 sehingga endapan koloid yang dapat
membuat larutan keruh. Proses titrasi harus cepat dilakukan karena KI dalam larutan
masih bisa menguap yang dapat mengakibatkan warna TAT akan hilang sebelum
waktu TAT. Warna awal larutan yaitu cokelat menuju jingga dan setelah dititrasi
menjadi warna kuning muda. Pada kondisi ini kemudian ditambahkan dengan
indikator amylum 1%. Indikator amylum digunakan karena rentan warna biru-tua yang
dapat mempermudah pengamatan perubahan pada titik akhit titrasi, selain itu
kompleks antara iodium dan amilum memiliki kelarutan yang sangat kecil dalam air
bahkan dalam larutan asam iodida mudah untuk dioksidasikan menjadi iod bebas
dengan sejumlah zat pengoksid, sehingga iod bebas ini mudah diidentifikasi dengan
larutan indikator sebagai uji kepekaan terhadap iod dari pewarnaan biru-tua yang
dihasilkan oleh indikator amilum. Indikator amilum ditambahkan pada saat akan
menjelang titik akhir agar amilum tidak mengikat Iodida yang dapat menyebabkan
sulit untuk lepas kembali sehingga warna biru tepat hilang sehingga dapat menganggu
pengamatan perubahan warna pada titik akhir yaitu larutan yang tak berwarna.
Perubahan warna tersebut terjadi dari warna biru karena masih ada I2 menjadi biru
dengan amilum menjadi larutan tidak berwarna pada penambahan 1 tetes larutan
Na2S2O3 yang menandakan bahwa semua I2 yang dihasilkan pada reaksi telah habis
semua setelah dititrasi oleh larutan Na2S2O3. Catat volume Na2S2O3 yang dibutuhkan
ketika titrasi.Pada percobaan ini Na2S2O3 yang sudah distandarisasi diperoleh data
konsentrasi sebanyak 0,0965 N.
Setelah melakukan standarisasi Na2S2O3 selanjutnya adalah melakukan
penetapan kadar gula sebelum inversi. Pada praktikum ini menggunakan sampel syrup
dengan merk ABC Squash Delight karena didalam syrup mengandung gula sehingga
dapat dihitung untuk kadar gula yang terkandung dalam syrup. Gula merupakan
karbohidrat sehingga dapat ditentukan dengan metode Luff Schoorl adalah suatu
metode atau cara penentuan monosakarida dengan cara kimiawi. Gula dalam sampel
direaksikan dengan larutan luff schoorl berlebih. Kelebihan luff dititrasi dengan
larutan baku Na tiosulfat. Pada metode ini, yang ditentukan bukan kuprooksida yang
mengendap tetapi dengan menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan
dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan gula reduksi
(titrasi sampel). Selisih titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan
kuprooksida yang terbentuk danjuga ekuivalen dengan jumlah gula reduksi yang ada
dalam bahan.
Pada penetapan kadar gula sebelum inversi dengan menggunakan 25 mL
larutan B yang ditambahkan dengan 25 mL larutan Luff Schoorl kemudian Larutan di
panaskan sampai mendidih kemudian dari larutan mendidih ditunggu selama 10 menit
tujuannya untuk mempercepat proses dalam larutan dan agarproses pemanasan
diusahakan larutan mendidih, hal ini dimaksudkan agar proses reduksi berjalan
sempurna, dan Cu dapat tereduksi. Larutan kemudian ditambahkan ditambahkan
larutan asam sulfat 6N sebanyak 25 mL dan larutan KI 30% 10 mL. penambahan
larutan KI ini bertujuan untuk membebaskan iodin yang ditandai dengan terbentuknya
warna kuning pada sampel. Sedangkan penambahan larutan asam sulfat ini bertujuan
untuk mengikan ion tembaga yang terbentuk dari hasil reduksi monosakarida dengan
pereaksi Luff Schoorl sehingga larutan KI yang sudah ditambahkan akan bereaksi
dengan tembaga sulfat membentuk buih coklat kehitaman. Larutan kemudian dititrasi
dengan larutan tiosulfat dan saat larutan sudah berubah warna menjadi kuning coklat,
ditambahkan amilum 1% sebanyak 2 mL. Amilum dipergunakan sebagai indicator.
Penambahan indicator amilum ini dilakukan setelah campuran mendekati titik akhir,
hal ini dilakukan karena apabila dilakukan pada awal titrasi maka amilum dapat
membungkus iod dan mengakibatkan warna titik akhir menjadi tidak terlihat tajam.
Keberhasilan dari titrasi ditunjukkan dengan terbentuknya warna putih agak
sedikit keruh. Hasil mL titrasi ini ditunjukkan sebagai hasil kadar gula pereduksi
sebelum inversi. Pada penetapan kadar gula setelah inversi dengan menggunakan 25
mL larutan C yang ditambahkan dengan 25 mL larutan Luff Schoorl. Untuk
prosedurnya sama dengan penetapan kadar gula sebelum inversi. Kemudian hasil mL
titrasi ini ditunjukkan sebagai hasil kadar gula pereduksi sesudah inversi.
Dalam praktikum ini, Kadar sebelum inversi pada sampel 1 sebesar 19,89%
kadar sukrosa dan setelah inversi menjadi 71,31 %. Kadar gula jumlahnya sebesar
67,74%. Untuk Sampel 2, kadar sebelum inversi sebesar 8,68% dan sesudah inversi
sebesar 33,88%. Kadar gula jumlahnya sebesar 32,186%. Sampel 1 menggunakan
sampel sirup sebesar 0,910 gram dan untuk sampel 2 sebesar 1,870 gram. Secara teori,
seharusnya untuk hasil kadarnya tidak terlalu jauh walaupun berat yang ditimbang
berbeda hal ini disebabkan karena kedua sampel menggunakan sampel sirup yang
sama. Jika dilihat dari data titrasi pada tabel pemangamatan, hasil titrasi kedua sampel
hampir sama saat sebelum inversi, sedangkan pada saat sesudah inversi hanya sampel
2 yang naik sekitar 1 mL dari perlakuan sebelumnya. Dari hal tersebut dapat
disimpulkan bahwasannya ada kemungkinan terjadinya beberapa kesalahan dalam
praktikum ini. Kesalahan yang dapat terjadi antara lain:
1. Terjadinya salah penimbangan
Data yang dicatat dengan rill nya berbeda sehingga perhitungan yang
dihasilkan akhirnya ikut berubah.
2. Kesalahan pada saat titrasi,
Terdapat kemungkinan bahwa titrasi yang dilakukan kelebihan atau
kekurangan.
3. Human Error
Kesalahan yang dilakukan oleh tim peneliti

VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat di ambilkesimpulanbahwa:
1. Standarisasi larutan Na2S2O3dilakukan dengan metode titrasi Yodometri, larutan
standar primer yang digunakan adalah KIO3 0,10 N
2. Kadar Gula sebelum inversi sampel 1 sebesar 19,89%, sesudah inversi sebesar
71,31% dan Kadar gula jumlah sebesar 67,74%
3. Kadar gula sebelum inversi sampel 2 sebesar 8,68%, sesudah inversi sebesar
33,88% dan kadar gula jumlah sebesar 32,186%
4. Terdapat beberapa indikasi adanya kesalahan karena ada beberapa data yang
menunjukkan adanya kejanggalan.
Daftar Pustaka

Anonim. 2012. Analisa Kuantitatif Karbohidrat Metode Luff Schoorl.


http://foodandsnack.wordpress.com/2012/01/08/analisa-kuantitatif-karbohidrat-metode-
luff-schoorl/. Diakses pada 20 April 2021

Anonim. 2012. Analisa Karbohidrat. http://unhyongol.blogspot.com/2012/05/laporan-hasil-


praktikum-analisa.html. Diakses pada 20 April 2021

Chica. 2010. Analisis Kadar Karbohidrat. http://www.scribd.com/doc/31590543/Karbohidrat.


Diakses pada 20 April 2021.

Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Yasmin. 2010. Penetapan Karbohidrat Metode LuffSchoorl.


http://bluishcaramelpillow.blogspot.com/2010/07/penetapan-karbohidrat-metode-luff.html.
Diakses pada 20 April 2021
Lampiran

Gambar Keterangan

Standarisasi Na Thio
Pemanasan Blanko

Larutan B

Larutan C
Penetapan Kadar Sebelum Inversi

Penetapan Kadar Setelah Inversi

Anda mungkin juga menyukai