Kelompok 1 - Laprak KIBP
Kelompok 1 - Laprak KIBP
Kelompok 1 - Laprak KIBP
Disusunoleh :
1.1 Mahasiswa dapat mempraktikan penentuan bilangan asam menggunakan metode titrasi
alkalimetri.
1.2 Mahasiswa dapat menghitung kadar bilangan asam pada minyak.
1.3 Mahasiswa dapat mengetahui kadar asam lemak pada minyak.
1. Beaker Glass
2. Corong
4. Erlenmeyer
5. Pipet Tetes
Neraca Analitik
6.
Kaca Arloji
7.
BatangPengaduk
8.
Pipet volume 10,0 ml
9.
3.2 Bahan
1. Asam Oksalat
2. NaOH
3. Indikator PP
4. MinyakGoreng
5. Dietileter
6. Etanol 95%
7. Akuades
IV. Prosedur
4.1 Standarisasi larutan NaOH
+ 2 tetes indikator PP 1%
V. Analisis Data
5.1 Standarisasi larutan NaOH
Volume Titrasi 1 Titrasi 2
Larutan asam oksalat 10,0 ml 10,0 ml
VI. Perhitungan
6.1 Standarisasi NaOH
Diketahui: Titrasi 1 = 9,80 ml
Titrasi 2 = 9,90 ml
N1 = 0,10 N
V1 = 10,00 ml
Ditanya: N NaOH?
Penyelesaian:
a. Titrasi 9,80 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 10,00= N2 X 9,80
N2 = 0,1020 N
b. Titrasi 9,90 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 10,00= N2 X 9,90
N2 = 0,1010 N
0,1020 +0,1010
̅=
𝒙
2
= 0,1015 N
= 0,527 mgKOH/g
Sampel B
𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻
𝑉𝑥 𝑥 5,61
0,1
Kadar bilangan asam = 𝐵
0,1015
0,70 𝑥 𝑥 5,61
0,1
= 5,42
= 0,735 mgKOH/g
VII. Pembahasan
Praktikum kali ini akan membahas mengenai penentuan bilangan asam pada sampel
minyak murni. Metode yang digunakan dalam penentuan ini adalah metode Alkalimetri.
Prinsip penentuan bilangan asam adalah penentuan jumlah asam bebas yang dihitung berdasar
bobot molekul asam lemak atau campuran asam lemak. Bilangan asam dinyatakan sebagai
jumlah miligram KOH 0,1 N yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas yang
terdapat dalam 1 gram minyak.
Dalam pelaksanaannya, sampel minyak murni ditambahkan campuran etanol dan dietil
eter yang sudah dinetralkan dengan NaOH, penetralan ini dilakukan karena campuran tersebut
belum tentu dalam keadaan netral, maka dari itu harus dinetralkan dengan NaOH dengan
indikator PP yang nantinya dapat dikatakan netral ketika sudah berubah menjadi merah muda.
Penambahan campuran itu adalah sebagai pelarut asam lemak yang terkandung dalam minyak
murni, sehingga asam lemak dapat terlarut sempurna dan akan mudah bereaksi dengan
senyawa NaOH sebagai titran dengan indikator PP. TAT terjadi ketika larutan sampel menjadi
berwarna merah muda dan tidak berubah setelah ditunggu 30 detik.
Praktikum penentuan bilangan asam ini menggunakan dua sampel minyak murni.
Sampel 1 menggunakan minyak murni sebesar 5,4007 gram dan sampel 2 sebesar 5,42 gram.
Sampel dititrasi menggunakan NaOH 0,1015 N yang sudah terstandarisasi menggunakan
Asam Oksalat 0,10 N dengan Indikator PP sesuai kaidah titrasi Alkalimetri. Indikator yang
digunakan dalam praktikum ini adalah PP. Indikator tersebut akan bereaksi ketika pH sudah
menjadi basa dan membentuk larutan berwarna merah muda. TAT pada praktikum ini tercapai
ketika terbentuk warna merah muda pada sampel.
Dari praktikum ini dihasilkan bilangan peroksida pada sampel 1 sebesar 0,527
mgKOH/gram dan Sampel 2 sebesar 0,735 mgKOH/gram. Hasil rata rata yang didapatkan
sebesar 0,631 mgKOH/gram.
Menurut tabel tersebut menunjukan bahwa minyak murni yang dijadikan sampel sudah
melebihi dari batas maksimal kandungan bilangan asam pada minyak goreng berdasarkan
standar mutu minyak goreng. (Badan Standardisasi Nasional, 2013)
VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat di ambil kesimpulan bahwa:
1. Sampel minyak jelantah mengandung 0,631 mgKOH/gram atau dalam 1 gram minyak
murni mengandung 0,631 mg KOH.
2. Kandungan bilangan asam sampel sudah mencapai batas maksimal standar mutu yang
sudah ditetapkan oleh pemerintah yaitu 0,6 mgKOH/gram.
DaftarPustaka
Agoes, G. 2008. Pengembangan Kesediaan Farmasi Edisi Devisi dan Perluasan. Bandung: ITB
Badan Standardisasi Nasional. (2013). Minyak Goreng. Sni 3741 : 2013, 1–23.
https://www.academia.edu/4506592/21744_SNI_3741_2013_minyak_goreng_web
Buckle, K. A. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Katare, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan Cetakan Pertama. Jakatra: IU
Press
Sudarmadji, S. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty
Sudarmadji, S., dkk. 1996. Prosedut Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta:
Liberty
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lampiran
Gambar Keterangan
Titrasi Standarisasi NaOH
Disusun oleh :
B. Bilangan Peroksida
Bilangan proksida adalah indeks jumlah lemak atau minyak yang telah
mengalami oksidasi. Angka peroksida sangat penting untuk identifikasi tingkat oksidasi
minyak. Minyak yang mengandung asam-asam lemak tidak jenuh dapat teroksidasi oleh
oksigen yang menghasilkan suatu senyawa peroksida. Cara yang sering digunakan untuk
menentukan angka perosida adalah dengan metoda titrasi iodometri. Penentuan besarnya
angka peroksida dilakukan denga titrasi iodometri.
Salah satu parameter penurunan mutu minyak goreng adalah bilangan peroksida.
Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar peroksida dan
hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak. Bilangan
peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi,
namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi
yang masih dini.
Angka peroksida rendah bias disebabkan laju pembentukkan peroksida rendah
bias disebabkan laju pembentukkan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju
degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami
degradasi dan bereaksi dengan zat lain. Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi secara
spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan kecepatan
proses oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan kondisi penyimpanan.
Minyak curah terdistribusi tanpa kemasan, paparan oksigen dan cahaya pada
minyak curah lebih besar disbanding dengan minyak kemasan. Paparan oksigen, cahaya,
dan suhu tinggi merupakan beberapa factor yang mempengaruhi oksidasi. Penggunaan
suhu tinggi selama penggorengan memacu terjadinya oksidasi minyak. Kecepatan
oksidasi lemak akan bertambah dengan kenaikan suhu dan berkurang pada suhu rendah.
Peroksida terbentuk pada tahap inisiasi oksidasi, pada tahap ini hidrogen diambil
dari senyawa oleofin menghasilkan radikal bebas. Keberadaan cahaya dan logam
berperan dalam proses pengambilan hidrogen tersebut. Radikal bebas yang terbentuk
bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi, selanjutnya dapat mengambil
hidrogen dari molekul tak jenuh lain menghasilkan peroksida dan radikal bebas yang
baru.
Peroksida dapat mempercepat proses timbulnya bau tengik dan flavor yang tidak
dikehendaki dalam bahan pangan. Jika jumlah peroksida lebih dari 100 meq peroksid/kg
minyak akan bersifat sangat beracun dan mempunyai bau yang tidak enak. Kenaikan
bilangan peroksida merupakan indicator bahwa minyak akan berbau tengik.
III. Alat dan Bahan
3.1 Alat
1. Beaker Glass
2. Corong
4. Stop Erlenmeyer
5. Pipet Tetes
Neraca Analitik
6.
Kaca Arloji
7.
Batang Pengaduk
8.
Pipet volume 10,0 ml
9.
3.2 Bahan
No Gambar Nama
1. Na2S2O3
2. CHCl3
3. CH3COOH
KI
4.
5. KIO3
6. Minyak Jelantah
7. Amylum
IV. Langkah Kerja
4.1 StandarisasiNa2S2O3
4.2 Pembutan KI
V. Data Pengamatan
5.1 Standarisasi Na2S2O3
Volume Titrasi 1 Titrasi 2
Larutan KIO3 10,0 ml 10,0 ml
VI. Perhitungan
6.1 Standarisasi Na2S2O3
Diketahui: Titrasi 1 = 19,50 ml
Titrasi 2 = 20,00 ml
N1 = 0,10 N
V1 = 2 ml
Ditanya: N Na2S2O3?
Penyelesaian:
a. Titrasi 19,50 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 2= N2 X 19,50
N2 = 0,0103 N
b. Titrasi 20,00 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 2= N2 X 20,00
N2 = 0,0100 N
0,0103 +0,0100
̅=
𝒙
2
= 0,01015 N
= 0,584 mg O2 / 100gram
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
𝑉𝑥 𝑥 0,008 𝑥 100
Sampel B = 0,01
𝐵
0,01015
3,40 𝑥 𝑥 0,008 𝑥 100
0,01
= 4,808
= 0,574 mg O2 / 100gram
VII. Pembahasan
Praktikum kali ini akan membahas mengenai penentuan bilangan peroksida pada
sampel minyak jelantah. Metode yang digunakan dalam penentuan ini adalah metode
iodometri. Prinsip penentuan bilangan peroksida adalah menentukan banyaknya/jumlah
volume natrium thiosulfate yang tepat bereaksi dengan gas Iodium yang terlepas akibat
reaksi antara senyawa peroksida dengan KI jenuh dalam suasana asam, yang mana
jumlah iodium yang terlepas equivalen dengan jumlah senyawa peroksida yang terdapat
pada minyak jelantah.
Dalam pelaksanaannya, sampel minyak jelantah ditambahkan campuran asam
asetat dan Kloroform dengan perbandingan 3:2. Penambahan campuran itu adalah
sebagai pembuat suasana asam dan juga sebagai pelarut asam lemak yang terkandung
dalam minyak jelantah, sehingga KI jenuh akan mudah bereaksi dengan senyawa
peroksida yang terdapat pada sampel minyak jelantah. Setelah penambahan KI jenuh
harus didiamkan selama 30 menit dalam tempat gelap dengan tujuan agar lebih banyak
gas iod yang dilepaskan sampel dan juga tidak terpengaruh oleh cahaya matahari. Setelah
didiamkan tambahkan aquadest pada sampel, penambahan ini ditujukan agar KI jenuh
yang ditambahkan dapat terlarut sempurna, sehingga hasil dari penentuan bilangan
peroksidanya menjadi lebih tepat.
Praktikum penentuan bilangan peroksida ini menggunakan dua sampel minyak
jelantah. Sampel 1 menggunakan minyak jelantah sebesar 5,14 gram dan sampel 2
sebesar 4,808 gram. Sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,01015 N yang sudah
terstandarisasi. Indikator yang digunakan dalam praktikum ini adalah amylum 1%.
Indikator tersebut akan bereaksi dengan gas I2 dan membentuk larutan berwarna biru.
TAT pada praktikum ini tercapai ketika warna biru tepat hilang. Teknik titrasi yang
digunakan juga sedikit berbeda yaitu pada awal dititrasi dilakukan dengan dikucurkan
secara deras dengan penggojokkan yang pelan hingga warna sampel berubah menjadi
kuning muda. Hal ini dilakukan agar gas I2 tidak banyak terbuang ke udara. Setelah
warna berubah kuning muda langsung ditambahkan amylum 1% hingga berubah warna
menjadi biru, kemudian lanjutkan titrasi dengan tetes demi tetes dengan penggojokkan
cepat. Hal ini bertujuan agar ikatan yang kuat antara I2 dan Amylum dapat terpisah dan
segera tercapai TAT.
Dari praktikum ini dihasilkan bilangan peroksida pada sampel 1 sebesar 0,584 mg
O2 / 100 gram dan Sampel 2 sebesar 0,574 mg O2 /100 gram. Hasil rata rata yang
didapatkan sebesar 0,579 mgO2/100 gram atau sama dengan 5,790 mgO/KG.
VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat di ambil kesimpulan bahwa:
1. Sampel minyak jelantah mengandung 0,579 mgO2/100 gram atau dalam 100 gram
minyak jelantah mengandung 0,579 mgO.
2. Kandungan bilangan peroksida sampel sudah mencapai setengah dari batas
standar mutu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Daftar Pustaka
ASA. 2000. Feed Quality Management Workshop. Penentuan Bilangan Peroksida. Cawi.
Boskou, D., Salta, FN, Chiou, A., Troullidou, E., and Adrikopoulos, NK. 2006. Conten of trans,
trans-2,4 decadienal in deep-friend and pan-friend. Journal Lipid Science Technology
108: 109-15.
Chatzilazarou, A., Gartzi O., Lalas, S., Zoidis, E., and Tsaknis, J. 2006. Physicochemical
Changes Of Olive Oil and Selected Vegetabel Oil During Frying. Journal Food Lipid 13:
27-35.
Galeone, C., Talamini R., Levi F., Pelucchi C., Negri E., Glacosa A., Montnella M., Fransceschi
S., and Vecchic. 2006. Fried Foods Olive Oil and Colorectal Cancer. Eur Soc Med Onc
13: 689-92.
Badan Standardisasi Nasional. (2013). Minyak Goreng. Sni 3741 : 2013, 1–23.
https://www.academia.edu/4506592/21744_SNI_3741_2013_minyak_goreng_web
Lampiran
Gambar Keterangan
Sebelum standarisasi
Na2S2O3
Standarisasi Na2S2O3
Disusunoleh :
1. Beaker Glass
2. Corong
5. Pipet Tetes
6. Neraca Analitik
7. Kaca Arloji
8. Batang Pengaduk
9. Labuukur
10. Gelasukur
3. Amilum
4. KIO3
5. KI
6. H2SO3
8. Garam
9. Akuades
IV. Langkah Kerja
4.1 Standarisasi Na2S2O3
VI. Perhitungan
6.1 Standarisasi Na2S2O3
Diketahui: Titrasi 1 = 11,10 ml
Titrasi 2 = 10,90 ml
N1 = 0,005N
V1 = 10,00 ml
Ditanya: N Na2S2O3?
Penyelesaian:
a. Titrasi 11,10 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,005 X 10,00= N2 X 11,10
N2 = 0,0045 N
b. Titrasi 10,90 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,005 X 10,00= N2 X 10,90
N2 = 0,0046 N
0,0045 +0,0046
̅=
𝒙
2
= 0,00455 N
𝑉 𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
Kadar KIO3= × 0,1784 × × 1000
𝐵 0,005
7,00 0,00455
= × 0,1784 × × 1000
25,009 0,005
= 45,438 ppm
Sampel B
𝑉 𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
Kadar KIO3= × 0,1784 × × 1000
𝐵 0,005
7,50 0,00455
= × 0,1784 × × 1000
25,343 0,005
= 48,044ppm
45,438 + 48,044
Jadi, kadar KIO3 =
2
= 46,741 ppm
VII. Pembahasan
Praktikum dilaksanakan pada hari Selasa, 6 April 2021 di Laboratorium Kimia Analisis
dengan judul praktikum Penetapan Kadar KIO3 dalam Garam Beryodium menggunakan
Metode Titrasi Iodometri. Tujuan dari praktikum ini adalah memahami proses penetapan
kadar KIO3 dalam garam beryodium menggunakan metode titrasi iodometri, menghitung
kadar KIO3 dalam garam beryodium.Titrasi iodometri adalah suatu proses tidak langsung
yang melibatkan iod, ioniodida berlebih ditambahkan kedalam suatu reagen pengoksidasi,
yang membebaskan iod dan kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 (natrium tiosulfat). Titrasi
iodometri merupakan titrasi redoks. Banyaknya volume natrium tiosulfatyang digunakan
sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan sebagai titratdan setara dengan
banyaknya sampel (Ibnu Ghalib Gandjar, 2008).
Percobaan penetapan kadar KIO3 dalam garam beryodium pada praktikum kali ini
yaitu menggunakan sampel garam merk refina. Percobaan ini dilakukan dengan metode titrasi
iodometri, dimana iodometri itu sendiri yaitu iodat yang berada dalam garam direaksikan
dengan KI dalam suasana asam sehingga akan dihasilkan I2. I2 yang terbentuk dititrasi
dengan Na2S2O3 menggunakan indikator amylum. Sehingga rumus persamaannya sebagai
berikut:
IO32-+ 6 H++ 5 I- 3 I2+ 3 H2O
I2+ 2 S2O3 2 I-+ S4O62-
Praktikum diawali dengan melakukan standarisasi Na2S2O3. Dipipet 10,0 mL larutan
standar KIO3 dan masukkan dalam stop erlenmeyer. Menggunakan larutan KIO3 sebagai
larutan standar atau larutan baku primer karena sudah diketahui konsentrasinya dan sifat-
sifatnya sesuai dengan syarat larutan baku primer yaitu tidak higrokopis (stabil terhadap
udara) dan kemurniannya yang baik. Tambahkan 5mL KI 5 % dan 5 mL H2SO4 2N ke dalam
stop erlenmeyer. KI sangat bersifat higrokopis oleh karena itu setelah penimbangan padatan
KI harus ditutup dengan plastik karena berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi
udara dapat menyebabkan banyak kesalahan untuk analisis selanjutnya. Fungsi penambahan
kalium iodida akan membantu melarutkan iodin karena pada kondisi normal iodium agak
sukar larut pada akuades (pelarut). Selan itu penambahan kalium iodida akan menyebabkan
larutan menjadi berwarna kuning (indikator internal) jika terdapat iodin. Iodin yang terbentuk
akan bereaksi dengan natrium tiosulfat (larutan standar). Fungsi penambahan H2SO4 dalam
larutan tersebut adalah memberikan suasana asam (ph<8,0)>8,0karena larutan yang terdiri
dari kalium iodat dan kalium iodida berada dalam kondisi netral atau memiliki keasaman
rendah. Reaksinya adalah sebagai berikut:
IO3-+ 5I-+ 6H+ 3I2 + 3H2O
Kemudian titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai terjadi warna kuning muda
(kocok pelan-pelan, titran cepat). Larutan Na2S2O3 0,1 N perlu distandarisasikan karena
sifatnya belum stabil dalam waktu yang lama dan larutan Na2S2O3 0,1 N bersifat reduktor
didalam air dengan adanya CO2 sehingga endapan koloid yang dapat membuat larutan keruh.
Proses titrasi harus cepat dilakukan karena KI dalam larutan masih bisa menguap yang dapat
mengakibatkan warna TAT akan hilang sebelum waktu TAT. Warna awal larutan yaitu
cokelat menuju jingga dan setelah dititrasi menjadi warna kuning muda. Pada kondisi ini
kemudian ditambahkan dengan indikator amylum 1%. Indikator amylum digunakan karena
rentan warna biru-tua yang dapat mempermudah pengamatan perubahan pada titik akhit
titrasi, selain itu kompleks antara iodium dan amilum memiliki kelarutan yang sangat kecil
dalam air bahkan dalam larutan asam iodida mudah untuk dioksidasikan menjadi iod bebas
dengan sejumlah zat pengoksid, sehingga iod bebas ini mudah diidentifikasi dengan larutan
indikator sebagai uji kepekaan terhadap iod dari pewarnaan biru-tua yang dihasilkan oleh
indikator amilum. Indikator amilum ditambahkan pada saat akan menjelang titik akhir agar
amilum tidak mengikat Iodida yang dapat menyebabkan sulit untuk lepas kembali sehingga
warna biru tepat hilang sehingga dapat menganggu pengamatan perubahan warna pada titik
akhir yaitu larutan yang tak berwarna. Perubahan warna tersebut terjadi dari warna biru
karena masih ada I2 menjadi biru dengan amilum menjadi larutan tidak berwarna pada
penambahan 1 tetes larutan Na2S2O3 yang menandakan bahwa semua I2 yang dihasilkan pada
reaksi telah habis semua setelah dititrasi oleh larutan Na2S2O3. Catat volume Na2S2O3 yang
dibutuhkan ketika titrasi.Pada percobaan iniNa2S2O3 yang sudah distandarisasi diperoleh data
konsentrasi sebanyak 0,00455 N
Sampel yang digunakan yaitu garam beryodium merk refina yang biasa digunakan
sehari-hari.Garam beriodium yang dijual di pasar modern semuanya mengandung iodium 30
ppm atau lebih yaitu Refina, Dolpin, Daun, Kapal, Garam Indomaret dan Kapal Layar
Kokrosono. Merk Kapal dan Dolpin produksi PT. Susanti Megah Surabaya mengandung
iodium diatas 80 ppm. Tingginya kadar KIO3 menunjukkan kurangnya quality control dalam
proses iodiasasi garam (Wiwit, 2015).
Praktikum ini dilakukan secara duplo sehingga penimbangan sampel garam
dilakukan sebanyak dua kali dalam praktikum ini sampel A sebanyak 25,009 gram dan
penimbangan sampel B sebanyak 25,343gram. Proses melakukan penimbangan dengan cara
memasukkan garam langsung ke dalam beker ukuran 100 mL yang ikut dimasukkan ke dalam
neraca analitik. Setelah garam ditimbang ditambahkan aquadest sebanyak 100 mL kemudian
aduk hingga garam larut dalam akuaddes. Pindahkan larutan garam ke dalam stop Erlenmeyer
kemudian ditambahkan lagi akuades sebanyak 25 ml dikocok hingga larut. Tambahkan 2 ml
asam fosfat P dan 0,5 g kalium iodida P. Fungsi penambahan asam fosfat P yaitu asam fosfat
P akan membebaskan iodin dari iodat pada sampel garam. KI sangat bersifat higrokopis oleh
karena itu setelah penimbangan padatan kalium iodida harus ditutup dengan plastik karena
berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi udara dapat menyebabkan banyak
kesalahan untuk analisis selanjutnya. Fungsi penambahan kalium iodida berlebih akan
membantu melarutkan iodin karena pada kondisi normal iodium agak sukar larut pada
akuades (pelarut). Selain itu penambahan kalium iodida akan menyebabkan larutan menjadi
berwarna kuning (indikator internal) jika terdapat iodin. Iodin yang terbentuk akanbereaksi
dengan natrium tiosulfat (larutan standar). Jumlah natrium tiosulfat yang digunakan
proporsional terhadap jumlah iodin yang dilepaskan dari garam.
Kemudian titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai terjadi warna kuning muda
(kocok pelan-pelan, titran cepat). Larutan Na2S2O3 0,1 N perlu distandarisasikan karena
sifatnya belum stabil dalam waktu yang lama dan larutan Na2S2O3 0,1 N bersifat reduktor
didalam air dengan adanya CO2 sehingga endapan koloid yang dapat membuat larutan keruh.
Proses titrasi harus cepat dilakukan karena KI dalam larutan masih bisa menguap yang dapat
mengakibatkan warna TAT akan hilang sebelum waktu TAT. Warna awal larutan yaitu
cokelat menuju jingga dan setelah dititrasi menjadi warna kuning muda. Pada kondisi ini
kemudian ditambahkan dengan indikator amylum 1 %. Indikator amylum digunakan karena
rentan warna biru-tua yang dapat mempermudah pengamatan perubahan pada titik akhit
titrasi, selain itu kompleks antara iodium dan amilum memiliki kelarutan yang sangat kecil
dalam air bahkan dalam larutan asam iodida mudah untuk dioksidasikan menjadi iod bebas
dengan sejumlah zat pengoksid, sehingga iod bebas ini mudah diidentifikasi dengan larutan
indikator sebagai uji kepekaan terhadap iod dari pewarnaan biru-tua yang dihasilkan oleh
indikator amilum. Indikator amilum ditambahkan pada saat akan menjelang titik akhir agar
amilum tidak mengikat Iodida yang dapat menyebabkan sulit untuk lepas kembali sehingga
warna biru tepat hilang sehingga dapat menganggu pengamatan perubahan warna pada titik
akhir yaitu larutan yang tak berwarna. Perubahan warna tersebut terjadi dari warna biru
karena masih ada I2 menjadi biru dengan amilum menjadi larutan tidak berwarna pada
penambahan 1 tetes larutan Na2S2O3 yang menandakan bahwa semua I2 yang dihasilkan pada
reaksi telah habis semua setelah dititrasi oleh larutan Na2S2O3. Catat volume Na2S2O3 yang
dibutuhkan ketika titrasi.Volume yang dibutuhkan pada titrasi sampel A sebanyak 7,0 ml,
sedangkan volume yang dibutuhkan pada titrasi sampel B sebanyak 7,5 ml. Setelah melalui
perhitungan di dapat kadar KIO3 sampel A adalah 45,438 ppm sedangkan kadar KIO3 sampel
B adalah 48,044 ppm. Sehingga rata-rata kadar KIO3 sampel garam yang digunakan untuk
praktikum adalah 46,741 ppm. Berdasarkan SNI 01-3556-2000 kandungan kalium
iodatminimal 30-80 ppm (mg KIO3/kg garam). Hasil ini menandakan bahwakandungan garam
sampel tersebut sesuai dengan ketetapan SNI 01-3556-2000.
Perhitungan kadar KIO3bertujuan untuk mengetahui kadar garam yang memiliki
iodium dan dapat memenuhi kebutuhan iodium per hari agar terhindar dari berbagai penyakit
seperti GAKI. Kebutuhan tubuh akan iodium rata-rata mencapai 1-2 mikrogram per kilogram
berat badan per hari. Iodium diperlukan tubuh terutama untuk sintesis hormon tiroksin, yaitu
suatu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid yang sangat dibutuhkan untuk proses
pertumbuhan, perkembangan, dan kecerdasan. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi dalam
waktu lama, kelenjar tiroid akan membesar untuk menangkap iodium, yang lebih banyak dari
darah. Pembesaran kelenjar tiroid tersebutlah yang sehari-hari kita kenal sebagai penyakit
gondok.
Iodium adalah jenis elemen mineral mikro kedua sesudah besi yang dianggap penting
bagi kesehatan manusia walaupun jumlah kebutuhan tidak sebanyak zat-zat gizi lainnya.
Manusia tidak dapat membuat iodium dalam tubuhnya seperti membuat protein atau gula,
tetapi harus mendapatkannya dari luar tubuh (secara alamiah) melalui serapan iodium yang
terkandung dalam makanan serta minuman. Iodium merupakan mineral yang termasuk unsur
gizi esensial walaupun jumlahnya sangat sedikit di dalam tubuh, yaitu hanya 0,00004% dari
berat tubuh atau sekitar 15-23 mg. Itulah sebabnya iodium sering disebut sebagai mineral
mikro atau trace element.
VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukandapat di ambil kesimpulan bahwa:
1. Untuk standarisasi Na2S2O30,1 N dengan larutan standar KIO3 sebanyak 10,0 ml
menggunaan titrasi dengan metode iodometri karena Na2S2O3 dapat dioksidasi oleh KIO3
dengan penambahan 5mL KI 5% dan 5 mL H2SO4 2N titrasi dengan Na2S2O3 0,1 N
sampai terjadi warna kuning muda kemudian ditambah indikator amylum 1 % menjadi
warna, dan titrasi dilanjutkan dengan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru tepat hilang
dengan diperoleh data konsentrasi sebanyak 0,00455 N
2. Larutan Na2S2O3 0,1 N digunakan sebanyak 7,0 ml untuk sampel garam A dan sebanyak
7,5 ml untuk sampel garam B. Titik akhir titrasi terjadi saat larutan titrat kehilangan
warna biru.
3. Penentuan kadar iodium dalam garam dilakukan dengan metode iodometri karena iodium
akan dihasilkan dari reaksi redoks oleh Na2S2O3. Kadar KIO3 garam A adalah 45,438
ppm, dangaram B memiliki kadar KIO3 adalah 48,044 ppm. Sehingga, rata-rata kadar
KIO3 kedua sampel tersebut adalah 46,741 ppm, yang artinya kadar tersebut sesuai
dengan SNI 01-3556-2000 kandungan kalium iodat minimal 30-80 ppm (mgKIO3/kg
garam)
Daftar Pustaka
Akhiruddin, Muhammad. 2011. Analisis Kadar Kalium Iodat (KIO3) dalam Garam Dapur
dengan Menggunakan Metode Iodometri yang Beredar Di Pasar Ujung Batukabupaten
Rokan Hulu. Skripsi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Pekanbaru: UIN Sultan Syarif.
BPOM RI. 2006. Penentuan Kadar Spesi Iodium Dalam Garam Beriodium dan Makanan
Dengan Metode HPLC Pasangan Ion. Jurnal BPOM RI, 7(3).
Depkes RI. 2000. Pedoman Pelaksanaan Pemantauan Garam Beryodium diTingkat Masyarakat.
Departemen Kesehtan RI. Jakarta
Gandjar , Ibnu Ghalib dkk. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Manalu, Lenni. 2007. Pemeriksaan Kadar Kalium Iodat (KIO3) Dalam Garam dan Air Yang
dikonsumsi Masyarakat Garoga kabupaten Tapanuli Utara,Skripsi Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Medan: USU.
Prihatiningsih, Diah & Sherly Novitasari. 2017. Hubungan Kondisi Penyimpanan Terhadap
Kualitas Kadar Iodium Dalam Garam Di Tingkat Penjual Yang Beredar Di Pasar
Tradisional Di Denpasar Utara Tahun 2017. Jurnal Chemistry Laboratory, 4(1).
Widiyatni, Wiwid., dkk. 2016. Ketersediaan dan Pola Distribusi Garam Beriodium di
Kabupaten Jepara. Jurnal Gizi Indonesia, 3(2), 80-85.
Lampiran
Gambar Keterangan
Standarisasi Na2S2O3
Disusun oleh :
Beaker Glass
1.
Corong
2.
5. pipet tetes
6. Neraca Analitik
7. Kaca Arloji
8. Kompor Listrik
9. Termometer
3.2 Bahan
1. Margarin
AgNO3
2.
4. Akuades
5. NaCl
IV. Langkah Kerja
4.1 Standarisasi AgNO3
tambahkan 3 - 4
Dipipet 10,0 mL Masukkan ke
tetes indikator
larutan NaCl dalam erlenmeyer
kromat
TAT sampai
timbul endapan Titrasi dengan
berwarna merah larutan AgNO3
bata
Timbang seksama
Biarkan menjadi
± 2 gram margarin, Tambahkan 100 ml
dingin hingga suhu
masukan ke dalam aquadest panas
500 C - 550 C
erlenmeyer
Titrasi dengan
AgNO3 0,1 N
Tambahkan 2 ml
hingga warna
indikator K2CrO4
coklat orange tetap
selama 10 detik
V. Data Pengamatan
Standarisasi AgNO3
Volume Titrasi 1 Titrasi 2
Larutan NaCl 10,0 ml 10,0 ml
VI. Perhitungan
6.1 StandarisasiAgNO3
Diketahui: Titrasi 1 = 9,90 ml
Titrasi 2 = 10,10 ml
N1 = 0,10 N
V1 = 10,00 ml
Ditanya: N AgNO3?
Penyelesaian:
a. Titrasi 19,50 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 10,00= N2 X 9,90
N2 = 0,1010 N
b. Titrasi 10,10 ml
N1 X V1 = N2 X V2
0,1 X 10,00= N2 X 10,10
N2 = 0,0990N
0,1010 +0,0990
̅=
𝒙
2
= 0,10 N
= 2,532 %
SampelB
𝑁 𝐴𝑔𝑁𝑂3
Vx x 0,585
0,1
Kadar NaCl (dalam %)= G
0,10
19,70 x x 0,585
0,1
=
4,652
= 2,477 %
=2,504 %
VII. Pembahasan
Dalam praktikum ini menggunakan metode tirasi Argentometri Mohr, dengan
prinsip Titrasi pengendapan atau argentometri didasarkan atas terjadinya pengendapan
kuantitatif, yang dilakukan dengan penambahan larutan pengukur yang diketahui
kadarnya pada larutan senyawa yang hendak dititrasi. Titik akhir tercapai bila semua
bagian titran sudah membentuk endapan.
Standarisasi larutan Metode yang digunakan untuk standarisasi AgNO3 dengan
NaCl menggunakan indikator K2CrO4, penambahan indikator membuat larutan berwarna
kuning, Titrasi dilakukan hingga mencapai TAT (Titik Akhir Titrasi), TAT ditandai
dengan munculnya endapan berwarna merah bata secara permanen. Pada percobaan ini
AgNO3 yang sudah distandarisasi diperoleh data konsentrasi 0,10 N
Titrasi harus dilakukan dalam suasana netral atau basa lemah dengan pH antara
6,5 – 9, dengan begitu garam perak kromat tidak akan terbentuk.
Setelah dititrasi pada larutan sampel terbentuk endapan kemerah – merahan, hal
inilah yang membuktikan bahwa metode titrasi pengendapan yang dilakukan adalah cara
mohr. Munculnya endapan yang berwarna kemerah-merahan pada titik akhir titrasi
dikarenakan kromat terikat oleh ion perak membentuk senyawa yang sukar larut
berwarna merah bata.
Hasil Volume titrasi dalam praktikum ini pada sampel pertama adalah 18,60 ml
dengan berat sampel 4,297 gram dan pada sampel kedua adalah 19,70 ml dengan berat
penimbangan sampel 4,652 gram dalam hal ini semakin banyak sampel maka semakin
banyak volume titrasi yang digunakan. Hal ini disebabkan jika sampel semakin banyak
maka reaksi antara AgNO3 dengan NaCl . banyaknya Ion Cl-dalam sampel akan
memakan waktu yang lama untuk beraksi habis dengan Ag+ dari AgNO3sehingga volume
titran untuk menghasilkan TAT akan membtuhkan semakin banyak.
Andarwulan, Dede R Adawiyah, Nur Wulandari, Purwiyatno Hariyadi, Ria Noviar Triana, Arief
R Affandi, Ria Choriatul Nur, Susan Tjahjadi, Maria F. Ellen, N. (2015). Aplikasi Margarin
Minyak Sawit Merah Pada Produk Pound Cake Dan Roti Manis ( The Application of Red
Palm Oil Margarine in Pound Cake and Sweet Bread Products ). Jurnal Institut Pertanian
Bogor, 1(October), 192–206.
Cahyadi, D., Hadiwijaya, I., & Arsyansyah, M. (2020). Verifikasi Pengujian Kandungan Perak
Nitrat dalam Tinta Pemilu dengan Titrasi Argentometri Metode Volhard. Pertemuan Dan
Presentasi Ilmiah Standardisasi, 2019, 75–82. https://doi.org/10.31153/ppis.2019.8
Huljani, M., & Rahma, N. (2019). Analisis Kadar Klorida Air Sumur Bor Sekitar Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) II Musi II Palembang dengan Metode Titrasi Argentometri.
ALKIMIA : Jurnal Ilmu Kimia Dan Terapan, 2(2), 5–9.
https://doi.org/10.19109/alkimia.v2i2.2987
Standarisasi AgNO3
Titrasi Sampel
LAPORAN PRAKTIKUM
PENETAPAN KADAR GULA DALAM SIRUP
Mata Kuliah : Kimia Industri dan Bahan Pangan
Dosen Pengampu : 1. Dr. Endang Tri Wahyuni Maharani, M.Pd.
2. Drs. Yusrin, M.Pd.
Asisten Praktikum : M. Gufron, S.Pd
Disusun oleh :
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hamper seluruh penduduk di dunia,
khususnya bagi penduduk Negara yang berkembang. Pada tanaman, karbohidrat dibentuk dari
reaksi CO2 dan H2O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel
tanaman yang berklorofil.
Sinar Matahari
CO2 + H2O (C6H12O6)n + O2 (Karbohidrat)
Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa,
pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi seperti pati, pectin, selulosa,
dan lignin. Karbohidrat yang terdapat dalam hasil ternak terutama terdiri dari glikogen. Pada
umumnya karbohidrat dapat dikelompokan menjadi monosakarida, oligosakarida, serta
polisakarida.
1. Monosakarida
Monosakarida mengandung satu gugus aldehida disebut aldosa, sedangkan ketosa
mempunyai satu gugus keton. Monosakarida dengan enam atom C disebut heksosa,
misalnya glukosa (dekstrosa atau gula anggur).
2. Oligosakarida
Oligosakarida adalah polimer derajat polimerisasi 2 sampai 10 dan biasanya bersifat larut
dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari 2 molekul disebut disakarida, dan bila terdiri dari
3 molekul disebut triosa. Bila sukrosa (sakarosa atau gula tebu). Terdiri dari molekul
glukosa dan fruktosa, laktosa terdiri dari molekul glukosa dan galaktosa.
3. Polisakarida
Polisakarida merupakan polimer molekul-molekul monosakarida yang dapat berantai lurus
atau bercabang dan dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim yang spesifik kerjanya.
Kerusakan pada karbohidrat :
a. Pencoklatan (Browning)
Pencoklatan enzimatis terjadi pada buah-buahan yang banyak mengandung substrat
senyawa fenolik, reaksi pencoklatan non enzimatis belum diketahui atau dimengerti
penuh. Umumnya ada 3 macam reaksi pencoklatan non enzimatik yaitu : karamelisasi,
reaksi maillard dan pencoklatan akibat vitamin C.
b. Karamelisasi
Bila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus hingga suhunya melalui titik
leburnya, misalnya pada suhu 170oC maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa.
c. Reaksi Maillard
Reaksi-reaksi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina
primer, disebut reaksi-reaksi maillard. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan
berwarna coklat, yang sering dikendaki atau kadang-kadang malah menjadi pertanda
penurunan mutu.
Banyak cara yang dilakukan atau dapat dipergunakan untuk menentukan banyaknya
karbohidrat dalam suatu bahan yaitu antara lain dengan cara kimiawi, cara fisik, cara
enzimatik, atau biokimia dan cara kromatografi. (Anonim. 2012)
Karbohidrat adalah senyawa organik terdiri dari unsur karbon, hidrogen dan oksigen
memiliki rumus umum (CnCH₂O)₄. Karbohidrat dengan kata lain merupakan senyawa yang
mengandung gugus hidroksi. Ditinjau dari gugus fungsi karbohidrat yang diikat :
1) Akdosa, karbohidrat yang mengikat gugus aldehid. Contohnya glukosa, galaktosa, ribose
2) Ketosa, karbohidrat yang mengikat gugus keton. Contohnya fluktosa.
Ditinjau dari hasil hidroksinya :
a) Monosakarida, karbohidrat yang tidak dapat dihidrolisis menjadi molekulmolekul
karbohidrat yang lebih sederhana lagi. Misalnya glukosa, fruktosa, ribose, galaktosa.
b) Disakarida, karbohidrat yang terbentuk dari kondensasi 2 molekul monosakarida
misalnya sukrosa, laktosa, dan maltose.
c) Oligasakarida, karbohidrat yang jika dihidrolisis terurai menghasilkan 3-10
monosakarida. Misalnya dekstin dan moltosentosa.
d) Polisakarida, karbohidrat yang terbentuk dari banyak molekul monosakarida.
e) Misalnya pati (amylum), selulosa, dan glikogen.
Beberapa monosakarida penting sebagai berikut :
1. Glukosa
Glukosa dapat diperoleh dari hidrolisis sukrosa (gula tebu) atau pati (amylum). Didalam
glukosa terdapat buah-buahan dan madu lebah. Dalam alam glukosa dihasilkan dari reaksi
antara karbondioksida dan air dengan bantuan sinar matahari dan klorotil dalam daun serta
mempunyai sifat:
Memutar bidang polarisasi cahaya kekanan (+52,70)
Dapat mereduksi larutan fehling dan membuat larutan merah bata.
Dapat difermentasikan menghasilkan alkohol (etanol) dengan reaksi
C₆H₁₂D₆ → 2C₂H₅OH + 2CO₂
2. Fruktosa
Fruktosa adalah suatu ketoheksasa yang mempunyai sifat memutar cahaya terpolarisasi
kekiri dan karenanya disebut juga levulosa. Truktosa mempunyai rasa lebih manis dari
pada gula tebu atau sukrosa. Fruktosa dapat dibedakan dari glukosa dengan pereksi
Seliwanot, yaitu larutan (1,3 dihidroksibenzena) dalam HCL. Disebut juga gula buah
diperoleh dari hidrolisis sukrosa dan mempunyai sifat :
o Memutar bidang polarisasi kekiri (-92.40)
o Dapat mereduksi larutan fehling dan membentuk endapan merah bata.
o Dapat difermentasi.
Contoh disakarida yang penting yaitu laktosa. Laktosa memiliki gugus karbonil yang
berpotensi bebas pada residu glukosa. Laktosa adalah disakarida pereduksi selama proses
pencernaan, laktosa mengalami proses hidrolisis enzimatik oleh laktosa dari sel-sel mukosa
usus.
Beberapa sifat laktosa :
Hidrolisis laktosa menghasilkan molekul glukosa dan galaktosa
Hanya terdapat pada binatang mamalia dan manusia
Dapat diperoleh dari hasil samping pembuatan keju
Bereaksi positif terdapat pereaksi fehling, benedict, tolluens.
Contoh polisakarida yang paling penting yaitu pati atau amylum. Pati atau amylum
merupakan senyawa polimer dari glukosa. Apabila dilarutkan dalam air panas, pati dapat
dipisahkan menjadi amilosa dan amipektin. Amipektin ini merupakan polimer yang lebih
besar dari amilosa. Amilosa jika dihidrolisis parsial akan menghasilkan amilosa sedangkan
jika dihidrolisis lengkap akan menghasilkan glukosa. (Anonim. 2012)
Analisis KH :
Karbohidrat yang berbentuk polimer (molekul)
Karbohidrat yang berbentuk polimer (molekul besar & kompleks) sulit ditentukan jumlah
besar & kompleks) sulit ditentukan jumlah sebenarnya.
Penentuan karbohidrat yang paling mudah adalah dengan cara perhitungan kasar
(proximate analysis) atau disebut juga Carbohydrate by Difference %
KH = 100% - % (protein + lemak + abu + air).
Analisis Kuantitatif KH :
a.Preparasi sampel
- penggilingan sampel (Pengecilan ukuran)
- hidrolisis dengan asam monosakarida (gula reduksi)
b. Penentuan kadar Metode Luff Schoorl
Metode Luff Schoorl
Prinsip : hidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida yang dapat mereduksi Cu2+ menjadi Cu+.
Kelebihan Cu2+ dapat dititar secara iodometri.
Acuan : SNI 01 – 2891 – 1992, Cara uji makanan dan minuman
Pereaksi Luff : Na-karbonat, Asam sitrat, CuSO4
Penentuan gula dengan cara Luff Schoorl digunakan untuk menentukan kuprioksida
(CuO) dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah
direaksikan dengan gula reduksi (titrasi sampel). Selisih titrasi blanko dengan titrasi sampel
ekuivalen dengan kuprooksida (Cu2O) yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula
reduksi yang ada dalam bahan/larutan. (Chica. 2010).
Ada banyak fungsi dari karbohidrat dalam penerapannya di industri pangan, farmasi
maupun dalam kehidupan manusia sehari-hari. Diantara fungsi dan kegunaan itu ialah: Sebagai
sumber kalori atau energy, sebagai bahan pemanis dan pengawet, Sebagai bahan pengisi dan
pembentuk, sebagai bahan penstabil, sebagai sumber flavor (karamel), dan sebagai sumber serat
(Winarno 2007).
Karbohidrat dapat digolongan menjadi dua macam yaitu karbohidrat sederhana dengan
karbohidrat kompleks atau dapat pula menjadi tiga macam, yaitu monosakarida, disakarida, dan
polisakarida. Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan
merupakan oligosakarida, polimer. Pengukuran karbohidrat yang merupakan gula pereduksi
dengan metode Luff Schoorl ini didasarkan pada reaksi sebagai berikut :
R-CHO + 2 Cu2+ R-COOH + Cu2O
2 Cu2+ + 4 I- Cu2I2 + I2
2 S2O32- + I2 S4O62- + 2 I-
Monosakarida akan mereduksikan CuO dalam larutan Luff menjadi Cu2O. Kelebihan
CuO akan direduksikan dengan KI berlebih, sehingga dilepaskan I2. I2 yang dibebaskan tersebut
dititrasi dengan larutan Na2S2O3. Pada dasarnya prinsip metode analisa yang digunakan adalah
Iodometri karena kita akan menganalisa I2 yang bebas untuk dijadikan dasar penetapan kadar.
Dimana proses iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila
terdapat zat oksidator kuat (misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam
penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan
membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan dengan banyaknya oksidator (Winarno 2007). I2
bebas ini selanjutnya akan dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3 sehinga I2 akan membentuk
kompleks iod-amilum yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu, jika dalam suatu titrasi
membutuhkan indikator amilum, maka penambahan amilum sebelum titik ekivalen.
Metode Luff Schoorl ini baik digunakan untuk menentukan kadar karbohidrat yang
berukuran sedang. Dalam penelitian M.Verhaart dinyatakan bahwa metode Luff Schoorl
merupakan metode tebaik untuk mengukur kadar karbohidrat dengan tingkat kesalahan sebesar
10%. Pada metode Luff Schoorl terdapat dua cara pengukuran yaitu dengan penentuan Cu
tereduksi dengan I2 dan menggunakan prosedur Lae-Eynon. Metode Luff Schoorl mempunyai
kelemahan yang terutama disebabkan oleh komposisi yang konstan. (Yasmin. 2010).
Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan merupakan
oligosakarida, polimer dengan derajat polimerisasi 2-10 dan biasanya bersifat larut dalam air
yang terdiri dari dua molekul yaitu glukosa dan fruktosa. Gula memberikan flavor dan warna
melalui reaksi browning secara non enzimatis pada berbagai jenis makanan. Gula paling banyak
diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa
menjadi manis dan keadaan makanan atau minuman. Dalam industri pangan, sukrosa diperoleh
dari bit atau tebu (Winarno 1997).
Inversi sukrosa menghasilkan gula invert atau gula reduksi (glukosa dan fruktosa). Gula
invert akan mengkatalisis proses inversi sehingga kehilangan gula akan berjalan dengan cepat.
Menurut Parker (1987) dkk. Dalam kuswurj (2008) laju inersi sukrosa akan semakin besar pada
kondisi pH rendah dan temperatur tinggi dan berkurang pada pH tinggi (pH 7) dan temperatur
rendah. Laju inversi yang paling cepat adalah pada kondisi pH asam (pH 5) (Winarno 2007).
Penentuan kadar glukosa dilakukan dengan cara menganalisis sampel melalui pendekatan
proksimat. Terdapat beberapa jenis metode yang dapat dilakukan untuk menentukan kadar gula
dalam suatu sampel. Salah satu metode yang paling mudah pelaksanaannya dan tidak
memerlukan biaya mahal adalah metode Luff Schoorl. Metode Luff Schoorl merupakan metode
yang digunakan untuk menentukan kandungan gula dalam sampel. Metode ini didasarkan pada
pengurangan ion tembaga (II) di media alkaline oleh gula dan kemudian kembali menjadi sisa
tembaga. Ion tembaga (II) yang diperoleh dari tembaga (II) sulfat dengan sodium karbonat di sisa
alkaline pH 9,3-9,4 dapat ditetapkan dengan metode ini. Pembentukan (II)-hidroksin dalam
alkaline dimaksudkan untuk menghindari asam sitrun dengan penambahan
kompleksierungsmittel. Hasilnya, ion tembaga (II) akan larut menjadi tembaga (I) iodide
berkurang dan juga oksidasi iod menjadi yodium. Hasil akhirnya didapatkan yodium dari hasil
titrasi dengan sodium hidroksida.
Gula pereduksi yaitu monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa dapat ditunjukkan
dengan pereaksi Fehling atau Benedict menghasilkan endapan merah bata (Cu2O). selain
pereaksi Benedict dan Fehling, gula pereduksi juga bereaksi positif dengan pereaksi Tollens.
Penentuan gula pereduksi selama ini dilakukan dengan metode pengukuran konvensional seperti
metode osmometri, polarimetri, dan refraktrometri maupun berdasarkan reaksi gugus fungsional
dari senyawa sakarida tersebut (seperti metode Luff-Schoorl, Seliwanoff, Nelson-Somogyi dan
lain-lain). Hasil analisisnya adalah kadar gula pereduksi total dan tidak dapat menentukan gula
pereduksi secara individual. Untuk menganalisis kadar masingmasing dari gula pereduksi
penyusun madu dapat dilakukan dengan menggunakan metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCTK). Metode ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain dapat digunakan pada
senyawa dengan bobot molekul besar dan dapat dipakai untuk senyawa yang tidak tahan panas.
1. Beaker Glass
2. Corong
4. Stop Erlenmeyer
5. pipet tetes
6. Neraca Analitik
7. Kaca Arloji
8. Kompor Listrik
9. Termometer
12 Pendingin Udara
3.2 Bahan
No Gambar Nama
1.
H2SO4 6N
3.
KI 5%
4.
KIO3
5.
Na2S2O3 0,1 N
6.
Amylum 1 %
7.
Luff Schoorl
hubungkan dengan
Lakukan titrasi blanko : pendingin udara dan
Pipet 25,0 mL Lar Luff panaskan sampai
Schoorl tambah 15 mL mendidih. Prosedur
akuades berikutnya sama seperti
sampel.
hubungkan dengan
Pipet 25,0 mL Larutan
encerkan dengan pendingin udara dan
C, masukkan stop
akuades sampai tanda panaskan sampai
erlenmeyer tambah 25,0
batas, homogenkan mendidih. Dari larutan
mL Larutan Luff
(Larutan C) mendidih ditunggu 10
Schoorl
menit, dinginkan
Tambah 25 mL H2SO4
6N perlahan-lahan Titrasi dengan Na2S2O3
sambil dikocok agar gas 0,1 N dengan indikator
CO2 nya hilang, Amylum 1%, TAT
tambahkan 15 mL KI warna biru tepat hilang
20%
V. Data Pengamatan
Data Hasil titrasi Standarisasi
Percobaan V KIO3(mL) V Na2S2O3(mL)
1 10,0 10,40
2 10,0 10,30
Data Blanko
Percobaan V luff schoorl V Na2S2O3(mL)
1 25,0 26,20
2 25,0 26,30
VI. Perhitungan
6.1 Standarisasi Na2S2O3 0,1 N
Data Hasil titrasi
Percobaan V KIO3(mL) V Na2S2O3(mL)
1 10,0 10,40
2 10,0 10,30
Percobaan 2 : 10,30
N1 . V1 = N2 . V2
0,1. 10 = N2. 10,30
N2 = 0,097 N
0,096+0,097
X= = 0,0965 N
2
6.2 Sampel 1
a) Penetapan Kadar Gula sebelum Inversi
Volume titrasi blangko :
1. 26,20 mL
2. 26,30 Ml
Rata-rata = 26,25 mL
Berat Syrup = 0,910 gram
Volume titrasi sampel sebelum inversi :
= 24,30 mL
selisih volume titrasi Na Thiosulfat 0,1 N antara blanko dan sampel
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= ( b-a) x 0,1
𝑁 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3
= Vol Blangko – Vol Sampel x 0,1
0,0965
= 26,25 – 24,30 x 0,1
= 1,88 mL
= 4,8 – 0,29
= 4,51 mg glukosa
Atas
0,88
= 2,4 + [{ 𝑥 2,4}]
1
= 2,4 + 2,11
= 4,51 mg glukosa
Kadar gula invert sebelum inversi sebagai glukosa (X) :
Faktor Pengenceran
1 250 ml 25,0
100 ml 25,0
100 250
P= x
25 25
= 4 x 10
= 40 X
Maka :
𝐹1 𝑥 𝑃1
= x100%
𝐵 𝑥 1000
4,51 𝑥 40
= 0,910 𝑥 1000 x100%
180,4
= x100%
910
= 19,82 %
b) Penetapan Kadar Gula sesudah Inversi
Volume titrasi blangko :
1. 26,20 mL
2. 26,30 mL
Rata-rata = 26,25 mL
= 1,69 mL
= 4,8 – 0,744
= 4,056 mg glukosa
Atas
0,69
= 2,4 + [{ 𝑥 2,4}]
1
= 2,4 + 1,656
= 4,056 mg glukosa
Kadar gula invert sesudah inversi sebagai glukosa (X) :
Faktor Pengenceran
= 4 x 4 x10
= 160 x
Maka :
𝐹1 𝑥 𝑃1
= x100%
𝐵 𝑥 1000
4,056 𝑥 160
= 0,910 𝑥 1000 x100%
648,96
= x100%
910
= 71,31 %
c) Kadar Sukrosa
= IY- X I x 0,95%
= I71,31- 19,82 I x 0,95%
= I 91,11 I x 0,95%
= I 86,5 I
d) Kadar gula jumlah sebagai Sukrosa
= Kadar gula sesudah inversi x 0,95 %
= 71,31 x 0,95 %
= 67,74 %
6.3 Sampel 2
a) Penetapan Kadar Gula sebelum Inversi
Volume titrasi blangko :
1. 26,20 mL
2. 26,30 mL
Rata-rata = 26,25 mL
= 1,69 mL
Simpangan Atas dan Bawah
= 4,8 – 0,74
= 4,06 mg glukosa
Atas
0,69
= 2,4 + [{ 𝑥 2,4}]
1
= 2,4 + 1,66
= 4,06 mg glukosa
Kadar gula invert sebelum inversi sebagai glukosa (X) :
Faktor Pengenceran
1,5 250 ml 25,0
100 ml 25,0
100 250
P= x
25 25
= 4 x 10
= 40 X
Maka :
𝐹1 𝑥 𝑃1
= x100%
𝐵 𝑥 1000
4,06 𝑥 40
= 1,870 𝑥 1000 x100%
162,4
= x100%
1870
= 8,68 %
b) Penetapan Kadar Gula sesudah Inversi
Volume titrasi blangko :
1. 26,20 mL
2. 26,30 mL
Rata-rata = 26,25 mL
= 4,8 – 0,84
= 3,96 mg glukosa
Atas
0,65
= 2,4 + [{ 𝑥 2,4}]
1
= 2,4 + 1,56
= 3,96 mg glukosa
Kadar gula invert sesudah inversi sebagai glukosa (X) :
Faktor Pengenceran
= 4 x 4 x10
= 160 x
Maka :
𝐹2 𝑥 𝑃2
= x100%
𝐵 𝑥 1000
3,96𝑥 160
= 1,870 𝑥 1000 x100%
633,6
= x100%
1870
= 33,88%
c) Kadar Sukrosa
= IY- X I x 0,95%
= I 33,88- 8,68 I x 0,95%
= I 25,2 I x 0,95%
= I 23,94 I
d) Kadar gula jumlah sebagai Sukrosa
= Kadar gula sesudah inversi x 0,95 %
= 33,88 x 0,95 %
= 32,186 %
VII. Pembahasan
Praktikum dilaksanakan pada hari Jumat, 16 April 2021 di Laboratorium
Kimia Analisis dengan judul praktikum Penetapan Kadar Gula Dalam Sirup. Tujuan
dari praktikum ini adalah mempraktikan penentuan kadar Gula dalam sirup
menggunakan metode titrasi Yodometri, menghitung standarisasi Na2S2O3 dan
menghitung kadar Gula dalam sirup. Titrasi iodometri adalah suatu proses tidak
langsung yang melibatkan iod, ion iodida berlebih ditambahkan kedalam suatu reagen
pengoksidasi, yang membebaskan iod dan kemudian dititrasi dengan Na2S2O3
(natrium tiosulfat). Titrasi iodometri merupakan titrasi redoks. Banyaknya volume
natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan
sebagai titrat dan setara dengan banyaknya sampel (Ibnu Ghalib Gandjar, 2008).
Percobaan penetapan kadar KIO3 diawali dengan mekalukan standarisasi
Na2S2O3 dengan menggunakan metode titrasi iodometri, dimana iodometri itu sendiri
yaitu iodat yang berada dalam garam direaksikan dengan KI dalam suasana asam
sehingga akan dihasilkan I2. I2 yang terbentuk dititrasi dengan Na2S2O3
menggunakan indikator amylum. Sehingga rumus persamaannya sebagai berikut:
VIII. Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat di ambilkesimpulanbahwa:
1. Standarisasi larutan Na2S2O3dilakukan dengan metode titrasi Yodometri, larutan
standar primer yang digunakan adalah KIO3 0,10 N
2. Kadar Gula sebelum inversi sampel 1 sebesar 19,89%, sesudah inversi sebesar
71,31% dan Kadar gula jumlah sebesar 67,74%
3. Kadar gula sebelum inversi sampel 2 sebesar 8,68%, sesudah inversi sebesar
33,88% dan kadar gula jumlah sebesar 32,186%
4. Terdapat beberapa indikasi adanya kesalahan karena ada beberapa data yang
menunjukkan adanya kejanggalan.
Daftar Pustaka
Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Gambar Keterangan
Standarisasi Na Thio
Pemanasan Blanko
Larutan B
Larutan C
Penetapan Kadar Sebelum Inversi