Urgensi Dan Tujuan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 32

Urgensi dan Tujuan Pendidikan Multikultural di Indonesia

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengabdian Kepada Masyarakat


yang diampu oleh R. Nadariya, M.H

Disusun oleh :

1. Arny Nasirah
2. Hikmatuz Zuhairah
3. Iqamatus Sholeha
4. Lailatul Hidayah
5. Yati Aniyah

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)


RADEN SANTRI GRESIK
2021-2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.


Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat
serta salam semoga tetap ter curahkan kepada Nabi kita yakni Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari jalan gelap menuju jalan terang benderang
yaitu agama islam.
Kami mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah
Pengabdian Kepada Masyarakat dengan judul Urgensi dan Tujuan Pendidikan
Multikultural di Indonesia.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Wassalamualaikum wr. wb

Gresik, 22 Juni 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I ................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah ...............................................................................................3
BAB II ...............................................................................................................................4
PEMBAHASAN ...............................................................................................................4
2.1 Istilah Multikulturalisme .................................................................................4
2.2 Keragaman Budaya dan Permasalahannya Secara Umum ..........................4
2.3 Multikulturalisme sebagai Ideologi Kesetaraan Budaya...............................7
2.4 Pendidikan sebagai “Agent of Change” ........................................................12
2.5 Pendidikan Multikultural ..............................................................................12
2.6 Urgensi Pendidikan Berbasis Multikulturalisme .........................................14
2.7 Dimensi Pendidikan Multikultural ...............................................................19
2.8 Tujuan Pendidikan Multikultural di Indonesia ...........................................21
BAB III ...........................................................................................................................25
PENUTUP ......................................................................................................................25
3.1 Kesimpulan .....................................................................................................25
3.2 Saran ...............................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemampuan untuk memahami budaya lain tidak lantas menghilangkan

identitas budaya asli tetapi mampu menerimanya untuk selanjutnya hidup

berdampingan. Sejatinya kebudayaan nasional merupakan pemberi identitas kepada

seseorang. Penekanan utama pada pendidikan multikulturalisme adalah

kemampuan untuk memfilter aneka pengaruh globalisasi yang datang mengepung.

Pengaruh positif dari globalisasi bagi dunia pendidikan diadopsi demi kemajuan

dan perkembangan bangsa, namun di lain sisi pengaruh negatifnya menjadi bahan

untuk dievaluasi. Pendidikan multikulturalisme yang mengedepankan toleransi dan

keterbukaan terhadap budaya lain setidaknya membuka sebuah pola pikir baru

mengenai kesetaraan martabat kebudayaan di setiap bangsa. Globalisasi yang

menyentuh bidang pendidikan harus dilihat sebagai peluang sebab di dalamnya

pendidikan bisa membuka diri terhadap budaya lain semakin kuat tanpa harus

menghilangkan identitas nasional.

Kontrol pemerintah terhadap kurikulum yang berlaku dalam sebuah institusi

pendidikan juga mesti ditekankan. Pengontrolan terhadap kurikulum

memungkinkan sekolah-sekolah sebagai penyelenggara pendidikan masih memberi

ruang bagi pendidikan budaya. Ada sebuah kecenderungan yang besar bahwa

penyelenggaraan pendidikan yang bertaraf internasional membuat ruang jangkau

pendidikan budaya semakin sempit. Kontrol pemerintah juga memungkinkan

1
adanya pemerataan pendidikan bagi setiap warga negara. Dengan kata lain peran

pemerintah dalam pendidikan di Indonesia adalah sebagai fasilitator terwujudnya

sebuah pola pendidikan yang tanggap dengan pengaruh globalisasi namun tetap

menghidupi kebudayaan nasional yang memberi identitas bagi bangsa Indonesia.

pendidikan multikulturalisme di Indonesia merupakan sebuah persoalan yang

tak mudah untuk diwujudkan sebab bangsa Indonesia juga tidak terluput dari aneka

pengaruh globalisasi. Seorang tokoh pendidikan Amerika Latin bernama Freire

pernah mencetuskan sebuah metode pendidikan yang sifatnya dialogis. Salah satu

penting dari metode dialogis ini adanya relasi antara anak didik dengan lingkungan

sekitarnya. Kontak dengan lingkungan sekitarnya inilah yang membuat anak didik

mengerti dan memahami realitas di mana ia hidup yang pada hakikatnya merupakan

kebudayaannya sendiri. Metode Pendidikan dialogis adalah sarana untuk

memahami identitas kebangsaan dan nasionalisme seorang peserta didik.

Dunia pendidikan Indonesia mesti menerima globalisasi namun tidak

terlarut di dalamnya sambil menumbuhkembangkan pendidikan kebudayaan yang

menjadi karakteristik khas bangsa Indonesia. Kebudayaan nasional tidak lantas

tergerus oleh aneka metode pendidikan yang ditawarkan dunia luar dan pada

akhirnya berdampak pada memudarnya atau menghilangnya s kebudayaan nasional

Indonesia. Akhirnya usaha mewujudkan pendidikan multikulturalisme ialah usaha

semua orang tidak hanya para praktisi pendidikan, karena itu mesti ditanamkan

secara sadar dalam diri setiap pribadi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Istilah multikulturalisme?

2
2. Bagaimana Keragaman Budaya dan Permasalahannya Secara umum?

3. Mengapa Multikulturalisme sebagai Ideologi Kesetaraan Budaya?

4. Mengapa Pendidikan sebagai “Agent of Change”?

5. Apa yang dimaksud Pendidikan Multikultural?

6. Bagaimana Urgensi Pendidikan Berbasis Multikulturalisme?

7. Bagaimana Dimensi Pendidikan Multikultural?

8. Apa Tujuan Pendidikan Multikultural di Indonesia?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui Istilah multikulturalisme ?

2. Untuk mengetahui Keragaman Budaya dan Permasalahannya Secara umum

3. Untuk mengetahui Multikulturalisme sebagai Ideologi Kesetaraan Budaya

4. Untuk mengetahui Pendidikan sebagai “Agent of Change”

5. Untuk mengetahui arti Pendidikan Multikultural

6. Untuk mengetahui Urgensi Pendidikan Berbasis Multikulturalisme

7. Untuk mengetahui Dimensi Pendidikan Multikultural

8. Untuk mengetahui Tujuan Pendidikan Multikultural di Indonesia

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Istilah Multikulturalisme

Sebenarnya belum lama menjadi objek pembicaraan dalam berbagai kalangan,

namun dengan cepat berkembang sebagai objek perdebatan yang menarik untuk

dikaji dan didiskusikan. Pembahasan tentang keragaman etnis dan budaya, serta

penerimaan kaum imigran di suatu negara, pada awalnya hanya dikenal dengan

istilah pluralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu

daerah atau negara. Baru pada sekitar pertengahan abad ke-20, mulai berkembang

istilah multikulturalisme. Istilah ini, setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: (1)

keragaman budaya, (2) ideologi, dan (3) strategi atau cara khusus untuk

mengantisipasi sikap fanatisme terhadap perbedaan budaya tersebut. Secara umum

tulisan ini bermaksud membahas sekilas unsur pertama dan kedua (keragaman

budaya dan ideologi), serta akan menganalisis lebih rinci tentang unsur ketiga

(strategi mengantisipasi sikap fanatisme terhadap perbedaan budaya) dari sudut

pandang pendidikan. Secara khusus tulisan ini akan menelaah tentang urgensi dan

tujuan Pendidikan Multikultural di Indonesia.

2.2 Keragaman Budaya dan Permasalahannya Secara Umum

masyarakat modern terdiri dari berbagai kelompok manusia yang memiliki

status budaya yang berbeda. Agar tercipta sikap kesetaraan, perlu pengakuan

adanya pluralisme. Hal ini penting agar tercipta perdamaian dan keadilan sosial

dalam di berbagai belahan Dunia. Sebagaimana dilihat dari berbagai media bahwa

4
konflik dan perpecahan antar golongan merupakan masalah klasik yang terjadi

hampir di seluruh Negara di dunia. Bumi yang “terkotak-kotak” menjadi 192 negara

di mana lebih dari 6 milyar manusia hidup , ternyata penuh dengan konflik. Konflik

antar manusia, antar golongan, antar etnis dan antar negara. Steven D. Strauss

dalam bukunya yang berjudul World Conflicts (Penguin Books, 2006) menyatakan

bahwa dalam setengah abad terakhir, tidak ada dari 192 negara di dunia ini yang

tidak pernah terlibat konflik. Setiap negara pernah mengalami konflik baik dalam

negeri maupun luar negeri, bahkan ada yang sampai sekarang masih berlangsung

pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih

dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang

terbunuh dalam konflik etnis berdarah.

Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, , Zaire hingga Rwanda,

dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia

(Ismulail, 2007 dalam Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di

dunia yang memiliki ratusan suku bangsa. Sebagian menjadi penduduk terbesar

yang mendiami wilayah lebih dari satu provinsi, seperti etnik Jawa, namun ada juga

etnik yang hanya mendiami beberapa desa atau kecamatan saja. Mereka memiliki

simbol-simbol dan menganut agama atau kepercayaan yang berbeda-beda pula.

Dalam undang-undang PNPS No. 1 Tahun 1965 jo Undang-Undang No. 5 Tahun

1969, agama-agama yang dianut di Indonesia : Islam, Kristen, , Hindu, , dan

Konghucu (Pasal 1, Penjelasan). Keberagaman tersebut berpotensi akan terjadinya

konflik yang sering dikenal dengan SARA (Darmaningtyas, 2004).

5
Dari banyak studi, terjadinya konflik yang SARA pada beberapa daerah di

Indonesia, antara lain disebabkan oleh lemahnya pemahaman dan pemaknaan

tentang konsep kearifan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi

nilai yang adil kepada masyarakat. Terjadinya konflik etnis tersebut juga

sesungguhnya merupakan salah satu dampak dari minimnya pemahaman komunitas

imajiner kelompok masing-masing etnis terhadap kultur subjektif masyarakat adat

yang berbeda-beda. Sehingga, etnis yang hidup dalam wilayah teritorial yang sama

tersebut menjadi terisolasi dan merasa berbeda yang ingin terus menjaga perbedaan

dari yang lain. Oleh karena itu, perlu upaya penyadaran kepada masyarakat,

terutama anak-anak di daerah konflik ini bahwa mereka hidup di antara berbagai

macam budaya yang berbeda dalam satu wadah Negara Republik Indonesia. Bisa

dikatakan modus kebersamaan inilah yang tidak akan mereka dapatkan dari orang

tua mereka karena orang tua mereka selalu dalam situasi konflik.

Menurut Ainul Yaqin (2007) faktor penting keterpurukan jalinan yang harmonis

dalam bingkai keberagaman adalah tidak diterapkan pendidikan berbasis

multikulturalisme sejak awal. Bangsa ini sudah lama mengalami berbagai kecamuk

sosial akibat keberagamannya, tapi pemerintah tetap kurang serius menggalakkan

pendidikan berbasis multikulturalisme. Padahal bisa dikatakan pendidikan

multikultural adalah salah satu agenda penting yang harus diperhatikan lebih serius.

Ketika pemahaman masyarakat akan kultur yang berbeda-beda sangat minim, maka

sudah sepantasnya pendidikan yang mampu mengenalkan setiap kultur yang ada

dalam masyarakat diterapkan sehingga dapat mencegah timbulnya konflik dan

perpecahan khususnya yang disebabkan oleh SARA. Pendeknya pendidikan

6
multikultural adalah satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep

pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat

secara kreatif dan produktif, seperti keragaman etnis, budaya bahasa, agama, status

sosial, dan gender.

2.3 Multikulturalisme sebagai Ideologi Kesetaraan Budaya

Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi

yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan

hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah

multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis

masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme berasal dari dua

kata; multi (banyak/beragam) dan kultural (budaya atau kebudayaan), yang secara

etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan

budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika

manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah,

seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain. Konsep tentang ,

sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan tidak bebas nilai (value

free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk

diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal

dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan

dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak

terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-

orang yang ateis.

7
Dalam konteks ini, dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep

kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional. Lebih jauh,

Suparlan memberikan penekanan, bahwa multikulturalisme adalah ideologi yang

mengakui perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individu maupun

kebudayaan. Yang menarik di sini adalah penggunaan kata ideologi sebagai

penggambaran bahwa betapa mendesaknya kehidupan yang menghormati

perbedaan, dan memandang setiap keberagaman sebagai suatu kewajaran serta

sederajat.

Multikulturalisme merupakan sebuah ideologi dan sebuah alat untuk

meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya manusia. Untuk dapat

memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa

bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta

berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-

konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian

ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan

pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai

konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi,

keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan

yang sederajat, suku bangsa, kesuku bangsaan, kebudayaan suku bangsa, keyakinan

keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak

budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.

Selanjutnya Banks (1993) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan

menjadi acuan utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, karena

8
multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan

perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.

Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat

bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum

dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik

tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang

membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai

kebudayaan seperti sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme

diperlukan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang damai dan harmonis

meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayaan.

Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai peran yang besar

dalam pembangunan bangsa. Indonesia sebagai suatu negara yang berdiri di atas

keanekaragaman kebudayaan meniscayakan pentingnya multikulturalisme dalam

pembangunan bangsa.

Dengan multikulturalisme ini maka prinsip “bineka tunggal ika” seperti yang

tercantum dalam dasar negara akan menjadi terwujud. Keanekaragaman budaya

yang dimiliki oleh bangsa Indonesia akan menjadi inspirasi dan potensi bagi

pembangunan bangsa sehingga cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia

yang adil, makmur, dan sejahtera sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan

Undang-undang Dasar 1945 dapat tercapai. Multikulturalisme bertentangan dengan

monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma

negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme

menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga

9
dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-

existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk

bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi

perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.

Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris

(English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971. Kebijakan

ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan

resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun

belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai

mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan

kebijakan tersebut juga mulai menjadi subjek debat di Britania Raya dan Jerman,

dan beberapa negara lainnya.

Samuel P. Huntington dalam Kuper (2000) “meramalkan” bahwa sebenarnya

konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor

ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah suku, agama, ras

dan antar golongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang

menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia dalam komunisme dan kapitalisme.

Bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan

ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada era 1980-an

yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia., pasca

pemerintahan Joseph Broz Tito: Keragaman, yang di satu sisi merupakan kekayaan

dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang

mengikatnya lengser. Ramalan Huntington tersebut diperkuat dengan alasannya

10
mengapa di masa mendatang akan terjadi benturan antar peradaban, antara lain

adalah:

pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar;

kedua, dunia sekarang semakin menyempit interaksi antara orang yang berbeda

peradaban. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang

atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar, di

samping memperlemah negara-negara sebagai sumber identitas mereka. Keempat,

timbulnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu

sisi barat berada di puncak kekuatan, di sisi lain mulai terjadi kembalinya fenomena

asal sedang berlangsung di antara peradaban-peradaban Non-Barat. Kelima,

karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa

berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Dan,

keenam regionalisme ekonomi semakin meningkat. Akan tetapi asumsi tersebut

tidak mutlak menjadi sebab utama terjadinya sebuah perpecahan. Misalnya, setelah

berakhirnya Perang Dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan

masyarakat ke dalam entitas tertinggi, yaitu pengelompokan peradaban, tetapi

perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan

etnisitas. Hal ini jelas sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis

justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yang sama. Dan lain lagi,

persoalan perpecahan antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang kembali bersatu

karena persamaan suku dan kebudayaan, dan “multikulturalisme justru menjadi

sebuah pemersatu yang kokoh.

11
2.4 Pendidikan sebagai “Agent of Change”

Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial

yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari

seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial

namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana

dan “agent of change” bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat

plural tersebut telah memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan

dan dinamika dalam masyarakat. Untuk itu dipandang sangat penting memberikan

porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan di Indonesia baik melalui

substansi maupun model pembelajaran. Hal ini dipandang penting untuk

memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan

kepribadian serta melatih kepekaan peserta didik dalam menghadapi gejala-gejala

dan masalah-masalah sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.

Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah preventif untuk mencegah

berkembangnya masalah tersebut, yaitu dengan membangun pemahaman budaya

yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual

melalui pendidikan, media massa, dan interaksi sosial. Hal itu bisa ditempuh

melalui pendidikan berbasis multikulturalisme.

2.5 Pendidikan Multikultural

Pendidikan Multikultural dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000)

dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak

kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan

kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan

12
peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-

lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat

kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang

berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang

memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.

Banks (1993) telah mendeskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam

empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis

pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai

usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan

sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti

perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan

mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, riset dan

praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan

tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoretisi, jika bukan para praktisi, dari

pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses

pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga

semua murid, apa pun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan

orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati

pendidikan.

Joyce (2009) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk

sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan keterampilan-

keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua

murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap,

13
pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan

sosial; yang merupakan proses di mana pengajar dan murid bersama-sama

mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan

menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun

pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan keterampilan

dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.

2.6 Urgensi Pendidikan Berbasis Multikulturalisme

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan

multikulturalisme sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan

intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, dan budaya. Kita perlu memberi

dorongan dan spirit bagi peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan

keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan

multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang

lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat

multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan

penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras,

etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar

proses ini berjalan sesuai harapan, pendidikan multikultural perlu disosialisasikan

dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan

sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga

pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara

implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem

Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan

14
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi

HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Bagaimana membangun pemahaman keberagamaan siswa yang inklusif di

sekolah? Dalam hal ini, guru mempunyai posisi penting dalam

mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan inklusif di sekolah. Adapun peran

guru di sini, meliputi; pertama, seorang guru/dosen harus mampu bersikap

demokratis, baik dalam sikap maupun perkataannya tidak diskriminatif. Kedua,

guru/dosen seharusnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kejadian-

kejadian tertentu yang ada hubungannya dengan agama. Misalnya, ketika terjadi

bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu

menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen

seharusnya menjelaskan bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan

kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, maka pemboman, invasi

militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama.

Keempat, guru/dosen mampu memberikan pemahaman tentang pentingnya dialog

dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan

dengan keragaman budaya, etnis, dan agama. Pendidikan multikultural sebagai

sebuah konsep atau pemikiran muncul karena adanya interes politik, sosial,

ekonomi dan intelektual. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat

bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM)

dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut.

Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan multikultural yang merujuk

pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna

15
lain yang mengalami praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa

perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus

disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga

pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut

lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai

perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh

dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang

pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari

konseptualisasi pendidikan multikultural.

Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah

yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan

aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pionir dari

pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural

menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul

kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan

Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural,

memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan

menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial. Didorong oleh

tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan

kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong

oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap

masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah

16
menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada

tahun 1990-an.

Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang

sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai

strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah

dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini. Ide pendidikan

multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi

UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu diantara nya

memuat tiga pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan

untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi,

jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk

berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan

hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan

penyelesaian-penyelesaian yang memperkukuh perdamaian, persaudaraan dan

solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya

meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa

kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan

kedamaian dalam diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka

mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan

untuk berbagi dan memelihara.

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke

kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis,

ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural

17
secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi

pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan

persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik. Pada konteks Indonesia,

perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh

momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan

badai reformasi.

Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun

juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu,

dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultural untuk

menangkal semangat primordialisme tersebut. Secara generik, pendidikan

multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk

menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda

ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep

pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh

pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-

peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan

untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok

beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk

kebaikan bersama.

Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk

berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:

• Pendidikan multikultural harus menawarkan berbagai kurikulum yang

merepresentasikan pandangan dan perspektif budaya yang ada;

18
• Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada

penafsiran tunggal terhadap kebenaran budaya/sejarah;

• Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut

pandang kebudayaan yang berbeda-beda;

• Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinsip pokok dalam

memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama;

• Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman

persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan

dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.

2.7 Dimensi Pendidikan Multikultural

James A. Banks mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural

yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa

program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:

1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh

guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan

merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru

menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan

beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah

mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka

dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai

kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya

tidak diubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau

topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

19
2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi di

mana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan

merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang

mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar

terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;

3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction). Guru melakukan

banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif

tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah

dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik

yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa

mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi

yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran

yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan

menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus.

Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan

banyak stereotip, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan

kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya.

Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau

bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat

membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap

ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para

pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.

20
4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable paedagogy). Dimensi ini

memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga

mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai

kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya

memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama

(cooperative learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif

(competitive learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang

dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis

kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan

kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan

hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.

5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school

culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memberdayakan

budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang

berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial

(sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam

sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan

praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstrakurikuler dan

penghargaan staf dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.

2.8 Tujuan Pendidikan Multikultural di Indonesia

Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural

adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap

penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan

21
budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju

dengan ketidaktoleranan seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya

teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah

kultur monolitik dan uniformitas global (Kuper, 2000).

Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu

menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif

pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda.

Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai

demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam

masyarakat, bahasa, dan dialek; di mana para pelajar lebih baik berbicara tentang

rasa hormat di antara mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, daripada

membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda

dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya (Banks, 1994).

Tujuan pendidikan berbasis multikultural dapat diidentifikasi:

(1) Untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa

yang beraneka ragam;

(2) Untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap

perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan;

(3) Memberikan ketahanan siswa dalam mengambil keputusan dan keterampilan

sosialnya;

(4) Untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas

budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan

kelompok (Banks, 1993).

22
Di samping itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep

pendidikan untuk kebebasan (Banks, 1994); yang bertujuan untuk:

(1) Membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan

keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan

masyarakat;

(2) Memajukan kebebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas

etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya

orang lain.

Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia dapat

diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga dapat

diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam

pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem

pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini, SD, SLTP, SMA

maupun Perguruan Tinggi. Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak

harus dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat

diintegrasikan dalam kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau

model pembelajaran yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan

multikultural ini. Di Perguruan Tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan

multikultural ini dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif

multikultural, misalnya melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan,

ISBD, Agama dan Bahasa. Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat

diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan misalnya dalam Outbound Program,

dan pada tingkat SD, SLTP maupun Sekolah menengah pendidikan multikultural

23
ini dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti PPKn, Agama, Sosiologi dan

Antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran yang lain seperti melalui

kelompok diskusi, kegiatan ekstrakurikuler dan sebagainya. Dalam pendidikan non

formal wacana ini dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model

pembelajaran yang responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan

terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.

Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat

diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi

sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling

efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap

anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih

responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan

terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan)

terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif

dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.

24
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1) Multikulturalisme setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: (1) keragaman budaya,

(2) ideologi, dan (3) strategi atau cara khusus untuk mengantisipasi sikap

fanatisme terhadap perbedaan budaya tersebut.

2) Konflik dan perpecahan antar golongan merupakan masalah klasik yang terjadi

hampir di seluruh negara di dunia. Indonesia adalah salah satu negara

multikultural terbesar di dunia yang memiliki ratusan suku bangsa, yang

berbeda adat budaya, dan agama/kepercayaannya. Bukan hal yang tidak

mungkin, anugerah luar biasa yang diberikan kepada bangsa Indonesia akan

hilang jika tiap-tiap warga negara tidak lagi menjunjung tinggi nilai kebangsaan

dan perbedaan unsur budaya dalam kehidupan yang kompleks;

3) Dari banyak studi, terjadinya konflik yang bernuansa SARA pada beberapa

daerah di Indonesia, antara lain disebabkan oleh lemahnya pemahaman dan

pemaknaan tentang konsep multikulturalisme. Pendidikan mempunyai peran

yang sangat strategis sebagai wahana dan “agent of change” bagi masyarakat

untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat akan kultur yang berbeda-

beda, mengenalkan setiap kultur yang ada, sehingga dapat mencegah timbulnya

konflik dan perpecahan khususnya yang disebabkan oleh SARA;

25
4) Pendidikan multikultural dirasakan penting untuk menjaga integritas bangsa

Indonesia dari perpecahan horizontal sebagaimana terjadi tidak hanya sekali

sepanjang Indonesia merdeka. Dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”,

pemahaman akan pentingnya perbedaan sebagai sebuah anugrah merupakan

titik tolak pendidikan berbasis multikultural;

5) Guru sebagai pendidik di satuan pendidikan memiliki peran strategis untuk

mengembangkan dan merencanakan suatu proses pembelajaran yang berafiliasi

pada pendidikan berbasis multikultural dengan mengintegrasikan materi

pembelajaran yang relevan dengan unsur-unsur terkait dengan pendidikan

multikultural.

6) Tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap

simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya

yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat

belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidaktoleranan

seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi),

perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik

dan uniformitas global.

7) Memahami dan mengimplementasikan suatu kehidupan yang harmonis di

tengah heterogenitas dapat meminimalisir konflik yang telah banyak terjadi di

Indonesia sejak beberapa tahun silam.

8) Ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu

guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon

terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu: (1) Dimensi integrasi isi/materi

26
(content integration). (2) Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge

construction) (3) Dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction), (4)

Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable paedagogy); dan (5) Dimensi

pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture

and social structure).

9) Pendidikan bukan yang utama, akan tetapi dengan memanfaatkan sektor

pendidikan sebagai sarana untuk menanamkan konsep pendidikan berbasis

multikultural dirasakan dapat meminimalisir dan menghilangkan pemikiran

maupun tindakan arogan karena perbedaan yang berhaluan SARA.

3.2 Saran

Dalam pembahasan makalah ini kami yakin masih memiliki banyak

kekurangan. Kami berharap kritik dan saran kepada seluruh pembaca agar dalam

pembuatan makalah yang akan datang dapat terselesaikan dengan baik. Kami

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam

menyelesaiakan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk para pembaca.

27
DAFTAR PUSTAKA

Banks, J.A. 1993. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions”


In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond.
Washington, D.C.: American Educational Research Association.

——, (1994), An Introduction to Multicultural Education, Needham Heights, MA

Darmaningtyas, et. al. Membongkar Ideologi Pendidikan – jelajah Undang-Undang


Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Resolusi Press. 2004

http://pmiikomfaksyahum.wordpress.com/2007/07/28/memahami-cakrawala-
pendidikan-multikultural/

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-
multikultural-di-indonesia/

http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-
multikultural/

http://huzaifahhamid.blogspot.com/2009/02/menghilangkan-jejak-konflik-
etnik.html

http://staff.ui.ac.id/internal/132059031/publikasi/PENDIDIKANBERBASISMAS
YARAKAT.doc

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0609/01/opini/2921517.htm

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-
multikultural-di-indonesia/

http://staff.ui.ac.id/internal/132059031/publikasi/PENDIDIKANBERBASISMAS
YARAKAT.doc

Hanafiah, Nanang dan Cucu Suhana. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung:


Refika Aditama. 2009.

28
Joyce, Bruce, et. al. Model of Teaching – edisi kedelapan, diterjemahkan oleh
Achmad Fawaid, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009

Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Suparlan Parsudi (2002) dalam http://huzaifahhamid.blogspot.com/2009/02/


menghilangkan-jejak- konflik-etnik.

Saptaatmaja dari buku Multiculturalisme Educations: A Teacher Guide To Linking


Context, Process And Content karya Hilda Hernandez

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional.

Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.

29

Anda mungkin juga menyukai