Tugas Sejarah Indonesia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

TUGAS SEJARAH INDONESIA

AZRA UL KHARIMAH.S XI.IPS 3

Informasi Tiap-Tiap Materi:

1. -Pertempuran Medan Area adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat terhadap Sekutu


yang terjadi di Medan, Sumatra Utara.
Pada tanggal 9 Oktober 1945, dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu
(Inggris) ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih
pemerintahan. Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing berbagai insiden
terjadi di Hotel yang terletak di Jalan Bali, Kota Medan, Sumatra Utara pada tanggal 13
Oktober 1945.
Saat itu, seorang penghuni merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang
dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan pemuda Indonesia. Pada
tanggal 13 Oktober 1945, barisan pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu
dan NICA dalam upaya merebut dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari
tangan Jepang.
Inggris mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjata
kepada Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan. Pada tanggal 1 Desember 1945,
Sekutu memasang papan yang tertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (batas resmi
wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu merupakan
tantangan bagi para pemuda.
Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran
terhadap Kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada
bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki Kota Medan. Untuk sementara waktu pusat
perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan ke Siantar, sementara itu perlawanan para
laskar pemuda dipindahkan keluar Kota Medan. Perlawanan terhadap sekutu semakin
sengit pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi.
Kemudian diadakanlah pertemuan di antara para Komandan pasukan yang berjuang di
Medan Area dan memutuskan dibentuk nya satu komando yang bernama Komando
Resimen Laskar Rakyat untuk memperkuat perlawanan di Kota Medan. Setelah pertemuan
para komando itu, pada tanggal 19 Agustus 1946 di Kabanjahe telah terbentuk Barisan
Pemuda Indonesia (BPI) dan berganti nama menjadi Komando Resimen Laskar Rakyat
cabang Tanah Karo, dipimpin oleh Matang Sitepu sebagai ketua umum, dan dibantu
oleh Tama Ginting, Payung Bangun, Selamat Ginting, Rakutta Sembiring, R.M. Pandia dari
N.V Mas Persada Koran Karo-karo dan Keterangan Sebayang.
Di dalam Barisan Laskar Rakyat ini semua potensi pimpinan pemuda dengan berisan-barisan
perjuangannya dirangkul dan digabung ke dalam Barisan Pemuda Indonesia termasuk
bekas Gyugun atau Heiho seperti: Djamin Ginting, Nelang Sembiring, Bom Ginting.
Sedangkan yang berasal dari Talapeta: Payung Bangun, Gandil Bangun, Meriam Ginting,
Tampe Malem Sinulingga. Sedangkan yang berasal dari N.V. Mas Persada: Koran Karo-karo.
Yang berasal dari Pusera Medan: Selamat Ginting, Rakutta Sembiring dan Tampak Sebayang.
Demikian pula dari potensi-potensi pemuda lain seperti: Tama Ginting, Matang Sitepu.
-Pertemouran Ambarawa.Pada 11 Desember 1945, Kolonel Sudirman mengadakan
pertemuan dengan Komandan dan Tentara Sektor TKR. Pada 12 Desember 1945 pukul 4.30
pagi, serangan dimulai. Pembukaan serangan dimulai dengan menembak pertama kali,
kemudian diikuti oleh penembak karabin. Pertempuran pecah di Ambarawa. Satu setengah
jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikendalikan oleh unit TKR.

Pertempuran Ambarawa sangat sengit. Kol. Sudirman segera memimpin pasukannya untuk
menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan ganda di kedua sisi sehingga
musuh benar-benar terkurung. Pasokan dan komunikasi dengan kekuatan utama
sepenuhnya terputus. Setelah berjuang selama 4 hari, pada 15 Desember 1945
pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil membawa Ambarawa dan Sekutu kembali ke
Semarang.

- Pertempuran Surabaya - Pada tanggal 25 oktober 1945 Brigade 49 dibawah pimpinan


Brigadir Jenderal A W.S Mallaby mendarat dipelabuhan tanjung perak Surabaya. Brigade ini
merupakan bagian dari devisi India ke-2, dibawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn.
Mereka mendapat tugas melucuti tentara jepang dan menyelamatkan tawanan sekutu. 

Pasukan ini berkekuatan 6000 personil dimana perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang


Inggris dan prajuritnya orang-orang Gurkha dari Nepal yang telah berpengalaman perang.
Rakyat dan pemerintahan Jawa Timur di bawah pimpinan gubernur R.M.T.A Suryo semula
enggan menerima kedatangan Sekutu - Sejarah Pertempuran Surabaya. Kemudian antara
wakil-wakil pemerintahan RI dan Brigjen AW.S Mallaby mengadakan pertemuan yang
menghasilkan kesepakatan sebagai berikut.
1) Inggris berjanji mengikut sertakan Angkatan Perang Belanda
2) Disetujui kerjasama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman
3) Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancar
4) Inggris hanya akan melucuti senjata jepang

Pada tanggal 26 oktober 1945 pasukan sekutu melanggar kesepakatan terbukti melakukan
penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para tawanan Belanda
diantaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamflet-
pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka.
Rakyat Surabaya dan TKR bertekad akan mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak
akan menyerahkan senjata mereka.

Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober
1945. Para pemuda dengan perjuangan yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu
dan berhasil menguasai objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya adalah
dengan mengepung dan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian
melumpuhkan hubungan Logistiknya.

Serangan tersebut mencapai kemenangan yang gemilang walaupun dipihak kita banyak
jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober 1945 Bung Karno beserta Jenderal D.C Hawthorn tiba
di Surabaya. Dalam perundingan antara pemerintahan RI dengan Mallaby dicapai
kesepakatan untuk menghentikan kontak senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak
sekutu. Dalam satu insiden, Jenderal Mallaby terbunuh. Dengan terbunuhnya Mallaby,
pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban kepada rakyat Surabaya. Pada tanggal 9
November 1945 Mayor Jenderal E.C Mansergh sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan
ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Ultimatum ini isinya agar seluruh rakyat
Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya menyerahkan diri dengan senjata, mengibarkan
bendera putih -dan dengan tangan diatas kepala berbaris satu persatu, jika pada pukul
06.00 ultimatum ini tidak di indahkan maka inggris akan akan mengerahkan seluruh
kekuatan darat, kekuatan laut dan udara
Ultimatum ini dirasa menghina terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai
bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh karena itu rakyat Surabaya
menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui pernyataan Gubernur Suryo.
Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada tanggal 10 November
1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar No. 4 Bung Tomo membakar
semangat juang arek-arek Surabaya. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul
18.00. pasukan sekutu dibawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu devisi
Infantry sebanyak 10.000-15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang
penjelajah "Sussex" serta pesawat tempur "mosquito" dan "Thunderbolt".
Dalam pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik dari
TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, maupun TKR laut dibawah
komandan pertahanan Kota, Soengkono. 
-12 Oktober 1945
Pada 12 Oktober 1945, pasukan Inggris, Brigade McDonald dan Tentara Belanda tiba di Kota
Bandung. Mereka menuntut agar seluruh senjata api yang ada di tangan penduduk
diserahkan pada mereka. Selain melucuti senjata, mereka juga meminta untuk
membebaskan Tentara Jepang dan Tawanan Eropa.

21 November 1945
Pada malam tanggal 21 November 1945, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan badan-badan
perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara,
termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas.

24 November 1945
Kolonel McDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung
Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.

25 November 1945
Pada tanggal 25 November 1945 terjadi pertempuran di sejumlah daerah seperti
Cihargeulis, Sukajadi, Pasirkaliki, viaduct (jembatan di atas jalan) dan balai kereta api.
Pesawat Inggris menjatuhkan bom ke Lengkong Besar dan Cicadas. Di Lengkong Besar,
Tentara Sekutu berusaha membebaskan Tawanan Eropa.

23 Maret 1946
Tanggal 23 Maret 1946, Tentara Sekutu di bawah komando Kolonel McDonald
mengeluarkan ultimatum kedua. Bandung Selatan harus dikosongkan oleh rakyat sipil dan
milisi Indonesia. Tuntutan itu tentu ditolak dengan keras oleh TRI. Kemudian, pada tanggal
23 Maret 1946 pada pukul 21.00, bumi hangus kota pun dilakukan sebagian, yakni di
Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegallega. Dan gedung pertama yang dibakar adalah Bank
Rakyat.
24 Maret 1946
Eksekusi membumihanguskan Bandung dilakukan pada dini hari 24 Maret 1946. Dengan
terbakarnya Kota Bandung maka sekutu tidak bisa memakai Bandung sebagai markasnya.
Serangan dan aksi pembakaran dilakukan oleh pejuang yang berjumlah 200 ribu orang
dalam waktu tujuh jam saja.

2.- Pada tanggal I Oktober 1945, telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris)
dengan pihak Republik Indonesia Dalam perundingan ini Christison mengakui secara de
facto terhadap Republik Indonesia Hal ini pula yang memperlancar gerak masuk Sekutu ke
wilayah Indonesia. 
Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945 mengeluarkan maklumat
politik. Isinya bahwa pernerintah RI menginginkan pengakuan terhadap negara dan
pernerintah RI, baik oleh Inggris maupun Belanda sebagaimana yang dibuat sebelum Perang
Dunia II. Pemerintah RI juga berjanji akan mengembalikan semua aset milik asing atau
memberi ganti rugi atas milik yang telah dikuasai oleh pernerintah RI.
Inggris yang ingin melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugas-tugasnya di Indonesia,
mendorong agar segera diadakan perundingan antara Indonesia dan Belanda. Oleh karena
itu, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. 
Di bawah pengawasan dan perantaraan Clark Kerr, pada tanggaI 10 Februari 1946 diadakan
perundingan Indonesia dengan Belanda di Jakarta. Dalarn perundingan ini Van Mook selaku
wakil dari Belanda mengajukan usul-usul antara. lain sebagai berikut: 
1. Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi, memiliki
pemerintahan sendiri tetapi di dalarn lingkungan Kerajaan Nederland (Belanda).
2. Masalah dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan luar negeri
ditangani oleh pernerintah Belanda.
3. Sebelum dibentuk persemakmuran, akan dibentuk pemerintahan peralihan selama
sepuluh tahun.
4. Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.
Pihak Indonesia belum menanggapi dan mengajukan usul-usul balasannya. Kebetulan situasi
Kabinet Syahrir mengalami krisis, Persatuan Perjuangan (PP) pimpinan Tan Malaka
melakukan oposisi. PP mendesak pada pemerintahan bahwa perundingan hanya dapat
dilaksanakan atas dasar pengakuan seratus persen terhadap RI.
Ternyata mayoritas suara anggota KNIP menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh
Syahrir. Oleh karena itu, Kabinet Syahrir jatuh. Presiden Sukarno  kemudian menunjuknya
kembali sebagai Perdana Menteri. Kabinet Syahrir II teribentuk pada tanggal 13 Maret
1946. 
Kabinet Syahrir II mengajukan usul balasan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet
Syahrir II antara lain sebagai berikut:
1. RI harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda.
2. Federasi Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu. Mengenai
urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang
anggotanya terdiri atas orang-orang Indonesia
3. Tentara Belanda segera ditarik kembali dari republik.
4. Pemerintah Belanda harus-membantu pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota
PBB.
5. Selama perundingan sedang terjadi, semua aksi militer harus dihentikan.
Usulan Syahrir tersebut ternyata ditolak oleh Van Mook. Sebagi  jalan keluarnya Van Mook
mengajukan usul tentang pengakuan republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk
mengadakan kerja sama dalam upaya pembentukan negara federal yang bebas dalam
lingkungan Kerajaan Belanda. 
Pada tanggal 27 Maret 1946, Sutan Syahrir memberikan jawaban disertai konsep
persetujuan yang isi pokoknya antara lain sebagai berikut:
1. Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan
Sumatra.
2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk RIS.
3. RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, dan Curacao, menjadi peserta
dalam ikatan kenegaraan Belanda.
Perundingan Hooge Valuwe
Perundingan dilanjutkan di negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok
pembicaraan dalam perundingan itu adalah memutus pembicaraan  yang dilakukan di
Jakarta oleh Van Mook dan Syahrir. 
Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Pada
kesempatan itu Syahrir mengirim tiga orang delegasi dari Jakarta, yaitu Mr. W. Suwandi, dr.
Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo. Mereka berangkat bersama Kerr pada 4 April 1946. 
Dari Belanda hadir lima orang yaitu Van Mook, J.H. van Royen. J.H.Logeman, Willem Drees,
dan Dr. Schermerhorn. Perundingan tersebut untuk menyelesaikan perundingan yang tidak
tuntas saat di Jakarta.
Perundingan mengalami deadlock sejak hari pertama, karena masing-masing pihak sudah
mempunyai harapan yang berbeda. Delegasi Indonesia berharap ada langkah nyata dalam
upaya pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Sementara pihak Belanda
menganggap pertemuan di Hooge Valuwe itu hanya untuk sekedar pendahuluan saja. 
Pelaksanaan Perundingan Linggarjati
Kegagalan dalam perundingan Hoge, pada April 1946, menjadikan pemerintah Indonesia
untuk beralih pada tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu melakukan
serangan umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan Sumatera. 
Namun genjatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama dan gerilya tidak membawa
perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan
banyaknya korban yang berjatuhan. 
Untuk mencegah bertambahnya korban pada bulan Agustus hingga September 1946
direncanakan untuk menyusun konsep perang secara defensif. Bagi Sukarno, Hatta, dan
Syahrir perlawan dengan strategi perang defentif itu lebih beresiko dibandingkan dengan
cara-cara lama, karena akan memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan diplomasi.
Pada awal November 1946, perundingan diadakan di Indonesia, bertempat di Linggarjati.
Pelaksanaan sidang-sidangnya berlangsung pada tanggal 11 – 15 November 1946. Delegasi
Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir, anggotanya Mr. Moh. Roem, Mr. Susanto Tirtoprojo,
dan A.K. Gani. Sementara pihak Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn dengan
beberapa anggota, yakni Van Mook, F de Boor, dan van Pool. 
Sebagai penengah dan pemimpin sidang adalah Lord Killearn, juga ada saksi-saksi yakni Amir
Syarifudin, dr. Leimena, dr. Sudarsono, dan Ali Budiarjo. Presiden Sukarno dan Wakil
Presiden Moh. Hatta juga hadir di dalam perundingan Linggarjati itu.
Dalam perundingan itu dihasilkan kesepakatan yang terdiri dari 17 pasal. Isi pokok
Perundingan Linggarjati antara  lain sebagai berikut:
1. Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan secara de facto pemerintahan RI atas
wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera. Daerah-daerah yang diduduki Sekutu atau
Belanda secara berangsur-angsur akan dikembalikan kepada RI.
2. Akan dibentuk Negara Indonesia Serikat (NIS) yang meliputi seluruh wilayah Hindia
Belanda (Indonesia) sebagai negara berdaulat.
3. Pemerintah Belanda dan RI akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang dipimpin
oleh raja Belanda.
4. Pembentukan NIS dan Uni Indonesia- Belanda diusahakan sudah selesai sebelum 1
Januari 1949.
5. Pemerintah RI mengakui dan akan memulihkan serta melindungi hak milik asing.
6. Pemerintah RI dan Belanda sepakat untuk mengadakan pengurangan jumlah tentara.
7. Bila terjadi perselisihan dalam melaksanakan perundingan ini, akan menyerahkan
masalahnya kepada Komisi Arbitrase.
Naskah persetujuan kemudian diparaf oleh kedua delegasi di Istana Rijswijk Jakarta
(sekarang Istana Merdeka). Isi perundingan itu harus disyahkan dahulu oleh parlemen
masing-masing (indonesia oleh KNIP). 

3.      Belanda melaksanakan ekspansi militernya, dimulai sejak 20 July 1947 tengah malam.
Dua divisi militer dari Jakarta dan Bandung yang terlatih dengan baik digerakkan untuk
menguasai Jawa barat. Dari Surabaya, dimobilisasi untuk menguasai daerah timur Jawa
sampai Madura. Belanda meyakinkan kepada  Inggris dan Amerika bahwa serangan tersebut
adalah kegiatan polisionil untuk menertibkan kekacauan di wilayah Indonesia dan untuk
menerapkan syarat-syarat perundingan Linggarjati. Van Mook berambisi untuk menduduki
seluruh Jawa dan menumbangkan rezim untuk membentuk suatu pimpinan baru yang
menurut kepada kemauannya. Namun, pihak yang diserang lebih memilih untuk angkat
senjata dan bumi hangus untuk mempertahankan segalanya yang telah ditegakkan. Setelah
kontak senjata terjadi selama beberapa hari antara Belanda dan Indonesia, PBB, mulai
menganggap serius kasus ini.  Belanda pun belum sempat menaklukan Yogyakarta, pusat
pemerintahan Republik Indonesia. Hingga pada 4 Agustus instruksi gencatan senjata
diumumkan.

            Sjahrir, yang baru saja mendapat pukulan telak dari para pengikutnya memutuskan
untuk duduk dalam dewan penasihat Presiden. Bersama Agus Salim, dia mengunjungi
beberapa negara dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa Indonesia masih eksis dan
sedang melawan ketidaksportifan mantan kolonisatornya. Dari India, Sjahrir melangkahkan
pijakannya yang sangat berarti, yaitu ke Lake Succes, dekat New York, Amerika. Di markas
Dewan Keamanan PBB itu, Sjahrir diperbolehkan mengikuti rapat dengan agenda
permasalahan Indonesia pada 12 Agustus 1947. Disusul oleh penempatan delegasi atas
nama Indonesia. Setelah itu, pada 20 September, Sjahrir melanjutkan misinya menuju
London, Paris, Kairo, Timur Tengah, Pakistan, India, dan Australia untuk mencari dukungan
agar Belanda terdesak di kancah internasional.

            Sementara itu, Komite Jasa-Jasa Baik PBB tiba di Indonesia pada 27 Oktober. PBB
menempatkan diri pada posisi yang benar-benar konkret karena menilai kedua pihak yang
bertikai tidak akan lagi bisa merundingkan suatu perjanjian. Komisi Tiga Negara (KTN)
dibentuk dan diperankan oleh Belgia, Australia dan Amerika Serikat sebagai wakil PBB untuk
turut serta dalam perundingan yang dalam waktu dekat akan diselenggarakanPemerintahan
Amir pun dituntut untuk mengikuti alur.

            Perundingan resmi digelar di atas kapal angkut Amerika Serikat


bernama Renville yang berlabuh di lepas pantai Jakarta pada 8 Desember. Seperti yang
dilakukan Sjahrir semasa menjabat pimpinan pemerintahan, Amir mengetuai delegasi
perundingan dari pihak Indonesia. Adapun pihak Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL
bernama Abdulkadir Wijoyoatmojo. Pihak Belanda berusaha agar garis pertahanan yang
telah berhasil direbut pada Agresi Militernya dipertahankan. Sedangkan RI meminta agar
tentara Belanda menarik diri ke kedudukan semula sesuai perundingan Linggarjati. Agenda
lainnya adalah ketika persoalan pembentukan Republik Indonesia Serikat. Belanda
mengusulkan agar bahwa RI adalah salah satu negara bagian disamping Negara Sumatera,
Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan dan lain-lain. Padahal, hasil salah satu
perundingan Linggarjati adalah bahwa RIS adalah pemerintahan sementara (interim
government) yang dibawahi oleh RI dan Belanda.   Saat perundingan berjalan, Belanda
seakan mengancam secara halus apabila konsesi-konsesi yang ditawarkan tidak diindahkan,
maka mesiu yang selanjutnya bicara. Amerika Serikat pun tidak akan mendukung Indonesia
apabila menolak penawaran Belanda. Amir berdiri terjepit. Pada akhirnya pada 17-19
Januari 1948, Perundingan Renville selesai dan kesepakatan disetujui.

        Didalam tubuh pemerintahan terjadi pertentangan internal terkait hasil Perundingan


Renville yang ditanda tangani oleh Amir. Sebelum penandatangan terjadi pun, Sjahrir dan
pengikutnya yang telah melebur didalam PS membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) pada
12 February di Yogyakarta. PNI dan Masyumi menilai Amir membawa pulang kekalahan
yang sangat merugikan. Tidak bedanya dengan Sjahrir, Amir pun ditikam dari belakang oleh
rekan-rekannya sendiri. PNI dan Masyumi menarik perwakilannya dari jajaran kabinet
pemerintahan. Itu berarti Amir tidak lagi mendapat suara mayoritas dari Parlemen. Koalisi
hancur, kabinet menjadi lumpuh dan Amir membubarkan kabinetnya pada 23 Januari 1948. 

4. Kesepakatan
Hasil pertemuan ini adalah:

 Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya


 Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
 Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
 Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan
membebaskan semua tawanan perang
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:

 Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat
sesuai perjanjian Renville pada 1948
 Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak
 Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada
Indonesia[2]
Pasca perjanjian]
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibu kota sementara
Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen
dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada
Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.[3]
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus)
dan Sumatra (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua
masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.[4]

Dampak Perjanjian Roem-Roijen


Terdapat banyak dampak perjanjian Roem Royen pada keadaan di Indonesia. Isi perjanjian
Roem Royen termasuk pembebasan tahanan politik sehingga Soekarno dan Hatta kembali
ke Yogyakarta setelah diasingkan. Yogyakarta juga menjadi ibukota sementara dari
Indonesia. Terjadi juga penyerahan mandat dari Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden
PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) kembali kepada Ir. Soekarno.
Yang paling mencolok adalah adanya gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia.
Perundingan Roem Royen pun berujung dengan dilaksanakannya Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda yang menyelesaikan permasalahan antara Indonesia
dan Belanda.
.
5.Konferensi Meja Bundar
Hal yang melatarbelakangi terjadinya KMB ialah kegagalan Belanda guna meredam
kebebasan Indonesia dengan jalan kekerasan sebab adanya kecaman dari dunia
internasional. Belanda dan Indonesia lantas mengadakan sejumlah pertemuan untuk
mengerjakan penyelsaian secara diplomasi. Sebelumnya terlah terjadi sejumlah
perundingan antara pihak Belanda dan Indonesia lewat perjanjian Linggarjati dan
perjanjian Renville.Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) menerbitkan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda
terhadap tentara Indonesia. Dewan Keamanan PBB pun menyerukan diadakannya
perundingan untuk mengejar penyelesaian damai antara dua pihak.Usai perjanjian
Roem Royen pada tanggal 6 Juli, rencananya akan diselenggarakan lagi konferensi
yang akan dibuntuti oleh semua tokoh yang masih dipisahkan di Bangka.
Sebelumnya diselenggarakan terlebih dahulu Konferensi Inter-Indonesia di
Yogyakarta antara tanggal 31 Juli hingga 2 Agustus 1949.Konferensi Inter-Indonesia
dihadiri seluruh otoritas unsur dari Republik Indonesia Serikat yang bakal dibentuk.
Para partisipan setuju tentang prinsip dan kerangka dasar guna konstitusinya. Pada
tanggal 11 Agustus 1949, disusun perwakilan Republik Indonesia guna menghadiri
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
 

Waktu dan Tempat Konferensi Meja Bundar


Konferensi Meja Bundar diselenggarakan di kota Den Haag, Belanda. Waktu pelaksanaannya
diadakan mulai tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949.
Tujuan Konferensi Meja Bundar
Ada beberapa tujuan diadakannya Konferensi Meja Bundar ini antara lain adalah :

 Mengakhiri perselisihan antara Indonesia dan Belanda dengan cara melaksanakan


perjanjian-perjanjian yang sudah dibuat antara Republik Indonesia dengan Belanda,
khususnya mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat (RIS).
 Dengan tercapainya kesepakatan Meja Bundar, maka Indonesia telah diakui sebagai
negara yang berdaulat penuh oleh Belanda, walaupun tanpa Irian Barat.

Anda mungkin juga menyukai