Makalah Kolesteotema Joy Hasian
Makalah Kolesteotema Joy Hasian
Makalah Kolesteotema Joy Hasian
DISUSUN OLEH :
Nama : Kelompok 4
JOEYI HASIAN SIHOMBING (2113002)
ANGELINA LAMTIO SIMANJUNTAK (2013001)
SARIDO SIMANULLANG (2214027)
HITLER PANJAITAN (2214010)
MESI PURBA (2214020)
NANI SILITONGA (2214021)
NESIA PURBA (2214022)
NOVITA SIBURIAN (2214023)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan kasih dan berkat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana yang berjudul “ Kolesteatoma ” . Adapun tujuan dibuatnya Makalah ini untuk
menyelesaikan tugas dari Mata Kuliah Biomedik . Harapan penulis semoga Makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca dan penulis Makalah
ini . penulis akui masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang membangun untuk kesempurnaan
Makalah ini.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan penelitian ..................................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Otitis Media Supuratif Kronikc3...........................................................................4
2.2 Kurang Pendengaran .............................................................................................9
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................21
4.2 Saran....................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Otitis media supuratif kronik masih menjadi masalah kesehatan utama khususnya di
negara-negara berkembang seperti indonesia. Otitis media supuratif kronik (OMSK)
merupakan inflamasi kronis mukosa dan periosteum telinga bagian tengah dan kavum
mastoid. Manifestasi otitis media supuratif kronik berupa otorea berulang yang keluar melalui
gendang telinga yang mengalami perforasi.1,2 World Health Organization (WHO)
menyebutkan otorea lebih dari 2 minggu sudah masuk golongan OMSK.2 PERHATI-KL
menyatakan keluarnya sekret dari telinga (otore) tersebut lebih dari dua bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.
Survei prevalensi OMSK di seluruh dunia pada tahun 2004 menunjukkan 65-330 juta
orang dengan telinga berair, 60% diantaranya (39– 200 juta) menderita kurang pendegaran
yang signifikan.1 Prevalensi OMSK di Indonesia pada tahun 2005 adalah 3,8%. Dari
keseluruhan pasien yang berobat ke poliklinik THT rumah sakit di Indonesia 25%
diantaranya adalah penderita OMSK.2,4 Sedangkan di RSUP Dr. Kariadi Semarang
didapatkan 21% kasus OMSK dari keseluruhan kunjungan di klinik otologi selama tahun
2010.
Lebih dari 90% penderita OMSK berada di negara-negara bagian Asia Tenggara,
Pasifik Barat, Afrika, dan beberapa etnis minoritas di Pinggiran Pasifik. Penderita OMSK
jarang ditemukam di negara-negara Benua Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Australia.
OMSK dapat terjadi karena infeksi akut telinga tengah gagal mengalami
penyembuhan sempurna. Penderita yang datang ke klinik THT seringkali sudah terlambat dan
sudah terdapat tambahan tanda dan gejala penyulit, sehingga mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan sosial dan profesional serta tingkat kualitas hidup. Hal ini terkait dengan
keterbatasan fungsi pendengaran yang bermakna pada penderita OMSK.
OMSK dibedakan menjadi 2 tipe yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa, benigna, tanpa
kolesteatoma) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang, maligna, dengan kolesteatoma).
Kolesteatoma adalah pertumbuhan epitel skuamosa yang abnormal pada telinga tengah dan
mastoid yang berupa kongenital ataupun didapat. Adanya kolesteatoma pada penderita
OMSK dapat mengakibatkan beberapa komplikasi dan tidak jarang mengancam fungsi
fisiologis dan mengancam jiwa seperti kehilangan pendengaran, meningitis, abses serebri,
mastoiditis, parese nervus fasial, kolesteatoma, jaringan granulasi dan empiema subdural.
Lokasi patologi OMSK adalah di telinga tengah, yang merupakan bagian dari sistem
konduksi dalam mekanisme mendengar, oleh sebab itu OMSK mengakibatkan tuli konduktif.
Tuli konduktif pada OMSK terjadi pada derajat ringan sampai sedang lebih dari 50%. Pada
kenyataannya,kurang pendengaran pada penderita OMSK tidak seluruhnya CHL murni.
Tidak sedikit penderita OMSK terlibat pada komponen kurang pendengaran sensorineural
pada kurang pendengaran konduktif.
1
Insidensi Penelitian yang dilakukan di Brazil pada tahun 2016, sebanyak 419 (24,5%)
pasien OMK dengan kolesteatoma dari 1.710 penderita OMK pada periode Agustus 2000
sampai Juni 2015 yang berkunjung ke Klinik Otitis Media RS Porto Alegre. Letı´cia P. S.
Rositodkk tahun 2015 dengan cross-sectional comparative study melaporkan 385 penderita
OMSK dengan kolesteatoma dilakukan penilaian Air Bone Gaps didapatkan prevalensi
kurang pendengaran berat sebesar 3,6% dan disimpulkan bahwa kolesteatoma didapat pada
telinga tengah berhubungan signifikan dengan kurang pendengaran.Sementara pada
penelitian Wilsen dkk pada tahun 2014, analisis studi deskriptif retrospektif pada 40
penderita OMSK dengan kolesteatoma ditemukan ketulian derajat sangat berat (>90 dB) pada
usia antara 7 sampai 17 tahun. Disimpulkan bahwa kolesteatoma lebih tinggi berhubungan
derajat pendengaran SNHL.
Penelitian diatas,kolesteatoma dihubungkan dengan derajat kurang pendegaran pada
penderita OMSK.
Pertumbuhan epitel skuamosa yang abnormal pada telinga tengah dan mastoid akan
membesar dan menghancurkan tulang-tulang pendengaran menyebabkan kenaikan morbiditas
kurang pendengaran konduktif pada penderita OMSK. Pada stadium yang lebih lanjut,
kolesteatoma dapat menghancurkan struktur intratemporal menyebabkan kurang pendengaran
campuran. Hubungan antara adanya kolesteatoma dengan jenis kurang pendengaran dan
derajat kurang pendengaran pada penderita OMSK masih terjadi pedebatan, apakah
berhubungan atau tidak. Berdasarkan pokok pikiran di atas, penulis tertarik meneliti
hubungan kolesteatoma dengan jenis kurang pendengaran dan derajat kurang pendengaran
pada penderita OMSK di RSUP Dr Kariadi Semarang.
2
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bidang Pengetahuan
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan mengenai
hubungan kolesteatoma dengan jenis dan derajat kurang pendengaran pada pasien OMSK.
1.4.2 Bidang Pelayanan Kesehatan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar penanganan lebih
intensif terhadap pasien OMSK.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan inflamasi kronis mukosa dan
periosteum telinga bagian tengah dan kavum mastoid. Manifestasi otitis media supuratif
kronik berupa otorea berulang yang keluar melalui gendang telinga yang mengalami
perforasi.1,2 Durasi otorea pada kasus OMSK masih belum ada kesepakatan. World Health
Organization (WHO) menyatakan otorea ninimal 2 mingu sudah masuk dalam kategori
OMSK, namun ahli-ahli THT menyatakan durasi lebih dari tiga bulan merupakan kasus
OMSK, sedangkan literatur lain menyatakan lebih dari enam minggu.1,2 Otorea dapat terjadi
terus menerus atau hilang timbul.
Berdasarkan perforasi, OMSK dibagi menjadi 2 tipe yaitu OMSK tipe aman (tipe
mukosa, benigna, tanpa kolesteatoma) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang, maligna, dengan
kolesteatoma). Pada OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya dan
tidak terdapat kolesteatom. Sedangkan pada OMSK tipe bahaya selalu terdapat kolesteatom
dan dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya.
2.1 Etiologi
OMSK umumnya diawali dengan otitis media berulang pada anak, hanya sedikit
yang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari peradangan nasofaring,
mencapai telinga tengah melalui tuba eustakhius.
2.2 Klasifikasi
OMSK secara klinis dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu :
4
1. Tipe tubotimpani / tipe jinak / tipe benigna
Tipe benigna ditandai dengan adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala
klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang
mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas,
pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang
rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan
mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous.Sekret mukoid kronis berhubungan
dengan hiperplasia sel goblet, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan
mukosiliar yang jelek.
5
2.3 Patogenesis
Hingga saat ini patogenesis OMSK belum diketahui secara jelas. OMSK penyakit yang
sebagian besar terjadi sebagai komplikasi infeksi saluran pernafasan bagian atas, stadium
kronik dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan
keluarnya discharge secara terus-menerus.
Kemungkinan besar proses primer terjadi pada sistem tuba eustakhius, telinga tengah,
dan selulae mastoid. Proses ini khas, bersifat progresif secara terus-menerus dan dinamis,
berakibat hilangnya sebagian membran timpani sehingga memudahkan proses infeksi
menjadi kronik. Perforasi sekunder pada otitis media akut dapat menjadi kronik tanpa terjadi
infeksi pada telinga tengah misalnya pada dry ear.
Faktor-faktor yang menyebabkan proses infeksi menjadi kronik sangat bervariasi. Secara
umum dapat dibedakan menjadi lokal dan sistemik.
Lokal
1. Anatomi dan fungsi tuba eustakhius
Anatomi tuba eustakhius sangat berperan dalam fungsi pertahanan lokal, hal ini disebabkan
oleh pars membranokartilagenous(2/3 bagian medial) pada keadaan normal selalu menutup,
dan hanya terbuka pada keadaan seperti menelan, mengunyah, dan menguap. Pada pars
membranokartilagenous juga mengandung banyak sel-sel epitel kolumner berkelenjar yang
menghasilkan zat mukus yang akan membentuk mukisal blanket yang akan melekat satu sma
lain oleh adanya adhesi untuk menutup lumen tuba. Keadaan tersebut merupakan fungsi
pertahanan mekanik dari tuba eustakhius. Sel-sel kolumner sekretorik yang juga terdapat di
pars membranokartilagenous tuba yang menghasilkan enzim pembunuh kuman dan cairan
immunoglobulin yang mana keduanya merupakan fungsi pertahanan seluler dari tuba
eustakhius.
3. Membran timpani
Pada keadaan normal membran timpani utuh, sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung
rongga telinga tengah terhadap paparan kuman yang masuk dari kanalis auditorius
eksternus.10 Perforasi membran timpani gagal untuk menutup spontan, sehingga mudah
terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari lingkungan. Keadaan ini
6
menyebabkan otorea yang persisten dan lamakelamaan akan menjadi otitis media supuratif
yang menahun.
Sistemik
1. Keadaan umum tubuh
Keadaan umum yang lemah akibat inadekuat asupan gizi, menimbulkan daya pertahan tubuh
terhadap infeksi menjadi lemah. Kondisi tersebut memudahkan terjadinya infeksi saluran
pernafasan bagian atas yang merupakan faktor predisposisi infeksi kavum timpani atau
rongga telinga tengah.
2. Penyakit sistemik yang menyertai
Beberapa penyakit sistemik seperti diabetes melitus, kelainan darah, dapat menyebabkan
penurunan imunitas tubuh akibat tidak berfungsinya lekosit sebagai sel makrofag secara baik.
Inadekuat fungsi makrofag menyebabkan penyakit sistemik sulit sembuh, bahkan mampu
meningkatkan progresifitas penyakit.
3. Adanya Alergi
Infeksi saluran pernafasan yang didasari reaksi alergi menyebabkan penyakit sulit dieliminasi
terhadap pengobatan konvensional dan akan menjadi kronis, kecuali bila faktor alergi
dihilangkan.Sebagian otitis media kronis masih sulit untuk ditangani. Para tenaga medis
biasanya berasumsi bahwa setiap radang hanya diakibatkan infeksi oleh kuman sesuai uji
keberadaan bakteri. Hal tersebut mengakibatkan antibiotik yang lebih sering diresepkan
untuk mengobati kegagalan pengobatan radang dan mungkin akan gagal lagi. Karena pada
radang yang berulang, kemungkinan terdapat faktor alergi sebagai latarbelakang penyebab
kegagalan pengobatan. Sehingga dalam penanganan OMSK, faktor alergi harus dicurigai.
Lasisi pada tahun 2008 di Nigeria melaporkan terdapat hubungan antara otitis media
supuratif dan alergi pada sekitar 80% pasien dengan alergi.
Karakteristik anatomis dan fisiologis dari tuba eustakhius pada penderita alergi
merupakan salah satu faktor penting dalam progresifitas kejadian OMSK. Meskipun
pengaruh rinitis alergi (RA) pada fungsi tuba eustakhius telah banyak diketahui, masih sedikit
bukti bahwa RA berpengaruh terhadap kejadian OMSK. Penelitian Bakhshaee menyatakan
terdapat perbedaan pada pasien OMSK dengan RA dibandingkan dengan tanpa RA, namun
hal tersebut tidak signifikan.
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan dengan tuba
eustakhius, baik faktor lingkungan, faktor genetik, maupun faktor anatomik. Tuba eustakhius
memiliki fungsi penting yang berhubungan dengan kavum timpani, diantaranya fungsi
ventilasi, fungsi proteksi, dan fungsi drainase. Penyebab endogen maupun eksogen dapat
mengganggu fungsi tuba dan menyebabkan otitis media. Penyebab endogen misalnya
gangguan silia pada tuba, deformitas palatum, atau gangguan otot-otot dilatator tuba.
Penyebab eksogen misalnya infeksi atau alergi yang menyebabkan inflamasi pada muara
tuba.
Mayoritas OMSK merupakan kelanjutan atau komplikasi otitis media akut (OMA)
yang mengalami perforasi. Namun, OMSK juga dapat terjadi akibat kegagalan pemasangan
pipa timpanostomi (gromet tube) pada kasus otitis media efusi (OME). Perforasi membran
7
timpani gagal untuk menutup spontan, sehingga mudah terjadi infeksi berulang dari telinga
luar atau paparan alergen dari lingkungan. Keadaan ini menyebabkan otorea yang
Infeksi kronis ataupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorokan dapat
menyebabkan gangguan fungsi tuba eustakhius sehingga kavum timpani mudah mengalami
gangguan fungsi hingga infeksi dengann otorea terus-menerus atau hilang timbul.
Peradangan pada membran timpani menyebabkan proses kongesti vaskuler, mengakibatkan
terjadi iskemi pada suatu titik, yang selanjutnya terjadi titik nekrotik yang berupa bercak
kuning. Bila disertai tekanan akibat penumpukan discharge dalam kavum timpani dapat
mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi yang menetap akan
menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman yang
berasal dari kanalis auditorius eksternus dan dari udara luar dapat dengan bebas masuk ke
dalam kavum timpani. Kuman yang bebas masuk ke dalam kavum timpani menyebabkan
infeksi yang mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus. Keadaan kronik ini
ditetapkan berdasarkan waktu dan penggolongan stadium didasarkan pada keseragaman
gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi disebabkan oleh proses yang
bersifat eksaserbasi atau persisten, efek dari kerusakan jaringan, serta pembentukan jaringan
sikatrik.
Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa sekretorik yang
memiliki sel goblet yang mengekskresi sekret mukoid atau mukopurulen. Adanya infeksiaktif
dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan mukosa mengalami proses
pembentukan jaringan granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat menutup membran
timpani, sehingga menghalangi drainase. Keadaan seperti ini menyebabkan OMSK menjadi
penyakit persisten.Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses
penutupannya dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamosa masuk ke telinga tengah, kemudian
terjadi proses deskuamasi normal yang akan mengisi telinga tengah dan antrum mastoid,
selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita sekunder. Kolesteatoma merupakan media
yang cukup sesuai bagi pertumbuhan kuman patogen dan bakteri pembusuk. Kolesteatoma
bersifat destruktif, sehingga mampu menghancurkan tulang di sekitarnya termasuk rangkaian
tulang pendengaran oleh reaksi erosi dari enzim osteolitik atau kolagenase yang dihasilkan
oleh proses kolesteatoma dalam jaringan ikat subepitel.Pada proses penutupan membran
timpani dapat juga terjadi pembentukan membran atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat,
dimana membran bentuk ini akan cepat rusak pada periode infeksi aktif.
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Sekret yang
mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK
tipe jinak, cairan yang keluar mukopurulen yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai
reaksi inflamasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani. Keluarnya sekret
biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas
atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang.
OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau,
berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasi
kolesteatoma yang terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe
8
maligna unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya
lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya
jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatoma. Sekret yang
encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
Pada OMSK, keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase sekret. Nyeri dapat
menandakan adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya
durameter ataudinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga
dapat juga berupa manifestasi dari otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus
lateralis.
2.5.4 Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius. Keluhan vertigo
merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatoma.
Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada
panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran
timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Fistula
merupakan temuan yang serius pada OMSK, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari
telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan bisa berlanjut
menjadi meningitis.
9
1. Kurang Pendengaran Tipe Konduktif
Conductive Hearing Loss (CHL) terjadi akibat adanya gangguanhantaran suara yang
disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar dan atau di telinga tengah. Bersifat
correctable, umumnya mengenai nada atau frekuensi rendah. Derajat keparahan adalah ringan
sampai sedang, dan membaik jika menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Gejala klinis
CHL umumnya suaranya pelan karena penderita mendengar suaranya sendiri terdengar keras.
Di tempat keramaian lebih jelas mendengar (parakusis willissis). Penyakit yang
menyebabkan kurang pendengaran tipe konduktif adalah otitis media dan otosklerosis.
2.1 Presbikusis
Audiometri nada murni adalah alat elektoakustik yang digunakan untuk mengukur
adanya kurang pendengaran, jenis dan derajat kurang pendengaran. Audiometri nada murni
digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang mendengar bunyi nada murni pada
beberapa frekuensi pada sumbu datar/axis (125 Hz, 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000
Hz, dan 8000 Hz) dengan intensitas suara -10 sampai 110 dB (sumbu tegak,ordinat).
Audiometri hantaran udara (Air Conduction, AC) digunakan untuk mengukur kepekaan
seluruh mekanisme pendengaran baik telinga luar, telingan tengah, maupun telinga dalam
(mekanisme sensorineural koklea dan dan nervus auditori. AC dapat diketahui dengan
memperdengarkan pulsa nada murni pendek-pendek melalui earphone ke telinga. Pada setiap
frekuensi yang diuji, pemeriksa mengubah-ubah intensitas untuk menentukan tingkat ambang
dengar pasien sesuai dengan frekuensi yang diuji.
10
Audiometri hantaran tulang (Bone Conduction, BC) digunakan untuk mengukur
kepekaan seluruh mekanisme sensorineural (koklea dan nervus auditori). BC dapat diketahui
dengan cara membunyikan langsung ke tulang tengkorak pasien dengan memasang vibrator
hantaran tulang langsung ke mastoid. Stimulasi langsung ke koklea tanpa melalui telinga
tengah.Penilaian audiometri meliputi :
Ambang Dengar (AD) =𝐴𝐷 500 𝐻𝑧+𝐴𝐷 1000 𝐻𝑧 +𝐴𝐷 2000 𝐻𝑧 +4000 𝐻𝑧
4
Nilai ambang pendengaran dapat ditentukan dari hantaran udara (AC) Interpretasi hasil
berdasarkan International Standart Organization.
0 – 25 db : Normal
26 – 40 dB : Kurang pendengaran ringan
41 – 60 dB : Kurang pendengaran sedang
61 – 90 dB : Kurang pendengaran berat
> 90 dB : Kurang pendengaran sangat berat
2.1 CHL
Audiogram CHL menunjukkan penurunan nilai ambang AC, sementara BC normal.
Dengan demikian terdapat jarak antara grafik AC dan BC yang disebut dengan air-bone gap
(ABG). Pada CHL, AB Gab didapatkan ≥ 10 - 15 dB.
2.2 SNHL
2.3 MHL
Audiogram MHL menunjukkan nilai ambang AC dan BC menurun, tetapi AC lebih
berkurang karena adanya air-bone gap.
Mixed Hearing Loss (MHL) pada OMSK terjadi akibat suatu rangkaian proses di
telinga tengah yang mampu menyebabkan gangguan fungsi telinga dalam (labirin), terutama
pada organ koklea. Proses kejadian MHL pada OMSK diawali dengan kegagalan tuli
konduksi, kemudian diikuti terlibatnya komponen sensorineural. Beberapa peneliti, seperti
yang dikutip oleh Azevedo, antara lain oleh Paparella dan Schachern dkk menyatakan bahwa
foramen rotundum sangat berperan terhadap kejadian SNHL.
11
Foramen rotundum merupakan membrana semipermeabel, dimana zatzat tertentu
dapat melewatinya. Hal ini telah dibuktikan dalam penelirian terhadap binarang. Adapun zat-
zat yang mampu melewati membrana foramen rotundum menuju skala timpani antara lain
bermacam jenis protein, antibiotik, toksin bakteri, serta obat-obat anestesi lokal.
Pada keadaan infeksi akut, terjadi peningkatan permeabilitas pada membrana foramen
rotundum, sehingga zat-zat tersebut diatas termasuk mikrotoksin hasil peradangan akan lebih
mudah melewatinya dan masuk ke telinga dalam menyebabkan perubahan biokimia cairan
perilimfe yang diteruskan ke kortilimfe dan akhirnya mampu merusak organon korti. Hal ini
mengakibatkan terjadinya SNHL.
Seperti yang dikutip oleh Dina Permatasari dari Schukcnecht dkk yang menyatakan
efek toksin lokal mampu mempercepat proses atrofi koklea, dimana perubahan ini dapat
menyebabkan kekakuan dan kerapuhan ligamen spiralis atau membrana basilaris, sehingga
koklea mengalami perubahan dalam merespon suara.
Selain variasi anatomi dan patologi yang memiliki peran terhadap foramen rotundum
sebagai jalan masuk ke telinga dalam, terdapat beberapa faktor lain yang ikut menyebabkan
terjadinya kerusakan pada telinga dalam antara lain gangguan sirkulasi dan adanya hipoksia.
Proses peradangan kronik menyebabkan vasikonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah
mukosa membrana foramen rotundum sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah, akibatnya
fungsi telinga dalam ikut terganggu. Hipoksia terjadi karena ada penebalan membrana
foramen rotundum yang menghambat difusi normal oksigen dari telinga tengah ke perilimfe.
Dalam perilimfe terdapat tekanan parsial oksigen sebesar 100 mmH2O2. Bila tekanan
tersebut hanya 15 – 24 mmH2O2, oksigen akan ditransportasi dari telinga dalam ke telinga
tengah, sehingga keberadaan tersebut mampu merusak organ telinga dalam akibat
kekurangan oksigen.
Kejadian SNHL pada penderita otitis media kronik sangat berhubungan dengan
komplikasi terutama mastoiditis dan lama kerusakan organ telinga tengah antara lain
kemungkinan dapat terjadi timpanosklerosis, fiksasi tulang pendengaran, timbulnya jaringan
granulasi dan polip. Perubahan pada organ telinga tengah akibat OMSK tersebut berpengaruh
terhadap fungsi sirkulasi darah terutama terhadap suplai oksigen ke telinga dalam, sehingga
terjadi keadaan hipoksia berat (tekanan ≤ 15 – 25 mmH2O2) mampu menyebabkan kejadian
SNHL.
12
Terdapat beberapa teori yang mendukung terjadinya kolesteatoma didapat (acquired),
yaitu teori metaplasia, invaginasi, invasi, dan implantasi. Kolesteatoma didapat mempunyai
dua bentuk, yaitu bentuk primer dan sekunder. Faktor terpenting dari kolesteatoma didapat,
baik primer maupun sekunder, ialah epitel berlapis gepeng dan keratinisasi yang tumbuh
melewati batas normal. Kolesteatoma didapat primer merupakan manifestasi dari
perkembangan membran timpani yang retraksi (teori invaginasi). Kolesteatoma didapat
sekunder sebagai konsekuensi langsung dari trauma atau infeksi yang menyebabkan perforasi
membran timpani.
Kolesteatoma didapat (acquired) biasanya terjadi karena retraksi atau kolaps membran
timpani sehingga terjadi invaginasi akibat disfungsi tuba eustakhius. Tuba eustakhius yang
tidak berfungsi dengan baik karena terdapat infeksi pada telinga tengah. Tuba eustakhius
membawa udara masuk dari nasofaring menuju telinga tengah untuk menyeimbangkan
tekanan telinga tengah dengan telinga luar. Normalnya tuba eustakhius kolaps padakeaadaan
istirahat. Ketika menelan atau menguap, otot yang mengelilingi tuba eustakhius berkontraksi
sehingga ostium tuba eustakhius terbuka dan udara dari luar masuk menuju telinga tengah.
Saat tuba eustakhius tidak berfungsi dengan baik, udara pada telinga tengah diserap oleh
tubuh dan menyebabkan telinga tengah sebagian terjadi hampa udara. Keadaan ini
menyebabkan pars flaccida di atas kolum malleus membentuk kantong retraksi, migrasi epitel
membran timpani melalui kantong yang mengalami retraksi ini mengakibatkan terjadinya
akumulasi keratin.
Walaupun kolesteatoma tidak termasuk keganasan, namun dapat berakibat fatal melalui efek
resorbsi tulang. Respon imunologis berperan dalam pembentukan kolesteatoma serta
kecenderungan terjadinya destruksi tulang sekitar. Peran sistem imun pada kolesteatoma
dapat dilihat melalui kerja sitokin dan molekul adhesif, yang berperan dalam proliferasi,
regulasi, dan aktivasi jaringan. Respon imun alamiah ternyata berperan dalam pembentukan
kolesteatoma melalui kerja beberapa jenis protein seperti human beta defensin (hBD), SLPI
(secretory leucocyte protease inhibitor), dan TLR (toll like receptor). Selain itu, TLR juga
bekerja melalui respon imun adaptif.
BAB III
13
PEMBAHASAN
14
PEMBENTUKAN KOLESTEATOMA
2. Retraksi atau kolaps membran timpani sehingga terjadi invaginasi akibat disfungsi tuba
Eustachius. Teori ini didasarkan pada adanya kantung epitel gepeng yang berasal dari
retraksi memtimpani pars flasida. Reaksi peradangan pada ruang Prussack yang biasanya
akibat ventilasi buruk dapat menyebabkan kerusakan membran basasehingga terjadi
pertumbuhan dan proliferasi tangkai sel epitel ke dalam. Terbentuk kantong atau kista
epitel skuamosa dalam telinga tengah kemudian terbentuk lapisan deskuamasi epitel
dengan kristal kolestrin mengisi kantong. Matriks epitel kemudian meluas ke ruang-ruang
dalam telinga tengah dan mastoid.Kantung retraksi ini dapat berkembang karena
akumulasi debris, infeksi, inflamasi, dan akhirnya terbentu kolesteatoma. Perkembangan
kolesteatoma bermula dari pars flasida.
3. Invasi hiperplasia dari lapisan basal kulit liang telinga ke dalam telinga tengah melalui
perforasi marginal atau atik membran timpani.
Perkembangan kolesteatoma dibagi menjadi dua fase yaitu fase aktif dan pasif. Fase aktif
ditandai dengan penetrasi dan proliferasi sel-sel basal epidermis kejaringan ikat subepitelial.
Fase pasif ditandai dengan terjadinya pembesaran kantung kolesteatoma yang tergantung luas
permukaan deskuamasi dari matriks.
2. Faktor biokimiawi yang berkaitan dengan elemen bakteri, produk jaringan granulasi
seperti kolagenase, asam hidrolase, sitokin (IL-1ά, IL-6, IL-8, TNF ά, INF-β) dan
growth factors.
15
3. Faktor seluler yang diinduksi oleh aktivitas osteoklas. Osteoklas dalam matriks
kolesteatoma mengeluarkan asam fosfatase, kolagenase, dan enzim proteolitik lain
seperti matrix metalloproteinases (MMPs), calpain types I-II, cysteine proteinase
cathepsin B, dan cysteine proteinase cathepsin K yang meresorbsi produk tulang.
Selanjutnya osteoklas dapat diaktivasi oleh infeksi, tekanan, dan sel Langerhans
melalui mekanisme imun
Proses patologi yang sangat penting dari kolesteatoma ialah proliferasi aktif
dari sel epitel yang kemungkinan distimulasi oleh beberapa growth factor. Keratinocyte
growth factor (KGF) dan reseptornya keratinocyte growth factor receptor (KGFR) diduga
berperan dalam aktivitas proliferasi sel dan rekurensi kolesteatoma. KGF merupakan bagian
dari fibroblast growth factor (FGF) yang bekerja sebagai mediator pertumbuhan epitel. Ikatan
KGF dan KGFR akan memicu sinyal transduksi yang akan menstimulasi proliferasi sel.
Ekspresi sitokeratin
16
Hiperproliferasi dari kolesteatoma cukup sering dibahas tanpa melibatkan polaekspresi
sitokeratin. Ekspresi sitokeratin 4, 10, 13, 14, 16, dan 19 bisa menunjukkan hiperproliferasi
kolesteatoma pada lapisan tertentu. Sitokeratin 10 (cytokeratin 10, CK 10) merupakan tanda
perluasan dari kolesteatoma; CK 14 pada basal keratinosit; dan CK 19 di keratinosit pada
stratum basal epidermis.
Salah satu enzim proteolitik yang berperan dalam erosi tulang pada
kolesteatoma adalah matrix metalloproteinase (MMPs) yang biasanya diproduksi oleh
beberapa tipe sel yang berbeda seperti fibroblas, keratinosit, makrofag dan sel endotelial. 100
Jurnal Biomedik, Volume 4, Nomor 2, Juli 2012, hlm. 96-103MMPs berperan penting dalaM
proseSremodelingSnormal, dalam percepatan destruksi pada beberapa penyakit, dan pada
mekanisme resorbsi tulang. Enzim ini berperan dalam merusak matriks ekstrasel.20,21 Selain
MMPs terdapat beberapa jenis matrix degrading proteinase seperti asam fosfatase, calpain
tipe I dan II, sistein proteinase cathepsin B dan K. Yang terakhir ditemukan yaitu cathepsin K
berperan cukup penting dalam resorbsi tulang karena menyebabkan degradasi dari major
bone collagen tipe 1 dalam jumlah besar dan juga matriks tulang osteonektin. Cathepsin K
tidak ditemukan dalam matriks tetapi dalam osteoklas.Stratum korneum dari kolesteatoma
mengandung matriks kolesteatoma dalam jumlah besar. Membran ini berfungsi untuk proses
difusi dan penetrasi. Dugaan lain timbulnya kolesteatoma ialah infeksi yang menyebabkan
perubahan pada membran sehingga terjadi perubahan dalam metabolisme lipid, peningkatan
proliferasi sel, peningkatan aktivitas enzim, dan mungkin menyebabkan pengeluaran sitokin
dan molekul inflamasi lainnya. Diduga stimulus internal atau eksternal yang menyebabkan
17
terjadinya hal-hal di atas, tetapi masih belum dapat dipastikan penyebabnya. Beberapa enzim
seperti manosidase, , fukosidase dan heksosaminidase dapat menyebabkan degradasi pada
komponen matriks ekstraseluler kulit dan tulang sehingga akhirnya terjadi resorbsi tulang.
Kolesteatoma juga memroduksienzim lisosomal proteolitik yang dapat menyebabkan
destruksi jaringan.
18
tetapi juga berperan secara aktif dalam pemeliharaan, regenerasi dan pertahanan permukaan
mukosa dengan memroduksi mediator, termasuk peptida
Pada kolesteatoma didapatkan produksi sitokin dan molekul bioaktif termasuk TNF-α dan
netrofil protease akibat induksi lipopolisakarida (LPS). SLPI merupakan antagonis dari LPS
yang berperan dalam sintesis sitokin proinflamasi oleh monosit dan makrofag. Jadi SLPI
melindungi jaringan dari produk inflamasi dengan menurunkan respon makrofag terhadap
LPS bakteri.
Toll Like Receptor (TLR) 1-10 memegang peran yang sangat krusial dalam menginduksi dan
mengaktivasi sistem imun alamiah pada saat terjadi infeksi. Biasanya LR terekspresi pada
sel-sel imun, sel epitel, dan endotel. Ligannya disebut pathogen associated molecular
patterns.Ikatan TLR dan ligannya akan menyebabkan terjadinya transduksi sinyal sehingga
mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan TNF-α. TLR-3 menunjukkan adanya
peran sistem imun alamiah dan juga sistem imun adaptif terhadap kolesteatoma. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya limfosit T di daerah perimatriks, yang menunjukkan bahwa
keratinosit dapat bertindak sebagai antigen precenting celldalam sistem imun adaptif.
19
Olivia C. P. Pelealu
Abstract: Chronic suppurative otitis media associated with cholesteatoma is still a problem
that causes high morbidity and mortality. That is due to the cholesteatoma destruction of
surrounding bony structures that leads to fatal complications. Cholesteatoma acts benign butis
a destructive middle ear tumor. It is characterized by hyperproliferative keratinocytes
associated with a progressive and destructive accumulation of desqumated epithelia
andkeratin in the middle ear or other parts of temporal bones with pneumatization. There are
fourtheories of cholesteatoma: invagination, invasion, metaplasia, and implantation. The
main mechanisms of bone destruction are mechanical due to a pressure effect, biochemical
factors,and cellular factors related to both innate and adaptive immunities. These immune
responsesare regulated by immune cells, cytokines, adhesive molecules, degrading enzymes,
and osteoclasts.
Key words: cholesteatoma, proliferative, bone resorption, cytokines, osteoclast.
Abstrak: Otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma masih merupakan masalah
penyebabmorbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan
karenakolesteatoma dapat menyebabkan destruksi tulang sekitarnya, sehingga mudah
mengakibatkankomplikasi fatal. Kolesteatoma menyerupai tumor jinak telinga tengah tetapi
bersifat destruktif. Kelainan ini ditandai oleh adanya hiperproliferasi keratinosit disertai
akumulasideskuamasi epitel atau keratin di dalam telinga tengah atau bagian lain tulang
temporal yang berpneumatisasi, yang bersifat progresif dan destruktif. Terdapat empat teori
pembentukan kolesteatoma yaitu metaplasi, invaginasi, invasi, dan implantasi. Terjadinya
destruksi tulang melalui faktor mekanis akibat efek penekanan, faktor biokimia, dan faktor
seluler yangberkaitan dengan respon imun alamiah maupun adaptif yang diatur oleh sel-
selimun, sitokin,molekul adhesif, enzim degradasi, dan osteoklas.
Kata kunci: kolesteatoma, proliferasi, resorbsi tulang, sitokin, osteoklas
BAB IV
PENUTUP
20
A.KESIMPULAN
B.SARAN
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar penelitian tingkatmolekuler
mengenai sitokin proinflamasi yang bisa dipertimbangkanmenjadi penelitian lanjutan
untuk mencari modalitas terapi dalam upayamencegah progresifitas penyakit akibat
kolesteatoma.
21
DAFTAR PUSTAKA
12. Massuda ET, Oliveira JA. A new experimental model of acquired cholesteatoma.
The Laryngoscope.
22