Makalah Kolesteotema Joy Hasian

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 25

PENYAKIT KOLESTEATOMA

DISUSUN OLEH :

Nama : Kelompok 4
 JOEYI HASIAN SIHOMBING (2113002)
 ANGELINA LAMTIO SIMANJUNTAK (2013001)
 SARIDO SIMANULLANG (2214027)
 HITLER PANJAITAN (2214010)
 MESI PURBA (2214020)
 NANI SILITONGA (2214021)
 NESIA PURBA (2214022)
 NOVITA SIBURIAN (2214023)

PRODI S1 ADMINISTRASI RUMAH SAKIT DIII KEPERAWATAN


STIKES KESEHATAN BARU
DOLOKSANGGUL
T.A 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan kasih dan berkat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana yang berjudul “ Kolesteatoma ” . Adapun tujuan dibuatnya Makalah ini untuk
menyelesaikan tugas dari Mata Kuliah Biomedik . Harapan penulis semoga Makalah ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca dan penulis Makalah
ini . penulis akui masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang membangun untuk kesempurnaan
Makalah ini.

Doloksanggul, 26 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.......................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................1
1.3 Tujuan penelitian ..................................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Otitis Media Supuratif Kronikc3...........................................................................4
2.2 Kurang Pendengaran .............................................................................................9

2.3 Audiometri Nada Murni ..................................................................................10

2.4 Patogenesis MHL ...............................................................................................11


2.5 Faktor Risiko MHL pada OMSK dengan Kolesteotoma .....................................12
BAB III PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Kolesteotoma.................................................................................14

3.2 Mekanisme Terbentuknya Kolesteotoma...........................................................15


3.3 Peran Respon Imun Dalam Pembentukan Kolesteatoma ....................................18

3.4 Literature Penanganan Kolesteotoma.............................................................20

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................21
4.2 Saran....................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Otitis media supuratif kronik masih menjadi masalah kesehatan utama khususnya di
negara-negara berkembang seperti indonesia. Otitis media supuratif kronik (OMSK)
merupakan inflamasi kronis mukosa dan periosteum telinga bagian tengah dan kavum
mastoid. Manifestasi otitis media supuratif kronik berupa otorea berulang yang keluar melalui
gendang telinga yang mengalami perforasi.1,2 World Health Organization (WHO)
menyebutkan otorea lebih dari 2 minggu sudah masuk golongan OMSK.2 PERHATI-KL
menyatakan keluarnya sekret dari telinga (otore) tersebut lebih dari dua bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.

Survei prevalensi OMSK di seluruh dunia pada tahun 2004 menunjukkan 65-330 juta
orang dengan telinga berair, 60% diantaranya (39– 200 juta) menderita kurang pendegaran
yang signifikan.1 Prevalensi OMSK di Indonesia pada tahun 2005 adalah 3,8%. Dari
keseluruhan pasien yang berobat ke poliklinik THT rumah sakit di Indonesia 25%
diantaranya adalah penderita OMSK.2,4 Sedangkan di RSUP Dr. Kariadi Semarang
didapatkan 21% kasus OMSK dari keseluruhan kunjungan di klinik otologi selama tahun
2010.

Lebih dari 90% penderita OMSK berada di negara-negara bagian Asia Tenggara,
Pasifik Barat, Afrika, dan beberapa etnis minoritas di Pinggiran Pasifik. Penderita OMSK
jarang ditemukam di negara-negara Benua Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Australia.

OMSK dapat terjadi karena infeksi akut telinga tengah gagal mengalami
penyembuhan sempurna. Penderita yang datang ke klinik THT seringkali sudah terlambat dan
sudah terdapat tambahan tanda dan gejala penyulit, sehingga mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan sosial dan profesional serta tingkat kualitas hidup. Hal ini terkait dengan
keterbatasan fungsi pendengaran yang bermakna pada penderita OMSK.

OMSK dibedakan menjadi 2 tipe yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa, benigna, tanpa
kolesteatoma) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang, maligna, dengan kolesteatoma).
Kolesteatoma adalah pertumbuhan epitel skuamosa yang abnormal pada telinga tengah dan
mastoid yang berupa kongenital ataupun didapat. Adanya kolesteatoma pada penderita
OMSK dapat mengakibatkan beberapa komplikasi dan tidak jarang mengancam fungsi
fisiologis dan mengancam jiwa seperti kehilangan pendengaran, meningitis, abses serebri,
mastoiditis, parese nervus fasial, kolesteatoma, jaringan granulasi dan empiema subdural.

Lokasi patologi OMSK adalah di telinga tengah, yang merupakan bagian dari sistem
konduksi dalam mekanisme mendengar, oleh sebab itu OMSK mengakibatkan tuli konduktif.
Tuli konduktif pada OMSK terjadi pada derajat ringan sampai sedang lebih dari 50%. Pada
kenyataannya,kurang pendengaran pada penderita OMSK tidak seluruhnya CHL murni.
Tidak sedikit penderita OMSK terlibat pada komponen kurang pendengaran sensorineural
pada kurang pendengaran konduktif.

1
Insidensi Penelitian yang dilakukan di Brazil pada tahun 2016, sebanyak 419 (24,5%)
pasien OMK dengan kolesteatoma dari 1.710 penderita OMK pada periode Agustus 2000
sampai Juni 2015 yang berkunjung ke Klinik Otitis Media RS Porto Alegre. Letı´cia P. S.
Rositodkk tahun 2015 dengan cross-sectional comparative study melaporkan 385 penderita
OMSK dengan kolesteatoma dilakukan penilaian Air Bone Gaps didapatkan prevalensi
kurang pendengaran berat sebesar 3,6% dan disimpulkan bahwa kolesteatoma didapat pada
telinga tengah berhubungan signifikan dengan kurang pendengaran.Sementara pada
penelitian Wilsen dkk pada tahun 2014, analisis studi deskriptif retrospektif pada 40
penderita OMSK dengan kolesteatoma ditemukan ketulian derajat sangat berat (>90 dB) pada
usia antara 7 sampai 17 tahun. Disimpulkan bahwa kolesteatoma lebih tinggi berhubungan
derajat pendengaran SNHL.
Penelitian diatas,kolesteatoma dihubungkan dengan derajat kurang pendegaran pada
penderita OMSK.

Pertumbuhan epitel skuamosa yang abnormal pada telinga tengah dan mastoid akan
membesar dan menghancurkan tulang-tulang pendengaran menyebabkan kenaikan morbiditas
kurang pendengaran konduktif pada penderita OMSK. Pada stadium yang lebih lanjut,
kolesteatoma dapat menghancurkan struktur intratemporal menyebabkan kurang pendengaran
campuran. Hubungan antara adanya kolesteatoma dengan jenis kurang pendengaran dan
derajat kurang pendengaran pada penderita OMSK masih terjadi pedebatan, apakah
berhubungan atau tidak. Berdasarkan pokok pikiran di atas, penulis tertarik meneliti
hubungan kolesteatoma dengan jenis kurang pendengaran dan derajat kurang pendengaran
pada penderita OMSK di RSUP Dr Kariadi Semarang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
Apakah kolesteatoma sebagai faktor risiko jenis dan derajat kurang pendengaran pada pasien
otitis media supuratif kronik (OMSK) ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara kolesteatoma dengan jenis dan derajat kurang
pendengaran pada pasien otitis media supuratif kronik.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui besarnya faktor risiko adanya kolesteatoma denganjenis kurang
pendengaran pada pasien OMSK.
b. Mengetahui besarnya faktor risiko adanya kolesteatoma dengan derajat kurang
pendengaran pada pasien OMSK.
c. Mengetahui hubungan usia dengan terjadinya kurang pendengaran pada pasien
OMSK.

2
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bidang Pengetahuan
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan mengenai
hubungan kolesteatoma dengan jenis dan derajat kurang pendengaran pada pasien OMSK.
1.4.2 Bidang Pelayanan Kesehatan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar penanganan lebih
intensif terhadap pasien OMSK.

1.4.3 Bidang Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih dalam pengembangan
ilmu pengetahuan di instansi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otitis Media Supuratif Kronik

Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan inflamasi kronis mukosa dan
periosteum telinga bagian tengah dan kavum mastoid. Manifestasi otitis media supuratif
kronik berupa otorea berulang yang keluar melalui gendang telinga yang mengalami
perforasi.1,2 Durasi otorea pada kasus OMSK masih belum ada kesepakatan. World Health
Organization (WHO) menyatakan otorea ninimal 2 mingu sudah masuk dalam kategori
OMSK, namun ahli-ahli THT menyatakan durasi lebih dari tiga bulan merupakan kasus
OMSK, sedangkan literatur lain menyatakan lebih dari enam minggu.1,2 Otorea dapat terjadi
terus menerus atau hilang timbul.

Berdasarkan perforasi, OMSK dibagi menjadi 2 tipe yaitu OMSK tipe aman (tipe
mukosa, benigna, tanpa kolesteatoma) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang, maligna, dengan
kolesteatoma). Pada OMSK tipe aman jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya dan
tidak terdapat kolesteatom. Sedangkan pada OMSK tipe bahaya selalu terdapat kolesteatom
dan dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya.

2.1 Etiologi
OMSK umumnya diawali dengan otitis media berulang pada anak, hanya sedikit
yang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari peradangan nasofaring,
mencapai telinga tengah melalui tuba eustakhius.

Faktor-faktor yang menyebabkan otitis media supuratif menjadi kronik sangat


majemuk, beberapa diantaranya :

1. Gangguan fungsi tuba eustakhius yang kronik akibat :


a. Infeksi hidung dan tenggorok yang kronik atau berulang.
b. Obstruksi anatomik tuba eustakhius parsial atau total.
2. Perforasi membrana timpani yang menetap.
3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologis menetap pada telinga
tengah.
4. Obstruksi menetap terhadap aerasi telinga tengah atau rongga mastoid.
5. Terdapat daerah-daerah dengan skuesterisasi atau osteomielitis persisten di mastoid.
6. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelemahan umum atau perubahan
mekanisme pertahanan tubuh.

2.2 Klasifikasi
OMSK secara klinis dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis yaitu :

4
1. Tipe tubotimpani / tipe jinak / tipe benigna
Tipe benigna ditandai dengan adanya perforasi sentral atau pars tensa dan gejala
klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang
mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas,
pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang
rendah, disamping itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan
mukosa, serta migrasi sekunder dari epitel skuamous.Sekret mukoid kronis berhubungan
dengan hiperplasia sel goblet, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan
mukosiliar yang jelek.

Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas:


Fase benigna aktif
Pada jenis ini terdapat otorea atau sekret pada telinga dan penurunan fungsi
pendengaran. Biasanya didahului oleh perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba
eutachius atau gaya hidup seperti setelah berenang dimana kuman masuk melalui liang
telinga luar.Sekret bervariasi dari mukoid sampai mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi
dari sebesar jarum sampai perforasi subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip yang
besar pada liang telinga luar. Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan penyebaran
yang luas dan penyakit mukosa yang menetap.

Fase benigna tidak aktif


Tipe tidak aktif dikatakan jika pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering
dengan mukosa telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif
ringan. Gejala lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus, atau suatu rasa penuh dalam
telinga.

Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani :


1. Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis.
2. Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis.
3. Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat yang
terkontaminasi.
4. Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia.
5. Otitis media supuratif akut yang berulang.

2. Tipe atikoantral / tipe tulang / tipe maligna


Otitis media supuratif kronik tipe maligna bersifat progresif, ditandai dengan
ditemukannya kolesteatoma. Kolesteatoma adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti
mentega, berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotik. Semakin luas
kolesteatoma, akan mendestruksi tulang yang disekitarnya. Infeksi sekunder akan
menyebabkan keadaan septik lokal dan menyebabkan nekrosis septik di jaringan lunak yang
disekitar kolesteatoma. Destruksi jaringan lunak di sekitar kolesteatoma mengancam
terjadinya komplikasi.

5
2.3 Patogenesis
Hingga saat ini patogenesis OMSK belum diketahui secara jelas. OMSK penyakit yang
sebagian besar terjadi sebagai komplikasi infeksi saluran pernafasan bagian atas, stadium
kronik dari otitis media akut (OMA) dengan perforasi yang sudah terbentuk diikuti dengan
keluarnya discharge secara terus-menerus.

Kemungkinan besar proses primer terjadi pada sistem tuba eustakhius, telinga tengah,
dan selulae mastoid. Proses ini khas, bersifat progresif secara terus-menerus dan dinamis,
berakibat hilangnya sebagian membran timpani sehingga memudahkan proses infeksi
menjadi kronik. Perforasi sekunder pada otitis media akut dapat menjadi kronik tanpa terjadi
infeksi pada telinga tengah misalnya pada dry ear.

Faktor-faktor yang menyebabkan proses infeksi menjadi kronik sangat bervariasi. Secara
umum dapat dibedakan menjadi lokal dan sistemik.

Lokal
1. Anatomi dan fungsi tuba eustakhius
Anatomi tuba eustakhius sangat berperan dalam fungsi pertahanan lokal, hal ini disebabkan
oleh pars membranokartilagenous(2/3 bagian medial) pada keadaan normal selalu menutup,
dan hanya terbuka pada keadaan seperti menelan, mengunyah, dan menguap. Pada pars
membranokartilagenous juga mengandung banyak sel-sel epitel kolumner berkelenjar yang
menghasilkan zat mukus yang akan membentuk mukisal blanket yang akan melekat satu sma
lain oleh adanya adhesi untuk menutup lumen tuba. Keadaan tersebut merupakan fungsi
pertahanan mekanik dari tuba eustakhius. Sel-sel kolumner sekretorik yang juga terdapat di
pars membranokartilagenous tuba yang menghasilkan enzim pembunuh kuman dan cairan
immunoglobulin yang mana keduanya merupakan fungsi pertahanan seluler dari tuba
eustakhius.

2. Mukosa telinga tengah


Embriologik endotelium yang masuk ke dalam rongga timpani berasal dari tuba
eustakhius yang kemudian membentuk lipatan mukosa yang akan melekat pada tulang
pendengaran maupun visera rongga timpani, yang kemudian dikenal dengan mesenteriun atau
lipatan mukosa rongga timpani. Epitel rongga timpani berbentuk sel skuamus, kuboid, dan
kolumner bersilia dan berkelenjar, yang berfungsi antara lain meresorbsi O2, pembersihan,
menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk serta fungsi proteksi, seperti proteksi
mekanik oleh mukosal blanket, proteksi humoral oleh imunoglobulin dan enzim pembunuh
kuman yang dihasilkan oleh sel kolumner berkelenjar, serta prokteksi selular yang terdapat di
submukosa yang berupa sel fagosit.

3. Membran timpani
Pada keadaan normal membran timpani utuh, sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung
rongga telinga tengah terhadap paparan kuman yang masuk dari kanalis auditorius
eksternus.10 Perforasi membran timpani gagal untuk menutup spontan, sehingga mudah
terjadi infeksi berulang dari telinga luar atau paparan alergen dari lingkungan. Keadaan ini

6
menyebabkan otorea yang persisten dan lamakelamaan akan menjadi otitis media supuratif
yang menahun.

Sistemik
1. Keadaan umum tubuh
Keadaan umum yang lemah akibat inadekuat asupan gizi, menimbulkan daya pertahan tubuh
terhadap infeksi menjadi lemah. Kondisi tersebut memudahkan terjadinya infeksi saluran
pernafasan bagian atas yang merupakan faktor predisposisi infeksi kavum timpani atau
rongga telinga tengah.
2. Penyakit sistemik yang menyertai
Beberapa penyakit sistemik seperti diabetes melitus, kelainan darah, dapat menyebabkan
penurunan imunitas tubuh akibat tidak berfungsinya lekosit sebagai sel makrofag secara baik.
Inadekuat fungsi makrofag menyebabkan penyakit sistemik sulit sembuh, bahkan mampu
meningkatkan progresifitas penyakit.
3. Adanya Alergi
Infeksi saluran pernafasan yang didasari reaksi alergi menyebabkan penyakit sulit dieliminasi
terhadap pengobatan konvensional dan akan menjadi kronis, kecuali bila faktor alergi
dihilangkan.Sebagian otitis media kronis masih sulit untuk ditangani. Para tenaga medis
biasanya berasumsi bahwa setiap radang hanya diakibatkan infeksi oleh kuman sesuai uji
keberadaan bakteri. Hal tersebut mengakibatkan antibiotik yang lebih sering diresepkan
untuk mengobati kegagalan pengobatan radang dan mungkin akan gagal lagi. Karena pada
radang yang berulang, kemungkinan terdapat faktor alergi sebagai latarbelakang penyebab
kegagalan pengobatan. Sehingga dalam penanganan OMSK, faktor alergi harus dicurigai.
Lasisi pada tahun 2008 di Nigeria melaporkan terdapat hubungan antara otitis media
supuratif dan alergi pada sekitar 80% pasien dengan alergi.

Karakteristik anatomis dan fisiologis dari tuba eustakhius pada penderita alergi
merupakan salah satu faktor penting dalam progresifitas kejadian OMSK. Meskipun
pengaruh rinitis alergi (RA) pada fungsi tuba eustakhius telah banyak diketahui, masih sedikit
bukti bahwa RA berpengaruh terhadap kejadian OMSK. Penelitian Bakhshaee menyatakan
terdapat perbedaan pada pasien OMSK dengan RA dibandingkan dengan tanpa RA, namun
hal tersebut tidak signifikan.

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi OMSK melibatkan berbagai faktor yang berhubungan dengan tuba
eustakhius, baik faktor lingkungan, faktor genetik, maupun faktor anatomik. Tuba eustakhius
memiliki fungsi penting yang berhubungan dengan kavum timpani, diantaranya fungsi
ventilasi, fungsi proteksi, dan fungsi drainase. Penyebab endogen maupun eksogen dapat
mengganggu fungsi tuba dan menyebabkan otitis media. Penyebab endogen misalnya
gangguan silia pada tuba, deformitas palatum, atau gangguan otot-otot dilatator tuba.
Penyebab eksogen misalnya infeksi atau alergi yang menyebabkan inflamasi pada muara
tuba.
Mayoritas OMSK merupakan kelanjutan atau komplikasi otitis media akut (OMA)
yang mengalami perforasi. Namun, OMSK juga dapat terjadi akibat kegagalan pemasangan
pipa timpanostomi (gromet tube) pada kasus otitis media efusi (OME). Perforasi membran

7
timpani gagal untuk menutup spontan, sehingga mudah terjadi infeksi berulang dari telinga
luar atau paparan alergen dari lingkungan. Keadaan ini menyebabkan otorea yang
Infeksi kronis ataupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorokan dapat
menyebabkan gangguan fungsi tuba eustakhius sehingga kavum timpani mudah mengalami
gangguan fungsi hingga infeksi dengann otorea terus-menerus atau hilang timbul.
Peradangan pada membran timpani menyebabkan proses kongesti vaskuler, mengakibatkan
terjadi iskemi pada suatu titik, yang selanjutnya terjadi titik nekrotik yang berupa bercak
kuning. Bila disertai tekanan akibat penumpukan discharge dalam kavum timpani dapat
mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi yang menetap akan
menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman yang
berasal dari kanalis auditorius eksternus dan dari udara luar dapat dengan bebas masuk ke
dalam kavum timpani. Kuman yang bebas masuk ke dalam kavum timpani menyebabkan
infeksi yang mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus. Keadaan kronik ini
ditetapkan berdasarkan waktu dan penggolongan stadium didasarkan pada keseragaman
gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi disebabkan oleh proses yang
bersifat eksaserbasi atau persisten, efek dari kerusakan jaringan, serta pembentukan jaringan
sikatrik.

Selama fase aktif, epitel mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa sekretorik yang
memiliki sel goblet yang mengekskresi sekret mukoid atau mukopurulen. Adanya infeksiaktif
dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan mukosa mengalami proses
pembentukan jaringan granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat menutup membran
timpani, sehingga menghalangi drainase. Keadaan seperti ini menyebabkan OMSK menjadi
penyakit persisten.Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses
penutupannya dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamosa masuk ke telinga tengah, kemudian
terjadi proses deskuamasi normal yang akan mengisi telinga tengah dan antrum mastoid,
selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita sekunder. Kolesteatoma merupakan media
yang cukup sesuai bagi pertumbuhan kuman patogen dan bakteri pembusuk. Kolesteatoma
bersifat destruktif, sehingga mampu menghancurkan tulang di sekitarnya termasuk rangkaian
tulang pendengaran oleh reaksi erosi dari enzim osteolitik atau kolagenase yang dihasilkan
oleh proses kolesteatoma dalam jaringan ikat subepitel.Pada proses penutupan membran
timpani dapat juga terjadi pembentukan membran atrofik dua lapis tanpa unsur jaringan ikat,
dimana membran bentuk ini akan cepat rusak pada periode infeksi aktif.

2.5 Gejala Klinis

2.5.1 Telinga berair (otorrhoe)

Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Sekret yang
mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK
tipe jinak, cairan yang keluar mukopurulen yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai
reaksi inflamasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani. Keluarnya sekret
biasanya hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas
atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang.

OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau,
berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk degenerasi
kolesteatoma yang terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada OMSK tipe

8
maligna unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya
lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya
jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatoma. Sekret yang
encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.

2.5.2 Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.


Biasanya dijumpai tuli konduktif namun ada juga bersifat tuli campuran. Gangguan
pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang
sakit ataupun kolesteatoma dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila
tidak dijumpai kolesteatoma, tuli konduktif kurang dari 20 dB ditandai bahwa rantai tulang
pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang-tulang pendengaran
menghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 dB. Berat ringan ketulian tergantung dari
besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran
suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat
karena putusnya rantai tulang pendengaran.

Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya infeksi


karena penetrasi toksin melalui foramen rotundum atau fistula labirin tanpa terjadinya
labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli sensorineural berat.

2.5.3 Otalgia ( nyeri telinga)

Pada OMSK, keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase sekret. Nyeri dapat
menandakan adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya
durameter ataudinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses otak. Nyeri telinga
dapat juga berupa manifestasi dari otitis eksterna sekunder. Nyeri merupakan tanda
berkembang komplikasi OMSK seperti petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus
lateralis.

2.5.4 Vertigo

Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius. Keluhan vertigo
merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatoma.
Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada
panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran
timpani yang akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Fistula
merupakan temuan yang serius pada OMSK, karena infeksi kemudian dapat berlanjut dari
telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis dan bisa berlanjut
menjadi meningitis.

2.2 Kurang Pendengaran


Kurang pendengaran dibedakan menjadi 3 jenis sesuai dengan letak kelainan, yaitu
kurang pendengaran tipe konduktif, kurang pendengaran tipe sensorineural, dan kurang
pendengaran tipe campuran ( Mixed Hearing Loss / MHL).

9
1. Kurang Pendengaran Tipe Konduktif

Conductive Hearing Loss (CHL) terjadi akibat adanya gangguanhantaran suara yang
disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar dan atau di telinga tengah. Bersifat
correctable, umumnya mengenai nada atau frekuensi rendah. Derajat keparahan adalah ringan
sampai sedang, dan membaik jika menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Gejala klinis
CHL umumnya suaranya pelan karena penderita mendengar suaranya sendiri terdengar keras.
Di tempat keramaian lebih jelas mendengar (parakusis willissis). Penyakit yang
menyebabkan kurang pendengaran tipe konduktif adalah otitis media dan otosklerosis.

2. Kurang Pendengaran Tipe Sensorineural

Sensorineural Hearing Loss (SNHL) diakibatkan adanya kelainan pada telinga


dalam/koklea, nervus VIII, atau di pusat pendengaran. Bersifat uncorrectable, umumnya
mengenai nada tinggi. Derajat keparahan mulai dari ringan sampai berat, dan tidak ada
perbaikan jika menggunakan alat bantu dengar. Gejala klinis berupa pasien kesulitan
mendengar percakapan terutama di tempat keramaian dan suara bicara penderita umumnya
keras. Penyakit yang dapat menyebabkan SNHL antara lain Meniere’s disease, trauma
akustik, presbikusis, ototoksisitas, dan neuroma akustik.

3. Kurang Pendengaran Tipe Campuran


Mixed Hearing Loss (MHL) merupakan kombinasi dari CHL dan SNHL.

2.1 Presbikusis

Presbikusis merupakan kurang pendengaran sensorineural pada usia lanjut oleh


karena proses degeneratif pada organ pendengaran. Proses ini berjalan perlahan-lahan dan
simetris (terjadi pada kedua sisi telinga).Lanjut usia dikatakan sebagai tahap akhir pada
perkembangan pada daur kehidupan manusia. Berdasarkan UndangUndang Nomor 13 Tahun
1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut
dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun,
lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua
(very old) ialah
di atas 90 tahun.

2.3 Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah alat elektoakustik yang digunakan untuk mengukur
adanya kurang pendengaran, jenis dan derajat kurang pendengaran. Audiometri nada murni
digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang mendengar bunyi nada murni pada
beberapa frekuensi pada sumbu datar/axis (125 Hz, 250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz, 4000
Hz, dan 8000 Hz) dengan intensitas suara -10 sampai 110 dB (sumbu tegak,ordinat).

Audiometri hantaran udara (Air Conduction, AC) digunakan untuk mengukur kepekaan
seluruh mekanisme pendengaran baik telinga luar, telingan tengah, maupun telinga dalam
(mekanisme sensorineural koklea dan dan nervus auditori. AC dapat diketahui dengan
memperdengarkan pulsa nada murni pendek-pendek melalui earphone ke telinga. Pada setiap
frekuensi yang diuji, pemeriksa mengubah-ubah intensitas untuk menentukan tingkat ambang
dengar pasien sesuai dengan frekuensi yang diuji.

10
Audiometri hantaran tulang (Bone Conduction, BC) digunakan untuk mengukur
kepekaan seluruh mekanisme sensorineural (koklea dan nervus auditori). BC dapat diketahui
dengan cara membunyikan langsung ke tulang tengkorak pasien dengan memasang vibrator
hantaran tulang langsung ke mastoid. Stimulasi langsung ke koklea tanpa melalui telinga
tengah.Penilaian audiometri meliputi :

2.3.1 Nilai Ambang Pendengaran


Nilai ambang pendengaran ditentukan dengan cara mengukur
rata-rata intensitas pada frekuensi 500-4000 Hz.

Ambang Dengar (AD) =𝐴𝐷 500 𝐻𝑧+𝐴𝐷 1000 𝐻𝑧 +𝐴𝐷 2000 𝐻𝑧 +4000 𝐻𝑧
4

Nilai ambang pendengaran dapat ditentukan dari hantaran udara (AC) Interpretasi hasil
berdasarkan International Standart Organization.

(ISO) tentang derajat kurang pendengaran adalah :

0 – 25 db : Normal
26 – 40 dB : Kurang pendengaran ringan
41 – 60 dB : Kurang pendengaran sedang
61 – 90 dB : Kurang pendengaran berat
> 90 dB : Kurang pendengaran sangat berat

2.3.2 Jenis Kurang Pendengaran

2.1 CHL
Audiogram CHL menunjukkan penurunan nilai ambang AC, sementara BC normal.
Dengan demikian terdapat jarak antara grafik AC dan BC yang disebut dengan air-bone gap
(ABG). Pada CHL, AB Gab didapatkan ≥ 10 - 15 dB.

2.2 SNHL

Audiogram SNHL, menunjukkan penurunan nilai ambang AC dan BC tanpa terdapat


AB Gab.

2.3 MHL
Audiogram MHL menunjukkan nilai ambang AC dan BC menurun, tetapi AC lebih
berkurang karena adanya air-bone gap.

2.4 Patogenesis MHL

Mixed Hearing Loss (MHL) pada OMSK terjadi akibat suatu rangkaian proses di
telinga tengah yang mampu menyebabkan gangguan fungsi telinga dalam (labirin), terutama
pada organ koklea. Proses kejadian MHL pada OMSK diawali dengan kegagalan tuli
konduksi, kemudian diikuti terlibatnya komponen sensorineural. Beberapa peneliti, seperti
yang dikutip oleh Azevedo, antara lain oleh Paparella dan Schachern dkk menyatakan bahwa
foramen rotundum sangat berperan terhadap kejadian SNHL.

11
Foramen rotundum merupakan membrana semipermeabel, dimana zatzat tertentu
dapat melewatinya. Hal ini telah dibuktikan dalam penelirian terhadap binarang. Adapun zat-
zat yang mampu melewati membrana foramen rotundum menuju skala timpani antara lain
bermacam jenis protein, antibiotik, toksin bakteri, serta obat-obat anestesi lokal.

Pada keadaan infeksi akut, terjadi peningkatan permeabilitas pada membrana foramen
rotundum, sehingga zat-zat tersebut diatas termasuk mikrotoksin hasil peradangan akan lebih
mudah melewatinya dan masuk ke telinga dalam menyebabkan perubahan biokimia cairan
perilimfe yang diteruskan ke kortilimfe dan akhirnya mampu merusak organon korti. Hal ini
mengakibatkan terjadinya SNHL.

Seperti yang dikutip oleh Dina Permatasari dari Schukcnecht dkk yang menyatakan
efek toksin lokal mampu mempercepat proses atrofi koklea, dimana perubahan ini dapat
menyebabkan kekakuan dan kerapuhan ligamen spiralis atau membrana basilaris, sehingga
koklea mengalami perubahan dalam merespon suara.

Selain variasi anatomi dan patologi yang memiliki peran terhadap foramen rotundum
sebagai jalan masuk ke telinga dalam, terdapat beberapa faktor lain yang ikut menyebabkan
terjadinya kerusakan pada telinga dalam antara lain gangguan sirkulasi dan adanya hipoksia.
Proses peradangan kronik menyebabkan vasikonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah
mukosa membrana foramen rotundum sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah, akibatnya
fungsi telinga dalam ikut terganggu. Hipoksia terjadi karena ada penebalan membrana
foramen rotundum yang menghambat difusi normal oksigen dari telinga tengah ke perilimfe.
Dalam perilimfe terdapat tekanan parsial oksigen sebesar 100 mmH2O2. Bila tekanan
tersebut hanya 15 – 24 mmH2O2, oksigen akan ditransportasi dari telinga dalam ke telinga
tengah, sehingga keberadaan tersebut mampu merusak organ telinga dalam akibat
kekurangan oksigen.

Kejadian SNHL pada penderita otitis media kronik sangat berhubungan dengan
komplikasi terutama mastoiditis dan lama kerusakan organ telinga tengah antara lain
kemungkinan dapat terjadi timpanosklerosis, fiksasi tulang pendengaran, timbulnya jaringan
granulasi dan polip. Perubahan pada organ telinga tengah akibat OMSK tersebut berpengaruh
terhadap fungsi sirkulasi darah terutama terhadap suplai oksigen ke telinga dalam, sehingga
terjadi keadaan hipoksia berat (tekanan ≤ 15 – 25 mmH2O2) mampu menyebabkan kejadian
SNHL.

2.5 Faktor Risiko MHL pada OMSK dengan Kolesteatoma

Kolesteatoma adalah kista epitelial berisi deskuamasi epitel (keratin). Deskuamasi


epitel dapat berasal dari kanalis auditorius eksterna atau timpani. Apabila terbentuk terus-
menerus dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi sehingga menyebabkan kolesteatoma
bertambah besar. Kolesteatoma bersifat destruktif pada kranium karena dapat mengerosi dan
menghancurkan struktur penting pada tulang temporal.

Kolesteatoma bisa terjadi kongenital maupun didapat. Kolesteatoma kongenital terjadi


karena perkembangan dari proses inklusi pada masa embrional atau dari sel-sel epitel
embrional. Pada keadaan ini, kolesteatoma ditemukan di bagian belakang dari membran
timpani yang intak, tanpa berlanjut ke saluran telinga luar, serta tanpa adanya faktor-faktor
lain seperti perforasi membran timpani atau adanya riwayat infeksi pada telinga.

12
Terdapat beberapa teori yang mendukung terjadinya kolesteatoma didapat (acquired),
yaitu teori metaplasia, invaginasi, invasi, dan implantasi. Kolesteatoma didapat mempunyai
dua bentuk, yaitu bentuk primer dan sekunder. Faktor terpenting dari kolesteatoma didapat,
baik primer maupun sekunder, ialah epitel berlapis gepeng dan keratinisasi yang tumbuh
melewati batas normal. Kolesteatoma didapat primer merupakan manifestasi dari
perkembangan membran timpani yang retraksi (teori invaginasi). Kolesteatoma didapat
sekunder sebagai konsekuensi langsung dari trauma atau infeksi yang menyebabkan perforasi
membran timpani.

Kolesteatoma didapat (acquired) biasanya terjadi karena retraksi atau kolaps membran
timpani sehingga terjadi invaginasi akibat disfungsi tuba eustakhius. Tuba eustakhius yang
tidak berfungsi dengan baik karena terdapat infeksi pada telinga tengah. Tuba eustakhius
membawa udara masuk dari nasofaring menuju telinga tengah untuk menyeimbangkan
tekanan telinga tengah dengan telinga luar. Normalnya tuba eustakhius kolaps padakeaadaan
istirahat. Ketika menelan atau menguap, otot yang mengelilingi tuba eustakhius berkontraksi
sehingga ostium tuba eustakhius terbuka dan udara dari luar masuk menuju telinga tengah.
Saat tuba eustakhius tidak berfungsi dengan baik, udara pada telinga tengah diserap oleh
tubuh dan menyebabkan telinga tengah sebagian terjadi hampa udara. Keadaan ini
menyebabkan pars flaccida di atas kolum malleus membentuk kantong retraksi, migrasi epitel
membran timpani melalui kantong yang mengalami retraksi ini mengakibatkan terjadinya
akumulasi keratin.

Walaupun kolesteatoma tidak termasuk keganasan, namun dapat berakibat fatal melalui efek
resorbsi tulang. Respon imunologis berperan dalam pembentukan kolesteatoma serta
kecenderungan terjadinya destruksi tulang sekitar. Peran sistem imun pada kolesteatoma
dapat dilihat melalui kerja sitokin dan molekul adhesif, yang berperan dalam proliferasi,
regulasi, dan aktivasi jaringan. Respon imun alamiah ternyata berperan dalam pembentukan
kolesteatoma melalui kerja beberapa jenis protein seperti human beta defensin (hBD), SLPI
(secretory leucocyte protease inhibitor), dan TLR (toll like receptor). Selain itu, TLR juga
bekerja melalui respon imun adaptif.

Pada stadium yang lebih lanjut kolesteatoma dapat menghancurkan struktur


intratemporal menyebabkan tuli sensorineural atau paralisis nervus fasial dan juga mengerosi
dinding mastoid. OMSK pada anak sering myebabkan ketulian dengan derajat sangat berat
dan pada rantai osikular sering hanya tersisa basis stapes dengan penyebaran kolesteatoma
yang ekstensif pada berbagai bagian dari tulang temporal pasien yang berbeda.Penelitian
yang dilakukan Chao melaporkan audiometri nada murni sebelum operasi pada 94 pasien
OMSK dengan kolesteatoma menunjukkan 49% terjadi gangguan pendengaran tipe CHL;
29,2% mengalami MHL; 15,6% terjadi SNHL; dan 6,2% tidak ada gangguan pendengaran.7
Costa meneliti bahwa adanya kolesteatoma pada pasien OMSK dapat meningkatkan angka
morbiditas dan perubahan telinga dalam, hal tersebut berkaitan dengan adanya kerusakan
pada rantai tulang pendengaran.35 Azevedo menyatakan adanya kolesteatoma tidak
berhubungan dengan kejadian kurang pendengaran sensorineural pada penderita OMSK.28
Sharma menyatakan kurang pendengaran sensorineural terdapat pada pasien OMSK dengan
kolesteatoma, namun hal tersebut tidak berhubungan signifikan

BAB III

13
PEMBAHASAN

3.1. Pengertian Kolesteatoma

Otitis media supuratif kronik (OMSK) masih merupakan masalah kesehatan


masyarakat di daerah berkembang. Berdasarkan beratnya penyakit, OMSK dapat
dikelompokkan atabenigna (non-dangerous type) dan maligna (dangerous type). Sebagian
besar OMSK maligna disebabkan oleh adanya kolesteatoma, yang dapat menimbulkan
berbagai komplikasi antara lain meningitis, abses otak, labirintitis, dan paresis saraf fasialis.

Pada OMSK terdapat perforasi membran timpani yang menetap baik di


daerah sentral, marginal, atau atik. Perforasi yang terjadi merupakan faktor predisposisi untuk
terjadinya infeksi berulang, karena selain terjadi perubahan pada tuba Eustachius dan kavum
timpani, telinga tengah tidak terlindungi dari luar. Perubahan mukosa yang dapat terjadi pada
OMSK yaitu granulasi dan kolesteatoma.

Kolesteatoma terdiri dari epitel berlapis gepeng, berkeratin, dengan


akumulasi deskuamasi epitel atau keratin di dalam telinga tengah atau bagian lain tulang
temporal yang berpneumatisasi. Struktur kole-Pelealu: Mekanisme Imun Terbentuknya
Kolesteatoma steatoma tampak seperti kista. Kolesteatoma bersifat progresif dan destruktif,
dan bisa terjadi kongenital maupun didapat.Kolesteatoma kongenital terjadi karena
perkembangan dari proses inklusi pada masa embrional atau dari sel-sel epitel embrional.
Pada keadaan ini, kolesteatoma ditemukan di bagian belakang dari membran timpani yang
intak, tanpa berlanjut ke saluran telinga luar, serta tanpa adanya faktor-faktor lain seperti
perforasi membran timpani atau adanya riwayat infeksi pada telinga. Koleostoma tampak
berupa epitel berwarna putih yang timbul di dalam salah satu tulang kepala (biasanya
temporal) tanpa kontak dengan telinga luar, sering pada bagian anterior mesotimpanum atau
daerah sekitar tuba Eustachius).

Terdapat beberapa teori yang mendukung terjadinya kolesteatoma didapat


(acquired), yaitu teori metaplasia, invaginasi, invasi, dan implantasi. Kolesteatoma didapat
mempunyai dua bentuk, yaitu bentuk primer dan sekunder. Faktor terpenting dari
kolesteatoma didapat, baik primer maupun sekunder, ialah epitel berlapis gepeng dan
keratinisasi yang tumbuh melewatibatas normal. Kolesteatoma didapat primer merupakan
manifestasi dari perkembangan membran timpani yang retraksi (vaginasi). Kolesteatoma
didapat sekunder sebagai konsekuensi langsung dari trauma atau infeksi yang menyebabkan
perforasi membran timpani.

Kolesteatoma merupakan penyebab utama terjadinya komplikasi pada OMSK, karena


mengakibatkan destruksi tulang pada kavum timpani, mastoid, dan daerah sekitarnya. Hal ini
memudahkan terjadinya komplikasi baik intratemporal maupun intrakranial. Meskipun
kolesteatoma bukan suatu keganasan tetapi bersifat menyerupai keganasan karena dapat
menghancurkan daerah sekitarnya dan dapat rekuren setelah operasi.

14
PEMBENTUKAN KOLESTEATOMA

Pada koleostoma kongenital, teori yang sering digunakan ialah teori


kegagalan invousi dan teori metaplasia. Pada teori pertama kegagalan involusi, penebalan
epitel ektodermal pada bagian proksimal ganglion genikulatum terjadi selama masa
perkembangan fetus. Involusi yang seharusnya terjadi pada waktu 33 minggu intrauterintidak
terjadi. Epitel ini berasal dari jaringan ektodermal yang terbentuk pada minggu ke 10
intrauterin tanpa fungsi khusus. Bila tidak diresorbsi, maka struktur ini akan tertinggal dan
diperkirakan dapat membentu kolesteatoma. Teori kedua berpijak pada metaplasia yang
terjadi dalam kavum timpani.

Terdapat beberapa teori mengenai terbentuknya kolesteatoma didapat, yaitu:


1. Metaplasia dari lapisan epitel telinga tengah akibat infeksi: teori ini melibatkan perubahan
atau transformasi dari epitelselapis kubis menjadi epitel berlapisgepeng berkeratin akibat
dari otitis media kronik atau rekuren. Beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan
metaplasia, yaitu merokok, vitamin A, progesteron, serta variasi kadar CO2 dan O2.

2. Retraksi atau kolaps membran timpani sehingga terjadi invaginasi akibat disfungsi tuba
Eustachius. Teori ini didasarkan pada adanya kantung epitel gepeng yang berasal dari
retraksi memtimpani pars flasida. Reaksi peradangan pada ruang Prussack yang biasanya
akibat ventilasi buruk dapat menyebabkan kerusakan membran basasehingga terjadi
pertumbuhan dan proliferasi tangkai sel epitel ke dalam. Terbentuk kantong atau kista
epitel skuamosa dalam telinga tengah kemudian terbentuk lapisan deskuamasi epitel
dengan kristal kolestrin mengisi kantong. Matriks epitel kemudian meluas ke ruang-ruang
dalam telinga tengah dan mastoid.Kantung retraksi ini dapat berkembang karena
akumulasi debris, infeksi, inflamasi, dan akhirnya terbentu kolesteatoma. Perkembangan
kolesteatoma bermula dari pars flasida.

3. Invasi hiperplasia dari lapisan basal kulit liang telinga ke dalam telinga tengah melalui
perforasi marginal atau atik membran timpani.

4. Implantasi: pembentukan kolesteatoma yang berkembang dari implantasi kulit secara


iatrogenik di dalam telinga tengah atau membran timpani akibat proses pembedahan,
benda asing, atau trauma akibat ledakan.

3.2 MEKANISME TERBENTUKNYA KOLESTEATOMA

Perkembangan kolesteatoma dibagi menjadi dua fase yaitu fase aktif dan pasif. Fase aktif
ditandai dengan penetrasi dan proliferasi sel-sel basal epidermis kejaringan ikat subepitelial.
Fase pasif ditandai dengan terjadinya pembesaran kantung kolesteatoma yang tergantung luas
permukaan deskuamasi dari matriks.

1. Patologi kolesteatoma menyebabkanterjadinya erosi tulang yang progresif dari osikel


dan tulang sekitarnya. Tiga faktor yang diperkirakan berperan dalam proses ini yaitu:
Proses mekanis berkaitan dengan tekanan oleh tumor.

2. Faktor biokimiawi yang berkaitan dengan elemen bakteri, produk jaringan granulasi
seperti kolagenase, asam hidrolase, sitokin (IL-1ά, IL-6, IL-8, TNF ά, INF-β) dan
growth factors.

15
3. Faktor seluler yang diinduksi oleh aktivitas osteoklas. Osteoklas dalam matriks
kolesteatoma mengeluarkan asam fosfatase, kolagenase, dan enzim proteolitik lain
seperti matrix metalloproteinases (MMPs), calpain types I-II, cysteine proteinase
cathepsin B, dan cysteine proteinase cathepsin K yang meresorbsi produk tulang.
Selanjutnya osteoklas dapat diaktivasi oleh infeksi, tekanan, dan sel Langerhans
melalui mekanisme imun

Peran protein p53 dalam pembentukan kolesteatoma

Kolesteatoma merupakan sejenis tumor jinak yang ditandai oleh


hiperproliferasi epitel dan akumulasi progresif dari keratin. Homeostatis pertumbuhan
keratinosit tergantung pada koordinasi kontrol proliferasi sel dan kematian sel terprogram
(apoptosis). Pada kolesteatoma perlangsungan koordinasi ini tidak seimbang. Apoptosis
ditentukan oleh kelompok gen yang mengatur stimulasi dan inhibisi. Salah satunya yang
penting ialah protein p53 yang dapat mengaktifkan program kematian sel melalui sistein
protease kaskadeyang disebut kaspase. Dari beberapa jenis kaspase, kaspase-3 merupakan
penanda (marker) penting yang menunjukkan sedang berlangsungnya proses apoptosis. Gen
p53 mempunyai fungsi yang lain yaitu dapat mengontrol penghambatan mitosis. Bagian yang
dihambat p53 ialah pada tahap G1 melibatkan regulasi p21 yang merupakan inhibitor cyclin-
dependent kinase. Fungsi ganda dari p53 ini yang membuatnya menarik untuk dipelajari
sehubungan dengan pembentukan dan perkembangan kolesteatoma. Beberapa kontroversi
yang masih diperdebatkan yaitu mengenai ekspresi p53 dan derajat apoptosis pada
kolesteatoma; demikian juga mengenai derajat proliferasi sel dan ekspresi

Hiperproliferasi keratinosit oleh carcinoembryonic antigen (CEA)

Sampai saat ini patofisiologi ter-Pelealu: Mekanisme Imun Terbentuknya


Kolesteatoma bentuknya kolesteatoma masih belum jelas. Pada penelitian Babic dan
Milosavljevic ditemukan carcinoembryonic antigen (CEA)pada epitel berlapis gepeng
kolesteatoma serta sel endotel pembuluh darah dan lamina propria mukosa telinga tengah
penderita otitis media supuratif kronis. CEA adalah glikoprotein permukaan sel yang
merupakan bagian superfamili immunoglobulin, yang belakangan ini sering disebut juga
bagian dari intercellular adhesive molecules (ICAMs). Otitis media kronis dengan
kolesteatoma merupakan penyakit invasif yang menyebabkan destruksi struktur mukosa dan
tulang di dalam telinga tengah. Beberapa penelitian menunjukkan CEA terekspresi pada
inflamasi kronik dan dapat menginduksi terjadinya hiperproliferasi keratinosit. Jadi adanya
CEA dianggap menginduksi terjadinya hiperproliferasi keratinosit sehingga terbentuk
kolesteatoma.

Peran growth factor terhadap kolesteatoma

Proses patologi yang sangat penting dari kolesteatoma ialah proliferasi aktif
dari sel epitel yang kemungkinan distimulasi oleh beberapa growth factor. Keratinocyte
growth factor (KGF) dan reseptornya keratinocyte growth factor receptor (KGFR) diduga
berperan dalam aktivitas proliferasi sel dan rekurensi kolesteatoma. KGF merupakan bagian
dari fibroblast growth factor (FGF) yang bekerja sebagai mediator pertumbuhan epitel. Ikatan
KGF dan KGFR akan memicu sinyal transduksi yang akan menstimulasi proliferasi sel.

Ekspresi sitokeratin

16
Hiperproliferasi dari kolesteatoma cukup sering dibahas tanpa melibatkan polaekspresi
sitokeratin. Ekspresi sitokeratin 4, 10, 13, 14, 16, dan 19 bisa menunjukkan hiperproliferasi
kolesteatoma pada lapisan tertentu. Sitokeratin 10 (cytokeratin 10, CK 10) merupakan tanda
perluasan dari kolesteatoma; CK 14 pada basal keratinosit; dan CK 19 di keratinosit pada
stratum basal epidermis.

PATOLOGI AKIBAT KOLESTEATOMA

Beberapa kepustakaan masih menyatakan mengenai erosi tulang


kolesteatoma yang disebabkan oleh proses mekanis berkaitan dengan tumor.Kontroversi yang
ada sekarang ini bahwa yang berperan pada erosi tulang ialah enzim osteolitik atau
kolagenase yang disekresi oleh jaringan ikat subepitel dan bukan karena proses mekanis.

Erosi tulang akibat aktivitas osteoklas

Kolesteatoma merupakan kista epidermoid yang dapat berekspansi dan


menyebabkan kompikasi karena menimbulkan erosi pada tulang sekitarnya. Hal ini dapat
menyebabkan destruksi dari tulang-tulang pendengaran dan kapsul labirin yang diikuti
dengan penurunan pendengaran, disfungsi vestibuler, kelumpuhan nervus fasialis dan
komplikasi intrakranial. Resorbsi tulang yang terjadi biasanya di daerah perimatriks
kolesteatoma dan disebabkan oleh aktivitas osteoklas. Lapisan perimatriks dari kolesteatoma
menunjukkan aktivitas enzim yang berbeda, diantaranya lisosomal eksoglisosidase. Aktivitasi
enzim ini secara signigfikan lebih tinggi dibandingkan pada jaringan normal.Peran osteoklas
cukup menonjol dalam resorbsi tulang pada kolesteatoma. Osteoklas adalah makrofag
spesifik yang terdapat pada permukaan tulang. Osteoklas yang matur akan diaktifkan oleh
sinyal tertentu sehingga menyebabkan terjadinya resorbsi tulang. Mediator inflamasi seperti
interleukin-1α dan interleukin-1ß serta tumor necrosis factor α dan growth factor yang
dikeluarkan kolesteatoma akan mengaktifkan pelepasan osteoklas dan resorbsi tulang.

Peran enzim proteolitik dalam erosi tulang

Salah satu enzim proteolitik yang berperan dalam erosi tulang pada
kolesteatoma adalah matrix metalloproteinase (MMPs) yang biasanya diproduksi oleh
beberapa tipe sel yang berbeda seperti fibroblas, keratinosit, makrofag dan sel endotelial. 100
Jurnal Biomedik, Volume 4, Nomor 2, Juli 2012, hlm. 96-103MMPs berperan penting dalaM
proseSremodelingSnormal, dalam percepatan destruksi pada beberapa penyakit, dan pada
mekanisme resorbsi tulang. Enzim ini berperan dalam merusak matriks ekstrasel.20,21 Selain
MMPs terdapat beberapa jenis matrix degrading proteinase seperti asam fosfatase, calpain
tipe I dan II, sistein proteinase cathepsin B dan K. Yang terakhir ditemukan yaitu cathepsin K
berperan cukup penting dalam resorbsi tulang karena menyebabkan degradasi dari major
bone collagen tipe 1 dalam jumlah besar dan juga matriks tulang osteonektin. Cathepsin K
tidak ditemukan dalam matriks tetapi dalam osteoklas.Stratum korneum dari kolesteatoma
mengandung matriks kolesteatoma dalam jumlah besar. Membran ini berfungsi untuk proses
difusi dan penetrasi. Dugaan lain timbulnya kolesteatoma ialah infeksi yang menyebabkan
perubahan pada membran sehingga terjadi perubahan dalam metabolisme lipid, peningkatan
proliferasi sel, peningkatan aktivitas enzim, dan mungkin menyebabkan pengeluaran sitokin
dan molekul inflamasi lainnya. Diduga stimulus internal atau eksternal yang menyebabkan

17
terjadinya hal-hal di atas, tetapi masih belum dapat dipastikan penyebabnya. Beberapa enzim
seperti manosidase, , fukosidase dan heksosaminidase dapat menyebabkan degradasi pada
komponen matriks ekstraseluler kulit dan tulang sehingga akhirnya terjadi resorbsi tulang.
Kolesteatoma juga memroduksienzim lisosomal proteolitik yang dapat menyebabkan
destruksi jaringan.

3.3 PERAN RESPON IMUN DALAM PEMBENTUKAN KOLESTEATOMA

Respon imun dianggap bertanggung jawab atas kesalahan pertumbuhan epitel


pada kolesteatoma di telinga tengah.Secara histopatologi, kolesteatoma terdiri dari epitel
gepeng berkeratin dan jaringan penyambung termasuk fibroblas dan kolagen dengan infiltrasi
limfosit dan makrofag. Keratin yang menyebabkan degradasi jaringan diawali oleh peran
makrofag dalam imunitas adaptif. Aktivasi makrofag yang dimungkinkan oleh limfokin
membangkitkan spesies oksigen reaktif, berbagai enzim hidrolitik, dan sitokin pada jaringan
inflamasi yang akhirnya menyebabkan resorbsi tulang.Sitokin yang mempengaruhi
kolesteatoma

Pada perimatriks, sel endotel mengekspresikan molekul ICAM-1 dan ELAM-


1 yang berperan dalam sel-sel inflamasi danrespons imunologi. Lapisan basal dari matriks
mengekspresikan ICAM-1 meskipun tidak kontinyu. ICAM-1 merupakanligan fisiologik dari
integrin LFA-1 yang diekspresikan oleh leukosit. Keduanya berperan penting dalam reaksi
inflamasi pada epitel stroma kolesteatoma. Terdapat juga peningkatan ekspresi IFNγR pada
seluruh lapisan epitel kecuali lapisan paling superfisial. Peningkatan ekspresi ini menyatakan
bahwa hiperproliferasi dari epitel diperantarai oleh limfokin. IFNγ memfasilitasi sintesis
keratinosit melalui TGF-α,dan juga menginduksi ekspresi molekul adhesi di antara epitel
sehingga akhirnyamenunjang kelanjutan aktivasi limfosit.

Tidak adanya imunoreaktif dari IL-4, IL-4R, IL-10, dan IL-10R


menunjukkan bahwa reaksi inflamasi dari kolesteatoma dikontrol oleh limfosit Th-1. Semua
ekspresi molekul dan sitokin yang ditemukan mengindikasikan kolesteatom stadium aktif dan
menggambarkan interaksi antara sitokin dan epitel; hal ini menunjukkan proliferasi yang
diperantarai respon imun. Pengaruh respon imun humoral tidak didapatkan dalam
pembentukan koleteatoma.

Beberapa faktor yang dapat dihubungkan dengan inflamasi akibat respon


imun yang diperantarai oleh sel-sel celluler mediated inflammatory reaction terlihat secara
histopatologik dalam perimatrikskolesteatoma, seperti sitokin proinflamasi IL-1 dan TNF- α.

Ekspresi defensin pada kolesteatoma

Epitel berlapis gepeng kulit dapat terpapar oleh bermacam-macam bahan


mekanik, biologik, dan kimia. Sel epitel tidak hanya bertindak sebagai pelindung secara fisik

18
tetapi juga berperan secara aktif dalam pemeliharaan, regenerasi dan pertahanan permukaan
mukosa dengan memroduksi mediator, termasuk peptida

antimikroba dan protein. Peptida antimikroba merupakan molekul yang


berperan dalam sistem imun alamiah dan berfungsi proteksi terhadap mikroorganisme yang
berbahaya. Pada epitel berlapis gepeng yang berkeratin ditemukan defensing sebagai respon
terhadap stimulasi antigen atau infeksi bakteri. Produksi defensing berhubungan erat dengan
diferensiasi keratinosit, sedangkan ekspresi mRNA human beta defensin-1 (hBD-1) dan
distimulasi oleh diferensiasi keratinosit pada sel epitel berlapis gepeng. hBD-1diekspresikan
pada sel epitel; hBD-2 dan hBD-3 juga diekspresikan pada sel epitel tetapi dengan stimulasi
sitokin proinflamasi. hBD-2 teraktivasi oleh TNF-α,sedangkan hBD-3 teraktivasi oleh
interferon-γ. Untuk aktivitas antimikroba,hBD-1 merupakan mediator dalam
imunomodulator, sedangkan hBD-2 dan -3 merupakan ekspresi dari sistem imun alamiah
pada inflamasi kronik

Peran secretory leucocyte protease inhibitor (SLPI)

Secretory leucocyte protease inhibitor(SLPI) ialah protein kationik yang


termasuk kelompok protein dari sistem imun alamiah. Ekspresi SLPI didapatkan pada stratum
granulosum dan subepitel selsel yang mengalami inflamasi. Peran SLPI ialah melindungi
jaringan dari produk inflamasi sel dan destruksi enzim pada kolesteatoma melalui sistem
imun alamiah.

Pada kolesteatoma didapatkan produksi sitokin dan molekul bioaktif termasuk TNF-α dan
netrofil protease akibat induksi lipopolisakarida (LPS). SLPI merupakan antagonis dari LPS
yang berperan dalam sintesis sitokin proinflamasi oleh monosit dan makrofag. Jadi SLPI
melindungi jaringan dari produk inflamasi dengan menurunkan respon makrofag terhadap
LPS bakteri.

Peran sistem imun alamiah

Toll Like Receptor (TLR) 1-10 memegang peran yang sangat krusial dalam menginduksi dan
mengaktivasi sistem imun alamiah pada saat terjadi infeksi. Biasanya LR terekspresi pada
sel-sel imun, sel epitel, dan endotel. Ligannya disebut pathogen associated molecular
patterns.Ikatan TLR dan ligannya akan menyebabkan terjadinya transduksi sinyal sehingga
mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan TNF-α. TLR-3 menunjukkan adanya
peran sistem imun alamiah dan juga sistem imun adaptif terhadap kolesteatoma. Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya limfosit T di daerah perimatriks, yang menunjukkan bahwa
keratinosit dapat bertindak sebagai antigen precenting celldalam sistem imun adaptif.

3.4 LITERATUR PENGOBATAN MEKANISME IMUN TERBENTUKNYA


KOLESTEATOMA

19
Olivia C. P. Pelealu

Bagian Telinga Hidung Tenggorokan-Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Email: [email protected]

Abstract: Chronic suppurative otitis media associated with cholesteatoma is still a problem
that causes high morbidity and mortality. That is due to the cholesteatoma destruction of
surrounding bony structures that leads to fatal complications. Cholesteatoma acts benign butis
a destructive middle ear tumor. It is characterized by hyperproliferative keratinocytes
associated with a progressive and destructive accumulation of desqumated epithelia
andkeratin in the middle ear or other parts of temporal bones with pneumatization. There are
fourtheories of cholesteatoma: invagination, invasion, metaplasia, and implantation. The
main mechanisms of bone destruction are mechanical due to a pressure effect, biochemical
factors,and cellular factors related to both innate and adaptive immunities. These immune
responsesare regulated by immune cells, cytokines, adhesive molecules, degrading enzymes,
and osteoclasts.
Key words: cholesteatoma, proliferative, bone resorption, cytokines, osteoclast.

Abstrak: Otitis media supuratif kronis dengan kolesteatoma masih merupakan masalah
penyebabmorbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan
karenakolesteatoma dapat menyebabkan destruksi tulang sekitarnya, sehingga mudah
mengakibatkankomplikasi fatal. Kolesteatoma menyerupai tumor jinak telinga tengah tetapi
bersifat destruktif. Kelainan ini ditandai oleh adanya hiperproliferasi keratinosit disertai
akumulasideskuamasi epitel atau keratin di dalam telinga tengah atau bagian lain tulang
temporal yang berpneumatisasi, yang bersifat progresif dan destruktif. Terdapat empat teori
pembentukan kolesteatoma yaitu metaplasi, invaginasi, invasi, dan implantasi. Terjadinya
destruksi tulang melalui faktor mekanis akibat efek penekanan, faktor biokimia, dan faktor
seluler yangberkaitan dengan respon imun alamiah maupun adaptif yang diatur oleh sel-
selimun, sitokin,molekul adhesif, enzim degradasi, dan osteoklas.
Kata kunci: kolesteatoma, proliferasi, resorbsi tulang, sitokin, osteoklas

BAB IV

PENUTUP

20
A.KESIMPULAN

Walaupun tidak termasuk keganasan, kolesteatoma dapat berakibat fatal


melalui efek resorbsi tulang.Respon imunologik berperan dalam pembentukan kolesteatoma
serta kecenderungan terjadinya destruksi tulang sekitar.Peran sistem imun pada kolesteatoma
dapat dilihat melalui kerja sitokin dan molekul adhesif, yang berperan dalam proliferasi,
regulasi, dan aktivasi jaringan. Respon imun alamiah ternyata berperan dalam pembentukan
kolesteatoma melalui kerja beberapa jenis protein seperti defensin (hBD), SLPI, dan TLR.
Selain itu, TLR juga bekerja melalui respon imun adaptif.

B.SARAN

1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar penelitian tingkatmolekuler
mengenai sitokin proinflamasi yang bisa dipertimbangkanmenjadi penelitian lanjutan
untuk mencari modalitas terapi dalam upayamencegah progresifitas penyakit akibat
kolesteatoma.

2. Hasil penelitian ini menggambarkan ekspresi sitokin proinflamasi padakolesteatoma


tanpa memisahkan lapisan kolesteatoma, untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk memeriksa reseptor dan sitokin proinflamasi lainnya dengan memisahkan
bagian-bagian dari perimatrikskolesteatoma secara Imunohistokimia.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Stierman KL. Complications of otitis media [homepage on the Internet].1998 [cited


2018 April 10]. Available from: http//www.Utmb edu/otocef/Grnds/GrndsIndex.html.

2. Hussain A, Khan AR. Frequency of intracranial complications in chronic otitis


media. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2019. 17(1):75-7.

3. Keles E, Kaygusuz I, Karlidag T, Yalcin S, Sakallioglu O, Alpay HC. The


complications of otitis media: retrospective assessment of 51 cases. Turk Arch
Otolaryngol. 2018;42(4):215-9.

4. Rolland PS. Cholesteatoma. Medscape’s continually updated clinical Reference


[homepage on the Internet]. c2012 [updated 2012 Apr 12; cited 2012 Oct 10].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview.

5. Kennedy K. Cholesteatoma: pathogenesis dan surgical management [homepage on


the Internet]. 2017 [cited 2010 April 10]. Available from:www.//G:\cholest%206.htm.

6. Cinamon U, Kronenberg J, BenayahuD. Structural changes and protein expression


in the mastoid bone adjacent to cholesteatoma. Laryngoscope. 2020;110:1198-1203.

7. Hansen T, Unger RE, Gaumann A, Hundorf I, Maurer J, Kirkpatrick CJ, et al.


Expression of matrix degrading cystein proteinase cathepsin K in cholesteatoma. Mod
Pathol. 2018:14(12):1226-31.

8. Ferekidis E, Nikolopoulos TP,Yiotakis J, Ferekidou E, Kandiloros D, Papadimitriou


K, et al. Correlation of clinical dan surgical findings to histological features
(koilocytosis, papillary hyperplasia) suggesting papillomavirus involvement in the
pathogenesis of cholesteatoma. Med Sci Monit. 2019;12(9):368-71.

9. King S. Kolesteatom. Second King’s webblog [homepage on the Internet]. 2009


[cited 2019 April 20]. Available from: www.vanilamist.com.

10. Ghorayeb BY. Otolaryngology Houston [homepage on the Internet].2006 [cited


2020 April 10]. Available from: www. Ghorayeb.com/index.html. 2006.

11. Magalhaes SLB. Growth of cholesteatoma by implantation of epithelial tissue along


the femoral bone of rats. Rev. Bras. Otorrinolaryngol. 2020;71(2):188-91.

12. Massuda ET, Oliveira JA. A new experimental model of acquired cholesteatoma.
The Laryngoscope.

22

Anda mungkin juga menyukai