Perang Benteng Kedua

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6

PERANG BENTENG KEDUA (1)

Perang Maritim di Palembang melawan Kerajaan Inggris

Bagian 1

Oleh : HG Sutan Adil

Sebelumnya Penulis telah memaparkan adanya Perang Benteng Pertama di Palembang dimana saat itu
VOC berusaha untuk mengusai perdagangan Lada dan Rempah lainnya dengan cara meminta Hak
Monopoli perdagangan dan hal ini berhasil dihalau oleh Kerajaan Palembang saat itu.

Dalam Perang Benteng Kedua ini, kekuasaan di Palembang telah berganti dinasti. Sejak terbakarnya
Ibukota dan Keraton Kuto Gawang saat Perang Benteng Pertama, maka setelah itu di Palembang sudah
berdiri Kesultanan Palembang Darussalam yang berpusat di Keraton Kuto Besak.

Saat Perang Benteng Kedua ini, Sultan yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Badaruddin Pangeran Ratu
Raden Hasan atau Sekarang sering disebut sebagai Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) dan
merupakan Sultan yang Ke 7. Saat itu adalah masa dimana Kerajaan Inggris sedang berkuasa di
Nusantara dan dipimpin oleh Gubernur Jendral H.W. Daendels diawal tahun 1224 H/1809 M .

Belum sewindu berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam, SMB II sudah mengalami cobaan besar
saat menagih hutang pelunasan kontrak atas pengisian timah oleh Belanda sebelumnya. Penagihan ini
dibalas dengan congkak dan diiringi ancaman bahwa harga timah putih akan diturunkan, dan apabila
pada pengiriman berikutnya tidak terdapat timah putih, maka Palembang akan digempur.

Sehubungan dengan ancaman tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin II, selanjutnya segera mengadakan
persiapan-persiapan perang setelah hal itu dimusyawarahkannya dengan para pembesar dan pemuka-
pcmuka rakyat. Persiapan ini dilakukan dengan memperkuat semua benteng dan kubu-kubu
pertahanan, memeriksa dan meneliti saluran-saluran air (terusan-terusan) dan sungai-sungai untuk
kepentingan strategi pertahanan. Penjagaan diperkuat, kesiap-siagaan masyarakat ditingkatkan,
demikian pula penjagaan di Muara Sungsang dan tempat-tempat lainnya yang letaknya strategis.

Sementara itu, Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai perwakilan Gubenur Jenderal Inggris
berkedudukan di Malaka. Pengangkatan itu memberi kesempatan kepadanya untuk melaksanakan
ambisinya, menghancurkan kekuatan-kekuatan Belanda di Indonesia dan menggantikannya dengan
kekuasaan Inggris. Persaingan dan perebutan pengaruh dikalangan kedua kekuatan kolonial tersebut
adalah terutama dalam masalah perdagangan dan monopoli timah dan lada di Sumatera Bagian Selatan.

Raffles mencoba mempengaruhi Sultan Mahmud Badaruddin II. Dengan perantaraan Surat menyurat
yang mana dia menganjurkan supaya Sultan mengenyahkan kekuasaan Belanda di Palembang,
kemudian membuat perjanjian dengan pihak Inggris.

SMB II menanggapi Surat Raffles itu dengan sangat diplomatis. Dalam pada itu Surat Raffles akhir Mei
1811, menyatakan bahwa dia berterima kasih apabila SMB II mau menghancurkan loji Belanda di
Palembang. Selanjutnya dalam Surat itu juga dinyatakan bahwa ada dikirim 80 pucuk senapan berikut 10
karung mesiu; serta dijanjikan pula bantuan militer. Sementara itu Sultan Mahmud Badaruddin II
mengutus dua orang menteri ke Pulau Penang secara rahasia untuk menyelidiki apakah maksud Inggris
yang sebenarnya.
Kenyataan yang diperoleh kedua utusan tersebut ialah bahwa angkatan bersenjata Inggris telah
dipersiapkan dan dipusatkan di Malaka. Setelah mendengar keterangan-keterangan para utusan itu,
SMB II tetap menunggu perkembangan selanjutnya dengan penuh kewaspadaan, karena beliau sadar
bahwa Inggris dan Belanda mempunyai ambisi yang sama. Kepada para Bangsawannya diperintahkan
untuk mencari informasi situasi pertempuran di Pulau Jawa dan Batavia, yang pada awal bulan Agustus
1811 itu sudah mulai berkobar.

Setelah mendapat berita dari seorang keluarga pembantunya yang baru tiba dari Batavia bahwa Belanda
di Pulau Jawa terlibat dalam peperangan melawan lnggris, SMB II mengadakan musyawarah bertempat
di Pemarekan. Dalam pertemuan itu dilaporkan oleh bangsawan2 yang ditugaskan mencari informasi
itu, bahwa Belanda tengah menghadapi serbuan lnggris dekat Betavia, dan bahwa saat itulah
merupakan waktu yang sebaik-baiknya dan sangat tepat untuk mengusir kekuasaan Belanda dari
Palembang.

Pada tanggal 13 September 1811 Sultan mengadakan musyawarah lagi yang dihadiri oleh semua
pembesar, alim ulama dan pemuka-pemuka masyarakat. Sultan menjelaskan tentang kejadian-kejadian
di Jawa lalu memerintahkan agar Loji Belanda di Sungai Aur berikut penghuni-penghuninya diamankan.
Sementara itu diluar Kraton telah disiapkan sejumlah 2.000 orang Pasukan bersenjata lengkap.

Pada tanggal 14 September 1811 Kiyai Temenggung Lanang dengan didampingi empat orang bangsawan
lainnya, menemui Resident Belanda di Palembang, Jacob van Woortman, untuk menyampaikan perintah
Sultan, supaya Loji hari itu juga dikosongkan oleh Belanda. Resident Woortman menolak untuk
memenuhi perintah itu, karena dia belum mendapat perintah dari atasannya. Temenggung Lanang
kembali ke Kraton untuk melapor, sedangkan kepada keempat orang bangsawan yang mendampinginya
berikut pasukan yang mengawal, diperintahkan untuk tetap berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan di
sekitar Loji.

Hari itu sudah lewat tengah hari, Temenggung Lanang kembali ke Loji, dengan dikawal lebih kurang 500
orang pasukan dan massa rakyat., Setibanya di Loji Temenggung Lanang menyerahkan surat Sultan
kepada Resident Woortman yang menjelaskan, bahwa Pulau Jawa telah dikuasai oleh Inggris, dan oleh
karena ltu supaya Loji segera dikosongkan. Residen Woortman masih tetap pada pendiriannya semula.
Utusan Sultan kembali ke Kraton untuk melapor.

Sore harinya pasukan dibawah pimpinan Bangsawan tersebut, dengan dibantu oleh massa rakyat
melucuti senjata serdadu-serdadu dan orang-orang Belanda yang berada didalam loji. Setelah itu
semuanya diangkut dengan perahu ke Sungsang untuk diamankan di suatu tempat agar tetap aman.
Ditengah jalan tawanan itu berontak dan melawan, sehingga banyaklah yang terbunuh, yaitu 24 orang
Eropah dan 63 orang jawa; kecuali beberapa orang saja yang selamat, yaitu seorang juru bahasa
bemama Willem van de Weeteringe Buijs, seorang Portugis dan tiga orang wanita Belanda.

Peristiwa tersebut dikenal sekarang dengan "Peristiwa Sungai Aur" atau “Palembang Massacre” yang
terjadi pada tanggal 14 September 1811. Peristiwa itu membuktikan bahwa Sultan Mahmud Badaruddin
II benar-benar adalah seorang negarawan yang mempunyai pandangan yang jauh kedepan yakni dengan
memilih saat yang tepat yaitu 4 hari sebelum Belanda dihancurkan tentera lnggris di Jatinegara (Mr.
Comelis) pada tanggal 22 Agustus 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II telah menyatakan “Merdeka” nya
Kesultanan Palembang dari pengaruh kekuasaan Asing, dan siap berperang jika Kolonialis kembali ke
Palembang.
Sedangkan di Negeri mereka di Eropa, Pada tanggal 18 September 1811 ditanda tanganilah akta
penyerahan dari Pihak Belanda kepada pihak Inggris atau dikenal dengan nama Perjanjian Tuntang, yang
sekarang berada di kecamatan Tuntang, kabupaten Semarang. Pulau Jawa dan daerah-daerah takluknya,
Timor, Makasar dan Palembang berikut daerah-daerah takluknya menjadi jajahan lnggris.

Di Timor dan Makasar penyerahan tersebut tidaklah mengalami banyak kesulitan, tetapi ketika utusan-
utusan Raffles tiba di Palembang untuk mengambil alih Loji Belanda di Sungai Aur, mereka ditolak oleh
Sultan Mahmud Badaruddin II, karena kekuasaan Belanda di Palembang sebelum Perjanjian Tuntang
sudah tidak ada lagi. (Bersambung Ke Bag. 2)

*) Penulis Adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Bogor, 24/01/23
PERANG BENTENG KEDUA (2)
Perang Maritim Dengan Kerajaan Inggris

Bagian 2 (Sambungan dari Bag. 1)

Oleh : HG Sutan Adil

Raffles tidak dapat menerima alasan penolakan SMB II dan berdalih bahwa pengambil alihan kekuasaan
atas Loji Sungai Aur itu terjadi sesudah perjanjian Tuntang, dan oleh karenanya Sultan wajib
menghormati perjanjian antara lnggris dan Belanda itu, tegasnya menuntut agar Sultan menyerahkan
sepenuhnya tambang-tambang timah di Pulau Bangka, dan Belitung.

Sedangkan terhadap tuntutan Inggris ini, Sultan tetap berpendirian bahwa beliau adalah tuan didalam
rumahnya sendiri dan karenanya pula, tidaklah dapat menerima Inggris sebagai pewaris Belanda.
Akhirnya utusan dari Rafles tersebut kembali ke Batavia dengan tidak membawa hasil apa-apa dan
melaporkan sikap Sultan Mahmud Badaruddin II kepada Raffles.

Atas penolakan itu, selanjutnya pada tanggal 20 Maret 1812, Raffles mengirim ekspedisi militer ke
Palembang yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Robert Rollo Gillespie. Dilain pihak Sultan Mahmud
Badaruddin II dan rakyat sudah bersiap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi
semenjak utusan-utusan Raffles tersebut ke Batavia. Maka untuk memimpin benteng Pulau Borang atau
Pulau Kemaro, Sultan menunjuk adiknya Raden Husin dengan diberi Gelar Pangeran Adi Menggalo.

Pada tanggal 15 April 1812 angkatan perang lnggris tiba di Muara Sungai Musi, daerah Sungsang, kapal-
kapal yang datang itu diperiksa oleh pegawai Pabean Kesultanan namun mereka itu tidak pemah
kembali ke Pos-nya. Kemudian diutuslah lagi ke Sungsang seorang hulubalang yang langsung menemui
pimpinan angkatan yang datang itu. Hulubalang ini pun mengalami nasib yang serupa.

Dengan kejadian-kejadian itu lalu mengertilah orang-orang Palembang bahwa angkatan yang datang itu
mempunyai maksud yang tidak baik. Dugaan tersebut memanglah benar, karena beberapa hari
kemudian banyak serdadu diturunkan dari kapal-kapal perang dan naik perahu-perahu menuju ke
Palembang. Hal itu oleh Pangeran Adi Menggalo segera dilaporkan ke Palembang. Sultan Mahmud
Badaruddin II lalu mengadakan persiapan-persiapan pertahanan dengan tidak lupa mengungsikan
terlebih dahulu wanita-wanita dan anak-anak ke daerah Uluan.

Sementara itu Inggeris sudah mulai menggempur benteng Pulau Kemaro. Pangeran Adi Menggalo,
setelah menyadari bahwa persenjataan yang dimilikinya begitu juga jumlah pasukannya tidak mungkin
dapat menandingi persenjataan musuh yang jauh lebih kuat dan jumlah serdadu nya juga jauh lebih
banyak, maka Pangeran tersebut segera ke Palembang menghadap Sultan.

Dengan sifat arifnya, dalam mengatasi keadaan sedemikian itu, Sultan menempuh kebijaksanaan
mundur terhormat dan mengambil posisi pada pertahanan berikutnya kearah Muara Rawas sekitar
bulan April 1812, Setelah beliau terlebih dahulu menyerahkan pimpinan Kesultanan kepada adiknya,
Pangeran Adipati (Raden Husin), dan memerintahkannya supaya tetap berada di Palembang,
melarangnya untuk menaikkan bendera Inggeris, dan demikian pula untuk mengadakan perjanjian
apapun dengan pihak Inggris.
Akhirnya dengan strategi ini berhasil membuat Gillespie tidak berhasil bertemu dengan Sultan dan dapat
dianggap ini merupakan suatu kegagalan Inggris. Untuk merusak kondisi kesultan dari dalam, lalu Inggris
mulai melaksanakan politik "Devide et Impera"nya, yaitu politik memecah belah para keluarga sultan
yang ada. Untuk melaksanakan ini, Lalu oleh Gillespie, diangkat-lah Pangeran Adipati sebagai Sultan
Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Raden Hussen atau sekarang lebih dikenal sebagai
Sultan Ahmad Najamuddin II.

Pada hari Kamis tanggal 14 Mei 1812. Menindak lanjuti pengangkatan tersebut dan sebagai pengakuan
terhadap Inggris, dengan liciknya, dibuatlah perjanjian tersendiri dimana pulau Bangka dan Belitung
diserahkan kepada Inggris, karena tujuan utama rafles ke Palembang adalah menguasai Pulau Bangka
dan Belitung. Atas keberhasilan pengakuan hak atas Pulau Bangka dan Belitung ini, dalam perjalanan
pulang ke Batavia lewat Mentok, oleh Gillespie, kedua pulau itu diresmikan menjadi jajahan Kerajaan
lnggris dengan diberi nama "Duke of York Islands" pada tanggal 20 Mei 1812.

Kapten Meares yang menggantikan Gillespie, meneruskan usaha-usaha untuk hertemu dengan Sultan
Mahmud Badaruddin II, tetapi dia tidak berhasil, karena kena peluru diperutnya ketika kontak senjata
dengan gerilyawan di Benteng Bailangu dekat Kota Sekayu sekarang, sehingga terpaksa bersama dengan
pasukannya kembali ke Batavia lewat Mentok, namun sebelum sampai dia meninggal disana pada
tanggal 5 September 1812.

Sementara pasukan asing itu pergi meninggalkan daerah Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II
memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng baru seperti Benteng Tanjung di Muara Rawas,
Benteng Seberang Musi dan Benteng Tanjung Rawas. Selama bergerilya itu Sultan Mahmud Badaruddin
II dibantu sepenuhnya oleh seluruh rakyat di pedalaman yang terdiri dari berbagai-bagai suku selain dari
penduduk setempat, seperti orang-orang Jambi, Bangka, Belitung, Minangkabau, Aceh, Riau dan Jawa di
bawah pimpinan golongan masing-masing. Selanjutnya dibentuk kesatuan-kesatuan gerak cepat, di
tebing-tebing sungai dibuat kubu-kubu pertahanan dengan lobang-lobang tembak, dan dibuat tembok-
tembok penghalang perahu-perahu musuh.

Kapten Meares digantikan Mayor Robinson, yang yakin bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II tidak
mungkin dikalahkan dengan kekuatan senjata. Robinson menempuh jalan damai, dan berhasil bertemu
Sultan Mahmud Badaruddin II. Mayor Robinson melakukan pendekatan persuasif dan selanjutnya
mengundang kembali SMB II ke Palembang dan menempati Kraton Kuto Besak kembali. Dan selanjutnya
pada tanggal 13 Juli 1813, beliau mengangkat kembali Sultan Mahmud Badaruddin II untuk berkuasa
sebagai Sultan Tuo seperti sebelumnya dan didampingi adiknya, Raden Husin sebagai Sultan Mudo yang
menempati Kraton Kuto Lamo.

Kebijaksanaan Mayor Robinson tersebut diatas tidak dibenarkan oleh Raffles, lalu Dia dipecat dari
jabatannya, bukan saja karena kebijaksanaannya tersebut, tetapi juga dituduh bersalah berhubungan
dengan kekacauan di bidang keuangan dan administrasi. Sekitar sebulan kemudian tiba di Palembang
suatu Komisi yang dipimpin oleh Mayor Colebrooke dengan tugas mengembalikan keadaan seperti
sebelum kedatangan Mayor Robinson. Setelah Colebrooke mengumumkan "Pernyataan Raffles tanggal
4 Agustus 1813", lalu Sultan Mahmud Badaruddin II dimakzulkan dan Sultan Ahmad Najamuddin II diakui
kembali sebagai Sultan Palembang pada tanggal 14 Agustus 1813.

Perlengkapan dan tanda kebesaran Kesultanan Palembang tetap pada Sultan Mahmud Badaruddin II,
tidak diserahkan kepada Sultan Ahmad Najamuddin II. Selanjutnya sebagai rakyat biasa, Sultan Mahmud
Badaruddin II bisa bebas bergerak ke mana-mana, bagaikan "Harimau yang bergerak bebas seperti
kucing", sehingga ia senantiasa diperhatikan dan diawasi pihak Inggris yang sangat memaklumi atas
ketinggian martabat SMB II dan mengetahui benar bahwa seluruh rakyat tetap setia dan berada di
belakangnya. Sultan Mahmud Badaruddin II dalam keadaan penuh keprihatinan itu, tetap sabar dan
terus selalu waspada, akan siasat adu domba musuh-musuhnya.

Keadaan itu segera berubah sebagai akibat Konvensi London 13 Agustus 1814, yang menetapkan bahwa
Kerajaan Inggris harus menyerahkan kembali daerah-daerah kekuasaan Belanda di Nusantara. Namun
pelaksanaan serah terima tersebut agak terhalang beberapa waktu yang disebabkan kembalinya
Napoleon dari Pulau Elba. Barulah pada tanggal 19 Agustus 1816 Belanda berkuasa kembali di
Nusantara. Dengan demikian selesailah periode perjuangan Palembang melawan Inggris dan mulailah
perlawanan Palembang terhadap Belanda.

Sementara itu didaerah uluan mulailah berkobar semangat juang rakyat dalam bentuk perang gerilya di
daerah Musi Rawas. Hal mana juga telah membangkitkan semangat perlawanan rakyat di Pulau Bangka
dan Belitung, atas perjanjian pendudukan kolonialis dan selanjutnya terjadilah peristiwa terbunuhnya
Resident Smissaert disana yang dihadang dan dibunuh oleh rakyat pada tanggal 14 Nopember 1819.
Perang gerilya itu telah pula menghilhami perlawanan rakyat kepada kolonialis dibeberapa daerah Uluan
lainnya seperti perlawanan Tihang Alam di Komering Ulu, Perang Jati, perang Pasemah, perang Empat
Lawang, perang Empat Petulai dan sebagainya.

*) Penulis Adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Bogor, 04/02/23

Anda mungkin juga menyukai