Krisis Dalam Diri
Krisis Dalam Diri
Krisis Dalam Diri
181114014
Bagi saya sebenarnya tugas ini cukup berat untuk dipikirkan. Sebab mengingat
sesuatu yang buruk tentang pengalaman pribadi akan membuka kembali luka yang telah
terobati selama ini. Namun, saya percaya bahwa romo tidak akan memanfaatkan tugas ini
untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu saya bersedia untuk berbagi dan menceritakan
pengalaman krisis yang pernah dihadapi.
Secara keseluruhan saya pernah mengalami tiga krisis dalam hidup saya. Mulai dari
bawah yaitu krisis iman, krisis kepercayaan terhadap keluarga, dan krisis yang akan saya
ceritakan saat ini adalah krisis identitas. Puji Tuhan saya telah menemukan diri saya saat ini
dan pengalaman itu menjadikan saya kuat seperti sekarang ini.
Mungkin romo akan tersenyum membaca alasan ini karena saya merobek foto-foto
masa kecil saya sehingga saya tidak memiliki kenangan masa kecil akibat perilaku saya ini.
Tidak masuk akal bukan? Tapi bagi saya yang masih berumur 9 tahun melihat foto saat bayi
sangat putih sedangkan kulit saya hitam tidak mempercayai hal ini. Sampai pernah berpikir
sebenarnya aku siapa? Mengapa saat bayi putih sekali tapi sekarang hitam dan jelek. Apalagi
di kelas aku yang paling hitam sampai dianggap aku orang afrika lah atau orang papua yang
memang memiliki ras kulit hitam. Aku bertanya mengapa saudaraku yang lain putih
sedangkan aku hitam. Karena aku tidak percaya akan foto-foto itu makanya aku sobek-sobek
sambil marah dan menangis. Tentu saja aku melakukannya tanpa sepengetahuan siapa-siapa.
Aku masih ingat betul setidaknya ada 10 foto yang aku sobek berkeping-keping kemudian
memasukkannya ke dalam kresek hitam lalu membuangnya ke tempat sampah. Namun, di
situlah kebodohanku terjadi seharusnya aku bakar atau buang ke tempat yang jauh supaya
tidak ada yang mengetahui. Rupanya ibuk cukup jeli melihat ada potongan foto dalam plastik
lalu diambilnya dan memarahi perbuatanku. Saat itu aku tidak peduli karena aku berpikir foto
itu bukan aku dan aku bukanlah siapa-siapa. Ibuk terus memarahiku tapi aku tidak paham arti
kemarahannya saat itu. Beberapa hari berlalu, rupanya ibuk telah berusaha menyatukan
kembali foto yang tercerai berai itu dengan wajah yang kecewa kepadaku. Walau tidak
semuanya bisa menyatu karena ada potongan yang rusak dan hilang. Kemudian foto-foto itu
ibuk selipkan dalam buku. Dalam hati aku berpikir mungkin ibuk khawatir aku akan
merobeknya lagi atau bahkan dimusnahkan. Saat itu cara pandangku masih sangat sempit
karena aku hanya menilai berdasarkan apa yang aku lihat. Aku sama sekali tidak menyesali
perbuatanku saat itu dan tidak sadar kalau itu membuat aku tidak mengenal siapa diriku dan
menerima.
Setidaknya butuh waktu 8 tahun untuk berdamai dengan diri sendiri hingga akhirnya
aku bisa menemukan aku dan menerima diri. Itu semua tidak lepas dari program sekolah
yang mengadakan rekoleksi atau retret setiap menjelang kelulusan mulai dari SD, SMP dan
SMA. Pada saat SMA itulah tepatnya saat kelas 12 aku bisa menerima diri seutuhnya dan
mengakui keberadaanku sebagai bagian dari keluargaku. Tidak ada yang mengetahui masalah
ini karena aku pendam sendiri bahkan aku tidak menceritakan kepada keluarga. Aku takut
keluarga akan marah dan menghukum sehingga lebih baik aku pendam saja. Orang tua tidak
pernah tau kalau aku sering dibully teman saat SD dan SMP. Tentu saja yang dibuli adalah
bentuk fisikku yang jelek dimata mereka. Bagaimana tidak? Tubuhku kurus, hitam, pendek,
kepala kecil tapi lehernya panjang dan satu lagi yaitu lubang hidungku besar. Pasti ada saja
kata ejekan yang keluar dari mulut mereka mau itu bercanda atau serius, tetap saja bagi saya
itu adalah penghinaan.
Setelah dipikir-pikir, beruntung sekali aku memilih sekolah yang isinya laki-laki
semua dan berasal dari hampir selurh bagian Indonesia. Ya benar, aku sekolah di SMA
Kolese De Britto atau lebih dikenal JB. Pertama kalinya aku dipanggil sesuai nama panggilan
yang orang tua berikan padaku dan tidak ada satupun dari mereka yang mengejek fisikku
walaupun mereka tau dan melihat. Aku sungguh dihargai di sana walaupun aku masih merasa
minder dan malu karena rata-rata dari mereka berpenampilan menarik dan berasal dari
kalangan atas sedangkan aku adalah kebalikannya. Namun mereka tidak membahasnya dan
membedakan padahal jelas siswa JB berbeda semua tidak ada yang sama. Meskipun
demikian aku tetap insecure pada kondisiku sehingga aku memilih untuk menjaga jarak dari
mereka karena aku tau diri. Aku merasa tidak pantas bersanding dengan mereka. Padahal
mereka semua baik yah, walaupun kata-kata mereka kasar tapi aku masih membentengi diri.
Sampai pada akhirnya aku mampu menerima diriku dengan segala kekurangannya dihadapan
teman-teman pada saat retret karena aku percaya.
Dari situ baru sekarang aku menyadari kalau aku lebih dianggap manusia di sekolah
itu meskipun kata-kata yang keluar dari mulut mereka hewan semua tapi aku lebih
dimanusiakan di situ yang akhirnya aku bisa melakukan penerimaan diri. Aku jadi ingat kata-
kata Driyarkara “memanusiakan manusia”. Itulah yang aku rasakan saat sekolah di sana.
Barulah aku menyesal kenapa aku harus membentengi diri dari mereka padahal mereka tidak
peduli. Dan setiap kali aku pulang ke rumah dan melihat foto yang penuh selotip itu, aku
tersenyum sekaligus menyesal. Mengapa ya aku melakukan itu sekarang kamu gak punya
foto kenang-kenangan masa kecil lagi gara-gara kamu. Padahal aku hitam dan kurus juga
karena kebiasaanku yang buruk. Main layang-layang di tengah hari yang panas sampai lupa
waktu dan makan tidak teratur. Sekarang juga aku baru sadar alasan ibuk memarahiku.
Ternyata foto bisa bercerita dan aku malah merusaknya hahaha. Dasar aku
Kini aku telah mengenal siapa diriku dan bagaimana aku bisa menjadi seperti
sekarang. Aku menerima segala kekurangan yang ada dalam diri dan menjadikannya sebagai
pelajaran. Aku juga berterimakasih kepada Tuhan karena telah memberiku kesempatan untuk
menemukan siapa diriku sebenarnya sehingga aku mudah mengikuti kuliah di prodi BK ini.
Aku juga semakin dikuatkan setelah mengikuti program live in kemarin. Sebab untuk bisa
mengatasi masalah orang lain perlu mengenal diri sendiri dulu baru bisa membantu orang
lain.
Sebenarnya saya belum menemukan teori mana yang cocok dengan krisis yang
pernah saya alami. Namun, bila diperhatikan lebih seksama ada salah satu kemiripan krisis
saya dengan salah satu teori yang dipaparkan oleh romo. Teori tersebut adalah teori
perkembangan psikososial oleh Erikson. Erikson percaya bahwa dalam setiap tingkat,
seseorang akan mengalami konflik atau krisis yang akan menjadi titik balik dalam setiap
perkembangannya. Menurut pendapatnya, konflik-konflik ini berpusat pada perkembangan
kualitas psikologi atau kegagalan dalam pengembangan kualitas tersebut. Selama masa ini,
potensi pertumbuhan pribadi meningkat sejalan dengan potensi kegagalannya pula.
Dari teori tersebut saya merasa sedang berada pada tahap trust vs mistrust. Dalam
krisis tersebut saya tidak mempercayai diri saya yang ada dalam foto. Padahal menurut teori
tahapan ini merupakan tahap paling awal sekitar umur 0-18 bulan. Ini berarti saya mengalami
keterlambatan tahapan perkembangan menurut erikson. Walaupun setiap orang mengalami
tahapan perkembangan yang berbeda dan tidak selalu tepat usianya sesuai fasenya.
Saya berada pada lingkungan dimana yang saya tahu berkulit gelap dan saya
mempercayai itu. Sehingga ketika ditunjukkan foto masa kecil dimana kulit saya cerah saya
mengalami mistrust. Akibatnya, saya mengalami kebingungan mana yang harus saya percaya
dan menjadi tidak mudah percaya dengan apa yang ada di sekitar saya termasuk keluarga.
Dimana dalam krisis tersebut saya menceritakan bagaimana saya menutup diri terhadap
keluarga dan menyimpan masalah seorang diri. Dari situ saya sadar bahwa sifat ragu-ragu
yang ada dalam diri saya bermula dari peristiwa tersebut. Karena ketidakpercayaan membuat
saya menjadi pribadi yang ragu-ragu dalam membuat keputusan. Setelah saya ingat kembali,
sifat keragu-raguan itu belum berhasil saya atasi malah saya lebih menerima diri bahwa saya
adalah seorang yang ragu-ragu dalam membuat keputusan. Akhirnya menjadi sebuah
kekurangan dalam diri saya.
Disamping itu, saya telah menceritakan dalam krisis bagaimana saya melewati krisis
dan berhasil mengatasinya dengan bantuan orang-orang di sekitar saya terutama saat masa
SMA sampai baru sekarang menemukan satu akibat dari krisis yang baru saya sadari
sekarang. Sayangnya karena hal itu membuat saya menjadi ragu-ragu untuk mengatasi
permasalahan orang lain. Sepertinya saya harus bisa mengatasi keraguan ini dulu baru bisa
mengatasi permasalahan orang lain.