PANDANGAN ONTOLOGIS DAN OBYEK MATERI ILMU (Studi Tentang Ontologis Qur'ani)

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FILSAFAT ILMU ISLAM

PANDANGAN ONTOLOGIS DAN OBYEK MATERI ILMU

(Studi Tentang Ontologis Qur’ani)

OLEH:

IRFAN

SYAFRUDDIN

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kajian tentang Al-Qur’an menempati posisi sentral dalam studi-studi

keislaman. Al-Qur’an di samping berfungsi sebagai huda (petunjuk), juga

berfungsi sebagai furqan (pembeda). Ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara

kebenaran dan kebatilan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama ajaran

Islam, memiliki prinsip-prinsip ajaran yang sempurna sekaligus bersifat universal

dan eternal. Karenanya, konsekuensi logis dari pengakuan tersebut, pesan-pesan

suci ini berlaku untuk dan relevan dengan segala zaman. Dalam rangka

kontekstualisasi Al-Qur’an, diperlukan pemahaman tentang hakikat Al-Qur’an,

apa itu Al-Qur’an, tujuan Al-Qur’an untuk apa dan untuk siapa. Berangkat dari

sini pemakalah akan akan membahas tentang pandangan ontologis terhadap Al-

Qur’an supaya kita sebagai umat muslim tidak salah jalan dan salah persepsi

dalam memahami Alquran dan bagaimana pandangan ontologi dalam perspektif

Islam.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah setelah mengkaji latar belakang di atas dapat

diambil beberapa permasalahan sebagai kajian pada makalah ini, yaitu:

1. Apa Pandangan ontologis Al-Qur’an ?

2. Apa hakikat Al-Qur’an ?

3. Bagaimana ontologi dalam Islam?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pandangan Ontologis Al-Qur’an

Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an adalah Kalām Allāh. Tapi karena

keberadaannya sebagai ucapan (lafziyyah), maka para usūliyyūn, fukaha dan ahli

bahasa, membahasnya dalam lingkup kalām lafzī. Dalam hal ini hanya ahli bahasa

yang boleh berhenti pada lafaz, sebab mereka meneliti sisi kebahasaan dan

kemukjizatan yang berkutat pada lafaz. Tetapi tidak begitu halnya dengan

usūliyūn, sehingga mereka mendefinisikan Al-Qur’an secara spesifik. Seorang

usūliyūn dari kalangan Hanafiyyah, Abū Zayd al-Dabūsī (w. 430 H/1039 M),

mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:1

Kitabullah adalah sesuatu yang dinukilkan kepada kita di antara dua sisi mushaf

berdasarkan huruf-huruf tujuh yang telah dikenal, ia dinukilkan secara

mutawatir.

Adapun dari kalangan Syāfi‘iyyah, bisa disimak ungkapan al-Sam‘anī (w. 489

H/1096 M) yang mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut:2

Al-Qur’an adalah sesuatu yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir, dengan

cara yang menghasilkan pengetahuan pasti, tidak tercampur keraguan dan

syubhat, dan ia tersebut di antara dua sisi mushaf.

1
Abū Zayd al-Dabūsī. Taqwīm al-Adillah fī Usūl al-Fiqh (Beirut: Dār al-Kutub al- ‘Ilmiyyah,
2001), 20.
2
Al-Sam‘ānī, Qawāti‘ al-Adillah fī al-Usūl (Beirut: Mū’assasah al-Risālah, 1996), 49.
Tokoh Syāfi‘iyyah yang lebih belakangan, al-Ghazzālī (w. 505 H/1111 M)

dalam kitabnya al-Mustasfā, memilih definisi yang persis sama dengan Abū Zayd

al- Dabūsī. Baginya kata mushaf dalam definisi Al-Qur’an menunjukkan kehati-

hatian dalam periwayatan. Al-Ghazzālī tidak memasukkan sisi kemukjizatan

dalam definisi Al-Qur’an, karena i’jāz menunjukkan kebenaran Rasul, bukan

pembuktian ayat sebagai bagian Al-Qur’an.3 Pada masa berikutnya, al-Āmudī (w.

631 H/ 1234 M) membuat definisi Al-Qur’an yang tidak berbeda dari al-Ghazzālī.

hanya saja tokoh yang juga bermazhab al-Syāfi‘ī ini menggunakan kriteria naqlan

mutawātiran untuk mengeluarkan mushaf yang diriwayatkan secara perorangan,

seperti mushaf Ibn Mas‘ūd. 4

Gaya pendefinisian seperti ini tidak berubah sampai abad 8 H/14 M.

Seorang ulama dari kalangan Hanafiyyah yang hidup sampai pertengahan abad 8

H, Sadr al- Syarī‘ah (w. 742 H/1341 M), juga mengikuti pendefinisian yang sama,

tetapi dengan redaksi yang lebih ringkas:5

Al-Qur’an adalah sesuatu yang dinukilkan kepada kita di antara dua sisi
mushaf secara mutawatir.

Setelah abad ke 8 H, muncul kecenderungan mendefinisikan Al-Qur’an

sesempurna mungkin, hal ini berlanjut ke masa-masa setelahnya. Di masa kini,

sebagai contoh, dapat dilihat dari definisi yang dibuat ‘Abd al-Wahhāb Khallāf

3
Al-Ghazālī, Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Usūl (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000), 81
4
Al-Āmudī, Al-Ihkām fī Usūl al-Ahkām, jld. I (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), 82.
5
Sadr al-Syarī‘ah, Al-Tawdīh, jld. I (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), 46.
(w. 1375 H/1956 M). Ia menghimpun semua kekhususan Al-Qur’an menjadi

bagian dari definisi Al-Qur’an :6

Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan oleh malaikat Jibril (rūh al-Amīn)
ke hati Rasulullah, Muhammad ibn ‘Abd Allāh, dengan lafaz Arab dan makna
kandungan yang menyertainya agar menjadi hujah bagi Rasul bahwa ia adalah
rasul Allah. Al-Qur’an juga menjadi pedoman bagi manusia agar terpetunjuk
dengan hidayahnya, dan membacanya adalah ibadah. Al-Qur’an tersusun antara
dua sisi mushaf, didahului dengan surat al-Fātihah, dan diakhiri dengan surat al-
Nās, ia dinukilkan kepada kita secara mutawatir.

Jika diperhatikan, tidak semua hal yang dimasukkan dalam definisi ini

dibutuhkan sebagai batasan oleh usūliyūn. Menurut Wahbah al-Zuhaylī, dalam

konteks Al-Qur’an sebagai dalil, hanya tiga kriteria yang perlu dimasukkan dalam

definisi. Pertama, keadaannya yang diturunkan kepada Rasulullah saw., kedua,

tertulis di dalam mushaf, dan ketiga, dinukilkan (al-manqūl) melalui periwayatan

yang mutawatir.7

Berpijak pada uraian di atas, dapat diketahui bahwa bagi usūliyūn Al-

Qur’an menjadi dalil karena diriwayatkan secara mutawatir, bukan karena

mukjizatnya. Al-Ghazzālī menyatakan, periwayatan yang mutawatir lah yang

menghasilkan pengetahuan, karena penetapan berdasar sesuatu yang tidak

diketahui secara yakin berarti kejahilan.

Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa secara epistemologis,

Al-Qur’an menjadi sumber hukum karena periwayatannya yang mutawatir.

Sementara secara ontologis, usūliyūn melihat wujud Al-Qur’an dalam bentuk teks

6
‘Abd al-Wahhāb Khallāf, ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh, cet. XII (Kuwait: Dār al-Qalam, 1978), 23.
7
Wahbah al-Zuhaylī, Usūl al-Fiqh al-Islāmī, jld. I (Beirut: Dār al-Fikr, 1986), 421.
di antara dua sisi mushaf, yaitu dari surat al-Fātihah sampai surat al-Nās. Teks di

sini bermakna wujud dalam tulisan (mawjūd fī al-kitābah) yang dapat dirujuk

kembali untuk menimbang berbagai interpretasi yang dilakukan orang.

B. Hakikat Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT

yang terakhir bagi umat manusia sebagai petunjuk paling lengkap yang diturunkan

pada 15 abad yang lalu. Tidak ada satu kitab pun di dunia ini yang lengkap

sempurna seperti halnya Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.

Al-Maidah ayat 48 berikut ini:

”Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu


(Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab -
kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah
engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu,
maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah
kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya kepadamu terhadap apa
yang dahulu kamu perselisihkan."
Tidak berhenti disitu, Al-Qur’an memiliki banyak nama dan sifat. As-

Suyuti menyebut bahwa musannif kitab Al-Burhan fi musykilati Al-Qur’an

yaitu Abu Ma’al syaidalah telah meneliti ada 55 nama Al-Qur’an sesuai

dengan firman Allah SWT. Berikut beberapa nama lain Al-Qur’an:


1. Al-Kalam (kalam), karena Al-Quran adalah bacaan atau kalam yang

sempurna. Seperti firman Allah QS. At-Taubah ayat 6:

“Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan


kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah,
kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu
karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui”

2. Al-Furqan (pembeda) pembeda antara halal dan haram, yang baik dan

yang buruk, antara perintah yang wajib dikerjakan dan larangan-larangan

yang harus ditinggalkan. Seperti dalam firman Allah:

َ ‫ي ن ََّز َل الْ ف ُ ْر ق َ ا َن عَ ٰل ى‬
ۙ ‫ع بْ ِد ٖه ِل يَ كُ ْو َن لِلْ ٰع لَ ِم يْنَ نَ ِذ ي ًْر ا‬ ْ ‫ت َ ٰب َر كَ ا ل َّ ِذ‬

Artinya: Maha melimpah anugerah (Allah) yang telah menurunkan


Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Nabi Muhammad)
agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam.(Q.S.Al-Furqan: 1)

3. Adz-Dzikir (peringatan) peringatan untuk manusia agar selalu ingat


kepada Allah, ingat akan segala perintah-Nya dan larangan-Nya
seperti dalam firman Allah:

ِ ‫ا ِ ن َّ ا ن َ ْح ُن ن ََّز لْ ن َا‬
‫الذ كْ َر َو ا ِ ن َّا ل َ ٗه ل َ حٰ ِف ظُ ْو َن‬

Artinya: Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan


pasti Kami (pula) yang memeliharanya.

4. Al-Huda (petunjuk) Al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia

sebagai petunjuk dalam menjalankan tugasnya di bumi, seprti dalam

firman Allah:

‫ْب ۛ فِ يْ ِه ۛ ه ُد ًى ل ِلْ ُم ت َّقِ يْ ۙ َن‬ ُ ‫ٰذ لِكَ الْ ِك ٰت‬


َ ‫ب ََل َر ي‬
Artinya: Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia
merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.

5. As-Syifa (obat) Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai penyembuh, obat


ataupun penawar bagi penyakit-penyakit yang menyesakkan dada,
seperti dalam firman Allah:

ُّ ‫اس قَ دْ َج ۤا َء ت ْك ُ ْم َّم ْو ِع ظَ ة ٌ ِم ْن َّر ب ِك ُ ْم َو ِش ف َۤا ٌء ل ِ َم ا ف ِى ال‬


‫ص د ُْو ۙ ِر َو ه ُد ًى َّو َر ْح َم ة ٌ ل ِ لْ ُم ْؤ ِم ن ِ يْ َن‬ ُ َّ ‫ٰي ٰٓ ا َيُّ َه ا الن‬

Artinya: Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajara n


(Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi sesuatu
(penyakit) yang terdapat dalam dada, dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang mukmin.

C. Ontologi Dalam Islam

Ontologi kajian keislaman adalah realitas teks Al-Qur’an, yaitu

pengetahuan yang benar-benar ril diperoleh dari teks Al-Qur’an. Hal ini karena

esensi Islam adalah ajaran Al-Qur’an, jadi suatu kajian dapat dinyatakan islami

jika dilakukan dari perspektif Al-Qur’an. Berbeda halnya dengan kajian

intelektual yang ontologinya adalah realitas fisik dan metafisik dalam artian

kosmologi. Secara garis besar ontologi dalam Islam ada tiga, yaitu Allah, Alam

dan Hari Pertemuan. Allah, Dialah yang menciptakan alam dan akan mengadakan

hari pertemuan tersebut. Alam adalah segenap makhluk yang telah diciptakannya;

alam merupakan kalamNya dalan ayat-ayatNya yang tidak tertulis. Sedangkan

hari pertemuan merupakan hari di mana manusia dimintai pertanggung jawaban

atas semua perbuatan dan amanah yang telah diperbuatnya.

Ontologi merupakan pokok-pokok perkara yang ada secara hakiki. Yang

merupakan wilayah kajian pengetahuan. Pengetahuan tentang Allah, alam dan hari
pertemuan, memang bukan merupakan jaminan bahwa seseorang yang

menguasainya secara baik, akan menjadikan dirinya baik dalam beribadah dan

berakhlak secara benar di dalam kehidupannya. Akan tetapi pada faktanya secara

umum, hanya orang-orang yang berimanlah yang mau mengetahui secara

mendalam dan luas akan Allah, hari kiamat dan kehidupan ini. Sehingga sikap

mereka semakin baik dan peran mereka semakin berarti. Itulah sebenarnya yang

merupakan pokok tujuan dari penulisan kajian-kajian tentang ontologi Islam di

dalam kitab dan karangan para ulama. Semakin mendalam pengetahuan kita

tentang Allah, hari akhirat dan kehidupan ini, rasa takut kepada Allah akan

semkain besar. Pada akhirnya berefek pada tabiat taat dan bersih hati.

Ontologi selalu berkaitan dengan epistemologi, akisologi, dan metodologi.

Ontologi tentang Allah, Kehidupan dan Hari Pertemuan menuntut seseorang

untuk mengambil sumber pengetahuan yang telah ditentukan. Sehingga diperoleh

informasi yang benar tentang ketiga perihal ini. Demikian pula pengetahuan

tentang hal tersebut menuntut seseroang untuk memilliki nilai diri yang telah

ditentukan pula. Yaitu agar ia aktif dalam ibadah dan menjaga akhlak-akhlak

dalam kehidupannya. Orang-orang yang beriman sekali pun ia telah beriman sejak

lahir, karena dilahirkan di tengah orang tuanya yang mukmin, tetap wajib untuk

mendalami ontologi Islam. Sebab untuk melahirkan mukmin yang miliitan, tidak

bisa tanpa pengetahuan yang benar dan mendalam tentang Allah, kehidupan dan

hari pertemuan ini. Dengan demikian, aspek ontologi Islam harus menjadi sentral

pembahasan dalam ilmu-ilmu dan pelajaran-pelajaran yang diselenggarakan di


tengah masyarakat Islam, baik di tengah keluarga, sekolah dan masyarakat itu

sendiri.

Allah, siapa Allah? Allah adalah Rabb. Artinya Dialah yang menciptakan

alam semesta. Termasuk di dalamnya manusia. Termasuk alam itu adalah ghaib.

Ada malaikat dan jin, serta alam ruh, alam barzakh. Allah itu Esa. Tidak ada

sekutu bagiNya. Tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan. Serta tidak ada satu

hal pun yang sama denganNya. Allah adalah Rabb manusia. Semua manusia

diciptakan oleh Allah. Karena Allah adalah Rabb manusia, maka manusia harus

berbakti kepada Rabbnya dengan menjadikan Dia sebagai Ilahnya. Menjadikan

Allah sebagai Ilah merupakan tuntutan dari Allah kepada makhlukNya bernama

manusia.

Allah adalah Ilah. Artinya Dialah yang memegang hak untuk disembah di

alam ini. Manusia hanya dibenarkan menyembah hanya kepada Allah semata.

Manusia dilarang keras menyembah kepada selain Allah. Menyembah kepada

selain Allah merupakan suatu dosa yang sangat besar. Bagaimana cara manusia

menyembah kepada Allah, mesti mengikuti cara para Nabi menyembahNya.

Sebab, cara menyembah Allah, tidak bisa melalui kreasi akal atau seni manusia.

Sedangkan para Nabi itu adalah manusia pilihan Allah yang diutus olehNya

kepada manusia untuk menyeru kepada peribadatan kepadaNya.

Dari mana kita tahu Allah? Manusia bisa mengenal Allah dengan banyak

jalan. Melalui pendidikan, membaca, mendengar, meneliti dan berfikir. Banyak

sekali informasi tentang Allah. Dan informasi yang akurat tentang Allah di dapat
manusia melalui wahyu. Wahyu itulah yang merupakan sumber informasi tentang

Allah sebelum ada di dalam sistem pendidikan, bacaan selain kitan suci, ceramah

para mubaligh atau Dai. Untuk mengenal Allah, seseorang mesti mengenall

wahyu dan Rasul. Dengan mengenal wahyu dan Rasul, maka banyak hal yang

dapat dikenali selanjutnya. Terutama konsep tentang agama, akhirat, rasul,

kewajiban dan larangan dalam hidup.

Bagaimana nilai kita terhadap Allah? Dalam kaitannya dengan Allah, nilai

manusia terdiri atas berbagai golongan. Ada yang mengetahuiNya, ada yang tidak.

Ada yang meyakiniNya, ada yang meragukanNya. Manusia yang mengetahui dan

meyakiniNya, disebut orang beriman. Yang tidak mengetahuiNya dengan benar,

disebut dengan sebutan orang jahiliah. Yang tidak meyakininya disebut dengan

kafir. Orang jahiliah itu termasuk salah satu golongan kafir. Manusia bila ingin

termasuk orang yang beriman, maka ia harus meninggalkan kekafiran. Ia harus

masuk ke dalam agama Islam. Kenapa Islam? Tidak agama yang lain? Sebab

Islam merupakan syarat diterimanya ibadah. Hal itu disebabkan karena hanya

Islam yang merupakan satu-satunya agama yang direstui di muka bumi oleh

Allah. Dan karena Islam datang dari Allah. Allah telah menetapkan Islam sebagai

agama yang sah di sisiNya. Agama-agama lain tidak diterima Allah.

Penetapan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang sah di sisi

Allah, dikemukakan Allah di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an itu sendiri merupakan

firman Allah. Seluruh kandungan di dalam Al-Qur’an adalah wahyu atau kalam

atau perkataan Allah. Bukti bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu Allah, adalah

kemukjizatan yang dimiliki Al-Qur’an itu sendiri. Mukjizat itu membuktikan


bahwa Al-Qur’an bukan buatan manusia. Kebenaran Islam berdiri di atas wahyu,

akal dan bukti-bukti. Artinya tidak akan ada di dunia ini hal yang bisa membantah

kebenaran Islam, tidak akan ada pemikiran yang bisa meruntuhkan argumentasi

bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang benar, dan tidak ada satu pun

bukti yang bisa mendukung suatu perkataan bahwa Islam adalah agama yang

salah. Bukti-bukti menunjukkan akan keagungan dan kebenaran Islam.

Alam, Apa itu alam? Alam adalah makhluk, ayat dan kalam Allah yang

tersirat. Makhluk Allah berarti, alam ini ada karena diciptakan Allah. Dan Allah

terus menerus memeliharanya. Ayat Allah, maksudnya, bahwa alam ini

merupakan bukti akan adaNya Allah, bukti keagungan dan kesempurnaanNya.

Allah tidak bisa diindra, tetapi keberadaanNya didapat melalui bukti adanya alam

ini. Setiap penelitian dan penjelajahan alam yang teliti dan jujur akan selalu

mengantarkan manusia kepada kekaguman kepada Allah.

Kalam Allah yang tersirat, bararti, alam ini menggambarkan keluasan dan

keluhuran ilmu Allah. Allah merancang alam semesta ini dengan ilmu yang rumit,

perhitungan yang sangat akurat, dan keseimbangan yang sangat tinggi. Berarti

orang yang mendalami seluk beluk alam ini, pastilah akan diantarkan hati

nuraninya kepada suatu rasa kagum kepada Allah. Karena alam ini merupakan

makhluk Allah, maka tidak boleh disembah. Alam ini diciptakan Allah adalah

untuk kepentingan manusia semata. Ini karena manusia merupakan makhluk

utama di alam semesta. Untuk itu manusia harus bersyukur kepada Allah atas

nikmat alam ini. Bersyukur atas karunia Allah berupa diwujudkan dirinya dan

dibentuk dalam sebaik-baiknya bentuk. Dibekali pula akal fikiran dan hati nurani.
Tak cukup itu, manusia dibekali pula Islam. Dibekalinya suatu sistem kehidupan

sosial yang berintikan kasih sayang. Intinya alam ini adalah kehidupan bagi

manusia.

Dari mana kita tahu alam? Bahwa alam semesta ini merupakan ciptaan

Allah dapat kita ketahui dari wahyu. Selanjutnya di alam itu sendiri, melalui

kekuatan akal fikiran dan indra, adpat disimpulkan bahwa alam ini berawal dari

penciptaan. Artinya ada yang menciptakan. Hanya akal fikiran tidak sampai

kepada suatu nama tentang apa dan siapa yang telah berbuat menciptakan

tersebut. Alam semesta diketahui melalui indra dan akal. Hanya saja pengenalan

akal dan indra akan alam semesta tidak menjangkau alam ghaib. Sebab itu sumber

pengetahuan manusia untuk memahami akan alam semesta beserta alam ghaib

tidak mungkin hanya dengan mengandalkan temuan indra dan akal saja. Manusia

perlu dibantu oleh wahyu untuk memberikan suatu pengetahuan dan penjelasan

seperlunya tentang alam ghaib dan hakikat alam semesta. Wahyu dari Allah

berupa Al-Qur’an memberikan penjelasan tentang alam ini.

Salah satu unsur alam adalah manusia. Bagaimana manusia mengenal

dirinya dengan benar? Banyak jalan. Dan tentu saja jalan utama untuk mengetahui

hakikat manusia adalah dengan wahyu. Wahyu menjelaskan bahwa manusia itu

diciptakan Allah, hidup di dunia yang disediakan Allah, hidup disertai potensi dan

tanggung jawab, dan kemudian akan dikembalikan kepadaNya di hari kiamat

kelak. Penjelasan ini ada di dalam wahyu. Tanpa wahyu manusia tidak akan

mengetahu hakikat ini. Dan jika tidak mengetahui hakikat ini, maka ia akan hidup

mengikuti apa saya yang dituju oleh akal, perasaan dan hawa nafsunya. Dengan
dasar pengetahun yang diambil dari wahyu, maka pengetahuan tentang manusia

yang diperoleh melalui akal dan indra, akan jelas arahnya.

Bagaimana nilai kita terhadap alam? Sikap manusia yang seharusnya

terhadap adalah mengurusnya dan mensyukurinya. Dua hal ini harus berbarengan

ada. Karena sikap ini yang akan menjadikan hidup manusia penuh berkah di bumi.

Jika manusia tidak bersyukur, padahal ia terus menerus mengelolanya, maka

akibatnya adalah suatu kerusakan parah pada kehidupan manusia. Mungkin

sebagian manusia berfikir, tanpa syukur asal pandai mengurusnya, maka hidup

manusia akan damai, sejahtera dan nyaman. Itu tidak benar. Yang benar, hidup

manusia akan hancur. Sebab itu sikap syukur harus ada ketika kita hidup di alam

ini. Alam ini terkait dengan penciptanya yaitu Allah. Dan terkait dengan hari

pertemuan manusia dengan Allah saat hari kiamat tiba. Yaitu bahwa manusia akan

dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya selama hidup di dunia. Alam

semesta ini adalah saksi dan tempat manusia berbuat selama hidupnya.

Nilai manusia dalam kaitannya dengan alam ini dibagi dua. Golongan

pertama, yaitu yang tertipu dengan dunia atau alam ini. Golongan kedua, yaitu

yang mejadikannya sarana untuk menguatkan ibadah kepada Allah. Golongan

orang kafir, semuanya termasuk yang tertipu dengan dunia. Dan di kalangan

golongan orang beriman, mungkin ada yang tertipu dengan dunia. Ia lupa untuk

bersedekah dan lupa sehingga ia menjadikan dunia sebagai mimpi besar dari usia

kehidupannya. Ia lalai dari mengingat Allah karena sibuk dengan urusan dunia

dan angan-angannya. Diantara kelompok manusia ada yang tidak mempercayai

bahwa alam ini diciptakan oleh Allah. Mereka menganggap Allah itu tidak ada.
Sehingga mereka menolak wahyu dan agama. Kehidupan hanya dipandang

sebatas kehidupan di dunia ini. Setelah itu manusia tidak akan ditanyai tentang

apa pun yang pernah diperbuatnya selama hidup di dunia. Berangkat dari

keyakinan ini, kemudian mereka merasa bebas untuk melakukan apa pun yang

mereka sukai di sepanjang kehidupan sekalipun yang dilakukannya itu merupakan

perkara yang rendah dan hina.

Hari Pertemuan, Apa itu hari pertemuan? Dunia ini, atau alam semesta ini

sedang dalam perjalanan menuju akhirat. Demikian juga manusia. Hanya saja

manusia tidak sekedar bahwa ia sedang menuju akhirat, tetapi sedang menuju hari

disaat ia akan dimintai pertanggungan jawab atas seluruh amal dan hal yang telah

dilakukan dan diperlakukannya. Itulah hari pertemuan besar antara manusia

dengan khaliknya yaitu Allah Swt. Hari itu merupakan hari yang pasti, hari yang

tidak bisa diragukan akan kedatangannya. Hari tersebut dinamakan dengan hari

agama. Karena hanya agama sajalah yang berharga di waktu itu. Manusia ketika

meninggal tidak ada yang dibawanya melainkan agamanya ikut serta. Dan dengan

agama itulah ia mempertaruhkan takdirnya di akhirat. Agama berarti sikap

manusia terhadap Islam dan sikapnya di dalam Islam. Bila ia bersikap iman

kepada Islam dan patuh tunduk menjalankan Islam dengan penuh keikhlasan dan

pembelaan, itulah yang akan menjadi agamanya, yang akan dibawanya hingga

akhirat kelak itu.

Hari pertemuan itu melingkup segala ihwal keakhiratan. Tahapan-tahapan

yang akan dilalui manusia di hari tersebut, merupakan tahapan yang berat.

Termasuk di dalamnya surga dan neraka. Hisab dan timbangan amal manusia
perseorangan. Di hari tersebut manusia hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak

ada kekerabatan, pertemanan dan perniagaan yang terjadi, sebagai sarana untuk

saling tolong menolong. Dan masih banyak hakikat-hakikat lainnya tentang

akhirat tersebut.

Bagaimana kita tahu akan hari pertemuan? Semua informasi tentang

akhirat tidak dapat dicapai dengan pengamatan indra dan akal. Namun akal bisa

membenarkan akan keberadaannya, sesuai hukum akal. Hukum akal berpendapat

bahwa adanya akhirat atau hari pertemuan dengan Allah merupakan sesuatu yang

mungkin. Hanya saja kemudian, informasi yang sampai kepada manusia melalui

wahyu, dapatlah sampai akal pada kepastian keyakinan bahwa akhirat itu adalah

ada.

Bagaimana nilai kita terhadap hari pertemuan? Informasi tentang Allah

dan akhirat, beserta asal mula alam semesta hanya dapat diperoleh melalui wahyu.

Dan pengetahun ini merupakan pondasi bagi menentukan sikap dan kewajiban

yang melekat pada manusia sebagai makhluk Allah. Dalam menyikap akhirat atau

hari pertemuan, manusia terbagi atas dua golongan besar. Yaitu golongan yang

meyakini akan keberadaannya nanti sehingga ia menjadikan semua sikapnya

menjadi berorientasi akhirat. Dan golongan yang tidak meyakininya. Biasanya

golongan ini sekaligus tidak meyakini Allah dan tidak meyakini wahyu. Mereka

menjadikan hidup hanya sebatas bingkai kehidupan dunia dan berorientasi

kebendaan semata.
Bagaimana Pengaruh Pengetahuan ini? Allah dan hari pertemuan

denganNya merupakan hal yang ghaib. Hal yang tidak bisa dicapai dengan indra.

Namun keberadaanya dapat diterima oleh akal dan hati manusia. Boleh jadi

kebanyakan manusia membenarkan keberadaan Allah dan hari pertemuan

denganNya, mereka pun mengetahuinya sesuai informasi yang mereka peroleh

dari kitab Al-Qur’an. Dan ini merupakan modal terbaik untuk menjamin bahwa

perbuatan manusia akan menjadi baik. Hanya saja, dalam perkembangannya

kemudian, terjadilah kualitas-kualitas yang berbeda-beda pada diri manusia.

Namun secara umum, semakin seseorang tinggi keimanan, maka kebutuhannya

akan pengetahuan yang mendalam tentang Allah dan hari akhirat semakin besar.

Kebutuhannya terhadap pengetahuan agama semakin besar. Atau bisa saja, bahwa

kenyataan seseorang dididik dengan pengetahuan yang mendalam tentang Allah

dan hari akhirat, maka kemungkinan besar, ia akan menjadi pribadi yang lebih

baik akan keimanannya.

Adapun mengenai hubungan antara seseorang dengan dunia, tatkala ia

mengetahui hakikat dunia dan menguasai hukum-hukum dunia, ia akan bersikap

zuhud. Zuhud itu hakikatnya adalah menguasai dunia untuk ditundukkan demi

kepentingan agama. Rasulullah dan Para Sahabat sebagai teladan dalam

beragama, benar-benar menguasai urusan dunia sesuai konteks zamannya, baik

teknologi, sosial, negara, ekonomi, diplomasi, militer, kekayaan, kemudian

menjadikan semua itu sebagai sarana untuk kepentingan dakwah dan meninggikan

kalimat Allah, itulah zuhud.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara ontologis, usūliyūn melihat wujud Al-Qur’an dalam bentuk teks di

antara dua sisi mushaf, yaitu dari surat al-Fātihah sampai surat al-Nās. Teks di sini

bermakna wujud dalam tulisan (mawjūd fī al-kitābah) yang dapat dirujuk kembali

untuk menimbang berbagai interpretasi yang dilakukan orang.

Adapun hakikat Al-Qur’an bisa dilihat dari nama-nama Al-Qur’an itu

sendiri sesuai dalam firman Allah SWT yaitu Al-Kalam sebagai bacaan yang

sempuna, Al-Furqan sebagai pembeda antara halal dan haram, yang baik dan yang

buruk, antara perintah yang wajib dikerjakan dan larangan-larangan yang harus

ditinggalkan, Adz-Dzikir (peringatan) peringatan untuk manusia agar selalu

ingat kepada Allah, Al-Huda (petunjuk) Al-Qur’an diturunkan kepada umat

manusia sebagai petunjuk dalam menjalankan tugasnya di bumi, As-Syifa

(obat) Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai penyembuh, obat ataupun

penawar bagi penyakit-penyakit yang menyesakkan dada.

Secara garis besar ontologi dalam Islam ada tiga, yeitu Allah, Alam dan

Hari Pertemuan. Allah, Dialah yang menciptakan alam dan akan mengadakan hari

pertemuan tersebut. Alam adalah segenap makhluk yang telah diciptakannya;

alam merupakan kalamNya dalan ayat-ayatNya yang tidak tertulis. Sedangkan

hari pertemuan merupakan hari di mana manusia dimintai pertanggung jawaban

atas semua perbuatan dan amanah yang telah diperbuatnya.


B. Saran

Makalah ini disusun berdasarkan hasil bacaan penulis dari beberapa

bukuyang sebagian besarnya menjadi referensi dari makalah ini. Karena

minimreferensi, penulis makalah ini tentu sangat meyarankan kepada para

pembaca untuk menambah referensi bacaanya diluar makalah ini. Penulis dengan

senanghati mengakui apabila terdapat kekurangan dalam makalah ini, sehingga

penulisbersifat terbuka untuk menerima kritik dan saran dari para pembaca

utamanya dari Dosen Pengajar Mata Kuliah Filsafat Islam di kelas Magister

Pendidikan Agama Islam dalam Program Pascasarjana Universitas Muslim

Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

al-Dabūsī, Abū Zayd, 2001, Taqwīm al-Adillah fī Usūl al-Fiqh. Beirut:


Mū’assasah al- Risālah.
Al-Ghazzālī, 2000, Al-Mustasfā fī ‘Ilm al-Usūl. Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah.
Khallāf, ‘Abd al-Wahhāb, 1978, ‘Ilm al-Usūl al-Fiqh, cet. XII. Kuwait:
Dār al-Qalam.
Al-Sam‘ānī, 1996, Qawāti‘ al-Adillah fī al-Usūl. Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah.
al-Syarī‘ah, Sadr. Al-Tawdīh. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.

https://filsafatindonesia1001.wordpress.com/2017/06/09/ontologi-dalam-

islam/

Anda mungkin juga menyukai