Ilmu Nasikh Dan Mansukh

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

Ilmu Nasikh dan Mansukh

PENDAHULUAN
Al-Quran merupakan sumber pertama dan utama hukum Islam, sehingga
diyakini oleh setiap Muslim bersifat abadi dan universal. Abadi berarti terus berlaku
sampai akhir zaman. Sedangkan universal berarti syariatnya berlaku untuk seluruh
dunia tanpa memandang perbedaan etnis dan geografis. Hanya saja, dalam
menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para ulama karena
adanya perbedaan masalah yang menjadi penekanannya. Perbedaan pandangan
adalah rahmat, yang menurut Imam Taufiq, menunjukkan beragamnya cara pandang
manusia sebagai makhluk yang berakal, memahami simbul, intelek, berilmu
pengetahuan dan normatif.1
Di antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan para
ulama mufassirin adalah masalah nasikh dan mansukh. Pertanyaan pokoknya adalah
apakah ada nasikh dan mansukh dalam al-Quran ?
Nasikh dan mansukh sebagai issu sentral kajian makalah ini dikaji dengan
seksama. Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh merupakan asas utama dalam
memahami Islam, sebagaimana ucapan Ali ibn. Abi Thalib dan Ibnu Abbas, r.a.
ketika menafsirkan kata “al-hikmah” dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 269
dengan pengetahuan nasikh mansukh, muhkam dan mutasyabihah-nya.3Di antara
masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan para ulama mufassirin
adalah masalah nasikh dan mansukh. Pertanyaan pokoknya adalah apakah ada nasikh
dan mansukh dalam al-Quran?
Nasikh dan mansukh sebagai issu sentral kajian makalah ini dikaji dengan seksama.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh merupakan asas utama dalam memahami
Islam, sebagaimana ucapan Ali ibn. Abi Thalib dan Ibnu Abbas, r.a. ketika

1
Imam Taufiq. Maqamat dan Ahwal, Tinjauan Metodologis, dalam Tasawuf dan Krisis,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar bekerja sama dengan IAIN Walisongo Press, 2001), hlm. 135
menafsirkan kata “al-hikmah” dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 269 dengan
pengetahuan nasikh mansukh, muhkam dan mutasyabihah-nya.2
‫يُْؤ تِي ْال ِح ْك َمةَ َم ْن يَ َشا ُء‬
ِ ‫َو َم ْن يُْؤ تَ ْال ِح ْك َمةَ فَقَ ْد ُأوتِ َي خَ ْيرًا َكثِيرًا ۗ َو َما يَ َّذ َّك ُر ِإاَّل ُأولُو اَأْل ْلبَا‬
ۚ ‫ب‬
Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-
orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasikh Dan Mansukh
Al-Qattan berkata, istilah nasikh menurut bahasa berarti izalah yakni
menghilangkan. Misalnya nasakhati ayamsu az-zilla ( matahari menghilangkan
bayang-bayangan ). Selanjutnya, Al-Qattan menyebutkan bahwa kata nasikh juga
dipergunakan untuk menghapuskan jejak pertahanan. Juga bermakna memindahkan
sesuatu dari satu tempat ke tempat lain.
Lebih lanjut Rosihin Anwar dengan mengutip beberapa ulama ulumul qur’an,
seperti Az-Zarqani As-Suyuthi bahwa selain bermakna tersebut diatas, nasikh juga
bermakna tabdil yang artinya penggantian, tahwil yang berarti memalingkan, dan
naql yang berarti memindahkan dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Menurut Quraish Shihab, secara etimologis kata nasikh dipakai untuk beberapa
makna, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan sesuatu dari suatu wadah
ke wadah yang lain. Oleh karena sesuatu yang bermakna yang membatalkan,
menghapus, memindahkan dan sebagainya, dinamai nasikh. Adapun yang dibatalkan,
dihapus, dipindahkan, dan sebagainya dinamakan mansukh.3

2
Sebagain ulama memaknai muhkam sebagai ayat yang menaskh sedang mutasyabihah
sebagai ayat yang mansukh. Lihat Imam Taufiq, Metode Ta`wil Al Quran, (Semarang :
Makalah, 1998), hlm. 2.
3
Gunawan, Heri Dan Deden Suparman, Ulumul Quran (Studi-Studi Ilmu Al Qur’an),
(Bandung: CV Arfino Raya,2015), hlm. 108
Adapun pengertian nasikh sacara termonologis (istilah) sebagaimana
dikemukakan oleh Manna’khalil al-qattan adalah mengangkat(menghapuskan) hukum
syarak dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang mendefinisikan
nasikh adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab syarak pula. Maksud
menghapuskan di sini adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari
seseorang mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Para ulama mutaqadimin yakni para ulama yang hidup sekitar abad ke-1 sampai
dengan abad ke-3 hijriah, sebagaimana dikemukakan oleh Asy-Syaitibi dalam Al-
Mufawaqat Fi Usul Asy-Syari’ahb yang dikutip oleh Quraish Shihab, memperluas
makna nasikh sehingga mencakup beberapa hal berikut:
1. Pembatalan hukum yang ditetapakan terdahulu oleh hukum yang ditetapakan
kemudian;
2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian;
3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar,
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Bahkan menurut Muhammad Abd. Azhim al-Zarqaniy, seperti juga yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab, diantara mereka ada yang beranggapan, bahwa
suatu ketetapan hukum yang ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu telah
menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda. Misal, perintah untuk
bersabar dan menahan diri, pada periode Makkah disaat kaum muslimin masih dalam
keadaan lemah, dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada
periode Madinah.4
Sementara itu, para ulama mutaakhirin (para ulama yang datang kemudian
sebagaimana dikemukakan oleh Quraish Shihab, bahwa nasikh itu terbatas pada
ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan hukum yang berlaku adalah hal yang ditetapkan diakhir.
4
Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009) hlm. 259.
Dalam pandangan kelompok yang pro-nasakh mensinyalir, bahwa penetapan
maupun pencabutan suatu hukum oleh al-Qur’an terhadap ayat al-Qur’an lain
didasarkan oleh pertimbangan kemaslahatan. Sehingga, dalam konteks ini, ada yang
menganalogikannya dengan turunnya al-Qur’an kepada nabi secara berangsur-angsur.
Ayat al-Qur’an, diturunkan oleh Allah sesuai dengan realitas yang berkembang serta
memperhatikan kesanggupan umat manusia yang mukallaf terhadap pesan yang
dibawa oleh al-Qur’an itu sendiri.5
Adapun yang dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang diangkat atau
dihapuskan atau mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau
dipindahkan.

B. Klasifikasi Tentang Nasikh Wal Mansukh


Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam al-Qur’an dibagi menjadi empat
macam yaitu:
Naskh sharih, yaitu ayat yang jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat
terdahulu. Misalnya ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat al-anfal yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:
َ َ‫ض ْال ُمْؤ ِمنِينَ َعلَى ْالقِتَا ِل ِإ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْشرُون‬
‫ْن َوِإ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِماَئةٌ يَ ْغلِبُوا‬pِ ‫صابِرُونَ يَ ْغلِبُوا ِماَئتَي‬ ِ ‫يَا َأيُّهَا النَّبِ ُّي َح ِّر‬
‫)بَِأنَّهُ ْم قَوْ ٌم ال يَ ْفقَهُون‬٦٥( ‫َأ ْلفًا ِمنَ الَّ ِذينَ َكفَرُوا‬
“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang mukmin untuk berperang. Jika ada dua
pulub orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua
ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang sabar diantara kamu, mereka dapat
mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak
mengerti.”(QS. Al-Anfal:65)
Yang kemudian dinasakh oleh ayat selanjutnya
‫ف يَ ْغلِبُوا َأ ْلفَ ْي ِن‬
ٌ ‫صابِ َرةٌ يَ ْغلِبُوا ِماَئتَ ْي ِن َوِإ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم َأ ْل‬ َ ‫اآلنَ َخفَّفَ هَّللا ُ َع ْن ُك ْم َو َعلِ َم َأ َّن فِي ُك ْم‬
َ ٌ‫ض ْعفًا فَِإ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِماَئة‬
٦٦( َ‫بِِإ ْذ ِن هَّللا ِ َوهَّللا ُ َم َع الصَّابِ ِرين‬

5
Ibid, hlm.261.
“Sekarang, Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu
memiliki kelemahan. Maka jika diantara kamu ada seratus orang yang sabar,
niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantara kamu
terdapat seribu orang yang sabar, mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang
kafir.” (QS. Al-Anfal:66)

1. Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan, dan tidak
dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta
keduanya diketahui waktu turunnya, ayat yang kemudian menghapus ayat-ayat
terdahulunya. Contohnya: ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi
orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat al-Baqarah 180.
َ‫ُوف ۖ َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين‬
ِ ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َدي ِْن َواَأْل ْق َربِينَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ك خَ ْيرًا ْال َو‬ ُ ْ‫ض َر َأ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ت ِإ ْن تَ َر‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-


tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu-
bapak serta karib-kerabatnya secara ma’ruf.”
Menurut pendukung teori nasikh-mansukh ayat ini dinaskh oleh hadis “la wahiyyah li
waris” (Tidak ada wasiat bagi ahli waris).
2. Nash kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan.
Contoh: ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat al-Baqarah ayat 234
dinaskh oleh ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 di surat yang sama.
3. Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu
dengan hukum yang hanya berlaku pada sebagian individu. Contohnya, hukum
dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada
surat An-Nur ayat 4, dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali
dengan nama Allah jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat
yang sama.6

6
Ibid, hlm. 173-175
Ditinjau dari keberadaan ayat dan hukumnya, nasikh dan mansukh dalam Al-
Quran dapat dibagi menjadi tiga:
1. Penghapusan Hukum Dan Bacaan Secara Bersamaan (nasikh al-hukmi wa at-
tilawah ma’a)
Ayat-ayat yang termasuk dalam kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan
diamalkan. Misalnya disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a

ٍ ‫س َم ْعلُو َما‬
‫فَتُ ُوفِّ َي‬،‫ت‬ ِ ‫بِ َخ ْم‬، َ‫ثُ َّم نُ ِس ْخن‬، َ‫ت يُ َح ِّر ْمن‬
ٍ ‫ت َم ْعلُو َما‬ َ ‫ َع ْشر َُر‬:‫" َكانَ فِي َماأ ْن ِز َل ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬:‫ت‬
ٍ ‫ض َعا‬ ْ َ‫َأنَّهَاقَال‬،َ‫ع َْن عَاِئ َشة‬
‫ َوه َُّن فِي َما يُ ْق َرُأ ِمنَ ْالقُرْ آ ِن‬،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ‫"رسُو ُل هللا‬ َ
"Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia berkata: Adalah di antara yang diturunkan dari
Al-Qur'an adalah sepuluh kali susuan yang maklum (jelas diketahui) itu
menyebabkan mahram, kemudian ketentuan ini dinasakh dengan lima kali susuan
yang maklum, sampai Rasulullah SAW wafat lima kali susuan ini termasuk ayat
Al-Qur'an yang dibaca." (H.R. Muslim)
Maksud dari hadist diatas, bahwa ketentuan tentang susunan ini tidak ada
lagi di dalam Al-Qur’an, baik bacan maupun hukumnya. Naskh ayat tentang
radha’ah itu tidak sampai kepada semua orang, sehingga sampai Rasulullah SAW
wafat masih ada yang membacanya. Karena sudah di nasakh tilawahnya, maka
ayat tersebut tidak terdapat di dalam mushaf ‘Utsmani’.

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaan tetap ada (nasikh al-
hukmi wa tilawatuha yabqa)
Misalnya, ajarkan para penyembah berhala dari kelompok musyrikin
kepada orang-orang muslim untuk bergantian dalam beribadah telah dihapus oleh
ayat qital. Contoh nasikh jenis ini adaah (surat al-mujadilah ayat 12) dinasakh oleh
surat yang sama ayat 13 berikutnya. Yang dinasakh hanya hukumnya, sedangkan
tilawah keduanya tetap ada dalam mushf ‘Utsmani’.
ْ ‫ك خَ ْي ٌر لَ ُك ْم َوَأ‬
َ‫طهَ ُر فَِإ ْن لَ ْم تُ ِجدُوا فَِإ َّن هللا‬ َ ‫يَاَأيُّهَاالَّ ِذ ينَ آ َمنُوا ِإذا نَا َج ْيتُ ُم ال َّرسُو َل فَقَ َّد ُموا بَ ْينَ يَ َديْ نَجْ َوا ُك ْم‬
َ ِ‫ص َدقَةً ذل‬
)١٢(‫َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬

"Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus


dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih;
jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 12)

َ‫صالَةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوَأ ِطيعُواهللا‬


َّ ‫َاب هللاُ َعلَ ْي ُك ْم فََأقِي ُموا ال‬
َ ‫ت فَِإذلَ ْم تَ ْف َعلُوا َوت‬ َ ‫َءأ ْشفَ ْقتُ ْم َأ ْن تُقَ ِّد ُموا بَ ْينَ يَ َديْ نَجْ َوا ُك ْم‬
ٍ ‫ص َدقَا‬
)١٣( َ‫َو َرسُولَهُ َوهللاُ َخبِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬

"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah
sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-Mujâdilah 58: 13)
Hukum memberikan sedekah terlebih dahulu kepada orang miskin sebagai
syarat untuk rasulullah saw pada ayat 12 diatas, dinasakh oleh ayat 13 berikutnya
sebagai keringanan bagi umat.

3. Penghapusan terhadap tilawah atau bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap


berlaku (nasikh at-tilawah, wa hukmuha yabqa)
Contoh naskh jenis ini adalah apa yang diriwayatkan dari umar bin khatab dan
ubayya ibn ka’ab bahwa keduanya berkata, diantara ayat yang pernah diturunkan
adalah ayat:
ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّش ْي َخةُ فَارْ ُج ُموهُ َما ْالبَتَّةَ نَ َكاالً ِمنَ هللاِ َوهللاُ ع‬
‫َزي ٌز َح ِكي ٌم‬
"Orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah
keduanya dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana" (H. R. Ibnu Hibban dan Ibn Majah)
Hukum rajam masih berlaku tetapi ayat tersebut adalah dinasakh sehingga tidak
ditemukan dalam mushaf ‘Utsmani’.7

C. Perbedaan Antara Nasikh Dan Takhshish


Nasakh dan takhsis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya antara
lain, terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum.
Keduanya berfungsi untuk menghususkan sebagian kandungan dari suatu lafadz.
Hanya saja, takhsis lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum,
sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.
Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan
mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai
dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau
membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang
sebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876)
Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di antara
keduanya: (Al-Ghazali : 71, Al-Amidi : 165)
1. Thaksis bisa dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula terhadap
lafadz yang datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan nasakh mutlaq hanya
bisa dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian.
2. Thaksis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil aqli,
sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.
3. Takhsis tidak berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah saja,
seperti “Berilah si fulan:, sedangkan nasakh bisa dilakukan dapa kasus seperti itu.
4. Lafadz yang umum tetapada sesuai keumumanya walaupun setelah di-takhsis,
sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku lagi.
5. Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad, dan dalil-dalil
syara’ lainya (pendapat ini masih diperselisihkan dikalangan para ulama).

7
Ilyas, Yunahar, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2014), Hlm 181-185
Sedangkan dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang qath’i, kecuali
dengan lafadz yang qath’i pula.8
Untuk lebih jelasnya ada baiknya dikemukakan beberapa contoh dari hal tersebut di
atas
Beberapa contoh naskah
1. Firman Allah dalam Surah 2 Al Baqarah: 115
‫ق َو ْال َم ْغ ِربُ ۚ فََأ ْينَ َما تُ َولُّوا فَثَ َّم َوجْ هُ هَّللا ِ ۚ ِإ َّن هَّللا َ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬
ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬
” Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap,
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui”
Di nasakh oleh Surah 2 Al Baqarah: 144,
ْ ‫ْث َما ُكنتُ ْم فَ َولُّوا ُوجُوهَ ُك ْم َش‬
ُ‫ط َره‬ ْ ‫ضاهَا ۚ فَ َو ِّل َوجْ هَكَ َش‬
ُ ‫ط َر ْال َم ْس ِج ِد ْال َح َر ِام ۚ َو َحي‬ َ ْ‫فَلَنُ َولِّيَنَّكَ قِ ْبلَةً تَر‬
144….Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
2. Surah 5 Al Maidah 42
‫ك فَاحْ ُك ْم بَ ْينَهُ ْم َأوْ َأ ْع ِرضْ َع ْنهُ ْم‬
َ ‫فَِإ ْن َجا ُءو‬
Di nasakh oleh surah 5 Al Maidah 49
ُ ‫َوَأ ِن احْ ُكم بَ ْينَهُم بِ َمآ َأن َز َل هّللا‬
49. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah,

Beberapa contoh takhshis


1. Istitsna (pengecualian)
Dalam surah 24 al-Nur: 4-5
َ ‫ت ثُ َّم لَ ْم يَْأتُوا بَِأرْ بَ َع ِة ُشهَدَا َء فَاجْ لِدُوهُ ْم ثَ َمانِينَ َج ْل َدةً َواَل تَ ْقبَلُوا لَهُ ْم َشهَا َدةً َأبَدًا ۚ َوُأو ٰلَِئ‬
‫ك هُ ُم‬ َ ْ‫َوالَّ ِذينَ يَرْ ُمونَ ْال ُمح‬
ِ ‫صنَا‬
ِ َ‫ْالف‬
َ‫اسقُون‬

4.Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)


dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
8
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 233.
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”.(Q.S.
An-Nur:4)

َ ِ‫ِإاَّل الَّ ِذينَ تَابُوا ِم ْن بَ ْع ِد ٰ َذل‬


‫ك َوَأصْ لَحُوا فَِإ َّن هَّللا َ َغفُو ٌر َر ِحي ٌم‬

5.Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya),


maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. An-
Nur:5)
Kalimat “illa alladzina tabu pada ayat tersebut adalah mukhassis terhadap
pengertian umum pada kalimat sebelumnya

2. Shifat (sifat)
Dalam surah 4, al-Nisa’:23,
َ ‫ُور ُك ْم ِم ْن نِ َساِئ ُك ُم الاَّل تِي َدخَ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَِإ ْن لَ ْم تَ ُكونُوا َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجن‬
‫َاح َعلَ ْي ُكم‬ ِ ‫َو َربَاِئبُ ُك ُم الاَّل تِي فِي ُحج‬
23….anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya;….

Kalimat “allati dakhaltum bihinna” merupakan sifat terhadap kalimat “nisa’ikum”


sebagai mukhasisnya.

3. Syarth (syarat)
Dalam surah 2, al-baqarah: 180,
َ‫ُوف ۖ َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين‬
ِ ‫صيَّةُ لِ ْل َوالِ َدي ِْن َواَأْل ْق َربِينَ بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ك خَ ْيرًا ْال َو‬ ُ ْ‫ض َر َأ َح َد ُك ُم ْال َمو‬
َ ‫ت ِإ ْن تَ َر‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ْم ِإ َذا َح‬
َ ِ‫ُكت‬
180.“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak
dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang
yang bertakwa.”
Kalimat in taraa khairan merupakan syarat diadakannya wasiat.
4. Ghayah (batas)
Dalam surah 2, al-Baqarah: 196,
ُ ‫ۚ واَل تَحْ لِقُوا ُر ُءو َس ُك ْم َحتَّ ٰى يَ ْبلُ َغ ْالهَ ْد‬
ُ‫ي َم ِحلَّه‬ َ
196., dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat
penyembelihannya.
Kalimat hatta yablugha al-hadyu mahillah merupakan batas dari berlakunya
larangan mencukur kepala.9

D. Pendapat Ulama Tentang Nasikh Dan Mansukh


Terjadi perbedaan pendapat di kalangan yang menerima adanya nasikh mansukh
dan ada pula yang menolaknya. Kedua kelompok ulama ini memberikan
argumentasinya masing-masing, sebagaimana dijelaskan berikut ini:
1. Kelompok Yang Menolak Adanya Nasikh Dalam Al-Qur’an
Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak keberadaan nasikh
dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-
Raji.
Menurut al-ashafani bahwa secara logika nasikh bisa saja terjadi, tetapi
tidak mungkin terjadi pula itu ditinjau dari syariat. Selanjutnya al-ashafani
sebagaimana dikutip ash-shidiqy berkata, jika ada hukum dalam al-qur’an dan ada
ayat yang telah dimansukh berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu
berarti menetapkan bahwa dalam Alquran ada yang batal atau salah. Oleh karena
itu, ia dengan tegas menolak sepenuhnya nasikh dalam Alquran. Hal ini
berdasarkan ayat Alquran “
‫الَيَْأ تِ ْي ِه ْالبَا ِط ُل ِم ْن ۢب ْي ِن يَ َد ْي ِه َوالَ ِم ْن خَ ْلفِ ِه ۗ تَ ْن ِز ْي ٌل ِّم ْن َح ِكي ٍْم َح ِم ْي ٍد‬
“Yang tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari
belakang (pada masa lalu dan yang akan dating, yang diturunkan dari tuhan
yang bijaksana, maha terpuji.” (QS Fushilat :41-42)

9
Nawir Yuslem, ulumul qur’an, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), hlm.83-85
Lebih lanjut Asfahani berkata, mengingatkan bahwa Alquran itu syariat
yang diabadikan hingga hari kiamat dan menjadi hujjah atas manusia sepanjang
masa, maka tidaklah pantas jika padanya ada ayat ayat yang mansukh. Kalau
sunnah boleh saja dinasikh, karena ia sebagiannya datang untuk seketika saja,
lalu dinasikh dengan sunnah yang datang sesudahnya. Dan mengingatkan bahwa
kandungan Alquran bersifat kulliyah (general), bukan juziyyah (lebih khusus).
Hukum-hukum yang diterangkan juga bersifat ijmali (umum), bukan secara
tafsili (terperinci). Dengan demikian, menurutnya hukum-hukum Alquran tidak
akan ada yang dibatalkan atau dinasikh untuk selamanya. Dan ayat-ayat tentang
nasikh semua ia tasiskan.
Adanya kelompok ulama yang menolak adanya nasikh dalam Alquran ini,
karena mereka berbeda pendapat ketika menafsirkan kata (ayat) yang terdapat
dalam surat (Albaqarah ayat 106) di atas. Mereka mengatakan bahwa ayat yang
dimaksud adalah mukjizat para nabi. Selanjutnya untuk memperkuat argumentasi
ini, mereka mengemukakan firman Allah yang artinya sebagai berikut “Tidak
datang kepadanya (al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakangnya, (karena) ia diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha
Terpuji.” (QS. Fushilat: 42).
Menurut al-Ashfani, bertolak dari ayat diatas, al-Qur’an tidak mungkin
disentuh pembatalan. Sudah tentu, mayoritas ulama’ merasa keberatan terhadap
pendapat al-Ashfani, sebab bagi mereka, ayat tersebut tidak berbicara tentang
“pembatalan”, tetapi tentang “kebatilan” yang merupakan lawan dari
“kebenaran”. Juga, menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkannya tidak
mengandung keharusan bahwa hukum itu batil, sebab suatu yang dibatalkan
penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu
waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
Lebih jauh lagi, Quraish Shihab menyimpulkan, bahwa semua ayat al-
Qur’an pada dasarnya berlaku. Ayat hukum yang tidak kondusif (berlaku) pada
suatu waktu, pada waktu yang lain akan tetap berlaku bagi orang-orang yang
memiliki kesesuaian kondisi dengan apa yang ditunjuk oleh ayat yang
bersangkutan.10
2. Kelompok yang Menerima Adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran
Kelompok kedua ini diikuti oleh mayoritas jumhur ulama untuk
memperkuat pendapatnya, kelompok ini mengemukakan berbagai argumentasi,
baik yang bersifat aqliyah (berasal dari rasio) maupun naqliyah (berasal dari
Alquran) :
a. Bahwa perbuatan – perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan.
Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada sewaktu-waktu dan melarang pada
sewaktu-waktu yang lain. Karena hanya Dia-lah yang lebih mengetahui
kepentingan hukumnya.
b. Nas-nas kitab (Alquran) dan sunnah menganjurkan adanya kebolehan nas dan
terjadinya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan adalah Firman Allah
berikut.“
ِ ‫َمانَ ْن َس ْخ ِم ْن ٰايَ ٍة اَوْ نُ ْن ِسهَانَْأ‬
‫ت بِ َخي ٍْر ِّم ْنهَآاَلَ ْم تَ ْعلَ ْم اَ َّن هللاَ ع َٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِد ْي ٌر‬
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan,pasti Kami
ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah
kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (Q.S.Al-Baqarah
{2{:106)

ُ ۚ ِ‫يَ ْمحُواهللاُ َمايَ َشآ ُء َوي ُْثب‬


ِ ‫ت َو ِع ْندَه ُأ ُّم ْال ِك ٰت‬
‫ب‬
“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya
terdapat Ummul-Kitab.” (Q.S.Ar-Rad{13}:39)
Berdasarkan dua ayat di atas, dapat dipahami bahwa dalam Al-Qur’an itu
terdapat nasikh. Dan menurut mereka maksud kata ”ayat” yang di-nasikh itu
adalah ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum.

10
Ibid, Hlm. 169-172.
Gagasan lain yang diungkapkan oleh para ulama yang mendukung adanya
nasikh dalam Al-Qur’an adalah penerapan perintah-perintah tertentu kepada
kaum muslimin di dalam Al-Qur’an hanya bersifat sementara dan jika keadaan
telah berubah, perintah dihapus dan diganti dengan perintah yang baru. Akan
tetapi, karena perintah-perintah itu adalah kalam Allah ia harus dbaca sebagai
bagian dari Al-Qur’an.
Selanjutnya, para ulama yang mendukung adanya nasikh dalam Al-Qur’an
didukung oleh berbagai dalil (argumentari) yang kuat. Diantara dalil-dalil yang
mereka kemukakan adalah sebagai berikut.

a. Nasikh tidak merupakan hal yang terlarang menurut akal pikiran, dan setiap yang
tidak dilarang berarti boleh.
b. Seandainya nasikh tidak dibolehkan akal dan tidak terjadi dalam nasikh, syar’i
tidak boleh memerintahkan sesuatu kepada hamba-Nya, dengan perintah
sementara dan melarang dengan larangan sementara pula.
c. Seandainya nasikh tidak boleh menurut akal dan terjadi menurut sam’iyat, tidak
akan ditetapkan risalah Muhammad saw. Kepada seluruh alam, sedangkan
semuanya mengakui bahwa risalah berlaku untuk seluruh alam dengan dalil yang
pasti.
d. Terdapat dalil yang menunjukkan nasikh terjadi menurut nasikh. Oleh karena itu,
keadaan terjadi (al-wuqu’) membawa pengertian boleh bertambah (al-jawad wa
az-ziyadah).11
Maka jelaslah apa yang dikatakan oleh para ulama bahwa ayat di-nasikh itu
masih tetap ayat Al-Qur’an yang mengandung ketentuan hukum. Dengan demikian,
menurut para pendukung nasikh, hukum Tuhan yang di-nasikh atau dibatalkan
(diganti) bukan berarti batil, sebagamana dikemukakan oleh Al-Asfahani. Sesuatu
yang dibatalkan pengggunanya, karena ada perkembangan dan kemaslahatan pada
suatu waktu, bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika diberlakukan merupakan

11
Ibid, Hlm 170-171.
sesuatu yang tidak benar. Dengan demikian, yang dibatalkan dan membatalkan
adalah hak dan benar, bukan batil.
Perbedaan pendapat tentang ada dan tidaknya nasikh, menurut para ahli
disebabkan oleh perbedaan pandangan tentang ayat-ayat hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Sebagamana dilansirkan oleh Rosihon Anwar,Ibn Kasir, Al-Maragi, dan
Al-Asfahani memiliki perbedaan diametral dalam memandang persoalan nasikh. Ibn
Kasir dan Al-Marag menetapkan adanya pembatalan hukum dalam Al-Qur’an. Akan
tetapi, Al-Asfahani dengan tegas menyebutkan bahwa Al-Qur’an tidak mungkin
disentuh pembatalan meskpun pada umumnya dia sepakat tentang adanya, (a)
pengecualian Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-
Asfahani mengatakan bukan naskh, tetapi takhsis (pengkhususan) karena menurutnya
tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an ditemukan hukum
yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-
takhsis-khukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang emudian,
(b) penjelasan susulan terhadap hukum terdahulu yang ambigu, (c) penetapan syarat
terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibn Kasir memandang ketiga hal tersebut sebagai nasikh, sedangkan Al-
Asfahani mengatakan bukan nasikh, tetap takhsis (pengkhususan) karena menurutnya
tidak ada nasikh dalam Al-Qur’an. Jika memang dalam Al-Qur’an ditemukan hukum
yang bersifat umum, untuk mengklasifikasikannya dapat dilakukan proses pen-
takhsis-an. Dengan demikian, menurutnya, takhsis adalah mengeluarkan sebagian
satuan dari satua-satuan yang tercakup dalam lafadz yang ‘amm.
Selanjutnya, Muhammmad Abduh dalam Rasyid Ridho menolak adanya
nasikh dalam arti pembatalan. Ia lebih setuju dengan adanya “tabdil” yang bermakna
penggantian, pengalihan, pemindahan ayat huum ditempat ayat hukum yang lain.
Dengan demikian, pemahaman Abduh di sini sama dengan sebagian definisi nasikh
diatas, yakni “pemindahan sesutu dari satu wadah ke wadah yang lain.” Berdasarkan
pendapatnya ini, seua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, dan di dalamnya tidak ada
kontadiksi, yang ada hanyalah pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu,
karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku lagi
baginya tetap dapat berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi
mereka semula. Pemahaman demikian akan sangat membantu dakwah Islam sehingga
ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya
sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada masa awal Islam.12

E. Syarat-syarat Nasikh Mansukh


Masalah yang penting disoroti adalah sejauh manakah jangkauan nasakh itu ?
Apakah semua ketentuan hukum di dalam syariat ada kemungkinan terjangkau
nasakh ? Dalam menjawab hal ini, Abu Anwar memberikan batasan beberapa syarat
yang diperlukan dalam nasakh, yaitu :
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara`. Nasakh hanya terjadi pada perintah
dan larangan. Nasakh tidak terdapat dalam akhlak, ibadah, akidah, dan juga janji dan
ancaman Allah.
b. Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar`i
yang datang kemudian.
c. Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu tertentu.
Sebab, jika demikian hukum akan berakhir dengan waktu tersebut.13
Konsep ini seperti tertuang dalam firman Allah SWT. pada surat al-Baqarah ayat
109 :
ُّ ‫ب لَوْ يَ ُر ُّدونَ ُكم ِّمن بَ ْع ِد ِإي َمانِ ُك ْم ُكفَّارًا َح َسدًا ِّم ْن ِعن ِد َأنفُ ِس ِهم ِّمن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ُم ْال َح‬
‫ق ۖ فَا ْعفُوا‬ ِ ‫َو َّد َكثِي ٌر ِّم ْن َأ ْه ِل ْال ِكتَا‬
‫َواصْ فَحُوا َحتَّ ٰى يَْأتِ َي اللَّـهُ بَِأ ْم ِر ِه ۗ ِإ َّن اللَّـهَ َعلَ ٰى ُك ِّل َش ْي ٍء قَ ِدي ٌر‬
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan
kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri
mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan

12
Ibid. hlm 109-112
13
Abu Anwar, Ulumul Quran, Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Amzah, 2009), hlm. 52.
biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah[2]: 109)
Ayat tersebut tidak mansukh sebab dikaitkan dengan batas waktu, sedangkan nasakh
tidak dikaitkan dengan batas waktu. Dengan memperhatikan syarat di atas, maka jelas
bahwa nasakh tidak bisa ditetapkan sembarangan dan harus mematuhi syarat yang
ada. Kecuali dalam berita, tidak terjadi nasikh mansukh, karena mustahil Allah
berdusta. Kemudian dua dalil yang nampak kontradiksi itu datangnya tidak
bersamaan, nasakh datang lebih akhir daripada mansukh. Pada hakikatnya, nasakh
adalah untuk mengakhiri pemberlakuan ketentuan hukum yang ada sebelumnya, yang
mana ketentuan tersebut tidak dibatasi oleh waktu.
Quraish Shihab, menambahkan lagi syarat nasakh, bahwa nasakh baru dilakukan
bila : 1) Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, serta tidak dapat
lagi dikompromikan; 2) Harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-
ayat tersebut. Yang lebih dahulu dikatakan mansukh, dan yang datang kemudian
disebut nasakh.14
Beberapa penjelasan mengenai pengertian dan syarat nasakh di atas, dapat
disimpulkan nasakh mempunyai empat rukun yaitu : 1) Nasakh, yaitu proses revisi
atau penggantian hukum; 2) Nasakh, yaitu hukum pengganti, dalam hal ini Allah
SWT, yang berhak secara mutlak untuk merevisi atau mengganti hukum tersebut; 3)
Mansukh, yaitu hukum yang direvisi; dan 4) Mansukh `anhu, yaitu orang yang
dikenai hukum atau mukallaf.15

KESIMPULAN

14
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group, 2002), hlm. 146.
15
Ishom Elsaha dan Saiful Hadi, Sketsa al-Quran : Tempat, Tokoh, Nama dan Istilah dalam al-Quran,
(Jakarta : Lista Fariska, 2005), hlm. 555.
Adapun pengertian nasikh adalah mengangkat (menghapuskan) hukum syarak
dengan dalil hukum (khitab) syarak yang lain. Adapula yang mendefinisikan nasikh
adalah menghapuskan hukum syarak dengan khitab syarak pula. Adapun yang
dimaksud dengan mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan atau
mansukh bermakna hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Perbedaan nasikh wal Mansukh, Nasikh yaitu dalil kemudian yang
menghapus hukum yang telah ada. Sedangkan mansukh adalah hukum yang
dibatalkan, dihapuskan, atau dipindahkan.
Pendapat ulama’ tentang nasikh mansukh, ada yang menolak adanya Nasikh
dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Abu Muslim Al-Asfahani dan Iman Ar-Raji.
Dan kelompok yang menerima adanya Nasikh Mansukh dalam Alquran yang diikuti
oleh mayoritas jumhur ulama.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Abu. 2009. Ulumul Quran Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Amzah.


Elsaha, Ishom dan Saiful Hadi. 2005. Sketsa al-Quran : Tempat, Tokoh, Nama dan
Istilah dalam al-Quran. Jakarta : Lista Fariska.
Gunawan, Heri Dan Deden Suparman. 2015. Ulumul Quran (Studi-Studi Ilmu Al
Qur’an). Bandung: CV Arfino Raya.
Ichwan, Moh Nor. 2002. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran. Semarang: RaSail Media Group.
Ilyas, Yunahar. 2014. Kuliah Ulumul Qur’an. Yogyakarta: ITQAN Publishing.
Syafe’i, Rahmad. 2008. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Taufiq, Imam. 1998. Metode Ta`wil Al Quran. Semarang: Makalah.
Taufiq, Imam. 2001. Maqamat dan Ahwal, Tinjauan Metodologis, dalam Tasawuf
dan Krisis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan IAIN
Walisongo Press.
Usman. 2009. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Penerbit Teras.
Yuslem, Nawir. 2011. Ulumul Qur’an. Bandung: Citapustaka Media Perintis.

Anda mungkin juga menyukai