Hadits101 Final

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 93

Prinsip-prinsip Ilmu Hadits

Dr. Abu Ameenah Bilal Philips


© Islamic Online University Hadits 101

BAB SATU: DEFINISI


Definisi Hadits
Hadits berasal dari bahasa Arab yang berarti sebuah berita, percakapan, dongeng, kisah atau
riwayat’ entah berhubungan dengan sejarah ataupun cerita legenda, betul atau salah, berkaitan
dengan masa kini ataupun masa lalu. Arti lainnya adalah sebagai kata sifat yaitu ‘baru’
sebagai lawan kata dari ‘qadim’ ‘lama’. Meski demikian, seperti kata bahasa Arab lainnya,
(misal: Shalat, Zakat), maknanya berubah dalam Islam. Sejak jaman Rasulullah, kisah-kisah
dan perkataanya mendominasi seluruh bentuk komunikasi lainnya. Oleh sebab itu, istilah
hadits mulai digunakan hampir-hampir dikhususkan hanya untuk kabar-kabar/riwayat yang
berisi tindakan ucapannya.1

Penggunaan Kata Hadits


Istilah hadits telah digunakan baik di dalam Qur’aan2 maupun riwayat kenabian yang sesuai
dengan seluruh arti linguistiknya. Tiga kategori dibawah ini merupakan penggunaan istilah
tersebut yang paling banyak dikenal. Yang digunakan untuk merujuk kepada:

a) Al-Qur’an itu sendiri


ِ ‫ِب ِب َہ ٰـذَا ۡٱل َحدِي‬
(‫ث‬ ُ ‫)فَذَ ۡر ِنى َو َمن يُكَذ‬
“Maka serahkanlah [ya Muhammad] kepada-Ku [urusannya] dan orang-orang yang
mendustakan perkataan ini [Al Qur’an]….” Surat Al-Qalam 68:44

ِ ‫سنَ ْال َح ِد ْي‬


ُ َ ‫ث ِكت‬
(‫اب هللا‬ َ ‫) ِإ َّن أ َ ْح‬
“Sungguh, sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah…”

b) Kisah Sejarah
(‫س ٰى‬ ُ ‫)و َه ۡل أَت َ ٰٮكَ َحد‬
َ ‫ِيث ُمو‬ َ
“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?” Surat Taahaa 20:9

(‫) َحدَّث ُ ْوا َع ْن بَنِ ْي ِإ ْس َرائِ َل َو ََل َح َر ُج‬


“dan ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan (yakni berdosa)”3
c) Percakapan biasa

ً۬
ِ ‫ض أ َ ۡز َو‬
(‫ٲج ِۦه َحدِيثا‬ َ َ ‫) َوإِ ۡذ أ‬
ِ ‫س َّر ٱلنَّ ِب ُّى إِلَ ٰى بَ ۡع‬
“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang
dari isteri-isterinya [Hafshah] suatu peristiwa.” Surat At-Tahrim 66:3

1
Hadits Literature hal. 1 dan Studies in Hadith Methodology and Literature hal. 1-3
2
Istilah hadits disebutkan sebanyak 23 kali dalam Al Qur’an
3
Shahih Bukhari

1
© Islamic Online University Hadits 101

ُ‫صبَّ ِفي أُذُ ِن ِه اْألَنَك‬


ُ ،ُ‫ار ُه ْونَ أ َ ْو َي ِف ُّر ْونَ ِم ْنه‬
ِ ‫ث قَ ْو ٍم َوهُ ْم لَهُ َك‬
ِ ‫َم ِن ْست َ َم َع ِإلَى َحدِي‬
"Barang siapa yang mendengar pembicaraan suatu kaum, sedang kaum itu tidak
senang kepadanya atau mereka lari darinya, akan dituangkan timah putih pada
telinganya pada Hari Kiamat."4

Di antara para ulama hadits, istilah ‘hadits’ memiliki arti ‘apapun yang diriwayatkan dari
Nabi mengenai tindakannya, ucapannya, persetujuan diamnya, ataupun karakteristik fisiknya.
Para ulama fiqih tidak menyertakan penampilan fisik Nabi dalam definisi mereka mengenai
hadits.

Arti Penting Hadits:


1. Wahyu
Ucapan dan tindakan Rasulullah pada pokoknya berdasarkan pada wahyu Allah, dengan
demikian harus dipandang sebagai sumber penting petunjuk Allah yang kedua setelah Al-
Qur’an. Firman Allah di Al-Qur’an tentang Rasulullah:

()٣( ‫ق ع َِن ۡٱل َه َو ٰى‬ ِ ‫) َو َما َي‬٤( ‫) ِإ ۡن ُه َو ِإ ََّّل َو ۡح ً۬ى يُو َح ٰى‬
ُ ‫نط‬
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu [Al Qur’an] menurut kemauan hawa nafsunya.
(3) Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan [kepadanya], (4))
Surat An-Najm 53:3-4

Karena itu, hadits mewakili sumber pribadi bimbingan ilahi yang Allah berikan kepada
Nabi-Nya, yang serupa sifatnya dengan Al-Qur'an itu sendiri. Nabi mengulangi poin ini
dalam salah satu pernyataannya yang tercatat, "Sungguh, saya diberi Al-Qur'an dan
sesuatu yang sejenis, bersamanya" 5

2. Tafsir
Penjagaan Al-Qur'an tidak terbatas pada perlindungan kalimat-kalimatnya dari perubahan.
Seandainya hanya demikian, maknanya bisa saja dimanipulasi sesuai keinginan manusia,
sembari tetap mempertahankan kata-katanya. Namun, Allah juga melindungi esensi
maknanya dari perubahan dengan mempercayakan penjelasan Al-Qur'an kepada
Rasulullah sendiri. Allah menyatakan hal berikut dalam Quran mengenai tafsirnya:
( ۡ‫اس َما نُ ِز َل إِلَ ۡي ِہم‬ ۡ ‫نز ۡلنَا إِلَ ۡيكَ ٱلذ‬
ِ َّ‫ِڪ َر ِلتُبَ ِي َن ِللن‬ َ َ ‫) َوأ‬
(Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka…) Surat An-Nahl 16:44

Dengan demikian, jika seseorang ingin memahami makna Al-Qur’an, ia harus


memperhatikan apa yang Rasulullah ucapkan ataupun lakukan berkenaan dengannya.

4
Shahih Al Bukhari
5
Shahih Al Bukhari

2
© Islamic Online University Hadits 101

Misalnya, di dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk


melaksanakan Shalat dan menunaikan Zakat pada surat Al-Baqarah 2:43. Tetapi, agar
dapat melaksanakannya dengan benar, seseorang harus mempelajari metodologi Rasulullah
dalam hal ini. Di antara berbagai penjelasannya mengenai Shalat dan Zakat, Beliau
memerintahkan umatnya dengan bersabda, “Solatlah sebagaimana engkau melihatku
solat.” Dan beliau menentukan 2.5 % dari kelebihan harta, yang tidak digunakan selama
setahun untuk diberikan sebagai zakat.

3. Hukum
Salah satu tugas pokok Rasulullah adalah menjadi hakim bagi orang-orang yang berselisih.
Karena seluruh putusan beliau berdasarkan wahyu, seperti telah disebutkan sebelumnya,
putusan-putusan beliau harus dianggap sebagai sumber utama prinsip-prinsip dimana
pengadilan-pengadilan dijalankan di Negara Islam. Allah (‫ )ﷻ‬juga menyebutkan tanggung
jawab ini dalam Al-Qur'an:

‫ِين يَ ٰـأَيُّ َہا‬


َ ‫ٱّللَ أ َ ِطيعُوا َءا َمنُوا ٱلَّذ‬
َّ ‫سو َل َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫ٱلر‬ َّ ‫تَنَ ٰـ َز ۡعت ُمۡ فَ ِإن ۖ ِمنكُمۡ ۡٱۡل َ ۡم ِر َوأُو ِلى‬
‫ٱّللِ إِلَى فَ ُردُّوهُ ش َۡى ً۬ء فِى‬
َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫ٱلر‬
َّ ‫َو‬
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul [Nya], dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah [Al Qur’an] dan Rasul [sunnahnya],?” Surat An-Nisa 4:59

Jadi, hadits sangat penting untuk kelancaran jalannya pengadilan di negara Islam.

4. Panutan Moral
Karena dalam kehidupan pribadinya Rasulullah dibimbing wahyu, akhlak dan interaksi
sosialnya menjadi teladan moral utama bagi kaum muslim hingga hari kiamat. Ini
berdasarkan ayat Al-Qur’an:

‫سو ِل ِفى لَ ُكم َكانَ لَّقَد‬ َّ ‫سنَة أُس َوة‬


ُ ‫ٱّللِ َر‬ َ ‫َح‬
“Sesungguhnya telah ada pada [diri] Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”
Surat Al Ahzaab 33:21

Karena itu, kehidupan sehari-hari Rasulullah seperti yang tercatat dalam hadits
menggambarkan teladan perilaku yang baik. Bahkan, ketika istri Rasulullah, 'Aa'ishah,
ditanya tentang rasulullah, Aisyah menjawab, "Akhlaknya adalah Al-Qur'an."

5. Penjagaan Terhadap Islam.


Ilmu mengenai periwayatan, pengumpulan dan kritik hadits tidak diketahui dunia sebelum
era Nabi (‫)ﷺ‬. Bahkan, sebagian alasan risalah nabi-nabi terdahulu hilang atau terdistorsi
pada generasi yang mengikuti mereka adalah karena tidak adanya ilmu semacam ini yang
dapat diandalkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa terpeliharanya risalah terakhir Islam

3
© Islamic Online University Hadits 101

dalam kemurnian aslinya sepanjang masa, sebagian besar karena adanya ilmu hadits. Hal
ini disinggung dalam ayat Al-Qur'an:

ُ ‫ِإنَّا نَح ُن ن ََّزلنَا ٱلذِك َر َو ِإنَّا لَهُ ۥ لَ َح ٰـ ِف‬


َ‫ظون‬
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-
benar memeliharanya.” Surat Al Hijr 15:9

Hadits dan Sunnah


Istilah hadits telah menjadi sinonim untuk istilah Sunnah, walaupun terdapat beberapa
perbedaan pada maknanya. Sunnah, menurut kamus leksikograf Arab, berarti 'jalan; ajaran;
aturan; adab atau perilaku dalam kehidupan 6 . Sunnah, sebagai istilah teknis dalam Ilmu
Hadits, mengacu pada pernyataan, tindakan, persetujuan, deskripsi fisik atau karakter yang
dinisbatkan kepada Rasulullah beserta biografinya sebelum atau sesudah awal kenabiannya.
Dengan demikian bersinonim dengan istilah hadits.
Namun, menurut Ilmu Ushul Al-Fiqh (metodologi hukum), sunnah hanya mengacu
pada pernyataan, tindakan dan persetujuan Rasulullah (‫)ﷺ‬. Juga mengacu pada apapun yang
didukung oleh dalil dari syari'ah; kebalikan dari bid'ah. Dan dalam ilmu Hukum Fiqh istilah
sunnah mengacu pada tindakan yang dianjurkan yang secara shahih dinisbatkan kepada
Rasulullah; yang mengerjakan mendapat pahala, yang tidak mengerjakannya tidak dihukum.
Hal ini juga digunakan untuk menyebut kebalikan dari bid 'ah seperti dalam pernyataan:
Sunnah perceraian dan Bid'ah perceraian.
Berdasarkannya definisi secara umum, Qur’an adalah bagian paling penting dari
sunnah yang disampaikan oleh Rasulullah.
Dapat dikatakan pula bahwa hadits adalah wadah dimana sunnah Rasulullah
disampaikan pada masa hidupnya dan setelah beliau wafat.

6
Lanes’s Lexicon, vol. 1, p.1438

4
© Islamic Online University Hadits 101

BAB DUA: PENGUMPULAN HADITS


1. Pada Masa Rasulullah
Pada masa hidup Rasulullah, tidak ada keperluan mendesak untuk menuliskan seluruh
ucapannya maupun mencatat semua tindakannya karena beliau masih ada dan dapat didatangi
kapan saja. Bahkan, Rasulullah sendiri melarang secara umum atas penulisan perkataan-
perkataannya yang bukan Al Qur’an7. Hal ini untuk menghindari kemungkinan tercampurnya
Al Qur’an dengan perkataan Rasulullah sendiri pada masa turunnya wahyu. Oleh karena itu,
penekanan terbesar mengenani penulisan ditempatkan pada pencatatan ayat-ayat Al Qur’an.
Namun terdapat banyak dalil shahih yang dikumpulkan oleh para ahli hadits yang
membuktikan bahwa hadits pun telah dicatat bahkan pada masa hidup Rasulullah. Sebagai
contoh, ‘Abdullah bin Amr berkata, “Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari
Rasulullah karena aku ingin menghafalnya. Kemudian orang orang Quraisy melarangku,
mereka berkata, “Engkau menulis semua yang kau dengar dari Rasulullah? Dan Rasulullah
adalah seorang manusia, kadang berbicara karena marah, kadang berbicara dalam keadaan
lapang”. Mulai dari sejak itu akupun tidak menulis lagi, sampai aku bertemu dengan
Rasulullah dan mengadukan masalah ini, kemudian beliau bersabda sambil menunjukkan
jarinya ke mulutnya, “tulislah! Demi yang jiwaku ada di tanganNya, tidak lah keluar dari
mulutku ini kecuali kebenaran.”8
Abu Hurairah berkata: Ketika Mekkah ditaklukkan, Rasulullah berdiri dan
menyampaikan khutbah, (Kemudiah Abu Hurairah mengucapkan khutbah tersebut). Seorang
pria dari Yaman bernama Abu Syah bangkit dan berkata, ‘Ya Rasulullah! Tuliskanlah
untukku!’ Rasulullah menjawab,’Tuliskan untuk Abu Syah’9, Al Walid bertanya kepada Abu
Amr, ‘Apa yang mereka tulis?’ Abu Amr menjawab, ‘Khutbah yang mereka dengarkan pada
hari itu.’10
Abu Qobil berkata: Kami bersama Abdullah bin Amr bil Al ‘Aas dan ditanyakan kepadanya,
kota mana yang akan ditaklukkan lebih dulu, Konstantinopel atau Roma? Lalu, Abdullah
mengambil peti dan berkata ‘Keluarkan buku dari sana’. Lalu Abdullah berkata,’ketika kami
menulis bersama Rasulullah, ditanyakan kepada beliau, ‘Kota apa yang akan ditaklukkan
lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?’ Lalu Rasulullah menjawab, ‘Kota Heraklius akan
ditaklukkan lebih dulu.’ Artinya kota Konstantinopel.11

7
Shahih Muslim, zuhd, 72. Ini satu-satunya hadits shahih mengenai topik ini dan al-Bukhari dan lainnya
menganggapnya sebagai pernyataan Abu Sa’id sendiri yang secara salah dinisbatkan kepada nabi (‫)ﷺ‬. Lihat
Studies in Hadits Methodology and Literature, p.28
8
Sunan Abu Dawud, vol. 3, p.1035, no. 3639 dan dishahihkan dalam shahih Sunan Abi Dawud, no. 3099.
Kompilasi Hadits milik Abdullah ibn Amr dikenal sebagai as-sahifah as-sadiqah
9
Sunan Abu Dawud, vol.3, no. 3641 dan dishahihkan dalam shahih Sunan Abi Dawud, no. 3100
10
Ibid. vol.3 no. 3642 dan dan dishahihkan dalam shahih Sunan Abi Dawud, no. 3101
11
Shahih: Musnad Ahmad (2/176), Sunan Ad-Darimi (1/126) dan Mustadrak al-Hakim (3/422)

5
© Islamic Online University Hadits 101

2. Masa Para Sahabat12


Setelah Rasulullah wafat, ucapan dan tindakannya memiliki arti penting baru karena Beliau
tidak lagi ada untuk dimintai nasihat ketika terjadi masalah. Periwayatan pada skala besar
dimulai di masa ini. Sebagai contoh, ketika Rasulullah wafat, para sahabat berdebat mengenai
dimana mereka akan menguburkan Rasulullah. Debat tersebut diakhiri dengan ucapan Abu
Bakar bahwa Rasulullah bersabda, ’Para nabi dimakamkan di tempat meninggalnya.’
Kemudian sebuah lubang digali tepat di bawah kasur tempatnya wafat, di rumah Aisyah. Pada
periode ini sejumlah sahabat terkemuka menuliskan hadits-hadits Rasulullah.
Berikut ini hanyalah beberapa dari perawi terkemuka yang diketahui telah menuliskan
hadits.
Abu Hurairah yang darinya 5374 sanad hadits diambil sebenarnya meriwayatkan 1236
hadits secara langsung. Hasan bin Amr Adh-Dhamari melihat banyak buku miliknya.13
Abdullah bin Abbas 1660 hadits dinisbatkan darinya biasa menuliskan apapun yang ia
dengar14, dan bahkan mempekerjakan budaknya untuk menuliskan untuknya.15
Abdullah bin Amr bin Al Aas 700 hadits dinisbatkan darinya, diketahui telah membuat
buku-buku catatan hadits ketika Rasulullah masih hidup dengan judul As Shahid As Shahihah.
Abu Bakar diketahui telah menuliskan lebih dari 500 perkataan Rasulullah yang berbeda-
beda.
Ibnu Al Jauzi, yang membuat daftar nama-nama sahabat yang meriwayatkan, menyebutkan
1.060 nama beserta jumlah hadits yang diriwayatkannya. 500 sahabat hanya meriwayatkan 1
hadits, 132 sahabat masing-maisng hanya meriwayatkan 2, 80 meriwayatkan 3, 52
meriwayatkan 4, 32 meriwayatkan 5, 26 meriwayatkan 6, 27 meriwayatkan 7, 18
meriwayatkan 8, 11 meriwayatkan 9, 60 meriwayatkan antara 10 dan 20 hadits, 84
meriwayatkan antara 20 dan 100, 27 meriwayatkan antara 100 dan 500 dan hanya 11 yang
meriwayatkan lebih dari 500 di antaranya hanya 6 yang meriwayatkan lebih dari 1.000 hadits,
dan biasanya disebut sebagai mukatstsirun (perawi banyak sunnah). Sekarang, lulusan
fakultas hadits di Universitas Islam Madinah diharuskan untuk menghafal 250 hadits setiap
tahun selama 4 tahun belajar (sehingga total menjadi 1000 hadits).
Dari yang tersebut di atas, dengan mudah dapat kita lihat bahwa kurang dari 300
sahabat meriwayatkan sebagian besar sunnah.

3. Era Tabi’un16
(Abad 1 Hijrah) Setelah Islam tersebar ke Timur Tengah, India, Afrika Utara dan periwayatan
hadits menjadi tersebar luas, mulai banyak orang yang memalsukan hadits. Untuk memerangi
perkembangan ini, Khalifah Umar Bin Abdul Aziz (berkuasa tahun 99-101 H – 718-720 H)

12
Murid-murid atau sahabat Rasulullah, terkadang disebut sebagai generasi pertama Islam. Siapa pun yang
memperoleh keistimewaan bertemu nabi dan wafat dalam keadaan beriman kepada nabi diklasifikasikan sebagai
seorang sahabat, misalnya Abu Bakr dan Ibn Abbas
13
Fath al-Bari, vol.1 hal. 217
14
Tabaqaat Ibn Sa’d vol.2, hal.123
15
Tarateeb, oleh al-Kattaani, vol. 2, no. 247
16
Generasi setelah para sahabat belajar pada para sahabat disebut sebagai Tabi’un (pengikut atau penerus)
misalnya Abu Hanifah dan Mujaahid

6
© Islamic Online University Hadits 101

memerintahkan para ulama untuk menyusun hadits Rasulullah. Para ulama telah mulai
menyusun buku yang berisi data biografi berbagai perawi hadits untuk mengungkap pendusta
dan pemalsu hadits. Abu Bakar bin Hazm (wafat 120/737) adalah salah satu yang
diperintahkan oleh Khalifah untuk mengumpulkan hadits-hadits tersebut. Khalifah Umar
memintanya menuliskan semua hadits Rasulullah dan Umar bin Khattab dan memperhatikan
secara khusus untuk mengumpulkan hadits Amrah binti Abdurrahman, yang saat itu
merupakan pemelihara riwayat-riwayat dari Aisyah yang paling dihormati. Saad bin Ibrahim
dan Ibnu Syihab Az Zuhri juga diminta untuk menyusun buku-buku dan Az Zuhri menjadi
penyusun hadits pertama yang mencatat biografi perawi dengan referensi khusus pada akhlak
dan kejujurannya. Pada periode ini penyusunan hadits secara sistematis mulai berkembang
dalam skala yang cukup besar.
Namun, di kalangan murid-murid para sahabat, banyak yang mencatat hadits dan
mengumpulkannya dalam buku-buku. Berikut ini adalah daftar teratas 12 perawi hadits di
kalangan Sahabat dan murid-murid mereka yang riwayat-riwayatnya dalam bentuk tulisan.

Abu Hurairah (5374)17: 9 muridnya tercatat telah menuliskan hadits darinya


Ibnu Umar (2630): 8 muridnya menuliskan hadits darinya.
Anan bin Malik (2286): 16 muridnya memiliki hadits dalam bentuk tulisan darinya.
Aisyah binti Abu Bakar (2210): 3 dari muridnya telah menuliskan hadits darinya.
Ibnu Abbas (1660): 9 dari muridnya mencatat haditsnya di buku.
Jaabir bin Abdullah (1540): 14 muridnya menuliskan hadits miliknya.
Abu Said Al Khudri (1170): Tidak ada murid darinya yang mencatat hadits.
Ibnu Mas’ud (748): Tidak ada murid yang mencatat.
Abdullah bin Amr bin Al Aas: 7 muridnya memiliki hadits tertulis miliknya.
Umar bin Khattab (537): Ia menuliskan banyak hadits dalam surat resmi.
Ali bin Abu Thalib (536): 8 muridnya mencatat hadits darinya.
Abu Musa Al Azhari (360): Beberapa haditsnya berada pada Ibnu Abbas dalam bentuk
tulisan.
Al Barro bin Azib (305): Diketahui telah mendiktekan riwayatnya.

Di antara 9 murid Abu Hurairah yang diketahui telah mencatat Hadits, buku milik Hammam
bin Munabbih telah bertahan dalam bentuk naskah dan telah di edit oleh Dr. Muhammad
Hamidullah dan dipublikasikan pada tahun 1961 di Hyderabad, India.18

4. Era Tabi’ut Taabi’in19 (Abad kedua)


Pada periode setelah Tabi'un, Hadits dikumpulkan secara sistematis dan ditulis dalam bentuk
teks. Salah satu karya paling awal adalah Al-Muwatta yang disusun oleh Maalik Ibnu Anas.
Buku lainnya juga ditulis oleh para ulama sejaman dengan Maalik seperti Al-Awza’i yang

17
Jumlah total Hadits-hadits atau lebih tepatnya, jalur periwayatan hadits dinisbatkan kepada sahabat
18
Studies in the Early Hadith Literature, hal. 38
19
Generasi murid-murid tabi’un disebut sebagai yang mengikuti generasi yang mengikuti (Tabi’ut Tabi’in)
misalnya Malik Ibn Anas

7
© Islamic Online University Hadits 101

hidup di Syria, 'Abdullaah Ibnul Mubaarak dari Khurasaan, Hammaad bin Salamah dari
Basrah dan Sufyaan ats-Tsawri dari Kufah. Namun, satu - satunya karya yang bertahan dari
masa itu adalah milik Imaam Maalik. Bisa dikatakan bahwa pada periode ini mayoritas hadits
dikumpulkan di berbagai pusat islam.
Alasan mengapa ketiga generasi ini diberikan perhatian spesial adalah karena
Rasulullah (‫ )ﷺ‬diriwayatkan telah bersabda, “Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku,
kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.’ Melalui 3 generasi itulah
hadits pertama kali disampaikan secara tulisan, hingga pada akhirnya disusun dalam satu
bundel dengan skala yang luas dan sistematis.

5. Era Shahih (Abad 3 H)


Pada abat ketiga muncul ulama-ulama yang mengambil tugas meneliti secara kritis hadits
yang telah diriwayatkan dan disatukan pada 2 abad pertama. Mereka juga mengelompokkan
hadits yang mereka anggap akurat menurut cabang-cabang hukum Islam. Contohnya saja.
Dari periode ini, adalah buku Shahih Al Bukhari berisi 7.275 hadits yang dipilih oleh Al-
Bukhari (wafat 870 M) dari 600.000 hadits dan Shahih Muslim yang berisi 9.200 hadits yang
telah dipilih Imam Malik dari 300.000. Disamping kedua hadits tersebut, terdapat 4 karya lain
yang menjadi terkenal pada periode ini. Sunan Abu Daud (wafat 889 M), At Tirmidzi (wafat
893 M), An Nasa’i (wafat 916 M), dan Ibnu Majaah (Wafat 908 M).

Tahapan-tahapan Penulisan
1. Tahap pertama mencakup periode abad pertama H yang dimulai pada bulan Juli 622 M,
atau bagian awal abad M. Merupakan zaman para sahabat dan murid mereka, seringkali
disebut masa Sahifah, yaitu sebuah lembaran atau semacam bahan untuk menulis seperti
tulang belikat atau perkamen di mana sejumlah hadits dituliskan. Misalnya Sahifah Abu
Bakr dan Sahifah Saadiqah 'Abdullaah bin' Amr. Tujuan tahap pertama utamanya adalah
mencatat hadits tanpa adanya format tertentu.
2. Periode kedua meliputi pertengahan abad kedua H, disebut sebagai tahap Musannaf
(yaitu karya terorganisir). Tahap kedua merupakan kompilasi hadits terrencana yang
dikelompokkan dalam judul yang menunjukkan pokok bahasannya. Misalnya. Muwatta
Maalik.
3. Tahap ketiga dikenal sebagai tahap Musnad (pengelompokan hadits menurut nama
sahabat). Tahap ini dimulai pada akhir abad kedua H misalnya Musnad Ahmad.
4. Tahap keempat dan paling penting dikenal sebagai tahap Shahih. Tahap ini dimulai paruh
pertama abad ketiga H. (abad ke 9 M) dan tumpang tindih dengan periode musnad
misalnya Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim dan Shahih Bin Khuzaymah.

Para Sahabat – Perawi


Abu Hurairah
Abu Hurayrah berada di daftar teratas perawi Hadits, dikarenakan banyaknya periwayatannya.
Dia telah dianggap oleh Nabi sendiri sebagai yang paling haus di antara semua umat Islam
dalam mendapatkan pengetahuan Hadits. Berasal dari suku Daws. Cabang dari suku Azd

8
© Islamic Online University Hadits 101

yang besar, dia datang ke Madinah pada tahun ketujuh Hijrah, ketika diberitahu bahwa Nabi
berada di Khaybar, pergi ke sana dan memeluk Islam. Sejak itu, dan sampai wafatnya Nabi,
dia terus mengikuti nabi, melayaninya, dan menghafal perkataan nabi di siang hari,
mengorbankan semua usaha dan kesenangan duniawi. Kami diberi tahu bahwa dia membagi
malamnya menjadi tiga bagian: satu untuk tidur, satu untuk shalat, dan satu lagi untuk belajar.
Setelah kematian Nabi, dia diangkat menjadi gubernur Bahrain untuk sementara pada masa
khilafah 'Umar dan bertindak sebagai gubernur Madinah di bawah khalifah Umayyah awal.
Dia meninggal pada 59 /678.
Setelah Nabi wafat, dan informasi tentang agama dan hukum harus dicari secara tidak
langsung, Abu Hurayra (yang menajar lebih dari 800 murid dalam Hadits) menuangkan
simpanan ilmunya yang telah dikumpulkannya secara teliti. Terkadang dia melakanakan tugas
meriwayatkan hadits tertentu yang tidak diketahui oleh Sahabat lainnya. Tapi dia akan
menjawab bahwa dia telah mengetahui apa yang telah dilewatkan kaum Ansaar karena
mereka merawat perkebunan dan properti mereka, dan apa yang tidak dipelajari oleh para
muhajir karena perdagangan mereka. Suatu ketika, ketika dia diminta oleh 'Abdullaah bin'
Umar untuk meriwayatkan Hadits tertentu, dia membawanya ke Aa'ishah yang bersaksi atas
kebenaran apa yang diriwayatkannya. Ilmu dan ingatannya juga diuji oleh Marwaan, yang,
telah menuliskan beberapa hadits yang diriwayatkannya, ingin dia meriwayatkan hadits yang
sama setahun kemudian. Dia menemukan bahwa hadits-hadits tersebut persis sama dengan
riwayatnya sebelumnya.
Mengingat dedikasi kuat Abu Hurayra dalam mempelajari Hadits, pengabdiannya
kepada Nabi, dan berbagai ujian yang dilakukan terhadap ingatannya dan keulamanya oleh
sahabat sezamannya, terlihat sangat tidak mungkin dia memalsukan hadits apapun. Namun,
ini bukan berarti, materi tidak dipalsukan darinya di kemudian hari. Kenyataan bahwa dia
meriwayatkan sejumlah besar riwayat sendiri menjadikan pemalsuan hadits dengan sanadnya
sebuah tawaran yang menarik.

'Abdullaah Bin' Umar


Perawi hadits kedua yang paling produktif, ia adalah putra Khalifah kedua. Dia telah
menerima Islam bersamaan dengan ayahnya, dan berhijrah ke Madinah bersamanya. Dia
mengambil bagian dalam banyak peperangan selama masa hidup Nabi, dan dalam peperangan
di Mesopotamia, Persia dan Mesir, namun mempertahankan netralitas secara ketat dalam
konflik di kalangan umat Islam setelah pembunuhan Utsman. Meskipun penghargaan dan
penghormatan terhadapnya dari semua umat Islam, yang berulang kali memintanya untuk
menjadi khalifah (sebuah tawaran yang ditolaknya), dia menjauhkan diri dari perselisihan
faksi, dan selama tahun-tahun itu menjalani kehidupan yang tidak egois dan saleh, memberi
contoh seorang warga ideal seperti ayahnya telah mencontohkan seorang pemimpin yang
ideal. Ia meninggal di Mekkah pada tahun 74/692 pada usia 87 tahun.
Hubungan Abdullaah dengan Nabi yang panjang, kekerabatannya dengan Hafsa Umm
Al- Mu'minin, dan dengan beberapa sahabat lainnya, memberinya kesempatan yang luar biasa
untuk belajar Hadits; dan hidupnya yang panjang dan damai memberinya waktu dan
kelonggaran untuk mengajar dan menyebarkan Hadits di antara orang-orang Muslim yang
dengan tekun mencarinya.

9
© Islamic Online University Hadits 101

Dia dikenal dengan ketelitiannya yang teramat sangat dalam meriwayatkan hadits.
Asy- Sya'bi mencatat bahwa dia tidak mendengar satu pun hadits darinya selama setahun
penuh. Ketika dia meriwayatkan Hadits, matanya penuh dengan air mata. Kegiatannya dalam
melayani Islam, kehidupannya yang keras, karakternya yang terus terang dan jujur, dan
perlakuannya yang hati-hati terhadap Hadits, membuat materi yang kami peroleh darinya
dengan nilai tertinggi.

Anas Bin Malik


Pada usia sepuluh tahun, Anas dibawa oleh ibunya, Ummu Sulaym, kepada Nabi, mengikuti
hijrah beliau ke Madinah. Sejak itu sampai wafatnya Nabi, dia adalah pelayan favorit nabi,
dan setelahnya dia ditunjuk oleh Abu Bakr sebagai pemungut pajak di Balirayn. Menjelang
akhir hayatnya dia menetap di Basra, di mana dia meninggal pada tahun 93/711, di usia lebih
dari seratus tahun.
Selama sepuluh tahun yang dihabiskannya melayani Nabi, dia dapat menghafal
sejumlah besar sabdanya, yang kemudian juga banyak dipelajarinya dari Abu Bakr, Umar,
dan banyak Sahabat lainnya. Pengetahuannya tentang Hadits begitu banyak sehingga
kematiannya dianggap sebagai pukulan mematikan bagi separuh dari keseluruhan hadits.
Ahli hadits menerimanya sebagai salah satu perawi hadits yang paling terpercaya.

'A'isyah Umm Al-Mu'minin


'Aa'ishah menempati urutan keempat di antara mukatsirun. Dia senantiasa menikmati
kebersamaan dengan Nabi selama delapan setengah tahun tahun. Dia meninggal pada 57/676
pada usia 65 tahun.
Aa'ishah secara alami dikaruniai ingatan yang retentif dan kemampuan kritis yang
berkembang, telah menghafal banyak puisi Arab kuno, di mana otoritasnya diakui. Selama
hidupnya dia juga dihormati karena keahliannya dalam bidang kedokteran dan hukum Islam.
Mengenai Hadits, dia tidak hanya mempelajari sejumlah besar dari suaminya, dia juga
menunjukkan apresiasi kritis terhadap mereka, dan mengoreksi kesalahan pemahaman banyak
sahabat. Ketika, misalnya, Ibn 'Umar meriwayatkan bahwa Nabi mengatakan bahwa mayat
dihukum di dalam kuburan mereka karena ratapan kerabat mereka, dia menunjukkan bahwa
Nabi telah mengatakan bahwa sementara orang mati dihukum di kuburan mereka karena dosa
mereka, saudara mereka meratap untuk mereka.
Itu karena pengetahuannya yang luas tentang hadits dan hukum Islam sehingga
bahkan Sahabat yang paling penting meminta sarannya untuk masalah hukum. Daftar panjang
dari mereka yang meriwayatkan Hadits darinya dapat ditemukan di buku Bin Hajar, Tahtsib at
Tahtsib.

'Abdullaah Ibnul 'Abbaas.


Dia lahir tiga tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah, dan berusia tiga belas tahun saat
kematian nabi. Dia sangat dicintai oleh Nabi, seperti yang terlihat pada Hadits tentangnya.
Dia meninggal pada 68/687 pada usia 71 tahun.
Tampak bahwa meski di usia muda ia belajar beberapa hadits dari Nabi sendiri. Ibnu
Hajar (mengutip Yahyaa Ibnul Qattaan) mengacu pada penegasan bahwa Bin 'Abbaas hanya

10
© Islamic Online University Hadits 101

meriwayatkan empat atau sepuluh hadits dari Nabi, dan menambahkan bahwa perkiraan ini
salah, karena Shahh Bukhaari dan Muslim sendiri mengandung lebih dari sepuluh hadits yang
diriwayatkannya langsung dari Nabi. Namun, tidak diragukan lagi bahwa jumlah Hadits yang
diriwayatkannya langsung dari Nabi sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang
diriwayatkan melalui sahabat lain. Hadits ini dipelajarinya melalui kerja keras bertahun-
tahun: Jika saya ingin belajar hadits dari seorang Sahabat,'dia berkata, saya pergi ke pintunya
dan menunggu di sana, sampai dia keluar dan berkata: "Sepupu Nabi, apa yang membawamu
kemari? Kenapa kamu tidak mengirim utusan padaku? Dan aku menjawab: Sepantasnya aku
yang mendatangimu. Kemudian aku belajar hadits darinya.’.
Ibnu 'Abbaas dipuji secara luas karena kekuatan dan kapasitas intelektual dalam
menghafal. Dia mengabdikan diri sepenuhnya untuk mempelajari Alquran dan Sunnah, dan
dicintai dan dihormati karena keilmuannya oleh ke-empat khalifah pertama dan orang-orang
sezamannya. Dia mengumpulkan sejumlah besar riwayat, yang dituliskannya di buku, dan
mengajarkannya kepada murid-muridnya. Tafsir Al-Qur'an-nya yang diturunkan oleh
muridnya Mujaahid sudah terkenal, dan telah dijadikan rujukan oleh sejumlah pensyarah di
masa kemudian.

Jaabir Bin 'Abdillaah.


Salah satu penduduk Madinah yang mula-mula masuk Islam, dia hadir pada pertemuan kedua
dengan Nabi di Mekah. Dia mengambil bagian dalam sembilan belas ekspedisi bersama Nabi,
dan meninggal di Madinah sekitar tahun 74/693 pada usia 94 tahun.
Dia mempelajari hadits Nabi bukan hanya dari Beliau, tapi juga dari banyak Sahabat
penting beliau, termasuk Abu Bakr, 'Umar dan lainnya. Dia juga belajar di bawah beberapa
Penerus, termasuk Umm Khultsum yang terkenal, putri Abu Bakar. Dia biasa mengajar
Hadits secara teratur di masjid di Madinah.

Abu Said Al Khudri


Sa'd bin Maalik. Penduduk Madinah lainnya yang mula-mula masuk Islam, ayahnya terbunuh
di Uhud. Dia sendiri ikut serta dalam dua belas pertempuran pada masa hidup Nabi. Dia
meninggal di Madinah pada 64/683.
Seperti Abu Hurayrah, dia adalah salah satu orang yang tinggal di beranda kediaman
Nabi di samping masjid untuk mengabdikan dirinya pada kehidupan yang keras dalam
penghambaan dan pembelajaran. Dia mempelajari Sunnah dari Nabi, juga dari Sahabat
penting seperti Abu Bakr, 'Umar dan Zaid bin Thaabit. Dia dianggap sebagai ahli hukum
terbaik di antara para sahabat muda.

'Abdullaah Bin' Amr Ibnul 'Aas.


Seorang mualaf yang mula-mula masuk Islam, dan menderita karenanya, bersama Nabi
selama bertahun-tahun, dan hidup cukup lama setelah kematian beliau untuk meriwayatkan
Hadits yang telah dia pelajari dari beliau. Ibnu Amr, meski hidup pada periode perang saudara,
mirip Ibn 'Umar dalam menjaga dirinya dari perselisihan faksi. Namun, dia hadir pada
Pertempuran Siffin atas desakan ayahnya; namun dia tidak berperan aktif di dalamnya, sangat
menyesali di kemudian hari hanya karena sekedar menghadirinya.

11
© Islamic Online University Hadits 101

Keinginannya untuk terus menerus menghidupkan jalan Nabi sangat kuat. Dia
menuliskan semua hadits yang telah dipelajarinya dari beliau, mengumpulkan seribu di
antaranya dalam sebuah Sahifah yang disebutnya sebagai Saadiqah. Ketika dia menetap di
Mekkah, penuntut ilmu Hadits berbondong-bondong datang kepadanya. Tapi karena sebagian
besar kehidupannya ia menetap baik di Mesir atau di Al-Taa'if, dan karena dia lebih banyak
menyibukkan dirinya dengan shalat dibandingkan mengajarkan Hadits, generasi Muslim
selanjutnya menerima lebih sedikit hadits darinya dibandingkan dari dari Abu Hurayra,
Aa'ishah dan lainnya.20

20
Hadith Literature, hal 19-23

12
© Islamic Online University Hadits 101

BAB TIGA: PERIWAYATAN HADITS


Tahammul Al-'Ilm
Pada masa penyebaran hadits dan kompilasinya di tiga abad pertama, berbagai metode
pembelajaran dan pengajaran ber-evolusi. Metode ini kemudian digolong-golongkan dan
terminologi teknis dikembangkan untuk menjelaskannya di dalam bidang ilmu hadits.
Delapan metode berikut diidentifikasi, dua yang pertama adalah yang paling umum dan
paling akurat.

Samaa' : Pembacaan oleh Guru


Metode periwayatan hadits ini memiliki empat format yang berbeda:
a) Pembacaan dari hafalan guru. Penggunaan praktik ini secara luas mulai menurun pada
pertengahan abad kedua, meskipun masih bertahan dalam jumlah yang lebih sedikit untuk
waktu yang lama setelahnya. Murid menetap dengan guru mereka untuk waktu yang lama
sampai mereka menjadi para ahli.
b) Membaca dari buku. Metode ini bisa melibatkan pembacaan guru dari bukunya sendiri,
yang lebih disukai, atau pembacaan guru dari buku muridnya, yang merupakan salinan
atau pilihan dari karyanya sendiri.
c) Pertanyaan dan Jawaban. Murid akan membacakan kepada gurunya sebagian dari hadits
dan dia akan menyelesaikan riwayat tersebut.
d) Dikte. Sahabat Waatsilah bin Asqaa (wafat 83) adalah orang pertama yang mengadakan
kelas pendiktean hadits. Pada awalnya ini bukan metode yang disukai karena kemudahan
yang dengannya murid dapat memperoleh ilmu. Namun, az-Zuhri mengalami cara
pembelajaran ini dan terus mengikuti metode ini sepanjang hidupnya. Nantinya, beberapa
ulama menolak mendiktekan jika murid mereka tidak menuliskan haditsnya. Diktasi
dilakukan baik dari ingatan ataupun dari buku. Seorang yang dapat menulis dengan cepat
sering dipilih untuk mencatat semua hadits, sementara yang lain melihat dia menulis
untuk mengetahui kesalahannya. Kemudian mereka meminjam buku dan membuat
salinan mereka sendiri. Salinan ini direvisi di kalangan murid atau dengan guru itu sendiri.

'Ard: Pembacaan oleh para murid


Pada metode ini, para murid akan membaca buku guru kepadanya sementara murid lain
membandingkan hadits dengan buku mereka sendiri atau mereka mendengarkan dengan
penuh perhatian. Sejak awal abad kedua, ini menjadi metode yang paling populer. Seringkali
para guru akan menyediakan salinan mereka sendiri karena banyak dari mereka memiliki juru
tulis sendiri. Jika tidak, para murid akan membaca dari salinan yang dibuat sebelumnya dari
buku asli dimana mereka akan meletakkan lingkaran di akhir setiap hadits dan ketika mereka
membacakannya kembali kepada guru, mereka akan memberi tanda pada lingkaran untuk
menandai setiap bacaan. Bahkan jika seorang murid mengetahui hadits melalui buku-buku,
dia tidak dibolehkan untuk meriwayatkannya untuk digunakan pada kompilasi mereka sendiri
sampai mereka telah membacakan kembali kepada guru dan disetujui. Jika dia melakukan
sebaliknya, dia diberi label sebagai pencuri hadits (saariq alhadits). Ini setara dengan undang-

13
© Islamic Online University Hadits 101

undang hak cipta modern yang mengizinkan seseorang membeli sebanyak mungkin salinan
dari buku yang dia inginkan, namun melarang mereka membuat bahkan hanya satu salinan
saja.

Ijaazah: Izin untuk Meriwayatkan


Dalam terminologi hadits hal ini merujuk pada seorang guru yang memberi izin kepada
seorang murid untuk meriwayatkan buku guru tersebut dengan ijinnya tanpa membacakan
kembali buku itu kepadanya. Metode ini mulai populer sejak abad ketiga dan seterusnya. Cara
ini berevolusi sebagai alat untuk melindungi teks dari pengubahan. Validitasnya
diperdebatkan oleh beberapa ulama hadits.

Munaawalah: Pemberian Buku


Ini adalah nama yang diberikan untuk tindakan seorang guru yang memberi seorang murid
bukunya atau salah satu salinan yang telah diverifikasi dengan wewenang untuk
meriwayatkannya. Misalnya, az-Zuhri (wafat 124) memberikan manuskripnya kepada
beberapa ulama, di antaranya adalah Ats-Tsawri, Al-Awzaa'i dan 'Ubaydullaah bin' Umar.
Praktik ini sangat langka di abad pertama.

Kitaabah: Korespondensi
Jika seorang guru menulis hadits dan meriwayatkannya kepada seorang murid untuk
meriwayatkan, ini disebut sebagai kitaabah yang bisa diterjemahkan sebagai pembelajaran
melalui korespondensi atau pembelajaran jarak jauh, di zaman modern. Metode ini mulai
populer sejak abad pertama. Surat-surat resmi dari Khulafaur rasyidin berisi banyak hadits
yang kemudian diriwayatkan oleh para ulama. Banyak ulama di kalangan sahabat menulis
hadits dan meriwayatkannya ke murid-murid mereka. Ibnu 'Abbaas adalah contoh yang patut
dicatat di antaranya, dalam tulisannya kepada Ibn Abi Mulaykah dan Najdah.21

I'laam: Pengumuman
Istilah ini merujuk pada tindakan seorang guru atau murid yang memberi tahu orang lain
bahwa dia memiliki izin untuk meriwayatkan sebuah buku atas ijin penulisnya. Namun,
sebelum murid manapun yang mendengar hadits dari buku tersebut dapat meriwayatkannya,
dia harus memperoleh salinan asli yang bersertifikat tanda tangan penulis.

Wasiyyah: Warisan Buku


Mempercayakan buku seseorang kepada satu murid menjelang kematian dengan wewenang
untuk meriwayatkannya disebut wasiyyah. Contohnya dapat ditemukan dalam kasus Taabi 'i
Abu Qilaabah' Abdullaah bin Zayd Al-Basri (wafat 104) yang mempercayakan bukunya ke
Ayyub menjelang kematiannya.22

21
Studies in Early Hadith Literature, hal.41-2
22
Ibid., hal. 63

14
© Islamic Online University Hadits 101

Wajaadah: Penemuan Buku


Jika seorang murid atau guru menemukan buku-buku seorang ulama tanpa izin untuk
menyampaikannya pada jalur mana pun, ini tidak diakui sebagai cara belajar hadits.
Seseorang yang meriwayatkan dari buku-buku semacam itu diwajibkan untuk menunjukkan
bahwa riwayat itu diambil dari buku-buku ulama tersebut.

Terminologi Periwayatan
Para ulama hadits menggunakan istilah-istilah tertentu untuk menunjukkan sumber dan cara
periwayatan mereka. Istilah bahasa Arab ini sering disalahpahami oleh orang-orang yang
tidak terbiasa dengan bidang ini. Berikut ini adalah terminologi yang paling umum dan
singkatan yang digunakan.
i. Haddatsanaa biasa ditulis sebagai tsanaa atau naa
Istilah ini umumnya digunakan untuk menunjukkan pembelajaran melalui metode
pertama; guru membacakan
ii. Akhbaranaa kebanyakan ditulis sebagai anaa dan jarang sebagai aranaa
Beberapa ulama menggunakannya sebagai sinonim untuk haddatsanaa dan sebaliknya,
tapi yang paling umum digunakan untuk menunjukkan metode kedua; murid
membacakan kepada guru.
iii. Anba'anaa: Istilah ini digunakan dalam ijazah dan munaawalah.
iv. Sami'a: Digunakan khusus untuk metode pembelajaran pertama.
v. 'An: Dahulu digunakan untuk menyebut semua metode pembelajaran. Dianggap
metode periwayatan paling inferior karena ketidakjelasannya23
Karena istilah haddatsanaa (dia berkata kepada kami) dan akhbaranaa (dia memberi tahu
kami) menunjukkan periwayatan secara lisan sebelumnya diyakini bahwa hadits tersebut
diriwayatkan secara lisan setidaknya selama seratus tahun. Namun, catatan menunjukkan
bahwa banyak sahabat Nabi (‫ )ﷺ‬menuliskan hadits, demikian pula murid mereka dan murid
dari murid mereka. Terlebih lagi, tujuh dari delapan metode pembelajaran yang disebutkan
sebelumnya (yaitu dari 2-8) bergantung hampir seluruhnya pada materi tertulis. Dan bahkan
metode pertama melibatkan pendiktean dari materi tertulis dalam banyak kasus. Dengan
demikian, arti harfiah dari istilah haddatsanaa dan akhbaranaa tidak berlaku karena mereka
biasa menyebut periwayatan dari materi tertulis pada sebagian besar kasus.

Kehadiran pada Halaqah (Lingkaran) Hadits


Catatan kehadiran reguler disimpan. Setelah sebuah buku dibaca, sebuah catatan ditulis oleh
guru atau salah satu ulama terkemuka yang hadir, dimana nama-nama mereka yang
mendengar keseluruhan buku, bagian dari buku, tanggal dan tempat. Jika murid di bawah lima
dia digolongkan sebagai peserta, sementara yang di atas lima dinilai sebagai murid. Sertifikat
biasanya memiliki ketentuan yang disebut tibaaq yaitu tidak ada catatan lebih lanjut yang bisa
ditambahkan dalam buku ini.

23
Studies in Hadith Methodology, hal. 16-22

15
© Islamic Online University Hadits 101

Pada era Tabi'un, para murid biasanya menghafal seluruh Al-Qur'an dan mempelajari
Fiqih dan tata bahasa Arab sebelum mengikuti halaqah para ulama hadits di usia sekitar dua
puluh tahun. Az-Zuhri berkata Ibnu Uyaynah yang berusia lima belas tahun sebagai murid
termuda yang pernah dia lihat dan Ibn Hanbal memulai pelajaran haditsnya pada usia enam
belas tahun. Namun, pada periode selanjutnya, ketika teks telah ditetapkan dan pembelajaran
berarti periwayatan kitab-kitab, dikatakan bahwa jika seorang anak dapat membedakan antara
seekor sapi dan keledai ia cukup usia untuk mulai mempelajari hadits. Misalnya, ad-Dabari
meriwayatkan kitab Abdur-Razzaaq dan saat dia meninggal ad-Dabari baru berusia tujuh
tahun.24
Pada setiap generasi, jumlah guru dan murid tumbuh secara eksponensial. Pada era
Tabi'un, para ulama seperti ats-Tsawri, Ibnul Mubaarak dan az-Zuhri menyebutkan ratusan
guru. Az-Zuhri sendiri memiliki lebih dari lima puluh murid yang mencatat hadits secara
tertulis darinya. Jumlah sebenarnya yang menulis dan menghadiri kajiannya tidak diketahui.
Meningkatnya jumlah perawi menghasilkan pertumbuhan jumlah buku dan jumlah riwayat
hadits yang luar biasa. Menjadi praktik umum di kalangan ulama hadits untuk menghitung
setiap isnad sebagai satu hadits. Akibatnya, satu pernyataan Nabi yang diriwayatkan oleh
seratus isnad disebut sebagai seratus hadits dan beberapa ribu hadits menjadi ratusan ribu
hadits.25

Rantai Periwayatan
Setiap hadits terdiri dari dua bagian; Bagian pertama adalah deretan semua yang
meriwayatkan perkataan Nabi (‫ )ﷺ‬yang dimulai dari perawi terakhir sampai orang yang
mengumpulkannya dalam bukunya dan diakhiri dengan sahabat yang meriwayatkannya dari
Nabi (‫ ;)ﷺ‬dan bagian kedua adalah perkataan, tindakan, persetujuan Nabi (‫ )ﷺ‬atau deskripsi
tentang fisik beliau. Bagian pertama dikenal sebagai isnad atau sanad dan yang kedua disebut
matan.
Contohnya:
'Abdul-'Aziz Ibnul Mukhtaar mengatakan kepada kami, dengan mengatakan: Suhayl bin Abi
Saalih memberi tahu kami dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Nabi (‫ )ﷺ‬berkata:
Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah,
dan kalian jangan bertakbir sampai ia bertakbir. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah,
dan kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’. Apabila ia mengatakan “sami’allahu
liman hamidah”, maka katakanlah “Rabbana walakal hamdu”. Apabila ia sujud,
maka sujudlah, dan kalian jangan sujud sampai ia sujud. Jika dia shalat sambil
duduk maka shalatlah kalian semua sambil duduk.”26
Dalam hadits tersebut di atas, ['Abdul-'Aziz Ibnul Mukhtaar mengatakan kepada kami: Suhayl
bin Abi Saalih memberi tahu kami dari ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Nabi berkata:]
adalah isnaadnya dan sisanya [Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti. Apabila ia

24
Al-Kifaayah fee ‘Ilm al-Hadeeth, hal.64 dikutip dalam Studies in Hadith Methodology and Literature, hal. 23
25
Lihat Studies in Early Hadith Literature, hal.302-5 untuk pembahasan mendetail pada poin ini.
26
Sunan Abu Dawud, Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim

16
© Islamic Online University Hadits 101

bertakbir, maka bertakbirlah, dan kalian jangan bertakbir sampai ia bertakbir ...
Jika dia shalat sambil duduk maka shalatlah kalian semua sambil duduk ."] adalah
matannya.
Pola yang biasa diikuti oleh sistem isnaad adalah bahwa semakin jauh rantai perawi
(isnaad) semakin banyak jumlah perawi. Misalnya, dalam hadits di atas penelitian
menunjukkan pola berikut:
Hadits ini diriwayatkan oleh sepuluh sahabat yang tinggal di tiga lokasi; Madinah,
Syria dan Irak. Salah satu sahabat, Abu Hurayrah, memiliki tujuh murid yang meriwayatkan
hadits dari dia saja. Empat dari mereka tinggal di Madinah, dua di Mesir dan satu di Yaman.
Ketujuh murid ini, pada akhirnya, meriwayatkan kepada dua belas orang lainnya; lima dari
Madinah, dua dari Makkah, dan satu masing-masing dari Syria, Kufah, Ta'if, Mesir dan
Yaman. Jumlah perawi generasi ketiga yang melaporkan hadits ini adalah dua puluh enam
yang berasal dari sepuluh lokasi berbeda (Madinah, Makkah, Mesir, Hims, Yemen, Kufah,
Syria, Wasit dan Ta'if). Terlebih lagi, hadits tersebut ditemukan dengan kata-kata atau makna
yang hampir sama di kesemua sepuluh lokasi.27
Abu Hurayrah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad (‫ )ﷺ‬mengatakan bahwa Jika
salah seorang di antara kalian bangun tidur, maka janganlah ia mencelupkan tangannya di
dalam bejana sampai ia mencucinya tiga kali terlebih dahulu, karena ia tidak tahu di manakah
tangannya bermalam.
Sedikitnya tiga belas murid Abu Hurayrah meriwayatkan hadits ini darinya.
8 dari 13 berasal dari Madinah
1 berasal dari Kufah
2 dari Basrah
1 dari Yaman
1 dari Syria
Ada enam belas ulama yang meriwayatkan hadits ini dari murid-murid Abu Hurayrah
6 dari 16 berasal dari Madinah
4 dari Basrah
2 dari Kufah, Irak
1 dari Makkah
1 dari Yaman
1 dari Khurasan
1 dari Hims (Syria)

Asal-usul Sistem Isnad


Setiap jenis literatur mengembangkan fitur tertentu khusus pada sifat dan kandungannya dan
karakter orang-orang yang mengolahnya, dan kondisi sosial, politik, atau sejarah yang khas
dimana ia berasal dan berkembang. Literatur hadits tidak terkecualikan oleh peraturan ini.28
Sistem isnaad sebelumnya digunakan untuk meriwayatkan puisi pra-Islam.29 Namun, di dalam

27
Studies in Hadith Methodology, hal 35-6
28
Hadith Literature, hal. 76
29
Masaadir asy-Syi’r al-Jahili, hal. 255-267 dikutip dalam Studies in Hadith Methodology, hal. 32

17
© Islamic Online University Hadits 101

literatur hadits-lah ia mencapai puncaknya sehingga dianggap sebagai bagian integral dari
agama itu sendiri. "Abdullaah Ibnul Mubaarak (wafat tahun 181), salah satu guru Imaam Al-
Bukhari yang termasyhur, mengatakan: "Isnaad berasal dari agama. Kalau bukan karenanya
siapa saja bisa mengatakan apapun yang dia inginkan." 30 Pada akhir abad pertama, ilmu
tentang isnaad telah berkembang sepenuhnya. Ibn Sirin (wafat 110), seorang tabi’in, berkata,
"[Pada awalnya] mereka tidak akan bertanya tentang isnaad. Tapi ketika fitnah (kekacauan/
perang saudara) terjadi, mereka menuntut, 'Beritahukan nama orang-orangmu kepada kami.'
"Riwayat Ahlus-Sunnah (pengikut Sunnah) akan diterima, sedangkan Ahlul-Bid'ah (Pengikut
Inovasi) akan ditolak."31 Yaitu, sebelum kekacauan, isnaad hanya digunakan sesekali, tapi
setelah kekacauan mereka menjadi hati-hati.
Untuk meminimalisir pentingnya sistem ini dalam Islam, kaum orientalis telah
mencoba untuk mengidentifikasi sumber pra-Islam non-Arab. Joseph Horovitz mengutip
beberapa contoh dari literatur Yahudi di mana isnaad digunakan sebelum penggunaannya di
kalangan Arab. 32 Dia selanjutnya mencoba melacak penggunaannya kembali ke periode
Mosaik, dan pada zaman Talmud rantainya luar biasa panjang. Apakah sistem isnaad benar-
benar dirunut kembali ke zaman Mosaic diragukan, karena Horovitz tidak membuktikan
bahwa mereka bukanlah interpolasi belakangan. Juga telah dicatat bahwa sistem isnaad
digunakan oleh orang India jauh sebelum Islam. Penggunaan sesekali dapat ditemukan dalam
literatur Hindu kuno, Budha dan Jain. Dalam epik besar, Mahabharta, dikatakan: 'Vysda
menyusunnya, Ganesa sebagai juru tulis, dan karya itu diserahkan oleh Vaisampayana, yang
mengkomunikasikannya kepada raja Janamejaya. Sauti, yang hadir pada saat itu,
mendengarnya dan menceritakannya kepada majelis orang bijak.33
Namun, darimana pun isnaad berasal, tak diragukan lagi bahwa mengadopsi system
tersebut, Kaum Muslimin menganggap isnaad sebagai bagian tak terpisahkan dari hadits dan
mengembangkannya. Mereka memberikan landasan kuat dengan memperkenalkan metode
kronologis, menyusun biografi perawi, dan membangun sebuah sains untuk menentukan nilai
kandungannya dan keaslian jalur periwayatannya. Orang-orang India kuno, sejauh yang
diketahui, tidak pernah melakukan upaya perlakuan isnaad yang ketat dan konsisten, dan
mereka juga tidak mengembangkan metode kronologisnya. Demikian juga, literatur Yahudi
tidak menggunakan metode kronologis sehingga membuat isnaads mereka tidak bernilai.
Faktanya, Profesor Horovitz sendiri mengakui bahwa, 'Dalam literatur Talmud tidak ada
gagasan tentang metode kronologis, dan karya tertua yang ada yang berusaha melakukan
pengaturan semacam itu disusun setelah tahun 885 M - lebih dari satu abad setelah karya
Islam tertua tentang kritik isnaad. Dari fakta ini, 'dia melanjutkan dengan mengatakan,' dan

30
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam bagian pendahuluan Shahih Muslim (ed M.F. ‘Abdul Baqi. 5 vol.
Kairo 1374’1955), [1:15] & Shahih al-Muslim bi Syarh an-Nawawi (18 vol di 6, Kairo, 1349)[1:87]
31
Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (Introduction) Chapter: The Isnaad is from The Deen, hal.257 [Maktabah
Nazaar Mustafa al-Baaz – Riyadh [1st edition])
32
Mishna, the fathers, 446.
33
Mahabharata, Book I, canto 1; cf. Winternitz, History of Indian Literature (Calcutta, 1927 M), I, 323 dikutip
dalam Hadith Literature, hal. 78-9

18
© Islamic Online University Hadits 101

dari fakta bahwa karya-karya Yahudi yang penting [dari periode ini] telah disusun di wilayah-
wilayah Islam, dapat disimpulkan bahwa minat historis ini disebabkan oleh pengaruh Islam.34
Praktek menentukan isnaad, tidak hanya dari hadits tetapi juga buku-buku yang
dikumpulkan, sangat berharga dalam menjaga integritas buku di zaman di mana percetakan
tidak dikenal, dan pembuatan karya palsu dan terdistorsi adalah tugas yang relatif mudah.
Praktik sertifikasi ilmiah nampak unik dalam sejarah sastra dunia, sama halnya literatur hadits
unik dalam menggunakan metode identifikasi sumber yang menyeluruh dan sistematis.
Manuskrip Yunani, Latin, Ibrani dan Syria jarang, jika bukan tidak pernah, memberi kita
begitu banyak informasi tentang asal dan penggunaan sebuah buku.
Sistem isnad, meski berasal dalam kaitannya dengan literatur hadits, pada akhirnya
diperluas oleh penulis Arab ke banyak genre lainnya, termasuk geografi, sejarah, dan fiksi
prosa.35

34
Alter und Ursprund des Isnad, 47. Dikutip dalam Hadith Literature, hal 81
35
Hadith Literature, hal. 82-3.

19
© Islamic Online University Hadits 101

BAB EMPAT: KLASIFIKASI HADITS


Hadits Shahih
Persyaratan Sihhah
Sebuah hadits harus memenuhi lima kriteria berikut agar dapat diterima menurut hukum Islam
sebagai sumber ketetapan hukum.

1. Ittisaal as-Sanad (Kontinuitas rantai perawi)


Rantai Rawwaah (perawi) yang meriwayatkan Matn (teks), harus tidak boleh putus agar
hadits diterima. Yaitu harus tidak ada perawi yang hilang dari rantai dan setiap perawi, Raawi,
harus telah bertemu perawi langsung sebelum dirinya demikian juga yang langsung
setelahnya. Setiap Raawi haruslah seorang individu yang juga dikenal, jika tidak, dia
diklasifikasikan sebagai majhool (tidak diketahui) dan sanad dianggap rusak.

2. 'Adaalah (integritas)
Integritas perawi adalah persyaratan kunci kedua agar hadits dianggap valid. Yang kami
maksudkan dengan Integritas yaitu bahwa perawi adalah seorang Muslim yang shalih dan
tidak diketahui telah melakukan salah satu hal besar (yang terlarang) jika dia dikenal sebagai
pembohong dia diklasifikasikan sebagai kadzdzaab dan hadits yang diriwayatkannya
diklasifikasikan sebagai dha'if. Ini adalah persyaratan yang diverifikasi melalui ilmu biografi
hadits Kutub ar-Rijaal.

3. Dhabt (akurasi)
Ketepatan text ditentukan oleh dua faktor yang salah satu darinya sudah mencukupi
1. Dhabt as-Sadr (Hafalan yang bagus)
Setiap perawi harus dikenal karena kemampuannya untuk menghafal dan mengulang
dengan tingkat akurasi yang tinggi. Jika ia cenderung untuk mengulang hadits dalam
sejumlah cara yang berbeda, hadits seperti ini digolongkan sebagai Mudtarib (bingung)
dan hadits lainnya yang mungkin diriwayatkannya akan diklasifikasikan sebagai Dha'if
2. Dhabt Al-Kitaabah (ketepatan tertulis)
Setiap perawi yang tidak memenuhi prasyarat "a", harus diketahui telah mencatat
haditsnya dalam buku secara akurat dan riwayatnya hanya berasal dari bukunya, kedua
prasyarat ini (a, b) juga diverifikasi dengan Kutub ar-Rijaal.

4. Ghayr Syaatsts (kesesuaian)


Sangat penting bahwa hadits tersebut dikonfirmasi dengan hadits serupa yang diriwayatkan
pada topik yang sama dengan rantai perawi yang lebih kuat. Jika teks sebuah hadits
bertentangan dengan teks-teks lain yang lebih dikenal yang rantai periwayatannya lebih kuat,
maka teks ini diklasifikasikan (dikecualikan) yang merupakan salah satu kategori hadits dhoif.

20
© Islamic Online University Hadits 101

5. Laa 'Illah (tidak adanya cacat tersembunyi)


Cacat tersembunyi adalah cacat yang menyebabkan hadits tampak shahih dan hanya menjadi
jelas setelah penyelidikan mendalam. Agar hadits dianggap sehat (shahih) maka harus
terbebas dari cacat tersembunyi.
Sebuah hadits yang memenuhi semua lima persyaratan sihhah disebut sebagai hadits
Shahih. Hadits ini dapat digunakan untuk menegakkan poin-poin hukum Islam dan, jika
hadits ini tidak dibatalkan, harus diterima dan diterapkan. Hukum dari sebuah hadits shahih
hanya dapat digantikan oleh hadits lain yang lebih kuat darinya
Hadits Shahih dapat dibagi lagi menjadi Shahih li Dzaatih dan Shahih li Ghayrih.
Hadits yang memenuhi keseluruhan lima syarat tersebut juga disebut Shahih li Dzaatih.
Artinya, hadits tersebut adalah Shahih dengan sendirinya, tanpa pertimbangan eksternal.
Shahih li Ghayrih adalah hadits hasan yang telah diangkat ke status shahih karena adanya
periwayatan yang mendukung.

Hadits Hasan
Sebuah hadits dianggap Hasan jika memenuhi semua persyaratan Sihhah kecuali Dabt
(keakuratan). Jika ingatan seorang perawi hanya dianggap baik (saduq), artinya, dia diketahui
melakukan beberapa kesalahan. Hadits diturunkan dari tingkatan shahih ke tingkat Hasan.
Pada masa-masa awal, tidak ada perbedaan antara hadits shahih dan hadits hasan. Hadits
hasan valid untuk menetapkan poin-poin hukum Islam dan tidak boleh ditolak kecuali
dibatalkan atau digantikan oleh hadits shahih. Kategori ini juga disebut Hasan li Dzaatih yang
berbeda dari kategori kedua hadits hasan yang disebut Hasan li Ghayrih.

Hadits Hasan li Ghayrih


Jika perawi termasuk dalam kelas yang lebih rendah (yaitu kelas 5 atau 6 yang memberikan
hadits dhaif) dan ada hadits lain yang mendukungnya dalam bentuk atau pengertiannya, maka
akan diklasifikasi ulang sebagai hasan li ghayrih. Perlu dicatat bahwa penerimaan
keseluruhan sebuah isnaad didasarkan pada rantainya yang paling lemah. Akibatnya, jika
semua perawi sangat andal (tsiqah) dan satu, di manapun dalam rantai itu diklasifikasikan
sebagai pembohong (kadzdzaab), hadits akan diklasifikasikan sebagai palsu, bahkan jika
dibuktikan otentik oleh isnaad-isnad lain.

Hadits Dhoif
Ini adalah hadits dimana satu atau lebih dari lima persyaratan Sihhah belum terpenuhi. Hal ini
juga disebut dalam karya klasik sebagai Al-Khabar Al-Mardood (Riwayat yang ditolak).
Hadits yang tidak otentik adalah hadits yang kebenaran riwayatnya sangat tidak mungkin
terjadi karena hilangnya satu atau lebih syarat-syarat penerimaan. Beberapa hadits dhoif dapat
diklasifikasi ulang karena faktor pendukung sementara yang lain benar-benar ditolak. Hadits
yang tidak otentik dapat dibagi lagi ke dalam kategori yang berbeda berdasarkan lima kriteria
yang belum terpenuhi.

21
© Islamic Online University Hadits 101

Penyebab Penolakan:
Faktor-faktor yang menyebabkan hadits ditolak semuanya masuk pada dua judul utama: 1.
Putusnya rantai periwayatan atau 2. Cacat pada perawi itu sendiri.

I. Putusnya Rantai Riwayat


Putusnya rantai periwayatan dapat diklasifikasikan menurut penampakannya menjadi dua
kategori: putus yang jelas dan putus tersembunyi.
A. Putus yang jelas mengacu pada isnaad di mana seorang perawi tidak berinteraksi
dengan gurunya karena perbedaan generasi, sehingga tidak mungkin mereka bertemu,36
atau karena dia tidak pernah bertemu dengan guru menurut catatan. Karena itu peneliti
di bidang perawi perlu mengetahui biografi perawi itu sendiri karena biografi
menyebutkan tanggal lahir dan kematian, periode waktu di mana mereka belajar,
perjalanan mereka, dll. Ulama hadits telah menciptakan empat nama untuk kategori ini
sesuai tempat di mana putusnya rantai terjadi atau jumlah perawi dihapus: (i) Mu'allaq,
(ii) Mursal, (iii) Mu'dal dan (iv) Munqati '
B. Putus tersembunyi mengacu pada isnaad di mana perawi dihapus atau disembunyikan
dengan cara halus yang tidak mudah terlihat dari studi tentang biografi individu.
Kategori ini memiliki dua bentuk utama: (1) Mudallas dan (2) Mursal Khafi.

Putus Yang Terlihat Jelas


i. Mu'allaq (menggantung)
Istilah ini digunakan karena hanya bagian atas rantai yang tetap memberikan kesan
menggantung. Secara teknis berarti sebuah hadits di mana permulaan rantai periwayatannya
memiliki satu atau lebih perawi berurutan yang dihapus. Misalnya. Al-Bukhaari di awal bab
tentang paha mencatat bahwa Abu Musa berkata, "Nabi menutupi pahanya saat 'Utsmaan
masuk." Hadits ini diklasifikasikan sebagai Mu'allaq karena Al-Bukhari menghapus semua
rantai perawi kecuali Sahabat Abu Musaa Al-Asy'ari.
Hadits tersebut umumnya ditolak kecuali jika mereka disebutkan dalam koleksi hadits
dimana penulis menghabiskan banyak upaya untuk hanya memasukkan hadits shahih
(misalnya Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim). Riwayat semacam itu hanya digunakan
sebagai judul atau penjelasan dan bukan merupakan dalil utama untuk prinsip-prinsip Islam.
Lebih lanjut, dalam banyak kasus, ahli hadits belakangan telah merunut sebagian besar
riwayat ini dan melengkapi rantai-rantainyaa. Misalnya, hadits dari Abu 'Aamir dari Nabi
berkata, "Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang
menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik." Dalam kompilasi hadits Bukhori ia
mu'allaq tapi muttasal (terhubung) pada kompilasi Al-Bayhaqi, at-Tabaraani dan Ibn
'Aasaakir dan juga oleh Abu Daud dari' Abdur-Rahmaan bin Yazid.

36
Yaitu guru wafat sebelum murid lahir atau ketika murid berusia di bawah lima tahun

22
© Islamic Online University Hadits 101

ii. Mursal. (Menyamaratakan)


Istilah ini digunakan karena perawi telah menyamaratakan dalam mengutip rantai perawi
dengan menghilangkan seorang perawi. Secara teknis mursal adalah sebuah hadits dimana
perawi terakhir (yaitu Sahabat) telah dihapus. Misalnya: Muslim dalam bab mengenai
transaksi bisnis meriwayatkan: Muhammad bin Raafi 'mengatakan kepada saya bahwa Hujayn
mengatakan kepada mereka bahwa Al-Layts meriwayatkan dari' Aqil dari Ibn Syihaab dari
Sa'id Ibn al-Musayyib bahwa rasulullah melarang Al-Muzaabanah.
Sa'id, seorang Taabi’i, telah meriwayatkan hadits ini tanpa menyebutkan tautan antara dirinya
dan Nabi. Tautan itu bisa jadi seorang Sahabat atau mungkin juga Tabi’i lain seperti dirinya
yang meriwayatkannya dari Sahabat.

Hukum Hadits Mursal


Hadits seperti ini pada dasarnya adalah dhoif dengan demikian ditolak karena ketiadaan syarat
ittisaal (kontinuitas) dan kurangnya pengetahuan tentang perawi yang hilang yang mungkin
adalah seorang Sahabat atau Taabi’i lainnya.

Mursal as-Sahabi
Jika seorang Sahabat meriwayatkan sebuah perkataan atau tindakan Nabi (‫ )ﷺ‬yang tidak
mungkin didengar atau dilihatnya karena usia Nabi maupun usianya, keterlambatan memeluk
Islam atau ketidakhadirannya pada saat kejadian, riwayat semacam ini diklasifikasikan
sebagai mursal as-shahaabah. Ada banyak hadits semacam ini yang diriwayatkan oleh
Sahaabah muda seperti Ibn 'Abbaas, Ibn az-Zubayr dan lainnya.

Hukum Mursal as-Sahaabah


Sebagian besar ulama menganggapnya sebagai Hadits Shahih karena periwayatan Sahabat
dari Tabi'un sangat langka dan jika mereka melakukannya, mereka biasa menunjukkannya.
Jika mereka tidak mengatakan apapun, diasumsikan bahwa riwayat itu pasti berasal dari
Sahabat lain. Karena semua Sahaabat dianggap 'adul (dapat diandalkan) generalisasi ini tidak
mempengaruhi terpercayanya sebuah hadits.

iii. Munqathi '(rusak)


Secara teknis, ini adalah sebuah hadits di mana satu atau lebih perawi telah dihapus secara
acak dari tengah rantai perawi. Misalnya. Riwayat 'Abdur-Razzaaq dari ats-Tsawri dari Abu
Is'haaq dari Zayd bin Yushay dari Nabi mengatakan bahwa dia berkata "Jika kalian
menyerahkan kepemimpinan kepada Abu Bakar, maka dia adalah orang yang kuat lagi
amanah." Perawi Shurayk telah dihapus dari tengah rantai antara ats-Tsawri dan Abu Is'haaq
karena ats-Tsawri tidak mendengar riwayat apapun dari Abu Is'haaq secara langsung tapi
biasa mendengarnya melalui Shurayk yang belajar pada Abu Is'haaq.

iv. Mu'dhal (putus ganda)


Secara teknis mengacu pada sebuah hadits dimana dua atau lebih perawi secara berturut-turut
dihapus di pertengahan atau akhir rantai. Jika dua atau lebih perawi dihapus dari awal disebut
mu'allaq. Misalnya, Al-Haakim menyebutkan dalam bukunya Ma'rifati 'uloom Al-hadits
bahwa Al-Qa'rabi meriwayatkan dari Maalik, bahwa sebuah riwayat sampai kepadanya bahwa

23
© Islamic Online University Hadits 101

Abu Hurairah mengatakan bahwa rasulullah berkata, "Hamba sahaya berhak mendapatkan
makanan dan pakaiannya secara ma’ruf (yang sesuai) dan tidak boleh dibebani pekerjaan,
kecuali yang disanggupinya saja" Hadits ini tergolong Mu'dhal karena Maalik telah
menghapus dua perawi antara dirinya dan Abu Hurairah. Kami tahu dua orang telah dihapus
karena hadits yang sama telah dikumpulkan dalam kompilasi lain selain Al-Muwatta dengan
rantai berikut: Maalik meriwayatkan dari Muhammad bin 'Ajlaan dari ayahnya dari Abu
Hurairah.

Putus Yang Tersembunyi


i. Mudallas (penipuan)
Kata Mudallas berasal dari kata kerja ‘dallasa’ yang secara harfiah berarti menyembunyikan
cacat pada barang dari pembeli. Secara teknis mengacu pada penyembunyian aib dalam hadits
dan menampakkan kebaikan pada dhahirnya. Dapat dibagi lagi menjadi dua kelompok
lainnya: [a] Tadlis as-Sanad dan [b] Tadlis asy-Syuyukh.
a) Tadlis As-Sanad
Bentuk Tadlis ini memiliki dua manifestasi:
(1) Yang pertama adalah kasus dimana perawi, meriwayatkan sesuatu yang tidak didengarnya
dari gurunya dengan cara yang ambigu. Dia tidak secara terbuka mengklaim telah
mendengarnya dari gurunya tapi hanya menyiratkan dengan ungkapan "Dia berkata" atau
"dari". Misalnya. Ali bin Khasyram mengatakan Telah meriwayatkan kepada kami Ibn
'Uyaynah dari az-Zuhri; tapi ketika ditanya "Apakah Anda telah mendengarnya dari az-
Zuhri?" Dia menjawab, "Tidak, dan tidak pula dari orang yang mendengarnya dari az-Zuhri.
Aku telah diberitahu Abdur-Razzaaq dari Ma’mar dari az-Zuhri" Dalam contoh ini Ibn
'Uyaynah telah menghapus dua perawi di antara dirinya dan az-Zuhri.
(2) Bentuk lainnya adalah dimana seorang Raawi menceritakan dari gurunya yang menghapus
dari rantai seorang perawi lemah antara dua perawi yang kuat yang saling bertemu. Misalnya.
Abu Haatim mengumpulkan hadits berikut dimana ayahnya mengatakan Ishaaq Ibn
Raahawayh melaporkan dari Baqiyah yang mengatakan bahwa Abu Wahb Al-Asadi
memberitahu kepadanya dari Naafi dari Ibn 'Umar hadits: "Janganlah engkau memuji
keislaman seseorang hingga engkau mengetahui simpul pendapatnya" Ayah Abu Haatim, "Di
dalam hadits terdapat sebuah poin yang hanya sedikit orang menyadari 'Ubaydullaah Ibn' Amr
meriwayatkan hadits ini dari Is'haaq Ibn Farwah dari Naafi dari Ibn 'Umar dari Nabi karena'
Ubaydullaah - Ibn Saqiyah memanggilnya Abu Wahb Al-Asasi sehingga dia tidak akan
terlihat saat dia meninggalkan Is'haaq Ibn Abi Farwah. 'Ubaydullaah dianggap tsiqah (perawi
terpercaya), Is'haaq Ibn Farwah lemah dan Naafi' kuat. Bentuk ini juga disebut Tadlis at-
Taswiyah dan merupakan bentuk terburuk dari Tadlis. Yang paling terkenal sebagai orang
yang melakukan tindakan ini adalah Baqiyah Ibn Walid.
b) Tadlis Asy-Syuyukh
Ini adalah kasus di mana seorang Raawi meriwayatkan sebuah hadits dari seorang syaikh
(guru) yang dia mendengar darinya tapi menyebutnya dengan nama yang tidak dikenal, nama
panggilan atau karakteristik yang tidak diketahui. Contoh tadlis jenis ini adalah Perkataan
Abu Bakar bin Mujahid, salah seorang dari para imam ahli qira’at,”Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah”; yang dimaksud adalah Abu Bakar bin Abi Dawud
As-Sijistani..
24
© Islamic Online University Hadits 101

Metode Mengidentifikasi Tadlis

(1) Mudallis mengatakan perbuatannya, jika ditanya secara langsung seperti dalam kasus Ibn
'Uyaywah.
(2) Pernyataan salah satu ulama sejamannya. Misalnya. Buku Al-Khatib Al-Baghdaadi
berjudul at-Tibyaan li-Asmaa Al-Mudallisin.

ii. Mursal Khafi (generalisasi tersembunyi)


Secara teknis berarti seseorang menceritakan sesuatu yang tidak dia dengar dari seseorang
yang dia temui atau yang sejamannya menggunakan terminologi yang menyiratkan bahwa dia
mendengar darinya. Perbedaan antara Mursal Khafiy dan Tadlis as-Sanad adalah bahwa
dalam kasus Mursal, dia menceritakan dari seseorang yang bukan merupakan gurunya
sedangkan dalam Tadlis dia menceritakan dari gurunya. Misalnya Diriwayatkan Ibnu Majah
dari jalur ‘Umar bin Abdil-‘Azizi dari ‘Uqbah bin Amir secara marfu’: “Allah telah
merahmati orang yang menjaga pasukan”. 37 'Umar tidak bertemu' Uqbah meski dia hidup
sezaman menurut Al-Mizzi dalam bukunya Al-Atraaf.

Metode Pengenalan
Jenis Irsaal ini dapat diidentifikasi oleh salah satu dari tiga faktor berikut:
1. Pernyataan salah satu ulama bahwa perawi fulan dan fulan tidak pernah bertemu dengan
perawi yang dia meriwayatkan darinya atau bahwa dia tidak pernah mendengar apapun
darinya.
2. Perawi memberitahukan tentang dirinya dengan mengakui bahwa dia tidak pernah
bertemu atau mendengar langsung dari Raawi yang diriwayatkannya.
3. Jika hadits datang bersama rantai lain dimana orang-orang ditambahkan antara perawi
dan orang yang seharusnya dia mengambil riwayat darinya.
Ini adalah ke-enam jenis riwayat yang ditolak karena terputus dalam rantai riwayat. Namun,
hadits mu'an'an dan mu'annan juga bisa disertakan.

iii. Mu'an'an dan Mu'annan


Mu'an'an adalah sebuah hadits dimana perawi meriwayatkan menggunakan kata depan "an"
yang berarti “dari" tanpa mengatakan bahwa dia diberi tahu secara langsung. Misalnya
Utsman Ibn Abi Shaybah memberitahu kami bahwa Mu'awiyah Ibn Hishaam
memberitahunya bahwa Sufyaan memberitahunya dari Usaamah Ibn Zayd dari 'Utsmaan Ibn'
Urwah dari 'Urwah dari' Aa'ishah yang mengatakan bahwa Rasulullah (‫ )ﷺ‬berkata,
"Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang) yang berada
di shaff-shaff sebelah kanan”

Putusan tentang Hadits Mu'an'an


Mu'an'an dianggap muttasal (terhubung) jika memenuhi dua syarat berikut:
(1) Bahwa perawi yang meriwayatkan rantai dalam bentuk an'an bukan mudallis.

37
Sunan Ibn Majah

25
© Islamic Online University Hadits 101

(2) Bahwa semua perawi yang dihubungkan oleh 'an (dari) adalah sezaman.
Mu'annan adalah sebuah hadits di mana gabungan "anna" (bahwasanya) digunakan di seluruh
sanad.
Mu'anan diklasifikasikan dengan cara yang sama seperti mu'an'an.

II. Cacat Pada Perawi


Cacat pada perawi adalah hasil dari 10 faktor, lima di antaranya terhubung dengan 'Adaalah
(sifat dapat dipercaya) dan lima untuk Dabt.
A. Faktor-faktor dalam 'Adaalah jika perawi adalah: 1. pembohong; 2. dituduh berbohong; 3.
Tidak bermoral; 4. Pembuat bid’ah dalam prinsip agama dan 5. Tidak jelas.
B. Faktor-faktor dalam Dabt adalah, jika perawi: 1. Kesalahannya sangat banyak; 2.
Ingatannya lemah; 3. lalai; 4. Dikenal banyak salah menafsirkan dan 5. Dikenal
bertentangan dengan perawi yang dapat diandalkan.
Berikut ini adalah hadits yang ditolak karena cacat yang disebutkan di atas pada perawi,
dimulai dari cacat paling serius.

Maudhu '(Palsu)
Jika cacat pada Raawi adalah dia dikenal berbohong tentang Nabi (‫ )ﷺ‬haditsnya
diklasifikasikan Maudu. Secara teknis, sebuah riwayat maudu adalah sebuah kebohongan
yang dinisbatkan kepada Nabi.

Hukum tentang periwayatannya


Menjadi ijma para ulama bahwa tidak diperbolehkan untuk meriwayatkan "Hadits" semacam
ini tanpa menunjukkan bahwa ini adalah palsu. Berdasarkan hadits yang dikumpulkan oleh
Muslim "Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta,
maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).”

Metode Pengenalan:
a. Pengakuan pemalsu itu sendiri seperti dalam kasus Abu 'Ismah Nuh Ibn Abi Maryam yang
mengaku bahwa dia memalsukan hadits tentang keutamaan masing-masing Surah Al-Qur'an
dan mennisbatkannya kepada Ibn' Abbaas.
b. Pengakuan tidak langsung seperti pada kasus seseorang yang meriwayatkan dari seorang
guru dan ketika ditanya tentang tanggal lahirnya sendiri menyebutkan tanggal setelah
kematian gurunya. Jika hadits itu hanya diriwayatkan olehnya maka secara otomatis
diklasifikasikan sebagai maudu.'
c. Faktor tidak langsung tentang perawi seperti dalam kasus dimana perawi adalah penganut
syiah dan hadits yang diriwayatkannya adalah tentang keutamaan keturunan Nabi.
d. Faktor-faktor tidak langsung dalam hadits seperti dalam kasus di mana kata-katanya secara
tata bahasa lemah atau teksnya bertentangan dengan arti dasar atau makna jelas Al-Qur'an.

26
© Islamic Online University Hadits 101

Alasan Pemalsuan Hadits


Perbedaan Politik:
Sejarah Muslim menjadi saksi banyak kericuhan dan kekacauan setelah pembunuhan Utsman,
khalifah ketiga. Pertempuran antara pendukung Ali dan pendukung Aisyah dan kemudian
pendukung Mua'wiyah menyebabkan terbentuknya Syiah dan Khawirij. Banyak hadits palsu
yang mendukung' Ali dan keluarga Nabi berasal dari Syiah sendiri, seperti yang diakui oleh
sumber Syiah yang terkenal.
Ibnu Abi Al-Hadid mengatakan:
"Kebohongan dalam hadits tentang keutamaan-keutamaan awalnya dilakukan oleh
Syiah. Pada awalnya mereka membuat banyak hadits yang mendukung kaum mereka
dimotivasi oleh kebencian terhadap lawan-lawan mereka. Ketika Bakriyya' mendapati
apa yang Syiah telah lakukan, mereka memalsukan Hadits yang mendukung kaum
mereka. "
Dia juga membicarakan tentang ganjaran besar yang diumumkan oleh Mu'aawiyah bagi siapa
saja yang membuat hadits melawan Ali.
Salah satu riwayat mereka yang terkenal dalam hal ini adalah Hadits Ghadir Khumzn
(Musim Semi Khumm). Dikatakan:
"Nabi memegang tangan Ali di hadapan para Sahabat, dalam perjalanan pulang dari haji
wada’, Nabi membiarkan dia berdiri sampai mereka semua mengenalnya. Kemudian dia
berkata: Ini adalah wakilku dan saudara laki-lakiku dan Khalifah setelahku. Jadi
dengarkan dia dan taatilah dia.
Irak telah menjadi pusat bagi banyak pemalsuan ini.
Aisyah diriwayatkan telah mengatakan:
"Wahai penduduk 'Irak, penduduk Syaam (Syria) lebih baik darimu. Sejumlah besar sahabat
Sahabat pergi kepada mereka, jadi mereka meriwayatkan kepada kami apa yang kami ketahui,
tapi kepada kalian sedikit sahabat mendatangi. Tapi kalian meriwayatkan kepada kami apa
yang kami ketahui dan apa yang kami tidak ketahui.”
Khawirij di sisi lain terlihat seperti penentang yang kuat bagi Ali dan Mu'äwiyah
namun karena prinsip ketat mereka mengenai kebohongan, yang merupakan dosa besar bagi
mereka, mereka tidak mungkin akan memalsukan Hadits.
Sulaiman Ibn Al-Asy'ats berkata: "Tidak ada diantara orang-orang Ahwi (pengikut hawa
nafsu) lebih baik dalam Hadits daripada Khawarij seperti lmraain ibn Hittaan dan Abu Al-
Hasin Al-A'raj.
Ucapan baik semacam itu tentang Khawarij juga dicatat oleh Ibn Taimiya yang
dikenal sangat ketat dalam memberikan penilaiannya atas Hadits.

Pergerakan Filosofis
Pada hari-hari terakhir kekhalifahan Umayyah dan sepanjang periode Abbasiyah, sejumlah
isu yang berkaitan dengan iman dan sifat Allah diangkat. Pembahasan tersebut menyebabkan
munculnya berbagai faksi yang dikenal dengan nama Qadariyyah, Jabariyyah, Mu'tazilah,
Murji'ah, Mujassimah, dan Mu'atilah.

27
© Islamic Online University Hadits 101

Hadits kontradiktif yang mendukung satu pendapat atau menolaknya dipalsukan oleh
pendukung masing-masing pendapat.
Seperti yang diakui oleh Muhriz Abu Rajaa, pendukung kuat sekte Qadariyyah, mereka
berada di balik banyaknya hadits palsu. Dia berkata: Jangan meriwayatkan apapun dari
siapapun dari kalangan Qadariyyah, karena kami biasa memalsukan hadits untuk meyakinkan
orang untuk meyakini Qadar dengan tujuan mendapat pahala dari Allah.

Orang-orang Murtad
Ada banyak orang kafir yang memeluk Islam sebagai kedok bagi kegiatan bawah tanah
mereka. Karena kuatnya Islam mereka tidak dapat secara terbuka menentang dan bersiasat
melawannya, maka mereka mencoba melemahkannya dengan membuat sekumpulan hadits
fitnah untuk merusak citra murni Islam. Di antaranya adalah Muhammad Ibn Sa'id Asy-
Syaami yang kemudian disalib karena kemurtadannya. Dia meriwayatkan dari Humayd dari
Anas dari Nabi, bahwa dia berkata, “Aku adalah penutup para Nabi, tiada Nabi setelah aku
kecuali jika Allah menghendaki.”
Abd Al-Karim bin Abi Al-Aujaa adalah salah satu dari mereka yang mengaku ketika
dihukum mati atas perintah Muhammad Ibn Sulaiman bin 'Ali, Amir kota Basra: "Demi Allah,
saya telah menghasilkan empat ribu hadits melarang apa yang dibolehkan atau membolehkan
apa yang dilarang."
Sebuah hadits konyol tentang asal usul pencipta dianggap sebagai salah satu usaha
berani mereka. Bunyinya sebagai berikut: "Ketika Allah Yang Maha Kuasa ingin
menciptakan dirinya sendiri, dia menciptakan kuda terlebih dahulu dan membiarkannya
berlari sampai berkeringat. Kemudian dia menciptakan dirinya dari keringat kuda."
Seorang pemalsu terkenal lainnya, Muhammad Ibn Sa'id, yang dieksekusi dengan
penyaliban oleh Abu Ja'far, Khalifah Abbasiyah, memalsukan hadits berikut dari jalur
Humayd dari Anas dari Nabi, bahwa dia berkata, “Aku adalah penutup para Nabi, tiada Nabi
setelah aku kecuali jika Allah menghendaki.” Jelas pria itu ingin memperoleh dukungan untuk
klaim kenabiannya dengan menambahkan klausa pengecualian.

Pendongeng
Kisah menakjubkan yang penuh dengan peristiwa luar biasa dan eksposisi menarik selalu
menjadi sumber inspirasi bagi orang kebanyakan. Inilah yang biasa dilakukan para
pendongeng di masjid-masjid. Agar kisah mereka dipercaya, mereka biasa mendahuluinya
dengan Isnad lengkap. Sebagian besar riwayat semacam itu sangat ditolak oleh para ahli
hadits. Sulaimän bin Mihraan Al-A'mash, seorang ahli hadits terkenal, memasuki salah satu
masjid di Basra dimana dia mendengar seorang pendongeng berkata, "A'mash meriwayatkan
kepada kami dari Abi Ishaaq yang meriwayatkan dari Abu Waa'il, dll. Mendengarnya A'mash
sengaja duduk di tengah halaqah dan mulai mencabut rambut dari ketiaknya. Si pendongeng
sangat kesal dan berkata: Memalukan! Apa yang kau lakukan saat kami membicarakan ilmu?
A'mash menjawab: Saya melakukan yang lebih baik dari apa yang kau lakukan. Dia berkata:
Bagaimana mungkin? A'mash menjawab: Karena yang kulakukan adalah Sunnah sedangkan
yang kau katakan adalah kebohongan, aku adalah A'mash dan aku tidak meriwayatkan apapun
yang kau katakan.

28
© Islamic Online University Hadits 101

Kejadian serupa terjadi pada Ahmad Ibn Hanbal dan Yahyaa Ibn Ma'een.
Diriwayatkan bahwa seorang pendongeng di Baghdad menjelaskan ayat berikut ini: "mudah-
mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji” 38 . Dia mengatakan bahwa
Allah akan mendudukkan Nabi di sisi-Nya di Ars-Nya. Penjelasan ini diriwayatkan kepada
Muhammad Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310 AH / 922 M) yang menolak pemikiran tersebut
dengan keras sampai-sampai dia menuliskan di pintunya baris berikut ini: "Maha Suci Dia
yang tidak memiliki teman atau seorang pun yang duduk di samping-Nya di atas Arsy." Hal
ini menimbulkan kemarahan di kalangan orang-orang Baghdad yang melempari rumahnya
dengan batu sampai pintunya tertutupi olehnya.

Orang Zuhud Yang Jahil


Beberapa hadits dipalsukan sedemikian rupa agar menciptakan keinginan dalam diri manusia
untuk melakukan perbuatan baik dan menciptakan ketakutan akan perbuatan jahat. Mereka
yang melakukan ini adalah jenis pemalsu terburuk, karena mereka adalah orang-orang yang
dikaitkan dengan sifat zuhud, kesalehan dan kebenaran dan masyarakat dengan mudah
menerima pemalsuan mereka karena kepercayaan terhadap mereka. Terdapat surat berantai
yang diklaim berasal dari Syaikh Ahmad yang bermimpi tentang masa depan ketika tidur di
masjid Nabi. Ini beredar setiap 5 atau 10 tahun dan sepenuhnya adalah kepalsuan. Dan Nabi
telah mengatakan bahwa siapapun yang menceritakan tentang mimpi yang tidak mereka alami
akan menemukan tempat duduk mereka di api neraka.
Di antara para pemalsu di masa lalu adalah Maysarah Ibn Abdi Rabbih yang
tentangnya Ibn-Hibban mengumpulkan sebuah riwayat dari Ibn Mahdi yang berkata: "Saya
berkata kepada Maysarah-Ibn-Abdi-Rabbih: Dari mana Engkau mendapatkan hadits ini;
Siapapun yang membaca ini dan itu akan mendapatkan pahala ini dan itu?” Dia menjawab,
"Saya membuatnya untuk menarik orang-orang (untuk beramal saleh)"
Agar manusia mencurahkan banyak waktu mereka untuk melakukan ibadah sunnah,
orang zuhud yang jahil biasa memalsukan Hadits mengenai berbagai amalan. Sekitar empat
ratus ahadits semacam ini diketahui dibuat oleh Ghuläm Khalil, (wafat 275 H.) salah satu
orang zuhud terkenal di Baghdad yang kematiannya menyebabkan seluruh pasar menutup
pintu mereka untuk berkabung.
Beberapa dari sekte Karraamiyyah berani memalsukan Hadits mengenai keutamaan
suatu amalan tertentu. Mereka mengakui bahwa Nabi telah mengatakan: " Barangsiapa yang
berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di
neraka”, Tetapi mereka berkata: "Kami tidak berbicara dusta menentang Nabi, tetapi kami
berdusta demi dirinya.
Orang-orang seperti Abu 'Ismah Nuh bin Abi Maryam Al-Marwazi biasa memalsukan
hadits tentang keutamaan masing-masing Surah Quran. Membenarkan tindakannya dengan
mengatakan: "Saya menemukan orang-orang meninggalkan Quran dan menyibukkan diri
mereka dengan Fiqih Abii Hanifa dan Maghazi (pertempuran) Ibn Ishaaq, jadi saya membuat
hadits ini untuk mendapatkan pahala (dari Allah).

38
Al-Isra (79): 17

29
© Islamic Online University Hadits 101

Mengutip contoh lain yang diberikan oleh Naasiruddin Al-Albaani: "Dunia terlarang untuk
kaum akhirat dan akhirat dilarang untuk kaum Dunia. Dan keduanya dilarang untuk kaum
Allah.

Nasionalisme dan Faksionalisme


A. Literatur hadits mengandung banyak materi mengenai keutamaan negara atau berbagai
kota, yang sebagian besar terbukti dibuat-buat. Prasangka untuk tempat tertentu memang
merupakan faktor utama dibalik pemalsuan tersebut. Hadits tentang keutamaan Jeddah, Basra,
Yordania, Khurasaan, Omän, Asqalaan, Qizwin, Nasibin, Antiokhia, 'Ibaadan (Irak) dan
mengutuk Konstantinopel, Tabriya, Antiokhia, dan San'a menyusun sebuah bagian besar
karya Ibn Iraaq.

B. Prasangka, baik untuk atau menentang sebuah ras merupakan faktor lain di balik
beredarnya Hadits seperti berikut ini: "Seorang Zanji (kulit hitam) melakukan perzinahan
ketika kenyang dan mencuri saat dia lapar. Tetapi ada kemurahan hati dan semangat
membantu diantara mereka juga.
"Cintai orang Arab karena tiga alasan: Aku adalah orang Arab. Quran berbahasa Arab
dan penduduk surga akan berbicara dalam bahasa Arab." 39
"Orang yang tidak memiliki apa-apa untuk diberikan sebagai sedekah harus mengutuk
kaum Yahudi sebagai gantinya."

C. Prasangka terhadap Imamnya sendiri dan kebencian terhadap Imam lain digambarkan
dengan baik dalam hadits berikut ini: "Pada umatku akan ada seorang pria bernama
Muhammad Ibn Idris (yaitu Asy-Syafi'i) yang lebih berbahaya bagi umatku dari pada Iblis
dan akan ada seorang pria di dalam ummatku yang dikenal sebagai Abu Hanifah yang
merupakan pelita bagi ummatku.”
Faktor serupa tampaknya juga digunakan dalam hadits palsu yang mendukung fatwa
hukum yang diikuti oleh satu Imam atau mencela seluruhnya.

Pemalsuan untuk Motif Pribadi:


Beberapa orang terdorong membuat hadits palsu untuk kesenangan para penguasa.
Sebuah insiden terkenal, oleh Ghayyaath Ibn Ibraahim, orang istana Al-Mahdi, Kalifah dinasti
Abbasiyah. Datang ke istana Al-Mahdi yang menyukai burung merpati dan ketika dia diminta
untuk melafalkan hadits untuk Khalifah, dia meriwayatkan, "Fulan dan fulan meriwayatkan
kepada saya bahwa Nabi berkata, 'Tidak ada perlombaan yang diperbolehkan kecuali dalam
memanah, unta dan pacuan kuda dan menerbangkan merpati." Khalifah Al-Mahdi
memberinya hadiah, tapi ketika orang itu pergi, dia berkata, "Saya bersaksi bahwa
punggungmu terlihat seperti pendusta atas Nabi." Kemudian dia berkata, "Aku membuatnya
melakukan itu." Maka dia memerintahkan agar merpati-merpatinya disembelih dan dia
meninggalkan kebiasaan memelihara merpati.
Kejadian menarik lainnya diriwayatkan oleh Al-Hakim dari Saif Ibn Umar Al-Tamimi
yang mengatakan: "Saya sedang duduk dengan Sa'id Ibn Tarif saat anaknya datang dari
Maktab (yaitu sekolah Alquran) sambil menangis. Dia bertanya: Apa yang membuatmu

30
© Islamic Online University Hadits 101

menangis? Anak itu menjawab: Guru telah memukul saya. Sa'id berkata: Biarlah saya
mempermalukannya hari ini. Ikrimah meriwayatkan kepada saya dari Ibnu Abbaas yang
bersumber dari Nabi, yang mengatakan: Guru anak-anakmu adalah yang terburuk di antara
kalian. Mereka paling sedikit mengasihi anak yatim dan paling keras di antaramu terhadap
orang miskin.
Hadits mengenai manfaat berbagai sayuran dan biji-bijian dapat dengan mudah
ditelusuri kembali kepada orang-orang yang memperdagangkannya.
Ibnul Qayyim dalam kompilasi hadits palsunya yang dikenal sebagai Al-Manaar Al-
Munif Al-Shahih wa Al-Dha'if, menyebutkan hadits semacam ini mengenai manfaat dari
semangka, kacang-kacangan, ikan, terong, anggur, kacang polong, kacang panjang, garam,
daun bawang, buah delima dan sayuran lainnya.
Salah satu contoh: "Gunakan labu karena ia mencerahkan kepala dan gunakan kacang-
kacangan karena ia telah dimuliakan oleh tujuh puluh rasul.”

Kata-kata bijak yang dijadikan Hadits39:


Beberapa perawi telah mencoba menisbatkan kepada Nabi berbagai perumpamaan dan kata-
kata bijak. Misalnya, ucapan berikut diketahui dari Harits Ibn Kalda, seorang dokter terkenal
di Arab: "Perut adalah rumah penyakit dan pencegahan adalah pengobatan utama." Tapi
secara salah dinisbatkan kepada Nabi.

39
Critisim of Hadits, hal. 35-43

31
© Islamic Online University Hadits 101

BAGIAN LIMA: KESESUAIAN SECARA TEKSTUAL


Kontradiksi Tekstual
Dalam sejumlah besar periwayatan ucapan, tindakan dan persetujuan Nabi, beberapa
kontradiksi nyata memang terjadi. Ulama at-Tahaawi menulis sebuah karya dalam topik
tersebut yang disebut, Mushkil Al-Aathaar, di mana dia berusaha menyelesaikan yang terlihat
seperti kontradiksi dalam banyak riwayat terkenal.
Sebelum mencoba menyelesaikan konflik, harus ditetapkan bahwa semua teks yang
terlibat adalah teks yang shahih. Teks asli tentu saja akan akan diutamakan dibanding teks
yang tidak otentik. Juga harus dikonfirmasi bahwa kedua teks tersebut tidak syaadz, karena
teks otentik yang telah dikonfirmasi akan lebih dipilih daripada teks-teks yang dikecualikan.
Aturan umum untuk menyesuaikan (jam') teks yang bertentangan adalah mencoba
menggunakan kedua teks hadits daripada membuang salah satunya. Hal ini dilakukan dengan
memperlakukan yang satu sebagai teks umum ('aamm) dan yang lainnya sebagai teks spesifik
(khaas). Misalnya, hadits yang melarang sholat setelah Salaatul-Fajr sampai matahari terbit
dan setelah Salaatul-'asr sampai matahari terbenam nampaknya bertentangan dengan praktik
melaksanakan shalat sunnah dzuhur yang terlewatkan setelah shalat asr, yang secara shahih
diriwayatkan dari Nabi Muhammad dan juga beliau mengizinkan para shaabatnya untuk
melaksanakan sholat sunnah yang terlewatkan setelah sholat fardunya. Rangkaian hadits
pertama diambil sebagai larangan umum untuk sholat Sunnah yang tidak ditentukan waktunya,
sementara yang kedua dianggap sebagai pengkhususan shalat Sunnah yang ditentukan yang
dapat dilakukan pada waktu yang dilarang.
Jika ada kontradiksi antara pernyataan Nabi dan tindakannya, prinsip umumnya adalah
memberikan preferensi atas pernyataannya daripada tindakannya karena tindakannya
mungkin khusus untuk dirinya sendiri. Misalnya, Nabi (‫ )ﷺ‬melarang pengikutnya puasa dua
puluh empat jam (wisaal) tapi tercatat nabi sendiri telah melakukannya. Beliau
memerintahkan para pengikutnya yang memiliki lebih dari empat istri untuk memilih empat
orang dan menceraikan sisanya sementara Beliau sendiri, memiliki sembilan istri pada saat
bersamaan. Terkadang tindakannya mengklarifikasi dibolehkannya tindakan tertentu.
Misalnya, 'Aa'ishah meriwayatkan bahwa Nabi (‫ )ﷺ‬tidak pernah kencing berdiri. Namun,
sahabat lain meriwayatkan bahwa saat berperjalanan dengan Nabi (‫)ﷺ‬, dia melihat Beliau
pergi ke tempat pembuangan desa dan buang air dengan berdiri. Atau mungkin hal ini
menunjukkan bahwa pernyataannya mengenai larangan atas sebuah tindakan dimaksudkan
untuk menunjukkan ketidaksukaan dan bukan larangan mutlak. Seperti dalam kasus beliau
melarang minum sambil berdiri kemudian secara terbuka minum zamzam sembari berdiri saat
haji wada’.
Jika tidak memungkinkan untuk diselaraskan, maka preferensi (tarjih) diberikan pada
satu teks atas teks yang lain. Preferensi mungkin didasarkan pada ketidaksetaraan sanaad atau
ketidaksetaraan konten (matn). Mengenai rantai perawi, yang disetujui oleh Al-Bukhari dan
Muslim, diutamakan dibandingkan hadits yang ada di buku-buku lain. Hadits shahih pada
umumnya diberi preferensi atas hadits Hasan. Sehubungan dengan isinya, literal lebih disukai
daripada metafora, dan yang jelas (sarih) diberikan preferensi atas yang implisit (kinaayah).
Bukti yang membenarkan diprioritaskan dibanding yang negatif. Larangan lebih diutamakan

32
© Islamic Online University Hadits 101

daripada yang diperbolehkan.40 Misalnya, Nabi (‫ )ﷺ‬melarang puasa pada hari Sabtu kecuali di
bulan Ramadhan dan menganjurkan berpuasa pada hari-hari 'Arafah dan' Aasyuraa.
Berdasarkan prinsip ini, jika salah satu hari jatuh pada hari Sabtu, seseorang seharusnya tidak
berpuasa.
Jika tidak ada metode harmonisasi dan pemilihan di atas yang memungkinkan, satu-
satunya jalan lain adalah pembatalan (naskh). Naskh secara harfiah berarti penghilangan atau
pengalihan (oleh karena itu dalam bahasa Arab, seorang penyalin disebut Naasikh). Tapi
sebagai istilah teknis dalam ilmu hadits dan Fiqh, berarti Allah membatalkan sebuah hukum
yang sebelumnya digantikan dengan yang kemudian. Pembatalan dapat terjadi dalam ayat-
ayat Al-Qur'an dan antara Al-Qur'an dan Hadits. Fenomena ini tercakup dalam Ushul at-
Tafsir di Level Empat. Pada bab ini, pembatalan Hadits dianggap sebagai cara terakhir untuk
menyelesaikan yang tampak seperti kontradiksi dalam teks hadits.

Metode Pengenalan
1. Pembatalan terkadang bisa dikenali dengan pernyataan Nabi yang jelas (‫ )ﷺ‬tentangnya.
Misalnya dalam hadits Buraydah yang dikumpulkan oleh Muslim, Nabi (‫ )ﷺ‬berkata,
"Dahulu aku pernah melarang kalian dari berziarah kubur, sekarang berziarahlah
kalian. karena ziarah kubur mengingatkan kalian akan kematian"

2. Terkadang terlihat bagi kita Atsar (pernyataan seorang Sahabat) contohnya dari Jaabir-
Ibnu Abdullaah yang berkata " Aturan terakhir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tidak berwudhu karena makan makanan yang dimasak" Dikumpulkan oleh Al-
Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’I, Ibn-Maajah.

3. Terkadang tanggal kejadian dapat menunjukkan pembatalan hukum. Misalnya. hadits


Syidaad Ibn Anis dari Nabi (‫ " )ﷺ‬Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam
batal puasanya" Dikumpulkan oleh Abu Dawud, dibatalkan oleh hadits Ibnu Abbaas
bahwa Nabi (‫ )ﷺ‬melaksanakan Haji wada’. Pada saat haji ini beliau berbekam dalam
keadaan ihram dan berpuasa. 41 Dalam beberapa riwayat hadits Syidaad disebutkan
terjadi pada saat penaklukan Mekah yaitu 8 H (630 M). Sementara hadits Ibn 'Abbaas
disebutkan bahwa dia menemani Nabi (‫ )ﷺ‬pada Haji Wada’ (10 H / 632 M).

4. Ijmaa para Sahabat juga bisa menunjukkan pembatalan. Bukan berarti mereka
membatalkannya tapi telah diketahui di antara mereka bahwa Nabi (‫ )ﷺ‬telah
membatalkannya. Contoh dalam kasus hadits bahwa Nabi (‫ )ﷺ‬berkata, " Apabila ada
seseorang yang mabuk, maka cambuklah ia, apabila ia mengulangi, maka cambuklah
ia.’ Kemudian beliau bersabda pada kali keempat, ‘Apabila ia mengulanginya, maka
penggallah lehernya." 42 Para sahabat mencapai ijma’ bahwa pemabuk tidak akan
dihukum mati.

40
Principles of Islamic Jurisprudence, hal. 360-3
41
Shahih Muslim,
42
Sunan Abu Dawud

33
© Islamic Online University Hadits 101

BAGIAN ENAM: KRITIK HADITS


Maksudnya adalah ilmu keabsahan hadits ('Ilm Al-Jarh wa at-Ta'dil) dimana hadits
dinyatakan dapat dipercaya atau tidak. Usaha untuk membedakan antara yang benar dan yang
salah mengenai periwayatan dari Nabi (‫)ﷺ‬, berakar pada peringatannya, " Barang siapa yang
berdusta atasku (yakni atas namaku) dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat
duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka."43 Proses ini dimulai pada masa hidup Nabi
(‫ )ﷺ‬sendiri. Namun, pada masa itu, artinya tidak lebih dari pergi menemui Nabi (‫ )ﷺ‬dan
memverifikasi suatu ucapan yang telah dinisbatkan kepadanya. Dimaam Ibn Tsa'labah
mendatangi Nabi (‫ )ﷺ‬pada suatu kesempatan dan bertanya, "Muhammad, utusanmu datang
kepada kami dan mengatakan kepada kami ini dan itu." Nabi (‫ )ﷺ‬menjawab, "Dia mengatakan
yang sebenarnya."44
Sebuah bentuk investigasi atau verifikasi serupa diberitakan telah dilakukan oleh
'Ali, Ubayy Ibn Ka'b,46 ' Abdullaah Ibn 'Amr,47 ' Umar,48 Zaynab istri Ibn Mas'ud49 dan yang
45

lainnya. Meskipun proses bertanya pada Nabi (‫ )ﷺ‬terhenti dengan kematian beliau, Khalifah
pertama, Abu Bakr, 'Umar dan' Ali serta sahabat lainnya seperti 'Aa'isyah dan Ibn' Umar
melanjutkan usaha kritik hadits. Dengan kekacauan yang terjadi pada akhir masa
pemerintahan Khalifah 'Utsman dan di sepanjang pemerintahan Khalifah' Ali, para ulama di
kalangan murid-murid para sahabat menjadi sangat ketat dalam meriwayatkan hadits. Para
ulama di kalangan murid para sahabat melanjutkan usaha kritik hadits seperti Sa'id Ibn al
Musayyib (wafat 93 H); Saalim Ibn 'Abdillaah Ibn' Umar (wafat 106); 'Ali Ibn Husain Ibn' Ali
(wafat 93); dan 'Urwah Ibn az-Zubayr (wafat 94). Di antara murid-murid mereka pada abad
kedua setelah Hijrah, tiga ulama menonjol di wilayah Madinah, Az-Zuhri (wafat 124),
Yahyaa Ibn Sa'id dan Hisyaam Ibn 'Urwah. Selama periode abad kedua dan ketiga ini, para
ulama diakui karena perjalanan mereka yang ekstensif dalam pencarian riwayat hadits. Begitu
banyak sehingga ulama Baghdadi Yahyaa Ibn Ma'in (wafat 233) berkata, "Ada empat jenis
manusia yang tidak pernah menjadi dewasa dalam kehidupan mereka; Di antara mereka
adalah yang menulis hadits di kotanya sendiri dan tidak pernah melakukan perjalanan untuk
tujuan ini."50
Metode kritik Hadits menurut pernyataan Ibnul Mubaaraks (118-181 H), "Untuk
mencapai pernyataan shahih, seseorang perlu membandingkan kata-kata para ulama satu sama
lain."51 Inilah metode yang digunakan oleh para ulama sejak dahulu. Dengan mengumpulkan
semua hadits yang berkaitan, membandingkannya dengan hati-hati satu sama lain, para ulama
dapat menilai keakuratan guru mereka. Metode perbandingan dipraktekkan dengan berbagai
cara.

43
Shahih Al-Bukhaari, ilm, 38
44
Shahih Muslim, Iman, 10 dan Shahih Al Bukhaari, ilm, 6
45
Sunan an-Nasaa’i, vol. V. III
46
Musnad Ahmad, v.143
47
Shahih Al Bukhari, maghazi, 25
48
Muslim, musafirin, 120
49
Shahih Al Bukhaari, zakat, 44
50
Studies in Early Hadith Literature, hal. 50
51
Jaami’ oleh al-Khatib, 5a. dikutip dalam Studies in Early Hadith Literature, hal. 52

34
© Islamic Online University Hadits 101

Berikut adalah empat cara utama:


1. Perbandingan antara hadits murid-murid berbeda dari ulama yang sama.
2. Perbandingan antara pernyataan ulama yang sama pada waktu yang berbeda dalam
hidupnya.
3. Perbandingan antara periwayatan oral para ulama dengan teks tertulisnya.
4. Perbandingan antara hadits dan teks Al-Qur'an yang terkait.

Membandingkan antara Murid yang Berbeda


Metode ini dapat ditunjukkan oleh kasus ulama abad ketiga, Ibnu Ma'in (wafat 233) yang
mendatangi Musaa Ibn Ismaa'il di Basrah, seorang murid ulama besar Hammaad Ibn Salamah,
dan memintanya untuk membaca buku Hammaad kepadanya. Ketika Musaa bertanya apakah
dia telah membacakan buku-buku itu kepada murid Hammaad lainnya, Ibnu Ma'in menjawab
bahwa dia telah membacakannya kepada tujuh belas murid lainnya. Musaa bertanya
kepadanya apa tujuan semua pembacaan yang berbeda ini, yang mana Ibn Ma'in jawab,
"Hammaad Ibn Salamah melakukan kesalahan dan murid-muridnya menambahkan beberapa
kesalahan lagi pada kesalahannya. Jadi saya ingin membedakan antara kesalahan Hammaad
dan kesalahan murid-muridnya. Jika saya menemukan semua murid Hammaad melakukan
kesalahan yang sama, maka sumbernya adalah Hammaad. Jika saya menemukan mayoritas
mengatakan satu hal dan satu murid bertentangan dengan mereka, kesalahannya adalah
kesalahan muridnya."52
Ibnu Ma'in tidak hanya dapat membedakan antara kesalahan guru dan muridnya, tapi
dia juga mampu menilai murid sesuai tingkat keakuratan relatifnya. Ibn Ma'in bukanlah orang
pertama yang menggunakan metode ini. Hal ini telah ada sejak zaman Khalifah Abu Bakr.
Misalnya, ketika seorang nenek mendatanginya menanyakan tentang bagian dari warisan
cucunya untuknya, dia menjawab, "Saya belum menemukan bagian untuk Anda dalam Kitab
Allah dan saya tidak tahu bahwa Nabi menetapkan bagian untuk ini." Ketika dia bertanya
kepada sahabat-sahabat lain tentangnya, Al-Mughirah mengatakan bahwa Nabi (‫ )ﷺ‬memberi
bagian warisan untuk nenek 1/6. Abu Bakr kemudian bertanya apakah ada yang bisa
mengkonfirmasi pernyataannya dan Muhammad Ibn Maslamah Al-Ansari berdiri dan
mengulangi pernyataan Al-Mughirah. Khalifah Abu Bakr kemudian memberinya 1/6.53
Pada suatu kesempatan Abu Musaa Al-Ash'ari mengunjungi Umar dan memberi salam
hingga tiga kali. Saat dia tidak mendengar jawaban, dia pergi. Umar kemudian memanggilnya
dan menanyakan apa yang mencegahnya masuk ke rumah. Dia menjawab bahwa dia
mendengar Nabi (‫ )ﷺ‬berkata, "Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk
kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!." 'Umar kemudian memintanya
membuktikan bahwa pernyataan ini benar, jika tidak dia akan menghukumnya. Maka Abu
Musaa membawa seorang saksi yang membenarkannya. 'Umar kemudian memberitahukan
kepadanya bahwa dia tidak meragukan keshahihan riwayatnya tapi hanya mempersoalkan
agar orang-orang sangat berhati-hati dengan apapun yang mereka riwayatkan dari Nabi.54

52
Al-Majruhin, oleh Ibn Hibban, 11a
53
Al-Madkhal, oleh al-Haakim, 46
54
Shahih Al Bukhari, buyu’ 9, Shahih Muslim, adab 36

35
© Islamic Online University Hadits 101

Ketika 'Abdullaah Ibn' Umar mempertanyakan riwayat Abu Hurairah tentang sabda
Nabi, "Siapa pun yang menghadiri pemakaman hingga sholat jenazah akan menerima
ganjaran satu qiraat, tapi siapa pun menghadiri pemakaman hingga proses dimakamkan, akan
menerima ganjaran dua qiraat," dia menggandengnya menuju 'Aa'isyah yang mengkonfirmasi
keakuratan riwayatnya.55
Metode ini dilanjutkan oleh murid para sahabat seperti Ibn Abi Mulaykah, 56 Az-
Zuhri57 dan Shu'bah dll.

Contoh Metode ini digunakan oleh Muslim Ibnu Al Hajaj, murid Al-
Bukhari.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbaas bermalam di rumah bibinya Maymunah, istri Nabi (‫)ﷺ‬.
Pada malam hari, Nabi (‫ )ﷺ‬bangun, berwudhu dan mulai sholat. Ibnu 'Abbaas melakukan hal
yang sama dan berdiri di sisi kiri Nabi. Nabi (‫ )ﷺ‬menggesernya dari kiri ke kanan. Ulama
hadits Yazid Ibn Abi Zinaad meriwayatkan kejadian ini dari Kurayb, dari Ibnu 'Abbaas, yang
menyatakan bahwa Ibn' Abbaas berdiri di sisi kanan Nabi (‫ )ﷺ‬dan bergeser ke sebelah kirinya.
Imaam Muslim mengumpulkan semua riwayat rekan-rekan Yazeed yang belajar pada
Kurayb bersamanya dan menemukan bahwa mereka semua sepakat bahwa Ibnu 'Abbaas
pertama berdiri di sebelah kiri Nabi (‫ )ﷺ‬dan bergeser ke kanannya. Kemudian dia
mengumpulkan semua riwayat dari rekan Kurayb yang belajar pada Ibn 'Abbaas dan
menemukan bahwa mereka juga sepakat bahwa Ibn' Abbaas pertama berdiri di sebelah kiri
dan beralih ke kanan Nabi. Hal ini cukup untuk membuktikan kesalahan Yazid, namun
Imaam Muslim tidak berhenti sampai di situ. Dia selanjutnya mengumpulkan semua riwayat
sahabat-sahabat lain yang sholat bersama Nabi (‫ )ﷺ‬seorang yang menunjukkan bahwa mereka
juga sholat di sisi kanannya. Sehingga, dia tidak hanya membuktikan kesalahan Yazid tapi
juga menegaskan bahwa metode yang benar adalah berdiri di sebelah kanan.58

Membandingkan antara Pernyataan Ulama-ulama


Pada suatu kesempatan, 'Aa'isyah meminta keponakannya,' Urwah, untuk
mengumpulkan beberapa hadits dari 'Abdullaah Ibn' Amr karena dia telah belajar banyak dari
Nabi (‫)ﷺ‬. Ketika 'Urwah kembali dan meriwayatkan apa yang didengarnya dari' Abdullaah,
'Aa'ishah memiliki keraguan tentang sebuah hadits yang menjelaskan bahwa ilmu akan
diangkat dari muka bumi. Setahun kemudian, dia meminta 'Urwah untuk kembali kepada
'Abdullaah dan mengumpulkan lebih banyak hadits dan bertanya kepadanya secara khusus
tentang hadits tentang diangkatnya ilmu dari muka bumi. Ketika Urwah kembali, dia
meriwayatkan hadits-hadits termasuk hadits tentang diangkatnya ilmu. 'Aa'isyah lalu berkata,
"Aku yakin dia pasti benar, karena dia tidak menambahkan apapun padanya atau menghapus
apapun darinya.”59

55
Musnad Ahmad, ii, 387
56
Al-‘Ilal, oleh Ahmad ibn Hanbal, 1, 396
57
Shahih Al-Bukhari, syahadat, 2
58
Tamyiz oleh Muslim, hal. 136-8
59
Shahih Muslim, ilm, 14

36
© Islamic Online University Hadits 101

Membandingkan Antara Hafalan dan Teks


Pada satu kesempatan ketika Muhammad Ibn Muslim dan Al-Fadl Ibn 'Abbaad sedang
mempelajari hadits bersama Abu Zur'ah, Muhammad dan Al-Fadl berselisih tentang kalimat
hadits tertentu sehingga mereka meminta Abu Zur'ah untuk memutuskan di antara mereka.
Dia merujuk pada bukunya dan menemukan hadits tersebut dan mengatakan bahwa
Muhammad salah.
Pada kesempatan lain, 'Abdur-Rahmaan Ibn' Umar meriwayatkan sebuah hadits dari
Abu Hurairah mengenai penundaan shalat Dzhuhr di musim panas. Abu Zur'ah menyatakan
bahwa ini salah. Ketika 'Abdur-Rahmaan kembali ke kota asalnya dan memeriksa buku-
bukunya, dia menemukan bahwa ternyata dia yang salah. Dia kemudian menulis surat kepada
Abu Zur'ah, mengakui kesalahannya, dan memintanya untuk memberi tahu rekan-rekannya
dan murid-muridnya tentang kesalahannya, karena malu lebih baik daripada api neraka.60

Merbandingkan antara Hadits dan Al-Qur'an


'Umar Ibnul Khattaab menggunakan metode ini untuk menolak klaim Faatimah Binti Qays
tentang nafkah bagi wanita yang bercerai. Faatimah meriwayatkan bahwa Abu 'Amr Ibn Hafs
menceraikannya tanpa dapat rujuk kembali saat dia berada jauh dari rumah dan dia mengirim
wakilnya kepadanya dengan beberapa barley. Fatimah tidak senang dengan tawaran itu dan
ketika Abu Amr mengatakan kepadanya bahwa Fatimah tidak memiliki hak atas dirinya, dia
mendatangi Rasulullah (‫ )ﷺ‬dan mengeluh. Beliau menjawab, "Tidak ada nafkah bagimu juga
tidak ada tempat tinggal." Beliau kemudian memerintahkannya untuk menghabiskan masa
'iddah-nya di rumah Umm Shurayk...61 Ketika asy-Sya'bi meriwayatkan hadits Faatimah di
Masjidil Haram, Al-Aswad Ibn Yazid yang sedang duduk di dekatnya mengambil beberapa
kerikil dan melemparkannya ke arah ash-Sha'bi sambil berkata, "Celakalah kamu. Bagaimana
kau bisa meriwayatkan seperti itu padahal 'Umar berkata, "Kita tidak bisa meninggalkan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah (‫ )ﷺ‬untuk kata-kata seorang wanita. Kita tidak tahu apakah
dia ingat atau lupa. Ada nafkah dan tempat tinggal bagi [wanita yang tidak dapat dirujuk
kembali]. Allah (‫)ﷻ‬, Yang Maha Tinggi dan Maha Agung, berkata, "Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka [diizinkan] keluar kecuali
kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang."(65: 2)62
Metode ini juga diterapkan oleh 'Aa'isyah dalam beberapa kasus.

Kritik Hadits Rasional


Metode perbandingan yang disebutkan sebelumnya semua sudah mencakup pemikiran
rasional. Penalaran digunakan oleh para ahli hadits dalam melakukan kritik baik teks hadits
maupun sanad hadits. Tidak bisa dikatakan bahwa penshahihan dilakukan tanpa analisis
rasional. Namun, kritik rasional memang memiliki batasan seperti yang telah dikatakan 'Ali
Ibn Abi Taalib, "Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf

60
Al-Jarh wa at-Ta’dil, pendahuluan, hal 336
61
Shahih Muslim, vol. 2, hal. 769-770, no. 3512
62
Shahih Muslim, vol. 2, hal. 772, no. 3524

37
© Islamic Online University Hadits 101

lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya." Kritik Muslim
Modernis cenderung didasarkan pada argumen rasional. Misalnya, hadits tentang
kepemimpinan wanita dikritik berdasarkan kesetaraan yang dianggap melekat pada pria dan
wanita. Demikian pula, Dr. Maurice Bucaille, pada bagian akhir karya unggulannya, The
Qur'an the Bibble and Modern Science, berpendapat bahwa hadits tentang lalat pasti salah
karena sains modern hanya mengetahui penyakit saja yang berasal dari lalat. Jika argumen
yang sama digunakan mengenai larangan tidur bertumpu pada perut dikarenakan penjelasan
medis sebelum tahun tujuh puluhan, semuanya akan terbukti salah oleh pengetahuan medis
dari dua dekade terakhir.

Pembagian Perawi Berdasarkan Jaman


Para ulama hadits, pada tahap awal pengembangan ilmu hadits, mengklasifikasikan perawi
dan pengumpul hadits ke dalam berbagai kategori. Salah satu kategori ini adalah kategori
"jaman" yang didasarkan pada periode di mana para perawi dan pengumpul hadits hidup, dan
juga sejauh mana mereka berhubungan dengan ulama terkemuka pada masanya. Tujuan
klasifikasi ini adalah untuk memudahkan penelitian tentang kontinuitas rantai perawi. Berikut
ini adalah daftar tingkatan perawi yang disusun oleh muhaddits terkemuka, Ibnu Hajar Al-
'Asqlaani, dalam karyanya yang berjudul Taqreeb at-Tahdheeb
TINGKAT PERAWI DESKRIPSI
1 Para Sahabat
2 Tabi’in Utama Seperti Sa’id Ibn Al-Musayyab.
3 Tabi’in Pertengahan Seperti Hasan Al-Basri dan Ibnu Sirin.
4 Tabi’in Dibawahnya Riwayat hadits mereka sebagian besar berasal
dari Tabi’un Utama dan bukan Sahabat. Seperti
Az-Zuhri dan Qataadah.
5 Tabi’un Minor Hanya bertemu satu atau dua Sahabat tetapi
tidak tercatat telah meriwayatkan apapun dari
mereka. Misalnya Al-A'masy dan Abu Hanifah.
6 Sezaman dengan Tabi'un Minor yang tidak diketahui pernah bertemu dengan
Sahabat manapun. Seperti Ibnu Jurayj.
7 Tabi’ut Tabi’in Utama Murid Tabi’un. Seperti Ats-Tsawri dan Malik.
8 Tabi’ut Tabi’in Pertengahan Seperti Ibnu ‘Uyainah dan Ibnu ‘Ulayyah.
9 Tabi’ut Tabi’in Minor Seperti As-Syafi’i dan Abdur-Razaaq.
10 Perawi dari Tabi’ut Tabi’in Mereka yang tidak pernah bertemu satupun dari
Tabi’un. Seperti Ahmad Ibn Hambali.
11 Perawi Pertengahan dari Seperti Al-Bukhari.
Tabi’ut Tabi’in
12 Perawi Minor dari Tabi’ut Seperti At-Tirmidzi.
Tabi’in

Pembagian Perawi Berdasarkan Sifat Terpercayanya


Kategori lain dimana para ulama hadits mengklasifikasikan perawi dan pengumpul hadits
adalah kategori 'sifat terpercaya'. Kategori ini didasarkan pada terpercayanya perawi secara

38
© Islamic Online University Hadits 101

relative berkaitan dengan kekuatan hafalan mereka, karakter moral mereka, afiliasi politik
mereka, ketenaran atau ketidaktenarannya dan kecenderungan filosofis mereka.
Dalam kategori ini perawi ditempatkan di kelas dengan urutan menurun dan beberapa istilah
digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang termasuk dalam kelas tersebut.
KELAS DESKRIPSI ISTILAH
1 Sahabat Rasulullah Sahabah/sahabiyah;
Lahu Suhbah
2 Perawi yang sangat dipuji karena ingatannya Tsiqah tsiqah/ Thiqah Hafidz/
yang tanpa cela atau Awtsaq an-Naas
3 Perawi Terpercaya secara umum Tsiqah/ Mutqin/ Dzabt atau ‘Adl
4 Perawi Jujur yang terpercayanya sedikit Saduq; Laa bas bih atau Laysa
ternoda karena kesalahan sesekali bihi bas
5 Perawi yang Jujur yang dikenal melakukan Sadooq yukhti; Yahim; Sayyi
beberapa kesalahan karena ingatan buruk, Al-Hifdz; Lahu awhaam atau
kepikunan, salah tafsir atau sejenisnya. Juga Taghayyara bi aakhirah
termasuk dalam kelompok ini adalah mereka
yang dituduh melakukan bentuk Bid'ah
berikut ini: Tashayyu ', Qadr, Nasb, Irjaa atau
Tajahhum.
6 Seorang perawi yang hanya meriwayatkan Maqbul/ Maqbulah
sedikit hadits, yang haditsnya ditolak bukan
karena cacat yang ditemukan pada dirinya.
Haditsnya harus diperiksa.
7 Seseorang yang darinya lebih dari satu perawi Mastur atau Majhul Al-haal
telah meriwayatkan hadits tapi dia belum
diklasifikasikan sebagai Tsiqah.
8 Perawi yang dikritik karena tidak dapat Dhaif
dipercaya.
9 Perawi yang darinya hanya satu perawi lain Majul
telah meriwayatkan hadits tersebut. Dan dia
tidak dianggap tsiqah.
10 Perawi yang menurut semua orang tidak dapat Matruk; Saaqit; Matruq
dipercaya alhadits atau Waahin Al-hadits
11 Yang dituduh banyak berbohong Uttuhima bil-kadzib

12 Yang dikategorikan sebagai pendusta/ Kadzdzaab/Waddaa’


pemalsu hadits.

Contoh Penelitian Hadits


Ali Ibn Khashram meriwayatkan bahwa Isa Ibn Yunus meriwayatkan dari Ubaydullah Ibn
Abi Ziyal Al-Qaddah, dari Sahar Ibn Hawshab, dari Asma Binti Yaziid bahwa Rasulullah
bersabda,”Nama Allah yang terbaik ada pada dua ayat,” Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang
Maha Esa; tidak ada Tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia, Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.” dan di awal surat Ali Imran, “Alif laam miim. (1) Allah, tidak ada
Tuhan [yang berhak disembah] melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus menerus
mengurus makhluk-Nya”

39
© Islamic Online University Hadits 101

Dikumpulkan oleh Tirmidzi yang menggolongkannya Hadits Hasan Shahih (vol: 5 Page: 179
no. 3543); Ibn Maajah and Ahmad.

Metodologi Penelitian Hadits


1. Langkah 1: Tuliskan seluruh perawi hadits dan tuliskan poin-poin penting dari biografi
mereka seperti yang ditemukan dalam "Taqreeb at Tah'dzib."
2. Langkah 2: Jika perawi diklasifikasikan sebagai "Dha’if" dengan istilah apa pun yang
digunakan dalam kelas: 7 sampai 12, hadits secara otomatis diklasifikasikan
"Dha'if" dan ditolak.
3. Langkah 3: Tahun-tahun dimana para perawi meninggal selanjutnya dibandingkan untuk
memastikan bahwa mereka semua mungkin pernah bertemu satu sama lain.
Jika tidak ada dua perawi yang saling bertemu, sanad diklasifikasikan sebagai
"Munqati '" dan hadits itu sendiri dinilai "Dha’if" dan ditolak.
4. Langkah 4: Era para perawi selanjutnya harus dibandingkan untuk menentukan apakah
mereka semua dapat meriwayatkan dari perawi yang mereka katakan mereka
riwayatkan darinya. Jika ada perawi yang ditemukan berada pada periode
yang tidak mungkin bisa meriwayatkan dari perawi yang mereka klaim
mereka meriwayatkan darinya, dan dia sendiri diklasifikasikan dari perawi
kelas 5 atau 6, hadits kemudian dianggap "Dha’if" dan ditolak. Jika perawi
berasal dari kelas ke-4 atau di atasnya, harus dilakukan penelitian lebih lanjut
untuk melihat apakah ini sebuah pengecualian, dan jika tidak, maka
diklasifikasikan sebagai "Mursal" dan disisihkan sebagai pendukung yang
memungkinkan bagi periwayatan lain yang dipertanyakan.
5. Langkah 5: Jika rentetan perawi tampak kontinyu dan perawi yang manapun berasal dari
kelas: 4 sampai 6, maka hadits kemudian diklasifikasikan sebagai "Hasan"
dan dapat digunakan sebagai dalil untuk menetapkan suatu poin fiqh yang
harus diakui sebagai bagian sah dari Syari'ah.
6. Langkah 6: Jika rantai perawi seluruhnya berasal dari kelas: 1 sampai 3, hadits kemudian
diklasifikasikan sebagai "Shahih" dan diutamakan dibandingkan hadits hasan
lain yang bertentangan dengannya.
7. Langkah 7: Periksa periwayatan lain dari hadits dan teliti jalurnya sebagai pendukung
yang memungkinkan untuk mengangkat hadits dari dha’if ke hasan li ghayrih
atau dari hasan li dzaatih ke shahih li dzaatih.

Simbol Yang Digunakan Dalam Taqrib At-Tahdzib


Ibnu Hajar Al-'Asqolani memilih serangkaian singkatan sebagai simbol untuk menunjukkan
siapa yang mengumpulkan hadits dari perawi yang biografinya muncul dalam karyanya,
Taqrib at-Tahtdzib. Dia juga menggabungkan bersama simbol-simbol ini simbol-simbol lain
yang menunjukkan di buku mana periwayatan dapat ditemukan, jika penulis memiliki lebih
dari satu koleksi hadits atau jika koleksinya memiliki bagian yang unik.

40
© Islamic Online University Hadits 101

‫خ‬ Al-Bukhari dalam Shahihnya ‫خت‬ Al-Bukhari di antara Mu’allqaat dari


shahihnya
‫بخ‬ Al-Bukhari dalam Al-Adab Al- ‫عخ‬ Al-Bukhari dalam Khalq af’aal Al-
Mufrad Ibad
‫ز‬ Al-Bukhari dalam Juz Al-Qira’ah ‫م‬ Muslim dalam Shahihnya

‫ي‬ Al-Bukhari dalam Raf’ul Yadayn ‫مد‬ Abu Daud di antara Maraasel
Sunannya
‫د‬ Abu Daud dalam Sunannya ‫خد‬ Abu Daud dalam an-Nasikh

‫صد‬ Abu Daud dalam Fada’il Al-Ansar ‫ف‬ Abu Daud dalam At-Tafarrud

‫قد‬ Abu Daud dalam Al-Qadar ‫كد‬ Abu Daud dalam Musnad Malik

‫ل‬ Abu Daud dalam Al-Masaa’il ‫تم‬ At-Tirmidzi dalam Ash-Shamaa’il

‫ت‬ At-Tirmidzi dalam Sunannya ‫عس‬ An-Nasa’i dalam Musnad ‘Ali

‫س‬ An Nasa’I dalam Sunannya ‫فق‬ Ibnu Majah dalam at-Tafsir

‫كن‬ An-Nasa’i dalam “Musnad Malik” ‫ق‬ Ibnu Majah dalam Sunannya

‫ع‬ Jika 6 kitab shahih, memiliki hadits-hadits yang diriwayatkan olehnya

‫عم‬ Jika haditsnya terdapat dalam 4 sunan tetapi tidak dalam Bukhari & Muslim

‫تمييس‬ Jika haditsnya tidak ditemukan dalam satupun dari 6 kitab shahih

TAQRIB AT-TAH'DZIB
Vol: 1, Halaman: 355
104- Syumayr ibn Abd ad-Daar al-Yamaani; MAQBUL; Dari level 3. / ‫س ت د‬
105- Syumayt disebutkan di kalangan 'muhmalah. '
106- Syantam. Abu Dawud mengumpulkan sebuah hadits dari Syaqiq dari Aasim dari ayahnya,
sementara Ibn Qaani' mengumpulkannya dari Aasim ibn Syantam. Al-Bayhaqi berkata bahwa
inilah satu-satunya hadits dimana ia mendengar sahabat ini disebutkan.
107- Syihaab ibn Khiraash ibn Hawsyab asy-Syaybaani, Abus-Salat al-Waasiti adalah putra
saudara al-Awwaam ibn Hawsyab, Ia menetap di al-Kufah dan namanya disebutkan dalam
pendahuluan Shahih Muslim; SADUQ YUKHTI level 7. / ‫د‬
108- Syihaab ibn Ibaad al-Abdi, Abu Umar al-Kufi; TSIQAH; dari level ke-10; Wafat pada tahun
24 H. (645 M). / ‫خ م ت ق‬
109- Syihaab ibn Abaad al-Abdi al-Basri; MAQBUL, dari level ke-4. / ‫بخ‬
110- Syihaab ibn al-Majnun. Dikatakan bahwa nama ayahnya adalah Kulayb atau Syutayr kakek
Aasim ibn Kulayb. Dia disebutkan di kalangan Sahaabah. / ‫ت‬
111- Syihaab ibn Mu'ammar al-Balakh, Abul-Azhar. Dia berasal dari al-Basrah; TSIQAH; Dia
meriwayatkan sejumlah hadits; Dari level ke-10. / ‫بخ‬
112- Sahr ibn Hawshab al-Asy'afi asy-Syaami, adalah mawlaa dari Asmaa bint Yazid ibn as-
Sakan; SADUQ KATSIR AL-IRSAAL WAL-AWHAAM; Dari level ke-3; Dia meninggal
pada tahun 12 H. (634 M). / ‫بخ عم م‬

41
© Islamic Online University Hadits 101

TAQRIB AT-TÄH'DZIB
vol: l, Halaman: 533
1444- Ubaydullaah ibn az -Zubayb at-Tamimi al-Ambari, Putranya Syuayb dahulu meriwayatkan
darinya dan penulis "al-Kamaal" menyebutkannya tetapi Abu Dawud tidak mengumpulkan
periwayatan dari ayahnya, tetapi ia justru meriwayatkannya dari Syuaby dari kakeknya, az-
Zubayb. Periwayatan dari Ubaydullah dari ayahnya hanya dalam periwayatan Mutayy-in. Ibn
Hibbaan menyebutkannya di antara THIQAH para taabiun / ‫د‬
1445- Ubaydullaah ibn Zahr, mawlaa dari suku Damn, al-Ifriqi; SADUQ YUKHTI; Dari level ke-6.
/ ‫بخ عم‬
1446- Ubaydullaah ibn Abi Ziyaad ar-Rasaafi; SADUQ; Dari level ke-7. ‫خت‬
1447- Ubaydullaah ibn Abi Ziyaad al Qaddah, Abu1-Husayn al-Makki; LAYSA BIL QAWI; Dari
level ke-5; Dia wafat pada tahun 150 H. (67 M) / ‫س ت د‬
1448- Ubaydullaah ibn Abl Ziyaadh atau Ziyaad, Abu Ziyaadh al-Bakri atau al-Kindi, al-Damasyqi;
THIQH; Dari level ke-3. Periwatannya dari Bilaas adalah mursal ‫د‬
1449- Ubaydullaah Ibn Sa'd ibn Ibrahim ibn Abdur-Rahmaan ibn 'Awf az-Zuhri Abul-Fadl al-
Baghdaadi. Ia adalah hakim dari Asbahaan; TSIQAH; Dari level ke-11; Ia wafat pada tahun
60 H (680 M) pada usia 75 / ‫خ س ت د‬
1450- Ubaydullaah Ibn Sa'id ibn Muslim al-Ju'afi, Abu Muslim al-Kufi; Dia adalah salah satu
jenderal al-Aa'mash; DAIF; Dari level ke-7 ‫خت‬
1451- Ubaydullaah ibn Sa'id ibn Yahyaa al-Yasykari, Abu Quddaamah as-Sar-khasi; Menetap di
Nisapur; TSIQAH MA'MUN; level ke-10; Wafat pada tahun 41 H. (622 M). / ‫خ م س‬
1452- Ubaydullaah ibn Sa 'id al-Umawi adalah Ubayd dan akan disebutkan kemudian.
1453- Ubaydullah ibn Sa'id ats-Tsaqafi al-Kufr MUJHUL; Dari level ke-6; Ibn Hibbaan berkata
bahwa periwayatannya dari al-Mughirah adalah munqati. / ‫د‬

TAQRIB AT-TAH'DZIB
Vol. 2, halaman: 36
329- Ali ibn Hakim ibn Dhubyaan al-Awdi al-Kufi; TSIQAH; Dari level ke-10; Wafat tahun 131
H (749 M)/
330- Ali ibn Hakim Ibn Zaahir al-Khurasaani; SADUQ AABID; Dari level ke-10; Wafat pada
tahun 35 H. (656 M)/
331- Ali ibn Hakim, putra saudari Abdullaah ibn Shawdhab; MUJHUL Dari level ke-7/
332- Ali ibn Hakim al-Jahdan ; MAJHUL; Dari level ke-9
333- Ali ibn Hawshab, Abu Sulaymaan ad-Damashqi; LAA BASA BIH; Dari level ke-8/
334- Ali ibn Khaalid al-Madani; SADUQ; Dari level ke-3; Ia meriwayatkan hadits dari Abu
Hurayrah and Abu Umaamah. Ad-Dah-haak ibn Utsmaan dan Said ibn Hilaal biasa
meriwayatkan darinya. /
335- Ali ibn Khashram al-Marwazi; TSIQAH; Dari kalangan minor level ke-10; Wafat pada tahun
ke-57 H, (677 M) atau setelahnya dan mendekati usia 100 tahun.
336- Ali ibn Abi al-Khasib adalah Ibn Muhammad dan selanjutnya akan disebut demikian.
337- Ali ibn Dawud ibn Yazid al-Qantari al-Aadami, SADUQ; Dari level 1; Wafat pada tahun 72
H (692 M).
338- Ali ibn Dawud juga dikenal sebagai Ibn Duad, Abu al-Mutawakkil an-Naaji al-Basrl dikenal
dengan kunyahnya; TSIQAH; Dari level ke-8; Wafat pada tahun 108 H. (727 M) atau
sebelumnya.
339- Ali ibn Rabaah ibn Qasir, al-Khummi, Abu Abdillaah al-Basri; TSIQAH; Terkadang salah
disebutkan sebagai Ubayy, sebuah nama yang tidak disukainya; Dari kalangan minors yang
ke-3, Wafat pada tahun 110 H (729 M)/

42
© Islamic Online University Hadits 101

TAQRIB AT-TAH'DZIB
Vol. 2, halaman: 103
927- Isaa ibn Numaylah al-Fazaari al-Hijaazi; MUJHUL; Dari level ke-7
928- Isaa Ibn Hilaal as-Salihi memang adalah "Ibn Abi Isaa" yang telah disebutkan
sebelumnya.
929-
Isaa ibn Hilaal as-Safadi al-Misri; SADUQ; Dari level ke-4/
930- Isaa ibn Yazdaad atau Azdaad al-Yamaani al-Faarisi- MAJHUL AL-HAAL; Dari
level ke-6./
931- Isaa ibn Yazid al-Arzaq, Abu Mu'aadz al-Marwazi an-Nahwi (yaitu ahli tata bahasa);
MAQBUL- Dari level ke-7; Dia adalah hakim di kota Sarkhas/
932- Isaa ibn Yusuf ibn Abaan al-Faakhuri, Abu Musaa ar-Ramli; SADUQ YUKHTI; Dari
level ke-11; Abu Dawud tidak mengumpulkan hadithnya /
933- Isaa Ibn Yunus Ibn Abi Ishaaq as-Sabi'i adalah saudara laki-laki Israail al-Kufi; Dia
ditempatkan di Syaam (Syria) sebagai tentara; TSIQAH MA'MOON-, Dari level ke-
8, Wafat pada tahun 87 H. (706 M) atau 91 H (710 M)/
934- Isaa Ibn Yunus at-Tarasusi; SADUQ; Dari level ke-11/
935- Uyaynah ibn Abdir-Rahmaan ibn Jawsyam al-Ghatafaani; SADUQ; Dari level ke-7;
Wafat pada tahun 50 H (670 M)

TAQRIB AT-TAH'DZIB
vol. 2, halaman: 589
1 Asmaa bint Abi Bakr as-Siddiq, adalah istri az-Zubayr ibn al-Awwaam. Termasuk
Sahaabah utama. Wafat pada tahun 73 H (693 M) atau 74 H dan berusia lebih dari
100 tahun.
2 Asmaa bint Zayd ibn al-Khattaab al-Adawiyaah; Dikatakan sebagai Sahaabiyyah,
wafat sebelum Ibn Amr ibn Nafayl
3 Asmaa bint Sa'id ibn Zayd ibn Amr ibn Nufayl. Namanya tidak disebutkan dalam
kitab hadits al-Bukhaari atau Muslim tetapi al-Bayhaqi mengenalinya; dia juga
dikatakan sebagai Sahaabiyyah,
4 Asmaa bint Syakal al-Ansaariyyah adalah seorang Sahaabiyyah. Dikatakan bahwa ia
benar-benar "bint Yazid ibn as-Sakan" namun disebutkan sebagai putri dari kakeknya
dan namanya tanpa sengaja terdistorsi/
5 Asmaa bint Aabis Ibn Rabi' ah; MAJHUL AL-HAAL; Dari level ke-6; /
6 Asmaa bint Abdur-Rahmaan ibn Abi Bakr as-Siddiq; MAQBULAH- Dari level ke-6/

7 Asmaa bint Umays al-Khats'amiyyah adalah Sahaabiyyah yang menikah dengan Ja'
far ibn Abi Taalib, kemudian Abu Bakr as-Siddiq, kemudian Ali ibn Abi Taalib dan
memiliki anak dengan mereka semua. Dia adalah istri Maymunah bint al-Haarits;
Wafat setelah Ali terbunuh/
8 Asmaa bint Yazid ibn as-Sakan al-Ansaariyyah kunyah-nya adalah Umm Salamah
dan Umm Aamir dan ia adalah seorang Sahaabiyyah; Telah meriwayatkan banyak

43
© Islamic Online University Hadits 101

hadits/
9 Asmaa bint Yazid al-Qaysiyyah al-Basriyyah; MAQBUIÄH; Dari level ke-6/
Halaman: 590
10 Amah al-Waahid bint Yamin ibn Abdir-Rahmaan. Dia adalah ibu Yahyaa ibn Basyir
Ibn Khaalid. Meriwayatkan dari Muhammad ibn Ka'b al-Qurashidan, putranya
meriwayatkan darinya, MAJHULAH; Dari level ke-6/
11 Amah bint Khaalid ibn Sa'id ibn al-Aasi Ibn Umayyah adalah seorang Sahaabiyyah
dan putri seorang Sahaabi. Lahir di Ethiopia dan az-Zubayr ibn al-Awwaam
menikahinya. Hidup sangat lama sehingga bahkan Musa ibn Uqbah bertemu
dengannya. /

44
© Islamic Online University Hadits 101

BAGIAN TUJUH: HADITS AHAD


Hadits dinilai berdasarkan jumlah perawi pada setiap tingkat isnaad menjadi dua kelompok
utama: mutawaatir dan aahad
1. Mutawaatir (terus berulang)
Riwayat dari sejumlah besar perawi yang kesepakatan mereka pada sebuah kebohongan tak
terbayangkan, pada semua tingkat isnaad sejak awal sampai akhir.63 Menurut sebagian besar
ulama, otoritas hadits mutawaatir setara dengan Al-Qur'an. Ia menciptakan kepastian (yaqin)
dan ilmu yang dihasilkannya setara dengan ilmu yang didapat melalui persepsi indera 64 .
Mutawaatir dapat dibagi lagi menjadi dua kelompok lainnya: mutawaatir bil lafdz (kalimat-
kalimat berulang) dan mutawaatir bil-ma'naa (makna berulang)
a. Mutawaatir bil-Lafth
Semua periwayatan harus memiliki susunan kata-kata yang identik. Jenis mutawaatir
hadits ini luar biasa langka. Hadits "Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara
sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka." 65 Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah pasti hadits yang berulang
secara verbal. Umumnya disebutkan jumlahnya tidak melebihi sepuluh.
b. Mutawaatir bil-ma'naa
Mutawaatir konseptual dimana sejumlah besar perawi hadits sesuai dalam maknanya
tetapi berbeda dalam susunan kata-kata atau dalam bentuknya cukup sering terjadi.
Misalnya, ritual sholat fardhu, haji, puasa, jumlah zakat, peraturan qisaas, dan lain-lain
disaksikan oleh sejumlah besar sahabat dan diriwayatkan oleh banyak orang sepanjang
masa.

2. Aahad (tunggal)
Juga dikenal sebagai khabar Al-waahid adalah sebuah hadits dimana jumlah perawi pada
tingkatan isnaad manapun jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah mutawaatir. Adalah sebuah
hadits yang tidak memberikan pengetahuan positif kecuali jika didukung oleh bukti di luarnya
atau bukti tidak langsung. Inilah pendapat mayoritas, namun menurut Imaam Ahmad Ibn
Hambal dan yang lain, aahad dapat menghasilkan pengetahuan positif.66 Beberapa ulama telah
menolaknya berdasarkan analogi yang mereka buat dengan kaidah hukum persaksian, yaitu
bahwa kesaksian seorang saksi kurang untuk bukti hukum. Mereka yang tidak diragukan lagi
menerima otoritas hadits aahad seperti madzhab Dzahiri, berpendapat bahwa ketika Nabi (‫)ﷺ‬
ingin menyampaikan sebuah keputusan mengenai sebuah masalah tertentu, beliau tidak
mengundang semua penduduk Madinah untuk hadir. Namun, mayoritas ahli fiqh, sepakat
bahwa hadits aahad dapat menjadi dalil sebuah aturan hukum asalkan diriwayatkan oleh
perawi terpercaya dan isi riwayat tersebut tidak bertentangan dengan penalaran. 67 Banyak

63
Studies in Hadith Methodology, hal. 43
64
Principles of Islamic Jurisprudence, hal. 70
65
Sunan Abu Dawud, vol. 3, hal 1036, no. 3643
66
Al-Irshaad, hal 48-9, oleh Asy-Syawkaani
67
Aamide, Ihkaam, 1, 161

45
© Islamic Online University Hadits 101

ulama berpendapat bahwa hadits aahad menghasilkan pengetahuan spekulatif (dzonn) yang
beramal berdasarkan padanya hanya sunnah. Jika bukti pendukung lainnya dapat ditemukan
atau bila tidak ada yang menentang kandungannya, maka beramal dengan hadits aahad adalah
wajib.68 Tetapi, menurut mayoritas ulama, hadits Ahad tidak dapat dijadikan dasar keyakinan
('aqidah). Untuk masalah iman harus dibangun dalam kepastian (yaqeen) bahkan jika dugaan
(dzonn) kadang kala terlihat lebih baik. 69 Seperti yang dikatakan Al Qur'an kepada kita,
'sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran,' (an-Najm, 53:
28) aahad, karena bersifat persangkaan, tidak menetapkan kebenaran.
Menurut mayoritas ulama empat mazhab fiqih, melaksanakan hadits aahad adalah
wajib bahkan jika hadits aahad gagal menciptakan pengetahuan positif. Dengan demikian
dalam masalah hukum praktis, dugaan yang lebih baik cukup memadai sebagai dasar
kewajiban. Hanya dalam masalah keyakinan-lah, dugaan 'tidak bernilai apa-apa terhadap
kebenaran'.70
Hadits Aahad dapat dibagi lagi menjadi tiga kategori utama:
a) Mashur (terkenal): Sebuah riwayat yang memiliki tiga atau lebih perawi di setiap
tingkat.
b) 'Aziz (bernilai): Sebuah riwayat yang memiliki setidaknya dua perawi di setiap tingkat.
c) Gharib (asing): Sebuah riwayat yang memiliki perawi tunggal pada titik manapun dalam
isnaad setelah sahabat.71
Mashur selanjutnya dijelaskan sebagai hadits yang pada awalnya dilaporkan oleh satu atau
lebih sahabat namun kemudian menjadi dikenal dan diriwayatkan oleh orang-orang yang
jumlahnya tidak terbatas. Penyebaran riwayat harus telah terjadi pada generasi pertama atau
kedua (yaitu pada masa sahabat dan tabi’in) setelah kematian Nabi.
Bagi Abu Hanifah dan para pengikutnya, hadits mashur memberi pengetahuan positif,
meski tingkat kepastiannya lebih rendah daripada hadits mutawaatir. Namun mayoritas ahli
fiqih lainnya menganggap mashur dimasukkan dalam kategori aahad hanya memberikan
pengetahuan spekulatif. Menurut pengikut Hanafi, beramal berdasarkan mashur adalah wajib
tapi menyangkalnya tidak menyebabkan kekafiran.72
Sehubungan dengan penggunaan hadits aahad sebagai dalil, Abu Hanifah
menambahkan syarat bahwa amalan perawi tidak boleh bertentangan dengan periwayatannya.
Atas dasar prinsip ini, Abu Hanifah menolak hadits Abu Hurairah dimana dia mengutip Nabi
mengatakan, "Jika anjing menjilat dalam bejana maka cucilah sebanyak 7 kali, berilah pasir
pada yang kedelapan"." 73 Karena persyaratan mencuci biasanya tiga kali, riwayat tersebut
dianggap lemah, termasuk penisbatannya kepada Abu Hurayrah. 74 Di sisi lain, mayoritas
ulama berpendapat bahwa perbedaan antara amalan dan riwayat perawi mungkin karena lupa

68
Syawkanii, Irshaad, hal. 47; Abu Zahrah, Usool, hal. 85
69
Abuu Zahrah, Usool, hal. 85. Sedangkan hadits Ahaad mengenai masalah tambahan yang tidak esensial untuk
keyakinan seperti siksa kubur, dll, ini harus diterima dan diimani. Siapa pun yang menolaknya adalah pendosa
namun bukan kafir, karena dia menolak sesuatu yang tidak terbukti secara meyakinkan (Kamali, hal. 85)
70
Badraan, Usool, hal. 91; Khudari, Usool, hal. 227
71
Studies in Hadits Methodology, hal. 43
72
Abu Zahrah, Usool, hal. 84; Badraan, Usool, hal. 85
73
Sahih Muslim, hal. 41 no. 119
74
Abu Zahrah, Usool, hal. 85

46
© Islamic Online University Hadits 101

atau faktor lain yang tidak diketahui. Perbedaan ini tidak dengan sendirinya memberikan
bukti konklusif untuk menganggap riwayat tersebut tidak terpercaya.
Ulama Fiqih Hanafi lebih lanjut mensyaratkan bahwa pokok bahasan aahad bukan
sesuatu yang mengharuskan diketahui oleh sejumlah besar orang. Akibatnya, mereka menolak
hadits “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu,” 75 dengan
argumen bahwa jika hadits itu shahih; ia akan menjadi praktik yang mapan di kalangan
seluruh Islam, dimana kasusnya tidak demikian. Namun, mayoritas ulama fiqih, tidak
bersikeras pada persyaratan ini atas dasar analisis bahwa orang-orang yang menjadi saksi atau
mengamati sebuah kejadian tidak harus meriwayatkannya. Sebagai contoh, diketahui ribuan
orang yang tak terhitung jumlahnya melihat Nabi melaksanakan ibadah haji, namun tidak
banyak yang meriwayatkan pengamatan mereka.76
Pengikut Hanafi juga berpendapat bahwa ketika seorang perawi hadits aahad bukanlah
seorang ahli hukum (faqih), riwayatnya diterima hanya jika bersesuaian dengan qiyaas, jika
tidak, qiyaas akan diprioritaskan dibandingkan hadits aahad dan sebaliknya, jika dia seorang
ahli hukum, riwayatnya akan lebih diutamakan daripada qiyaas. Sebagai hasilnya, ulama fiqih
Hanafi menolak hadits musarraat, yaitu binatang yang susunya tidak diambil sehingga terlihat
gemuk untuk membuat pembeli terkesan. Nabi berkata, "Janganlah kalian menahan susu unta
dan kambing (agar kelihatan gemuk). Barangsiapa membeli binatang tersebut dan setelah
diperah susunya (ternyata kelihatan tidak gemuk), maka ia boleh memilih dua pilihan yang
terbaik, ia boleh memilikinya atau mengembalikannya dengan tambahan kurma satu sha’. "77
Ulama fiqih Hanafi menganggap hadits ini bertentangan dengan qiyaas tentang aturan
kesetaraan antara jaminan dan kerugian, karena sha' kurma mungkin tidak sama nilainya
dengan jumlah susu yang dikonsumsi pembeli. Di sisi lain mayoritas ulama, termasuk Maalik,
asy-Syafi’i, Ibn Hanbal, dan murid Abu Hanifah (Abu Yusuf dan Dzufar), menerima hadits
tersebut dan mengutamakannya atas qiyaas.
Imaam Maalik akan menggunakan hadits aahad dengan syarat bahwa hal ini tidak
bertentangan dengan amalan penduduk Madinah karena dia menganggap praktik standar
penduduk Madinah lebih mewakili amalan Nabi daripada riwayat dari satu atau dua individu.
Menurutnya, perilaku penduduk Madinah mewakili riwayat ribuan orang yang tak terhitung
jumlahnya dari Nabi. Dengan kata lain, setara dengan hadits mashur atau mutawaatir.
Akibatnya, ulama fiqih Maaliki menolak pilihan pembatalan (khiyaar Al-majlis) yang
menyatakan bahwa ‘Bila dua orang saling berjual beli, maka masing-masing dari keduanya
memiliki hak pilih selama keduanya belum berpisah dan masih bersama-sama,'78 karena ini
bertentangan dengan praktik penduduk Madinah.79
Pernyataan bahwa hadits aahad tidak dapat diterima dalam masalah 'Aqidah namun
diterima dalam masalah Hukum dan Perintah Allah membedakan antara masalah' Aqidah dan
Hukum. Namun, perbedaan ini tidak ditemukan dalam Al-Qur'an atau Sunnah. Aayaat dan
Hadits mengandung masalah kepercayaan, bersamaan dengan masalah Hukum dan Syari’ah

75
Misykat, 1, hal. 104, no. 319
76
Hitu, Wajiz, hal. 302; Badraan, Usool, hal. 97-8
77
Sahih Muslim, hal. 248, no. 928
78
Ibid, hal. 251, no. 944
79
Syafi’I, ar-Risaalah, hal. 140; Abu Zahrah, Usool, hal. 85

47
© Islamic Online University Hadits 101

(Fiqih Islam). Teks-teks ini mewajibkan umat Islam mematuhi Rasul. Ketaatan ini tidak
diragukan lagi, terkandung dalam ayat Al-Qur'an: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mu’min dan tidak [pula] bagi wanita yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan [yang lain] tentang urusan
mereka." [33: 36]
Ayat ini dan banyak lainnya yang serupa menegaskan kewajiban mematuhi Rasul dan
mengikutinya dalam masalah kepercayaan dan hokum-hukum. Juga, Allah berfirman, "Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia." [59: 7]. "Apapun" berarti segalanya.
Bukti yang digunakan oleh mereka yang menerima hadits aahad dalam masalah Hukum
adalah ayat dan hadits yang sama. Ada banyak ayat lainnya, yang semuanya disebutkan oleh
Imaam Asy-Syaafi'i dalam bukunya, Ar-Risaalah. Perbedaan antara 'Aqidah dan Hukum tidak
memiliki bukti yang jelas untuk mendukungnya. Tidak memiliki bukti membuatnya salah,
dan apa yang salah pada esensi dan permulaannya hanya bisa menghasilkan akhir yang salah.
Mereka yang membedakan antara 'Aqidah dan Hukum mendasarkan 'Aqidah mereka
pada keraguan berikut: Mereka mengklaim bahwa hadits aahad hanya menghasilkan Dzonn
(pengetahuan yang spekulatif). Mereka mengonfirmasi bahwa Dzonn adalah raajih (lebih
mendekati kepastian daripada kepalsuan), yang harus dipatuhi dalam masalah Hukum, seperti
yang disepakati oleh seluruh ulama. Namun, mereka mengklaim bahwa Dzonn raajih ini tidak
boleh diterima dalam masalah 'Aqidah, kepercayaan dan yang ghaib. Ayat-ayat berikut
biasanya dikutip sebagai dalil pembedaan ini: "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka," [53:23] dan,
"Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran"[10:36].
Mereka menggunakan ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain sebagai bukti, dimana Allah mengkritik
orang-orang kafir karena mengikuti dugaan dan terkaan. Orang-orang ini telah mengabaikan
fakta bahwa dzonn yang ditolak dalam ayat-ayat ini, bukanlah dzonn raajih dari hadits aahad,
yang diterima oleh para ulama. Dzonn yang disebutkan dalam ayat di atas, adalah keraguan
yang dibangun atas dugaan dan terkaan. Al-Lisaan dan An-Nihaayah, kedua kamus bahasa
Arab memberikan arti berikut ini untuk Dzonn jenis ini: Sebuah keraguan yang timbul di
dalam dirimu, kemudian engkau menganggapnya sebagai sebuah kepastian dan merujuk
kepadanya untuk keputusan." Inilah dzonn yang Allah mengkritik orang-orang kafir karena
mempercayainya. Apa yang mendukung makna ini adalah ayat Al-Qur'an: "Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta [terhadap
Allah]." [6: 116] Allah berkata bahwa dzonn yang ditolak ini dibangun berdasarkan dugaan
dan keraguan.
Jika dzonn yang ditolak pada ayat-ayat di atas adalah dzonn raajih, seperti beberapa
klaim, maka kita tidak boleh menerima dzonn ini dalam masalah Hukum juga karena dua
alasan berikut:
Pertama: Allah mengkritik dengan keras orang-orang kafir karena bergantung pada
dzonn dalam semua masalah dan tidak membedakan antara 'Aqidah dan hukum-hukum.
Kedua: Allah secara khusus menyebutkan, dalam beberapa ayat, bahwa dzonn yang
Dia mengkritik orang-orang kafir adalah dalam urusan Hukum juga. Misalnya: " Orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami
dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak [pula] kami mengharamkan
barang sesuatu apa pun". Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah

48
© Islamic Online University Hadits 101

mendustakan [para rasul] sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: "Adakah
kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada
Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya
berdusta. "[6: 148].
Yang menjelaskan lebih lanjut ayat Quran ini adalah,: "Katakanlah: "Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, [mengharamkan]
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
[mengharamkan] mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui" "[7: 3 3].
Ayat-ayat ini mengkonfirmasi bahwa dzonn yang ditolak adalah dzonn yang secara linguistik
berarti keraguan, terkaan, dugaan dan ucapan yang tidak berdasarkan pengetahuan. Menurut
ayat-ayat di atas, jenis dzonn ini ditolak dalam masalah kepercayaan dan hukum, tidak ada
perbedaan di antara keduanya. Jika demikian, maka poin berikut ini harus diterima: Semua
ayat dan hadits di atas yang mewajibkan kita untuk menerima hadits aahad dalam masalah
Hukum, juga mewajibkan kita untuk menerimanya dalam masalah 'Aqidah. Membedakan
antara masalah 'Aqidah dan Hukum, berkaitan dengan menerima hadits aahad dalam salah
satu subjek di antara keduanya, adalah filosofi yang asing bagi Islam. Generasi shalih
terdahulu (salaf), termasuk empat imam yang diikuti banyak umat Islam saat ini, tidak tahu,
dan juga tidak menyetujui filosofi asing semacam ini.
Klaim bahwa 'Aqidah tidak dapat diambil dari hadits aahad itu sendiri adalah sebuah'
Aqidah yang harus menghadirkan bukti yang tegas dan tak terbantahkan untuk keabsahan
klaim mereka, jika tidak, mereka hanya akan menyelisihi diri mereka sendiri. Mereka tidak
dapat menghasilkan bukti semacam itu karena mereka telah membangun klaim mereka atas
dzonn keraguan dan dugaan, yang ditolak dalam masalah Hukum, dan terlebih lagi dalam
masalah 'Aqidah. Mereka telah menjadi korban pada apa yang lebih buruk dari yang mereka
ingin hindari, yaitu dzonn raajih, dengan mengikuti dzonn marjuh (dzonn yang tertolak),
"Maka ambillah [kejadian itu] untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan." [59: 2]. Mereka sampai pada akhir yang seperti ini karena mereka menolak
cahaya dan tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah dan memilih mengikuti pendapat dan pemikiran
manusia.

Dalil Menerima hadits aahad dalam Masalah Aqidah


Ada bukti lain yang secara khusus menjadikan wajib menerima hadits aahad dalam 'Aqidah.
Pertama: Allah berfirman, "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi
semuanya [ke medan perang]. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya." [9: 122].
Dalam ayat ini Allah mendorong orang-orang beriman agar sekelompok dari mereka tinggal
bersama Nabi untuk mempelajari agama mereka dari beliau. Tidak ada keraguan bahwa
peraturan ini berlaku tidak hanya dalam masalah Hukum dan Perintah, tetapi juga berlaku
untuk masalah 'Aqidah. Tidak ada keraguan bahwa guru dan muridnya harus mulai mengajar,
atau belajar, bagian yang paling penting kemudian apa yang kurang penting. Tidak ada

49
© Islamic Online University Hadits 101

keraguan, sekali lagi, bahwa masalah 'Aqidah (kepercayaan dan yang ghaib) lebih penting
daripada masalah Hukum dan Perintah Allah. Sehingga, Allah mendorong kelompok ini, dari
kalangan kaum mukminin, untuk mempelajari agama, dalam masalah 'Akidah dan Hukum.
Juga, Dia memerintahkan mereka untuk memperingatkan kaum mereka ketika kaum mereka
kembali kepada mereka, mengajarkan kaum mereka masalah 'Aqidah dan Hukum. Jika
masalah 'Aqidah, beserta masalah Hukum, tidak dapat diambil dari hadits aahad (yaitu, hadits
yang diriwayatkan oleh sedikit orang saleh), lalu mengapa Allah mendorong kelompok
(individu) tersebut untuk memperingatkan umat mereka? Ayat Quran ini jelas menunjukkan
bahwa pengetahuan dapat dicapai melalui peringatan kelompok tersebut kepada kaum-kaum
mereka. Oleh karena itu, ayat Al-Qur'an yang disebutkan di atas [9: 122] dengan jelas
menunjukkan bahwa hadits ahad harus diterima dalam masalah aqidah (kepercayaan) dan
fiqih (hukum).
Kedua: Allah berfirman, "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya." [17:36]. Telah banyak diketahui bahwa umat Islam,
sejak masa sahabat, mengikuti dan menerima hadits aahad dalam Hukum dan masalah
'Aqidah dan yang ghaib, seperti ciptaan, tanda-tanda Hari Kiamat, dan sifat-sifat Allah, dll.
Jika hadits aahad ini tidak dapat diterima dengan yakin dalam masalah aqidah dan yang ghaib,
maka para sahabat, Taabi'un (generasi kedua Islam) dan semua Imam Islam telah mengikuti
sesuatu yang mereka tidak memiliki pengetahuan tentangnya, seperti perkataan Imam Ibn
AlQayyim. "Tidak ada Muslim sejati yang bisa mengucapkan omong kosong seperti itu."
Ketiga: Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti,. "[49: 6]. Ayat Al-Qur'an ini
menggunakan kata "Tabayyanu”, dan cara lain untuk membacanya "Tathabbatu”, yang
keduanya berarti "memverifikasi (memeriksa kebenarannya)”. Ayat Al-Qur'an ini berarti
bahwa jika seorang Muslim yang jujur menceritakan sebuah riwayat, maka berita tersebut
harus diterima dengan kepastian, Tathabbut (memverifikasi) dalam kasus ini tidak diwajibkan
bagi umat Islam, tapi, harus diterima seketika itu juga. Itulah sebabnya mengapa Ibnul
Qayyim berkata: "Ayat Al-Qur'an ini berarti bahwa riwayat aahad (diriwayatkan oleh satu
atau beberapa orang saleh) harus diterima tanpa perlu verifikasi. Jika riwayat ini tidak
mengarah pada kepastian, maka verifikasi akan diperintahkan sampai terdapat kepastian.
Yang membuktikan makna ini, adalah bahwa para Salaf dan Imam Islam dahulu selalu
mengatakan: Rasulullah (‫ )ﷺ‬mengatakan, melakukan, memerintahkan atau melarang ini dan
itu.' Ini sangat dikenal dalam pidato mereka. Seseorang membaca di Sahih Al-Bukhari (kitab
Hadits yang paling benar setelah Kitab Allah): Rasulullah berkata (dengan pasti, jika tidak dia
akan berkata: "Diriwayatkan telah mengatakan) ... dalam banyak kesempatan.' Banyak hadits
oleh para sahabat telah mengatakan hal berikut: Rasulullah berkata ... '. Dia (sahabat dan
perawi Hadits) hanya mendengarnya dari sahabat lain (tidak secara langsung dari Nabi).
Perkataan ini, ("Nabi berkata...), adalah sebuah kesaksian, dari perawi, bahwa dia menerima,
dengan yakin, bahwa Rasulullah (‫ )ﷺ‬melakukan atau mengatakan apa yang dikatakannya
(riwayat aahad atau hadits). Jika riwayat aahad tidak mengarah pada keyakinan, maka dia
(sahabat atau perawi) telah mengikuti yang dia tidak memiliki pengetahuan tentangnya dan
menggunakannya sebagai dalil yang berasal dari Rasulullah. '[I'lam Al-Muwaqqi'in].
Keempat: Sunnah Rasul dan sahabat-sahabatnya mengkonfirmasi bahwa riwayat
aahad diterima dalam masalah 'Aqidah. Sunnah Rasul dan sahabat-sahabatnya, selama masa

50
© Islamic Online University Hadits 101

hidup Rasul dan setelah kematiannya, dengan tegas menegaskan bahwa tidak ada perbedaan
antara 'Aqidah dan Hukum, jika keduanya diriwayatkan oleh hadits aahad. Sunnah
menegaskan bahwa hadits aahad adalah dalil itu sendiri dalam semua masalah ini (aqidah dan
hukum). Berikut adalah beberapa hadits yang benar untuk mendukung hal di atas:
Imam Al-Bukhari berkata: "Bab: Menerima riwayat aahad dari seorang pria yang
terpercaya dalam Adzan (panggilan shalat), Shalat, Puasa, Warisan dan Hukum-hukum, dan
Allah berfirman:" Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya [ke
medan perang]. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap tai’fah (golongan) di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya. [9: 122].
Seorang pria dapat disebut Tai'fah karena Allah berkata, yang artinya: "Dan jika ada
dua Tai'fah (golongan) dari orang-orang mu’min berperang...” [49: 9].
Jika dua orang saling bertempur, maka mereka juga dimaksudkan oleh ayat Al-Qur'an ini.
Juga, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti”. Nabi mengutus Amir (gubernur provinsi atau
pemimpin militer) satu demi satu. Jika salah satu dari mereka melupakan Sunnah tersebut, dia
akan diingatkan tentangnya (dan harus menerimanya tanpa verifikasi).
Setelah itu, Al-Bukhari meriwayatkan banyak hadits untuk mendukung apa yang
disebutkannya tentang menerima riwayat aahad. Dia ingin membuktikan bahwa riwayat aahad
harus dipatuhi dan diterima dengan pasti, berikut adalah beberapa hadits yang diikuti oleh
penjelasan saya:
1. - Malik Ibnul Huwairits mengabarkan, “Kami mendatangi Rasulullah (‫ )ﷺ‬dan
ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Lalu kami tinggal bersama beliau di
Kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau (‫ )ﷺ‬adalah seorang yang
penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah
merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya
tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya
beliau (‫ )ﷺ‬bersabda,: “Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka
dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.”.
Rasul memerintahkan masing-masing pemuda ini untuk mengajari keluarganya.
Pengajaran mengandung masalah kepercayaan. Yang pertama dari apa yang terkandung
dalam makna pengajaran pastilah tentang 'Aqidah. Jika riwayat aahad tidak diterima, maka
perintah Nabi ini akan menjadi kosong maknanya.
2. - Anas Ibn Malik mengatakan bahwa orang-orang Yaman datang kepada
Rasulullah (‫ )ﷺ‬berkata: " Utuslah bersama kami seorang laki-laki terpercaya. Jangan
engkau utus kecuali orang terpercaya. Maka Rasulullah mengambil tangan kanan Abu
Ubaidah dan memberinya sebuah julukan di depan khalayak ramai,: "Orang ini (Abu
Ubaidah) adalah kepercayaan umat ini. [Diriwayatkan oleh Muslim, dan Al-Bukhari
meriwayatkan sebagian darinya].
Jika riwayat aahad tidak diterima dengan yakin, maka Nabi tidak akan mengirim Abu
Ubaidah sendirian ke Yaman. Hal yang sama dapat dikatakan tentang Nabi mengutus sahabat-
sahabat lain, seperti Ali, Mu'adz dan Abu Musa Al-Asy'ari, pada kesempatan lain, ke Yaman
dan provinsi-provinsi lainnya. Tidak ada keraguan bahwa utusan Nabi mengajarkan, mereka

51
© Islamic Online University Hadits 101

yang menerimanya, 'Aqidah, di antara masalah-masalah lain tentang agama. Jika riwayat
mereka tidak diterima dan bukan merupakan bukti terhadap orang-orang yang menerima
kedatangan sahabat-sahabat ini, maka Nabi tidak akan mengirim mereka satu per satu, karena
ini akan menjadi usaha sia-sia. Rasulullah tidak akan pernah terjatuh dalam masalah ini.
Inilah yang dimaksud oleh Imam Asy-Syafi'i saat dia berkata, dalam bukunya, Ar-Risalah:
"Nabi tidak akan mengutus siapa pun membawa perintahnya, kecuali jika riwayat utusan
tersebut (diutus dengan satu atau sedikit rekannya) adalah sebuah bukti yang pasti baik untuk
atau terhadap orang-orang yang menerimanya. Dia (Rasul) bisa saja mengutus mereka (untuk
datang kepadanya) untuk langsung berbicara kepada mereka. Atau beliau bisa saja mengirim
banyak sahabat. Namun, beliau mengutus kepada mereka seseorang yang diketahui
kejujurannya.
3. - Abdullah Ibn Umar berkata: " Ketika jama’ah kaum Muslimin sedang
menunaikan shalat Shubuh di Quba’, tiba-tiba ada seorang shahabat mendatangi mereka, lalu
mengatakan: “Allah Azza wa Jalla telah menurunkan sebuah ayat kepada Nabi-Nya agar
menghadap Ka’bah, maka hendaklah kalian menghadap Ka’bah!” Lantas mereka semua
berpaling menghadap ke arah Ka’bah. [Al-Bukhari & Muslim].
Hadits ini adalah seorang Nash (teks) bahwa para sahabat menerima riwayat aahad
yang membatalkan menghadap ke Yerusalem ketika sholat. Mereka berhenti menghadap
Yerusalem dalam shalat dan menghadap Ka'bah untuk riwayat aahad ini. Jika riwayat aahad
tidak diterima dengan yakin oleh mereka, lalu mengapa mereka melanggar apa yang mereka
ketahui dengan pasti tentang kiblat (arah shalat) pertama mereka? Ibnul Qayyim berkata:
"Dan Rasulullah (‫ )ﷺ‬tidak mengkritik mereka. Sebaliknya, mereka dipuji atas tindakan ini.
4. - Sai'd Ibn Jubair mengatakan bahwa dia berkata kepada Ibnu Abbas: "Nawf Al-
Bakkali mengklaim bahwa Musa yang mengikuti Al-Khidhr bukanlah Musa dari Bani Israel.
Ibn Abbas berkata: "Musuh Allah telah melakukannya Ubai Ibn Kaa'b mengatakan kepada
saya bahwa Rasulullah (‫ )ﷺ‬bersabda ... dan dia menyebutkan Hadits Musa dan Al Khidhr
yang membuktikan bahwa Musa (yang dikirim kepada Bani Israel) adalah Musa yang
menemani Al-Khidhr. [Al-Bukhari, Muslim & Ash-Syafi'i].
Asy-Syafi'i berkata: "Ibnu Abbas, orang yang berpengetahuan dan saleh sepertinya,
menerima riwayat Ubay Ibn Kaa'b dari Rasulullah. Dia bahkan menyebut seorang Muslim
"pembohong”. Karena Ubay Ibn Kaa'b menceritakan kepadanya tentang Nabi yang dengan
jelas menunjukkan bahwa Musa, yang diutus kepada Bani Israel, adalah orang yang sama
yang mengikuti Al-Khidhr.
Perkataan di atas oleh Imam Asy-Syafi'i adalah bukti bahwa dia tidak membedakan
antara 'Aqidah dan Hukum berkaitan dengan riwayat aahad. Untuk memutuskan apakah Musa,
(dari Bani Israel), adalah yang bersama Al-Khidhr atau tidak, adalah masalah ghaib dan bukan
masalah Hukum dan ibadah, seperti telah jelas. Yang membuktikan kesimpulan ini lebih
lanjut, adalah bahwa Ash-Syafi'i menyertakan sebuah bab penting dalam bukunya, Ar-Risalah,
pada, "Bab: Dalil Keharusan Menerima Riwayat aahad”. Dalam bab ini, dia menyebutkan
banyak dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah. Dalil-dalil ini bersifat umum maknanya, dan
mengkonfirmasi bahwa riwayat aahad harus diterima dalam masalah 'Aqidah juga. Juga,
penjelasan Imam Syafi’i tentang dalil-dalil ini bersifat umum dan mengandung penerimaan
terhadap hadits aahad dalam masalah 'Aqidah. Dia mengakhiri bab ini sebagai berikut:
"Terdapat banyak hadits berkaitan dengan menerima riwayat aahad. Kami menyebutkan

52
© Islamic Online University Hadits 101

cukup dalil untuknya. Inilah jalan Salaf (pendahulu) kita, dan generasi yang mengikutinya,
sampai generasi yang telah Kami saksikan. Inilah jalannya (yang benar). Dan juga inilah yang
telah diriwayatkan kepada kami tentang orang-orang berilmu di negara lain." Kata-kata ini
memiliki arti umum yang mencakup menerima riwayat aahad dalam masalah-masalah
'Aqidah.
Ash-Syafi'i juga mengatakan: "Jika seseorang diizinkan untuk mengatakan bahwa
semua Muslim, yang telah lalu dan yang baru, telah sepakat untuk menerima riwayat aahad
dan mematuhiinya, mengatakan bahwa tidak ada satu pun ulama yang tidak menerimanya
(riwayat aahad), saya akan menjadi orang itu. Namun, saya katakan: Saya tidak mengetahui
adanya ulama yang menyelisihi dalam hal menerima riwayat aahad '.

Mengabaikan Hadits aahad Dalam Masalah 'Aqidah adalah


Bid'ah
Nash-nash (teks) Al-Qur'an dan Sunnah, jalan para sahabat dan ucapan para ulama adalah
bukti yang jelas tentang perlunya menerima hadits aahad dalam semua masalah agama, baik
masalah Hukum ataupun 'Aqidah. Membedakan antara keduanya adalah bid’ah (inovasi) yang
tidak dikenal oleh para Salaf. Itulah sebabnya mengapa Ibnul Qayyim berkata: "Pembedaan
ini adalah salah, menurut ijma’ umat (kaum Muslimin). Umat ini dahulu menerima, dan masih
menerima, hadits ini dalam masalah pengetahuan tentang hal-hal ghaib (masalah 'Aqidah),
sama seperti menerima dalam masalah Hukum dan Ibadah. Ini karena bahkan masalah hukum
memuat riwayat tentang Allah bahwa Dia memerintahkan ini dan itu, mewajibkan dan
menerimanya sebagai kebutuhan agama. Hukum dan Agama-Nya adalah cerminan Nama dan
Sifat-sifat-Nya. Para sahabat, At-Tabi'in, yang mengikuti mereka dan mengikuti Hadits dan
Sunnah, semua menerima riwayat-riwayat ini dalam sifat-sifat (Allah), takdir, Nama (Allah)
dan Hukum-hukum. Belum pernah diriwayatkan satu pun dari mereka, bahwa mereka
menerimanya (hadits ahad) dalam masalah Hukum dan bukan dalam masalah Allah, Nama-
nama-Nya atau Sifat-sifatNya. Oleh karena itu, dimanakah Salaf (pendahulu) orang-orang
yang membedakan antara keduanya ('Aqidah dan Hukum)? Ya, memang benar. Salaf
(pendahulu) mereka adalah beberapa Ahlul Kalam dari generasi kemudian. Merekalah orang-
orang yang tidak tertarik dengan apa yang Allah, Rasul-Nya dan para sahabatnya katakan.
Mereka menghalangi hati untuk mengikuti petunjuk dalam masalah tersebut, yang ditemukan
dalam Al Qur'an, Sunnah dan ucapan para Sahabat. Mereka menyebut ucapan Ahlu A1-
Kalam dan peraturan orang-orang yang berusaha memperumit masalah. Mereka adalah satu-
satunya yang diketahui membedakan dua hal ini ('Aqidah dan Hukum). Mereka telah
mengklaim Ijmaa' (kesepakatan para ulama) mengenai peraturan ini. Namun, apa yang
mereka klaim sebagai Ijmaa 'tidak tercatat dari Imam Muslim yang manapun. Juga tidak
tercatat tentang para sahabat atau Tabi'in. Kami menuntut dari mereka diferensiasi yang valid,
dengan dalil, antara apa yang dapat atau tidak dapat diterima dari riwayat aahad dalam
masalah agama. Namun, mereka tidak akan pernah menemukan apa yang memvalidasi
pembedaan mereka antara 'Aqidah dan Hukum. Mereka hanya akan menemukan klaim palsu.
Beberapa dari mereka mengatakan: Masalah utama adalah masalah yang ghaib ('Aqidah), dan
masalah minor adalah masalah Hukum. Ini sungguh adalah klaim palsu. Dua hal mendasar
diperlukan dalam masalah Hukum: Pengetahuan (yang Allah Wahyukan dan mewajibkan

53
© Islamic Online University Hadits 101

hukumnya) dan kepatuhan. Dasar yang sama, pengetahuan dan ketaatan, diperlukan untuk
masalah yang ghaib. Ketaatan (dalam hal yang tak terlihat) dapat diperoleh dengan cinta, atau
kebencian, yang dirasakan oleh hati. Hati harus merasakan cinta akan kebenaran bahwa hal ini
terkandung di dalamnya (riwayat mengenai yang ghaib), dan kebencian akan kesesatan yang
menyangkal apa yang dikandungnya. Amalan tidak hanya memerlukan anggota badan.
Sebaliknya, amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh mengikuti amalan yang dilakukan
oleh hati. Ia (amalan hati) adalah dasar tindakan yang dilakukan oleh anggota tubuh. Semua
masalah yang ghaib memerlukan keyakinan, penerimaan dan cinta yang dirasakan di hati
(untuk masalah yang ghaib). Ini adalah amalan (yang dilakukan dalam hati). Ini adalah dasar
dari semua amalan. Ini adalah dasar yang banyak diabaikan Ahlul Kalam, mengenai masalah
keyakinan. Mereka menganggap keyakinan hanyalah masalah penerimaan bukan masalah
amalan!
Kesalahan di atas adalah kesalahan besar. Banyak orang kafir percaya bahwa Nabi
orang yang jujur dan mereka tidak meragukan fakta ini. Namun keyakinan ini, tidak dibarengi
dengan amalan yang harus dilakukan oleh hati: Mencintai apa yang dia (Rasul) diutus
dengannya, menerima, menyetujui dan memberi kesetiaan kepadanya, dan ketidaksetiaan
terhadap orang-orang yang menentangnya. Jangan abaikan hal ini karena hal ini sangat
penting dan, dengan mengetahuinya, Anda akan memahami esensi Iman (keyakinan).
Semua masalah keyakinan mengandung tindakan, dan semua masalah amalan
mengandung keyakinan. Pembuat hukum (Allah) tidak hanya mengharuskan melakukan
amalan-amalan, tanpa keyakinan. Dan Dia juga tidak mengharuskan hanya meyakini masalah
yang ghaib, tanpa amalan.
Yang dapat kami pahami dari apa yang telah dijelaskan oleh Ibnul Qayyim di atas,
adalah bahwa pembedaan antara 'Aqidah dan Hukum adalah salah berdasarkan Ijmaa'. Ini
karena pembedaan ini bertentangan dengan jalan Salaf dan makna dalil-dalil yang kita
sebutkan sebelumnya. Hal ini juga salah karena mereka yang menggunakan metode ini
(membedakan antara 'Aqidah dan Hukum) tidak berpikir bahwa keyakinan terhubung dengan
amalan dan amalan tidak terkait dengan keyakinan. Ini adalah masalah yang sangat penting
yang membantu mukmin untuk memahami dengan jelas subjek ini dengan yakin, dan untuk
membantah pembedaan (antara 'Aqidah dan Hukum) yang telah kami jelaskan di atas.

Banyak Hadits Ahad yang mengarah kepada kepastian dan


bukan hanya dzonn raajih
Apa yang telah kami jelaskan di atas, mengenai kesalahan dalam pembedaan antara 'Aqidah
dan Hukum sehubungan dengan hadits aahad, semuanya dibangun atas asumsi bahwa hadits
aahad hanya mengarah pada dzonn Rajih, dan bahwa mereka tidak mengarah pada kepastian
mengenai keabsahannya. Ini tidak benar untuk semua kasus tentang hadits aahad. Masalah ini
juga dijelaskan, secara rinci dalam buku-buku lain. Namun apa yang berfaedah untuk
dikatakan di sini, adalah bahwa banyak hadits aahad memang mengarah kepada kepastian
dalam banyak kasus. Sebagai contoh: Umat menerima hadits ahad tertentu, termasuk hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim yang tidak diperdebatkan oleh ulama Hadits
lainnya. Hadits-hadits ini mengarah pada kepastian dalam kebenaran dan pengetahuan mereka
tentang keabsahannya. Hal ini ditegaskan oleh perkataan Imam Ibn As-Salah, dalam bukunya,

54
© Islamic Online University Hadits 101

UIum Al-Hadits karya Ibn Kathir, yang merangkum Ulum Al-Hadits karya Imam Ibn
Taimiyah dan oleh muridnya Ibnul Qayyim, dalam bukunya, Mukhtasar As-Sawa'ig. Ibnul
Qayyim menyebutkan banyak hadits sebagai contoh untuk fakta ini, seperti Hadits Umar:
"sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya,” dan “Jika seseorang duduk di antara
empat anggota tubuh wanita (menindihnya) kemudian menggaulinya, maka ia wajib mandi.”
Juga, dia menyebutkan Hadits oleh Ibn Umar: "Rasulullah telah mewajibkan zakat fithri
sebanyak satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum. Kewajiban itu dikenakan kepada budak,
orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan orang tua dari kalangan umat Islam,” dan hadits
lainnya yang berhubungan dengan Nabi.
Ibnu Al-Qayyim berkata: "Syaikh Al-Islami Ibn Taimiyah berkata: Ini (hadits)
mengarah pada kepastian menurut mayoritas umat Muhammad, yang dahulu maupun yang
baru. Sedangkan para Salaf, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam hal ini.
Sedangkan Khalaf (generasi selanjutnya), ini adalah jalan para ulama besar Fiqih (Hukum
Islam) dan pengikut empat imam. Masalah ini dapat ditemukan dalam kitab Fiqih menurut
(madzhab) Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Contohnya adalah Imam Surkhusi dan Abu
Bakr Ar-Razi, dari Madzhab Hanafi; Abu Hamid, Abu AtTayyib dan Abu Is'haq, dari
madzhab Syafi'i; Ibn Khuwaiz Mindad dan Ulama Maliki lainnya, qadhi Abu Ya'ala, Ibn Abu
Musa, Ibnul Khattab dan ulama Hanbali lainnya; Abu Is'haq Al-Isfiraiini, Ibn Fawrak dan
Abu Ishaq An-Nath-tham dari Ahlul Kalam. Ibn As-Salah menyebutkan fakta ini (bahwa
banyak hadits aahaad mengarah pada kepastian). Dia menerima dan menyetujuinya. Namun,
dia tidak tahu berapa banyak ulama lainnya yang menerimanya, untuk merasa diperkuat
dengan kesepakatan mereka dengannya. Dia hanya mengatakannya karena pemikiran dan
bukti yang benar membawanya pada fakta ini. Beberapa dari mereka yang memiliki beberapa
ilmu dan baik agamanya, namun memiliki sedikit pengalaman dalam masalah ini (hadits
ahad), menentangnya, berpikir bahwa Ibnu As-Salah sendirilah yang menyebutkan fakta ini.
Dalih mereka atas kesalahan ini adalah bahwa mereka merujuk, dalam hal ini, pada apa yang
dapat mereka temukan dari ucapan Ibn Al-Hajib. Jika mereka mengambil rujukan lebih tinggi,
mereka akan merujuk kepada As-Saif Al-Amidi dan Ibnul Khatib. Jika mengambil rujukan
lebih tinggi lagi, mereka merujuk pada Al Ghazali, Al-Juwaini dan Al-Baqillani (semua
pengikut Ahlu AlKalam).' Dia (Ibnu Taimiyah) kemudian berkata: Semua ulama Hadits
sepakat dengan Syaikh Abu Amr (Ibn As-Salah). Bukti juga mendukung posisi mereka.
Mereka semua mengatakan bahwa riwayat yang diterima dan diikuti oleh negara adalah
sebuah kebulatan suara oleh umat (bahwa riwayat ini mengarah pada kepastian). Seluruh
umat tidak akan sepakat dalam kesalahan. Hal yang sama dapat dikatakan mengenai hal-hal
lain yang disepakati oleh umat, seperti masalah-masalah yang diwajibkan oleh peraturan
umum agama, makna kata benda tertentu yang digunakan dalam terminologi Islam tampak
jelas (kebalikan dari memiliki makna tersembunyi) dan menerima Qiyas tertentu. Mereka
tidak akan pernah sepakat dalam kesalahan. Jika salah satu daari mereka dievaluasi sendiri,
maka bisa disimpulkan bahwa dia tidak bebas dari kesalahan. Namun, kebebasan dari
kesalahan harus diberikan pada kebulatan suara. Sama saja bagi siapapun yang meriwayatkan
Hadits Mutawatir. Jika masing-masing perawi Hadits Mutawatir ini dievaluasi sendiri, kita
akan mendapati bahwa ia tidak bebas dari kesalahan. Ini tidak berlaku untuk seluruh
kelompok perawi. Umat ini bebas dari kebulatan suara atas kesalahan dalam apa yang
diriwayatkan oleh Hadits tersebut dan apa yang merupakan masalah pendapat.' Kemudian, dia

55
© Islamic Online University Hadits 101

(Ibn Taimiyah) berkata: hadits aahaad mungkin saja dzonn. Jika dzonn ini kuat, maka menjadi
kepastian. Jika dzonn ini lemah, ia menjadi keraguan dan pikiran salah. '
Ibnu Taimiyah juga mengatakan: Ketahuilah bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Al-
Bukhari dan Muslim adalah yang semacam ini (yang mengarah pada kepastian), seperti yang
dikatakan oleh Ibn As-Salah, Abu Tahir As-Salafi dan ulama lainnya. Apapun yang diterima
oleh komunitas ulama Hadits, mengarah pada kepastian dan keyakinan akan
keterpercayaannya. Seseorang tidak perlu menyibukkan diri dengan ucapan Ahlul Kalam.
Apa yang kita anggap sebagai kebulatan suara dalam masalah agama, adalah ketika
para ulama mencapai kebulatan suara. Juga, kebulatan suara yang disetujui dan diterima
dalam masalah Hukum, adalah kebulatan ulama dalam masalah ini, dan bukan dari Ahlul
Kalam, ahli bahasa atau dokter ilmu kesehatan. Kebulatan suara yang menyetujui kebenaran
Hadits, harus merupakan kebulatan Ahlul Hadits, mereka yang berilmu dalam masalah Hadits,
rantai perawi dan kelemahan hadits-hadits. Mereka adalah Ahlul Hadits, orang yang
mengetahui jalan Nabi mereka, yang mencatat ucapan dan tindakannya. Merekalah yang
sangat peduli dengan pengetahuan tentang Sunnah. Yang sebenarnya lebih peduli, tentang hal
ini daripada mereka yang membabi buta mengikuti perkataan orang lain, peduli dengan
ucapan siapa pun yang mereka ikuti.
Pengetahuan tentang Mutawatir terbagi menjadi dua bagian: Yang dikenal oleh para
ulama, dan bagian lainnya adalah pengetahuan umum. Apa yang dianggap sebagai Mutawatir
oleh para ulama, mungkin tidak diketahui orang lain, apalagi mengetahui bahwa itu adalah
Mutawatir. Ahlul Hadits sangat memperhatikan Sunnah Nabi mereka. Mereka mencatat
ucapan, tindakan dan preferensinya dan ini membuat mereka merasa yakin dalam masalah-
masalah ini. Yang lain tidak mengetahui perasaan ini (kepastian dalam Sunnah Nabi yang
dirasakan Ahlul Hadits). [Ibnul Qayyim].

Riwayat Tentang Syariat dan Riwayat dalam Masalah Lain


Ibnul Qayyim berkata: "Mereka yang menolak bahwa riwayat aahaad mengarah pada
kepastian, jatuh dalam kesalahan ini karena mereka bergantung pada Qiyas yang salah.
Mereka menganggap setara riwayat tentang aturan umum Syari'at oleh Rasulullah, atau
sebuah riwayat tentang Sifat-sifat Allah, dan riwayat seseorang dalam masalah tertentu.
Semua ini tidak sama. Mereka yang menceritakan sebuah riwayat kepada Rasulullah, dan
berbohong, dengan sengaja atau karena kesalahan, dan jika apapun yang mereka riwayatkan
tentang kepalsuan tidak diketahui, maka manusia akan jatuh ke dalam kesesatan. Yang sedang
kita bahas di sini adalah masalah sebuah riwayat yang telah diterima, disetujui, dan dipatuhi
oleh umat ini. Mereka mengkonfirmasi, bergantung pada riwayatnya, sifat-sifat dan tindakan
Allah. Yang harus diterima dalam masalah agama tidak bisa salah dengan sendirinya, apalagi
jika umat ini telah menerimanya. Hal yang sama harus dikatakan tentang semua masalah
agama yang harus dipatuhi, bahwa semua masalah agama tersebut harus benar dengan
sendirinya dan sah (karena itu adalah masalah agama yang Allah ingin kita ikuti. Jika mereka
tidak bebas dari kesalahan, maka apa yang harus diikuti oleh umat manusia?). Oleh karena itu,
kita harus menyetujui apa yang dikandungnya dalam masalah-masalah Hukum dan Nama-
nama dan sifat-sifat Allah. Sebaliknya, jika seseorang bersaksi dalam masalah yang
disaksikannya, kesaksiannya mungkin benar atau salah.

56
© Islamic Online University Hadits 101

Terdapat sebuah rahasia dalam hal ini. Riwayat Rasulullah, yang berisi apa yang Allah
inginkan dari umat ini dalam masalah agama dan bagaimana hamba-Nya dapat mengenal-Nya,
dengan mengetahui Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, tidak dapat salah dan tidak benar dengan
sendirinya. Kesemuanya adalah dalil-dalil Allah untuk dan pada hamba-hamba-Nya. Bukti
Allah terhadap hamba-hambanya tidak bisa menjadi palsu dengan sendirinya. Sebaliknya,
dalil-dalil itu harus benar dan shahih. Bukti kebenaran dan kepalsuan tidak setara. Berbohong
tentang Allah, Syari'at dan agama-Nya tidak bisa dicampur aduk dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepada Rasul-Nya dan dijadikan agama yang diterima bagi hamba-hamba-Nya.
Hal ini tidak bisa dicampuradukkan sehingga mengetahui kebenaran dari kepalsuan tidak bisa
dicapai. Perbedaan antara kebenaran dan kepalsuan, ketulusan dan kebohongan, wahyu dari
Setan dan wahyu dari malaikat dari Allah sangat jelas dalam karakteristik sehingga tidak
dapat dicampuradukkan satu sama lain. Allah menampakkan kebenaran dan
menganugerahkan kepadanya cahaya yang serupa dengan cahaya matahari. Cahaya ini
menjadi jelas bagi mereka yang memiliki pikiran yang memperoleh bimbingan yang benar.
Allah telah membuat kepalsuan jelas dalam kegelapannya, serupa dengan kegelapan malam.
Tidak aneh jika orang buta tidak bisa membedakan antara siang dan malam. Tidak
aneh untuk mecampuradukkan kebenaran dan kepalsuan bagi mereka yang memiliki hati yang
sesat. Mu'adz Ibn Jabal berkata: ‘Terimalah kebenaran dari siapa pun yang menyampaikannya
kepadamu karena kebenaran memiliki cahaya.’ Namun, saat hati menjadi gelap, maka
tuntunan tidak dipahami, karena membenci apa yang Rasulullah diutus dengannya. Dan
ketika kegelapan semakin tebal karena bergantung pada hukum manusia, kebenaran akan
tercampur aduk dengan kepalsuan bagi beberapa orang. Mereka berpikir bahwa hadits yang
benar, yang diriwayatkan oleh salah satu orang paling jujur dan shalih dari umat ini, bisa saja
salah! Mereka juga berpikir bahwa hadits palsu, yang sesuai dengan keinginan mereka sendiri,
bisa menjadi benar!
Ibnul Qayyim juga mengatakan: "Ahlul Kalam adalah orang-orang yang lalai dan
dzalim. Mereka menyamakan riwayat oleh As-Siddiq (Abu Bakr), Al-Farouq (Umar) dan
Ubay Ibn Ka'ab dengan riwayat orang awam. Perbedaannya, bagaimanapun, sangat jelas.
Tidak ada kedzaliman melebihi menyamakan, dalam kepastian dan kepercayaan dalam
kebenaran, riwayat seorang sahabat dan riwayat orang biasa. Hal ini serupa dengan
menyamakan mereka dalam masalah ilmu, kesalehan dan kedudukan yang tinggi. "

Kebodohan Di balik Klaim bahwa hadits aahaad tidak mengarah


pada kepastian
Ibnul Qayyim berkata: "Jika mereka berkata: Riwayat Rasulullah (‫ )ﷺ‬dan hadits-hadits tidak
mengarah pada kepastian, maka mereka mengatakan kebenaran tentang diri mereka sendiri.
Mereka tidak menerima hadits-hadits ini dengan yakin. Karenanya, mereka menggambarkan
diri mereka sendiri. Namun, mereka tidak mengatakan yang sebenarnya ketika mereka
mengklaim bahwa Ahlul Hadits dan pengikut Sunnah merasakan hal yang sama. "
Dia juga berkata: "Mereka tidak tahu berbagai jalur sebuah Hadits diriwayatkan, yang
membuat pengikut Sunnah meyakininya. Oleh karena itu, perkataan mereka: 'Kami tidak
merasa yakin tentang kebenarannya,' tidak berlaku untuk orang lain. Ini serupa dengan
mengatakan bahwa penemu, tidak memiliki pengetahuan penuh tentang penemuannya dan

57
© Islamic Online University Hadits 101

tidak menemukannya! Hal ini juga serupa dengan ketika seseorang mengatakan bahwa dia
merasakan sakit, kesenangan, cinta atau kebencian, tapi orang lain menentangnya, mencoba
membuktikan bahwa dia tidak merasakan sakit, kesenangan, cinta atau benci. Dia mencoba
membuat banyak keraguan, seolah mengatakan: 'Saya tidak merasakan apa yang Anda
rasakan, oleh karena itu apa yang Anda rasakan salah karena kami tidak merasakannya!' Ini
adalah kesesatan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, sungguh benar pepatah berikut: Saya katakan pada orang yang
menunjukkan ia menyalahkan (kepada kami) sebagi hadiah, cicipi apa yang kami rasakan
kemudian salahkan kami, jika kau bisa.' Kami menyarankan orang-orang ini untuk
memusatkan perhatian mereka pada apa yang Rasulullah diutus dengannya. Pertahankan, cari
dan kumpulkanlah itu. Pelajari karakter orang-orang yang meriwayatkannya. Dan bila terbukti
benar, jangan menjauhinya untuk hal lain. Jadikan sunnah sebagai tujuan dan keinginan utama
di balik upayamu. Pertahankanlah melebihi yang dilakukan pengikut Madzahib untuk
menjaga Madzahib mereka, yang membuat mereka yakin bahwa madzhab itu benar-benar
Madzhab mereka. Jika seseorang membantah fakta ini (bahwa Madzhab mereka dijaga oleh
mereka) mereka akan menertawakannya. Setelah itu, dan hanya setelah itu, engkau akan tahu:
'Apakah riwayat dari Rasulullah mengarah pada kepastian atau tidak?' Namun, jika engkau
menolaknya (riwayat dari Rasulullah) dan tidak mencari tahu dari mereka, maka mereka tidak
akan membawa engkau kepada kepastian. Bahkan jika engkau mengatakan bahwa mereka
tidak membawamu kepada dzonn, maka engkau benar-benar menggambarkan dirimu sendiri
dan apa yang engkau dapatkan dan manfaatkan darinya (riwayat dari Rasulullah).

Dua Contoh Cara Memperlakukan Hadits


Ini adalah sebuah fakta yang diketahui setiap murid Hadits, mencari periwayatan dan susunan
kata-kaya yang berbeda dan hadits. Fakta ini adalah cara beberapa ahli Fiqih memperlakukan
Hadits. Saya sebutkan di sini dua contoh, salah satunya cara lama dan yang lainnya baru:
1. Nabi berkata, yang diterjemahkan berarti: “tidak ada shalat bagi orang yang tidak
membaca Faatihatul Kitaab (surat pertama Al-Qur'an).” Hadits ini benar dan diriwayatkan
oleh kedua buku Hadits Shahih (Al-Bukhari & Muslim). Pengikut Madzhab Hanafi menolak
hadits ini mengatakan bahwa hal ini bertentangan dengan apa yang disebutkan dalam Al-
Qur'an!! Allaah berkata, yang diterjemahkan menjadi: "karena itu bacalah apa yang mudah
[bagimu] dari Al Qur’an."[73:20].
Oleh karena itu, mereka mengubah maknanya karena ini adalah hadits ahad, seperti yang
mereka klaim. Namun imam ulama Hadits, Al-Bukhari, mengatakan di permulaan "Bab:
Kitab Qira’at," bahwa Hadits ini Mutawatir dari Rasulullah.
Apa yang harus dilakukan orang-orang ini adalah mengambil manfaat dari ilmu Imam
yang mengkhususkan diri pada Hadits ini. Mereka seharusnya mengubah pikiran mereka
bahwa Hadits ini adalah aahaad. Mereka bisa saja menerima Hadits ini, menggabungkannya
dengan ayat Al-Qur'an tersebut, dan mengatakan bahwa Hadits membatasi makna umum dari
ayat Al-Qur'an tersebut. Kami mengatakan ini, mengetahui sepenuhnya bahwa ayat Al-Qur'an
ini tentang shalat sunnah di malam hari. Ini bukan tentang apa yang harus dibaca dalam shalat
wajib!!

58
© Islamic Online University Hadits 101

2. -- Contoh berikutnya adalah hadits tentang kedatangan Nabi Isa yang kedua
sebelum kiamat. Hadits ini juga diriwayatkan oleh dua kitab shahih (Al-Bukhari & Muslim).
Beberapa tahun yang lalu, para ulama Al-Azhar (di Mesir) ditanya tentang hal ini. Salah satu
dari mereka (ulama Al-Azhar) mengatakan, di majalah Ar-Risalah, bahwa hadits ini adalah
aahaad dan bahwa semua riwayat hadits ini berasal dari Wahb Ibn Munbih dan Ka'ab Al-
A'hbar!! Namun, apa yang diketahui oleh ulama Hadits Rasulullah (‫)ﷺ‬, adalah bahwa Hadits
ini adalah Mutawatir! Saya sendiri telah mengumpulkan periwayatan yang berbeda dari hadits
Nabi ini, dan menemukan bahwa sekitar empat puluh sahabat menceritakan hadits ini,
periwayatan terhadap setidaknya dua puluh di antara mereka adalah benar! Beberapa ulama
hadits, Shahi'hain (Al-Bukhari & Muslim), Kitab-kitab Sunan, Masanid, Al-Ma'ajim dan
kompilasi Hadits lainnya, masing-masing telah mengumpulkan lebih dari satu riwayat yang
benar tentang hadits ini (dengan rantai perawi yang berbeda) dalam buku-buku mereka. Yang
menakjubkan, adalah bahwa semua riwayat hadits ini tidak menyebutkan Wahb atau Ka'ab!!
Saya menulis ringkasan penelitian saya, dalam dua halaman, dan mengirimkannya ke
Ar-Risalah. berharap memberi pelayanan terhadap ilmu Hadits jika halamannya diterbitkan,
tapi belum juga dipublikasikan!
Contoh di atas dengan jelas memberi kesaksian bahwa Hadits Nabi tidak dicari dengan
selayaknya oleh orang-orang berilmu. Hadits tersebut, sebagaimana mereka konfirmasikan,
adalah sumber kedua dari Syari'at Islam. Tanpanya, tidak mungkin seseorang dapat
memahami sumber pertama (Al-Qur'an) sebagaimana mestinya dipahami dan sesuai
keinginan Allah. Itulah sebabnya mereka (beberapa orang berilmu yang mengabaikan
pengetahuan tentang Hadits) jatuh ke dalam ketidaktahuan dan kesesatan yang nyata ini
dalam hadits-hadits Nabi, yang merupakan sebuah bagian dari apa yang dengannya beliau
diutus. Allah berfirman, yang diterjemahkan berarti: " Apa yang diberikan Rasul kepadamu
maka terimalah dia [59: 7]. Mereka mengambil sebagian dari apa yang beliau diutus
dengannya dan meninggalkan sebagiannya: " Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat
demikian daripadamu, melainkan” [2:85].
Untuk merangkumnya, kami katakan bahwa setiap Muslim harus meyakini masalah
'Aqidah dan Hukum yang terkandung di dalam setiap Hadits Rasulullah yang benar, diterima
oleh para ulama, baik Mutawatir ataupun aahaad, dan baik hadits ahad tersebut membawa
kepada dzonn Raji'h atau kepastian. Kewajiban dalam hal ini adalah keyakinan dan
ketundukan sepenuhnya kepada Hadits. Beginilah cara seseorang dapat merealisasikan
penerimaan atas apa yang diwajibkan pada dirinya, "Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang
memberi kehidupan kepada kamu [6], dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi
antara manusia dan hatinya [7] dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
[8:24] dan ayat-ayat lain yang kami sebutkan di awal buku ini. Saya memohon kepada Allah,
bahwa kata-kata ini bermanfaat bagi umat Islam dan bahwa upaya saya dilakukan semata-
mata untuk -Nya, untuk membela Kitab-Nya, dan Sunnah Nabi-Nya (‫)ﷺ‬.80

80
The hadith is Proof, hal. 55-82

59
© Islamic Online University Hadits 101

BAB 8: BIOGRAFI
Asal-usul literatur Hadits ditelusuri kembali kepada surat-surat, hokum-hukum dan
perjanjian-perjanjian yang didiktekan kepada juru tulis oleh Nabi sendiri. Kesemuanya juga
ditelusuri kembali kepada banyak sahifa, dokumen yang disusun oleh para Sahabat dan yang
mengikuti mereka, dan beberapa di antaranya telah disebutkan.
Penemuan sahifa Hammám Ibn Munabbih, yang telah diterbitkan oleh Dr.
Muhammad Hamidullah, mengungkap sifat dan karakter sahifa-sahifa ini. Membuktikan
bahwa sahifa lebih dari sekadar memorandum sederhana, namun merupakan catatan lengkap
tentang beberapa ucapan Nabi, yang disajikan dalam bentuk yang familiar bagi kami dari
kompilasi-kompilasi Hadits yang kemudian.
Bahkan sebelum datangnya Islam, sastra Arab memiliki beberapa buku yang
memperkenalkan jenis ruh sastra baru di kalangan bangsa Arab. Sudah terbukti bahwa buku-
buku telah disusun pada banyak cabang sastra Arab selama paruh kedua abad Islam yang
pertama. Pada masa pemerintahan Muawiya, 'Abid Ibn Sharya menulis sebuah buku tentang
raja-raja pra-Islam Arabia, yang populer pada abad ke-sepuluh Masehi. Subar Ibnul 'Abbaas,
yang hidup pada masa pemerintahan khalifah Muawiyah, menulis kumpulan pepatah.
Theodocus, seorang dokter di istana Al-Hajjaj, menulis beberapa buku berbahasa Arab
tentang obat-obatan. Aban mengumpulkan materi untuk sebuah buku tentang maghazi,
sementara 'Urwah Ibnul Zubayr, yang wafat menjelang akhir abad pertama Hijriah, dikatakan
telah menulis sebuah buku tentang topik yang sama. Meskipun tidak ada dalam sumber yang
lebih tua, 'kata seorang penulis Eropa, dikatakan bahwa 'Urwah menyusun sebuah buku yang
sebenarnya tentang Maghazi, meskipun begitu adalah pasti bahwa yang dikumpulkannya dan
yang dinyatakannya serangkaian kejadian terpenting dalam kehidupan Nabi.' Pengumpul
maghazi yang sama juga mengkompilasi beberapa buku tentang fiqh yang dibakarnya pada
hari Pertempuran Harra. Mudah dipahami, kemudian, bahwa kaum Muslimin tidak
mengabaikan kumpulan catatan perkataan-perkataan dan pernyataan-pernyataan Nabi, yang
teladannya mereka anggap diinspirasi ilahi.
Sumber awal Hadits terbagi dalam tiga kelompok yang berbeda. Pertama, buku
tentang maghazi (hampir sama dengan sirah) -seperti karya Ibn Ishaq dan lainnya- diana
sebagian besar hadits bersifat sejarah dapat ditemukan. Kedua, buku tentang fiqh, seperti
Muwatta 'Imaam Maalik dan Kitab Al-Umm Imaam Al-Shaafi'i, yang berisi sejumlah besar
hadits hukum, yang dikutip dalam konteks bahasan hukum dan bercampur dengan Sunnah
lain, yang bukan dari nabi. Akhirnya, terdapat karya-karya yang ditetapkan menjadi koleksi
hadits seperti itu. Yang terakhir inilah yang akan dibahas dalam bab ini.

Musnad
Dari berbagai jenis kumpulan hadits yang besar, musnad muncul paling awal. Namun banyak
darinya umumnya dinisbatkan pada beberapa ulama Hadits terdahulu yang pada kenyataannya
disusun oleh ahli hadits setelahnya, yang mengumpulkan hadits-hadits yang diriwayatkan
kepada mereka, atau dari jalur salah satu perawi penting. Seperti itulah Musnads Abu Hanifa,
Al-Syafi'i, Umar Ibn Abd Al-'Aziz, dan lainnya, yang pada kenyataannya tidak diketahui telah
menyusun karya musnad. Musnad yang umumnya dikenal sebagai karya Abu Hanifa disusun

60
© Islamic Online University Hadits 101

oleh Abu’l-Mu’ayyad Muhammad Ibn Mahmood al-Khawaarizmi (wafat 665/ 1257). Musnad
Al-Syafi'i disusun berdasarkan Kitaab Al-Umm oleh Muhammad Ibn Ya'qub Al-Asamm
(wafat 246 / 860). Karya yang dikenal sebagai Musnad Umar Ibn 'Abd Al-'Aziz disusun oleh
Al-Baaghandi (wafat 282 / 895). Musnad Abu Dawood Al-Tayaalisi, yang dianggap sebagai
musnad paling awal yang masih ada, tidak disusun dalam bentuknya sekarang oleh Tayalisi
sendiri, namun oleh seorang ahli hadits yang bekerja di Khurasaan di kemudian hari.

Musnad Al-Tayalisi
Sebuah manuskrip lama, langka dan penting dari karya ini dipelihara di Perpustakaan Umum
Oriental Patna, dan telah sepenuhnya dijelaskan oleh Maulawi Abd Al-Hamid dalam katalog
hadits MSS yang disimpan di Perpustakaan OP di Bankipore.' Edisi Hyderabad dari Musnad
telah diterbitkan berdasarkan manuskrip ini.
Abu Dawood Sulaymaan Ibn Daad Ibnul Jarud Al-Tayalisi, yang kepadanya Musnad
umumnya dinisbatkan, berasal dari Persia, dan lahir pada tahun 133/750. Dia mempelajari
hadits kepada lebih dari seribu ulama pada zamannya, dimana di antaranya banyak nama
menonjol, termasuk Syu'ba (yang haditsnya sepertinya menjadi spesialisasi Tayalisi), Sufyaan
Al-Tsawri, dan lainnya. Dia memiliki ingatan yang tajam dan bagus, dan dikatakan telah
mendiktekan empat puluh ribu riwayat tanpa bantuan catatan. Selama hidupnya dia diakui
sebagai perawi Hadits yang luar biasa, terutama pada hadits-hadits yang panjang, sehingga
murid-murid berduyun-duyun mendatanginya dari seluruh penjuru dunia Islam. Gurunya,
Syu'ba, mendengarnya mendiskusikan hadits tertentu dengan murid-muridnya, mengakui
bahwa dirinya tidak dapat melakukan lebih baik. Ahli hadits yang teliti seperti Ibn Hanbal dan
'Ali Ibnul Madini, menerima periwayatan Tayaalisi, dan meriwayatkan hadits darinya; Meski
demikian dia sama sekali tidak di luar jangkauan kritik dari beberapa ahli, yang meyakini
bahwa ingatannya terkadang mengecewakannya. Ia wafat pada tahun 203/813 pada usia 70
tahun.
Pada edisi cetak Musnad masa kini, karyanya terdiri dari 2.767 hadits yang
diriwayatkan oleh 281 Sahabat, yang matannya dituliskan dengan judul nama mereka, yang
disusun dengan urutan sebagai berikut: (i) Khalifah yang empat (khulafaur rasyidin) (ii)
sahabat lain yang mengikuti perang Badr (iii) para Muhajirin (iv) kaum Ansaar (v) para
wanita (vi) Sahabat muda. Namun, Tayalisi, yang karya tersebut umumnya dinisbatkan
kepadanya, tidak menyusunnya ataupun mengaturnya dalam bentuknya yang sekarang. Ini
lebih merupakan karya muridnya, Yunus Ibn Habib, yang mengumpulkan hadits yang
diperolehnya dari gurunya dan mengaturnya menurut apa yang dianggapnya sesuai. Dan
adalah salah satu ahli hadits Khurasaan,’ kata Haaji Khaliia, yang mengumpulkan hadits-
hadits yang diriwayatkan Yoosuf [Yunus] Ibn Habib dari Abu Dawood [Al-Tayalisi].' Haji
Khalifa benar dalam menyangkal bahwa Musnad tersebut disusun oleh Tayaalisi sendiri; tapi
sepertinya dia salah dalam menisbatkannya kepada murid Yoonus, karena bukti internal
menunjukkan bahwa Yoonus sendirilah penyusunnya.
Tapi siapa pun penyusunnya, teks tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa dia, dan juga
jalur perawi yang darinya ia memperoleh isi teksnya, telah berhati-hati dalam menanganinya.
Meski dimulai di waktu awal, sudah menyebutkan isnad lengkap. Dimana pun terdapat
keraguan dalam teks hadits, telah ditunjukkan. Dalam beberapa kasus, berbagai kemungkinan

61
© Islamic Online University Hadits 101

pembacaan ungkapan-ungkapan tertentu yang digunakan dalam hadits telah diberikan; Dalam
beberapa kasus, frasa penjelas tertentu telah ditambahkan dengan hati-hati sehingga
penambahan ini tidak salah dianggap sebagai bagian dari teks itu sendiri. Dalam beberapa
kasus, telah ditunjukkan bahwa beberapa perawi memiliki keraguan berkaitan dengan bagian
dari teks, namun mereka menghilangkannya dengan mengacu pada beberapa jalur lain pada
masa mereka sendiri. Jika sebuah hadits telah diterima melalui lebih dari satu sumber, fakta
tersebut ditunjukkan pada akhir riwayat. Dalam beberapa kasus dimana identitas perawi
diragukan (karena lebih dari satu perawi memiliki nama yang sama), sebuah upaya telah
dilakukan untuk menegaskan identitasnya. Dalam beberapa kasus karakter beberapa perawi
juga disebutkan. Hadits tertentu diriwayatkan dari perawi yang identitasnya tidak dikenal.
Dalam beberapa kasus, perhatian ditujukan pada fakta bahwa hadits tersebut dinisbatkan
kepada Nabi oleh beberapa perawi, dan hanya dinisbatkan kepada Sahabat oleh perawi lain.
Pokok bahasan hadits yang terdapat dalam Musnad sangat beragam dan banyak seperti halnya
kompilasi hadits lainnya. Tetapi masalah yang berkaitan dengan mukjizat, keutamaan pribadi
atau kesukuan para Sahabat, dan ramalan tentang kejadian masa depan atau sekte dalam Islam,
sangat sedikit.
Buku ini tampaknya sangat populer sampai abad kedelapan Islam. Manuskrip Patna sendiri
memuat nama lebih dari 300 murid hadits laki-laki dan wanita, yang telah membacanya pada
periode yang berbeda. Di antara mereka ditemukan nama-nama ahli hadits hebat seperti Al-
Dhahabi, Al-Mizzi, dan lainnya. Setelah abad kedelapan, entah mengapa, kehilangan
popularitasnya sehingga manuskrip buku ini menjadi sangat langka.

Musnad Ahmad Ibn Hanbal


Yang paling penting dan menyeluruh dari seluruh karya musnad yang tersedia sampai
sekarang adalah karya Imaam Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal Al-Marwazi al-Shaybani.
Hidupnya yang sangat shalih dan tanpa pamrih, dan pendiriannya yang teguh untuk
keyakinannya melawan inkuisisi dan penganiayaan tirani yang dilakukan oleh Al-Ma'mun,
dan dilanjutkan oleh Al-Waathiq dan Al-Mutawakkil, menciptakan tanda kesucian pada
kumpulan haditsnya yang termasyur. Meski ukurannya yang besar, ia mampu bertahan dari
perubahan waktu, dan dicetak di Kairo pada tahun 1896.
Ibn Hanbal adalah keturunan dari suku Shaybaani yang besar dari bangsa Arab. Klan
ini telah mengambil peran utama dalam penaklukan awal Irak dan Khurasaan, dan dalam
perang sipil yang meletus antara Haasyimiyah dan Umayyah, sebagai pendukung Hasyimiyah,
Ibnul Haytham kepala suku Shaybäni di Kafa, adalah orang pertama di kota yang mengajak
orang-orang memihak kepada 'Ali Husain Al-Shaybaani (pembawa bendera suku Rabi'a pada
Pertempuran Siffin); dan ia menulis beberapa bait puisi penghormatan tentang keberaniannya.
Khaalid Ibn Ma'mar, juga dari suku Shaybaani, telah mengambil peran utama atas namanya
dalam pertempuran yang sama. Simpati suku Shaybaani untuk Banu Haasyim tampaknya
terus berlanjut bahkan setelah dinasti Umayyah mapan pada takhta. Khaalid Ibn Ibraahim,
yang menggantikan Abu Muslim sebagai gubernur Khurasaan, telah menjadi salah satu naqib
'Abbaasiyah melawan kekhalifahan Umayyah. Hayyan Al-'Attaar, yang disebutkan oleh Al-
Dinawari sebagai salah satu penyebar propaganda utama dinasti Abbaasiyah awal di
Khurasaan, mungkin adalah Hayyaan yang sama yang disebutkan di antara nenek moyang Ibn

62
© Islamic Online University Hadits 101

Hanbal. Yang pasti, salah satu nenek moyang Ibn Hanbal adalah seorang jenderal Khurasaan
yang, menurut Patton, berjuang untuk menggulingkan dinasti Umayyah dan menggantinya
dengan 'Abbaasiyah.
Ibnu Hanbal sendiri lahir di Baghdad pada 164/780. Dia dibesarkan dengan baik oleh
ibunya yang salehah, karena ayahnya meninggal di usia muda. Di sana ia menerima
pendidikan awal dengan para guru terbaik pada masa itu, memulai studi hadits yang serius
pada usia 15 tahun dari Ibraahim Ibn 'Ulayya. Setelah belajar kepada seluruh ahli hadits
utama ibukota tersebut, ia mulai melakukan perjalanan menuntut ilmu, di tahun 183/799. Dia
mengembara melewati Basra, Kafa, Yaman, Hijaaz, dan pusat pengajaran Hadits lainnya,
menghadiri ceramah para ahli hadits, mencatat, dan mendiskusikannya dengan para ulama dan
sesama murid, pada akhirnya kembali ke Baghdad sekitar tahun 195/810, dimana dia bertemu
dengan Imaam Al-Syaafi'i, yang kepadanya lah dia mempelajari fiqh dan usul Al-fiqh.
Ibnu Hanbal tampaknya telah mengajarkan hadits sejak usia dini. Dikatakan bahwa sejumlah
besar murid berbondong-bondong mendatanginya untuk mendengarkan ceramahnya tentang
hadits di sebuah masjid Baghdad pada tahun 189/804, ketika dia pergi ke sana untuk waktu
yang singkat. Namun dia membuat pelayanan dan pengajaran risalah Nabi satu-satunya tujuan
hidupnya, dan berlanjut sampai 218/833, ketika badai penganiayaan meletus terhadap para
ulama aqidah ortodoks di seluruh kerajaan Abbaasiyah.
Khalifah Al-Ma'man, di bawah pengaruh rekan-rekannya yang berpikiran filosofis,
dan mungkin ingin membangun doktrin pertengahan yang dapat diterima oleh kaum Sunni
dan Syiah, secara terbuka menerima aqidah Mu'tazilah, termasuk gagasan tentang Al-Qur'an
adalah makhluk. Ketika kebanyakan ulama menolak untuk bergabung dengannya dalam
perubahannya, dia mengancam, kemudian menganiaya mereka. Namun banyak ulama -
Imaam Ahmad termasuk di antara mereka - pantang menyerah. Khalifah, yang saat itu berada
di Tarsus, memerintahkan agar mereka dirantai dan dikirim kepadanya. Meskipun perintah ini
dilakukan, Al-Ma'man meninggal sebelum tawanannya yang taat tiba di tempat tujuan mereka.
Namun, hal ini hanya sedikit membantu mereka. Khalifah telah membuat wasiat meminta
penerusnya melaksanakan keinginannya berkenaan dengan penyebaran doktrin tentang Al-
Qur'an adalah makhluk. Dua penerus langsungnya, Al-Mu'tasim dan Al-Waathiq,
melaksanakan kebijakan ini dengan sengit, dan tidak ragu untuk menggunakan penyiksaan
dan kurungan untuk membujuk para ulama membenarkan sistem Mu'tazilah. Mihna
(penganiayaan) ini berlanjut dengan kekuatan yang berbeda sampai tahun ketiga
pemerintahan Al-Mutawakkil yang, pada tahun 234/ 848 menghentikannya, dan kembali
kepada keyakinan Sunni utama.
Kepribadian karismatik Al-Ma'mun, dan kemegahan istananya, tampaknya telah
berhasil mengubah pandangan banyak Ulama untuk mengikuti pandangannya. Bahkan ahli
hadits hebat seperti Yaliyaa Ibn Ma'in dan 'Ali Ibn Al-Madini mencari perlindungan di balik
tabir tipis taqiya (kepura-puraan). Adalah Ahmad Ibn Hanbal yang pada saat kritis ini
membuktikan dirinya sebagai penyelamat pendirian kukuh dan prinsip Islam tentang
kebebasan iman dan hati nurani. Dia menolak untuk tunduk pada perintah khalifah, berusaha
menunjukkan kesalahan penalaran lawan-lawannya dalam debat publik, dan menolak untuk
takluk terhadap ancaman kekerasan mereka, dengan sabar menanggung penganiayaan mereka.
Dia dipenjara selama delapan belas bulan; Dia dicambuk oleh kelompok algojo, pergelangan

63
© Islamic Online University Hadits 101

tangannya rusak, dia terluka parah, dan kehilangan kesadaran. Namun demikian, dia tetap
menjaga hati nuraninya, dan lulus dari ujian itu dengan pujian terbesar.
Ulama sufi terkemuka, Bishr Ibn Al-Harits Al-Muliaasibi, dengan tepat mengatakan bahwa
Allah telah melemparkan Ibnu Hanbal ke dalam api, dan dia keluar seperti emas murni. Yang
lebih mengesankan lagi, di mata masyarakat, Ibnu Hanbal menunjukkan kemurahan hati yang
tak terlukiskan terhadap musuh-musuh dan penganiayanya, dia tidak menunjukkan pikiran
buruk. Dia dengan sangat hati-hati menahan diri untuk tidak mengungkapkan opini apapun
terhadap Ahmad Ibn Abi Du'aad, yang telah berperan sebagai jaksa pengadilan utama
melawannya selama mihna.
Setelah mihna berakhir, Imám Ahmad hidup selama sekitar delapan tahun. Pada
mayoritas periode ini, kami diberi tahu bahwa dia mengabdikan diri untuk mengajar,
sementara sisa waktunya dihabiskan dengan shalat dan dzikr. 'Dia meninggal pada tahun
241/855, pada usia 77. Pemandangan duka dan kesedihan yang menakjubkan mengikutinya:
Bukan hanya kota metropolitan besar, tapi bahkan beberapa sudut paling jauh dunia Islam,
jatuh ke dalam kedukaan mendalam. Pemakamannya dihadiri oleh banyak orang antara
600.000 dan dua setengah juta orang. Itu adalah peristiwa yang jarang disaksikan dimana saja'.
Sepanjang hidupnya, Ibnu Hanbal mengilhami mereka yang mengenalnya dengan
kejujuran teladan dan kelembutan karakternya. Dia selalu menolak bantuan uang, baik besar
atau sepele, dari pangeran kaya maupun dari rekan kerja dan teman yang miskin. Dia
memboikot putra-putranya Saalih dan 'Abdullaah karena mereka telah menerima tunjangan
dari khalifah. Dia membenci kemewahan, dan memenuhi beberapa kebutuhannya dari apa
yang dihasilkannya sendiri. Meski dalam keyakinan agamanya dia sangat tegas dan berprinsip,
namun pada dasarnya dia sangat lembut dan berhati-hati untuk tidak menyakiti siapapun.
Kejujuran dan keadilan adalah unsur karakternya yang paling dikagumi.
Pengetahuan Imaam Ahmad yang luas dan mendalam tentang hadits, kehidupannya
yang saleh dan tanpa pamrih, karakternya yang kuat, pendiriannya yang teguh dan berani
membela Islam mayoritas melawan kekerasan khalifah, ketidakpeduliannya terhadap istana
dan pegawainya, bersama dengan kepribadiannya yang kuat dan inspiratif, menegakkan
reputasinya sebagai Imaam, dan salah satu perawi terbesar Hadits dalam komunitas dunia
Islam. Kepribadiannya semasa hidup dan sesudah kematiannya,' kata Patton, adalah kekuatan
besar dalam dunia Muslim, dan tampaknya pengaruhnya sama kuatnya dengan prinsip yang
dilafalkannya.'
Dengan pengecualian bagian tahun-tahun terakhirnya, Imaam Ahmad mengabdikan
seluruh hidupnya untuk Hadits, menyebarkannya melalui resimen besar murid-muridnya ke
setiap bagian dunia Muslim, dan menulis tentang berbagai masalah aqidah dengan
menyajikan nash-nash yang relevan dari Al-Qur'an dan Sunnah. Tiga belas buku-buku ini
disebutkan oleh Ibnu Al-Nadim dalam Fihrist-nya, sementara yang lain, seperti Kitab Al-
Salaat, juga telah diterbitkan atas namanya.
Yang terpenting dari karyanya tak diragukan lagi adalah Musnad. Periode
kompilasinya tidak diketahui; namun jelas dari strukturnya dan juga isinya bahwa musnad
pasti telah menyibukkan pikiran pengumpulnya untuk waktu yang lama. Tujuan utamanya
bukan untuk mengkompilasi semua hadits yang benar-benar asli, juga bukan yang
berhubungan dengan topik tertentu atau mendukung madzhab tertentu. Sebaliknya, dia
berusaha mengumpulkan semua hadits Nabi yang, menurut kriterianya, kemungkinan akan

64
© Islamic Online University Hadits 101

terbukti shahih jika diuji, dan karenanya dapat berfungsi sebagai bekal dasar untuk argumen.
Diriwayatkan ia telah berkata bahwa hadits yang tidak termasuk dalam Musnad tidak
memiliki kekuatan. Tapi dia tidak pernah mengklaim bahwa semua kandungannya asli atau
terpercaya. Sebaliknya, dia mencoret banyak hadits dari bukunya; dan bahkan ketika dia
mendekati ajal, dia meminta anaknya untuk menghapus sebuah Hadits dari Musnad.
Untuk menyusun karyanya, Ibn Hanbal menggeledah gudang pengetahuannya yang
luas, dan juga seluruh literatur yang tersedia baginya mengenai pokok bahasan ini. Dia
menyaring 30.000 hadits dari sekitar 750.000 yang diriwayatkan oleh 904 sahabat yang
meriwayatkan berbagai perkara, seperti maghazi, manaqib, ritual, hukum, ramalan, dan
sebagainya. Namun, dia membacakan berbagai bagian catatannya kepada murid-muridnya,
dan juga kepada anak-anaknya dan keponakannya selama 13 tahun. Meskipun dia ingin
mengumpulkan catatannya dalam bentuk Musnad, ajal mendatanginya, sehingga tugas
mengatur materi jatuh kepada anaknya Abdullaah, yang mengedit catatan ayahnya.
Ibnu Hanbal tidak terlalu ketat dalam memilih materi dan jalur perawinya. Dia
menyertakan dalam materi catatannya yang tidak dapat dengan definisi apapun dimasukkan
sebagai Hadits'. Banyak hadits yang ada dalam Musnad kemudian dinyatakan oleh ahli hadits
pada periode selanjutnya sebagai tidak berdasar dan palsu (muwdu '), dan banyak perawi yang
dipercaya oleh Ibnu Hanbal dinyatakan oleh para ahli asmaa' Al-rijal sebagai meragukan.
Yang paling terkenal adalah Abdullaah Ibn Lahi'a (97/715-174/790), yang kehidupan
pribadinya penuh kontroversi terus berkobar.
Namun, ada banyak keutamaan dalam karya Ibnu Hanbal. Jika dia menerima sebuah
hadits dari lebih dari satu perawi, dia menunjukkan perbedaan terkecil yang mungkin ada di
antara mereka. Misalnya, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan kepadanya oleh Waki' dan
Abu Mu'awiyah, Waki’ menggunakan kata Imaam, sementara Abu Muawiyah menggunakan
kata amir, dan Ibn Hanbal tidak luput menunjukkan perbedaan ini. Dalam Hadits yang lain,
dua perawi sebelumnya berbeda dalam penggunaan kata wa dan aw; penulis Musnad
mencatat perbedaannya, dan memberikan dua versi yang diwariskan kepadanya. Dalam hadits
lain, perbedaan penggunaan ilayhi dan 'alayhi ditunjukkan. Jika perawi yang sama
meriwayatkan Hadits yang sama dengan perbedaan tertentu, hal itu juga ditunjukkan oleh
Sang Imaam; Misalnya, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Yazid ibn Haarun,
perubahan dalam periwayatannya dari li-ukhraha menjadi bi-ukhraaha dicatat. Jika ada
koreksi atau amandemen dalam teks atau isnad-isnad hadits disarankan kepada Imaam Ahmad,
dia tidak luput membuat perubahan yang diperlukan dalam manuskrip tersebut.
Putra Ibnu Hanbal, 'Abdullaah (Abu Abd Al-Rahman), mempertahankan kehati-hatian
dan ketelitian ayahnya saat mengedit materi yang diwarisinya. Dia menyusun keseluruhan
manuskrip ayahnya yang besar namun belum lengkap dengan catatannya sendiri, yang
diambilnya dari ceramah dan pelajaran dari ahli hadits lain. Dia juga menyusunnya dengan
apa yang telah dipelajari dari ayahnya dan yang lain ketika diskusi belajar yang lebih umum.
Dalam kasus dimana hadits telah didengar Abdullaah dari ayahnya, tapi hadits tersebut
telah dihapus dari manuskrip, 'Abdullaah menunjukkan perubahan yang terjadi pada buku
tersebut. Di mana ia menemukan kesalahan pena ayahnya, ia mengoreksinya, dan menulis
ulang yang asli dalam catatannya; dalam beberapa kasus, dia hanya menunjukkan bahwa ada
kesalahan dalam teks. Jika dia memiliki keraguan tentang teks manuskrip tersebut, dia
mengungkapkannya dengan lugas. Dalam beberapa kasus, ia menambahkan catatan

65
© Islamic Online University Hadits 101

penjelasan serta banyak hadits yang diambil dari sumber lain. Dalam semua kasus ini, dia
sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa penambahannya sendiri tidak akan salah
dipahami oleh pembaca sebagai bagian manuskrip itu sendiri. Bahkan, ia terlihat sangat
berhati-hati menjaga integritas teks ayahnya sampai semaksimal mungkin. Dia menulis ulang
kata-kata yang ditulis dalam manuskrip asli dalam surat terpisah (muqatta'at), menambahkan
sebuah catatan, dengan mengatakan: Demikianlah ia tertulis dalam manuskrip ayahku; Tapi
ketika membacakannya untuk kami, dia mengucapkannya sebagai satu kata.
Musnad Ibn Hanbal menduduki tempat penting dalam literatur hadits, dan telah menjadi
sumber penting bagi berbagai penulis tentang berbagai genre sastra Arab. Di antara karya
Musnad,' kata seorang pensyarah, Musnad Ahmad Ibn Hanbal menempati posisi paling stabil.
Memperoleh kehormatan yang luar biasa karena kenangannya dalam dunia Islam yang saleh,
kesalehan yang menyucikan namanya yang sejak lama menjadi tongkat ajaib melawan musuh
paling keras kepala yang tergabung dalam madzhab Mu'tazilah, dan berdiri sebagai simbol
Islam yang sah, menyelamatkan kompilasi haditsnya dari kemunduran sastra yang dialami
sebagian besar karya sejenis. Karya ini mempertahankan posisinya dalam literatur untuk
waktu yang lama, sebagai sumber bagi sejumlah karya dan kompilasi penting '.
Dari sekian banyak ulama dan penulis yang menggunakan Musnad sebagai subjek
untuk syarah atau adaptasi mereka, atau sebagai sumber untuk karya atau kompilasi mereka
sendiri, kami hanya dapat menyebutkan beberapa di antaranya di sini. Abu Umar Muhammad
ibn Wahid (wafat 345/ 956) kembali mengedit buku tersebut dan menambahkan beberapa
hadits pelengkap. Al-Bawarti, penulis leksikograf (wafat 499/ 1155), mendasarkan bukunya
Ghareeb Al-Hadith sepenuhnya pada buku ini. 'Izz Al-Din ibn Al-Athir (wafat 630/ 1234)
menggunakannya sebagai salah satu sumber untuk kamus biografinya, Usd Al-Ghaaba. Ibnu
Hajar (wafat 852/ 1505) memasukkannya di antara karya-karya penting yang mendasari
atrafnya. Sirajuddin 'Umar ibn Al-Mulaqqin (wafat 805 / 1402) membuat sebuah sinopsis
darinya. Al-Suyuti (wafat 911/ 1505) menggunakannya sebagai dasar risalah gramatikalnya,
'Uqud Al-Zabarjad. Abu'l-Hasan 'Umar ibn Al-Hadi Al-Sindi (wafat 1139/ 1726) menulis
penjelasan yang besar tentangnya. Zayn Al-Din Umar ibn Ahmad Al-Shamma 'Al-Halabi
membuat ringkasannya, yang ia sebut Al-Muntaqa min Musnad Ahmad. Abu Bakr
Muhammad ibn 'Abdullaah mengedit ulang, menyusun hadits dalam urutan alfabet dari nama
perawi asli mereka. Nasir Al-Din ibn Zurayq menyiapkan edisi lain dalam bentuk Musannaf,
sementara Abu'l-Hasan Al-Haythami mengkompilasi beberapa haditsnya yang tidak
ditemukan dalam enam kitab hadits.
Musnad tidak hanya berfungsi sebagai tambang besar bahan untuk ilmu agama bagi
Muslim dan leksikograf bahasa Arab, tapi juga, karena kepribadian penyusunnya yang saleh,
ia memperoleh semacam aura kesucian. Hal ini ditunjukkan, misalnya, oleh kenyataan bahwa
pada abad ke dua belas ahli hadits membacanya dari ujung ke ujung pada 56 halaqah di depan
makam Nabi di Madinah.
Namun sepertinya, karena besarnya dan karena adanya kompilasi banyak karya yang
lebih terencana dan lebih praktis dalam Hadits pada abad ketiga dan keempat, Musnad Ahmad
menjadi kurang populer, dan salinannya menjadi lebih langka; Jadi, Al-Muzani, salah satu
ahli hadits terkemuka abad keempat, terkejut saat mengetahui dari seorang murid hadits
bahwa dia telah membaca 150 bagian buku itu dengan Abu Bakr Ibn Maalik. Muzani ingat
bahwa ketika dia sendiri menjadi pelajar di Irak, orang-orang terkejut menemukan bahkan

66
© Islamic Online University Hadits 101

hanya satu bagian dari Musnad bersama ahli hadits manapun. Oleh karenanya, kelangkaan
manuskripnya di perpustakaan modern, bukan menjadi suatu hal mengejutkan.

Karya Musnad Lainnya


Seperti Al-Tayalisi dan Ibnu Hanbal, banyak ahli hadits lain mengkompilasi musnad bekerja
pada baris yang sama, dengan perbedaan tertentu dalam rincian struktur internal. Termasuk
Abu Mubammad 'Abd Al-Hamid ibn Humayd (wafat 249/ 863), Abu 'Awana (wafat 317/
929), Ibnu Abi Syayba (wafat 235/ 849), Ishaq ibn Rahawayh (wafat 238/ 852), Al-Humaydi
(wafat 219/ 834), Aboo Ya'laa (wafat 307/919), dan lain-lain.

Karya Musannaf
Yang lebih penting daripada karya Musnad adalah kompilasi yang dikenal sebagai musannaf.
Dalam genre ini terdapat kompilasi Hadits yang paling penting, seperti Sahih Bukhaari dan
Muslim, Jami 'Al-Tirmidzi, dan juga karya Sunan seperti karya Al-Nasa'i dan Abu Dawud.
Karya musannaf di masa awal sebagian besar hilang: Musannaf karya Wakr, misalnya, hanya
kita ketahui melalui penyebutan dalam karya selanjutnya.

Musannaf 'Abd Al-Razzaq


Karya Musannaf yang paling awal yang ada sampai sekarang adalah Musannaf dari Abu Bakr
'Abd Al-Razzaq ibn Humam (126/ 743 – 211/ 826), dari San'a' di Yaman, yang telah diedit
dengan terampil dan diterbitkan oleh ulama India Habib Al-Rahman Al-A'zami.
Kami diberitahu bahwa 'Abd Al-Razzaq memulai studi tentang Hadits pada usia dua
puluh tahun. Dia mengikuti Ma'mar selama tujuh tahun, belajar hadits darinya, dan belajar
dari ahli hadits terkemuka lainnya seperti Ibn Jurayj, sampai dia kemudian menjadi salah satu
ahli hadits yang paling menonjol di zamannya. Banyak ahli hadits kemudian yang mengaku
telah berhutang budi kepadanya, termasuk ahli hadits seperti Yahyaa ibn Ma'in dan Ahmad
ibn Hanbal. Dikatakan bahwa setelah wafatnya Nabi, orang-orang tidak pernah bepergian
sedemikian banyak untuk menemui seseorang seperti yang mereka lakukan terhadap Abd Al-
Razzaq. Namun Ahli hadits kemudian berbeda pendapat mengenai kualitas materi yang
dipertahankannya: beberapa menganggapnya terpercaya, sementara yang lain kurang antusias.
Dua karyanya disebutkan oleh Ibn Al-Nadim. Salah satunya, Kitab Al-Sunan, identik dengan
teks yang sekarang dikenal sebagai Musannaf. Kitab ini dibagi sesuai dengan klasifikasi fiqh
menjadi berbagai buku, masing–masing hadits tersebut menurut subyeknya. Bab terakhir
adalah tentang syama'il, dengan hadits terakhir tentang rambut Nabi.

Musannaf Ibn Abi Shayba


Namun yang lebih lengkap lagi, adalah Musannaf dari Abu Bakr Muhammad ibn 'Abdullaah
Ibn Abi Shayba (wafat 235/ 849). Kakeknya bekerja sebagai hakim Waasit pada masa
pemerintahan Al-Mansur, dan keluarganya menghasilkan banyak ahli hadits. Menetap di Kufa,
dia sendiri meriwayatkan hadits kepada tokoh terkemuka seperti Abu Zar'a, Al-Bukhari,
Muslim, dan Ahmad ibn Hanbal. Musannaf-nya, yang dianggap sebagai sumber awal yang
paling penting, baru-baru ini dicetak dalam tiga belas jilid.

67
© Islamic Online University Hadits 101

Sahih Al-Bukhari
Yang terpenting dari seluruh karya Musannaf, dari semua kompilasi Hadits, tentu saja adalah
Al-Jami 'Al-Sahih karya Al-Bukhari. Penyusun dikatakan telah bertanya kepada lebih dari
seribu Ahli Hadits, yang tinggal di tempat-tempat terjauh seperti Balkh, Merv, Naisaabur,
Hijaaz, Mesir dan Irak. Bukhaari biasa mencari pertolongan dengan shalat sebelum
meriwayatkan hadits apapun, dan menimbang setiap kata yang dia tulis dengan ketepatan
yang teliti. Dia mencurahkan lebih dari seperempat masa hidupnya untuk menuliskan
Sahihnya, yang umumnya dianggap oleh kaum Muslimin sebagai kitab hukum kedua setelah
Alquran.
Abu 'Abdullaah Muhammad ibn Ismaa'il Al-Bukhari, yang lahir di Bukhara pada
tahun 194/ 810, berasal dari Persia. Nenek moyangnya, Bardizbah, adalah seorang petani di
daerah sekitar Bukhara, yang diambil alih selama penaklukan Muslim di wilayah tersebut.
Anak Bardizbah, yang bernama Al-Mughira, memeluk Islam di tangan Al-Yaman Al-Ju'fi,
gubernur Muslim Bukhara, dan mendapatkan darinya nisba Al-Ju'fi. Putra Al-Mughira,
Ibraahim, kakek penulis, memiliki seorang putra bernama Ismaa'il, yang menjadi ahli hadits
yang saleh dan memiliki reputasi yang baik. Teliti dalam kebiasaannya, dia dikatakan telah
menyebutkan menjelang ajalnya bahwa dia tidak miliki sepeser pun yang tidak diperoleh dari
hasil kerja kerasnya sendiri.
Ismaa'il meninggalkan kekayaan yang cukup besar kepada janda dan dua putranya, Ahmad
dan Muhammad, yang masih bayi pada saat itu. Anak yang ditakdirkan memainkan peran
utama dalam perkembangan literatur hadits dianugerahi kekuatan intelektual yang hebat,
meski secara fisik ia lemah. Dia memiliki ingatan yang tajam dan fotografis, dan kegigihan
terhadap tujuan, yang sangat berguna dalam kehidupan akademisnya.
Seperti banyak ulama pada masanya, Al-Bukhari memulai pendidikannya di bawah
bimbingan ibunya di kota asalnya. Menyelesaikan studi dasar di usia muda sebelas tahun, dia
menyibukkan diri dalam studi Hadits. Dalam enam tahun dia telah menguasai pengetahuan
dari semua ahli hadits Bukhara, serta segala sesuatu yang ada dalam buku-buku yang tersedia
baginya. Dia kemudian pergi ke Mekah bersama ibu dan saudara laki-lakinya untuk berhaji.
Dari Kota Suci, dia memulai serangkaian perjalanan dalam pencarian Hadits, melewati semua
pusat pembelajaran Islam penting, tinggal di setiap tempat selama yang diperlukan, bertemu
dengan para ahli hadits, mempelajari semua hadits yang mereka ketahui, dan memberitahukan
pengetahuannya sendiri kepada mereka. Tercatat bahwa dia tinggal di Basra selama empat
atau lima tahun, dan di Hijaaz selama enam tahun; sementara dia melakukan perjalanan ke
Mesir dua kali dan ke Kufah dan Baghdad berkali-kali.
Imam Bukhari Wanderjahre (jerman: perjalanan ke luar negeri) berlanjut sekitar
empat dekade. Pada tahun 250/ 864, dia datang ke kota besar Nisila di Asia Tengah, di mana
dia memperoleh penerimaan yang agung yang sesuai untuk seorang ahli hadits dengan
sekalibernya. Di sini dia mengabdikan diri mengajarkan hadits dan ingin menetap. Namun dia
diharuskan meninggalkan kota tersebut saat dia menolak untuk menerima permintaan untuk
mengajarkan hadits di istana Khalid ibn Ahmad Al-Dhuhali. Dari Nisabur dia pergi ke
Khartank, sebuah desa dekat Bukhara, atas permintaan penduduknya. Di sini ia menetap, dan
meninggal pada tahun 256/ 870.

68
© Islamic Online University Hadits 101

Sepanjang hidupnya, Al-Bukhari menunjukkan karakter seorang cendekiawan Muslim


yang taat dan saleh. Dia sangat menyeluruh dalam menjalankan tugas agamanya, memastikan
bahwa daripada mengandalkan derma, dia hidup dengan melakukan perdagangan, dimana dia
sangat jujur. Suatu ketika dia kehilangan sepuluh ribu dirham hanya karena keragu-raguan
kecil. Bahkan sebagian besar pendapatannya, digunakan untuk membantu murid dan orang
miskin. Dikatakan bahwa dia tidak pernah menunjukkan pikiran buruk kepada siapapun,
bahkan bila ada lebih dari cukup alasan; Dia juga tidak memiliki pikiran buruk terhadap siapa
pun. Bahkan terhadap mereka yang telah menyebabkan pengusirannya dari Nisabar, dia tidak
menyimpan dendam.
Hadits hampir menjadi sebuah obsesi dengan Bukhari. Dia tidak menghindari
penderitaan deminya, mengorbankan hampir segalanya untuk hadits. Pada salah satu
perjalanannya, dia kekurangan uang sehingga dia hidup dari tanaman liar selama tiga hari.
Tapi ia menikmati salah satu bentuk rekreasi publik: panahan, dimana ia memperoleh
keterampilan hebat. Juru tulisnya, yang tinggal bersamanya untuk waktu yang cukup lama,
menulis bahwa Bukhaani sering keluar untuk mempraktikkan panahannya, dan hanya dua kali
selama persinggahannya, dia meleset daari target.
Sejak awal perjuangannya, Al-Bukhaari menunjukkan tanda-tanda kehebatan. Dikatakan
bahwa pada usia sebelas tahun dia menunjukkan kesalahan salah satu gurunya. Sang guru
menertawakan keberanian murid muda tersebut; Tapi Al-Bukhaari bertahan dalam koreksinya,
dan menantang gurunya untuk merujuk pada bukunya, yang membenarkan koreksi murid
tersebut. Ketika masih kecil juga, dia diminta oleh banyak murid Hadits untuk memberikan
pengajaran tentang masalah ini. Dia menerima permintaan mereka, dan kerumunan besar
murid berkumpul di sebuah masjid, dan menerima hadits yang diriwayatkannya. Suatu saat,
ketika dia mengunjungi Basra, para ahli hadits diberitahu tentang kedatangannya, dan satu
hari ditetapkan baginya untuk memberi pelajaran. Pada ceramahnya, dia mampu membatasi
diri hanya pada hadits yang diterimanya dari ahli hadits terdahulu Basra, meski demikian
tidak ada yang tidak diketahui oleh hadirin.
Pada banyak kesempatan, pembelajaran Al-Bukhaari diuji secara ketat, seringkali oleh
ulama-ulama yang sangat teliti pada masanya, dan sepertinya dia selalu lulus dengan pujian.
Di Baghdad, sepuluh ahli hadits mengubah isnaad dan matan seratus hadits, membacakannya
kepada Al-Bukhàri pada sebuah pertemuan publik, dan mengajukan pertanyaan kepadanya.
Al-Bukhaari mengakui ketidaktahuannya akan riwayat yang telah mereka ucapkan. Tapi
kemudian dia membacakan versi yang benar dari semua hadits tersebut, dan mengatakan
bahwa mungkin penanya secara tidak sengaja keliru membacakannya. Di Samarqand, empat
ratus murid menguji pengetahuan Al-Bukhaari dengan cara yang sama, dan Al-Bukhari
berhasil mengungkap penyisipan mereka. Di Nisaaboor, Muslim, penulis kitab Shahih lain,
bersama dengan yang lain, bertanya kepada Al-Bukhari tentang hadits tertentu, dan
mendapatkan jawaban yang benar-benar memuaskan. Dalam banyak pertemuan ilmiah, dia
berhasil mengidentifikasi beberapa perawi Hadits terdahulu yang tidak jelas yang telah lolos
dari kritik ulama lain yang hadir. Berbagai ujian dan kemenangan berulang ini membuat Al-
Bukhaari mendapat pengakuan sebagai ahli hadits terhebat pada masanya oleh semua ahli
hadits besar yang telah bertemu dengannya, termasuk Ahmad ibn Hanbal, 'Ali ibn Al-Madini,
Aboo Bakr ibn Abi Shayba, Ishaq ibn Rahawayh, dan lainnya.

69
© Islamic Online University Hadits 101

Tulisan-tulisan Al-Bukhaari dimulai saat dia tinggal di Madinah pada usia 18, saat dia
menyusun dua bukunya yang paling pertama. Salah satunya berisi putusan dan penilaian para
Sahabat dan yang mengikutinya, sementara yang lainnya terdiri dari biografi singkat perawi
hadits penting pada masa hidupnya. Sejumlah besar kompilasi lain mengikuti; sebuah daftar
dilengkapi oleh penulis biografinya.
Sahih, yang umum dikenal sebagai Shahih Al-Bukhari, adalah karyanya yang paling
penting. Dikatakan telah didengar oleh 90.000 murid penulis, dan dianggap oleh hampir
seluruh ahli hadits sebagai kompilasi hadits yang paling terpercaya. Begitu muktabar
(terhormat)-nya buku ini sehingga beberapa Muslim menggunakannya sebagai jimat yang
dengannya Allah menghilangkan kesulitan mereka; dan hanya dengan memiliki salinannya
terbukti melawan kemalangan.
Shahih dapat dilihat sebagai karya seumur hidup Bukhaari: risalah-rialahnya yang
terdahulu berfungsi sebagai persiapan untuk magnum opus (karya besar) ini, sementara buku-
buku-bukunya yang kemudian kurang lebih adalah cabang-cabang darinya. Untuk Shahih, dia
mengabdikan kepedulian dan perhatiannya yang paling dalam, menghabiskan kira-kira
seperempat hidupnya di sana."
Gagasan Bukhaari untuk mengkompilasi Shahih berkat sebuah pernyataan sambil lalu
Ishaaq ibn Rahawayh (166-238/ 782-852), yang mengatakan bahwa dia berharap seorang ahli
hadits akan menyusun sebuah buku singkat namun komprehensif yang hanya berisi hadits
shahih. Kata-kata ini tampaknya telah mengobarkan imajinasi Al-Bukhaari, dan dia mulai
bekerja dengan energi dan perhatian yang tak kenal lelah. Dia menyaring seluruh hadits yang
dikenalnya, menguji keshahihannya sesuai dengan aturan kritik yang dikembangkannya
sendiri, memilih 7.275 dari sekitar 600.000 hadits, dan mengaturnya sesuai materi pada judul
terpisah, yang sebagian besar diambil dari Al-Qur'an, dan dalam beberapa kasus dari hadits
itu sendiri.
Karena Al-Bukhaari tidak menyebutkan bagaimana aturan kritik yang diterapkannya
untuk menguji keaslian hadits, atau mengatakan mengapa dia menyusun buku ini, banyak
ulama kemudian yang mencoba untuk menyimpulkan hal-hal ini dari teks itu sendiri. Al-
Haazimi, dalam bukunya Shurut Al-A'imma, Al-'Iraqi dalam Alfiyya-nya, Al-'Ayni dan Al-
Qastallaani dalam pendahuluan mereka pada penjelasan mereka tentang Shahih, dan banyak
penulis lain di bidang ilmu hadits, termasuk Ibn Al-Salaaki, telah mencoba untuk
menyimpulkan prinsip-prinsip Bukhari dari materi yang diasajikannya.
Seperti yang telah kita lihat, tujuan utama Al-Bukhaari adalah mengumpulkan hanya
hadits shahih saja. Dengan ini, dia bermaksud agar hadits sebagaimana diriwayatkan
kepadanya dari Nabi dari seorang Sahabat terkemuka, melalui rangkaian perawi yang
berkelanjutan, yang menurut catatan, penelitian dan pengetahuannya, telah diterima dengan
suara bulat oleh ahli hadits yang jujur dan terpercaya sebagai pria dan wanita yang memiliki
integritas, memiliki ingatan yang kuat dan keyakinan yang teguh, diterima dengan syarat
bahwa riwayat mereka tidak bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh perawi
lain yang terpercaya, dan bebas dari cacat. Al-Bukhaari, menyertakan dalam karyanya riwayat
dari perawi-perawi ini ketika mereka secara eksplisit menyatakan bahwa mereka telah
menerima hadits dari jalur mereka sendiri. Jika pernyataan mereka dalam hal ini ambigu, dia
memastikan bahwa mereka telah bertemu dengan guru mereka, dan tidak diberikan
pernyataan sembrono.

70
© Islamic Online University Hadits 101

Dari prinsip di atas, yang diambil Imaam Bukhaari sebagai panduan dalam memilih
materi, kehati-hatiannya terbukti. Namun penting untuk dicatat, bahwa dia menggunakan
kriteria yang kurang tepat untuk hadits yang digunakannya sebagai judul dalam beberapa
babnya, dan sebagai dalil bagi yang prinsip. Dalam kasus yang demikian, dia sering
menghilangkan semua atau sebagian dari isnaad, dan dalam kasus tertentu bergantung pada
perawi yang lemah. Jumlah hadits yang ditangguhkannya (mu'allaq) dan yang menguatkan
dalam buku ini berjumlah sekitar 1.725.
Dari sini jelas bahwa tujuan Bukhaari bukan hanya mengkompilasi apa yang
dianggapnya sebagai hadits yang shahih, tapi juga untuk membuat isi bukunya berkesan di
benak para pembacanya, dan untuk menunjukkan kepada mereka doktrin dan hukum apa yang
dapat disimpulkan darinya. Oleh karenanya, dia membagi keseluruhan karyanya menjadi
lebih dari seratus buku, yang kemudian dibaginya lagi menjadi 3.450 bab. Setiap bab
memiliki judul yang menjadi kunci kepada isi berbagai hadits yang termasuk di dalamnya.
Telah dengan tepat dikatakan bahwa judul berbagai bab kitab Shahih merupakan fiqh
Imaam Al-Bukhaari. Judul ini terdiri dari ayat-ayat Al-Qur'an atau dari hadits. Dalam
beberapa kasus bersesuaian sepenuhnya dengan hadits yang terdaftar di bawahnya, sementara
dalam beberapa lainnya, mereka memiliki signifikansi yang lebih luas atau lebih sempit
daripada hadits yang mengikutinya; dimana mereka berfungsi sebagai objek tambahan
penafsiran dan penjelasan hadits. Dalam beberapa kasus, judul berbentuk interogatif, yang
menandakan bahwa Imaam menganggap masalah tersebut belum ditentukan. Pada kasus lain,
dia ingin memperingatkan terhadap sesuatu yang dari luar tampaknya salah dan tidak dapat
diterima. Tapi dalam setiap judul bab, Al-Bukhaari menyimpan objek tertentu dalam
pandangannya. Bahkan terdapat kasus dimana judul tidak diikuti oleh hadits apapun; Disini
Al-Bukhaari bermaksud untuk menunjukkan bahwa tidak ada hadits yang shahih mengenai
hal tersebut yang ia ketahui.
Bukhaari juga bersikap orisinil ketika dia mengulang berbagai versi dari satu hadits di
dalam bab-bab yang berbeda. Dengan melakukan hal ini daripada menempatkan semuanya
dalam satu tempat, dia ingin menunjukkan buktti lebih lanjut tentang keshahihan Hadits
tersebut, dan pada saat yang sama menarik lebih dari satu kesimpulan praktis darinya.
Demikian pula, dalam menyertakan satu bagian hadits dalam satu bab dan memasukkan
bagian lain dalam bab lain, dan menunjukkan hadits yang ditangguhkan sebagai marfu' dan
mawquf, Al-Bukhaari memiliki beberapa tujuan akademis tertentu, yang dijelaskan oleh para
penulis syarah (penjelasan) kitab Shahihnya.
Dengan demikian, Shahih, karya seorang ahli hadits hebat yang menggabungkan ilmu
yang luas tentang hadits dan bahasa yang sejenis dengan kesalehan, ketelitian, ketepatan
seorang editor ahli, dan ketajaman hukum seorang ahli hukum yang cerdik, dengan cepat
menarik perhatian seluruh komunitas Muslim, dan diterima sebagai kitab hukum berikutnya
setelah Al-Qur'an. Banyak doctor-doktor Muslim menulis penjelasan-penjelasan yang banyak
tentangnya, dimana mereka secara menyeluruh membahas setiap aspek buku ini, dan setiap
kata dari kandungannya, dari aspek hukum, linguistik, kontekstual dan historis. Dua belas
kitab penjelasan semacam ini telah dicetak, sementara setidaknya lima puluh sembilan lainnya
tetap dalam bentuk manuskrip.
Namun, akan menjadi sebuah kesalahan jika menganggap bahwa Sahih bebas dari
cacat, atau bahwa para ulama Muslim telah gagal mengkritiknya dalam beberapa hal. Jadi,

71
© Islamic Online University Hadits 101

secara umum diterima bahwa seperti ahli hadits lain, Al-Bukhaari membatasi kritiknya pada
perawi hadits dan sifat terpercayanya, dan tidak terlalu memperhatikan peluang atau
kemungkinan kebenaran materi yang mereka riwayatkan. Dalam memperkirakan sifat
terpercaya perawi, penilaiannya dalam beberapa kasus telah salah, dan ahli hadits tidak luput
dalam menunjukkannya. Al-Daaraqutni (306/ 918 - 385/ 995) mencoba menunjukkan
kelemahan sekitar dua ratus hadits yang ada dalam buku tersebut, dalam karyanya Al-
Istidraak wa'l-tatabbu', yang telah dirangkum oleh Al-Jazaa'iri dalam bukunya Tawjih Al-
Nazar. Abu Mas'aad dari Damaskus, dan Abu 'Ali Al-Ghassaani juga telah mengkritik kitab
Shahih, sementara Al-'Ayni dalam syarah-nya yang terkenal telah menunjukkan kekurangan
beberapa isinya.'
Meskipun demikian, semua ahli hadits, termasuk mereka yang telah mengkritik
Shahih, telah mengakui akurasinya secara umum, perhatian yang teliti, dan ketepatan
pengarang buku ini. Dalam pemilihan haditsnya', kata orientalis Brockelmann, dia telah
menunjukkan kemampuan kritis terhebat, dan dalam mengedit teks tersebut berusaha
mendapatkan ketelitian yang paling akurat.

Shahih Muslim
Posisi Shahih Bukhaari dalam literatur tentu saja bukan tanpa bandingan. Kitab Shahih lain
yang disusun hampir bersamaan, yang dianggap lebih superior oleh beberapa orang, setingkat
oleh yang lain, dan peringkat kedua oleh kebanyakan orang. Ini adalah Kitab Shahih Abu
Husain Asaakir ad-din Muslim ibn Al-Hajjaaj ibn Muslim Al-Qusyayri Al-Nisaabri, yang
dikenal sebagai Imaam Muslim.
Seperti yang ditunjukkan oleh nisba-nya, Muslim berasal dari suku Qusyayr dari
bangsa Arab, sebuah cabang dari klan Rabi'ah. Sukunya telah mengambil bagian penting
dalam sejarah Islam setelah wafatnya Nabi. Hayda dari Qushayr disebutkan di dalam Isaaba
sebagai salah satu dari Sahabat, sementara Qurra ibn Hubayra, seorang Qushayri lainnya,
ditunjuk oleh Nabi sebagai wakil yang bertanggungjawab terhadap zakat kaumnya. Ziyaad
ibn Abd Al-Rahmaan Al-Qushayri dikatakan telah membunuh sejumlah besar pasukan
Bizantium pada Pertempuran Yarmook, di mana ia kehilangan salah satu kakinya.
Setelah penaklukan besar Islam, berbagai keluarga Qushayris bermigrasi dari Arab
dan menetap di provinsi baru, beberapa di barat, dan yang lainnya di timur. Kulthaam ibn
'Iyaad dan keponakannya, Balj ibn Bishr, yang pernah bertugas sebagai gubernur Ifriqiya dan
Spanyol secara berturut-turut, menetap di sebuah distrik dekat Qurtuba (Kordoba). Keluarga
Qushayri lainnya tinggal di dekat Al-Bira (Elvira). Yang lainnya menuju ke timur, dan
menetap di Khurasaan. Di antara mereka ada seorang Zuraara, yang menjabat sebagai
gubernur provinsi untuk sementara waktu. Putranya Amr dan cucunya Humayd ibn Amr,
menetap di Nisabar.' Dari merekalah penulis kita mungkin dilahirkan: putra Al-Hajjaaj, yang
dirinya sendiri merupakan seorang ahli hadits yang bereputasi.
Sangat sedikit yang diketahui tentang kehidupan awal Muslim. Dikatakan bahwa dia
lahir pada tahun 202/ 817, dan bahwa setelah belajar dan unggul dalam disiplin ilmu umum
sebelum waktunya, memusatkan perhatiannya pada hadits. Dalam mencari hadits ia
melakukan perjalanan secara luas, mengunjungi semua pusat pembelajaran penting di Persia,
Irak, Suriah dan Mesir. Dia menghadiri pengajaran sebagian besar ahli hadits besar pada

72
© Islamic Online University Hadits 101

zamannya, termasuk Ishaq ibn Raahawayh, Alimad ibn Hanbal, 'Ubayd Allah Al-Qawáriiri,
Shuwayb ibn Yoonus,' Abdullaah ibn Maslama, dan Hamala ibn Yaliyaa. Dia menetap di
Nisaaboor, mencari nafkah dari bisnis kecil, dan mengabdikan sisa waktunya untuk sunnah
Nabi. Ia meninggal di tahun 261/874.
Karakternya dikatakan sangat mengagumkan. Kesetiaannya yang tak kenal takut
terhadap kebenaran ditunjukkan oleh kegigihannya dalam pergaulannya dengan Bukhaari
meskipun tekanan politik terus menimpa Bukhaari. Seperti halnya Bukhaari, dia menganut
etika Islam yang biasa yaitu menolak untuk berbicara buruk tentang siapapun.
Seperti Bukhaari juga, dia menulis banyak buku dan risalah hadits, dan tentang topik
yang berkaitan. Ibn Al-Nadim menyebutkan lima buku karyanya mengenai subjek tersebut.
Haji Khaiifa menambahkan banyak karyanya yang lain di bidang yang sama. Dalam kitab
Shahihnya dia meneliti sepertiga dari satu juta hadits, yang darinya dia hanya memilih sekitar
empat ribu, yang mana para ahli hadits sepakat menganggapnya shahih.
Seperti Bukhaari, Muslim menganggap hadits sebagai Shahih hanya jika diriwayatkan
kepadanya melalui isnaad yang berkelanjutan dari perawi yang dikenal dan dapat dipercaya,
sesuai dengan materi lain yang ditegakkan dengan cara ini, dan bebas dari berbagai jenis
kekurangan. Dia mengadopsi tiga klasifikasi Hadits. Pertama, ada hadits yang telah
diriwayatkan oleh perawi yang lurus dan teguh dalam periwayatan mereka, tidak berbeda jauh
dari perawi lain yang terpercaya, dan tidak melakukan kekeliruan yang jelas dalam laporan
mereka. Kedua, terdapat hadits yang perawinya tidak dikenal karena ingatan mereka yang
kuat dan keteguhan dalam periwayatan. Ketiga, terdapat hadits-hadits yang diriwayatkan dari
orang-orang yang semua atau kebanyakan ahli hadits dipertanyakan sifat terpercayanya.
Menurut Imaam Muslim, kelompok pertama menyusun sebagian besar isi bukunya; Yang
kedua disertakan untuk menguatkan yang pertama, sedangkan yang ketiga sama sekali ditolak.
Karena Buku Tafsir Shahih Muslim tidak lengkap dan tidak sistematis, karyanya tidak
dianggap sebagai koleksi yang komprehensif (Jämi') seperti halnya kitab Imaam Bukhaari.
Meskipun demikian, Imaam Muslim secara ketat mengikuti banyak prinsip ilmu Hadits yang
telah -pada batas tertentu- diabaikan oleh Al-Bukhari. Dia membedakan antara istilah
akhbarana dan haddatsana, dan selalu menggunakan akhbarana untuk hadits yang telah
dibacakan kepadanya oleh gurunya sendiri, menggunakan haddatsana untuk hadits yang telah
dibacakannya kepada mereka.' Dia lebih ketat dan lebih konsisten daripada Al-Bukhaari
dalam menunjukkan perbedaan antara periwayatan berbagai raawi, dan dalam menyatakan
karakter mereka dan hal-hal khusus lainnya. Dia juga menunjukkan ketajaman yang lebih
besar dalam pengaturan hadits dan isnaadnya dalam karyanya, dan dalam menyajikan
berbagai versi dari satu hadits di satu tempat. Tidak seperti Imaam Bukhári, dia nampaknya
tidak melakukan kesalahan atau kekeliruan apapun dalam teks atau isnad hadits manapun.'
'Dia menambahkan sebuah perkenalan yang panjang, di mana dia menjelaskan beberapa
prinsip yang diikutinya dalam pemilihan materi untuk bukunya; dan yang harus diikuti dalam
menerima dan meriwayatkan hadits
Setelah menyelesaikan Shahihnya, Imaam Muslim mempresentasikannya kepada Abu
Zar'a dari Rayy, seorang ahli hadits yang bereputasi, untuk memperoleh komentarnya. Abu
Zar'a memeriksanya dengan seksama, dan Muslim menghapus segala sesuatu yang
menurutnya cacat, dan mempertahankan hanya hadits yang dinyatakan shahih olehnya.

73
© Islamic Online University Hadits 101

Sehingga, dengan hati-hati disusun oleh Muslim, dan dikoreksi oleh Abu Zar'a, kitab
Shahihnya telah diakui sebagai kompilasi hadits paling otentik setelah Bukhaari, dan lebih
unggul darinya dalam rincian pengaturannya. Beberapa ahli hadits menganggapnya lebih
unggul dari karya Bukhaari dalam segala hal.
Setelah Muslim, sejumlah ulama lainnya juga mengkompilasi Sahih, termasuk Ibn
Khuzayma (wafat 354/ 965), Abu Haatim Muhammad ibn Hibban (wafat 354/ 965), dan yang
lainnya. Namun tak satu pun dari mereka, pernah mendapat pengakuan dan popularitas yang
telah diberikan komunitas Muslim atas pencapaian definitif Al-Bukhari dan Muslim.

Karya Sunan
Sunan merupakan cabang literatur hadits terkaya. Sejak periode awal Islam, ahli hadits lebih
memperhatikan riwayat hukum dan doktrin daripada yang mereka lakukan pada yang bersifat
sejarah (maghazi), berargumen bahwa tanggal tepatnya keberangkatan Nabi dari Badar,
misalnya, tidak memiliki kegunaan praktis untuk seorang Muslim. Oleh karena itu, perhatian
seharusnya lebih difokuskan pada topik yang relevan dengan kehidupannya sehari-hari,
seperti wudhu, shalat, perdagangan, perkawinan, dan sebagainya.
Penekanan pada hadits yang bersifat praktis ini semakin bertambah setelah paruh
kedua abad ketiga. Sebagian besar ahli hadits, dengan pengecualian hanya yang paling
ambisius, mengkompilasi Hadits dari Sunan saja. Demikianlah karya Abu Daawud Al-
Sijistani, Al-Tirmidzi, Al-Nasaa'i, Al-Dárimi, Ibn Maaja, Al-Daraqutni, dan sejumlah besar
lainnya.

Sunan Abu Daud


Karya ini, yang termasuk antologi Hadits yang paling penting, adalah karya Abu Daawud
Sulaymaan ibn Al-Asy'ats Al-Sijistaani, yang dikatakan telah memeriksa 500.000 hadits, dan
memilih 4.800 untuk bukunya, sebuah upaya yang menyita 20 tahun kehidupannya.
Abu Daawud adalah keturunan dari 'Imraan dari suku Azd, yang terbunuh saat
Pertempuran Siffin di pihak Ali. Abu Daawud sendiri lahir tahun 203/ 817. Penulis biografi
berselisih tentang tempat kelahirannya: Ibn Khallikán, dan, setelahnya, Woostenfeld,
berpendapat bahwa dia dilahirkan di sebuah desa yang dikenal sebagai Sijistaana di sekitar
Basra, sementara Yaaqut, Al-Sam'aani dan Al-Subki berpikir bahwa dia lahir di wilayah
terkenal Sijistaan di Khurasaan. Sebenarnya, tidak ada bukti bahwa sebuah desa bernama
Sijistaana pernah ada di wilayah Basra.
Ketika pendidikan dasarnya, yang mungkin bertempat di kota asalnya telah selesai, ia
masuk ke sebuah sekolah di Nisabur saat berusia sepuluh tahun. Di sana ia belajar di bawah
didikan Muhammad ibn Aslam (wafat 242/ 856). Dia kemudian pergi ke Basra, di mana dia
menerima sebagian besar pelatihan Haditsnya. Pada 224/ 838 dia mengunjungi Kufa, kota
dimana dia memulai serangkaian perjalanan untuk mencari hadits, yang membawanya ke
Hijaz, Irak, Persia, Siria dan Mesir. Dia bertemu dengan sebagian besar ahli hadits terkemuka
pada masanya, dan memperoleh pengetahuan mendalam tentang hadits yang tersedia.
Abu Dawood bepergian secara rutin, membawanya ke kota metropolitan, Baghdad.
Suatu ketika, saat menetap di kota itu, dia dikunjungi oleh Abu Ahmad Al-Muwaffaq,
komandan dan saudara laki-laki Khalifah Al-Mu'tamid yang terkenal. Ketika Abu Daawud

74
© Islamic Online University Hadits 101

menanyakan tujuan kunjungannya, Al-Muwaffaq menjawab bahwa tujuannya adalah tiga kali
lipat. Pertama, dia ingin mengundang Abu Daawud untuk tinggal di Basra, yang telah
ditinggalkan karena pemberontakan Zanj, dan menurut pendapatnya, akan pulih kembali jika
ulama-ulama terkenal dan murid-murid mereka pindah ke sana. Kedua, dia meminta Abu
Daawud untuk mengajar keluarga Al-Muwaffaq. Ketiga, dia memintanya untuk mengajar
secara privat, sehingga murid biasa tidak ikut serta. Abu Daawud menerima dua permintaan
pertama, namun menyatakan ketidakmampuannya untuk mematuhi yang ketiga. Karena di
hadapan ilmu semua adalah sama ', dan Abu Daawud tidak akan mentoleransi perbedaan
antara murid kaya dan miskin. Hasilnya adalah anak-anak Al-Muwaffaq menghadiri
pelajarannya berdampingan dengan siapa saja yang ingin ikut serta.
Kisah ini, sampai pada kita oleh Al-Subki, tidak hanya menyoroti reputasi besar Abu
Daawud sebagai seorang ulama dan seorang pria yang berprinsip, tapi juga tanggal kediaman
terakhirnya di Basra. Hal ini tidak mungkin terjadi sebelum tahun 270/ 883, saat
pemberontakan Zanj akhirnya dihancurkan. Abu Daawud meninggal di Basra pada tahun
275/888, pada usia 73 tahun.
Pengetahuan ensiklopedisnya tentang hadits, ingatan fotografinya, karakternya yang
jujur, dan kebaikannya, diakui oleh semua ahli hadits. Salah satu bukunya yang paling
terkenal tentang hadits dan Hukum Agama adalah Sunan-nya, yang tidak hanya dianggap
sebagai karya pertama dari jenisnya dalam literatur hadits, tapi juga umumnya dilihat sebagai
yang terbaik dan paling terpercaya. Buku ini terbagi dalam buku-buku yang terbagi lagi
menjadi beberapa bab.
Meskipun Abu Daawood mempertahankan ketelitian pendahulunya dalam menulis
ulang materi yang dikumpulkankannya, dia berbeda dari mereka dalam kriteria seleksi. Dalam
Sunannya, dia tidak hanya memasukkan hadits Sahih (seperti yang telah dilakukan Bukhaari
dan Muslim), tapi juga beberapa catatan lain yang telah dikelompokkan oleh ulama lain
sebagai lemah atau diragukan. Di antara para perawi, dia bergantung tidak hanya pada perawi
yang telah dinyatakan secara bulat dapat diterima, tetapi juga pada lainnya yang menjadi
bahan kritik beberapa kalangan. Ini tidak menjadi cacat dalam bukunya:
beberapa kritikus seperti Syu'ba sebenarnya telah terlalu ketat dalam kritik mereka terhadap
perawi. Meski demikian, Abu Daawud mengkompilasi hadits yang paling terpercaya yang
diketahuinya tentang setiap pokok bahasan fiqh, mengutip sumber-sumber yang darinya
hadits sampai kepadanya, bersama beberapa versi hadits tersebut. Dia menarik perhatian pada
cacat dari beberapa hadits yang dikutipnya, demikian juga nilai relatif dari teks varian. Namun,
dalam kasus hadits yang diyakininya shahih, dia sama sekali tidak berkomentar; dia juga
memiliki kebiasaan hanya mengambil bagian-bagian hadits panjang yang relevan dengan bab
dimana hadits tersebut disertakan.
Perkataan berikut dibuat oleh Abu Daawud berkaitan dengan beberapa haditsnya
memberi kita gambaran umum tentang metode dan sifat kritiknya:
Abu Daawud mengatakan: Ini adalah Hadits yang tidak autentik (munkar). Tentu, ini
diriwayatkan oleh Ibn Jurayj dari Ziyad ibn Sa'd, dari Al-Zuhri, dari Anas, bahwa dia
mengatakan bahwa Nabi (‫)ﷺ‬, telah mengenakan cincin yang terbuat dari daun palem,
yang kemudian dibuang. Kesalahan dalam hadits ini harus dinisbatkan pada Humaam.
Tidak ada perawi lain yang meriwayatkannya.

75
© Islamic Online University Hadits 101

Tentang hadits lain dia mengatakan ini:


Ini hanya diriwayatkan oleh Ibnu Wahb saja. Namun Hadits yang serupa telah
diriwayatkan oleh Ma'qil ibn 'Ubayd Allah melalui jalur perawi.
Dan sehubungan dengan hadits lebih lanjut, setelah memberikan dua versinya, dia
berkomentar: Hadits yang diriwayatkan oleh Anas lebih tepat dari yang lain.
Di tempat lain, dia menunjukkan bahwa hanya para ahli hadits Mesir yang
memberikan isnaad untuknya. Pada yang lain, dia menambahkan sebuah catatan tentang salah
satu perawinya, Abu Ishaq, yang menyatakan bahwa dia hanya mempelajari empat hadits dari
Al-Haarith, dan bahwa Hadits ini, walaupun diduga dikatakan sebagai periwayatan Al-Haarith,
bukanlah salah satu dari mereka. Tentang perawi hadits lain, dia berkata: Abu Khalil tidak
pernah mendengar hadits dari Qataada, sementara di tempat lain dia berkomentar: Hadits ini
telah diriwayatkan dengan beberapa rantai perawi, yang kesemuanya tidak autentik.
Mengandung semua hadits hukum yang dapat berfungsi sebagai fondasi untuk ibadah dan
hukum Islam, dan memberikan catatan eksplisit tentang otoritas dan nilai hadits-hadits ini,
buku Aboo Daawood pada umumnya diterima sebagai karya sunan yang paling penting. Kitab
Al-Sunan dari Abu Daawud, 'kata penulis syarah (penjelasan)-nya Al-Khattaabi, adalah buku
yang mulia, yang karya sepertinya belum pernah dituliskan.' Karena penulis mengumpulkan
hadits yang tidak pernah dikumpulkan orang lain, buku ini diterima sebagai karya standar
oleh para ulama dari berbagai madzhab, khususnya di Irak, Mesir, Afrika Utara dan banyak
bagian dunia Islam lainnya.

Jami 'Al-Tirmidzi
Prinsip umum berkenaan dengan kritik hadits yang telah diadopsi oleh Abu Daawud semakin
ditingkatkan dan diikuti oleh muridnya Abu 'Isaa Muhammad ibn' Isa Al-Tirmidzi, di dalam
Jami-nya. Karya ini berisi banyak hadits -hukum, aqidah, dan sejarah- yang telah diterima
oleh para ahli hukum dari madzhab utama sebagai dasar hukum Islam.
Al-Tirmidzi lahir di Mekkah pada tahun 206/ 821. Dia banyak melakukan perjalanan
untuk mencari hadits, mengunjungi pusat-pusat pembelajaran Islam di Irak, Persia dan
Khurasaan, di mana dia bisa bergaul dengan para ahli hadits terkemuka seperti Al-Bukhari,
Muslim, Abu Daawud dan lainnya. Dia meninggal di Tirmidh pada tahun 279/892.
Seperti Abu Daawud, Abu 'Isaa memiliki ingatan yang sangat tajam dan retentif, yang
berkali-kali diuji. Diriwayatkan bahwa pada tahap awal perjalanannya, seorang ahli hadits
pernah mendiktekan beberapa hadits yang mencapai enam belas halaman, yang kemudian
dihilangkan oleh Tirmidzi sebelum dia dapat mengulangnya. Dia bertemu dengan ahli hadits
itu lagi setelah beberapa lama, dan memintanya untuk membacakan beberapa hadits. Guru
tersebut menyarankan agar dia membaca dari manuskripnya hadits yang sama yang telah
didiktekannya kepada Tirmidzi pada pertemuan mereka sebelumnya, dan Tirmidzi harus
membandingkan catatannya dengan apa yang dia dengar. Alih-alih memberi tahu ahli hadits
tersebut bahwa dia telah menghilangkan catatannya, Tirmidzi mengambil beberapa lembar
kertas kosong di tangannya, dan melihatnya seolah-olah berisi catatannya, sementara gurunya
mulai membaca bukunya. Sang guru segera menyadari tipu muslihatnya, dan menjadi marah
dengan perbuatan murid muda tersebut. Namun Tirmidzi menjelaskan bahwa dia mengingat
setiap kata apa yang telah didiktekan kepadanya. Guru itu enggan mempercayainya, dan

76
© Islamic Online University Hadits 101

menantangnya untuk melafalkan hadits-hadits dari ingatannya. Tirmidzi menerima tantangan


ini, lalu membacakan semua hadits tanpa melakukan satu kesalahan pun. Karena hal ini, sang
guru meragukan pernyataannya bahwa dia tidak dapat mengulang dari catatannya, dan
memutuskan untuk menguji muridnya dengan membaca empat puluh hadits lainnya, dan
meminta Tirmidzi untuk mengulanginya. Tanpa ragu, Tirmidzi mengulangi apa yang dia
dengar secara verbal, dan gurunya, sekarang yakin akan kebenaran pernyataannya,
menyatakan kesenangan dan kepuasannya pada kekuatan hafalan pemuda tersebut.
Jami Tirmidzi', yang dikompilasi meenggunakan anugrah ini, diakui sebagai salah satu
karya literatur hadits yang paling penting, dan dengan suara bulat dimasukkan dalam enam
kitab hadits shahih. Untuk pertama kalinya, penulis menggunakan prinsip hanya
mempertimbangkan hadits-hadits dimana berbagai amalan dan hukum Islam telah ditetapkan
oleh para ulama dari berbagai madzhab. Ia tidak hanya berusaha keras untuk menentukan
identitas, nama, judul dan kunyah para perawi hadits yang dikutipnya; Dia juga berusaha
untuk menyatakan tingkat keshahihannya, menjelaskan penggunaannya oleh para ahli hukum
madzhab-madzhab. Dia menambahkan catatan pada hampir setiap hadits, diawali dengan
kata-kata, 'Abu 'Isaa mengatakan...' Dia kemudian melanjutkan mengemukakan sejumlah poin
yang berhubungan dengan hadits tersebut. Contoh berikut akan menunjukkan sifat dan
pentingnya catatan ini.
(i) Diriwayatkan kepada kami oleh Abu Kurayb, yang meriwayatkannya dari 'Abda Binti
Sulaymaan dari Muhammad ibn' Amr dari Abu Salmä dari Abu Hurairah, yang mengatakan
bahwa Nabi (‫ )ﷺ‬mengatakan bahwa seandainya dia tidak takut menyusahkan umatnya, dia
akan memerintahkan bersiwak setiap kali sebelum shalat. Abu 'Isaa mengatakan: Hadits ini
telah diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Ishaq dari Muhammad ibn Ibraahim, dari Abu
Salmaa, dari Zayd ibn Khaalid, dari Nabi (‫)ﷺ‬. Dan menurut saya, kedua hadits dari Abu
Salmaa dari Abu Hurayra dan Zayd ibn Khaalid dari Nabi adalah shahih, karena telah
diriwayatkan kepada saya dari Abu Hurairah dari Nabi, melalui lebih dari satu rantai perawi.
Namun Muhammad, berpikir bahwa hadits Abu Salma dari Zayd ibn Khaalid adalah yang
paling benar. Pada perkara tersebut terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr Al-
Siddiq, 'Ali', A'ishah, Khaalid, 'Anas,' Abdullaah ibn 'Amr, Umm Habiba dan Ibn' Umar.

(ii) Qutayba, Hannád, Abu Kurayb, Ahmad ibn Manic, Mabmad ibn Ghaylan dan Abu
'Ammaar telah meriwayatkan kepada kami dengan mengatakan bahwa Waki' meriwayatkan
kepada mereka dari Al-A'masy, dari Habib ibn Abi Tsaabit, dari 'Urwa dari' A'ishah bahwa
Nabi (‫ )ﷺ‬pernah mencium salah satu istrinya, lalu keluar untuk salat tanpa berwudhu. 'Urwa
bertanya kepada 'Aisyah: "Siapakah ini selain engkau?” Dan 'A'ishah tertawa. Abu' Isaa
berkata: "Hadits serupa telah diriwayatkan oleh banyak ulama di kalangan para Sahabat dan
yang mengikutinya, dan ini adalah pendapat Sufyaan Al-Tsawri dan ahli fiqih Kufa, yang
berpendapat bahwa ciuman tidak membatalkan wudhu. Namun, Maalik ibn Anas, Al-Awzaa’i,
Al-Syafi'i, Ahmad [ibn Hanbal] dan Ishaq [ibn Raahawayh], berpendapat bahwa ciuman
memang membatalkan wudhu, dan ini adalah pendapat para ulama di kalangan sahabat dan
tabi’in. Kaum kami [Maalik, Ahmad dkk] tidak mengikuti Hadits yang diriwayatkan 'Aa'isyah
dari Nabi (‫ )ﷺ‬karena terlihat tidak shahih bagi mereka karena isnaad-nya. Saya mendengar
Abu Bakr Al-'Attaar dari Basra mengutip 'Ali ibn Al-Madini, yang mengatakan bahwa
Yahyaa Ibn Sa'id Al-Qatttan menyatakan bahwa hadits ini lemah, dan mengatakan bahwa

77
© Islamic Online University Hadits 101

hadits ini tak bernilai. Saya juga mendengar Muhammad ibn Ismaa'il menyebutnya hadits
yang lemah, mengatakan bahwa Habib ibn Abi Tsaabit tidak pernah menerima hadits dari
'Urwa. Ibraahim Al-Taymi juga mriwayatkan dari 'Aa'ishah bahwa Nabi (‫ )ﷺ‬menciumnya dan
tidak berwudhu setelahnya; Tapi ini juga tidak shahih, karena Ibraahim Al-Taymi tidak
diketahui telah menerima hadits ini dari 'Aa'ishah. Faktanya, tidak ada yang telah dinisbatkan
kepada Nabi dalam hal ini dapat disebut shahih'.

(iii) 'Ahmad ibn Muhammad meriwayatkan kepada kami [mengatakan bahwa] 'Abdullaah
meriwayatkan kepada kami dari Fudayl ibn Ghazwaan dari Ibn Abi Nu'aym dari Abu Hurayra,
yang mengatakan bahwa Abu'l-Qaasim [Nabi], mengatakan bahwa dia yang menuduh
budaknya dengan tidak benar, sementara budaknya tidak bersalah atas apa yang dituduhkan,
akan dihukum pada Hari Pembalasan. Ini adalah hadits yang kuat (hadits Hasan ~ tentang
masalah ini, hadits lain telah diriwayatkan oleh Suwayd ibn Muqarrin dan 'Abdullaah ibn'
Umar. Sedangkan untuk Ibn Abi Nu'aym, dia adalah 'Abd Al-Rahmän ibn Abi Nu'aym, yang
kunyahnya adalah Abul-Hakam. '
Tiga contoh di atas cukup untuk menunjukkan sifat ucapan yang ditambahkan oleh
Tirmidzi terhadap hadits-hadits dalam Jami-nya. Hadits ini dikategorikan sebagai Shahih
(Kuat), Hasan (Bagus), Shahih Hasan (Kuat Bagus), Hasan Sahih (Bagus kuat), Gharib
(Asing), Dha'if (Lemah), atau Munkar (Belum ditentukan). Tapi mungkin fitur yang paling
penting dari Jami 'sejauh penilaian tentang sifat terpercaya-nya, adalah kategori hasan.
Di dalam kelas ini termasuk sebagian besar hadits dimana banyak ibadah dan hukum agama
didasarkan. Istilah ini telah digunakan oleh Bukhaari, Ibn Hanbal dan yang lainnya, tapi agak
longgar, dan mungkin secara lepas dan non teknis. Tirmidzi menyadari pentingnya hadits-
hadits ini sebagai sumber hukum, mendefinisikan istilah ini untuk pertama kalinya (dalam
Kitäb al-Ilal dalam Jaami nya), dan menerapkannya pada hadits-hadits yang memenuhi
persyaratannya. Tirmidzi mendefinisikan hadits hasan sebagai sesuatu yang telah
diriwayatkan oleh perawi yang tidak dituduh memalsukan, asalkan diriwayatkan oleh lebih
dari satu rantai perawi, dan tidak bertentangan dengan apa yang telah diriwayatkan oleh
perawi lain yang terpercaya. Hadits semacam ini tidak bisa disebut shahih, karena
kekuatannya tidak terbukti menurut para ahli hadits. Akan sama kesalahannya untuk
menyatakan bahwa hadits ini sama sekali tidak dapat diandalkan, namun karena karakter
perawi tidak menimbulkan kecurigaan semacam, dan tidak pula dapat dibenarkan dengan
membandingkannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi terpercaya. Sifat terpercaya
atau tidaknya bergantung pada sifat hadits tertentu dan karakter perawinya, dan karenanya
harus dibedakan dalam kasus yang berbeda. Beberapa hadits ini mungkin mendekati, meski
tidak tepat, sifat terpercaya dari hadits Shahih, sementara yang lain mungkin hampir, meski
tidak terlalu, tidak terpercaya seperti materi yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak dikenal.
Untuk menentukan kelas hadits dan tingkat terpercayanya, Tirmidzi menggambarkan
beberapa darinya sebagai shahih hasan, beberapa sebagai hasan, dan lainnya sebagai hasan
gharib. Tapi dia tidak begitu konsisten dalam penggunaan istilah hasan, dan banyak ahli
hadits telah mengkritiknya mengenai hal ini, menjelaskan ketidakkonsistenannya dalam
berbagai cara.
Namun meski demikian, Jami' memiliki keutamaan yang cukup untuk memastikan tempatnya
sebagai karya unik dalam literature hadits.

78
© Islamic Online University Hadits 101

Sunan An Nasa’i
Karya penting lain dalam kategori ini adalah yang disusun oleh Abu 'Abd Al-Rahman Ahmad
ibn Shu'ayb an-Nasaa'i, yang lahir pada tahun 214 atau 215 H (6 atau 7 tahun setelah
Tirmidzi), di Nasa' sebuah kota di Khurasaan. Setelah menerima pendidikan awal di provinsi
asalnya, dia melakukan perjalanan pada usia lima belas tahun ke Balkh, di mana dia
mempelajari Hadits bersama Qutayba ibn Sa'id selama lebih dari setahun. Dia melakukan
perjalanan ke banyak tempat dalam mencari Hadits, dan menetap di Mesir, ketika salah satu
gurunya, Yunus ibn 'Abd Al-'Alaa, masih hidup. Pada tahun 302/ 914 dia pergi ke Damascus,
dimana dia menemukan orang-orang yang memiliki pandangan salah atas Ali Ibn Abi Thalib,
karena pengaruh masa lalu Dinasti Umayyah. Untuk membimbing manusia, dia menyusun
sebuah buku tentang keutamaan Ali dan ingin membacanya dari mimbar sebuah masjid. Tapi
jamaah, bukannya mendengarkan dengan sabar, malah mempermalukannya, menendangnya
keluar, dan mengusirnya dari masjid. Dia meninggal pada tahun 303/ 915, mungkin sebagai
akibat dari kejadian ini.
Nasaa'i diakui sebagai ahli hadits terkemuka pada masanya. 'Abdullaah ibn Ahmad ibn
Hanbal, Muhammad ibn Ibraahim,' Ali ibn 'Umar dan ahli hadits besar lainnya,
menganggapnya demikian. Kecermatannya terbukti dari fakta bahwa berkaitan dengan hadits
yang diriwayatkan Al-Haarith, dia tidak pernah menggunakan istilah Haddatsanaa atau
akhbarana, seperti yang dilakukannya pada kasus hadits yang telah sampai kepadanya
melalui ulama lain, karena walaupun materinya yang diperolehnya dari Al-Haarith dibacakan
di kelas umum, Nasaa'i dilarang hadir, dan karenanya diwajibkan untuk mendengarkan
dengan menyembunyikan diri di gerbang ruang kuliah. Dalam karyanya Sunannya yang besar
(yang diakuinya mengandung cukup banyak hadits lemah dan meragukan), Al-Nasaa'i
menyusun hadits hukum yang menurutnya cukup terpercaya atau mungkin terpercaya. Atas
permintaan beberapa temannya, dia juga menghasilkan sinopsis Sunan, yang disebut Al-
Mujtaba, atau Al-Sunan Al-Sughra. Karya terakhir ini, yang menurutnya hanya berisi hadits
terpercaya, sekarang diterima sebagai satu dari enam kitab hadit shahih.
Dalam Al-Sunan Al-Sughraa, Nasaa'i sepenuhnya mengabaikan sudut pandang
Tirmidzi rekan sejamannya, yang telah berusaha menerapkan hadits pada masalah tertentu,
dan mengatur bukunya sesuai dengan itu. Tujuan utama Nasaa'i adalah untuk menetapkan
teks hadits dan mencatat perbedaan di antara berbagai versi mereka, yang hampir semuanya
dikutipnya dalam extenso, bukan hanya merujuk padanya, seperti yang dilakukan Abu
Daawud dan Tirmidzi. Di banyak tempat, dia memberi judul pada perbedaan antara berbagai
perawi, dan menyebutkan perbedaan terkecil di antara mereka. Perhatian terhadap detail-
detail terkecil ini, seperti yang digambarkan oleh Goldziher, sebenarnya bagian integral bagi
seni muhaddith, dan bukan (seperti yang dipikirkan Goldziher) terbatas pada bab tentang
ibadah saja, namun banyak muncul dalam bab-bab lain. Dalam beberapa kasus, setelah
memberikan berbagai versi dari sebuah hadits, Nasa’i menunjukkan bahwa beberapa di
antaranya salah. Dia juga dikenal karena ketatnya dalam menilai dan memilih sanadnya;
Sebenarnya, dikatakan bahwa ukuran kritiknya lebih ketat daripada Muslim. Namun, buku ini
berisi banyak hadits lemah dan meragukan yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak dikenal
dengan kredensi yang dipertanyakan.

79
© Islamic Online University Hadits 101

Sunan Al-Darimi
Ini adalah salah satu karya sunan paling awal yang telah sampai kepada kita. Penulisnya, Abu
Muhammad 'Abdullaah ibn' Abd al-Rabman (181-255/ 797-868) adalah anggota klan Arab
dari Bani Daarim, sebuah cabang dari suku Tamim, yang dengannya dia mungkin digelari
mawla. Seperti banyak orang sezamannya, dia sering melakukan perjalanan untuk mencari
hadits, dan belajar kepada ahli hadits penting seperti Yazid ibn Haran dan Sa'id ibn Amir yang
dikenal karena pengabdian di bidangnya, dia juga dikenal karena kejujuran dan
keshalehannya. Saat ditawarkan menjadi hakim di Samarqand dia menolak, takut dia akan
melakukan kedzaliman, sampai dia dipaksa untuk menerima; dan dia mengundurkan diri
setelah menghakimi hanya satu kasus.
Sunan al-Daarimi telah dideskripsikan sebagai karya musnad. Namun, ini adalah tidak
tepat, setidaknya jika istilah tersebut digunakan secara umum. Beberapa ahli hadits telah
menggolongkannya sebagai Shahih; Tapi ini juga tidak akurat, karena buku ini berisi banyak
hadits yang tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk hadits yang shahih.
Karya tersebut berisi sekitar 3.550 hadits disusun dalam 1.408 bab sesuai subjek.
Salah satu fitur khusus dari buku ini adalah bab pendahuluan umum di mana penyusun
menyajikan sejumlah hadits yang berhubungan dengan berbagai hal, termasuk penggunaan
tertentu orang-orang Arab sebelum Islam, hadits yang terkait dengan kehidupan dan karakter
Nabi, materi yang terkait dengan catatan tertulis hadits, dan pentingnya pengetahuan. Dalam
teks utama, Daarimi mengikuti rencana yang sama dengan penyusun sunan setelahnya.
Setelah mengutip sekelompok hadits, dia menambahkan catatan, dalam beberapa di antaranya
dia menawarkan pendapatnya sendiri mengenai masalah tertentu, mengidentifikasi beberapa
perawi, atau mengkritik sifat terpercaya mereka, atau menarik perhatian pada berbagai versi
dari sebuah hadits. Namun catatan ini, jauh lebih singkat daripada yang ditambahkan pada
tiga karya sunan yang telah disebutkan sebelumnya.
Buku ini secara umum diterima sebagai sumber penting, dan telah dianggap oleh
beberapa ahli hadits sebagai enam kitab hadits shahih. Bagaimanapun, tidak pernah mencapai
posisi dari ketiga karya sebelumnya, karena mengandung lebih banyak hadits lemah dan cacat
dibandingkan tiga karya sebelumnya.

Sunan Ibnu Maja


Sebagian besar ahli hadits lebih memilih Sunan Ibnu Maja (209/ 824 - 273 / 886)
dibandingkan karya Darimi, menyertakannya dalam Enam kitab hadits shahih. Abu
'Abdullaah Muhammad ibn Yazid (biasa dikenal sebagai Ibnu Maaja, yang menggunakan
gelar ayahnya, atau mungkin kakeknya), lahir di Qazwin. Mengunjungi pusat pembelajaran
penting di Iran, Irak, Suriah dan Mesir, dia belajar kepada para ahli hadits terkemuka pada
masanya, dan mengkompilasi beberapa karya di bidang Hadits, yang terpenting adalah Sunan-
nya. Dalam karya ini, penulis mengumpulkan empat ribu hadits yang dibagi dalam lebih dari
32 buku dan 1.500 bab. Dikatakan bahwa setelah menyelesaikan buku tersebut, Ibn Maja
memberikannya kepada Abu Zar'a untuk dikoreksi, yang dikenal sebagai kritikus hadits yang
paling kompeten pada zaman itu. Abu Zar'a menyukai rencana umum buku ini, dan
mengatakan bahwa dia mengharapkannya untuk mengungguli karya-karya Hadits yang

80
© Islamic Online University Hadits 101

kemudian diakui secara umum. Dia juga mengatakan bahwa jumlah hadits lemah dalam buku
ini tidak banyak.
Meski demikian, tampaknya buku ini menyertakan banyak hadits palsu. Syaikh 'Abd
al-Haqq dari Delhi mengatakan bahwa hadits yang dikandungnya tentang Qazwin - kota di
Iran yang terhubung dengan Ibn Maja – adalah palsu.'

Sunan Al-Daraqutni
Karya Sunan lainnya yang penting disusun oleh Abu'l-Hasan 'Ali ibn' Umar (306/ 918 - 385/
995), yang umumnya dikenal sebagai al-Daaraqutni karena kediamannya di kuartal kota
Baghdad yang dikenal sebagai Dar Qurn.
Al-Daraqutni dengan cepat mempelajari literatur Arab dan ilmu-ilmu keislaman,
khususnya Hadits dan Variasi Pembacaan (qira'aat) Al-Qur'an. Bukunya tentang subjek
tersebut diakui sebagai karya pertama dari jenisnya, dan rencana umumnya diikuti oleh
sebagian besar penulis setelahnya. Di antara murid-muridnya, yang mengakui pengetahuan
haditsnya yang luas dan kritis, adalah al-Haakim al-Nisaburi, Abu Nu'aym al-Isfahani, yang
bukunya Hilya dikatakan sebagai karya terbaik dalam hagiografi Muslim, Tammaam karya
Rayy, dan ahli hadits Abd al Ghani ibn Sa'id. Al-Hakim, khususnya, yang meriwayatkan
hadits dari sekitar 2.000 individu, mengatakan bahwa dia tidak pernah bertemu ulama seperti
Daraqutni, yang pengetahuannya seperti ensiklopedia, apa pun perkara yang dibahas.
Hampir setiap ahli hadits yang datang ke Baghdad datang untuk mengunjunginya. Abu
Mansaar ibn al-Karkhi, saat mengumpulkan Musnadnya, bergantung pada bantuan Daraqutni
dalam mengidentifikasi hadits-hadits yang cacat; sementara Abu Bakr al-Barqaani
mendasarkan sebuah karya Hadits mengenai catatan yang didiktekan oleh Daraqutni kepada
Abu Mansur. Dia juga memberikan bantuan materi dalam penyusunan karya musnad oleh Ibn
Hinzaba, menteri penguasa Mesir Ikhsyidi yang cakap dan terpelajar. Setelah mengetahui
bahwa Musnad ini sedang disusun, Daraqutni menempuh perjalanan dari Baghdad ke Mesir,
tempat dia menetap sampai karya tersebut terselesaikan. Sepanjang periode ini, Ibn Hinzaba
menunjukkan rasa hormat dan penghargaan yang besar, dan setelah selesai memberikan
penghargaan yang besar.
Daraqutni sendiri mengumpulkan banyak karya bermanfaat tentang Hadits dan subyek terkait.
Untuk tujuan kami, yang paling berguna adalah Sunan, yang diakui sebagai salah satu
kompilasi hadits yang paling terpercaya setelah 6 kitab hadits. Kitab ini digunakan oleh al-
Baghawi (wafat 516/ 1122) sebagai salah satu sumber utama Masabiihnya yang berpengaruh,
al-Sunnah, yang pada gilirannya menjadi dasar bagi Misykaat al-Masabih dari al-Tabrizi.
Dalam Sunannya, Daaraqutni menambahkan hadits yang dianggapnya cukup otentik,
melengkapinya dengan isnaad dan versi alternatif. Dari Hadits yang pertama, misalnya, dia
memberikan lima versi yang berbeda, dengan lima rantai perawi yang terpisah, beberapa di
antaranya dianggapnya lemah. Untuk beberapa hadits dia menambahkan catatan, dimana dia
mencoba memperbaiki tingkat keshahihannya dan identitas beberapa perawinya, dan menilai
karakter dan sifat terpercaya mereka. Jumlah hadits lemah dalam Sunan-nya cukup banyak;
Lebih banyak daripada karya Sunan yang secara konvensional termasuk dalam Enam kitab
hadits; dan karenanya tidak termasuk di antara mereka.

81
© Islamic Online University Hadits 101

Sunan Al-Bayhaqi
Setelah Daaraqutni datang Abu Bakr Ahmad ibn al-Husayn dari Bayhaq, sekelompok desa
dekat Nisaabaar. Bayhaqi lahir pada tahun 384/ 458, dan mempelajari hadits di bawah lebih
dari seratus ahli hadits terkemuka pada masanya, termasuk al-Haakim al-Nisaaburi, yang
padanya ia menjadi murid paling terkemuka. Setelah unggul dalam berbagai sains Islam,
Bayhaqi segera menjadi seorang penulis yang sangat produktif, menghasilkan beberapa ratus
buku tentang Hadits dan hokum syariat, beberapa di antaranya dikatakan tak tertandingi
dalam sejarah literatur. Dua karya Sunan-nya, yang luar biasa panjang dan menyeluruh,
sangat dipuji. Reputasinya sebagai seorang ahli hadits dan ahli fiqih menarik perhatian orang
terpelajar di Nisaabaar, yang mengundangnya ke kota mereka dan memintanya untuk
membacakan salah satu bukunya kepada mereka. Ia meninggal di tahun 458/ 1065.

Sunan Sa'id Ibn Mansur


Kurang dikenal, tapi lebih awal ada dari semua karya sunan yang telah disebutkan sejauh ini,
adalah Sunan dari Abu 'Utsman Sa'id ibn Mansaar ibn Shu'ba (wafat 227 / 841). Lahir di
Merv dan dibesarkan di kota Balth, dia berkelana di sebagian besar dunia yang dikenal,
akhirnya menetap di Mekah.
Ibn Mansur mempelajari hadits dari sejumlah pakar terkemuka termasuk Imaam Maalik,
Hammaad, Abu 'Awaana dan lainnya, dan pada gilirannya menginstruksikan kelompok tokoh
lain seperti Muslim, Abu Daawud, dan Ahmad ibn Hanbal, yang semuanya berbicara tentang
keilmuannya dengan penghormatan tertinggi. Sunan-nya, dimana dia dikatakan sangat
percaya diri atasnya, tampaknya dikompilasi menjelang akhir hayatnya. Sunan ini berisi
sejumlah besar hadits yang diterima dari Nabi hanya melalui tiga perantara.

Sunan Abu Muslim Al-Kashshi


Nisba dari Abu Muslim Ibraahim ibn 'Abdullaah al-Kashshi, yang wafat pada 282/ 895, telah
dijelaskan sebagai referensi baik pada nenek moyangnya, atau tempat tinggalnya (sebuah desa
bernama Kashsh yang terletak di Khuzistaan). Interpretasi yang terakhir nampaknya didukung
oleh fakta keterlibatannya yang menonjol dalam sejumlah pertempuran yang terjadi di daerah
tersebut.
Setelah mempelajari hadits di bawah bimbingan Abu 'Asim al-Nabil, Abu' Awaana
dan yang lainnya, dia mengunjungi Baghdad, di mana dia menyampaikan pelajaran Hadits.
Hal ini segera menarik sejumlah besar murid, begitu banyak sehingga suaranya tidak sampai
terdengar oleh mereka semua, dan tujuh orang harus ditunjuk untuk mengulang kata-katanya
ke berbagai bagian dari hadirin. Seperti karya Ibn Mansur, karyanya tentang sunan dikatakan
mengandung banyak riwayat yang disampaikan melalui hanya tiga perawi.

Karya Mu'jam
Meskipun karya Mu'jam tidak pernah memperoleh penghargaan seperti halnya kompilasi
Sunan, banyak yang disusun dan masih banyak yang digunakan sampai sekarang. Yang paling
terkenal adalah Mu'ams Abu'l-Qaasim Sulayman ibn Ahmad ibn Ayyub al-Tabaràni, yang
umumnya dikenal dengan nisba-nya.

82
© Islamic Online University Hadits 101

Tabarani lahir di Tiberias, pada saat itu adalah sebuah kota Muslim yang sedang berkembang,
di tahun 260/ 873. Dalam perjalanan keilmuannya, dia mengunjungi sebagian besar pusat
pembelajaran penting di Suriah, Mesir, Hijaia, Irak dan Iran, memperoleh hadits dari sekitar
seribu perawi. Dia akhirnya menetap di Isfahan pada tahun 290/ 902, dimana ia pensiun. Di
sana ia menjalani kehidupan yang tenang dan suci selama 70 tahun, mengajar Hadits dan
mengkompilasi sejumlah buku tentang hadits, akhirnya meninggal pada tahun 360/ 970 pada
usia seratus tahun.
Dari karyanya, yang daftarnya dibuat oleh al-Dhahabi, yang terpenting adalah tiga
Mu'jam-nya. Yang terbesar, yang biasa disebut al-Mujam al-Kabir (Mu’jam Besar),
sebenarnya adalah sebuah karya Musnad. Berisi sekitar 25.000 hadits yang telah dikumpulkan
dengan nama dari berbagai sahabat yang meriwayatkannya, nama-nama itu disajikan menurut
abjad. 'Mujam medium (Al-Mujam al-Awsat) ada dalam enam jilid, dan berisi hadits langka
yang diriwayatkan kepada penyusun oleh gurunya, yang namanya bersama Haditsnya,
disusun secara alfabet. Penulis sangat bangga dengan karya ini, yang walaupun mengandung
sejumlah hadits lemah, menunjukkan pengetahuannya tentang subjek ini. Yang terakhir, ada
Mujam kecil (al-Mujam al-Saghir), yang menurut pernyataannya sendiri, adalah mu’jam
pertamanya, dan yang hanya berisi satu hadits yang diriwayatkan oleh masing-masing
gurunya.
Meskipun ini adalah karya yang paling dikenal dari jenisnya, banyak karya Mu’jam lainnya
yang disusun, beberapa di antaranya didaftar oleh Haaji Khalifa.

Tingkatan Kompilasi Hadits Secara Tradisional


Karya-karya literatur Hadits telah dikelompokkan oleh para ahli hadits ke dalam empat kelas,
menurut perawinya dan arti penting mereka.
I. Untuk kategori pertama adalah karya yang dianggap paling terpercaya. Yaitu (i) Muwatta
Malik; (ii) Shahih al-Bukhari, dan (iii) Shahih Muslim. Dua karya terakhir ini mencakup
hampir semua hadits yang ada dalam Muwatta', dan karenanya kebanyakan ahli hadits utama
tidak memasukkannya ke dalam enam kitab shahih. Ketiga buku ini telah diterima secara
umum sebagai shahih sejak masa hidup pengarang mereka: Muwatta 'dinyatakan oleh Imaam
al-Syaafi'i sebagai buku paling shahih setelah Al Qur'an, sementara Shahih al-Bukhāri, seperti
dijelaskan sebelumnya, diterima oleh 90.000 murid dari penulisnya sendiri, dan diterima oleh
para ahli hadits penting saat itu, seperti Abu'l-Hasan ibn al-Qauan dan lainnya. Sahih Muslim
juga tidak butuh waktu lama untuk menerima persetujuan umum ahli hadits.

II. Kategori kedua termasuk ke dalamnya empat karya Sunan, yang bersama dengan dua
Sahih, dikenal sebagai al-Kutub al-Sitta (enam kitab). Kecenderungan untuk mengaitkan
beberapa karya Sunan dengan dua Sahih tampaknya, seperti yang dikenali oleh Goldziher,
telah dimulai sekitar pertengahan abad keempat, ketika Sa'id ibn al-Sakan mengumumkan
bahwa dua Sahih karya al-Bukhari dan Muslim, dan dua Sunan karya Abu Daawud dan al-
Nasä'i, adalah fondasi Islam. Setelah beberapa waktu Jami 'al-Tirmithi ditambahkan kepada
empat buku di atas, dan kelimanya digelari al-Usool al-Khamsa.
Tidak mudah untuk menentukan kapan Jami 'al-Tirmithi menerima pengakuan umum
dari kalangan ahli hadits. Ibnu Hazm, yang daftar karya Hadits terpercayanya masih ada,

83
© Islamic Online University Hadits 101

mengarahkan beberapa kritik terhadap buku tersebut, karena berisi hadits yang diriwayatkan
oleh tokoh-tokoh yang dipertanyakan al-Maslub dan al-Kalbi. Namun kemungkinan
pengakuan umum Jami 'al-Tirmidzi mendahului karya Ibn Maaja, yang ditambahkan kepada
lima kitab untuk pertama kalinya oleh Muhammad ibn Taahir, yang wafat sekitar awal abad
keenam (505/ 1113). Meski demikian, telah ditunjukkan bahwa selama abad keenam tempat
kebanggaan tersebut untuk Ibn Maaja ditolak oleh para ahli hadits. Razin ibn Mu'awiyah
(wafat 535/ 1140), dalam ringkasannya pada Enam Kitab (Tajrid al-Sihah al-Sitta), Ibn al-
Kharrät (wafat 581/ 1185), dan al-Haazimi (wafat 584/ 1184) tidak mengenali Sunan Ibn
Maaja sebagai kompilasi shahih. Hanya sekitar satu abad setelah kematian Muhammad ibn
Tahir bahwa kitab itu kembali dikenal sebagai salah satu dari enam kitab Hadits: oleh 'Abd al-
Ghani (wafat 600/ 1203), dalam bukunya al-Kamal fi ma'rifat al-rijäl, oleh Ibn al-Najjaar
(wafat 643/ 1245) dalam bukunya Rijal al-Kutub al-Sitta, oleh Najib al-Din ibn Sayqal (wafat
672/ 1273) dalam kumpulan haditsnya, oleh Syams al- Din ibn al-Jazari (wafat 711/ 1311)
dalam karyanya mengenai perkara ini, dan oleh al-Mizzi (742 / 1341) dalam Tuhfa-nya. Oleh
karena itu, dapat diasumsikan bahwa dari abad ke tujuh Enam kitab secara umum diakui
sebagai koleksi hadits yang paling dapat diandalkan.
Namun di antara enam buku ini, meskipun posisi al-Bukhari dan Muslim selalu
tertinggi, posisi Sunan Ibn Maaja selalu diragukan. Abu 'Umar' Utsmaniyah ibn al-Salab
(wafat 643/ 1245), dan setelahnya al-Nawawi (wafat 676/ 1277) dan Ibn Khaldun (wafat 808/
1405) hanya mengakui lima buku, dan mengecualikan Ibn Maaja dari kategori elit ini. Karya-
karya lain yang termasuk dalam Enam Kitab telah diterima oleh semua ulama terkemuka
Muslim Timur dan Barat, sebagai karya paling otentik, dan termasuk dalam berbagai pilihan
dari sepuluh kompilasi hadits terbaik.
Prinsip-prinsip berikut tampaknya telah membimbing para ahli hadits dalam memilih
ke-enam karya ini:
(i) Penyusunnya telah menetapkan beberapa prinsip yang jelas untuk pemilihan dan penilaian
Hadits yang mereka pilih.
(ii) Kebanyakan darinya mengandung hadits yang shahih atau baik, dan materi yang lemah
biasanya diidentifikasi demikian.
(iii) Materi yang dikandungnya telah dinilai dengan seksama dan diperiksa oleh ahli hadits
terkemuka di berbagai wilayah berbeda dunia Islam, dan dilengkapi dengan penjelasan
ekstensif yang mengklarifikasi keutamaan dan kekurangan mereka.
(iv) Ke-enam kitab telah digunakan sebagai dasar penetapan pendapat hukum dan aqidah.

III. Kategori ketiga termasuk Musnad, Musannaf, dan kompilasi lain seperti yang telah
dikompilasi sebelum atau sesudah Shahih al-Bukhar i dan Muslim, berisi materi yang
terpercaya maupun yang tidak, dan belum diperiksa secara menyeluruh oleh para ahli hadits
atau digunakan sebagai sumber teks dalam buku-buku hukum dan aqidah. Karya-karya jenis
ini mencakup Musnad 'Abd ibn Humayd dan al-Tayaalisi, dan karya Musannaf 'Abd al-
Razzaaq, Ibn Abi Shayba, dan lain-lain.

IV. Kategori keempat berisi kompilasi hadits yang dibuat oleh penyusun yang pada periode
selanjutnya mengumpulkan hadits yang tidak ditemukan dalam kompilasi penyusun kompilasi

84
© Islamic Online University Hadits 101

terdahulu. Banyak materi semacam ini yang palsu. Musnad al-Khwaarizmi dapat dimasukkan
dalam kelas ini.

V. Menurut beberapa ahli hadits, terdapat kategori kelima karya Hadits, yang berisi hadits
seperti yang dinyatakan oleh doctor-doktor Muslim sebagai tidak terpercaya atau telah pasti
dipalsukan.

85
© Islamic Online University Hadits 101

BAB SEMBILAN: ULAMA-ULAMA HADITS WANITA


Sejarah mencatat sedikit usaha keilmuan, setidaknya sebelum zaman modern, dimana pwanita
memainkan peran penting dan aktif berdampingan dengan laki-laki. Ilmu Hadits membuat
pengecualian dalam hal ini. Islam, agama yang (tidak seperti agama Kristen) menolak untuk
menisbatkan gender kepada Ketuhanan, dan tidak pernah menunjuk seorang laki-laki yang
lebih superior dalam tugas kependetaan untuk menjadi perantara antara makhluk dan Pencipta,
memulai hidup dengan kepastian bahwa pria dan wanita dilengkapi secara alami untuk saling
mengisi dan bukan berperan sama, tidak ada keunggulan spiritual yang menjadi bagian tetap
dalam prinsip maskulin. Sebagai hasilnya, komunitas Muslim dengan senang hati
mempercayakan masalah tanggung jawab religius terbesar kepada wanita, yang, sebagai
saudara wanita bagi laki-laki, sama nilainya di hadapan Tuhan. Hanya ini yang dapat
menjelaskan mengapa, secara unik di antara agama-agama Barat klasik, Islam menghasilkan
sejumlah besar ulama wanita yang luar biasa, yang kesaksian dan penilaiannya banyak
menjadi struktur besar yang mana Islam mengandalkannya.
Sejak masa permulaan Islam, wanita telah mengambil bagian penting dalam penjagaan
dan pengembangan hadits, dan fungsi ini terus berlanjut hingga berabad-abad. Pada setiap
periode dalam sejarah Muslim, hidup banyak ahli hadits wanita terkemuka, diperlakukan oleh
saudara-saudara mereka dengan takzim dan hormat. Pemberitahuan biografis tentang jumlah
mereka yang sangat besar dapat ditemukan dalam kamus biografi.
Selama masa hidup Nabi, banyak wanita telah menjadi tidak hanya institusi bagi
evolusi banyak hadits, tapi juga menjadi periwayat hadits kepada saudara wanita dan saudara
laki-laki mereka dalam iman. Setelah kematian Nabi, banyak sahabat wanita, terutama
istrinya, dipandang sebagai penjaga pengetahuan yang penting, dan didatangi untuk mendapat
instruksi oleh Sahabat lainnya, dan istri-istri nabi ini dengan senang hati membagikan
simpanan kaya yang mereka kumpulkan dalam kebersamaan dengan Nabi. Nama-nama Hafsa,
Umm Habiba, Maymuna, Umm Salama, dan Aa'isyah, sangat akrab bagi setiap murid Hadits
sebagai perawi hadits yang paling awal dan paling terkemuka. Secara khusus, Aa'isyah adalah
salah satu tokoh terpenting dalam keseluruhan sejarah literatur Hadits -tidak hanya sebagai
salah satu perawi paling awal dari jumlah hadits terbanyak, tapi juga sebagai salah satu
penafsir hadits yang paling berhati-hati.
Pada masa tabi’in juga, wanita memegang posisi penting sebagai ahli hadits. Hafsa,
putri Ibnu Sirin, Umm al-Darda adiknya (700), dan' Amra Ibnt 'Abd al-Rahman, hanya
beberapa dari para ahli hadits wanita utama dalam periode ini. Menurut Iyas ibn Mu'awiyah, -
ahli hadits penting pada masa itu dan hakim dengan kemampuan dan keutamaan yang tak
terbantahkan-, Umm al-Darda lebih unggul dari semua ahli hadits lainnya pada masa itu,
termasuk para ahli hadits terkenal seperti al- Hasan al-Basri dan Ibnu Sirin. 'Amra dianggap
sebagai perawi besar hadits yang diriwaytkan oleh Aa'isyah. Di antara murid-muridnya, Abu
Bakr ibn Hazm, hakim Madinah yang terkenal, telah diperintahkan oleh khalifah Umar ibn
'Abd al-'Aziz untuk menuliskan semua hadits yang diketahui dari jalurnya.
Setelah mereka, 'Abida al-Madaniyya, Abda Binti, Umm Umar al-Thaqafiyyah,
Zaynab cucu Ali ibn' Abdullaah ibn 'Abbaas Nafisa Binti al-Hasan ibn Ziyad, Khadijah Umm
Muhammad, Abda Binti al-Ralimän, dan banyak anggota lain dari kaum wanita unggul dalam

86
© Islamic Online University Hadits 101

memberikan pengajaran umum tentang Hadits. Wanita saleh ini berasal dari latar belakang
yang sangat beragam, menunjukkan bahwa baik strata maupun gender bukanlah hambatan
untuk naik dalam jajaran ulama Islam. Misalnya, Abida yang memulai hidup sebagai budak
milik Muhammad ibn Yazid, mempelajari banyak hadits dengan para guru di Madinah. Oleh
tuannya, ia diserahkan kepada Habib Dabliun, seorang ahli hadits besar Spanyol, saat dia
mengunjungi kota suci dalam perjalanan berhaji. Dabliun sangat terkesan dengan
pembelajarannya sehingga dia membebaskannya, menikahinya, dan membawanya ke
Andalusia. Dikatakan bahwa dia meriwayatkan sepuluh ribu hadits dari jalur guru-gurunya di
Madinah.
Zaynab Binti Sulaymaan (wafat 142/ 759), sebaliknya, adalah seorang putri sejak lahir.
Ayahnya adalah sepupu al-Saffaali, pendiri 'dinasti Abbaasiyah, dan telah menjadi gubernur
Baal ra, Oman dan Bahrain selama kekhalifahan al-Mansoor. Zaynab, yang menerima
pendidikan yang baik, menguasi Hadits, mendapatkan reputasi sebagai salah satu perawi
hadits wanita paling terkemuka di masa itu, dan banyak laki-laki penting di antara murid-
muridnya.
Kemitraan wanita dengan laki-laki dalam pengembangan Hadits Nabi ini berlanjut
pada periode ketika kumpulan hadits besar disusun. Sebuah survei terhadap teks-teks tersebut
menunjukkan bahwa semua penyusun hadits penting sejak periode paling awal menerima
banyak hadits dari syuyukh wanita: setiap kompilasi hadits utama menyebut nama banyak
wanita sebagai perawi langsung dari penulisnya. Dan ketika karya-karya ini telah disusun,
para ahli hadits wanita tersebut menguasainya, dan menyampaikan pengajaran kepada murid-
muridnya dalam kelas yang besar, yang kepada mereka para ahli hadits wanita ini akan
mengeluarkan ijazah mereka sendiri.
Pada abad keempat, kita dapati Fatima Binti Abdur-Rahmaan (wafat 312/ 924), yang
dikenal sebagai al-Sufiyyah karena kesalehannya; Fatima (cucu Abu Daawud, yang terkenal
karena Sunan); Amat al-Walid (wafat 377/987), putri dari ahli hukum terkemuka al-
Mukiamili; Umm al-Fatli Amat al-Salaam (wafat 390 / 999), putri hakim Abu Bakr Ahmad
(wafat 350/ 961); Jumu'a bint Ahmad, dan banyak wanita lainnya, yang kelas-kelasnya selalu
dihadiri oleh khalayak terhormat.
Hadits Islam dari ulama Hadits wanita berlanjut pada abad ke-5 dan keenam hijriah.
Fatima Ibnt al-Uasan ibn Ali ibn al-Daqqaq (wafat 480/ 1087), yang menikahi ulama sufi dan
ahli hadits terkenal bernama Abu'l-Qasim al-Qushayri, dipuji bukan hanya untuk kesalehan
dan penguasaan kaligrafinya, tetapi juga untuk pengetahuan tentang Hadits dan kualitas isnad
yang diketahuinya. Yang lebih terkemuka adalah Karima al-Marwaziyya (wafat 463/1070),
yang dianggap sebagai perawi terbaik Sahih al-Bukhari pada zamannya. Abu Dharr dari Herat,
salah satu ulama terkemuka pada masa itu, sangat mementingkan periwayatannya sehingga
dia menyarankan murid-muridnya untuk mempelajari Shahih bukan kepada orang lain, karena
kualitas keilmuwannya. Dengan demikian, dia menjadi titik sentral dalam periwayatan karya
teks berpengaruh dalam Islam ini. Sebenarnya, 'tulis Goldziher, namanya muncul dengan
frekuensi yang luar biasa dalam ijazah karena meriwayatkan teks buku ini. Di antara murid-
muridnya adalah al-Khatib al-Baghdadi dan al-Humaydi (428/ 1036 - 488/ 1095).
Selain Karima, sejumlah ahli hadits wanita lainnya menempati tempat yang terkemuka
dalam sejarah periwayatan teks Sahih. Di antaranya, seseorang dapat menyebut Fatima Ibnt
Mubammad (wafat 539/ 1144); Shuhda sang Penulis '(wafat 574/ 1178), dan Sitt al-Wuzara'

87
© Islamic Online University Hadits 101

bint Umar (wafat 716/ 1316). Fatima meriwayatkan buku tersebut dari ahli hadits Sa'id al-
'Ayyar; dan dia menerima dari spesialis Hadits gelar yang membanggakan Musnida Isfahan
(perawi hadits besar dari Isfahan). Shuhda adalah seorang ahli kaligrafi terkenal dan seorang
ahli hadits dengan reputasi hebat; penulis biografi menggambarkannya sebagai ahli kaligrafi,
ahli hadits terkemuka, dan kebanggaan bagi wanita. Kakek buyutnya adalah pedagang jarum
sehingga memperoleh soubriquet al-Ibrl'. Tapi ayahnya, Abu Nasr (wafat 506/ 1112) sangat
bersemangat untuk mempelajari Hadits, dan berhasil mempelajarinya dengan beberapa ahli
dalam bidang ini. Dalam ketaatan pada sunnah, dia memberi putrinya pendidikan akademis
yang bagus, memastikan bahwa dia belajar kepada banyak ahli hadits yang reputasinya diakui.
Dia menikahi Ali ibn Muhammad, tokoh penting dengan beberapa minat kesusastraan,
yang kemudian menjadi sahabat baik khalifah al-Muqtafi, dan mendirikan sebuah madrasah
dan pondok sufi, yang dihadiahkannya dengan murah hati. Namun istrinya, lebih dikenal: dia
mendapatkan reputasinya di bidang ilmu hadits, dan terkenal dengan kualitas isnadnya.
Perkuliahannya tentang Sahih al-Bukhaari dan kompilasi hadits lainnya dihadiri oleh banyak
murid; dan karena reputasinya yang besar, beberapa orang bahkan berbohong dan mengklaim
sebagai muridnya.
Juga dikenal sebagai ahli hadits Bukhari adalah Sitt al-Wuzara', yang, selain
penguasaan hukum Islamnya yang diakui, dikenal sebagai musnida pada masanya', dan
menyampaikan pelajaran tentang Sahih dan karya lainnya di Damaskus dan Mesir. Kelas-
kelas mengenai Sahih, juga diberikan oleh Umm al-Khayr Amat al-Khaaliq (811/ 1408 - 911/
1505), yang dianggap sebagai ulama hadits besar terakhir Hijaz. Masih perawi hadits
Bukhaari lain adalah 'A' isha Ibnt 'Abd al-Hadi.
Selain wanita-wanita ini, yang tampaknya memiliki spesialisasi dalam Sahih Imam al-
Bukhaari, ada beberapa orang lain, yang keahliannya berpusat pada teks-teks lain. Umm al-
Khayr Fatima Binti Ali (wafat 532/ 1137) dan Fatima al-Shahrazooriyya, menyampaikan
pengajaran tentang Sahih Muslim. Fatima al-Jawzdaniyya (wafat 524/ 1129) meriwayatkan
kepada murid-muridnya tiga Musnad al-Tabrani. Zaynab dari Harran (wafat 688/ 1289), yang
pelajarannya menarik banyak murid, mengajarkan mereka Musnad Ahmad ibn Hanbal,
kompilasi hadits terbesar yang paling dikenal. Juwayriya Ibnt Umar (wafat 783/ 1381), dan
Zaynab Ibnt Ahmad ibn 'Umar (wafat 722/ 1322), yang telah melakukan banyak perjalanan
dalam mencari Hadits dan menyampaikan pelajaran di Mesir dan juga Madinah,
meriwayatkan kepada murid-muridnya kompilasi al-Darimi dan Abd ibn Humayd; dan kami
diberitahu bahwa para murid melakukan perjalanan dari jauh untuk menghadiri kelas-
kelasnya. Zaynab bint Ahmad (wafat 740/ 1339), biasanya dikenal sebagai Binti al-Kamaal,
memperoleh banyak ijazah; dia menyampaikan pengajaran Musnad Abu Hanifa, Shama'il al-
Tirmidzi, dan Syarh Ma'ani al-Atsar dari al-Tahawi, yang terakhir dibacakannya kepada
seorang ahli hadits wanita lainnya, Ajiba Binti Abi Bakr (wafat 740/ 1339). Pada
periwayatannya didasarkan, 'kata Goldziher, keaslian kodeks Gotha ... dalam isnad yang sama
sejumlah besar wanita terpelajar dikutip yang telah menyibukkan diri mereka dengan karya
ini. Bersamanya, dan beberapa wanita lainnya, penjelajah besar Ibn Battiita belajar hadits
selama berada di Damaskus.' Sejarawan Damaskus yang terkenal, Ibn Asaakir, yang
memberitahukan bahwa dia telah belajar kepada lebih dari 1.200 pria dan 80 wanita,
memperoleh ijazah Zaynab Binti 'Abdur-Rahman untuk Muwatta' Imam Málik. Jalal al-Din
al-Suyuti mempelajari Risalah Imam al-Syafi'i kepada Haajar bint Muhammad. Alif al-Din

88
© Islamic Online University Hadits 101

Junayd, seorang ahli hadits abad kesembilan, membaca Sunan al-Darimi bersama Fatima bint
Ahmad ibn Qasim.
Ahli Hadits penting lainnya termasuk Zaynab bint al-Sya'ri (524-615/ 1129-1218). Dia
belajar Hadits kepada beberapa ahli hadits penting, dan pada gilirannya memberi pengajaran
kepada banyak murid- beberapa di antaranya memperoleh reputasi besar- termasuk Ibn
Khallikan, penulis kamus biografi Wafayat al-A'ydn yang terkenal. Yang lainnya adalah
Karima Sang wanita Syria (wafat tahun 641/ 1218), yang digambarkan oleh para penulis
biografi sebagai ahli hadits terbesar di Suriah pada zamannya. Dia menyampaikan pengajaran
tentang banyak karya Hadits dari jalur banyak guru.
Dalam karyanya al-Durar al-Kamina, Ibn Hajar memberikan biografi singkat tentang
sekitar 170 wanita terkemuka abad kedelapan, yang sebagian besar adalah ahli hadits dan
yang di antara banyak wanita ini penulis telah belajar dari mereka. Beberapa wanita ini diakui
sebagai ahli hadits terbaik pada periode ini. Misalnya, Juwayriya bint Ahmad, yang telah
kami sebutkan, mempelajari berbagai karya tentang hadits di bawah para ulama baik pria
maupun wanita, yang mengajar pada madrasah besar pada masanya, kemudian mulai
memberikan pengajaran yang terkenal tentang disiplin ilmu Islam. Beberapa guru saya sendiri,
kata Ibn Hajar, dan banyak orang sezaman dengan saya, menghadiri kelasnya. 'A'ishah Binti
al-Hadi (723-816), juga disebutkan di atas, yang untuk waktu yang cukup lama adalah salah
satu guru Ibn Hajar, dianggap sebagai perawi terbaik pada zamannya, dan banyak murid
melakukan perjalanan jauh untuk duduk dan mempelajari kebenaran agama. Sitt al-'Arab
(wafat 760/ 1358) telah menjadi guru ahli hadits terkenal al-'Iraqi (wafat 741/ 1341) dan
banyak lainnya yang memperoleh sebagian besar pengetahuan mereka darinya. Daqiqa bint
Murshid (wafat 746/ 1345), seorang wanita ahli hadits terkenal lainnya, menerima instruksi
dari banyak wanita lainnya.
Informasi tentang perawi wanita abad kesembilan diberikan dalam karya Muhammad
ibn Abd al-Rahman al-Sakhriwi (830-897/ 1427-1429), yang dinamai al-Daw 'al-Lami', yang
merupakan kamus biografi orang-orang terkemuka dari abad ke-sembilan. Sumber
selanjutnya adalah Mu'jam al-Shuyaakh dari Abd al-'Aziz ibn Umar ibn Fahd (812-871/ 1409-
1466), disusun pada tahun 861 H dan dikhususkan untuk publikasi biografi lebih dari 1.100
guru-guru sang penulis, termasuk lebih dari 130 ulama wanita yang mana ia belajar kepada
mereka. Beberapa wanita ini diakui sebagai ahli hadits paling tepat dan terpelajar pada zaman
mereka, dan mengajar banyak ulama hebat dari generasi berikutnya. Umm Hani Maryam
(778-871/ 1376-1466), misalnya, mempelajari Al Qur'an saat masih kecil, memperoleh semua
ilmu pengetahuan Islam kemudian diajarkan, termasuk aqidah, hukum, sejarah, dan tata
bahasa, kemudian melakukan perjalanan untuk mencari Hadits dengan ahli hadits terbaik pada
masanya di Kairo dan Mekkah. Dia juga diakui untuk penguasaannya terhadap kaligrafi,
kefasihannya dalam bahasa Arab, dan bakat alaminya dalam puisi, juga kepatuhannya
terhadap kewajiban agama (dia melakukan haji tidak kurang dari tiga belas kali). Anak laki-
lakinya, yang menjadi ulama terkemuka abad kesepuluh, menunjukkan penghormatan
terbesar untuknya, dan senantiasa menemaninya menjelang akhir hayatnya. Dia mengikuti
program pengajaran intensif di madrasah besar Kairo, memberikan ijazah kepada banyak
ulama. Ibnu Fahd sendiri mempelajari beberapa karya teknis tentang hadits kepadanya.
Rekan sejamannya dari Suriah, Ba'i Khatun (wafat 864/ 1459), setelah mempelajari
hadits bersama Abu Bakr al-Mizzi dan banyak ahli hadits lainnya, dan telah mendapatkan

89
© Islamic Online University Hadits 101

ijazah dari sejumlah besar ahli hadits, baik pria maupun wanita, mengajar tentang subyek ini
di Suriah dan Kairo. Kami diberitahu bahwa dia sangat menyukai mengajar. 'A'ishah Binti
Ibrahim (760/ 1358 - 842/1438), yang dikenal di kalangan akademisi sebagai Ibnat al-
Shara'ilii, juga belajar hadits di Damaskus dan Kairo (dan tempat lain), dan menyampaikan
pengajaran yang mana cendekiawan terkemuka pada jamannya dengan senang hati
menghadiri. Umm al-Khayr Sa'ida dari Mekah (wafat 850/ 1446) menerima pengajaran dalam
hadits dari banyak ahli hadits di berbagai kota, mendapatkan reputasi yang juga patut ditiru
sebagai seorang ulama.
Sejauh yang bisa dikumpulkan dari sumbernya, keterlibatan wanita dalam ilmu Hadits,
dan dalam disiplin ilmu Islam secara umum, tampaknya telah menurun drastis dari abad
kesepuluh hijriah. Buku-buku seperti al-Naar al-Safir karya al-'Aydaras, Khuldasat al-A
khbaar karya al-Muhibbi, dan al-Suhub al-Wabila karya Muhammad ibn 'Abdullaah (yang
merupakan kamus biografi orang-orang terkemuka dari abad ke-sepuluh, ke-sebelas dan ke-
dua belas secara berurutan) berisi nama-nama tidak sampai belasan ahli hadits wanita
terkemuka. Tapi akan salah jika menyimpulkan bahwa setelah abad kesepuluh, wanita
kehilangan minat dalam masalah ini. Beberapa wanita ahli hadits, yang mendapatkan reputasi
baik di abad kesembilan, hidup dengan baik sampai abad ke-sepuluh, dan melanjutkan
pelayanan mereka kepada sunah. Asma 'Binti Kamaal al-Din (wafat 904/ 1498) memiliki
pengaruh yang besar terhadap sultan dan pejabat mereka, yang mana dia sering memberikan
rekomendasi – yang mana, kami diberitahu, mereka selalu menerimanya. Dia mengajar hadits,
dan mengajar wanita dalam berbagai ilmu pengetahuan Islam. 'Aa'isyah bint Muhammad
(wafat tahun 906/ 1500), yang menikahi hakim terkenal Muslih al-Din, mengajar hadits
kepada banyak murid, dan diangkat menjadi profesor pada Kolese Saliliiyya di Damaskus.
Fatima bint Yaasuf dari Aleppo (870/ 1465 - 925/ 1519), dikenal sebagai salah satu ulama
terbaik pada masanya. Umm al-Khayr memberikan ijazah kepada seorang peziarah di Mekah
pada tahun 938/1531.
Ahli Hadits wanita tingkatan pertama yang kami kenal adalah Fatima al-Fu'layliya,
yang juga dikenal sebagai al-Shaykha al-Fu'layliya. Dia lahir sebelum akhir abad ke-12, dan
dengan segera unggul dalam seni kaligrafi dan berbagai ilmu pengetahuan Islam. Dia
memiliki ketertarikan khusus pada hadits, banyak membaca masalah ini, menerima diploma
dari banyak ulama, dan memperoleh reputasi sebagai seorang ahli hadits penting. Menjelang
akhir hayatnya, dia menetap di Mekah, tempat dia mendirikan perpustakaan umum yang kaya.
Di Kota Suci dia ditemui oleh banyak hadits terkemuka, yang menghadiri ceramahnya dan
menerima ijazah darinya. Di antara mereka, dapat disebutkan secara khusus Syaikh 'Umar al-
Hanafi dan Syaikh Muhammad Salib. Dia meninggal pada 1247/ 1831.
Sepanjang sejarah ulama wanita dalam Islam, jelas bahwa wanita yang terlibat tidak
membatasi studi mereka pada minat pribadi dalam hadits atau dengan pengajaran privat
beberapa individu, namun mengambil tempat duduk mereka sebagai murid dan juga guru
dalam institusi pendidikan publik, berdampingan dengan saudara laki-laki seiman mereka.
Kolofon (symbol dari penerbit) dari banyak manuskrip menunjukkan mereka baik sebagai
murid yang menghadiri kelas umum yang besar, dan juga sebagai guru yang memberikan
kuliah reguler. Misalnya, ijazah pada folio 238-240 al-Mashikhat ma 'al-Takhrii karya Ibn al-
Bukhari, menunjukkan bahwa banyak wanita menghadiri kelas reguler dari sebelas
perkuliahan yang disampaikan di depan kelas yang terdiri dari lebih dari lima ratus murid. di

90
© Islamic Online University Hadits 101

Masjid Umar di Damaskus pada tahun 687/ 1288. Sertifikat lain, pada folio 40 manuskrip
yang sama, menunjukkan bahwa banyak murid wanita, yang namanya disebutkan, menghadiri
kursus lain dengan enam perkuliahan di buku tersebut, yang disampaikan oleh Ibn al-Sayrafi
kepada sebuah kelas yang terdiri lebih dari dua ratus murid di Aleppo di tahun 736/ 1336.
Dan di folio 250, kami menemukan bahwa seorang ahli hadits wanita terkenal, Umm
'Abdullaah, menyampaikan lima perkuliahan pada buku tersebut kepada kelas campuran lebih
dari lima puluh murid, di Damaskus pada tahun 837/ 1433.
Berbagai catatan tentang manuskrip Kitaab al-Kifaya karya al-Khatiib al-Baghdadi,
dan kumpulan berbagai risalah hadits, menunjukkan Ni'ma Binti 'Ali, Umm Ahmad Zaynab
Binti al-Makki, dan ahli hadits wanita lainnya yang memberikan perkuliahan tentang kedua
buku ini, kadang-kadang secara independen, dan kadang-kadang bersama dengan para ahli
hadits laki-laki, di perguruan tinggi utama seperti 'Aziziyya Madrasa, dan Diya'iyya Madrasa,
kepada kelas reguler murid-murid. Beberapa ceramah ini dihadiri oleh Ahmad, putra jenderal
Salah al-Din yang terkenal.

91
© Islamic Online University Hadits 101

BIBLIOGRAFI
Albaani, Nasir ad-Din al-, The Hadith is Proof Itself in Belief & Laws, Miami, Florida: The
Daar of Islamic Heritage, 1995.

‘Asqalani, Al-Haafith Ibn Hajar al-, Bulugh Al-Maram (Eng. Translation), Riyadh: Dar-us-
Salam Publications, 1996.

‘Atiyyah, ‘Izzat ‘Alee, Al-Bid‘ah, Beirut: Daar al-Kitaab al-‘Arabee, 2nd ed., 1980.

Azami, Muhammad Mustafa, Studies in Hadith Methodology and Literature, Indianapolis,


Indiana: American Trust Publications, 1977.

Hasan, Suhaib, An Introduction to the Science of Hadith, London: Al-Quran Society, 1994.

………………, Criticism of Hadith Among Muslims with Reference to Sunan Ibn Maja,
London: Ta-Ha Publishers Ltd., 1986.

Ibn Katheer, al-Haafith, al-Baa ‘ith al-Hatheeth Sharh Ikhtisaar ‘Uloom al-Hadeeth, ed. by
Ahmad Shaakir with footnotes by Naasirud-Deen al-Albaanee, Riyadh: Maktabah al-Ma
‘aarif, 1996.

Kamali, Mohammad Hashim, Principles of Islamic Jurisprudence, Cambridge: Islamic Texts


Society, 1991.

Maghribi, Al-Hassan al-, Introduction to the Study of the Hadith, Roshnee, South Africa:
Roshnee Islamic School, 1994.

Siddiqi, Muhammad Zubayr, Hadith Literature; Its Origin, Development & Special Features,
Cambridge: Islamic Texts Society, 1993.

92

Anda mungkin juga menyukai