Kajian Risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
Kajian Risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
Kajian Risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DISERTASI
ALFAJRI ISMAIL
NPM: 0706310671
DISERTASI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor
ALFAJRI ISMAIL
NPM: 0706310671
Ditetapkan di : Depok
lll
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
KATA PENGANTAR
iv
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
6. Para Staf Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, terutama dari
Departemen K3 FKM UI.
7. Pimpinan, Manager dan Supervisor dari tiga perusahaan tempat penelitian
dilakukan.
8. Rekan-rekan mahasiswa/i Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Epidemologi angkatan 2007 atas dukungan semangat dan kebersamaan selama
masa kuliah.
9. Managing Director PT 3M Indonesia, yang telah memberikan kesempatan,
dukungan dan dorongan selama menempuh pendidikan.
10. Product Development and Design Manager PT 3M Indonesia, Audist Subekti
PhD, yang telah banyak membantu peneliti dalam pengumpulan data dilapangan
dan penulisan disertasi ini.
11. Robiul Awal yang telah banyak membantu dalam pengolahan data.
12. Sungkem penuh takzim kepada ibunda tercinta Hj. Janidar yang selalu
mendoakan kebaikkan bagi anaknya agar dapat menyelesaikan pendidikan ini
dengan baik.
13. Untuk kedua orang tua kami Bapak Hadinis dan Ibunda Darni yang selalu
memberikan dukungan dan dorongan semangat.
14. Keluarga besar H.Ismail yang telah memberikan dorongan moril dan motovasi.
15. Keluarga besar Hj. Dayana atas dukungan dan dorongan semangat yang diberikan.
16. Akhirnya rasa terimakasih yang mendalam untuk Veranita (istri) dan Zhizhi Silvia
(ananda) tercinta, yang selalu setia mendampingi, mendukung, memberi semangat
dan telah bersabar atas semua pengorbanan yang dilakukan untuk menyelesaikan
studi ini.
17. Semua pihak terkait yang tidak bisa disebut satu per satu, yang telah memberikan
pengetahuan, kebersamaan dan bantuan, semoga mendapatkan balasan dari Allah
SWT.
v
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
ABSTRAK
Nama : Alfajri Ismail
Program Studi : Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Judul : Kajian Risiko dan Pengembangan Sistem Pengendalian
Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir
Kata Kunci:
Industri Kimia Hilir, Bahaya Reaktifitas Kimia, Indek Bahaya, Indek Risiko, Sistem
Manajemen, Model Penyebab BRK.
ix Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
based on CRH causation model that contains five elements; Management and
Workforce Commitment, Hazard and Risk Analysis, CRH Training Program,
Standard Operating Procedure, and Safe Working Environment. This system can be
integrated with standard management system ISO 9001, ISO 14001 and OHSAS
18001 or SMK3. This system is very appropriate to be applied in downstream
chemical industries that use many different chemicals with conventional technology
and limited human resources.
Key words:
Downstream Chemical Industry, Chemical Reactivity Hazards, Hazards Index,
Management System, CRH Causation Model
x Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR ISI
Judul Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH vi
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xix
DAFTAR LAMPIRAN xxiii
DAFTAR SINGKATAN xxiv
DAFTAR ISTILAH xxvi
1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang. 1
1.2. Permasalahan. 5
1.3. Tujuan Penelitian. 9
1.4. Manfaat Penlitian. 9
1.5. Lingkup Penelitian. 10
2. TINJAUAN PUSTAKA 12
2.1. Bahaya Reaktifitas Kimia. 12
2.2. Dampak Reaksi Kimia Tidak Terkontrol. 16
2.2.1. Ledakan dan Kebakaran. 16
2.2.2. Pelepasan Gas Beracun. 20
2.3. Metode Skrening Awal Potensi Bahaya Reaktifitas Kimia. 21
2.4. Metode Kajian Bahaya Reaktifitas Kimia. 23
2.4.1. SREST-Layer Assessment. 28
2.4.2. Alat Bantu (tools) Kajian Bahaya Reaktifitas Kimia. 36
2.4.2.1. Studi Ketidaksesuaian (NOAA Worksheet). 37
2.4.2.2. Studi literatur. 38
2.5. Teori Penyebab Kecelakaan Kerja. 39
2.5.1. Faktor Lingkungan Kerja 45
2.5.2. Faktor Manajemen. 47
2.5.3. Faktor Manusia. 49
2.5.3.1. Kesalahan Manusia. 49
2.5.3.2. Perilaku Keselamatan. 52
2.5.3.3. Budaya Keselamatan. 54
2.5.3.4. Kajian Perilaku dan Budaya Keselamatan. 57
2.6. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 62
2.6.1. Sistem Manajemen Keselamatan Terintegrasi. 62
2.6.2. Sistem Manajemen Bahaya Reaktifitas Kimia yang 70
Komprehensif.
xi Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
2.7. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan di Indonesia. 74
2.8. Profil Industri Kimia Hilir di Indonesia 77
3. KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN 79
HIPOTESIS
3.1. Kerangka Teori 79
3.2. Kerangka Konsep 81
3.3. Hipotesis 85
3.4. Definisi Operasional 86
4. METODOLOGI PENELITIAN 90
4.1. Rancangan Penelitian 90
4.1.1. Kajian Bahaya Bahan Kimia 92
4.1.2. Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Kimia 93
4.1.3. Identifikasi Potensi Bahaya Reaktifitas Kimia 94
4.1.4. Mengembangkan Skenario Terburuk Bahaya Reaktifitas Kimia 95
4.1.5. Kajian Skenario Terburuk Bahaya Reaktifitas Kimia Dengan 97
Metode KJ Analisis
4.1.6. Audist Sistem Manajemen Keselamatan 100
4.1.7. Analisa Kuantitatif Model Resiko Bahaya Reaktifitas Kimia 100
4.1.7.1. Pengembangan Kuosioner 101
4.1.7.2. Uji Validitas dan Reabilitas Kuosioner 102
4.1.7.2.1. Uji Validitas 102
4.1.7.2.2. Uji Reabilitas 105
4.1.7.3. Pengambilan Data Melalui Kuosioner 105
4.1.7.4. Pengembangan Structural Equation Modeling Bahaya 106
Reaktifitas Kimia
4.1.8. Pengembangan Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia 111
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 112
4.3. Pengumpulan Data 113
4.3.1. Sumber Data 113
4.3.2. Jenis Data 113
4.3.3. Cara Pengumpulan Data 113
4.4. Pengontrolan Kualitas Data 114
4.5. Analisis Data 114
4.6. Keterbatasan Penelitian 115
4.7. Etik Penelitian 115
5. HASIL PENELITIAN 117
5.1. Data Perusahaan Tempat Penelitian 117
5.2. Kajian Bahaya Bahan Kimia 119
5.3. Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Kimia 120
5.3.1. Skreening Awal Bahaya Reaktifitas Kimia 120
5.3.2. Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Baku 122
5.3.3. Kajian Bahaya Reaktifitas Produk Antara dan Akhir 123
5.4. Kajian Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia 125
5.4.1. Skrining Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia 125
2.4 Nilai EHS Kategori Efek yang Dapat Diterima Pada Tahap SAL. 32
xv Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
4.3 Indeks Bahaya Reaktifitas Kimia CRW 2. 94
5.3 Hasil Skrining Awal BRK pada Tiga Industri Kimia Hilir 121
5.5 Hasil Kajian Bahaya Reaktifitas Produk Antara dan Akhir 124
5.6 Hasil Skrining Penyebab Bahaya Reaktifitas pada Tiga Industri 126
5.13 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia 138
PT XYZ
5.14 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia 139
PT CDF
5.16 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks 141
Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT XYZ
5.17 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks 141
Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT CDF
5.18 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks 141
Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT PQR
6.1 Pasangan Produk yang Berpotensi Bereaksi Pada Tanki atau 190
Line Produksi yang Sama Pada PT PQR
6.3 Ringkasan SIB, SIR, Tingkat Kecelakaan dan Hampir Celakan 197
dengan Penerapan Sistem Manajemen Kualitas, Keselamatan
dan Lingkungan pada PT XYZ, PT PQR dan PT CDF
6.7 Analsis Bahaya dan Risiko BRK pada Industri Kimia Hilir 211
6.10 Jenis Bahaya dan APD yang Diperlukan pada Industri Kimia 224
Hilir
xx Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
3.5 Ilustrasi Sistem Pengendalian Terintegrasi Bahaya 83
Reaktifitas Kimia.
6.5 Ilustrasi Layout Alur Proses dengan Sistem Series untuk 222
Industri Kimia Hilir
Singkatan Keterangan
AIChe American Institute of Chemical Engineers
BOM Bill of Material
BRK Bahaya Reaktifitas Kimia
CCPS Center for Chemical Process Safety
CFI Comparative Fit index
CRH Chemical Reactivity Hazards
CRW Chemical Reactivity Worksheet
DCI Downstream Chemical Industry
GFI Goodness-of-Fit Index
GOF Goodness-of-Fit
HI Hazards Index
IB Indeks Bahaya
IKH Industri Kimia Hilir
K3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
KJT Koefesien Jalur Terstandarisasi
KJ Jiro Kawakita
IFI Incremental Fit Indices
LDKB Lembar Data Keselamatan Bahan
MSDS Material Safety Data Sheet
IR Indeks Risiko
ISO International Standard Organization
ISRS International Safety Rating System
LOPA Layer of protection analysis
NOAA National Oceanic Atmospheric Administration
OHSAS Occupational Health and Safety Assessment Series
Permenaker Peraturan Menteri Tenaga Kerja
PSM Process Safety Management
RHI Remaining Hazards Index
RI Risk Index
Istilah Keterangan
Prosedur Kerja Standar (SOP) Tata cara kerja yang diatur secara
sistematik, terstruktur dan dituangkan
dalam bentuk perintah kerja tertulis.
1 Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
2
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
3
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
4
RMP Rule tidak secara eksplisit mencakup bahaya reaktifitas kimia, namun
sejumlah sifat reaktifitas seperti beracun atau mudah terbakar termasuk
didalam peraturan ini.
3. Di Eropa, Seveso II Directive [96/082/EEC] menerapkan aturan pada fasilitas
yang menangani bahan-bahan berbahaya dengan jumlah diatas ambang batas,
termasuk bahan kimia yang dikategorikan bersifat reaktif. Disini diterapkan
persyaratan program pencegahan yang hampir sama dengan standar OSHA
PSM.
Namun regulasi yang dikeluarkan OSHA, Federal Amerika Serikat maupun
Saveso II Directive tersebut diatas belum mengatur secara spesifik bahaya reaktifitas
kimia. Maka untuk mencegah kecelakaan besar seperti kecelakaan Bhopal, American
Institute of Chemical Engineers (AIChE), pada tahun 1985 mengambil insiatif untuk
membentuk suatu badan yang disebut Center for Chemical Process Safety (CCPS).
Badan ini bertugas mengembangkan sistem pengendalian bahaya kima termasuk
bahaya reaktifitas kimia. CCPS telah mengembangkan beberapa guidelines untuk
manajemen bahaya reaktifitas seperti Guidelines for Chemical Reactivity Evaluation
and Application to Process Design (1995), Guidelines for Safety Storage and
Handling of Reactive Materials (1995), Guideline for Safe Warehousing of Chemicals
(1988) dan Guidelines for Process Safety in Batch Reaction System (1999).
Guidelines yang dikeluarkan oleh CCPS ini langsung diadopsi oleh berbagai
perusahaan besar. Namun pada tahun 2002, berdasarkan investigasi dari US Chemical
and Hazards Safety Board (CSB), ditemukan banyak sekali industri skala kecil-
menengah yang memiliki keterbatasan sumber daya tidak mampu menerapkan
guidelines ini.
Pada tahun 2003, CCPS mempublikasikan guidelines cara pelaksanaan
manajemen bahaya reaktifitas kimia (Essential Practice for Managing Chemical
Reactivity Hazards) yang lebih mudah dipahami (Berger, 2006). Dalam guidelines
baru ini terdapat 12 elemen penting dari manajemen bahaya reaktifitas kimia.
Keduabelas elemen tersebut sejalan dengan sistem manajemen yang sudah ada yaitu
Proses Safety Management Standard (PSM) yang dikeluarkan oleh CCPS, OSHA dan
Saveso II, namun masih terdapat beberapa elemen dari ketiga PSM tersebut yang
belum masuk atau terakomodasi dalam sistem manajemen bahaya reaktifitas kimia.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
5
Demikian pula sebaliknya dimana sebagian elemen-elemen yang terdapat dalam PSM
telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen bahaya reaktifitas kimia.
1.2. Permasalahan
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2001 tentang
pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) dinyatakan bahwa setiap orang yang
melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menjaga keselamatan dan kesehatan kerja
(Bab V, Pasal 22, Ayat 1). Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat
dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan
atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya (Bab I, Pasal 1,
Ayat 1). Dalam PP ini cukup jelas dinyatakan bahwa perusahaan yang menggunakan
B3 berkewajiban melakukan pengendalian bahaya yang dapat ditimbulkan oleh B3
tersebut. Bahaya reaktifitas kimia adalah merupakan bagian dari B3 sesuai dengan
definisi diatas, namun demikian pengendalian bahaya reaktifitas kimia secara spesifik
belum diatur oleh pemerintah, baik pada tingkat PP maupun pada tingkat keputusan
menteri seperti sistem manajemen K3 (SMK3) yang dikeluarkan oleh DEPNAKER,
juga tidak mengatur secara spesifik pengendalian bahaya reaktifitas kimia.
Sistem manajemen keselamatan yang banyak diterapkan oleh industri kimia
hilir adalah SMK3 Permenaker dan OHSAS 18001, karena penerapan sistem ini,
khususnya SMK3 Permenaker, sudah diharuskan oleh pemerintah. Namun kedua
sistem manajemen keselamatan ini tidak mengatur secara spesifik pengendalian
bahaya reaktifitas kimia, sehingga potensi terjadinya kecelakaan akibat bahaya
reaktifitas kimia masih terbuka lebar dan tingkat risikonya tetap tinggi. Secara umum
keterbatasan dari industri kimia hilir dalam menerapkan berbagai sistem manajemen
adalah karena:
1. Keterbatasan sumberdaya manusia.
2. Keterbatasan dana.
3. Keterbatasan teknologi.
4. Keterbatasan infrastruktur penunjang.
Sementara sistem manajemen yang wajib diterapkan karena tuntutan
pelanggan demi meningkatkan persaingan dipasar adalah sistem manajemen kualitas
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
6
(ISO 9000), dan bahkan ada pelanggan terutama diluar negeri yang mewajibkan
pemasoknya untuk memiliki sertifikat OHSAS 18001 atau ISO 14000. Dengan segala
keterbatasan perusahaan harus memenuhi tuntutan tersebut, sehingga sistem
manajemen keselamatan yang sifatnya sukarela seperti halnya PSM atau Manajemen
Reaktifitas Kimia tidak lagi menjadi perioritas dan bahkan tidak mungkin lagi
diterapkan karena perusahaan sudah tidak mampu baik dari segi sumber daya maupun
finansial.
Studi bahaya reaktifitas kimia yang selama ini banyak dilakukan adalah pada
industri kimia hulu seperti industri refinery, petrokimia dan oil&gas, karena industri-
industri tersebut memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan industri kimia
hilir. Industri kimia hulu pada umumnya berskala besar dan menggunakan serta
menyimpan bahan kimia dalam jumlah yang besar, dan apabila terjadi kecelakaan
dapat menyebabkan korban dan kerugian yang sangat besar. Sehingga sistem
majemen keselamatan dan teknologi keselamatan yang diterapkanpun jauh lebih baik
dibanding industri kimia hilir.
Industri kimia hilir pada umumnya berskala kecil-menengah, teknologi yang
digunakanpun masih banyak yang konvensional atau sederhana dan sumberdaya
manusia yang terbatas terutama dari sisi pendidikan. Sebagian besar industri kimia
hilir menggunakan sistem batch dan semi batch proses, dimana proses pembuatan
produk dilakukan dalam vesel berskala kecil dan bahan baku dimasukkan secara
manual kedalam vesel atau reaktor. Umumnya jumlah produk akhir atau produk
antara sangat bervariasi, sementara vesel atau reaktor tempat pengolahan proses
produksi sangat terbatas sehingga pergantian jenis produk dalam satu reaktor atau
vesel sangat tinggi. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya kesalahan dalam proses
atau terjadinya kontaminasi produk yang satu dengan produk yang lain. Bahkan ada
industri kimia hilir yang memiliki lebih dari seratus jenis produk yang berbeda dan
hanya memiliki kurang dari 10 reaktor, sehingga siklus produksi menjadi sangat
tinggi. Dengan banyaknya jenis produk yang dihasilkan maka secara otomatis jumlah
bahan baku yang digunakan juga sangat banyak, sebagai contoh; industri cat
memiliki jenis bahan kimia lebih dari 300 jenis dan industri kosmetik memiliki jenis
bahan kimia lebih dari 150 jenis.
Dalam sistem batch proses, peranan pekerja dalam mengoperasikan proses
produksi sangat dominan, apa lagi pada industri kimia yang masih menggunakan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
7
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
8
tindakan tidak aman dari manusia, sedangkan sisanya disebabkan oleh hal-hal lain
yang tidak berkaitan dengan manusia. Maka pada studi ini juga akan dipelajari faktor
manusia sebagai bagian yang sangat penting dalam membangun suatu sistem
pengedalian bahaya reaktifitas kimia.
Sistem yang dikembangkan ini juga harus harus dapat diintegrasikan dengan
sistem manajemen kualitas (ISO 9000), keselamatan (SMK3 Permenaker atau
OHSAS 18001) dan lingkungan (ISO14000), agar lebih mudah diterapkan dan tidak
memberatkan bagi perusahaan baik dari sisi keuangan maupun sumber daya manusia.
Secara singkat dapat pula dijelaskan permasalahan penelitian ini dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Seberapa besar potensi bahaya dan risiko reaktifitas kimia pada industri kimia
hilir?.
2. Seberapa besar peran faktor pekerja dalam sistem pengendalian bahaya
reaktifitas kimia pada industri kimia hilir?.
3. Apakah sistem manajemen keselamatan standar seperti SMK3 dan OHSAS
18001 cukup efektif dalam mengendalikan bahaya reaktifitas kimia pada
industri kimia hilir?.
4. Apakah sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia dapat diintegrasikan
dengan sistem manajemen keselamatan, lingkungan dan kualitas pada industri
kimia hilir untuk mengendalikan bahaya reaktifitas kimia?.
Masalah bahaya reaktifitas kimia juga merupakan masalah keselamatan masyarakat
yang cukup besar mengingat beberapa faktor berikut ini:
1. Kerugian dan korban yang ditimbulkan akibat kecelakaan bahaya reaktifitas
kimia selalu besar dan sudah banyak terjadi bahkan di negara-negara maju.
2. Masih banyak industri kimia hilir yang berlokasi di dekat pemukiman
penduduk yang berpotensi memperbesar jumlah kerugian dan korban jika
terjadi kecelakaan.
3. Sebagian besar industri kimia hilir belum memahami metode pengendalian
bahaya reaktifitas kimia.
4. Masih rendahnya tingkat kesadaran manajemen dan pekerja akan pentingnya
sistem keselamatan kerja memperbesar potensi terjadinya bahaya reaktifitas
kimia.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
9
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
10
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
11
2. Sebagian besar industri kimia hilir belum memiliki sistem manajemen yang
baik dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Sebagian besar industri kimia hilir menggunakan teknologi yang masih
konvensional sehingga memiliki risiko bahaya reaktifitas yang lebih tinggi.
4. Pada umumnya industri kimia hilir berskala kecil-menengah sehingga
memiliki keterbatasan sumber daya manusia terutama tingkat pendidikan.
5. Sebagian besar industri kimia hilir berlokasi dekat dengan pemukiman
penduduk sehingga berpotensi memperbesar jumlah kerugian jika terjadi
kecelakaan.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
12 Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
13
yang harus diperhatikan yaitu eksotermik and endotermik. Kedua jenis energi ini
dapat diperoleh dari literatur, perhitungan termodinamika atau pengukuran dengan
peralatan/instrumen di laboratorium. Faktor kedua adalah laju reaksi dari suatu
reaksi kimia, dimana laju reaksi tersebut tergantung pada temperatur, tekanan dan
konsentrasi. Laju reaksi baik dalam kondisi normal maupun abnormal harus
ditentukan atau diperhitungkan untuk mendisain suatu proses kimia yang lebih aman.
Faktor ketiga adalah disain proses dan peralatan produksi yang dapat
mengakomodasi dan mengantisipasi faktor pertama dan kedua diatas seperti
pemindahan panas yang dihasilkan oleh reaksi eksotermik.
Ketiga parameter diatas saling berinteraksi satu sama lain, sebagai contoh;
sejumlah energi potensial yang besar bisa dipindahkan dalam proses yang normal jika
laju pelepasan energi relatif kecil dan dikontrol dengan kapasitas pendingin yang
mencukupi. Untuk mengetahui apakah kapasitas pendingin mencukupi untuk
memindahkan pelepasan energi, pendekatan dengan studi bahaya reaktifitas kimia
dapat dilakukan. Dalam banyak kasus, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
teoritis seperti studi literatur, database dan program software. Meskipun pendekatan
teoritis ini tidaklah sepenuhnya memadai untuk merancang proses kimia. Dalam
tahapan tertentu diperlukan eksperimen dan pengukuran tergantung dari reaktifitas
kimia yang terkait untuk mendapatkan disain proses yang lebih sempurna.
Adapun parameter yang kritikal dari suatu reaksi kimia, akan berbeda
bergantung pada kondisi proses/reaksi. Sebagai contoh, pada kasus penyimpanan
bahan kimia, parameter yang perlu di kontrol adalah temperatur luar dan pemisahan
bahan kimia yang tidak kompatibel untuk mencegah terjadinya reaksi yang tidak
diinginkan. Untuk area produksi yang melakukan pencampuran kimia dengan tujuan
tertentu (intentional chemical reaction), parameter kontrol yang utama adalah laju
penambahan reaktan dan temperatur dari reaktor.
Berdasarkan CCPS, untuk melakukan kontrol bahaya reaktifitas yang
berkaitan dengan pelepasan produk atau energi, yang perlu diperhatikan adalah:
1. Kondisi awal reaksi
Kondisi awal reaksi memperhitungkan jenis dan banyaknya reaktan dalam
proses yang ada, jumlah dan konsentrasi reaktan (Creaktan) yang digunakan,
energi aktivasi yang dibutuhkan untuk terjadinya reaksi (Ea atau energi
aktivasi Arrhenius diberikan dalam J/mol) dan tekanan dari inert gas
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
14
(seperti N2) yang digunakan untuk menjamin bahwa reaktor bebas dari
oksigen (O2).
2. Jalur reaksi.
Dengan mengikuti jalur reaksi dan pengambilan sampel selama terjadinya
reaksi (sampling) dapat dipastikan bahwa telah dihasilkan produk yang
diinginkan atau produk yang tidak diinginkan atau bahkan produk samping
yang berbahaya. Proses kimia yang dapat terjadi pada tahap ini beragam,
misalnya reaksi desalinasi, desulfirisasi, alkilasi, isomerisasi,
polimerisasi, hidrogenasi dan sebagainya. Jalur reaksi yang paling
mungkin secara termodinamika adalah jalur reaksi dengan nilai energi
bebas Gibbs (G) yang terendah. Kondisi awal reaksi seperti konsentrasi
reaktan (Creaktan) dan tekanan dalam reaktor (Preaktor) juga mempengaruhi
jalur reaksi. Jalur reaksi juga bisa diprediksi dengan menggunakan
analytical tools yang ada seperti ASTM CHETAH program (Balaraju et
al. 2002).
3. Termodinamika reaksi.
Dalam hal ini diperhitungkan jumlah panas yang dilepaskan saat terjadi
reaksi (energi reaksi total ) dan produk yang dihasilkan yang bersifat
stabil. Energi reaksi dapat berupa energi polimerisasi atau energi
dekomposisi atau energi lain bergantung pada jenis reaksinya( ∆H).
4. Kinetika reaksi.
Dalam hal ini diperhitungkan laju reaksi, yang berkaitan dengan laju
pelepasan panas dan terbentuknya produk. Laju reaksi dari suatu reaksi
kimia bergantung pada beberapa parameter seperti temperatur (T), tekanan
(P) dan konsentrasi (Creaktan). Laju reaksi harus diperhitungkan baik dalam
kondisi normal maupun abnormal.
Selain melakukan kontrol terhadap pelepasan produk dan/atau energi,
dilakukan kontrol terhadap interaksi antara produk dan/atau energi yang dihasilkan
oleh proses/reaksi dengan lingkungan, dimana perlu dilakukan kontrol terhadap :
a. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan termasuk penyimpanan, penanganan dan pengemasan,
misalnya gudang atau tangki penyimpanan bahan kimia dimana tidak ada
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
15
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
16
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
17
kebakaran dan ledakan merupakan hal yang sangat penting untuk dapat merancang
sistem keselamatan (Eckhoff, 2005).
Over-pressurization*
Of container
Over-pressurization*
Of container
Exothermic
Reaction with Air Reaction with water
Specific
chemical
Self raction or
Admixture with Flammable gases
decomposition
another specific
chemical
Explosion Toxic
Gases
Violent Toxis Flammable
Reaction/explosion Gases Gases
Over-pressurization of countainer*
Over-pressurization*
Of container
Ledakan adalah suatu proses pelepasan sejumlah besar energi secara tiba-tiba
sehingga menghasilkan kebisingan (noise) dan gelombang tekanan. Energi yang
dilepaskan dapat berupa energi kimia atau mekanik (Eckhoff, 2005) . Pada proses
reaksi kimia yang bersifat eksotermik (Gambar 2.2), pelepasan energi yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan (Johnson, 2006) :
• Gelombang ledakan
• Evaporasi dari fasa cair
• Kenaikan temperatur
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
18
Tabel 2.1. Konsekuensi Dari Reaksi Berbagai Jenis Senyawa Hidrida Dengan Air dan
Udara.
Pelepasan energi secara tidak terkontrol tersebut dapat terjadi apabila energi
yang dihasilkan atau dilepaskan dari suatu proses reaksi kimia eksotermik tidak dapat
diserap oleh lingkungan, misalnya tidak optimalnya sistem pendingin dari suatu
reaktor polimerisasi. Pada suatu proses reaksi eksotermis yang normal dan terkontrol,
energi yang dilepaskan dapat diserap oleh lingkungan seperti sistem pendingin pada
dinding reaktor. Berdasarkan persamaan Archenius, laju panas yang dihasilkan naik
secara eksponensial dengan kenaikan temperatur selama reaktan masih tersedia.
Sementara proses laju pemindahan panas bersifat linier terhadap kenaikan
pemindahan panas pada permukaan dengan perbedaan temperatur antara pendingin
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
19
dan sistem (Gambar 2.3a). Selama kapasitas sistem pendingin (pemindah panas) dapat
mengimbangi kenaikan laju pelepasan panas oleh sistem, maka pelepasan energi tidak
terkontrol (ledakan) tidak akan terjadi.
Exothermic
ACTIVATED Reaction
COMPLEX
Activation
REACTIONTS Energy
Z = Faktor eksponensial
E = Energi Aktivasi
T = Temperatur (K)
Jika terjadi masalah pada sistem pendingin (pemindah panas) misalnya temperatur
pendingin naik atau koefisien pemindah panas turun sampai pada titik yang disebut
TNR [(temperature no return), yaitu temperatur dimana pelepasan panas yang
dihasilkan dari sistem tidak dapat dikontrol atau diabsorb lagi oleh lingkungan
(Gambar 2.3b)] maka kestabilan reaksi tidak bisa lagi dipertahankan. Reaksi kimia
menjadi tidak terkontrol dan berujung pada pelepasan energi yang sangat besar dan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
20
cepat yang kemudian menyebabkan suatu ledakan (Johnson, 2006). Apabila sistem
tersebut memiliki bahan kimia yang bersifat mudah terbakar, maka ledakan akan
disertai oleh kebakaran.
1
Heat Removal Heat Removal
Heat Generation
Heat Generation 2
Stable
Operation
TEMPERATURE
TEMPERATURE
Coolant Coolant TNR
Temperature Temperature
(A) (B)
Gambar 2.3 . Kurva Hubungan Pelepasan Panas dan Penyerapan Panas Pada Proses
Reaksi Eksotermik Dengan Sistem Pendingin.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
21
sangat beracun. Kejadian ini menewaskan 4000 orang yang berada di lingkungan
pabrik Union Carbide di Bhopal India (Johnson, 2006).
Tabel 2.2. Contoh Bahan Kimia Pada Kolom 1 yang Apabila Bercampur Dengan
Bahan Kimia Kolom 2 akan Melepaskan Bahan Kimia Beracun (Kolom 3).
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
22
1. Apakah ada proses reaksi kimia yang dilakukan pada proses tersebut?
(Catalytic cracking, Electrochemistry, Polimerisasi, dst)
2. Apakah ada proses pencampuran dari bahan kimia yang berbeda?
(Blending, Pengenceran pelarut, dst)
3. Apakah ada proses fisika lain yang dilakukan?
(Distilasi, pengeringan, penyaringan, penggerusan, dst)
4. Apakah ada bahan berbahaya yang disimpan atau digunakan?
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
23
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
24
Perkembangan kajian bahaya reaktifitas kimia cukup pesat, hal ini dapat
dilihat dengan banyaknya tersedia informasi dan alat bantu yang dapat digunakan
untuk melakukan kajian bahaya reaktifitas kimia, misalnya NOAA workheet software
untuk melakukan kajian ketidak cocokan bahan kimia, ASTM CHETAH software
untuk memprediksi energi yang dihasilkan dari suatu reaksi bahan kimia, Bretherick
handbook database, US CHRIS database, dan masih banyak lagi software atau
guideline yang dapat digunakan untuk melakukan kajian bahaya reaktifitas kimia.
Kajian bahaya reaktifitas kimia diawali dengan mengumpulkan data sifat
kimia dan fisika dari bahan-bahan kimia yang digunakan di laboratorium, juga perlu
dipelajari fungsi dari setiap bahan kimia dalam suatu proses, apakah sebagai pelarut,
pereaksi, katalis, dan sebagainya. Kemudian jenis reaksi yang terjadi apakah
eksotermik atau endotermik, kecepatan, tekanan dan temperatur reaksi. Data yang
diperoleh ditransformasikan ke dalam bentuk potensi bahaya yang dapat terjadi;
keracunan, daya nyala, ledakan, reaktifitas dan kondisi reaksi (Legget, 2004).
Beberapa contoh penelitian bahaya reaktifitas kimia yang pernah dilakukan
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Studi Chemical Incompatibilities
Winder Dan Zare (2000), melakukan studi chemicals incompatibilities dengan
menggunakan tiga acuan kelompok bahaya kimia, yaitu; UN Dangerous
Goods System (14 kategori), US CHRIS System (24 kategori) dan
Environmental Risk System (25 kategori). Ketiga kelompok tersebut memiliki
filosopi yang berbeda. Metode yang digunakan dalam studi ini sangatlah
sederhana, tahap pertama menggabungkan UN DG dengan US CHRIS untuk
mendapatkan sistem penggabungan ketidak cocokan bahan kimia berdasarkan
sifat bahaya fisika dan reaktifitas kimia. Tahap kedua mengabungkan sistem
baru tersebut dengan hazardous waste incompatibility system of Hatayama et
al. untuk mendapatkan sistem yang lebih comprehensive. Sistem ketiga
mempertimbangkan sifat-sifat lingkungan sehingga diperoleh tabel ketidak
cocokan bahan kimia yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan
bahaya fisika, kimia, reaktifitas kimia dan lingkungan.
b. Kajian Risiko Pengiriman dan Penerimaan Bahan Kimia Berbahaya
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
25
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
26
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
27
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
28
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
29
standard (standard index value) yang menjadi menjadi acuan untuk mengkaji aspek
keselamatan diberikan pada Gambar 2.5.
Nilai indeks untuk masing-masing kategori adalah nilai tertinggi dari
keseluruhan nilai indeks untuk sub-kategorinya. Nilai indeks satu menunjukkan bahan
berbahaya dan nilai nol menunjukkan bahan tidak berbahaya. Nilai indeks untuk suatu
kategori sama dengan nilai terbesar dari nilai indeks sub-kategorinya. Kemudian
dengan menggunakan nilai indeks, dapat dihitung besarnya physical value atau
tingkat bahaya untuk setiap kategori. Untuk konversi dari nilai indeks menjadi dapat
dilihat pada penjelasan berikut :
(2.2)
(2.3)
(2.4)
sebagaimana dindikasikan pada Gambar 2.5
Dimana: j= bahan kimia, i= kategori bahaya, m=sifat bahaya
Physical value mempunyai satuan unit massa (e.g., kJ/kg, m3/kg). Konversi
nilai indeks menjadi physical value diberikan dalam masing-masing acuan
perhitungan nilai indeks seperti yang terdapat dalam Gambar 2.5
Setelah melakukan identifikasi EHS dan menghitung besarnya physical value
untuk setiap kategori, dilakukan perhitungan Effective Dangerous Property dari bahan
kimia, dimana hubungan antara Physical Value dengan Effective Dangerous Property
diberikan pada tabel 2.3
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
30
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
31
Potential of Danger (PoD) yang melibatkan berat dari bahan kimia yang
terkait. Untuk aspek lingkungan dipertimbangkan berat total dari buangan, untuk
aspek keselamatan dipertimbangkan jumlah maksimum bahan kimia yang disimpan
untuk kemudian digunakan dalam proses dan untuk kajian kesehatan dipertimbangkan
tingginya pajanan terhadap bahan kimia dalam selang waktu tertentu (diberikan dalam
kg). Umumnya massa dari bahan kimia ini lebih bergantung pada peralatan dan
kondisi kerja dibandingkan terhadap penyimpanan (inventory), sehingga sulit
diprediksi pada awal proses. Potential of Danger (PoD) dari bahan kimia diperoleh
dengan mengalikan massa dari bahan kimia dengan Effective Dangerous Property
(EDP).
Untuk setiap kategori diperoleh satu nilai indeks yang kemudian dapat
digunakan untuk pemilihan bahan kimia atau menentukan batasan maksimum dari
bahan kimia yang digunakan dalam proses kimia. Nilai indeks yang diperoleh juga
digunakan untuk menentukan teknologi keselamatan yang perlu digunakan untuk
menurunkan efek bahaya dari bahan kimia yang digunakan.
Sebagai metoda semikuantitatif, metoda ini terbukti dapat mengidentifikasi
dengan cepat masalah EHS yang utama, berikut dengan tingkat bahayanya dengan
menggunakan data bahan kimia yang terbatas dan dilakukan secara manual.
Fleksibilitas dari metoda yang memungkinkan penggabungan antara kajian EHS
dengan konsep inherently safer memungkinkan pengurangan tingkat bahaya dengan
adanya tolok ukur teknologi. Lebih jauh lagi, kebutuhan akan metoda kajian yang
cepat dan efisien, memicu dibuatnya sistem otomatis, dimana tidak hanya dibutuhkan
sistem yang sistematik tapi juga perangkat lunak komputer untuk mempercepat proses
pengkajian (Shah et.al, 2003).
Pendekatan yang dilakukan oleh Shah, et.al (2003) dalam melakukan kajian
EHS yang menyeluruh adalah dengan membagi masalah menjadi komponen-
komponen yang lebih kecil dan melakukan kajian bertahap secara mendalam.
Komponen-komponen yang ada saling berkaitan satu sama lain dan sebagai
konsekuensinya saling mempengaruhi satu sama lain. Metoda yang dikembangkan
dinamakan SREST-layer assessment method, dimana area produksi diasumsikan
sebagai bawang yang mempunyai lapisan-lapisan yang tersusun rapi dan kajian
dilakukan dari lapisan terdalam ke lapisan terluar. Adanya lapisan-lapisan ini
mempermudah identifikasi masalah EHS dalam tahap yang berbeda dari suatu proses
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
32
dan penerapan inherent safety technology dapat diterapkan langsung pada setiap
lapisan. Adapun keempat lapis dari SREST-layer assessment method dapat dilihat
pada Gambar 2.6
Tabel 2.4. Nilai EHS Kategori Efek yang Dapat Diterima Pada Tahap SAL.
Acceptable region for EHS substance-
EHS effect category
index
Safety
Mobility and fire/explosion </=0.6
Acute toxicity and decomposition </=0.5
Health
Irritation </=0.5
Chronic toxicity </=0.6
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
33
Prevention Safty-Technology
assessment layer Selection of synthesis route and
And process design:
Protection [STAL]
In the case of high hazard
1. Collect more data from
laboratory and other reliable
sources and perform SREST-
Worst case Layer-Assessment again.
Equipment Assessment
2. Consult with experts on the
Scenario Layer [EAL] results of all layers.
And unit -
3. Use inherent safety principles
Operation
at the end of each and perform
Assessment SREST-Layer-Assessment
again.
4. Select other synthesis routes,
Reactivity assessment if available, and perform
layer [RAL] SREST-Layer-Assessment for
new route.
Substance and
Reactivity
Hazard
Identification Substance assessment
and layer [SAL]
Assessment
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
34
Pada tahap ini semua bahan kimia yang mungkin akan kontak satu sama lain
dievaluasi, termasuk reaktifitas terhadap udara, air, panas, media pendingin,
konstruksi material, pengotor dan juga bahan-bahan lainnya. Kajian dilakukan dengan
menggunakan data dari Bretherick’s database (Urben, 1999) dan chemical reactivity
worksheet (NOAA, 2000). Data diperoleh dalam bentuk matriks interaksi. Jika
ditemukan adanya interaksi antara bahan kimia yang digunakan dalam proses, dapat
diambil langkah pengendalian, apakah dengan mensubtitusi bahan kimia tersebut atau
mengurangi dan meminimumkan penggunaannya. Tersedianya matriks interaksi yang
difasilitasi dengan adanya perangkat lunak (software) mempercepat pengumpulan
data dan membantu mempercepat pengolahan data untuk mengambil keputusan dalam
memperoleh proses yang aman dari segala aspek EHS-nya.
Pada tahun 2005, Shah et.al, mempublikasikan versi baru untuk SREST layer
assessment method (extended version), salah satunya dengan mengubah hasil kajian
reaktifitas bahan kimia yang berupa matriks menjadi indeks. Adanya indeks untuk
reaktifitas bahan kimia memudahkan pengambilan keputusan berdasarkan tingkat
indeks dan batas yang dapat diterima (acceptable limit). Informasi reaktivitas dibagi
menjadi dua kategori yaitu intended reaction (reaksi yang diinginkan) dan unintended
reaction or incompatible (reaksi yang tidak diinginkan atau tidak sesuai). Pedoman
indeks untuk kedua kategori tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan 2.8
Hasil kajian RAL tersebut kemudian dijadikan landasan untuk membuat
keputusan berdasarkan nilai indeks dan batasan yang dapat diterima (Tabel 2.5).
Tabel 2.5. Nilai Index Reaktifitas yang Dapat Diterima Untuk RAL
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
35
Gambar 2.7. Index Bahaya Dari Kategori Reaksi yang Diinginkan Pada Tahap RAL
Gambar 2.8. Index Bahaya Dari Kategori Campuran Tidak Sesuai Pada Tahap RAL
Sumber: Shah, et.al, 2005.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
36
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
37
tersebut dapat saling memperkuat satu sama lain. Dapat juga dikombinasikan metode
HAZOP dan FMEA.
1 Class 1 1
2 Class 2.1 N 2
3 Class 2.2 N Y 3
4 Class 2.3 N Y Y 4
5 Class 3 N Ya Y N 5
6 Class 4.1 N N Y Y Y 6
7 Class 4.2 N N N N N N 7
8 Class 4.3 N N Y Y Y Y Y 8
9 Class 5.1 N N Y N N N Y Y 9
10 Class 5.2 N N N N N N Y Y N 10
11 Class 6 N Y Y Y Yd Y Y Y Yb Yb 11
12 Class 7 N N Y Y N N N N N N Y 12
13 Class 8 N Y Y Y Y Y Y N N N Yd N 13
14 Class 9 N Y Y Y Y Y Y Y Yc Yc Y Y Y 14
Note:
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
38
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
39
Unsafe Condition
Environment
ACCIDENT
Unsafe Act
Ancestry
LOSS
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
40
unsafe condition dan unsafe act dihilangkan maka kecelakaan dapat dicegah (Cooper,
2001). Konsep dasar pada model ini adalah:
1. Accident adalah sebagai suatu hasil dari serangkaian kejadian yang
berurutan. Accident tidak terjadi dengan sendirinya.
2. Penyebab-penyebabnya adalah faktor manusia dan faktor fisik.
3. Accident tergantung kepada lingkungan fisik, dan lingkungan sosial di tempat
kerja.
4. Accident terjadi karena kesalahan manusia.
Dr. Michael Zabetakis, direktur akademi MSHA’s (Mine Safety and Health
Administration) mengembangkan teori Domino dengan konsep baru model penyebab
kecelakaan langsung (Gambar 2.11). Konsep penyebab langsung yaitu pelepasan
energi atau bahan berbahaya yang tidak direncanakan. Dr. Zabetakis menjelaskan
bahwa kebanyakan kecelakaan disebabkan oleh pelepasan energi (listrik, kimia,
mekanik, panas, radiasi) atau bahan kimia berbahaya (misalnya CO, CO2, H2S, CH4)
yang tidak direncanakan atau diinginkan. Pelepasan ini sebagian besar disebabkan
oleh tindakan tidak aman (unsafe act) dan lingkungan kerja tidak aman (unsafe
condition).
Pada awalnya kebanyakan pencegahan kecelakaan hanya fokus pada
identifikasi dan perbaikan terhadap tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman.
Sementara untuk peningkatan jangka panjang sebaiknya dilakukan identifikasi dan
perbaikan pada penyebab dasar kecelakaan. Penyebab dasar kecelakaan dapat
dikelompokan pada tiga kelompok yang saling berhubungan, yaitu (Heinrich, 1980):
1. Kebijakan dan keputusan manajemen.
2. Faktor personal (pekerja)
3. Faktor lingkungan.
Kelompok pertama adalah kebijakan dan keputusan manajemen, misalnya
adalah target produksi dan keselamatan; prosedur kerja; pencatatan; penugasan
tanggung jawab dan otoritas, dan kepercayaaan; pemilihan karyawan, pelatihan,
penempatan, pengawasan dan pengarahan; prosedur komunikasi; prosedur inspeksi;
peralatan, suplai, dan disain fasilitas, pembelian dan perawatan; prosedur pekerjaan
standar dan darurat; dan kebersihan dan kerapian.
Kelompok kedua adalah faktor personal atau pekerja, misalnya adalah
motivasi; keadaan fisik dan mental; waktu reaksi; kepedulian pribadi. Kelompok
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
41
Personal Factors
Environmental Factors
JSA:
Education JSA:
Training Design
Motivation Inspection
Assingment Unplanned release of Engineering
Research Housekeeping
Energy and/or Maintenance
Hazardouse materials Review
Reduce Protective
quantities equipment
and
Structure
Accident:
Personnal injury
Property damage
First Aid:
Repair
Replacement
Investigation
Hazards analysis
Safety awareness
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
42
ACCIDENT
LOSS
Gambar 2.12. Teori Penyebab Kecelakaan oleh Loftus dan Bird.
Sumber : Cooper, 2001
Reason (1997) mengembangkan model investigasi kecelakaan organisasi
(Gambar 2.13). Model ini menghubungkan berbagai elemen yang berkontribusi
terhadap kecelakaan organisasi tersebut. Menurut teori ini kecelakaan organisasi
bermula dari kegagalan faktor organisasi dalam membuat keputusan strategis, proses
organisasi seperti forecasting, budgeting, alokasi sumber daya, komunikasi, audit,
perencanaan dan lain-lain. Kegagalan organisasi ini akan mewarnai budaya
organisasi, sikap pekerja dan cara-cara pekerja dalam menjalankan proses bisnis.
Konsekuensi dari kegagalan faktor organisasi akan menyebar pada seluruh
area kerja yang pada akhirnya akan memicu cara-cara kerja yang tidak aman (unsafe
act). Hal ini termasuk peralatan kerja yang tidak memadai, training yang tidak
memadai, pengawasan yang kurang, perawatan mesin yang tidak memadai,
komunikasi yang buruk dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut memicu dan
memperbesar potensi terjadinya kecelakaan organisasi.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
43
Losses
Danger
Hazards
Causes Investigatio
Latent n
condition Unsafe acts
pathways
Organization factors
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
44
Kegagalan laten dapat terjadi akibat faktor organisasi, pola supervisi dan juga
faktor prakondisi yang mendukung terjadinya tindakan tidak aman. Bila pada tiap
tahapan tersebut terdapat lubang-lubang atau tidak adanya pertahanan maka akan
memudahkan terbentuknya tindakan tidak aman. Namun Reason tidak menguraikan
secara jelas lubang-lubang tersebut dalam konteks operasional. Namun demikian
ketidak pastian lubang-lubang tersebut juga lebih memudahkan para investigator
untuk tidak terlalu terpaku pada faktor-faktor klasik yang selalu menjadi pusat
perhatian.
I
N
S F A
T O C
Human C
R R I T
E M D
E
A
S A
N S
Machine S T T K
Environ- O I
ment R O
N
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
45
dimulai dengan proses inisiasi yang dapat berupa kegagalan pada perangkat keras
(peralatan) dan/atau perangkat lunak (software), kegagalan sistem manajemen,
kesalahan manusia dan kejadian eksternal. Namun kecelakaan juga dapat terjadi
setelah proses inisiasi jika tidak terdapat sistem proteksi terhadap kecelakaan. Tahap
berikutnya adalah tahap intermediet (lanjutan) yang dibagi menjadi dua kelas yaitu
faktor propagasi dan faktor pengurangan risiko. Faktor propagasi yaitu kegagalan
dalam membuat lapisan proteksi dan lingkungan yang memperuncing kecelakaan.
Faktor pengurangan risiko meliputi respon yang baik dari pekerja dan administratif
kontrol serta lingkungan yang dapat mengurangi frekuensi dan kerusakan akibat
kecelakaan.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
46
dengan faktor manusia (Hoyos, 1998). Kedua teori ini lebih banyak melakukan
pendekatan dari sisi teknologi atau kondisi kerja (lingkungan). Teori Hoyos
berpedoman pada hirarki sistem keselamatan kerja seperti pada Gambar 2.16 Tahap
pertama adalah mengurangi bahaya dengan cara menggunakan bahan-bahan yang
kurang berbahaya, misalnya menggunakan bahan kimia yang tingkat bahayanya
rendah. Jika menggunakan bahan berbahaya tidak dapat dihindari maka dilakukan
tahap kedua yaitu dengan memisahkan sumber bahaya dengan manusia, misalnya
dengan menggunakan sistem proses yang tertutup, dinding tahan api, tangki tahan
tekanan dan temperatur tinggi, dan lain-lain. Tahap berikutnya adalah memberikan
alat pelindung diri dan melengkapi mesin atau peralatan dengan pengaman seperti
alarm, tombol darurat, kontrol otomatis untuk mengurangi kontak dengan manusia
dan lain-lain.
4. Safety
psychology
1. Elimination of hazards
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
47
adalah disain mesin atau peralatan, perawatan mesin, tata letak, metode proses,
pencahayaan, pemanasan, ventilasi, sistem pertukaran udara, peredam suara dan lain-
lain (DeReamer, 1981).
Proses dan fasilitas produksi pada umumnya melalui beberapa tahapan
pengembangan, dan tahapan-tahapan tersebut dapat dinyatakan sebagai suatu siklus.
Siklus dari proses dan fasilitas produksi secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut
(Johnson et al., 2003):
Initial concept/laboratory research
Process development; small-scale or pilot plant operations
Full-scale engineering design and facility construction
Full-scale startup and operation, including shutdown and maintenance
activities
Modifications and expansions
Mothballing/decommissioning and demolition.
Setiap tahapan tersebut harus dikaji secara mendalam faktor-faktor yang berkaitan
dengan keselamatan kerja untuk meminimalkan resiko terjadinya kecelakaan.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
48
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
49
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
50
Maka dalam pendekatan ini kesalahan manusia ditinjau dalam kerangka sistim
secara lebih menyeluruh. Manusia atau individu tetap dipandang sebagai pusat
perhatian, namun individu dipandang bukan semata-mata penyebab tunggal terjadinya
kesalahan. Model yang dikembangkan dalam pendekatan ini dikenal dengan SHELL
Model (Gambar 2.17). Kegagalan atau kesalahan manusia dapat terjadi akibat
interaksi antara manusia (liveware) dengan manusia lain (liveware), dengan
lingkungan (environment) dan dengan prosedur, peraturan (software) serta dengan
peralatan mesin (Hardware) dan seterusnya.
Model SHEL diusulkan oleh Edwards (1972) dan dimodifikasi oleh Hawkins
(1987) dalam ruang lingkup penerbangan, mengusulkan bahwa system dilihat dari
semua proses produktif yang selalu dihubungkan dengan empat komponen:
1. Hardware, mewakili komponen fisik dan non-manusia dari suatu sistem
seperti peralatan, manual, simbol dan lain-lain.
2. Software, mewakili semua komponen seperti peraturan, prosedur,
kebijakan, norma, dan semua peraturan formal atau non-formal yang
menjelaskan bagaimana tiap komponen yang berbeda dari suatu system
berinteraksi satu sama lainnya.
3. Liveware, menunjukkan komponen manusia serta aspek kerasionalan dan
komunikasinya.
4. Environment, menunjukkan lingkungan sosio-politik dan ekonomi tempat
terjadinya interaksi.
LIVEWARE
operators
team
mangement
SOFTWARE HARDWAR
procedures E interface
rules equipment
practices tools
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
51
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
52
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
53
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
54
Technology
Systems
Behaviours
Engineering Culture
Leadership
Equipment Accountability
safety Attitudes
Compliance HSE as a profit centre
Culture
Integrating HSE
Certification
Competence
Risk Assessment
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
55
lain karena mengganggap itu adalah tanggung jawab dan risiko masing-masing.
Tingkatan kedua sedikit lebih baik daripada tingkatan pertama yaitu reaktif, dimana
sudah terbentuk budaya bertindak setelah terjadi kecelakaan atau kegagalan.
Tingkatan ketiga adalah calculative dimana pada tingkatan ini sudah terdapat sistem
pengendalian bahaya dan risiko di tempat kerja. Tingkatan keempat adalah proaktif
dimana safety leadership dan values sudah diterapkan, dan perbaikan secara terus
menerus sudah dilakukan dengan melibatkan pekerja untuk bersifat proaktif dalam
mengidentifikasi potensi bahaya dan risiko. Tingkatan paling tinggi adalah generatif,
pada tingkatan ini keselamatan dan kesehatan kerja sudah merupakan bagian dari
setiap proses dan kegiatan bisnis pada perusahaan tersebut dalam segala tingkatan
(Hudson, 2007).
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
56
Menurut Grote G. (2007) budaya keselamatan dapat ditinjau dari kaca mata
ketidakpastian manajemen organisasi. Ada dua pendekatan terhadap ketidakpastian
organisasi, yaitu:
1. Meminimalkan ketidakpastian (minimizing uncertainties-MU).
2. Mengatasi ketidakpastian (Coping with uncertainties-CU).
Ada kekurangan dan kelebihan masing-masing dari kedua metode pendekatan diatas.
Sistem budaya keselamatan diusulkan untuk mengkoordinasikan dan
mengintegrasikan kedua metode tersebut. Berdasarkan konsep socio-technical model
dari budaya keselamatan dikembangkan angket pertanyaan yang dapat digunakan
untuk audit manajemen dan budaya keselamatan. Ada 3 pendekatan konsep socio-
technical model yaitu Proactive, Socio-technical integration dan Values
consciousness. Mengaitkan sistem manajemen, budaya keselamatan dan
sociotechnical model dapat mengurangi kelemahan budaya keselamatan, karena:
• Budaya keselamatan akan lebih terpancang dan mengakar pada keseluruhan
organisasi.
• Disain organisasi akan terhubung dengan prinsip keselamatan baik dari sisi
material dan immaterial (moral).
Peran budaya keselamatan dalam pendekatan CU adalah soft coordination sementara
pendekatan MU adalah hard coordination. Pendekatan CU dengan soft coordination
lebih sesuai dilakukan untuk peningkatan partisipasi, keterlibatan, perilaku,
tanggungjawab, kepemimpinan dan interaksi team. Sementara pendekatan MU
dengan hard coordination lebih menekankan pada perintah dan kontrol sehingga lebih
sesuai untuk pekerjaan rutin.
Menurut Choudhry R.M., et al. (2007), untuk mengembangkan budaya
keselamatan yang positif ada beberapa point yang harus dilakukan yaitu; merubah
sikap dan perilaku, komitmen manajemen, keterlibatan karyawan, strategi promosi,
training & seminar dan spesial program. Budaya keselamatan yang positif memiliki
lima komponen:
1. Komitmen manajemen terhadap keselamatan.
2. Perhatian manajemen terhadap pekerja.
3. Kepercayaan antara manajemen dan pekerja.
4. Pemberdayaan pekerja.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
57
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
58
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
59
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
60
memiliki latar belakang dan keahlian yang berbeda-beda, atau situasi yang
cukup rumit dan membingungkan dimana situasi yang dihadapi belum tergali
atau diketahui secara baik oleh peserta diskusi. Beberapa hal yang unik dari
metode KJ analysis adalah:
1. Affinity silently; adalah cara yang paling efektif dalam
menyampaikan ide dalam sebuah kelompok yaitu dengan
menampilkan ide secara tertulis tanpa bicara. Hal ini memiliki
dua hal yang positip yaitu mendorong cara berfikir yang tidak
konvensional dan yang kedua mengurangi pertengkaran atau
pertentangan.
2. Go for gut reaction; adalah mendorong anggota kelompok
untuk bereaksi cepat terhadap apa yang dilihat atau dipikirkan.
Dan semua anggota kelompok dapat menyampaikan apa yang
ada dalam pikirannya.
3. Handle disagreement simply; adalah cara sederhana untuk
menangani ketidak sepakatan dalam cara pandang terhadap
suatu ide. Jika seseorang atau anggota kelompok tidak setuju
terhadap suatu idea pada kategori tertentu, mereka tinggal
memindahkan kedalam kategori yang lebih tepat hingga
ditemukan konsensus, jika tidak ditemukan konsensus maka
dapat dibuat duplikat idea untuk kedua kategori.
Metode ini dilakukan dengan cara brainstorming untuk mendapatkan ide-ide
dari peserta diskusi sesuai dengan topik diskusi. Brainstorming dilakukan
bukan dengan menyampaikan pendapat secara verbal akan tetapi disampaikan
secara tertulis diatas sepotong kertas berupa kartu atau post-it note. Kemudian
ide-ide atau pendapat tersebut ditempelkan pada papan tulis atau dinding
dimana memungkinkan untuk mengelompokkan ide-ide yang sama kedalam
satu kategori (Gambar 2.20). Semua peserta kelompok diskusi diajak untuk
membaca semua ide-ide yang tertempel dan mengelompokkan secara
bersama-sama untuk mendapatkan konsensus serta memberi nama kategori-
kategori tersebut (Gambar 2.21). Melalui diskusi dengan peserta kemudian
dicari hubungan sebab dan akibat dari semua kategori yang ada.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
61
Gambar 2.20. Ide-ide dalam bentuk post-it note yang ditempelkan oleh peserta diskusi
Metode-metode tersebut diatas dapat digunakan secara sendiri-sendiri atau
gabungan beberapa metode, hal ini tentunya tergantung dari jenis dan kedalam
informasi yang ingin diperoleh. Namun dalam banyak penelitian budaya dan perilaku
keselamatan, metode yang paling sering digunakan adalah metode penyebaran angket.
Beberapa penelitian menggabungkan penyebaran angket dengan fokus grup diskusi
dan audit dokumen dan catatan untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif.
Gambar 2.21. Ide-ide dalam bentuk post-it note yang ditempelkan oleh peserta diskusi
dan telah dikelompokkan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
62
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
63
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
64
yang diintergasikan tersebut didalam suatu organisasi (Gambar 2.22). Integrasi dari
komponen-komponen sistem manajemen terfasilitasi apabila karyawan yang bekerja
dalam suatu organisasi bertanggung jawab langsung terhadap masalah-masalah
kualitas, lingkungan dan keselamatan dan kesehatan kerja. Integrasi sistem
manajamen dalam tingkat pekerja akan mengurangi kebingungan pekerja yang sering
terjadi apabila berhadapan dengan multistandar dari berbagai sistem (Pojasek R.B.,
2006).
Konsep manajemen keselamatan yang lebih moderen memiliki filosofi bahwa
keselamatan kerja berhubungan dengan kualitas produk. Hal ini dapat dilihat dari
proses evolusi dari sistem manajemen keselamatan dan dibandingkan dengan sistem
manajemen kualitas maka dapat dilihat ada kesamaan dalam proses evolusi kedua
sistem tersebut (Tabel 2.6). Kedua sistem manajemen ini mengarah pada konsep yang
sama yaitu Total Quality dan Total Safety. Dumas (1987) melakukan kajian dilebih
200 perusahaan selama 5 tahun, dan dia menyimpulkan bahwa ada kesamaan
komponen dari sistem manajemen kualitas dan keselamatan. Dan salah satu
kesimpulan dari studi yang dilakukan Dumas adalah bahwa keselamatan adalah salah
satu dimensi dari kualitas, misalnya mengurangi cacat produk berarti juga mengurangi
pratek tindakan tidak aman. Minter (1991) juga memastikan bahwa sebagai
konsekuensi dari segala sesuatu yang aman atau selamat akan berdampak pada
kualitas yang baik. Oleh karena tujuan dari kontrol kualitas adalah memperbaiki
kualitas produk melalui pendeteksian dan pengurangan produk cacat, dengan cara
yang sama maka tujuan dari kontrol keselamatan dapat didefinsikan sebagai
pengurangan kecelakaan melalui pengurangan tindakan tidak aman dan kondisi kerja
tidak aman (Herrero G.S. et. al., 2002).
Tabel 2.6 Tahapan Evolusi Dari Konsep Manajemen Keselamatan dan Kualitas
Quality management steps Safety management steps
Quality control Safety control
Quality assurance Safety assurance or guarantee
Total quality Total safety
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
65
Tabel 2.7. Prinsip dan Hubungan Sistem Manajemen Kualitas dan Keselamatan Kerja
Safety Quality
Objective: zero accidents Objective: zero defects
Analysis of incidents Analysis of events
Documenting the politics of safety Documenting the politics of quality
the procedures and the instructions the procedures and the instructions of work
Safety committees Quality circles
Participation of the workers Participation of the workers
Statistical analysis Statistical control of the process
All accidents and injuries could be
prevented The not conformities could be prevented
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
66
yang diusulkan oleh Rahimi termasuk konsep strategic safety management (SSM) dan
self-managed teams (SMT). Salah satu karakteristik dari model Rahimi ini adalah
team yang juga terintegrasi antara team keselamatan kerja dan kualitas sehingga
terbentuk kerjasama yang baik (teamwork). Weinstein (1996) mengembangkan Safety
Hazard Management System (SHMS) yang mengintergrasikan prinsip-prinsip TQM,
persyaratan dari ISO 9000 dan persyaratan teknis dari standar atau regulasi yang ada,
bentuk sistem tersebut seperti pada Gambar 28 (Herrero G.S. et. al., 2002)..
Dalam banyak kasus, perusahaan tidak memiliki pilihan dalam menerapkan
sistem manajemen tersebut secara terpisah, hal ini disebabkan karena rentang waktu
dari proses ratifikasi sistem manajemen tersebut yang memang sangat berjauhan.
Sebagai contoh, ISO 9000 diratifikasi pertama kali tahun 1987, sementara ratifikasi
ISO 14000 baru dilakukan pada tahun 1996 dan OHSAS 18001 pada tahun 2000. Hal
ini telah menyebabkan pendekatan terhadap penyelesaian masalah baik kualitas,
keselamatan dan lingkungan dilakukan secara bagian per bagian (piecemeal
approach). Pendekatan seperti ini telah mulai berubah karena dianggap tidak efektif
dan efesien, banyak perusahaan sudah melakukan pendekatan yang lebih kearah
sistem manajemen yang bersifat lebih komprehensif dan terintegrasi. Sistem
terintegrasi tidak hanya menguntungkan akan tetapi dari sisi operasional juga lebih
hemat dan bersinergis (Krause L.J. et.al., 2008).
Pada umumnya kebanyakan perusahaan melakukan integrasi antara sistem
manajemen lingkungan ISO 14001 dengan sistem manajemen keselamatan OHSAS
18001 dan/atau sistem manajemen kualitas ISO 9001. Dalam perkembangannya
sistem manajemen ISO 14001 dan ISO 9001 telah diselaraskan dan diharmoniskan
sehingga lebih mudah untuk diintegrasikan. Demikian pula halnya dengan OHSAS
18001 yang juga telah memiliki kesamaan struktur dengan ISO 14000 sehingga dapat
diintergasikan baik dengan ISO 14001 maupun ISO 9001 (Krause L.J. et.al., 2008).
Pada tahun 1996, CCPS mengeluarkan guideline untuk mengintegrasikan
antara Process Safety Management, Environment, Safety, Health and Quality. Sistem
manajemen tersebut dikembangkan secara terpisah dan mandiri, meskipun elemen-
elemennya memiliki kesamaan disana-sini. Hal tersebut membuat penerapan beberapa
sistem tersebut secara terpisah menjadi tidak efektif dan efesien. Hal inilah yang
melatar belakangi dikeluarkannya guideline ini dan ditambah dengan adanya
kebutuhan pada saat itu oleh perusahaan-perusahaan di Amerika, yaitu:
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
67
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
68
Develop usefulness of
quality management
system for integration
Identify commonalities
and integrastion
opportunities
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
69
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
70
Tabel 2.8. Perbandingan Manajemen Bahaya dari CCPS, OSHA PSM/EPA RMP
Rule dan Saveso II
Chemical Reactivity Hazard CCPS Elements OSHA PSM Seveso II
Management Standard and EPA
RMP Rule
2.2. Life Cycle Issues Management of Change Management of Management of
Change Change
2.4. Product Stewardship Enhancement of — —
Process Safety
Knowledge
4.1. Develop System to Management Systems Management System Safety
Manage Chemical Reactivity Management
Hazards System
4.2. Collect Chemical Process Knowledge and Process Safety Identification of
Reactivity Data Documentation Information Major Hazards
4.3. Identify Chemical Process Risk Process Hazard Identification of
Reactivity Hazards Management Analysis Major Hazards
4.4. Test for Chemical Process Knowledge Process Safety Identification of
Reactivity and Documentation Information Major Hazards
4.5.Assess Chemical Process Risk Process Hazard Evaluation of
Reactivity Risks Management Analysis Major Hazards
4.6.Identify Process Controls Process Risk Process Hazard Operational
and Risk Management Management Analysis Control
Options
4.7. Document Chemical Process Knowledge and Process Safety Operational
Reactivity Risks and Documentation Process Information, Control
Management Decisions Risk Management Process Hazard
Analysis and
Operating
Procedures
4.6. Communicate and Train Training and Training Contractors Organization and
on Chemical Reactivity Performance Personnel
Hazards Process Risk
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
71
Management
4.9. Investigate Chemical Incident Investigation Incident Investigation Monitoring
Reactivity Incidents Performance
4.10. Review, Audit, Manage Audits and Corrective Compliance Audits Audit and Review
Change, and Improve Action Management of Management of
Hazard Management Management of Change Change Change
Practice/Program Enhancement of
Process Safety
Knowledge
Tabel 2.9. Elemen-Elemen PSM yang Belum Masuk Dalam Sistem Manajemen
Bahaya Reaktifitas Kimia
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
72
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
73
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
74
(a) (b)
Gambar 2.28. Warning Triangle Model Dalam Mengintegrasikan Faktor Manusia,
Organisasi dan Sistem Manajemen Menjadi Suatu Sistem yang Bersifat Holistik.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
75
manufaktur skala besar dan sedang pada tahun 2005 berjumlah 20,729 perusahaan
yang memperkerjakan sekitar 12,094,067 pekerja. Meskipun jumlah pekerja di
industri manufaktur hanya 12,4% dari total seluruh pekerja di Indonesia, namun para
pekerja di industri manufaktur ini sangat tinggi tingkat risiko kesehatannya karena
tingkat pajanan bahaya selama bekerja (BPS, 2007).
Pada tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea
menyatakan keprihatinannya terhadap keselamatan kerja, dengan menyebutkan bahwa
kecelakaan kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam orang kerja (71 juta jam yang
seharusnya dapat secara produktif digunakan untuk bekerja apabila pekerja-pekerja
yang bersangkutan tidak mengalami kecelakaan) dan kerugian laba sebesar 340
milyar rupiah. Tabel 2.11 berikut ini menyajikan jumlah kecelakaan kerja dan
santunan kecelakaan kerja yang dibayarkan selama periode 1996-1999. Data yang
disajikan dalam industri ini diambil dari database ASEAN OSHNET.
Tabel 2.11. Jumlah Kecelakaan Tercatat yang Terkait Dengan Pekerjaan dan Jumlah
Kompensasi yang Dibayarkan Selama Periode 1995-1999
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
76
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yakni, dialokasikan hanya
untuk penambahan 60 orang tenaga pengajar saja setiap tahun (Medan Online,
31/10/2008).
Sayangnya, masih sedikit perusahaan di Indonesia yang berkomitmen untuk
melaksanakan pedoman SMK3 dalam lingkungan kerjanya. Menurut catatan SPSI,
baru sekitar 45% dari total jumlah perusahaan di Indonesia (data Depnaker tahun
2002, perusahaan di bawah pengawasannya sebanyak 176.713) yang memuat
komitmen K3 dalam perjanjian kerja bersamanya. Jika perusahaan sadar,
komitmennya dalam melaksanakan kebijakan K3 sebenarnya dapat membantu
mengurangi angka kecelakaan kerja di lingkungan kerja. Dengan sadar dan
berkomitmen, perusahaan akan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan kondisi
kerja yang aman dan sehat. Komitmen perusahaan yang rendah ini diperburuk lagi
dengan masih rendahnya kualitas SDM di Indonesia yang turut memberikan point
dalam kejadian kecelakaan kerja, data dari Badan Pusat Statistik tahun 2003
menunjukkan bahwa hanya 2,7% angkatan kerja di Indonesia yang mempunyai latar
belakang pendidikan perguruan tinggi dan 54,6% angkatan kerja hanya tamatan SD
(Info Safety, 2009).
Beberapa faktor yang menghambat atau menjadi kendala dalam pelaksanaan
K3 di negara-negara berkembang adalah [Rosenstock, 2004):
• Akses terhadap informasi K3 yang sangat terbatas.
• Tingkat pengetahuan K3 para manajer dan pekerja yang rendah.
• Alat-alat safety yang tersedia di pasaran sangat terbatas dan berkualitas
rendah.
• Konflik regional, tekanan ekonomi, faktor klimatologi dan pertukaran
tenaga asing yang sedikit sehingga mempersulit pelaksanaan K3.
• Jumlah tenaga kerja tinggi sementara lapangan kerja sedikit.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut diatas, maka strategi yang harus
diterapkan harus meliputi strategi berskala internasional, nasional, tempat kerja
(organisasi) dan individu pekerja.
Intervensi dari pemerintah dalam menciptakan aturan dan sistem ditempat
kerja dalam bidang K3 sangatlah penting. Hal ini dibuktikan oleh negara-negara
industri yang memiliki kerangka kebijakan K3 yang kuat dan penegakan hukum
secara tegas dapat memperbaiki situasi ditempat kerja secara signifikan. Disamping
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
77
itu kontrol dari pemerintah tehadap pelaksanaan K3 dilapangan lebih efektif untuk
memperbaiki kesehatan pekerja, hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan
strategi K3 untuk meningkatkan daya saing perusahaan [Rosenstock, 2004].
Tabel 2.12. Klasifikasi dan Jumlah Industri Kimia yang Terdaftar di PUSDATIN.
Klasifikasi Industri Kimia Jumlah Industri
Industri Kimia Dasar Anorganik Gas Industri 44
Industri Kimia Dasar Anorganik Khlor dan Alkali 5
Industri Kimia Dasar Anorganik Pigment 10
Industri Kimia Dasar Organik yang Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lain 48
Industri Kimia Dasar Organik yang Menghasilkan Bahan Kimia Khusus. 50
Industri Kimia Dasar Organik yang Bersumber dari Minyak Bumi, Gas Bumi dan
Batu Bara 7
Industri Kimia Dasar Organik, Bahan Baku Zat Warna dan Pigmen, Zat Warna dan
Pigmen 20
Industri Kimia Dasar Organik, yang bersumber dari hasil pertanian. 37
Industri Kimia Dasar Organik yang Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lain 37
Industri Bahan Kimia dan Barang Kimia Lainnya 41
Total 299
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
78
industri kimia hilir adalah karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh
perusahaan seperti sumber daya manusia, teknologi dan dana. Disamping itu elemen-
elemen yang terdapat dalam manajemen reaktifitas kimia yang dikeluarkan oleh
CCPS tidak mudah untuk diterap di industri kimia hilir. Salah satu contoh adalah test
for chemical reactivity, dimana perusahaan diharuskan untuk melakukan pengujian
bahaya reaktifitas kimia untuk setiap bahan baku maupun produk yang digunakan,
sementara pengujian reaktifitas membutuhkan peralatan laboratorium yang mahal dan
pengujiannya memakan waktu yang lama dan tidak mudah.
Sistem manajemen keselamatan yang banyak diterapkan oleh industri kimia
hilir adalah SMK3 Permenaker dan OHSAS 18001, karena penerapan sistem ini,
khususnya SMK3 Permenaker, sudah diharuskan oleh pemerintah. Namun kedua
sistem manajemen keselamatan ini tidak mengatur secara spesifik pengendalian
bahaya reaktifitas kimia, sehingga potensi terjadinya kecelakaan akibat bahaya
reaktifitas masih terbuka lebar dan tingkat risikonya tetap tinggi. Secara umum
keterbatasan dari industri kimia hilir dalam menerapkan berbagai sistem manajemen
adalah karena:
1. Keterbatasan sumberdaya manusia,
2. Keterbatasan dana,
3. Keterbatasan teknologi,
4. Keterbatasan infrastruktur penunjang.
Sementara sistem manajemen yang wajib diterapkan karena tuntutan pelanggan demi
meningkatkan persaingan dipasar adalah sistem manajemen kualitas (ISO 9000), dan
bahkan ada pelanggan terutama diluar negeri yang mewajibkan supliernya untuk
memiliki sertifikat OHSAS 18000 atau ISO 14000. Dengan segala keterbatasan
perusahaan harus memenuhi tuntutan tersebut, sehingga sistem manajemen
keselamatan yang sifatnya sukarela seperti halnya PSM atau Manajemen Reaktifitas
Kimia tidak lagi menjadi perioritas dan bahkan tidak mungkin lagi diterapkan karena
perusahaan sudah tidak mampu baik dari segi sumber daya maupun finansial.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS
Pengembangan
Sistem Manajemen Model Penyebab dan Sistem Manajemen
Kualitas Sistem Pengendalian Keselamatan dan
BRK Lingkungan
79 Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
80
Analisis Bahaya
Kimia
Faktor Kondisi
lingkungan kerja
(Unsafe Standar
Manajemen K3
Condition) Analisis Bahaya
(SMK3 atau
Proses OHSAS 18001)
Standar Standard
Manajemen Manajemen
Kualitas (ISO Kualitas (ISO
Faktor Pekerja Analisi Kesalahan 14000) 9001)
(Unsafe Act) Manusia
Gambar 3.2. Kerangka Teori Pengembangan Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir.
Universitas Indonesia
12 Elements
of Chemical Reactivity Hazard Management
Identify Chemical
Document Chemical Reactivity
Reactivity Hazards Risks and Management Decisions
Assess Chemical
Reactivity Risks Product Stewardship
Gambar 3.3. Manajemen Bahaya Reaktifitas Kimia dari CCPS 2003 Dikelompokkan
Berdasarkan Tiga Faktor Utama Penyebab Kecelakaan Kerja.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
82
merupakan satu kesatuan yang kuat dan tidak dapat berdiri sendiri (Bellamy, 2008).
Disamping itu terdapat keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut baik dalam
pembobotan maupun prioritas dalam penerapannya (Gambar 3.4).
Sistem
Pengendalian
BRK
Keterlibatan Komitmen
Pekerja Manajemen
Pekerja:
Pengetahuan, Keahlian,
Pengalaman, Perilaku
dll
Gambar 3.4. Ilustrasi Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia yang Lebih
Komperhensif dan Holistik
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
83
A A
A
Lingkungan C Sistem
kerja Manajemen
Sistem B Sistem Sistem
Manajemen BRK B Manajemen
Lingkungan D C Keselamatan
ISO 14000 Pekerja
D SMK3/
OHSAS18001
D
B
Sistem Manajemen
Kualitas ISO 9000
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
84
Faktor Manajemen:
-Kebijakan (Policy)
-Komitmen
-Program K3
-Sistem Manajemen: ISO
9001, ISO 14001 dan
SMK3/OHSAS 18001
-WI/SOP
Sistem Manajemen
Kualitas ISO 9001
Pengembangan Sistem Sistem Manajemen
Pengendalian Keselamatan SMK3 dan
Terintegrasi BRK. OHSAS 18001
Sistem Manajemen
Lingkungan ISO14001
dan lingkungan ISO 14000 kedalam sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia
serta mempertimbangkan masukkan dari program sukarela yang sedang diterapkan.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
85
3.3. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan pada penelitian ini, maka di
kembangkan tiga hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat potensi yang cukup tinggi terjadinya kecelakaan bahaya reaktifitas
kimia pada industri kimia hilir.
2. Faktor pekerja memberikan kontribusi paling besar yang dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan bahaya reaktifitas kimia yang dipicu oleh pengotor,
kesalahan pencampuran, kesalahan kondisi proses, ketidak sempurnaan
pencampuran dan kesalahan penyimpanan pada industri kimia hilir di
Indonesia.
3. Sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia dapat diintegrasikan dengan
sistem manajemen keselamatan, kualitas dan lingkungan untuk mengendalikan
bahaya reaktifitas kimia.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
86
Untuk memudahkan penelitian ini maka terdapat beberapa istilah yang akan dijelaskan difinisi atau penjelasan operasionalnya sebagai
mana tercantum dalam tabel 3.1 berikut:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
90 Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
91
Tidak
IB>/= 0.5 Stop
Ya
NOAA
Worksheet Kajian Ketidaksesuaian Bahan Kimia
(Incompatibility)
Tidak
IB>/= 0.5 Stop
Ya
Identifikasi Potensi Bahaya Reaktifitas
Checklist Kimia
Tidak
IB>/= 0.5 Stop
Ya
Kajian Skenario Terburuk BRK (Kesalahan
Pencampuran, Pengotor, Kesalahan Pengembangan Model
KJ Analysis Parameter Proces, Ketidaksempurnaan Hipotesis Penyebab BRK
Pencampuran dan Kesalahan penyimpanan)
ISO 14000
ISO 9001 Pengembangan Sistem Pengendalian
Bahaya Reaktifitas Kimia
OHSAS
18001/SMK3
Sistem Pengendalian Terintegrasi BRK
Pada Industri Kimia Hilir
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
92
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
93
Hanya bahan kimia yang memiliki indeks bahaya >/=0,5 yang akan diikutkan dalam
kajian selanjutnya.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
94
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
95
4. Ketidaksempurnaan pencampuran
5. Kesalahan penyimpanan
Untuk menentukan pemicu mana yang paling mungkin terjadi dari suatu proses
industri, maka dilakukan screening awal pemicu bahaya reaktifitas kimia seperti pada
Gambar 4.2. Ada empat pertanyaan dalam screening awal ini yang dapat menentukan
pemicu yang paling mungkin terjadi, pertanyaan tersebut adalah:
1. Apakah terdapat bahan kimia yang tidak sesuai satu sama lain?
2. Apakah terdapat bahan kimia yang bersifat spontaneously combustible,
peroxide forming, water Reactive, oxidizing dan self reactive?
3. Apakah dilakukan reaksi kimia pada proses produksi?
4. Apakah dilakukan proses pencampuran bahan kimia?
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
96
1. Pengotor (Kontaminasi)
2. Kesalahan pencampuran
3. Kesalahan kondisi proses
4. Ketidak sempurnaan pencampuran
Ya
Ya Potensi BRK karena 1
Tidak
Apakah dilakukan Ya
proses pencampuran Potensi BRK karena 1
bahan kimia? dan 2
Tidak
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
97
atau kelebihan salah satu atau lebih bahan baku, ketidakadaan salah satu atau lebih
bahan baku dan kurang pengadukan. Ketidaksempurnaan pencampuran yang
dipilih adalah yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia yang tidak diinginkan
yang dapat menyebabkan BRK dengan IB >/= 0,5.
5. Skenario Terburuk BRK Karena Kesalahan Penyimpanan
Skenario terburuk ini dirancang berdasarkan kemungkinan terjadinya kesalahan
penyimpanan bahan baku atau produk, seperti penempatan yang tidak benar
sehingga terjadi tumpahan, kemasan dibiarkan terbuka sehingga terkontaminasi,
tidak ada label dan bahan kadaluarsa. Kesalahan penyimpanan tersebut berakibat
terjadinya BRK dengan IB>/=0,5.
Setelah ditentukan jenis skenario terburuk mana yang paling mungkin terjadi
untuk masing-masing tempat penelitian, maka dilanjutkan dengan merancang
skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia. Proses dalam merancang skenario terburuk
adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari komposisi bahan baku untuk setiap produk yang diproduksi,
dan melihat kemungkinan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan
berdasarkan matriks ketidaksesuaian bahan kimia.
2. Mempelajari proses produksi untuk melihat kemungkinan terjadinya
potensi penyebab bahaya reaktifitas kimia.
3. Melakukan diskusi dengan bagian produksi dalam merancang skenario
terburuk yang mungkin terjadi.
Skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia yang akan dikaji harus memiliki indeks
bahaya (IB) minimal 0,5 mengacu pada Tabel 20. Setiap perusahaan yang masuk
dalam penelitian ini akan dibuat minimal 3 skenario terburuk, maka total skenario
yang dibuat berjumlah minimal 9 skenario terburuk dari 3 perusahaan yang masuk
dalam penelitian ini.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
98
dan gudang dengan menggunakan metode KJ analysis atau yang lebih dikenal dengan
metode Affinity Diagram. Keunggulan metode ini sudah dijelaskan pada tinjauan
pustaka. Tahapan yang dilakukan dalam metode KJ analysis ini adalah sebagai
berikut:
1. Membentuk grup diskusi dengan persetujuan pihak manajemen perusahaan
(Tabel 4.4), dengan kriteria peserta sebagai berikut:
a. Departemen: Produksi, QC, R and D, Maintenance Engineering,
K3 dan Gudang.
b. Jabatan : Operator, Foremen, Supervisor dan Manajer.
c. Lama bekerja : Minimal 2 tahun.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
99
Gambar 4.4. Proses Penggabungan Penyebab BRK dari Level Proses Kelevel Industri
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
100
Model penyebab BRK pada level proses digabungkan menjadi satu model
penyebab pada level jenis industri. Penggabungan model penyebab BRK ini
didasarkan pada kesamaan kategori risiko. Setelah mendapatkan model penyebab
BRK untuk masing-masing jenis industri, kemudian model penyebab pada level
industri ini digabungkan dengan cara yang sama seperti menggabungkan model
penyebab BRK level proses ke level industri. Hasil penggabungan model penyebab
BRK level industri akan diperoleh model penyebab BRK yang mewakili industri
kimia hilir (Gambar 4.4).
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
101
industri kimia hilir yang masuk dalam penelitian ini. Hasil kuosioner akan diolah
dengan program statistik SPSS dan LISREL. Aplikasi SPSS digunakan untuk analisis
statistik diskriptif dan LISREL digunakan untuk Structural Equation Model (SEM).
SEM secara statistik adalah generasi kedua dari teknik analisis multivariate, yang
memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik
recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai
keseluruhan model yang dibuat.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
102
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
103
Uji validitas konstruksi dan isi dapat dilakukan melalui pendapat para ahli dan
profesional mengenai kuosioner yang sudah dikembangkan (Sugiyono, 2005). Peneliti
melakukan panel diskusi dengan 2 orang ahli dalam bidang keselamatan kerja pada
tanggal 12 Maret 2010, pukul 8.30-10.30 WIB bertermpat di Lab K3 FKM UI.
Panelis yang melakukan evaluasi dan uji validitas pada kuosioner tersebut adalah
Dr.rar.nat. Budiawan (FMIPA-Kimia-UI) dan Dr.dr.Meily Temajaya (FKM-K3-UI).
Peneliti juga meminta pendapat dari Dr.Robiana Modjo (FKM-K3-UI) dalam diskusi
terpisah pada tanggal 25 Februari 2010, pukul 16.00-17.30 WIB di FKM-K3 UI dan
Corina PhD (Psikologi-UI) pada tanggal 2 Maret 2010 pukul 12.00-14.00 WIB.
Peneliti juga meminta para profesional/ahli dari luar akademis untuk melakukan
evaluasi dan memberikan masukkan terhadap kuosioner yang dikembangkan, para
profesional yang dimintai masukkannya adalah Audist Subekti PhD (OH&ES
Profesional Advisor 3M Indonesia), Operational Director PT PQR, Plant Manager
PT XYZ dan Production Manager PT CDF.
Dari hasil diskusi dengan para ahli dan profesional, diperoleh masukkan dan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Beberapa kalimat pertanyaan agar lebih disederhanakan agar lebih mudah
dipahami oleh resoponden yang pada umumnya memiliki latar belakang
pendidikan SLTA.
2. Masih terdapat beberapa pertanyaan yang memiliki jawaban ganda agar
dibagi menjadi dua pertanyaan.
3. Perlu perbaikan mengenai pertanyaan untuk uji pengetahuan atau
pemahaman tentang istilah label dan simbol.
4. Jawaban (no. 46 s/d 50) tentang pilihan perlu diperbaiki agar selaras
dengan pertanyaan.
5. Beberapa istilah bahasa inggris agar ditambahkan bahasa Indonesianya.
6. Pengelompokan item-item pertanyaan agar diperbaiki sesuai hasil diskusi.
Semua para ahli dan profesional menyimpulkan bahwa secara keseluruhan kuosioner
yang dikembangkan sudah baik dan valid, setelah diperbaiki peniliti sudah dapat
melakukan uji coba terlebih dahulu.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
104
Tabel 4.5. Literatur dan Dasar Pengembangan Kuosioner Bahaya Reaktifitas Kimia
Kuosioner BRK KJ Ramussen Paul P.S. Seo Dingsdag Rundmo Zhou Q. Cox S.J. Lawrie Johnson Teori CCPS
Analysis B. (1999) et al. D.C. D.P. et al. T. et al. et al. et al. M. et al. R.W. audit K3 (1999)
(2007) (2004) ( 2008) (2003) (2007) (2000) (2006) (2003) (DNV,
1994),
Training dan
Kompentensi (X1) √ √ √ √ √ √ √
Prosedur dan standar
kerja (X2) √ √ √ √ √ √ √
Faktor Pekerja (X3) √ √ √
Komitmen K3 (X4) √ √ √ √ √ √ √ √ √
Keamanan dan
kenyamanan lingkungan √ √ √ √ √
kerja (X5)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
106
perbandingan 20:1. Yang dimaksud dengan jumlah variabel yang diukur disini adalah
koefesien faktor atau hubungan antar dua variabel, yaitu varian (variabel eksogen) dan
distrubance (variabel endogen). Dalam penelitian ini jumlah awal variabel yang akan
diukur adalah 38 variabel, maka minimal jumlah sampel yang dibutuhkan adalah
minimal 380.
Setelah tahapan uji validitas dan reabilitas, kuosioner dibagikan kepada lebih
dari 500 pekerja dari 3 perusahaan industri kimia tempat penelitian dilakukan. Jumlah
kuosioner yang dibagikan untuk masing-masing perusahaan adalah sebagai berikut:
1. PT XYZ berjumlah 396 kuosioner, diserahkan pada tanggal 01 April dan
20 April 2010.
2. PT CDF berjumlah 40 kuosioner, diserahkan pada tanggal 05 April 2010
3. PT PQR berjumlah 150 kuosioner, diserahkan pada tanggal 06 April 2010
Total : 586 kuosioner
Jumlah kuosioner yang dikembalikan oleh responden adalah sebagai berikut:
1. PT XYZ berjumlah 365 kuosioner, diterima pada tanggal 09 April dan
30 April 2010.
2. PT CDF berjumlah 40 kuosioner, diterima pada tanggal 09 April 2010
3. PT PQR berjumlah 149 kuosioner, diterima pada tanggal 20 April
2010
Total : 554 Kuosioner
Tingkat pengembalian kuosioner dari 3 perusahaan ini cukup tinggi (94,5%).
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
107
Pengetahuan Kesalahan
Pekerja Pekerja
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
108
b. Hubungan tidak langsung (Gambar 4.6): yaitu hubungan dari dua variabel
yang tidak langsung akan tetapi hubungan tersebut melalui variabel lain
sebagai perantara.
Pengetahuan
Pekerja
Komitmen K3
Kesalahan
Pekerja
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
109
model secara statistik. Dalam menspesifikasi model ada dua jenis parameter atau
konstanta hubungan antara dua variabel yang harus dispesifikasi, yaitu:
1) Free parameter; yaitu parameter yang diestimasi oleh analisis SEM dimana
nilainya tidak nol.
2) Fixed Parameter; yaitu parameter yang diestimasi oleh peneliti dimana nilainya
adalah nol.
e. Teknik estimasi.
Setelah model dispesikasi, maka tahap selanjutnya adalah mengestimasi model yaitu
mengestimasi free parameters dari satu set variabel. Ada beberapa teknik estimasi
yang dapat digunakan seperti regresi Ordinary Least Square (OLS), Maximum
Likelihood Estimation (MLE), Weighted Least Square (WLS), Generalized Least
Square (GLS) dan Asysmtotically Distribution Free (ADF). Masing-masing metode
memiliki keunggulan, dan yang paling banyak digunakan adalah MLE dan menjadi
default pada banyak program SEM.
f. Program pengolahan data yang digunakan.
Ada beberapa program perangkat lunak (software) yang dapat digunakan untuk
analisis SEM seperti LISREL, AMOS, EQS dan CALIS. Program yang paling banyak
digunakan adalah LISREL dan AMOS karena relatif lebih mudah aplikasinya.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
110
b) Incremental Fit Indices; yaitu ukuran kecocokan yang bersifat relative, digunakan
untuk membandingkan model estimasi dengan null model (some alternative baseline
model). Salah satu contoh metode dalam kategori ini adalah Normed Fit Index (NFI)
dimana metode ini mengukur perbedaan nilai χ2 fitted model dan null model dibagi
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
111
nilai χ2 null model. Kisaran nilai NFI adalah antara 0 dan 1 dimana nilai 1
menunjukan model sangat cocok/fit sempurna, dan umumnya nilai yang dapat
diterima adalah >0,9. Metode lain yang ada dalam kategori ini adalah Comparative Fit
Index (CFI), Tucker Lewis Index (TLI) dan Relative Noncentrality Index (RNI).
Menurut Hair (2006), untuk menilai apakah sebuah model sudah fit minimal tiga nilai
GFI seperti pada Tabel 4.7 terpenuhi.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
112
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
113
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
114
2. Review dokumen (WI, SOP, Kebijakan K3, Prosedur K3, Laporan K3,
dan dokmen-dokumen lain yang dirasa perlu dan berhubungan dengan
penelitian ini).
3. Survey dan observasi lapangan untuk melihat potensi dan risiko
bahaya reaktifitas kimia untuk membuat skenario terburuk.
4. Diskusi dengan pekerja/manajemen dalam melakukan kajian skenario
terburuk untuk mendapatkan informasi faktor-faktor penyebab
kecelakaan bahaya reaktifitas kimia.
5. Penyebaran kuosioner untuk analisa kuantitatif model penyebab BRK
dengan program statistik SPSS dan LISREL.
6. Audit dan review sistem manajemen keselamatan, lingkungan dan
kualitas untuk merancang sistem pengendalian bahaya reaktifitas
kimia.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
115
2. Entry data; semua data dan informasi yang diperoleh akan dimasukkan
kedalam program komputer untuk memudahkan pengolahan data lebih
lanjut.
Ada beberapa jenis pengolahan data yang akan dilakukan untuk mendapat
informasi yang dibutuhkan, yaitu:
1. Ketidaksesuaian bahan kimia (incompatibility material); data diolah dengan
mengunakan NOAA worksheet program dan didukung dengan literatur dari
Bretherick’s Handbook, NIOSH pocket guide dan US CHRIS database.
2. Data KJ analysis diolah dengan program Excel untuk membuat model
kualitatif risiko bahaya reaktifitas kimia.
3. Hasil kuosioner akan diolah dengan menggunakan program statistik SPSS dan
LISREL.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
116
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 5
HASIL PENELITIAN
ini mendapatkan lisensi khusus dari perusahaan cat terkemuka Jepang untuk
memproduksi berbagai jenis produk baik untuk lokal maupun ekspor. Saat ini PT
XYZ memiliki kapasitas produksi sebesar 18,000 ton resin pertahun dan 14,400 ton
cat pertahun dengan jenis lebih dari 150 cat. Total karyawan PT XYZ berjumlah 473
orang dan semua karyawannya berstatus karyawan tetap. Pada tahun 2002 PT XYZ
memperoleh sertifikat sistem manajemen mutu ISO 9001 versi 2000, dan kemudian
pada tahun 2009 ditingkatkan menjadi ISO 9001 versi 2008. Awal tahun 2009 PT
XYZ mulai mempersiapkan diri untuk menerapkan sistem manajemen lingkungan
ISO 14000. Diharapkan pada tahun 2010 ini PT XYZ memperoleh sertifikat ISO
14000 tersebut. Meskipun PT XYZ belum memperoleh sertifikat sistem manajemen
keselamatan kerja (SMK3 atau OHSAS 18000), namun perusahaan ini telah lama
menerapkan prinsip-prinsip manajemen keselamatan kerja. Hal ini terlihat dari
dibentuknya P2K3 (Panitia Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang
anggotanya terdiri dari berbagai departmen dan melibatkan pihak manajemen, dimana
P2K3 ini langsung dipimpin oleh Plant Manager PT XYZ. Perusahan ini juga
memiliki 1 orang ahli K3 umum dan 1 orang ahli K3 Kimia. Mulai awal tahun 2010,
manajemen perusahaan sudah mencanangkan akan mempersiapkan diri untuk
menerapkan sistem manajemen K3 secara formal dan ditarget untuk memperoleh
sertifikat SMK3 pada tahun 2011 atau paling lambat awal tahun 2012.
PT PQR merupakan industri kimia yang memproduksi kosmetik seperti sabun,
deodoran, pewangi dan lain-lain. Perusahaan ini merupakan perusahaan penanaman
modal asing (PMA) yang mulai beropearsi di Indonesia sejak tahun 1986. PT PQR
memiliki karyawan 450 orang pekerja dan 200 diantaranya merupakan karyawan
pabrik. PT PQR sudah memiliki sertifikat ISO 9001, dan saat ini sedang dalam
mempersiapkan proses sertifikasi ISO 14000. Walaupun perusahaan ini belum
menerapkan sistem manajemen keselamatan OHSAS 18001 atau SMK3, akan tetapi
perusahaan ini sangat memperhatikan keselamatan kerja para karyawannya. Hal ini
ditunjukan dengan adanya departemen K3 yang memiliki ahli K3 umum.
PT CDF merupakan industri kimia yang memproduksi herbisida. Perusahaan
ini merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang mulai beroperasi di
Indonesia sejak tahun 1987. Kapasitas produksi PT CDF adalah 11000 ton pertahun
dengan dua jenis produk. Total karyawan PT CDF adalah berjumlah 77 orang dimana
47 orang diantaranya merupakan karyawan pabrik dan sisanya merupakan karyawan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
119
pemasaran. Perusahaan ini sudah memperoleh sertifikat ISO 9001, ISO 14000,
OHSAS 18001, BS 8800 dan SMK3. PT CDF juga telah menerapkan Process Safety
Manajemen (PSM). Penerapan berbagai sistem manajemen secara baik merupakan
komitmen dari induk perusahaan (corporate) dari PT CDF, hal ini terlihat dari
keterlibatan pihak corporate dalam audit sistem manejemen keselamatan kerja yang
dilaksanakan setiap tahun. PT CDF juga sudah memiliki teknologi produksi yang jauh
lebih baik dibanding dengan 2 industri lainnya. Dimana PT CDF sudah menggunakan
software dalam mengontrol proses produksi. PT CDF juga sudah memiliki ahli K3
umum dan ahli K3 kimia.
Hasil kajian bahaya bahan kimia dapat dilihat pada Tabel 5.2. Jumlah bahan
kimia yang masuk dalam kajian ini 881 jenis bahan kimia yang berasal dari tiga
industri yaitu PT XYZ (501 jenis bahan kimia), PT PQR (355 jenis bahan kimia) dan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
120
PT CDF (25 jenis bahan kimia). Jumlah bahan kimia dengan indeks bahaya sangat
tinggi (IB=1) pada PT XYZ adalah 37 jenis bahan kimia (7,39%), PT PQR adalah 4
jenis bahan kimia (1,13%) dan PT CDF adalah 7 jenis bahan kimia (28%). Sedangkan
jumlah bahan kimia dengan indeks bahaya tinggi (IB=0,75) pada PT XYZ adalah 21
jenis bahan kimia (4,19%), PT PQR adalah 73 jenis bahan kimia (20,56%) dan PT
CDF adalah 7 jenis bahan kimia (28%). Jumlah bahan kimia dengan indeks bahaya
sedang (IB=0,5) pada PT XYZ adalah 46 jenis bahan kimia (9,18%), PT PQR adalah
171 jenis bahan kimia (48,17%) dan PT CDF adalah 6 jenis bahan kimia (24%)
Sementara jumlah bahan kimia dengan indeks bahaya rendah (IB<0,25) pada PT XYZ
adalah 12 jenis bahan kimia (2,40%), PT PQR adalah 47 jenis bahan kimia (13,24%)
dan PT CDF adalah 4 jenis bahan kimia (16%). Jumlah bahan kimia yang tidak
diketahui indeks bahayanya pada PT XYZ adalah 385 jenis bahan kimia (76,85%), PT
PQR adalah 60 jenis bahan kimia (16,90%) dan PT CDF adalah 0%. Tingginya
jumlah bahan kimia yang tidak bisa ditentukan indeks bahayanya disebabkan oleh
minimnya informasi sifat-sifat bahan-bahan kimia tersebut, hal ini disebabkan oleh
ketidak tersediaan Material Safety Datasheet (MSDS) maupun Technical data Sheet
(TDS), atau dapat juga disebabkan oleh kerahasian dagang dari pihak manufaktur.
Semua bahan-bahan kimia dengan indeks bahaya (IB) >/= 0,5 harus
dimasukkan dalam kajian bahaya reaktifitas kimia pada tahapan berikutnya. Bahan
kimia dengan dengan IB<0,5 boleh dimasukkan atau ditinggalkan dalam kajian
bahaya reaktifitas, hal ini sangat tergantung pada ketersediaan informasi dalam data
base perangkat lunak (software) yang digunakan.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
121
Tabel 5.3. Hasil Skrining Awal BRK pada Tiga Industri Kimia Hilir
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
122
endotermik dalam pembuatan resin tersebut yang akan digunakan sebagai bahan baku
cat. Sementara industri kosmetik pada umumnya melakukan proses pencampuran dan
sedikit melakukan proses reaksi. Pada PT PQR yang memproduksi berbagai jenis
bahan kosmetik, hanya melakukan satu jenis proses reaksi yaitu reaksi penyabunan,
namun reaksi ini bersifat eksotermik. Industri herbisida, PT CDF melakukan proses
reaksi penggaraman yang juga bersifat eksotermik dan dilanjutkan dengan proses
pencampuran pada saat finishing. Dari hasil kajian skreening awal ini dapat
disimpulkan bahwa terdapat potensi terjadinya bahaya reaktifitas kimia pada ketiga
jenis industri tersebut diatas.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
123
Total
No Tingkat Bahaya XYZ PQR CDF (rata-rata)
Total bahan kimia yang masuk
1. dalam kajian reaktifitas. 112 355 25 492
Total pasangan campuran bahan
2. kimia dalam kajian reaktifitas. 6328 63190 300 69818
Jumlah pasangan campuran bahan
561 470 12 1043
kimia yang ada interaksi/reaksi
(8,87%) (0,74%) (4,00%) (1,49%)
3. kimia.
Jumlah pasangan campuran bahan
615 427 16 1058
kimia yang tidak ada interaksi/
(9,72%) (0,68%) (5,33%) (1,52%)
4. reaksi kimia.
Jumlah pasangan campuran bahan
kimia yang ada interaksi/reaksi
356 304 5 665
dengan tingkat bahaya sangat
(5,64%) (0,48%) (1,67%) (0,95%)
5. tinggi (IB= 1)
Jumlah pasangan campuran bahan
kimia yang ada interaksi/reaksi 376
203 166 7
dengan tingkat bahaya tinggi (IB= (0,54%)
(3,22%) (0,26%) (2,33%)
6. 0,75)
Jumlah pasangan campuran bahan
5152 62293 272 67717
kimia dengan tingkat bahaya
(81.42%) (98,58%) (90,66%) (96,99%)
8. tidak diketahui.
Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi bahaya
reaktifitas kimia dari bahan baku yang digunakan dengan indeks bahaya sangat tinggi
(IB=1) dan indeks bahaya tinggi (IB=0,75) pada ketiga jenis industri pada penelitian
ini.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
124
Tabel 5.5. Hasil Kajian Bahaya Reaktifitas Produk Antara dan Akhir
Total
No Tingkat Bahaya XYZ PQR CDF (rata-rata)
Total produk yang masuk dalam kajian. 102 247 2 351
Jumlah produk yang memiliki potensi
51 58 2 111
I interaksi/reaksi bahan baku dalam
(50%) (23%) (100%) (32%)
formulanya.
48 22 2 72
Memiliki Indeks Bahaya = 1
(47%) (9%) (100%) (21%)
3 36 0 39
Memiliki Indeks Bahaya = 0,75
(3%) (15%) (0%) (11%)
51 189 0 240
Tidak diketahui
(50%) (77%) (0%) (68%)
Jumlah produk yang berpotensi saling 89 204 2 295
II
berinteraksi/bereaksi jika tercampur. (87%) (83%) (100%) (84%)
Total pasangan campuran produk
4005 11035 2 15042
yang memiliki potensi interaksi/reaksi
457 2247 2 2706
Memiliki Indeks Bahaya = 1
(11%) (20%) (100%) (18%)
344 4506 0 4850
Memiliki Indeks Bahaya = 0,75
(9%) (41%) (0%) (32%)
3204 4282 0 7486
Tidak diketahui
(80%) (39%) (0%) (50%)
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
125
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
126
Tabel 5.6. Hasil Skrining Penyebab Bahaya Reaktifitas pada Tiga Industri
XYZ XYZ
No Pertanyaan Plant A Plant B PQR CDF
1 Apakah terdapat bahan
kimia yang tidak sesuai
satu sama lain?
√ √ √ √
2 Apakah terdapat bahan
kimia yang bersifat
Spontaneously
Combustible, Peroxide √ √ X √
Forming Water
Reactive, Oxidizing dan
self reactive?
3 Apakah dilakukan
reaksi kimia pada
proses produksi? X √ √ √
4 Apakah dilakukan
proses pencampuran
√ √ √ √
bahan kimia?
5 Potensi BRK yang Pengotor, Pengotor, Pengotor,
dapat terjadi kesalahan kesalahan kesalahan
pencampuran, pencampuran, pencampuran,
Pengotor, kesalahan kesalahan kesalahan
kesalahan kondisi proses kondisi proses kondisi proses
pencampuran dan dan dan
dan ketidak ketidak ketidak ketidak
sempurnaan sempurnaan sempurnaan sempurnaan
pencampuran pencampuran pencampuran pencampuran
Catatan : √= Ya, X= Tidak
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
127
secara umum, yang juga diyakini ada keterkaitannya dengan penyebab bahaya
reaktifitas kimia. Rancangan skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia untuk ketiga
jenis industri dapat dilihat pada lampiran 4.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
128
Prosedur Standar kerja (SOP) proses produksi tidak ada atau kurang lengkap 8 29 3 40 4,97
Prosedur Standar kerja (SOP) untuk penyimpanan bahan baku tidak jelas 15 0 0 15 1,86
Prosedur dan 11 0 2 13 1,61
Prosedur Standar kerja (SOP) untuk tanggap darurat tidak ada
2 Standar Kerja 18,76
(X2) Proses verifikasi dan validasi tidak ada 11 6 0 17 2,11
Kesalahan pekerja dalam proses entri data pada dokumen proses 28 11 6 45 5,59
Faktor Pekerja Kesalahan pekerja dalam pengiriman bahan baku ke produksi 20 0 0 20 2,48
3 36,89
(X3) 18 4 0 22 2,73
Kesalahan dalam proses penyimpanan bahan baku
Pekerja kurang disiplin dalam melakukan pekerjaan 30 17 17 64 7,95
Universitas Indonesia
22 2 14 38 4,72
Sistem komunikasi yang kurang baik
10 0 2 12 1,49
Komitment K3 Lemahnya sistem pengawasan pekerja dilapangan
4 13,29
(X4)
4 2 16 22 2,73
Beban kerja berlebih
8 0 27 35 4,35
Komitmen Manajemen dan Pekerja terhadap K3
16 10 53 79 9,81
Kurangnya perawatan alat dan mesin
7 21 3 31 3,85
Keamanan/Keny Kalibrasi alat ukur tidak dilakukan secara regular
amanan
5 32 5 1 38 4,72 22,86
Lingkungan Area kerja tidak kurang layak dan aman
Kerja (X5)
7 2 0 9 1,12
Rancangan (disain) alat tidak sesuai
9 13 5 27 3,35
Sistem kontrol dan pengaman tidak memadai
Analisis Bahaya
6 0 3 1 4 0,50 0,50
dan Resiko (X6) Identifikasi dan analisa bahaya ditempat kerja tidak dilakukan
366 211 228 805 100 100
Total
Universitas Indonesia
50.00%
45.00%
40.00% 36.89%
35.00%
30.00%
25.00% 22.86%
18.76%
20.00%
13.29%
15.00%
10.00% 7.70%
5.00% 0.50%
0.00%
Keamanan/kenyamanan
risiko (X6)
kerja (X2)
(X1)
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
131
Lingkungan Kerja,
22.86%
Sistem Manajemen,
32.55%
Gambar 5.2. Tiga Faktor Utama Penyebab BRK Hasil Kajian KJ Analisis
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
132
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
133
100%
90%
Tingkat Pelaksanaan Sistem K3 80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
PT XYZ PT PQR PT CDF
Perusahaan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
134
Dimana,
SIB = Sisa Indeks Bahaya Kimia dan Reaktifitas Kimia
IB = Indeks Bahaya Bahan Kimia atau Reaktifitas Kimia
∑FTK = Total Faktor Teknologi Keselamatan
∑FSMK = Total Faktor Sistem Manajemen Keselamatan
∑FP = Total Faktor Pekerja
Faktor sistem manajemen keselamatan (FSMK), faktor pekerja (FP) dan
teknologi keselamatan (FTK) yang diusulkan terdapat pada Tabel 5.9, 5.10 dan 5.11.
Faktor-faktor yang diusulkan didalam Tabel 5.0, 5.10 dan 5.11 mengacu pada ceklist
yang digunakan untuk observasi lapangan (Lampiran 7). Dari hasil kajian KJ analysis
diperoleh rasio faktor penyebab terjadinya kecelakaan antara faktor lingkungan dan
sistem manajemen dan pekerja adalah 0,23 : 0,33 : 0,44 (Gambar 5.2). Hasil kajian KJ
analysis dan nilai rasio ini dijadikan landasan untuk mengembangkan nilai FTK,
FSMK dan FP sebagai faktor pengurang nilai indeks bahaya.
Total nilai FSMK yang diusulkan adalah 0,33 atau 33% dapat menurunkan
bahaya kimia dan reaktifitas kimia pada industri kimia hilir. Total nilai FP yang
diusulkan adalah 0,44 atau 44% dapat menurunkan bahaya kimia dan reaktifitas kimia
pada industri kimia hilir. Total nilai FTK yang diusulkan adalah 0,23 atau 23% dapat
menurunkan bahaya kimia dan reaktifitas kimia pada industri kimia hilir. Menurut
peneliti untuk menurunkan indeks bahaya (IB) pada industri kimia hilir di Indonesia
yang memiliki teknologi yang pada umumnya masih konvensional dan sumber daya
manusia yang terbatas dengan jumlah bahan kimia dan produk yang demikian banyak
dan bervariasi, tidak bisa hanya dengan menerapkan teknologi keselamatan (FTK),
hal ini terbukti dari hasil KJ analysis bahwa faktor pekerja (FP) dan sistem
manajemen keselamatan (FSMK) lebih dominan dalam menyebabkan terjadinya
kecelakaan BRK.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
135
Tabel 5.9. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Sistem Manajemen Keselamatan (FSMK)
No Faktor Sistem Manajemen Keselamatan (FSMK) ISRS Element ISRS Score % Score Bobot FSMK
1 Komitmen top manajemen (Policy) Leadership and Administratiom 1310 24% 0.08
2 Proses identifikasi bahaya Off-the-job safety 240 4% 0.01
3 Proses analisis kecelakaan Accident/incident investigation 605 11% 0.04
4 Prosedur produk baru Engineering and change management 670 12% 0.04
5 Sistem review/audit System evaluation 700 13% 0.04
6 Rencana tanggap darurat Emergency preparedness 700 13% 0.04
7 Manajemen Bahan Baku Materials and service management 615 11% 0.04
8 Standar Kerja Proses produksi Critical task analysis and procedure 650 12% 0.04
Total 5490 100% 0.33
Catatan: Total nilai FSMK adalah 0,33
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
137
Tabel 5.12. Hasil Perhitungan Nilai Faktor Sistem Manajemen Keselamatan (FSMK), Faktor Pekerja (FP) dan Nilai Faktor Teknologi
Keselamatan (FTK) dari Observasi Lapangan
Universitas Indonesia
Tabel 5.13. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia PT XYZ
Tabel 5.14 menunjukan hasil perhitungan sisa indeks bahaya (SIB) bahan baku kimia
PT CDF. Dari tabel dapat dilihat bahwa hampir tidak ada sisa bahaya setelah
penerapan beberapa sistem teknologi dan manajemen keselamatan, hanya SIB bahaya
sangat tinggi yang masih ada, namun nilainyapun sangat kecil, total nilai SIB bahan
baku kimia untuk PT CDF adalah 0,031 (sangat rendah). PT CDF telah menerapkan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
139
hampir semua sistem manajemen kualitas, lingkungan dan keselamatan. Hal inilah
yang menjadi faktor utama baiknya sistem pengendalian bahaya bahan baku kimia
pada PT CDF.
Tabel 5.14. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia PT CDF
Tabel 5.15 menunjukan hasil perhitungan sisa indeks bahaya (SIB) bahan baku kimia
PT PQR. Dari tabel dapat dilihat bahwa masih ada sisa bahaya setelah penerapan
beberapa sistem teknologi dan manajemen keselamatan, hanya SIB bahaya sangat
tinggi yang masih ada, nilai SIB untuk bahaya sangat tinggi masih cukup signifikan,
yaitu 0,232, total SIB bahan baku kimia untuk PT PQR adalah 0,232 (rendah). PT
PQR sudah menerapkan sistem manajemen kualitas dengan baik, untuk sistem
manajemen keselamatan PT PQR mengikuti sistim dari induk perusahaan.
Tabel 5.15. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia PT PQR
Mengacu pada metode perhitungan semi kuantitatif level risiko yang banyak
dipakai dalam analisis dan manajemen risiko, dimana (Cross J, 1998):
Risk = Likelihood x Severity (5.9)
atau
Risk = Likelihood x Hazads x Exposure (5.10)
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
140
Maka dengan menggunakan prinsip yang sama dapat dihitung nilai indeks risiko (IR)
BRK pada ketiga perusahaan dengan rumus perhitungan nilai Indeks Risiko (IR) dan
Sisa Indeks Risiko (SIR) adalah sebagai berikut:
Indeks Risiko (IR) BRK = Probabilitas BRK x Indeks Bahaya BRK (5.11)
Sisa Indeks Risiko (SIR) BRK = Probabilitas BRK x Sisa Indeks Bahaya
(SIB) BRK (5.12)
Nilai probabilitas BRK diambil dari nilai jumlah persentase pasangan dari produk
atau bahan kimia yang berpotensi mengandung BRK. Menurut Cross J. (1998), nilai
probabilitas kemungkinan terjadinya kecelakaan adalah sebanding dengan nilai
kecendrungan terjadinya kecelakaan (likelihood). Nilai indeks bahaya (IB) BRK
adalah merupakan tingkat bahaya dan keparahan (severity) yang diakibatkan oleh
BRK tersebut. Kategori nilai IR sama dengan kategori nilai IB yang mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Shah et.al (2003), dimana:
IR: >/=0,75 - 1,00 adalah risiko sangat tinggi,
IR: >/= 0,50 - 0,75 adalah risiko tinggi,
IR: >/=0,25 - 0,50 adalah risiko sedang
IR: < 0,25 adalah risiko rendah.
Hasil perhitungan nilai sisa indeks bahaya (SIB) BRK, nilai indeks risiko (IR)
BRK dan nilai sisa indeks risiko (SIR) BRK untuk ketiga perusahaan tempat
penelitian dilakukan dapat dilihat pada Tabel 5.16, 5.17 dan 5.18. Nilai total SIB BRK
PT XYZ adalah 1,460 (sangat tinggi), PT CDF adalah 0,062 (sangat rendah) dan PT
PQR adalah 0,464 (sedang). Untuk nilai IR BRK pada PT XYZ adalah 0,670 (tinggi),
PT CDF adalah 2,00 (sangat tinggi) dan PT PQR adalah 0,710 (tinggi). Nilai SIR
BRK setelah penerapan FSMK, FP dan FTK untuk PT XYZ adalah 0,313 (sedang),
PT CDF adalah 0,062 (sangat rendah) dan PT PQR adalah 0,067 (sangat rendah).
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
141
Tabel 5.16. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT XYZ
No Jumlah IB IR FTK FP FSMK SIB SIR
Produk yang memiliki potensi 47% 1 0,470 0,084 0,195 0,231 0,490 0,230
1 reaktifitas dalam formulanya 3% 0,75 0,023 0,084 0,195 0,231 0,240 0,007
Produk yang berpontensi breaksi 11% 1 0,110 0,084 0,195 0,231 0,490 0,054
2 jika tercampur 9% 0,75 0,068 0,084 0,195 0,231 0,240 0,022
Total 0,670 1,460 0,313
Tabel 5.17. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT CDF
No Jumlah IB IR FTK FP FSMK SIB SIR
Produk yang memiliki potensi 100% 1 1,000 0,230 0,409 0,330 0,031 0,031
1 reaktifitas dalam formulanya 0% 0,75 0,000 0,230 0,409 0,330 -0,219 0,000
Produk yang berpontensi breaksi 100% 1 1,000 0,230 0,409 0,330 0,031 0,031
2 jika tercampur 0% 0,75 0,000 0,230 0,409 0,330 -0,219 0,000
Total 2,000 0,062 0,062
Tabel 5.18. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT PQR
No Jumlah IB IR FTK FP FSMK SIB SIR
Produk yang memiliki potensi 9% 1 0,090 0,152 0,346 0,270 0,232 0,021
1 reaktifitas dalam formulanya 15% 0,75 0,113 0,152 0,346 0,270 -0,018 -0,003
Produk yang berpontensi breaksi 20% 1 0,200 0,152 0,346 0,270 0,232 0,046
2 jika tercampur 41% 0,75 0,308 0,152 0,346 0,270 -0,018 -0,007
Total 0,710 0,464 0,067
Universitas Indonesia
Mengurangi
Kompetensi + Faktor + Kesalahan
(X1) Pekerja Pencampuran (Y1)
(X1)
+
+ + + +
Mengurangi
Kesalahan Proses
(Y2)
Komitmen + Prosedur
K3 (X4) dan Standar +
Kerja (X2)
+ + Mengurangi
Kontaminasi (Y3)
+
+ + +
Analisis Lingkungan + Mengurangi
Bahaya dan Kerja Ketidaksempurnaan
Risiko (X6) + (X5) Pencampuran (Y4)
+ Mengurangi
+ Kesalahan
Penyimpanan (Y5)
Gambar 5.4. Model Hipotesis Penyebab BRK Sesuai Skenario Terburuk yang
Dikembangkan
5.7.1. Komitmen K3
Setiap perusahaan harus memiliki komitmen untuk melindungi keselamatan
dan kesehatan semua pekerja yang dapat terkena dampak keselamatan dan kesehatan
dari aktifitas kerja yang dilakukanya (BSI, 2004). Dalam buku petunjuk pelaksanaan
OHSAS 18001 yang dikeluarkan oleh British Standard Institution tahun 2004,
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
143
Training &
Kompetensi
Prosedur dan
Standar Kerja
Keamanan/
Kenyamanan
Komitmen K3 Lingkungan Kerja
Analisis
Bahaya &
Risiko
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
144
Training &
Kompetensi Faktor Pekerja
Gambar 5.6. Hubungan Variabel Training & Kompetensi dengan Variabel Faktor
Pekerja.
Pelatihan yang tepat akan meningkatkan kompetensi atau kemampuan serta
keahlian pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Pelatihan yang diberikan harus
sesuai dengan tanggung jawab dan autoritas pekerjaan yang diberikan. Pelatihan K3
harus fokus pada pengembangan kemampuan pekerja akan keselamatan kerja,
sehingga menimbulkan kesadaran akan bahaya ditempat kerja dan meningkatkan
kemampuan menangani bahaya tersebut serta memahami alasan-alasan kenapa
program K3 dilakukan (Dingdags et al., 2008).
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
145
Kesalahan
Pencampuran
Kesalahan
Faktor Pekerja proses
Kontaminasi
Ketidaksempurnaa
n pencampuran
Kesalahan
Penyimpanan
Keamanan/
Faktor Pekerja Prosedur dan
Kenyamanan
Standar Kerja
Lingkungan Kerja
Gambar 5.8. Hubungan Variabel Prosedur dan Standar Kerja dengan Faktor Pekerjan
dan Lingkungan Kerja.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
146
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
147
yang kotor, ventilasi yang buruk, pencahaayaan yang kurang, alat-alat bantu kerja
yang tidak memadai, tidak adanya sistem peringatan dini, dan lain sebagainya
(Heinrich, 1980).
Lingkungan kerja akan berpengaruh secara langsung pada faktor pekerja.
Pekerja tidak akan bisa bekerja secara aman dan baik jika lingkungan kerja tidak
aman dan nyaman. Misalnya jika pencahayaan tidak mencukupi maka akan sangat
membahayakan bagi pekerja dalam bekerja, demikian juga dengan ventilasi yang
kurang memadai akan menimbulkan suasana panas dan pengap sehingga menganggu
konsentrasi pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Gambar 5.9 memperlihatkan
hubungan variabel kemanan/kenyamanan lingkungan kerja dengan variabel faktor
pekerja dan penyebab terjadinya kecelakaan BRK karena kesalahan parameter proses,
kontaminasi dan kesalahan penyimpanan berdasarkan hasil KJ analisis yang sudah
dilakukan sebelumnya.
Kontaminasi
Keamanan/
Kenyamanan
Lingkungan Kerja Penyimpanan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
148
Faktor
Pekerja
Prosedur dan
Analisis Bahaya &
Standar Kerja
Risiko
Keamanan/
Kenyamanan
Lingkungan Kerja
Gambar 5.10. Hubungan Variabel Analisi Bahaya dan Risiko dengan Variabel-
Variabel Lain.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
149
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
150
Dari Tabel 5.19 diatas dapat dilihat bahwa nilai t-score (perhitungan) memilki
nilai > 1,96, artinya semua variabel indikator memiliki nilai yang signifikan. Maka
dapat disimpulkan bahwa semua variabel indikator dapat diikut sertakan dalam
pembentukan model struktural.
Pada tahapan ini juga dilakukan uji kecocokan model pengukuran untuk setiap
variabel laten. Uji kecocokan dilihat dari nilai RMSEA, CFI, SRMR, IFI dan GFI.
Tabel 5.20 menunjukkan hasil perhitungan derajat kecocokan model pengukuran
bahaya reaktifitas kimia.
Dari Tabel 5.20 dapat dilihat bahwa 4 indeks GOF menunjukkan derajat
kecocokan data-model adalah baik dan hanya satu indeks GOF yang menunjukkan
derajat kecocokan data-model kurang baik, maka dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan derajat kecocokan data-model adalah baik.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
151
Tabel 5.20. Nilai Derajat Kecocokan Data-Model (GOF) dari Model Pengukuran
Penyebab BRK
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
152
-0,04
+0,21 Mengurangi
Kesalahan
Penyimpanan (Y5)
H09 : Prosedur dan standar kerja kerja berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi kesalahan pekerja.
H010 : Prosedur dan standar kerja kerja berpengaruh positip secara signifikan
meningkatkan keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.
H011 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya kesalahan pencampuran.
H012 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya kesalahan parameter proses.
H013 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya kontaminasi.
H014 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya ketidaksempurnaan pencampuran.
H015 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya kesalahan penyimpanan.
H016 : Keamanan/kenyamanan lingkungan berpengaruh positip secara
signifikan mengurangi terjadinya kesalahan parameter proses.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
153
Tabel 5.21. Nilai Derajat Kecocokan Data-Model dari Model Struktural Hipotesis
Penyebab BRK
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
154
Dari persamaan regresi model struktural hipotesis pada Tabel 5.22, dapat
dilihat koefesien struktural (KS) untuk masing-masing jalur sesuai dengan hipotesis
nol yang dibuat. Nilai KS dan uji hipotesis (t-perhitungan) untuk masing-masing jalur
dapat dilihat pada Tabel 5.23, bahwa ada beberapa lintasan yang memiliki nilai
koefesien struktural (KS) yang tidak signifikan sehingga hipotesis nol (H0) ditolak.
Nilai KS dikatakan signifikan jika nilai t-perhitungan > t-Tabel, dimana nilai t-Tabel
adalah 1,96.
Tabel 5.23. Nilai Koefesien Struktural dan Signifikansi Model Hipotesis Penyebab
BRK
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
155
Dari hasil pengujian statistik hipotesis nol model struktural hipotesis tersebut,
terdapat 9 hipotesis nol yang ditolak, yaitu H03, H04, H05, H06, H12, H13, H15, H16, dan
H18, dimana hubungan kedua variabel laten pada masing-masing hipotesis tersebut
tidak signifikan;
H03 ditolak berarti komitmen K3 tidak berpengaruh positip secara signifikan
terhadap prosedur standar kerja (SOP). Data hasil pengukuran menunjukkan
bahwa kelengkapan, aspek K3, kemudahan dan pemahaman standar dan
prosedur kerja tidak dipengaruhi secara signifikan oleh komitmen K3 secara
langsung.
H06 ditolak berarti analsis risiko tidak berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi kesalahan pekerja. Data hasil pengukuran menunjukkan bahwa
kesalahan yang diakibatkan oleh kelalaian, terburu-buru, kesalahan
pengiriman bahan baku, memotong jalur SOP dan mengingatkan rekan kerja
tidak secara signifikan dipengaruhi oleh analisis risiko secara langsung.
H012 ditolak berarti faktor pekerja tidak berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi terjadinya kesalahan parameter proses. Data hasil pengukuran
menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan parameter proses seperti tekanan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
156
H013 ditolak berarti faktor pekerja tidak berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi terjadinya kontaminasi. Data hasil pengukuran menunjukkan
bahwa terjadinya kontaminasi seperti kontaminasi bahan baku, kebersihan
vesel atau wadah yang buruk, kesalahan transfer dan terdapat sisa bahan baku
dalam vesel atau wadah tidak secara signifikan dipengaruhi oleh faktor
pekerja.
H015 ditolak berarti faktor pekerja tidak berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi terjadinya kesalahan penyimpanan. Data hasil pengukuran
menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan penyimpanan seperti bahan baku
disimpan melewati masa kadaluarsa, kemasan/ packaging bahan baku
dibiarkan terbuka, kemasan/packaging baku tanpa label, dan kemasan/
packaging bahan baku bocor atau tumpah tidak secara signifikan dipengaruhi
oleh faktor pekerja.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
157
kemasan/ packaging bahan baku bocor atau tumpah tidak secara signifikan
dipengaruhi oleh keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.
Hipotesis nol yang diterima pada uji statistik model struktural hipotesis adalah H01,
H02, H07, H08, H09, H010, H011, H014, dan H017, dimana hubungan kedua variabel laten
pada masing-masing hipotesis tersebut signifikan;
H010 diterima berarti prosedur dan standar kerja kerja berpengaruh positip
secara signifikan meningkatkan keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.
Data hasil pengukuran menunjukkan bahwa perawatan alat dan mesin, alur
proses, pengaturan penyimpanan bahan baku, sistem kontrol proses,
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
158
kenyamanan area kerja dan alat pelindung diri secara signifikan dipengaruhi
oleh standar dan prosedur kerja.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
159
+0,63 +0,35
+0,25
Mengurangi
Faktor Kesalahan Proses
Pekerja (Y2)
(X4)
Kemudian dilakukan uji kecocokan model dengan LISREL 8.50. Model struktural
modifikasi I yang memiliki nilai kecocokan yang paling baik terdapat pada Gambar
5.12. Hasil perhintungan derajat kecocokan model (Goodness Of Fit) yang
menunjukkan derajat kecocokan antara model struktural penyebab BRK modifikasi I
dengan data terdapat dalam Tabel 5.24.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
160
Tabel 5.24. Nilai Derajat Kecocokan Data-Model (GOF) dari Model Struktural
Penyebab BRK Modifikasi I
Dari Tabel 5.24 dapat dilihat bahwa 4 indeks GOF menunjukkan derajat
kecocokan data-model adalah baik dan hanya satu indeks GOF yang menunjukkan
derajat kecocokan data-model kurang baik, maka dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan derajat kecocokan data-model adalah baik.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
161
Tabel 5.26. Nilai Koefesien Struktural dan Signifikansi Model Struktural Penyebab
BRK Modifikasi I
Untuk mendapatkan model struktural yang lebih baik dan memiliki hubungan
antar variabel laten yang memilki koefesien struktural lebih tinggi, peneliti mencoba
melakukan modifikasi kedua dengan menambah beberapa jalur (path) yang didukung
secara teori atau fakta dilapangan. Model struktural penyebab BRK modifikasi II
dapat dilihat pada Gambar 5.13.
Hipotesis nol tambahan untuk jalur baru dari model struktural modifikasi II
adalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
162
+0,94
Training Kompetensi Mengurangi Mengurangi
+0,90 Ketidaksempurnaan
(X1) (X2) Kesalahan
Pencampuran Pencampuran (Y4)
(Y1)
+0,26
+0,82 +0,37
Faktor Mengurangi
Pekerja Kesalahan
(X4) Parameter (Y2)
+0,28
+0,21
Komitmen +0,61
K3 (X5) Mengurangi
Kontaminasi (Y3)
Prosedur
+0,73 dan Standar
Kerja (X3)
+0,75
+0,58 +0,20
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
163
Tabel 5.27. Nilai Derajat Kecocokan Data-Model (GOF) dari Model Struktural
Penyebab BRK Modifikasi II
Dari persamaan regresi model struktural penyebab BRK modifikasi II pada Tabel
5.28, dapat dilihat koefesien struktural untuk masing-masing jalur sesuai dengan
hipotesi nol yang dibuat. Nilai KS dan uji hipotesis (t-perhitungan) untuk masing-
masing jalur dapat dilihat pada Tabel 5.29, hasil menunjukkan bahwa semua
hubungan antar variabel dalam model struktural modifikasi II adalah signifikan dan
hipotesis nol diterima, dimana nilai t-perhitungan >/= 1,96.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
164
Tabel 5.29. Nilai Koefesien Struktural dan Signifikansi Model Struktural Penyebab
BRK Modifikasi II
5.9. Hasil Uji Multiple Regresi Linear Model Hipotesis Penyebab Bahaya
Reaktifitas Kimia
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
165
Uji multiple regresi linear untuk model hipotesis penyebab bahaya reaktifitas
kimia dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0. Persamaan multiple
regresi linear untuk melihat kuat hubungan antara variabel dependen (5 faktor pemicu
BRK) dengan variabel independen (7 faktor penyebab pemicu BRK) dapat dilihat
pada Tabel 5.30. Dari hasil uji multiple regresi dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pengurangan kesalahan pencampuran memiliki hubungan yang kuat dengan
kompetensi pekerja, komitmen K3, faktor kesalahan pekerja dan lingkungan
kerja. Kuat hubungan dari persamaan multiple regresi adalah 37,8%.
2. Pengurangan kesalahan parameter proses memiliki hubungan yang kuat
dengan kompetensi pekerja, komitmen K3, faktor kesalahan pekerja dan
lingkungan kerja. Kuat hubungan dari persamaan multiple regresi adalah
31,1%.
3. Pengurangan Kontaminasi memiliki hubungan yang kuat dengan kompetensi
pekerja, komitmen K3, faktor kesalahan pekerja dan lingkungan kerja. Kuat
hubungan dari persamaan multiple regresi adalah 36,2%.
4. Pengurangan Ketidaksempurnaan Pencampuran memiliki hubungan yang kuat
dengan kompetensi pekerja, faktor kesalahan pekerja dan lingkungan kerja.
Kuat hubungan dari persamaan multiple regresi adalah 31,9%.
5. Pengurangan Keasalahan Penyimpanan memiliki hubungan yang kuat dengan
kompetensi pekerja dan lingkungan kerja. Kuat hubungan dari persamaan
multiple regresi adalah 39,1%.
Semua hubungan diatas memenuhi asumsi linearitas dimana nilai Pv =0,000 (< 0,05).
Dari persamaan regresi diatas diketahui bahwa prosedur kerja standar (SOP)
tidak memiliki hubungan dengan semua variabel dependen. Kesalahan penyimpanan
hanya dipengaruhi oleh faktor kompetensi pekerja dan lingkungan kerja. Kompetensi
pekerja memiliki hubungan dengan semua variabel dependen. Faktor kesalahan
pekerja memiliki hubungan dengan semua variabel dependen kecuali kesalahan
penyimpanan.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
166
Tabel 5.30. Rangkuman Persamaan Multiple Regresi Linear Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia
Variabel Variabel Independen Persamaan Kuat *Pv
Dependen Hubungan (R)
Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Kesalahan Pencampuran = -0,425 + 0,400* 0,378 0,000
Kesalahan Analisis Risiko, SOP, Faktor (Kompetensi) -0,231 * (Komitmen K3) + 0,384 * (Faktor Pekerja) +
Pencampuran Pekerja, Lingkungan Kerja 0,418 * (Lingkungan Kerja).
Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Kesalahan Parameter Proses = -0,534 + 0,275 * 0,311 0,000
Kesalahan Analisis Risiko, SOP, Faktor (Kompetensi) – 0,185 * (Komitmen K3) + 0,312 * (Faktor Pekerja)
Parameter Proses Pekerja, Lingkungan Kerja + 0,485 * (Lingkungan Kerja).
Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Kontaminasi = 0,100 + 0,283 * (Kompetensi) – 0,257 * 0,362 0,000
Kontaminasi Analisis Risiko, SOP, Faktor (Komitmen K3) + 0,313 * (Faktor Pekerja) + 0,508 * (Lingkungan
Pekerja, Lingkungan Kerja Kerja).
Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Ketidaksempurnaan Pencampuran = -0,817 + 0,402 * 0,319 0,000
Ketidaksempurnaan Analisis Risiko, SOP, Faktor (Kompetensi) + 0,244 * (Faktor Pekerja) + 0,333 * (Lingkungan
Pencampuran Pekerja, Lingkungan Kerja Kerja)
Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Kesalahan Penyimpanan = -0,098 + 0,529 * 0,391 0,000
Kesalahan Analisis Risiko, SOP, Faktor (Kompetensi) + 0,400 * (Lingkungan Kerja)
Penyimpanan Pekerja, Lingkungan Kerja
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
168
• Komitmen manajemen untuk melakukan analisis bahaya dan risiko pada semua area pabrik.
• Komitmen manajemen dalam mengalokasikan dana dan sumber daya manusia untuk melakukan analisis
bahaya dan risiko.
Analisis Bahaya • Komitmen manajemen untuk menunjuk penanggung jawab analisis bahaya dan risiko.
Komitmen & Risiko
K3 • Komitmen manajemen untuk melaksanakan hasil rekomendasi dari analisis bahaya dan risiko.
• Komitmen manajemen untuk melakukan analisis bahaya dan risiko secara berkesinambungan.
• Komitmen manajemen untuk menetapkan prosedur analisis bahaya dan risiko
• Komitmen manajemen untuk melibatkan pekerja dalam melakukan analisis bahaya dan risiko.
• Komitmen pekerja untuk ikut aktif berpartisipasi dalam melakukan analisi bahaya dan risiko.
• Komitmen pekerja untuk melaporkan setiap potensi bahaya dan risiko ditempat kerja.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
• Pembuatan prosedur kerja standar harus dibuat oleh personel yang memiliki kemampuan dan
pengalaman yang memadai (kompeten).
• Pembuatan prosedur kerja standar harus melibatkan pekerja yang terlibat langsung dengan proses kerja
tersebut.
Prosedur Kerja Faktor Kesalahan • Prosedur kerja standar harus jelas dan mudah dipahami oleh pekerja yang akan menggunakannya.
Standar (SOP Pekerja
• Prosedur kerja standar dibuat berdasarkan rekomendasi hasil analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia.
• Prosedur kerja standar yang harus dibuat adalah sebagai berikut:
o Prosedur Training
o Prosedur Ijin Kerja
o Prosedur Analisis Bahaya dan Manajemen Risiko
Kesalahan
o Prosedur Penaganan Bahan Kimia Berbahaya
Kesalahan
pencampuran Parameter o Prosedur Penanganan Tumpahan Bahan Kimia
Proces o Prosedur Pengembangan Produk Baru
o Prosedur Perubahan Komposisi atau Modifikasi Produk
o Prosedur Perubahan Proses Produksi
Ketidak- o Prosedur Keadaan Darurat
sepmpurnaan Kontaminasi o Prosedur Ijin Kerja Bagi Kontraktor
pencampuran o Prosedur Penerimaan Bahan Baku (Kelengkapan dokumen)
o Prosedur Pengecekan Kualitas Bahan Baku (QC Incoming raw materail)
o Prosedur Permintaan dan Pengiriman Bahan Baku ke Produksi (BOM, Pelabelan)
o Prosedur Proses Produksi (WI Proses)
o Prosedur Sampling dan Pengecekan Kualitas Produk Antara dan Akhir
o Prosedur Penyimpanan Bahan Baku (Penempatan dan Pelabelan)
o Prosedur dan Standar Kebersihan Tangki/Vessel
o Prosedur Penyimpanan dan Transfer Produk Antara dan Akhir
o Prosedur Pelabelan Tangki Proses dan Produk Antara
o Prosedur dan Jadual Perawatan / Kalibrasi Alat dan Mesin
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
173
3. Pelatihan BRK
3.1. Perencanaan Program Pelatihan BRK
3.2. Pelaksanaan Program Pelatihan BRK
Gambar 5.14. Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
175
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
176
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
177
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
178
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
179
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
180
MBRK 1. Pembangunan 2. Strategi 3. Peninjauan 5. Pembelian 6. Keamanan 8. Pelaporan 9. Pengelolaan 12. Pengembangan MBRK
dan pemeliharaan Pendokumentas Ulang Disain dan Bekerja dan Perbaikan Material dan Keterampilan dan
Komitmen ian Kontrak Berdasarkan Perpindahannya Kemampuan
SMK3
4.2. Kebijakan 4.2.Kebijakan K3
Lingkungan
1. Komitmen BRK 1. Komitmen BRK
4.3.1. Aspek 4.3.1. Identifikasi
Lingkungan
SMK3 Bahaya, Kajian
Risiko dan
2. Program Permena- Pengontrolan 2. Program
Training BRK 4.3.3. Tujuan,
ker Training BRK
Sasaran dan 4.3.3. Tujuan dan
Program Program
3. Analisis Bahaya 3. Analisis Bahaya
dan Risiko BRK 4.4.2. Kompetensi, ISO OHSAS 4.4.2. Pelatihan, dan Risiko BRK
BRK Training dan Sistem Kepedulian dan BRK
Kepedulian 14000: Pengendalian 18001: Komunikasi.
4. Prosedur dan 2004 BRK 2007 4. Prosedur dan
Standar Kerja 4.4.6. Kontrol 4.4.6. Kontrol Standar Kerja
Penanganan BRK Operasional Operasional
Penanganan BRK
4.4.7. Perencanaan
Keadaan Darurat
ISO 4.4.7. Keadaan
Darurat
5. Keamanan & 5. Keamanan &
Kenyamanan 9001: Kenyamanan
Lingkungan Kerja 2008 Lingkungan Kerja
4.5.1. Pengawasan 4.5.1. Pengukuran
dan Pengukuran dan Monitor
Kinerja
5.1. Komitmen 6.2. Sumber 6.3. 6.4. 7.3. 7.4. Pembelian 7.5. Provisi 7.6. Kontrol 8.2.
Manajemen Daya Manusia Infrastruktur Lingkungan Perancangan & Pelayanan dan Alat Ukur dan Pengukuran
Kerja Pegembangan Produksi Monitor dan Monitor
MBRK MBRK
Gambar 5.15. Sistem Pengendalian BRK Terintegrasi dengan ISO 9001, ISO 14000, OHSAS 18001 dan SMK3 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
182
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
183
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 6
PEMBAHASAN
bahan baku, jumlah bahan baku yang tidak diketahui indeks bahayanya adalah 51%
dari total bahan baku yang masuk dalam kajian ini dari tiga perusahaan tersebut.
Ketidak lengkapan informasi yang diperoleh dari LDKB berdampak pada
pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak CRW 2 untuk kajian bahaya
reaktifitas kimia bahan baku tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa jumlah pasangan
bahan baku yang tidak dapat diketahui indeks bahaya reaktifitas kimianya berjumlah
97%. Hanya sebagian kecil pasangan bahan kimia yang dapat diketahui potensi
bahaya reaktifitasnya (3%). Sebagian besar disebabkan oleh ketidak tersedian nama
UPAC atau CAS number dari bahan baku yang digunakan sehingga tidak bisa diolah
dengan program perangkat lunak CRW 2. Sebagian besar bahan kimia yang tidak
diketahui indeks bahaya reaktifitasnya adalah berupa bahan kimia pewarna (pigmen),
bahan kimia pewangi (fragrance) dan bahan kimia aditif. Pada umumnya bahan kimia
ini bersifat stabil dan tidak bereaksi dengan bahan kimia lain. Dan bahan kimia ini
juga digunakan dalam jumlah yang sangat kecil (0,1% - 5,0%). Sementara bahan
kimia yang diketahui indeks bahaya reaktifitasnya adalah bahan kimia utama seperti
solvent, surfactant, binder dan ingridien aktif. Bahan kimia ini digunakan dalam
jumlah yang besar (30% - 95%).
Kuosioner dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan hasil kajian
kualitatif dengan metode KJ Analysis dan didukung dengan teori dari berbagai
literatur. Karena yang diukur adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
potensi bahaya reaktifitas kimia, maka pertanyaan yang diajukan dalam kuosioner
cukup banyak. Terdapat 64 pertanyaan tertutup ditambah 3 pertanyaan terbuka dan
beberapa pertanyaan demografi. Pertanyaan yang diajukan meliputi pengetahuan
bahaya bahan kimia, training, komitmen K3, kesalahan pekerja, keamanan dan
kenyamanan lingkungan kerja, analisis risiko, kesalahan pencampuran, kesalahan
parameter proses, kontaminasi, ketidak sempurnaan pencampuran dan kesalahan
penyimpanan. Rata-rata kuosioner ini membutuhkan waktu 30-45 menit untuk
menjawab semua pertanyaan. Hal ini tentu saja membutuhkan kesabaran dan
konsentrasi yang baik untuk menjawab pertanyaan secara tepat. Umumnya pekerja
mengisi kuosioner pada waktu istirahat atau setelah jam kerja, tidak menutup
kemungkinan bahwa pekerja dalam kondisi lelah atau stress, sehinga tidak dapat
berkonsentrasi dengan baik untuk memahami pertanyaan yang diberikan, akibatnya
jawaban yang diberikan tidak akurat.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
186
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
187
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
188
kimia dengan kuantitas kecil tentu saja tidak sama dengan teknologi kesalamatan
dengan kuantitas besar seperti pada industri kimia hulu. Pada umumnya industri kimia
hulu menerapkan teknologi keselamatan yang sangat tinggi (standar yang
maksimum), namun untuk industri kimia hilir dengan kuantitas bahan kimia yang
kecil tidak harus menerapkan teknologi keselamatan yang tinggi seperti industri kimia
hulu. Dari hasil kajian bahaya bahan kimia yang dilakukan, peniliti berpendapat
bahwa untuk mengelola bahan kimia dengan kuantitas kecil dan jenis yang banyak
dapat dilakukan dengan menerapkan sistem manajemen pengelolaan bahan kimia
yang baik dan teknologi keselamatan pada standar yang minimum. Sistem manajemen
pengelolaan bahan kimia yang dimaksud disini adalah sistem yang mengatur aliran
bahan kimia mulai dari pemasok, masuk kegudang penyimpanan, pengaturan
penyimpanan bahan kimia, pengiriman kebagian produksi sesuai dengan permintaan
(Bill of Material), penanganan sisa bahan kimia, pengaturan produk antara
(intermediate), dan pengiriman dan penyimpanan produk akhir. Setiap tahapan
tersebut harus diatur secara baik dan sistematis dalam suatu prosedur kerja standar
(SOP) dan sistem kontrol yang baik. Satu hal yang sangat penting adalah mengetahui
secara baik jenis bahaya bahan kimia dan cara penanganannya pada setiap tahapan
proses yang dilakukan.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
189
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
190
dilihat tata letak dan pembagian ruangan untuk setiap proses yang dibagi kedalam
beberapa line proses. Dalam layout tersebut terdapat 30 tanki pencampuran (mixer)
dengan kapasitas yang bervariasi mulai dari 50 liter sampai dengan 10,000 liter.
425 lt mixer 200 lt mixer 370 lt lawsol 200 lt mixer 1000 lt mixer 100 lt mixer 10.000 lt 2000 lt 2000 lt 2000 lt 2000 lt 400 lt mixer
425 lt mixer 50 lt melter 370 lt nawsol 50 lt melter 100 lt melter 100 lt mixer hopper with mixer mixer mixer mixer 400 lt mixer
500 lt nawsol 50 lt melter 300 lt wax E 50 lt melter 50 lt melter stirrer 400 lt mixer
200 lt melter 25 lt melter 400 lt mixer
250 lt melter
425 lt paste 200 lt paste lawsol 200 lt paste wax E 100 lt paste Wax E 2000 lt 2000 lt Liquid Liquid 400 lt color LSP
425 lt paste nawsol 100 lt paste black Black Base Base 400 lt color LSP
wax E LSP LSP 400 lt color LSP
400 lt color LSP
Tabel 6.1. Pasangan Produk yang Berpotensi Bereaksi Pada Tanki atau Line Produksi
yang Sama Pada PT PQR
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
191
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
192
faktor teknologi (FTK), sementara persamaan SIB yang digunakan oleh Shah et al
hanya mengandung satu faktor pengendalian BRK yaitu faktor teknologi (FTK).
Persamaan SIB Shah et al lebih tepat diterapkan pada industri kimia hulu yang
memiliki teknologi yang lebih moderen, dimana faktor teknologi lebih dominan
dibandingkan faktor pekerja, sebaliknya pada industri kimia hilir pada umumnya
menggunakan teknologi yang masih konvensional dan faktor pekerja lebih dominan
pada proses yang dilakukan.
Data IB dan IR BRK membuktikan bahwa potensi risiko BRK pada industri
kimia hilir di Indonesia adalah tinggi, namun potensi risiko tersebut dapat diturunkan
dengan menerapkan sistem manajemen baku seperti ISO 9001, ISO 14001, OHSAS
18001 dan SMK3 sampai pada level tertentu. Hal ini juga membuktikan bahwa sistem
manajemen baku tersebut juga sudah mengandung ketiga unsur pengendalian BRK
tersebut diatas.
PT CDF memiliki potensi risiko BRK sangat tinggi karena perusahaan ini
melakukan proses reaksi eksotermik dalam pembuatan produk herbisida. Potensi
risiko tersebut dapat diturunkan dari IR=2,0 menjadi SIR=0,062 (97%) dengan
menerapkan berbagai sistem manajemen baku seperti OHSAS 18001, ISO 9001, ISO
14000, PSM, BS 8800 dan SMK3. Disamping sistem manajemen yang baik,
perusahaan ini juga telah menggunakan tekonologi yang semi otomatis sehingga
memiliki sistem kontrol proses yang lebih baik. Sumber daya manusia yang dimiliki
juga relatif lebih baik.
PT XYZ memiliki IR=0,670 artinya PT XYZ memiliki potensi risiko BRK
cukup tinggi, namun masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan PT CDF karena
PT XYZ tidak melakukan reaksi kimia dalam pembuatan produknya. Semua proses
yang dilakukan oleh PT XYZ hanyalah merupakan proses pencampuran. Potensi BRK
dapat terjadi jika terjadi kesalahan pencampuran atau kontaminasi dari bahan-bahan
kimia yang dapat bereaksi. Nilai SIR masih cukup tinggi yaitu 0,313. Penerapan
sistem manjemen kualitas (ISO 9001) hanya dapat menurunkan 47% potensi risiko
BRK pada perusahaan ini. Diperlukan perbaikan pada sistem manajemen yang ada
misalnya dengan menerapkan SMK3 untuk memperbaiki sistem pengendalian bahaya
bahan kimia dan reaktifitas kimia. Atau dapat juga dilakukan dengan menerapkan
elemen-elemen yang dibutuhkan dalam mengendalikan BRK. Perbaikan terhadap
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
193
sistem teknologi keselamatan juga akan dapat menurunkan potensi risiko BRK
menjadi lebih rendah.
PT PQR memiliki potensi risiko BRK yang juga cukup tinggi bahkan lebih
tinggi dari PT XYZ (IR = 0,710) karena perusahaan ini disamping melakukan proses
pencampuran tanpa reaksi kimia, juga melakukan proses reaksi kimia yaitu reaksi
penyabunan yang bersifat eksotermik. Nilai IR dapat diturunkan secara signifikan dari
0,710 menjadi 0,067 (90%) dengan penerapan sistem manajemen kualitas ISO 9001,
Good Manufacturing Practice (GMP) dan Sistem Manajemen Keselamatan yang
mengacu pada induk perusahaan. PT PQR yang merupakan Multinational Company
memiliki sistem internal untuk program GMP dan keselamatan yang cukup baik.
Gambar 6.2 memperlihatkan kecendrungan penurunan indeks bahaya dan risiko
dengan adanya penerapan sistem manajemen kualitas, keselamatan dan lingkungan.
1.2
Sangat Tinggi
1
Sisa Indeks
0.8
0.72
SIB BK
Tinggi
0.6
0.464
0.4 Sedang
0.313
SIR BRK 0.232
0.2 Rendah
0.067 0.062
0.032
0
PT XYZ PT PQR PT CDF
ISO 9001 ISO 9001+GMP+ ISO 9001+ISO 14001+
Corporate Safety OHSAS 18001+SMK3
Program PSM+ BS8800
Hasil perhitungan SIB dan SIR pada ketiga perusahaan tersebut diatas sesuai
dengan hasil survei tingkat kesadaran pelaksanaan K3, hampir celaka dan kecelakaan
dengan bahan kimia melalui kuosioner. Tabel 6.2 memperlihatkan hasil perhitungan
perbedaan rata-rata tingkat kesadaran pelaksanaan K3, tingkat hampir celaka dengan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
194
bahan kimia dan tingkat kecelakaan bahan kimia pada tiga perusahaan tempat
penelitian. Uji univariate perbedaan rata-rata tingkat kesadaran pelaksanaan K3
menggunakan metoda one-way anova. Sementara perbedaan rata-rata tingkat hampir
celaka dan celaka menggunakan metoda Mann Whitney (non paramentrik) karena
data tidak berdistribusi normal dan tidak homogen.
Hasil uji hipotesis perbedaan rata-rata tingkat kesadaran pelaksanaan K3
berbeda secara signifikan pada ketiga perusahaan tersebut, dimana pv=0,042 <0,05
(Ho ditolak). Dari hasil uji perbedaan rata-rata lebih lanjut melalui uji Post Hoc;
Tukey HSD, Scheff, LSD dan Bonferroni diperoleh perbedaan yang signifikan dari
ketiga perusahaan tersebut dalam hal kesadaran pekerja dalam melaksanakan K3
hanya antara PT XYZ dengan PT CDF dan PT PQR, sementara antara PT CDF dan
PT PQR tidak berbeda secara signifikan. Hal ini juga dapat diartikan bahwa pekerja
pada PT CDF dan PT PQR memiliki kesadaran K3 yang lebih baik dibandingkan
dengan PT XYZ.
Tabel 6.2. Nilai Perbedaan Rata-Rata Pengukuran Tingkat Kesadaran K3, Hampir
Celaka dan Kecelakaan dengan Bahan Kimia.
Variabel Perusahaan __
Dependen X SD P-Value Ho
PT XYZ 0,717 0,187
Tingkat Kesadaran
PT CDF 0,812 0,191 0,042 Ditolak
Pelaksanaan K3
PT PQR 0,730 0,187
*Uji Anova, data berdistribusi normal dan homogen
Variabel Perusahaan __
Dependen X SD P-Value Ho
PT XYZ 0,520 1,146 XYZ-CDF 0,040 Ditolak
Tingkat Hampir
PT CDF 0,020 0,158 CDF-PQR 0,048 Ditolak
Celaka (Near Miss)
PT PQR 0,330 1,088 PQR-XYZ 0,046 Ditolak
PT XYZ 0,720 1,381 XYZ-CDF 0,030 Ditolak
Tingkat Kecelakaan
PT CDF 0,050 0,223 CDF-PQR 0,158 Diterima
dengan Bahan Kimia
PT PQR 0,300 1,107 PQR-XYZ 0,020 Ditolak
*Uji Mann Whitney, data berdistribusi tidak normal dan tidak homogen
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
195
PT CDF memiliki nilai yang paling rendah dan PT XYZ memiliki nilai
yang paling tinggi.
2. Terdapat perbedaan rata-rata tingkat kecelakaan dengan bahan kimia
antara PT XYZ dengan PT CDF dan PT PQR (nilai pv<0,05; Ho
ditolak). Tidak terdapat perbedaan rata-rata tingkat kecelakaan dengan
bahan kimia antara PT CDF dengan PT PQR (nilai pv>0,05; Ho
diterima). Meskipun demikian PT CDF memiliki nilai rata-rata tingkat
kecelakaan yang lebih rendah dibandingkan dengan PT PQR, dan PT
XYZ memiliki nilai rata-rata tingkat kecelakaan paling tinggi.
Dari hasil uji hipotesis diatas dapat disimpulkan bahwa PT CDF relatif
memiliki tingkat kesadaran K3 lebih baik dibandingkan dengan PT PQR dan PT
XYZ. Secara teori hal ini dapat berpengaruh pada tingkat hampir celaka dan
kecelakaan dengan bahan kimia pada PT CDF yang lebih rendah dibandingkan
dengan kedua perusahaan lainnya. Sementara PT XYZ yang memiliki rata-rata tingkat
kesadaran K3 paling rendah dibandingkan kedua perusahaan lainnya juga memiliki
rata-rata tingkat hampir celaka dan kecelakaan dengan bahan kimia lebih tinggi
dibandingkan dua perusahaan lainnya. Tabel 6.3 merupakan ringkasan secara
keseluruhan penurunan SIB, SIR, tingkat kecelakaan dan hampir celaka dalam
kaitannya dengan penerapan sistem manajemen kualitas, keselamatan dan lingkungan
serta kesadaran pekerja dalam melaksanakan dan mengikuti aturan sistem K3.
Sistem manajemen kualitas ISO 9001 bertujuan untuk menjaga konsistensi
proses dan kualitas produk yang dihasilkan. Didalam sistem manajemen kualitas
diatur berbagai proses yang berkaitan dengan penerimaan bahan baku, pengembangan
produk baru, kontrol kualitas, kalibrasi alat ukur, peningkatan kompetensi pekerja dan
masih banyak lagi elemen-elemen yang bertujuan untuk memastikan bahwa kualitas
produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan. Semua
elemen-elemen tersebut sangat erat kaitannya dengan pengendalian bahaya reaktifitas
kimia. Penerapan ISO 9001 terbukti dapat menurukan risiko BRK sebesar 47%, masih
diperlukan beberapa elemen-elemen tambahan agar risiko BRK dapat diturunkan
samapi pada level yang rendah. Dengan mengintegrasikan sistem pengendalian BRK
yang diusulkan pada penelitian ini, misalnya memasukkan elemen identifikasi bahaya
dan risiko BRK, prosedur penanganan bahan kimia berbahaya, materi training BRK
dan seterusnya maka risiko BRK dapat diturunkan sampai pada level yang rendah.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
196
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
197
Tabel 6.3. Ringkasan SIB, SIR, Tingkat Kecelakaan dan Hampir Celakan dengan Penerapan Sistem Manajemen Kualitas, Keselamatan dan
Lingkungan pada PT XYZ, PT PQR dan PT CDF
Perusahaan IB BRK Sisa Indeks Sisa Indeks Indeks Sisa Indeks % Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Sistem
Bahaya Bahaya Risiko Risiko (SIR) Compliance Tingkat Tingkat Tingkat Manajemen yang
(SIB) BRK (SIB) Bahan BRK BRK Survei BRK Hampir Kecelakaan Kesadaran sudah diterapkan
Kimia Celaka dlm dlm 5 Thn Pelaksanaan K3
1 Thn Terakhir
Terakhir
PT XYZ 1 (sangat 1,460 0,720 0,67 0,313 56% 0,515 0,710 0,717 ISO 9001
tinggi) dan (Sangat (Tinggi) (Tinggi) (Sedang)
0,75 Tinggi)
(tinggi)
PT PQR 1 (sangat 0,464 0,232 0,71 0,067 75% 0,330 0,300 0,730 ISO 9001, GMP,
tinggi) dan (Sedang) (Rendah) (Tinggi) (Rendah) Corporate Safety
0,75 Program
(tinggi)
PT CDF 1 (sangat 0,062 0,031 2,00 0,062 99% 0,020 0,050 0,812 ISO 9001, ISO
tinggi) dan (Rendah) (Rendah) (Sangat (Rendah) 14001, OHSAS
0,75 Tinggi) 18001, SMK3,
(tinggi) PSM, BS8800
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
199
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
200
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
201
dituangkan dalam bentuk prosedur kerja standar sehingga dapat dilaksanakan secara
berkesinambungan dalam menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja.
Kegiatan perawatan alat, kebersihan alat dan lingkungan kerja, alur proses produksi,
penyimpanan dan penempatan bahan baku atau produk dan seterusnya sebaiknya
dituangkan dalam prosedur kerja standar untuk menjaga konsistensi proses kerja dan
kenyamanan lingkungan kerja.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
202
regresi kesalahan parameter proses yang juga melibatkan faktor pekerja hanya dapat
menjelaskan 23% dari varian yang ada. Hal ini menunjukkan masih banyak variabel
lain yang tidak masuk dalam penelitian ini yang berpengaruh terhadap kesalahan
pencampuran dan parameter proses selain variabel faktor pekerja.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
203
6.6. Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir
Sistem pengendalian BRK yang diusulkan pada penelitian ini sangat cocok
dengan kondisi industri kimia hilir di Indonesia. Sistem pengendalian ini dapat
diterapkan secara mandiri maupun diintegrasikan dengan sistem manajemen baku ISO
9001, ISO 14001, OHSAS 18001 dan SMK3 Permenaker. Meskipun beberapa elemen
dari sistem manajemen baku yang ada sudah mengandung aspek-aspek pengendalian
BRK, namun belum sepenuhnya dapat menurunkan potensi bahaya dan risiko BRK
pada industri kimia hilir. Penerapan secara terintegrasi sistem pengendalian BRK ini
akan menghasilkan pengendalian yang lebih maksimal dibandingkan penerapan
secara mandiri.
Tabel 6.4. Keunggulan Sistem Manajemen BRK Industri Kimia Hilir Dibandingkan
Sistem Manajemen BRK CCPS 2003
No. Sistem Pengendalian BRK Industri Sistem Pengendalian BRK CCPS
Kimia Hilir 2003
1 Disusun berdasarkan kondisi ril industri Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kimia hilir di Indonesia, sehingga lebih sistem ini sulit diterapkan pada industri
mudah dan cocok untuk diterapkan. kimia berskala kecil-menengah.
2 Lebih komprehensif karena Lebih fokus pada sistem manajemen dan
memasukkan ketiga faktor utama lingkungan kerja.
keselamatan kerja yaitu; fakor
manajemen, faktor lingkungan kerja dan
faktor pekerja.
3 Hanya memiliki 6 elemen sistem Memiliki 10 elemen sistem pengendalian,
pengendalian, sehingga penerapan-nya sehingga penerapannya lebih sulit dan
lebih mudah dan cepat. lama.
4 Pengendalian lebih difokuskan pada Pengendalian lebih difokuskan pada
faktor pekerja sebagai penyebab BRK. sumber bahaya BRK.
5 Tidak diharuskan melakukan analisa Diharuskan melakukan uji laboratorium
laboratorium untuk menguji reaktifitas untuk mengetahui reaktifitas bahan kimia.
bahan kimia. Dimana sebagian besar
industri kimia hilir di Indonesia tidak
mampu melakukannya.
6 Lebih mudah diintegrasikan kedalam Lebih mudah diintegrasikan kedalam
sistem manajemen baku kualitas sistem manajemen keselamatan PSM
lingkungan dan keselamatan. (OSHA dan CCPS) dan Saveso II.
7 Mengutamakan keterlibatan pekerja Hanya dilakukan oleh team yang dibentuk
dalam setiap elemen. oleh manajemen.
8 Sangat tepat untuk diterapkan pada Kurang tepat untuk diterapkan pada
industri yang menggunakan bahan kimia industri yang menggunakan bahan kimia
dalam jumlah jenis yang besar. dalam jumlah jenis yang besar
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
204
2003 jika diterapkan untuk industri kimia hilir di Indonesia. Perbandingan kedua
sistem ini dapat dilihat pada tabel 6.4.
Namun demikian sistem pengendalian BRK industri kimia hilir ini juga
memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan sistem manajemen pengendalian BRK
CCPS 2003. Tabel 6.5 menunjukkan beberapa kelemahan sistem pengendalian BRK
industri kimia hilir.
Tabel 6.5. Kelemahan Sistem Manajemen BRK Industri Kimia Hilir Dibandingkan
Sistem Manajemen BRK CCPS 2003
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
205
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
206
bahaya dan risiko ditempat kerja. Hal ini sejalan dengan persyaratan SMK3
Permenaker tersebut diatas, untuk melaksanakan training dan analisis risiko
diperlukan sumber daya dan anggaran yang memadai, dan ini memerlukan komitmen
yang kuat dari manajemen.
PT XYZ dan PT PQR belum melakukan analisis bahaya dan risiko sesuai
persyaratan sistem manajemen K3, karena kedua perusahaan ini belum menerapkan
SMK3. Sebenarnya untuk melakukan analisis bahaya dan risiko ditempat kerja tidak
harus menunggu diterapkannya SMK3. Analisis risiko dan bahaya dapat dilakukan
asalkan perusahaan memiliki komitmen untuk melakukannya. Dari hasil survey juga
ditemukan bahwa PT XYZ dan PT PQR juga tidak memiliki program training yang
terencana, sementara PT CDF memiliki program training yang lebih baik. Alasan
utama minimnya program training adalah tidak adanya waktu bagi pekerja untuk
mengikuti training karena kapasitas produksi dan pekerjaan yang tinggi. Dari hasil
kajian ini peniliti menyimpulkan bahwa minimnya program dan pelaksanaan training
bagi pekerja adalah karena rendahnya komitmen manajemen dalam penerapan K3.
Penerapan sistem manajemen BRK memerlukan komitmen K3 dari
manajemen perusahaan. Komitmen manajemen pengendalian BRK tidak harus secara
spesifik dinyatakan dalam kebijakan tertulis akan tetapi dapat merupakan bagian dari
kebijakan K3 secara umum. Komitmen manajemen dalam mengendalikan BRK harus
diwujudkan dalam:
a. Menyediakan anggaran dan sumber daya yang memadai untuk
melaksanakan program training K3 dan analisis bahaya dan risiko
ditempat kerja secara berkelanjutan.
b. Berkomitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil analisis bahaya
dan risiko.
c. Ikut terlibat aktif dalam program training, analisis bahaya dan risiko.
Pekerja harus menunjukkan komitmen dalam pengendalian BRK yang diwujudkan
dalam:
a. Mengikuti semua program training yang dilakukan oleh perusahaan.
b. Ikut berpartisipasi aktif dalam melakukan analisis risiko dan bahaya
ditempat kerja secara berkelanjutan.
c. Melaksanakan prosedur kerja standar secara baik.
d. Menjaga kemananan dan kenyamanan lingkungan kerja.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
207
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
208
diberikan maka diperlukan tolok ukur sebagai umpan balik dari training yang
diberikan. Training tidak hanya diberikan pada pekerja baru, akan tetapi pekerja
lamapun harus diberikan training penyegaran. Pihak manajemen perusahaan harus
membuat program training tahunan yang meliputi topik-topik baru maupun topik-
topik lama sebagai penyegaran (re-fresh training).
Training yang diberikan harus meliputi pengetahuan (knowledge) dan keahlian
(skill) untuk meningkat kompetensi pokok (core competency) dan kompetensi K3
(safety competency). Kompetensi pokok adalah kompetensi minimum yang harus
dimiliki pekerja untuk menjalankan tugas pokok yang dibebankan, misalnya operator
produksi harus memahami dan mampu menjalankan mesin produksi, laboran harus
mampu melakukan analisa dasar bahan kimia dan seterusnya. Namun kompetensi
pokok saja tidak cukup untuk melakukan pekerjaan secara aman, maka diperlukan
kompetensi K3. Pada umumnya training kompetensi pokok tidak dilengkapi dengan
kompetensi K3 atau tidak mengandung aspek-sapek K3 (Dingsdag, 2008). Untuk
perusahaan yang sudah menerapkan sistem terintegrasi QHSE seperti PT CDF,
training K3 sudah menjadi bagian dari training kompetensi pokok, meskipun masih
diperlukan training khusus mengenai K3 untuk pendalaman pada aspek-aspek
tertentu.
Secara garis besar training K3 yang diperlukan adalah sebagai berikut
(National Safety Council, 1985):
1. Training untuk karyawan baru, misalnya: peraturan umum perusahaan,
profil perusahaan, peraturan K3 secara umum, kebijakan K3, program
pencegahan kecelakaan, intruksi kerja yang dibutuhkan, bahaya ditempat
kerja, alat pelindung diri, dst.
2. Job Safety Analysis (JSA); pemahaman terhadap JSA dan proses JSA.
3. Job instruction training (JIT); training yang secara spesifik menjelaskan
prosedur kerja standar di area kerja masing-masing, misalnya; prosedur
kalibrasi, prosedur pembuatan produk, prosedur pembersihan tangki, dst.
4. Other method instruction; training untuk trainer, bagaimana
mempersiapkan dan melakukan training secara baik.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
209
Topik dan isi training harus disesuaikan dengan kebutuhan area kerja atau
tanggung jawab dan tingkatan atau jabatan pekerja, karena umumnya tingkatan atau
jabatan menunjukkan tingkat pendidikan pekerja. Sebagai contoh, operator bagian
produksi memerlukan training keahlian dalam mengoperasikan mesin produksi,
sementara teknisi dari bagian enjinering memerlukan training keahlian dalam
perawatan dan perbaikan mesin produksi. Supervisor produksi lebih memerlukan
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
210
6.6.3. Program dan Pelaksanaan Analisis Bahaya dan Risiko Bahaya Reaktifitas
Kimia
OHSAS 18001 section 4.3.1 mensyaratkan adanya prosedur untuk
mengidentifikasi bahaya dan menetapkan mana saja yang signifikan, penilaian risiko
dan pencegahannya. Dalam sistem manajemen K3 (SMK3) Peraturan Menteri Tenaga
Kerja nomor PER.05/MEN/1996 juga disyaratkan untuk melakukan identifikasi
sumber bahaya, penilaian dan pengendalian risiko. Sumber bahaya yang
teridentifikasi harus dinilai untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolak
ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Analisis bahaya dan risiko merupakan landasan untuk mengembangkan sistem
manjemen K3. Menurut Frank Bird dalam bukunya Loss Control Management, untuk
mengembangkan suatu sistem K3 yang baik, harus mengikuti tahapan yang disebut
IEDIM, yaitu: Identification, Evaluation, Develop the plan, Implementation dan
Measurement (Ramli S., 2004). Frank Bird menempatkan identifikasi bahaya dan
risiko pada tahapan pertama dalam proses pengembangan sistem manajemen K3.
Identifikasi bahaya dan risiko harus disertai dengan evaluasi dan penilaian risiko,
karena setiap industri memiliki jenis dan tingkat bahaya dan risiko yang berbeda-
beda, sehingga sistem pengendalian dan manajemen keselamatan yang diterapkan
juga akan berbeda.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa untuk mengembangkan sistem
manajemen K3 dalam hal ini prosedur kerja standar dan keamanan lingkungan kerja
harus didahului oleh analisis bahaya dan risiko. Analisis bahaya dan risiko BRK
dapat merupakan bagian dari analisis bahaya dan risiko K3 secara umum sesuai
persyaratan sistem manajemen K3, namun harus ada penekanan secara mendalam
pada kajian bahaya dan risiko reaktifitas kimia yang dapat terjadi baik pada
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
211
penyimpanan bahan baku atau proses produksi. Tabel 6.7 merupakan analsis bahaya
dan risiko tambahan yang diperlukan untuk pengembangan sistem pengendalian BRK
pada industri kimia hilir. Berdasarkan hasil penelitian ini, analisis bahaya dan risiko
yang diusulkan pada Tabel 6.7 cukup memadai untuk mengendalikan BRK pada
industri kimia hilir dan sangat dapat diterapkan dengan segala keterbatasan yang ada
pada industri kimia hilir di Indonesia.
Tabel 6.7. Analsis Bahaya dan Risiko BRK pada Industri Kimia Hilir
Ada 5 tahapan analisis bahaya dan risiko BRK yang direkomendasikan untuk
dilakukan pada industri kimia hilir, yaitu:
1. Analisis bahaya sifat intrinksik bahan baku kimia; analisis ini dilakukan
untuk mengetahui sifat-sifat bahaya bahan kimia yang digunakan sebagai
bahan baku produksi. Sifat-sifat instrinksik bahan kimia yang perlu
diidentifikasi adalah sifat mudah terbakar (Flammability), sifat mudah
meledak (Explosive), sifat beracun (Toxicology) dan sifat reaktif dengan
air atau udara (Reaktifity). Sumber informasi yang dapat digunakan adalah
Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) yang dapat diperoleh dari
pemasok bahan kimia atau dari database yang ada di internet. Analisis
bahaya sifat intrinksik bahan baku kimia ini perlu dilakukan untuk
mengetahui metode penyimpanan, sistem kontrol teknologi keselamatan
yang diperlukan dan penanganan kondisi darurat.
2. Analisis potensi BRK bahan baku kimia; analisis ini dilakukan untuk
mengetahui bahan baku kimia yang berpotensi bereaksi atau berinteraksi
satu sama lain. Analisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan program
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
212
perangkat lunak CRW 2 dari NOAA. Dari hasil analisis ini dapat diperoleh
tabel kesesuaian (compatibility chart) yang dapat dijadikan acuan untuk
metode penyimpanan atau pemisahan bahan-bahan yang dapat
berienteraksi satu sama lain. Dengan mengetahui bahan baku kimia yang
berpotensi bereaksi satu sama lain maka dapat dicegah terjadinya reaksi
kimia yang tidak diinginkan pada saat penanganan bahan baku kimia
digudang penyimpan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ramussen (1989) bahwa 24% kecelakaan BRK terjadi di gudang
penyimpanan. Pada umumnya penyimpanan bahan baku dikelompokkan
berdasarkan bentuk fisik (Padat, Cair, Pasta, Gas) dan sifat intrinksik
bahan kimia (Flammable, Toxic, Corrosive, dst). Untuk menghindari
adanya potensi BRK pada gudang penyimpanan maka perlu dilakukan
pemisahan bahan-bahan kimia yang berpotensi bereaksi dengan bahan
kimia lain. Gambar 6.3 merupakan ilustrasi metode pengelompokkan
penyimpanan bahan kimia berdasarkan bentuk fisik, sifat intrinksik dan
sifat reaksi atau compatibility bahan kimia.
3. Prilimanary Screening BRK; analisis ini dilakukan untuk mengetahui
potensi adanya BRK pada industri tersebut secara umum. Ceklist yang
dikeluarkan oleh CCPS Chemical Reactivity Hazards Management dapat
digunakan untuk mengidentifikasi potensi BRK pada proses yang
dilakukan. Untuk mengetahui potensi yang dapat menyebabkan terjadinya
BRK pada proses produksi dapat digunakan ceklist yang dikembangkan
pada penelitian ini (Gambar 4.2). Hasil skirining ini dapat digunakan
sebagai acuan untuk analisis BRK lebih dalam.
4. Analisis Potensi BRK Produk; analisis ini adalah untuk mengetahui adanya
potensi BRK pada formulasi setiap produk yang diproduksi dan potensi
BRK antar produk yang diproduksi. Analisis ini dapat dilakukan dengan
menggunakan program perangkat lunak CRW 2 dari NOAA. Data yang
diperlukan untuk analisis ini dapat diperoleh dari Bill of Material (BOM)
yang digunakan untuk order produksi. Dari BOM ini juga dapat diketahui
komposisi dari masing-masing ingridien yang terdapat didalam formula
produk yang akan diproduksi, sehingga juga dapat diperkirakan atau
dihitung stokiometri reaksi yang dapat terjadi. Dengan mengetahui potensi
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
213
BRK yang dapat terjadi pada produk maka dapat diantisipasi potensi
terjadinya kesalahan pencampuran, kontaminasi, kesalahan parameter
parameter proses dan ketidak sempurnaan pencampuran dari produk-
produk yang memiliki potensi BRK.
dst
dst dst
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
214
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
215
terus dilakukan selama ada perubahan terhadap bahan baku, proses dan pekerja yang
dapat berdampak pada keselamatan dan kesehatan kerja. Termasuk perubahan kecil
dari kemurnian bahan baku, modifikasi ukuran tangki atau perubahan prosedur kerja
(AIChe, 1995).
Hasil penelitian juga membuktikan bahwa sistem manajemen BRK harus
dilengkapi dengan prosedur kerja standar yang tertulis. Prosedur kerja standar harus
memasukkan aspek-aspek K3 untuk mencegah terjadinya kesalahan prosedur yang
dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Sistem manajemen BRK tidak harus memilki
prosedur tersendiri atau terpisah dengan sistem manjemen lain. Pada prinsipnya
sistem manajemen keselamatan, lingkungan dan kualitas sudah mengandung sebagian
besar aspek-aspek manajemen BRK yang diperlukan. Beberapa poin yang diperlukan
dalam mengendalikan BRK dapat diintegrasikan dengan sistem manajemen yang
sudah ada. Tabel 6.8 adalah rekomendasi prosedur kerja standar yang dapat
diintegrasikan dengan sistem manajemen lain untuk mengurangi potensi BRK pada
industri kimia hilir di Indonesia.
Prosedur kerja standar dan instruksi kerja harus ditulis dalam bahasa yang
mudah dipahami oleh pekerja. Umumnya pada industri kimia hilir, sebagian besar
pekerja produksi, gudang, enjinering dan Lab memiliki pendidikan yang rendah
(SLTP, SLTA dan D3). Sebaiknya dalam membuat prosedur kerja melibatkan para
pekerja sehingga lebih sesuai dengan pemahaman pekerja dilapangan. Prosedur kerja
standar juga harus lengkap, jelas dan tidak bertele-tele.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa untuk membuat prosedur kerja
standar K3 atau BRK harus mengacu pada hasil analisis bahaya dan risiko. Prosedur
K3 atau BRK tidak akan menjadi efektif dalam menurunkan tingkat kecelakaan atau
potensi BRK ditempat kerja jika dibuat hanya mengacu pada literatur atau replikasi
dari sistem lain meskipun dari industri sejenis. Setiap industri memiliki karakteristik
proses dan bahaya sendiri-sendiri, oleh karena itu pengendalian bahaya dan risikonya
juga harus disesuaikan dengan karakter masing-masing industri. Gambar 6.4 adalah
merupakan ilustrasi proses pembuatan prosedur kerja standar yang direkomendasikan
dari hasil penelitian ini.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
216
Tabel 6.8. Prosedur Kerja Standar Terintegrasi dengan Sistem Manajemen K3, Kualitas dan Lingkungan.
No Elemen Prosedur Kerja Standar Prosedur BRK SMK3 OHSAS ISO ISO
Pengendalian Terintegrasi Permenaker 18001:2007 9001:2008 14001:2004
BRK
1 Program and Training Prosedur Training Memasukkan topik Bahaya Bahan 12 4.4.2, 4.3.4, 6.2 4.4.2
BRK Kimia, MSDS dan Bahaya
Reaktifitas Kimia dalam Modul
Training.
2 Analisis Bahaya dan Prosedur Ijin Kerja Prosedur untuk pengecekan bahan 6.4 4.3.1 4.2 4.3.1
Risiko BRK kimia berbahaya dan reaktif
3 Prosedur Analisis Bahaya dan Prosedur analisis bahaya 6.1 4.3.1 4.2 4.3.1
Risiko reaktifitas kimia
4 Prosedur Penaganan Bahan Kimia Prosedur Penanganan Bahan 6.1 4.4.7 - 4.4.7
Berbahaya Kimia Reaktif
5 Prosedur Penanganan Tumpahan Prosedur Penanganan Tumpahan 6.1, 9.1 4.4.7 - 4.4.7
Bahan Kimia Bahan Kimia Reaktif
6 Prosedur Pengembangan Produk Prosedur Pengecekan Potensi 3.1 4.4.6 7.3 4.4.6
Baru BRK pada Produk Baru
7 Prosedur Perubahan Komposisi Prosedur Pengecekan Potensi 3.1 4.4.6 7.3 4.4.6
atau Modifikasi Produk BRK pada Produk yang di
Modifikasi
8 Prosedur Perubahan Proses Prosedur Pengecekan Potensi 3.1 4.4.6 7.3 4.4.6
Produksi BRK pada Proses Baru
9 Prosedur Keadaan Darurat Prosedur Penanganan Bahaya 6.7, 8 4.4.7 - 4.4.7
Reaktifitas Kimia
10 Prosedur Ijin Kerja Bagi Prosedur Pengecekan Potensi 6.4 4.4.6 4.3 4.4.6
Kontraktor BRK pada area kerja. Training
BRK untuk Kontraktor
Universitas Indonesia
No Elemen Prosedur Kerja Standar Prosedur BRK SMK3 OHSAS ISO ISO
Pengendalian Terintegrasi Permenaker 18001:2007 9001:2008 14001:2004
BRK
11 Prosedur Standar Prosedur Penerimaan Bahan Baku Kelengkapan MSDS, CoA, Label 5.1, 5.3, 9.2 4.4.6 7.4 4.4.6
Kerja Penanganan (Kelengkapan dokumen) dan Simbol Hazard
12 BRK Prosedur Pengecekan Kualitas Kemurnian Bahan Baku 5.2 4.5.1 7.4 4.5.1
Bahan Baku (QC Incoming raw
materail)
13 Prosedur Permintaan dan Pelabelan dan penanganan bahan 2.2 4.4.6 7.5 4.4.6
Pengiriman Bahan Baku ke kimia berbahaya dan reaktif,
Produksi (BOM, Pelabelan) penyimpanan sisa bahan baku.
14 Prosedur Proses Produksi (WI Kontrol terhadap komposisi bahan 2.2 4.4.6 7.5 4.4.6
Proses) baku, urutan proses pencampuran,
tekanan, temperatur, pengambilan
sampel.
15 Prosedur Sampling dan Cara sampling, waktu sampling, 2.2 4.5.1, 4.4.6 8.2 4.5.1, 4.4.6
Pengecekan Kualitas Produk tempat sampling, spesifikasi,
Antara dan Akhir pelaporan hasil pengecekan.
16 Keamanan & Prosedur Penyimpanan Bahan Pemisahan bahan-bahan kimia 9.3 4.4.6 4.15, 4.8 4.4.6
Kenyamanan Baku (Penempatan dan Pelabelan) reaktif
17 Lingkungan Kerja Prosedur dan Standar Kebersihan Cara membersihkan, standar 6.5 4.4.6 4.9 4.4.6
Tangki/Vessel kebersihan dan pengecekan
kebersihan
18 Prosedur Penyimpanan dan Tempat penyimpanan, kondsisi 9.3 4.4.6 7.5 4.4.6
Transfer Produk Antara dan Akhir penyimpanan, waktu
penyimpanan, cara
pemindahan/transfer.
19 Prosedur Pelabelan Tangki Proses Bentuk label, penamaan tangki 9.3 4.4.6 4.8 4.4.6
dan Produk Antara dan produk
20 Prosedur dan Jadual Perawatan / Prosedur untuk pengecekan bahan 6.5 4.5.1 7.6 4.5.1
Kalibrasi Alat dan Mesin kimia berbahaya dan reaktif
Universitas Indonesia
Tinjau Ulang /
Review
Perbaikkan
Approval dari
Manager
Implementasi
SOP
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
219
review berkala untuk mendapatkan umpan balik dari pekerja yang menggunakan SOP
tersebut, jika ada perbaikkan maka harus dilakukan persetujuan ulang oleh manajer
berwenang.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
220
siklus produksi tinggi dan jumlah bahan baku dan produk antara di area
produksi juga banyak. Disamping kemungkinan terjadinya kontaminasi,
kondisi ini juga sangat rentan terhadap tertukarnya bahan baku atau produk
antara.
4. Pencahayaan dan ventilasi sudah cukup baik. Meskipun pada PT XYZ
plant A ditemukan bau solven yang sangat menyengat, hal ini bukan
disebabkan oleh ventilasi yang kurang baik akan tetapi disebabkan oleh
penangan solven yang tidak tepat.
5. Alat pelindung diri kurang mencukupi dan tidak sesuai standar terutama
pada PT XYZ dan PT PQR.
6. Beberapa alat-alat produksi berada dalam kondisi kurang baik dan tidak
terawat terutama pada PT XYZ Plant B.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
221
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
222
merupakan singkatan dari Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin dapat
digunakan untuk mencegah potensi BRK pada industri kimia hilir yang
menggunakan bahan kimia, tangki atau vesel dan produk yang dihasilkan
dalam jumlah yang cukup banyak dan bervariasi. Penerapan prinsip-
prinsip 5R secara konsisten dan baik akan sangat efektif dalam
menurunkan potensi BRK seperti yang dilakukan oleh PT CDF.
4. Firts In First Out (FIFO); adalah sistem kontrol terhadap penggunaan
bahan baku dimana bahan baku digunakan berdasarkan tanggal kedatangan
ke gudang penyimpanan. Bahan baku yang kedatangan lebih awal harus
digunakan lebih dahulu untuk proses produksi guna menghindari bahan
baku melewati masa kadaluarsa. Untuk memudahkan proses FIFO maka
penyimpanan di gudang harus ditempatkan berdasarkan urutan kedatangan
bahan baku.
Area Tanki
penempatan Proses Area Paking
Line -1 Bahan baku Produksi Produk Akhir
Siap Proses
Line -3
Area Tanki
penempatan Proses
Bahan baku Produksi -
Siap Proses 1b
Gambar 6.5. Ilustrasi Layout Alur Proses dengan Sistem Series untuk Industri Kimia
Hilir
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
223
5. Layout dan Tata Ruang Alur Proses Produksi; penataan ruang atau layout
alur proses produksi yang baik dapat meningkatkan efesiensi proses
produksi, mengurangi potensi terjadinya kesalahan pencampuran dan
kontaminasi produk dan meningkatkan kenyamanan dan keamanan kerja.
Layout dan tata ruang proses produksi harus mencerminkan alur proses
pembuatan produk. Secara sederhana dapat digambarkan layout proses
produksi yang direkomendasikan pada industri kimia hilir seperti pada
Gambar 6.5. Alur proses sebaiknya mengikuti rangkaian seri untuk proses
yang berurutan dan paralel untuk proses yang dilakukan bersamaan. Alur
proses sebaiknya mengikuti aliran bahan baku hingga menjadi produk
akhir di paking area. Hal ini akan memudahkan sistem kontrol terhadap
proses produksi.
6. Rambu-rambu K3 dan marking line; pembuatan rambu dan penandaan
bisa sejalan dengan program 5R. Rambu-rambu K3 (safety signage) sangat
penting dalam mengurangi prilaku atau tindakkan tidak aman dari pekerja.
Dalam ilmu prilaku keselamatan ABC model, rambu-rambu dan marking
line merupakan salah satu aktivator bagi prilaku seorang pekerja (Geller
E.S., 2000). Penempatan rambu K3 dan marking line juga merupakan
salah satu bentuk intervensi untuk mengubah prilaku pekerja. Menurut
Geller (2000), untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari proses
intervensi ini maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam suatu
aktivator, yaitu:
a. Specify behavior; aktivator harus dibuat spesifik untuk prilaku tertentu,
misalnya rambu wajib memakai helem di area kerja tertentu.
b. Maintain salience with novelty; aktivator harus dapat memberikan
dampak jangka panjang, oleh sebab itu aktivator harus memiliki pesan
yang akan membekas dalam pikiran pekerja dan selalu dapat diingat.
c. Vary the message: aktivator sebaiknya memiliki pesan yang bervariasi,
oleh karena itu rambu juga harus dapat diganti atau dengan membuat
slogan-slogan K3 yang bervariasi.
d. Involve target audience: dalam membuat aktivator sebaiknya
melibatkan pekerja untuk mendapatkan disain rambu yang baik dan
mudah dipahami oleh pekerja.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
224
Tabel 6.10. Jenis Bahaya dan APD yang Diperlukan pada Industri Kimia Hilir
8. Alat pelindung diri (APD); definisi APD dalam HSE regulasi adalah semua
peralatan yang melindungi pekerja selama bekerja termasuk pakaian yang
harus di pakai pada saat bekerja, pelindung kepala (helmet), sarung tangan
(gloves), pelindung mata (eye protection), pakaian yang bersifat reflektive,
sepatu, pelindung pendegaran (hearing protection) dan pelindung
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
225
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
226
Mengembangkan Mengembangkan
Mengembangkan atau
Program Training BRK Program
Memodifikasi SOP
(Terintegrasi) Perbaikan Lingkungan
(Terintegrasi)
Kerja
(Terintegrasi)
Mendapatkan Komitmen
Pekerja
Gambar 6.6. Tahapan Penerapan Sistem Pengendalian BRK pada Industri Kimia
Hilir.
Tahap-6: Melakuan tinjau ulang secara berkala untuk melihat efektifitas
pelaksanaan sistem pengendalian BRK dan mengidentifikasi kekurangan sistem untuk
dapat ditingkatkan.
Tahap-7: Melakukan perbaikan berdasarkan rekomendasi dari hasil tinjau
ulang.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
227
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat potensi yang cukup tinggi
terjadinya kecelakaan bahaya reaktifitas kimia pada industri kimia hilir dapat
diterima. Hal ini dibuktikan dari hasil kajian bahaya reaktifitas kimia 351 produk
antara dan akhir diperoleh jumlah produk antara dan akhir yang memiliki potensi
interaksi/reaksi bahan baku dalam formulanya adalah 32%, dimana jumlah
pasangan interaksi/reaksi kimia dengan IB = 1 (bahaya sangat tinggi) adalah 21%
dan jumlah pasangan interaksi/reaksi kimia dengan IB = 0.75 (bahaya tinggi)
adalah 11%. Sedangkan jumlah produk yang berpotensi saling berinteraksi/
bereaksi jika tercampur adalah 295 produk (84%) dengan total pasangan
campuran 15042, dimana jumlah pasangan produk yang dapat berinteraksi/
bereaksi dengan IB = 1 adalah 18%, jumlah pasangan produk yang dapat
berinteraksi/ bereaksi dengan IB = 0.75 adalah 32%.
5. Dari model penyebab BRK yang dikembangkan terdapat 7 variabel laten yang
industri kimia hilir, yaitu: komitmen K3, training, analisis risiko, kompetensi
pekerja, faktor pekerja, prosedur kerja standar dan lingkungan kerja. Dan terdapat
dua variabel laten yang berpengaruh secara langsung terhadap terjadinya bahaya
6. Penelitian ini juga membuktikan bahwa Program perangkat lunak CRW 2 dari
NOAA cukup efektif digunakan untuk menganalisis bahaya reaktifitas bahan baku
kimia, produk antara dan produk akhir. Pada umumnya industri kimia hilir di
Indonesia memliki sumber daya yang sangat terbatas sehingga hampir tidak
memungkinkan untuk melakukan pengujian reaktifitas kimia di laboratorium,
maka alternatif penggunaan program perangkat lunak menjadi alternatif paling
tepat efisien dan efektif. Namun penggunaan program perangkat lunak CRW 2
harus didukung dengan kelengkapan informasi bahan baku kimia seperti lembar
data keselamatan bahan (LDKB).
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
230
7. Metoda kajian berlapis BRK (CRH layer assessment) yang dikembangkan pada
penelitian ini untuk industri kimia hilir terbukti dapat mengidentifikasi potensi
BRK. Metoda kajian berlapis yang dimodifikasi dari metoda yang dikembangkan
oleh Shah et.al (2005), yaitu merupakan kajian yang dilakukan secara bertahap
dan simultan terbukti efektif dalam menggali potensi BRK pada industri kimia
hilir.
7.2. Saran
Dari pengalaman selama melakukan penelitian dan hasil penelitian yang
diperoleh, ada beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan kepada pihak
pemerintah, perusahaan dan peneliti-peneliti lain yang mengkaji BRK pada IKH:
Untuk Pemerintah:
1. Membuat standar (SNI) pengendalian bahaya reaktifitas kimia untuk industri kimia
hilir.
2. Melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam penerapan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja umumnya dan pengendalian bahaya reaktifitas
kimia khususnya..
3. Mewajibkan semua industri kimia hilir untuk menerapkan Global Harmonize
System (GHS), sehingga penggunaan dan kelengkapan Lembar Data Keselamatan
Bahan (LDKB) dan sistem pelabelan bahan kimia menjadi lebih baik.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
231
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR KEPUSTAKAAN
ASTM (2005). The ASTM Computer Program for Chemical Thermodynamic and
Energy Release Evaluation, User Guide. ASTM International, 100 Barr Harbor
Drive, West Conshocken. USA.
CCPS. (2001). Reactive Material Hazards. CCPS Safety Alert • October 1, 2001
Choudhry, R.M., Fang D. and Mohamed S. (2007). The nature of safety culture: A
survey of the state-of-the-art. Safety Science 45, 993–1012.
Cui, L., Zhao, J., Qiu, T. and Chen, B. (2008). Layered Digraph Model for HAZOP
Analysis of Chemical Processes. Willey Interscience, Process Safety Progress Vol.
27, No.4.
Daniel, A. & Crowl, T.I. (2004). Identifying criteria to classify chemical mixtures as
‘‘highly hazardous’’ due to chemical reactivity. Journal of Loss Prevention in the
Process Industries 17, 279–289.
DeJoy, D.M. (2005). Behavior change versus culture change: Divergent approaches to
managing workplace safety. Safety Science 43, 105–129.
DeReamer (1981). Modern Safety and Health Technology. Willey interscience, New
York.
Dingsdag, D.P., Biggs, H.C. and Sheahan, V.L. (2008). Understanding and defining
OH&S competency for construction site positions: Worker perceptions. Safety
Science 46, 619–633.
Gallagher, C., Underhill, E. and Rimmer, M. (2001). Occupational Health and Safety
Management System-A Review of their Effectiveness in Securing Healthy and
safe Workplaces. Nasional Occupational Health and Safety Commision, Sydney.
Grote, G. (2007). Understanding and assessing safety culture through the lens of
organizational management of uncertainty. Safety Science 45, 637–652.
Hair, J. F., Black, W.C., Babin, B.J., Anderson, R. E. and Tatham, R.L. (2006).
Multivariate Data Analysis. Six Edition. Pearson Prentice Hall, Pearson Education
International.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
234
Herrero, G.S., Saldan, M.A.M., Campo, M.A.M. and Ritzel D.O. (2002). From the
traditional concept of safety management to safety integrated with quality. Journal
of Safety Research, 33 (2002) 1 – 20.
Hoyos, C.G. and Zimohong, B. (1988). Occupational Safety and Accident Prevention-
Behavioral Strategies and Methods. Elsevier, New York.
Johnson, R.W., Rudy, S.W and Unwin S.D. (2003). Essential Practice Managing
Chemical Reactivity Hazards, Center for Chemical Safety of the Institute of
Chemical Engineers, 3 Park Avenue, New York, NY 10016-5991.
Joseph, G. (2003). Recent reactive incidents and fundamental concept that can help
prevent them. Journal of Hazardous Materials 104, 65–73.
Kresno, S., Hadi, E.N., Wuryaningsih, C.E. and Ariawan, I. (2000). Aplikasi Metode
Kualitatif dalam Penelitian Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Depok.
Koller, G., Fischer, U. and Hungerbhler K. (2000). Assessing Safety, Health, and
Environmental Impact Early during Process Development. Ind. Eng. Chem. Res.,
2000, 39 (4), 960-972.
Laskova, A. & Tabas, M. (2008). Method for the Systematical Hazard Identification.
Published online 11 June 2008 in Wiley InterScience
(www.interscience.wiley.com). DOI 10.1002/prs.10265.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
235
Makin, A.M. & Winder, C. (2008). A new conceptual framework to improve the
applicationof occupational health and safety management systems. Journal of
Safety Science 46, 935-948.
Moder, K.P., Russo, J.P., Justiniano, F., Marshall, W.F., Mcghee, T.H., Stankovich,
R. and Frank W.L. (2007). Development of a Hazardous Material Compatibility
Storage Guideline and Tool. Published online 5 February 2007 in Wiley
InterScience (www.interscience.wiley.com). DOI 10.1002/prs.10186.
Paul, P.S. & Maiti, J. (2007). The role of behavioral factors on safety Management in
underground mines. Safety Science 45, 449–471.
Ramli, S. (2004). Road Map Sistem Manajemen K3. INRESH Consulting. Jakarta.
Reason, J. (2000). Human Error: Model and Management. British Medical Journal,
320 : 768-770.
Reason, J. (1990). Human Error. Cambridge University Press. New York, USA.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
236
Rundmo, T. & Hale, A.R. (2003). Managers’ attitudes towards safety and accident
prevention. Safety Science 41, 557–574.
Safety Alert (October 1, 2001). Reactive Material, What You Need To Know,
Hazards. CCPS.
Saraf, S.R., Rogers, W.J. and Mannan, M.S. (2003). Prediction of reactive hazards
based on molecular structure. Journal of Hazardous Materials A98, 15–29.
Sarwono, J. (2006). Analsis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit C.V Andi
Offset. Jogyakarta.
Shah, S., Fischer, U., and Hungerbu¨hler, K. (2005). Assessment of chemical process
hazards in early design stages. Journal of Loss Prevention in the Process
Industries, 18, 335–352.
Srinivasan, R. & Nhan, N.T. (2007). A statistical approach for evaluating inherent
benign-ness of chemical process routes in early design stages. Process safety and
environmental protection xxx, xxx–xxx.
Theodore, S., Glickman, and Erkut, E. (2007). Assessment of hazardous material risks
for rail yard safety. Safety Science 45, 813–822.
U.S.Chemical Safety and Hazard Investigation Board. Refinary Explosion and Fire,
Investigation Report NO. 2005-04-I-TX, Maret 2007.
Wiegman, D.A and Shappell, S.A. (2003). A Human Error Approach to Aviation
Accident Analysis. Ashgate Publishing Limited. England.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
237
Zar, J.H., (1999). Biostatical Analysis, 4th Edition. Department of Biological Sciences,
Northen Illionois University. Upper Saddle River, New Jersey 07458.
Zhou,Q., Fang,D. and Wang, X., (2007). A method to identify strategies for the
improvement of human safety behavior by considering safety climate and personal
experience. Safety Science xxx, xxx–xxx.
Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011