Kajian Risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 265

UNIVERSITAS INDONESIA

KAJIAN RISIKO DAN PENGEMBANGAN SISTEM


PENGENDALIAN BAHAYA REAKTIFITAS KIMIA PADA
INDUSTRI KIMIA HILIR

DISERTASI

ALFAJRI ISMAIL
NPM: 0706310671

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
JANUARY 2011

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


UNIVERSITAS INDONESIA

KAJIAN RISIKO DAN PENGEMBANGAN SISTEM


PENGENDALIAN BAHAYA REAKTIFITAS KIMIA PADA
INDUSTRI KIMIA HILIR

DISERTASI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor

ALFAJRI ISMAIL
NPM: 0706310671

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
UNIVERSITAS INDONESIA
JANUARY 2011

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Alfajri Ismail


NPM :0706310671
Program Studi ; Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Disertasi : Kajian Risiko dan Pengembangan Sistem Pengendalian Bahaya
Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia.

: Prof. Dr. -9\----OO-"


Ir. Mohammad Nasikin, M.Eng (Anggota)
r4L\r
f.l{^^r-
: Drs. Bambang Wispriyono, Apt., PhD (Anggota) ( tl
: Dra. Fatma Lestari. M.Si. PhD (Anggota) l lillry )

: Dr. rer. nat. Thomas S Wibowo, Dipl. Chem. (Anggota) ( ffti )


U

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 3 Januari 201 1

lll
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur Alhamdullillahirabilla’lamiin kehadirat Allah SWT


atas semua nikmat dan karunia yang telah dianugrahkan kepada saya dalam
menyelesaikan disertasi ini. Saya sangat menyadari hanya dengan pertolongan Allah
sajalah semua ini dapat terwujud. Penulisan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan disertasi ini,
sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini saya ingin menyampaikan penghormatan, penghargaan dan rasa
terimakasih yang setingi-tingginya kepada:
1. Promotor: Prof. Haryoto Kusnoputranto, dr, SKM, Dr.PH. Dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan dalam kesibukan beliau yang sangat tinggi, beliau telah
memberikan bimbingan dan dorongan semangat untuk menyelesaikan disertasi ini
tepat pada waktunya.
2. Ko-Promotor: Prof. Dr. dr. I Made Djaja, SKM, MSc. Dalam kesibukan beliau
yang sangat tinggi, selalu meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan
arahan dalam penulisan dan pengolahan data disertasi ini.
3. Ko-Promotor: Dr. rer. nat. Budiawan. Telah secara intensif melakukan diskusi-
diskusi dalam menggali permasalahan dan solusi yang dibahas dalam disertasi ini,
sehingga diperoleh novelty yang diinginkan dari disertasi ini.
4. Tim Penguji: Prof. dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH, PhD, Prof. Dr. Ir.
Mohammad Nasikin, M.Eng, Drs. Bambang Wispriyono, Apt., PhD, Dra. Fatma
Lestari. M.Si. PhD dan Dr. Thomas Wibowo atas kesediaan untuk menjadi tim
penguji dan terus memberikan bimbingan demi menyempurnakan penyusunan
disertasi ini.
5. Dekan FKM UI: Prof. dr. Hasbullah Tabarany, PhD (periode 2004-2007), dan Drs.
Bambang Wispriyono, Apt., PhD (periode 2008-saat ini).

iv
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
6. Para Staf Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, terutama dari
Departemen K3 FKM UI.
7. Pimpinan, Manager dan Supervisor dari tiga perusahaan tempat penelitian
dilakukan.
8. Rekan-rekan mahasiswa/i Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat dan
Epidemologi angkatan 2007 atas dukungan semangat dan kebersamaan selama
masa kuliah.
9. Managing Director PT 3M Indonesia, yang telah memberikan kesempatan,
dukungan dan dorongan selama menempuh pendidikan.
10. Product Development and Design Manager PT 3M Indonesia, Audist Subekti
PhD, yang telah banyak membantu peneliti dalam pengumpulan data dilapangan
dan penulisan disertasi ini.
11. Robiul Awal yang telah banyak membantu dalam pengolahan data.
12. Sungkem penuh takzim kepada ibunda tercinta Hj. Janidar yang selalu
mendoakan kebaikkan bagi anaknya agar dapat menyelesaikan pendidikan ini
dengan baik.
13. Untuk kedua orang tua kami Bapak Hadinis dan Ibunda Darni yang selalu
memberikan dukungan dan dorongan semangat.
14. Keluarga besar H.Ismail yang telah memberikan dorongan moril dan motovasi.
15. Keluarga besar Hj. Dayana atas dukungan dan dorongan semangat yang diberikan.
16. Akhirnya rasa terimakasih yang mendalam untuk Veranita (istri) dan Zhizhi Silvia
(ananda) tercinta, yang selalu setia mendampingi, mendukung, memberi semangat
dan telah bersabar atas semua pengorbanan yang dilakukan untuk menyelesaikan
studi ini.
17. Semua pihak terkait yang tidak bisa disebut satu per satu, yang telah memberikan
pengetahuan, kebersamaan dan bantuan, semoga mendapatkan balasan dari Allah
SWT.

Depok, 3 Januari 2011

v
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
ABSTRAK
Nama : Alfajri Ismail
Program Studi : Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Judul : Kajian Risiko dan Pengembangan Sistem Pengendalian
Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir

xxvii + 237 halaman, 61 tabel, 61 gambar, 13 lampiran

Industri kimia hilir (IKH) di Indonesia memiliki potensi Bahaya Reaktifitas


Kimia (BRK) yang cukup tinggi, karena pada umumnya IKH di Indonesia masih
menggunakan teknologi yang konvesional dengan kualitas sumber daya manusia yang
masih rendah, sementara jenis bahan kimia yang digunakan sangat banyak jumlahnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model penyebab dan sistem
pengendalian BRK pada IKH.
Metodologi penelitian merupakan modifikasi SREST –Layer Assessment
(Shah et al, 2005) dengan memasukkan faktor pekerja kedalam kajian. Ada 5 tahapan
pada metode ini yaitu; (1) kajian bahaya bahan kimia berdasarkan NFPA 704, (2)
kajian BRK bahan kimia menggunakan program perangkat lunak CRW 2 dari NOAA,
(3) identifikasi potensi terjadinya BRK pada proses produksi, (4) mengembangkan
skenario terburuk BRK, (5) kajian skenario terburuk BRK dengan metode KJ
Analysis dan mengembangkan model kuantitatif penyebab BRK melalui data
kuosioner dan diolah dengan menggunakan LISREL 8.50.
Dari hasil kajian BRK pada tiga industri kimia hilir dapat dibuktikan bahwa
Faktor Sistem Manajemen Keselamatan (FSMK), Faktor Pekerja (FP) dan Faktor
Teknologi Keselamatan (FTK) lebih dapat menurukan Indek Bahaya (IB) dan Risiko
(IR) BRK pada IKH, dan FP memberikan kontribusi yang paling besar (44.6%)
dibandingan FSMK (32.5%) dan FTK (22.9%). Model yang dikeluarkan Shah et al
(2005) yang hanya memasukkan FTK terbukti kurang dapat menurunkan IB dan IR
pada IKH.
Dari model penyebab BRK yang dikembangkan ditemukan tujuh variabel
penyebab terjadinya pemicu BRK yaitu; Komitmen Manajemen dan Pekerja, Analisis
Bahaya dan Risiko, Training BRK, Kompetensi, Faktor Pekerja, Prosedur Kerja
Standar dan Lingkungan Kerja. Hanya dua variabel yang berhubungan secara
langsung dengan pemicu BRK yaitu: Faktor pekerja yang berpengaruh secara
langsung terhadap terjadinya Kesalahan Pencampuran dan Parameter Proses dan

vii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
Lingkungan Kerja yang mempengaruhi terjadinya Kesalahan Penyimpanan. Dari
model penyebab BRK tersebut dikembangkan sistem manajemen BRK yang
mengandung lima elemen pengendalian yaitu; Komitmen Manajemen dan Pekerja,
Analisis Bahaya dan Risiko, Program Training BRK, Pengembangan Prosedur Kerja
Standar dan Program Kemananan dan Kenyamanan Lingkungan Kerja. Sistem
manajemen BRK yang dikembangkan ini dapat diintegrasikan dengan sistem
manajemen baku ISO 9001, ISO 14001 dan OHSAS 18001 atau SMK3 Permenaker.
Sistem ini sangat tepat untuk diterapkan pada industri kimia hilir yang menggunakan
banyak jenis bahan kimia dengan teknologi konvensional dan sumberdaya manusia
yang terbatas.

Kata Kunci:
Industri Kimia Hilir, Bahaya Reaktifitas Kimia, Indek Bahaya, Indek Risiko, Sistem
Manajemen, Model Penyebab BRK.

Daftar bacaan : 81 (1980 – 2010)

viii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
ABSTRACT
Name : Alfajri Ismail
Study Program : Doctoral Study Program of Public Health Science, Faculty
of Public Health University of Indonesia
Title : Chemical Reactivity Hazard Risk Assessment and
Management System Development for Downstream
Chemical Industry

xxvii + 237 pages, 61 tables, 61 pictures, 13 appendices

The potential of Chemical Reactivity Hazards (CRH) for downstream


chemical industry (DCI) in Indonesia is still considerably high. In general, DCI in
Indonesia still uses conventional technology with limited human resources capability,
while have to handle numerous types of chemicals. The aim of this research is to
conduct chemical reactivity hazard (CRH) risk assessments and develop CRH control
systems for DCI.
This research was done using modified SREST-Layer Assessment (Shah et al
2005) by addition of workforce factor into the assessment. There are five steps in this
method: (1) assessment of chemical hazards based on NFPA 704, (2) study of CRH
using CRW 2 software programs from NOAA, (3) identification of potential CRH in
production processes, (4) develop a CRH worst-case scenarios, (5) assessment of
CRH worst-case scenario with the KJ Analysis and develop CRH quantitative
causation model through questioners result and processed using LISREL 8.50.
From the results of the CRH study at three downstream chemical industries
could be proved that the Safety Management System Factor (SMSF), Workers Factor
(WF) and Safety Technology Factor (STF) decreased Hazards Index (HI) and Risk
Index (RI) of CRH in DCI higher than Shah et al model (2005) which only includes
STF. WF provides the greatest contribution (44.6%) compared SMSF (32.5%) and
STF (22.9%).
From the CRH causation model developed found seven variables were the
cause of the CRH trigger, namely; Management and Workforce Commitment, Hazard
and Risk Analysis, CRH Training, Competency, Workforce Factor, Standard
Operating Procedure and Working Environment. Only two variables were directly
associated with CRH trigger, namely: Workforce Factors that affect directly to the
occurrence of Mixing and Process Parameter Error and Working Environment
affecting occurrence of Storage Error. The CRH management system was developed

ix Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
based on CRH causation model that contains five elements; Management and
Workforce Commitment, Hazard and Risk Analysis, CRH Training Program,
Standard Operating Procedure, and Safe Working Environment. This system can be
integrated with standard management system ISO 9001, ISO 14001 and OHSAS
18001 or SMK3. This system is very appropriate to be applied in downstream
chemical industries that use many different chemicals with conventional technology
and limited human resources.

Key words:
Downstream Chemical Industry, Chemical Reactivity Hazards, Hazards Index,
Management System, CRH Causation Model

References: 81 (1980 - 2010)

x Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR ISI
Judul Halaman

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH vi
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI xi
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xix
DAFTAR LAMPIRAN xxiii
DAFTAR SINGKATAN xxiv
DAFTAR ISTILAH xxvi
1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang. 1
1.2. Permasalahan. 5
1.3. Tujuan Penelitian. 9
1.4. Manfaat Penlitian. 9
1.5. Lingkup Penelitian. 10
2. TINJAUAN PUSTAKA 12
2.1. Bahaya Reaktifitas Kimia. 12
2.2. Dampak Reaksi Kimia Tidak Terkontrol. 16
2.2.1. Ledakan dan Kebakaran. 16
2.2.2. Pelepasan Gas Beracun. 20
2.3. Metode Skrening Awal Potensi Bahaya Reaktifitas Kimia. 21
2.4. Metode Kajian Bahaya Reaktifitas Kimia. 23
2.4.1. SREST-Layer Assessment. 28
2.4.2. Alat Bantu (tools) Kajian Bahaya Reaktifitas Kimia. 36
2.4.2.1. Studi Ketidaksesuaian (NOAA Worksheet). 37
2.4.2.2. Studi literatur. 38
2.5. Teori Penyebab Kecelakaan Kerja. 39
2.5.1. Faktor Lingkungan Kerja 45
2.5.2. Faktor Manajemen. 47
2.5.3. Faktor Manusia. 49
2.5.3.1. Kesalahan Manusia. 49
2.5.3.2. Perilaku Keselamatan. 52
2.5.3.3. Budaya Keselamatan. 54
2.5.3.4. Kajian Perilaku dan Budaya Keselamatan. 57
2.6. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 62
2.6.1. Sistem Manajemen Keselamatan Terintegrasi. 62
2.6.2. Sistem Manajemen Bahaya Reaktifitas Kimia yang 70
Komprehensif.

xi Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
2.7. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan di Indonesia. 74
2.8. Profil Industri Kimia Hilir di Indonesia 77
3. KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN 79
HIPOTESIS
3.1. Kerangka Teori 79
3.2. Kerangka Konsep 81
3.3. Hipotesis 85
3.4. Definisi Operasional 86
4. METODOLOGI PENELITIAN 90
4.1. Rancangan Penelitian 90
4.1.1. Kajian Bahaya Bahan Kimia 92
4.1.2. Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Kimia 93
4.1.3. Identifikasi Potensi Bahaya Reaktifitas Kimia 94
4.1.4. Mengembangkan Skenario Terburuk Bahaya Reaktifitas Kimia 95
4.1.5. Kajian Skenario Terburuk Bahaya Reaktifitas Kimia Dengan 97
Metode KJ Analisis
4.1.6. Audist Sistem Manajemen Keselamatan 100
4.1.7. Analisa Kuantitatif Model Resiko Bahaya Reaktifitas Kimia 100
4.1.7.1. Pengembangan Kuosioner 101
4.1.7.2. Uji Validitas dan Reabilitas Kuosioner 102
4.1.7.2.1. Uji Validitas 102
4.1.7.2.2. Uji Reabilitas 105
4.1.7.3. Pengambilan Data Melalui Kuosioner 105
4.1.7.4. Pengembangan Structural Equation Modeling Bahaya 106
Reaktifitas Kimia
4.1.8. Pengembangan Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia 111
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian 112
4.3. Pengumpulan Data 113
4.3.1. Sumber Data 113
4.3.2. Jenis Data 113
4.3.3. Cara Pengumpulan Data 113
4.4. Pengontrolan Kualitas Data 114
4.5. Analisis Data 114
4.6. Keterbatasan Penelitian 115
4.7. Etik Penelitian 115
5. HASIL PENELITIAN 117
5.1. Data Perusahaan Tempat Penelitian 117
5.2. Kajian Bahaya Bahan Kimia 119
5.3. Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Kimia 120
5.3.1. Skreening Awal Bahaya Reaktifitas Kimia 120
5.3.2. Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Baku 122
5.3.3. Kajian Bahaya Reaktifitas Produk Antara dan Akhir 123
5.4. Kajian Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia 125
5.4.1. Skrining Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia 125

xii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
5.4.2. Rancangan Skenario Terburuk Bahaya Reaktifitas Kimia 126
5.4.3. KJ Analysis Skenario Terburuk Penyebab Bahaya Reaktifitas 127
Kimia
5.5. Hasil Audit Sistem Manajemen Keselamatan 131
5.6. Perhitungan Sisa Indeks Bahaya dan Risiko 133
5.7. Pengembangkan Model Hipotesis Penyebab Bahaya Reaktifitas 142
Kimia
5.7.1 Komitmen K3 142
5.7.2. Training dan Kompetensi 143
5.7.3. Faktor Pekerja 144
5.7.4. Prosedur dan Standar Kerja 145
5.7.5. Kenyamanan/Kemanan Lingkungan Kerja 147
5.7.6. Analisis Bahaya dan Resiko 148
5.8. Pengembangan Model Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia. 148
5.8.1. Uji Normalitas 148
5.8.2. Uji Multikolinearitas 148
5.8.3. Mengembangkan Model Pengukuran Penyebab Reaktifitas 149
Kimia
5.8.4. Mengembangkan Model Struktural Penyebab Bahaya 151
Reaktifitas Kimia
5.8.5. Respesifikasi Model Struktural Penyebab Bahaya Reaktifitas 158
Kimia
5.9. Hasil Uji Multiple Regresi Linear Model Hipotesis Penyebab Bahaya 164
Reaktifitas Kimia
5.10. Hasil Analisis Kualitatif Pengembangan Sistem Pengendalian Bahaya 167
Reaktifitas Kimia
6. PEMBAHASAN 184
6.1. Keterbatasan Penelitian 184
6.2. Bahaya Bahan Kimia Pada Industri Kimia Hilir 187
6.3. Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir 188
6.4. Sisa Indeks Bahaya dan Risiko Bahan Kimia dan Reaktifitas Kimia 191
6.5. Hubungan antara Variabel Laten Model Risiko Bahaya Reaktifitas 198
Kimia
6.5.1. Hubungan Komitmen K3 dengan Training dan Analisis Bahaya 198
dan Risiko
6.5.2. Hubungan Analisis Risiko dengan Prosedur Kerja Standar 199
dan Lingkungan Kerja
6.5.3. Hubungan Training dengan Kompetensi Pekerja 199
6.5.4. Hubungan Prosedur Kerja Standar dengan Faktor Pekerja 200
dan Lingkungan Kerja
6.5.5. Hubungan Lingkungan Kerja dengan Kesalahan Penyimpanan 201
6.5.6. Hubungan Faktor Kesalahan Pekerja dengan Kesalahan 201
Pencampuran dan Parameter Proses.
6.5.7. Hubungan Kesalahan Pencampuran dengan 202

xiii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
Ketidaksempurnaan Pencampuran dan Kontaminasi
6.5.8. Hubungan Kesalahan Penyimpanan dengan Kontaminasi 202
6.6. Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia 203
Hilir
6.6.1. Komitmen Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia 204
6.6.2. Program dan Pelaksanaan Pelatihan Bahaya Reaktifitas Kimia 207
6.6.3. Program dan Pelaksanaan Analisis Bahaya dan Risiko Bahaya 210
Reaktifitas Kimia
6.6.4. Pembuatan dan Pelaksanaan Prosedur Kerja Standar 214
6.6.5. Pemiliharaan Keamanan/Kenyamanan Lingkungan Kerja 219
6.7. Rekomendasi Penerapan Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas 225
Kimia
7. KESIMPULAN DAN SARAN 228
DAFTAR PUSTAKA 232
LAMPIRAN

xiv Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Tabel Halaman
Tabel

2.1 Konsekuensi Dari Reaksi Berbagai Jenis Senyawa Hidrida 18


Dengan Air dan Udara

2.2 Contoh Bahan Kimia Pada Kolom 1 yang Apabila Bercampur 21


Dengan Bahan Kimia Kolom 2 akan Melepaskan Bahan Kimia
Beracun (Kolom 3).

2.3 Bilang Indeks Untuk Sifat Bahaya yang Berbeda 30

2.4 Nilai EHS Kategori Efek yang Dapat Diterima Pada Tahap SAL. 32

2.5 Nilai Index Reaktifitas yang Dapat Diterima Untuk RAL 34

2.6 Tahapan Evolusi Dari Konsep Manajemen Keselamatan dan 64


Kualitas

2.7 Prinsip dan Hubungan Sistem Manajemen Kualitas dan 65


Keselamatan Kerja

2.8 Perbandingan Manajemen Bahaya dari CCPS, OSHA PSM/EPA 70


RMP Rule dan Saveso II (Johnson et al., 2003).

2.9 Elemen-Elemen PSM yang Belum Masuk Dalam Sistem 71


Manajemen Bahaya Reaktifitas Kimia

2.10 Pengelompokan Strategi OHS-MS 73

2.11 Jumlah Kecelakaan Tercatat yang Terkait Dengan Pekerjaan dan 75


Jumlah Kompensasi yang Dibayarkan Selama Periode 1995-
1999

2.12 Klasifikasi dan Jumlah Industri Kimia yang Terdaftar di 77


PUSDATIN

3.1 Matrik Variable dan Definisi Operasional 86

4.1 Indeks Bahaya Bahan Kimia Secara Individu 92

4.2 Indeks Bahaya Reaktifitas Kimia 93

xv Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
4.3 Indeks Bahaya Reaktifitas Kimia CRW 2. 94

4.4 Peserta KJ Analysis Skenario Terburuk Pada Tiga Perusahaan 98

4.5 Literatur dan Dasar Pengembangan Kuosioner Bahaya 104


Reaktifitas Kimia

4.6 Hasil Perhitungan Cronbach Alpha (Reabilitas) 105

4.7 Nilai Signifikansi GFI untuk SEM. 110

5.1 Data-Data Perusahaan Tempat Penelitian Dilakukan 117

5.2 Indeks Bahaya Bahan Baku Kimia Masing-Masing Perusahaan 119

5.3 Hasil Skrining Awal BRK pada Tiga Industri Kimia Hilir 121

5.4 Hasil Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Baku Kimia 123

5.5 Hasil Kajian Bahaya Reaktifitas Produk Antara dan Akhir 124

5.6 Hasil Skrining Penyebab Bahaya Reaktifitas pada Tiga Industri 126

5.7 Rangkuman KJ Analysis BRK 128

5.8 Rangkuman Hasil Pengamatan Lapangan Terhadap Pelaksanaan 132


Sistem Manajemen K3 Dengan Metode Checklist Pada Empat
Perusahaan

5.9 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Sistem Manajemen 135


Keselamatan (FSMK)

5.10 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Pekerja (FP) 135

5.11 Hasil Perhitungan Bobot Faktor Teknologi Keselamatan (FTK) 135

5.12 Hasil Perhitungan Nilai Faktor Sistem Manajemen Keselamatan 137


(FSMK), Faktor Pekerja (FP) dan Nilai Faktor Teknologi
Keselamatan (FTK) dari Observasi Lapangan

5.13 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia 138
PT XYZ

5.14 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia 139
PT CDF

xvi Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
5.15 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia 139
PT PQR

5.16 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks 141
Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT XYZ

5.17 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks 141
Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT CDF

5.18 Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks 141
Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT PQR

5.19 Persamaan Regresi Model Pengukuran Penyebab BRK 149

5.20 Nilai Derajat Kecocokan Data-Model (GOF) dari Model 151


Pengukuran Penyebab BRK

5.21 Nilai Derajat Kecocokan Data-Model dari Model Struktural 153


Hipotesis Penyebab BRK

5.22 Persamaan Regresi Model Struktural Hipotesis Penyebab BRK 154

5.23 Nilai Koefesien Struktural dan Signifikansi Model Hipotesis 154


Penyebab BRK

5.24 Nilai Derajat Kecocokan Data-Model (GOF) dari Model 160


Struktural Penyebab BRK Modifikasi I

5.25 Persamaan Regresi Model Struktural Penyebab BRK Modifikasi 160


I
5.26 Nilai Koefesien Struktural dan Signifikansi Model Struktural 161
Penyebab BRK Modifikasi I.

5.27 Nilai Derajat Kecocokan Data-Model (GOF) dari Model 163


Struktural Penyebab BRK Modifikasi II

5.28 Persamaan Regresi Model Struktural Penyebab BRK Modifikasi 163


II

5.29 Nilai Koefesien Struktural dan Signifikansi Model Struktural 164


Penyebab BRK Modifikasi II.

5.30 Rangkuman Persamaan Multiple Regresi Linear Penyebab 166


Bahaya Reaktifitas Kimia

xvii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
Lampiran

1 Daftar Bahan Baku dan Indeks Bahaya


2 Tabel Ketidakcocokkan Bahan Baku Kimia
3 Tabel Ketidakcocokkan Antar Bahan Kimia Dalam Produk
4 Rancangan Skenario Terburuk BRK
5 Hasil Kajian Skenario BRK dengan KJ Analysis
6 Daftar Kuosioner Penelitian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri
Kimia Hilir
7 Ceklist Manajemen Bahaya Reaktifitas Kimia
8 Surat Permohonan Ijin Penelitian
9 Lembar Persetujuan Kerjasama Penelitian
10 Daftar Hadir KJ Analysis
11 Lembar Persetujuan Pengisian Kuosioner
12 Panel Diskusi Kuosioner
13 Foto-Foto Penelitian

xxiii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
5.31 Hasil Kajian Kualitatif Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia 168

6.1 Pasangan Produk yang Berpotensi Bereaksi Pada Tanki atau 190
Line Produksi yang Sama Pada PT PQR

6.2 Nilai Perbedaan Rata-Rata Pengukuran Tingkat Kesadaran K3, 194


Hampir Celaka dan Kecelakaan dengan Bahan Kimia

6.3 Ringkasan SIB, SIR, Tingkat Kecelakaan dan Hampir Celakan 197
dengan Penerapan Sistem Manajemen Kualitas, Keselamatan
dan Lingkungan pada PT XYZ, PT PQR dan PT CDF

6.4 Keunggulan Sistem Manajemen BRK Industri Kimia Hilir 203


Dibandingkan Sistem Manajemen BRK CCPS 2003

6.5. Kelemahan Sistem Manajemen BRK Industri Kimia Hilir 204


Dibandingkan Sistem Manajemen BRK CCPS 2003

6.6 Topik Training Peningkatan Kompetensi Pekerja Untuk 209


Mengurangi Risiko BRK

6.7 Analsis Bahaya dan Risiko BRK pada Industri Kimia Hilir 211

6.8 Prosedur Kerja Standar Terintegrasi dengan Sistem Manajemen 216


K3, Kualitas dan Lingkungan

6.9 Rekomendasi Program Pemeliharaan Keamanan dan 220


Kenyamanan Lingkungan Kerja untuk Mengurangi BRK

6.10 Jenis Bahaya dan APD yang Diperlukan pada Industri Kimia 224
Hilir

xviii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Gambar Halaman


Gambar

2.1 Potensi Bahaya Reaktifitas Kimia. 17

2.2 Kurva Reaksi Kimia Eksotermik. 19

2.3 Kurva Hubungan Pelepasan Panas dan Penyerapan Panas 20


Pada Proses Rekasi Eksotermik dengan Sistem Pendingin.

2.4 Flowchart Priliminary Screening Bahaya Reaktifitas 22


Bahan Kimia.

2.5 Kategori Dalam Melakukan Kajian Aspek Keselamatan. 30

2.6 SREST-Metode Pengkajian Berlapis dengan Menggunakan 33


Prinsip Inherent Safety.

2.7 Index Bahaya dari Kategori Reaksi yang Diinginkan Pada 35


Tahap RAL.

2.8 Index Bahaya dari Kategori Campuran Tidak Sesuai Pada 35


Tahap RAL.

2.9 Rekomendasi Material Berbahaya yang Tidak Kompatibel 37


Berdasarkan UN Sistem.

2.10 Teori Domino dari W.H. Heinrich. 39

2.11 Teori Penyebab Kecelakaan Zabetakis. 41

2.12 Teori Penyebab Kecelakaan oleh Loftus dan Bird. 42

2.13 Model Perkembangan dan Investigasi Kecelakaan 43


Organisasi.

2.14 Model Keju Swiss Dalam Teori Kecelakaan Organisasi. 43

2.15 Penyebab Kecelakaan Model Firenze. 44

2.16 Hirarki Pencegahan Kecelakaan Kerja. 46

2.17 SHEL Model. 50

xix Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
2.18 Perkembangan Usaha Untuk Menurunkan Tingkat 54
Kecelakaan.

2.19 Tangga Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja. 55

2.20 Ide-ide Dalam Bentuk Post-it Note yang Ditempelkan Oleh 61


Peserta Diskusi.

2.21 Ide-ide Dalam Bentuk Post-it Note yang Ditempelkan Oleh 61


Peserta Diskusi dan Telah Dikelompokkan.

2.22 Sistem Terintegrasi Dari Sudut Pandang Pekerja. 63

2.23 Sistem Keselamatan Terintegrasi yang Dikembangkan 65


Oleh Weinstein (1996).

2.24 Kerangka Sistem Terintegrasi Process Safety 67


Management, Environment, Safety, Health and Quality.

2.25 Tahap Pengembangan Justifikasi Awal Sistem Terintegarsi. 68

2.26 Ilustrasi Dari Sistem Manajemen Terintegrasi. 69

2.27 Strategi Dalam Hal Menangani Bahaya yang Kompleks. 72

2.28 Warning Triangle Model Dalam Mengintegrasikan Faktor 74


Manusia, Organisasi dan Sistem Manajemen Menjadi
Suatu Sistem yang Bersifat Holistik.

3.1 Model Pengembangan Sstem Pengendalian Terintergasi 79


BRK.

3.2 Kerangka Teori Pengembangan Sistem Pengendalian 80


Terintegrasi Bahaya Reaktifitas Kimia dengan Sistem
Manajemen Keselamatan, Kualitas dan Lingkungan pada
Industri Kimia Hilir.

3.3 Manajemen Bahaya Reaktifitas Kimia dari CCPS 2003 81


Dikelompokan Berdasarkan Tiga Faktor Utama Penyebab
Kecelakaan Kerja.

3.4 Ilustrasi Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia 82


yang Lebih Komperhensif dan Holistik.

xx Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
3.5 Ilustrasi Sistem Pengendalian Terintegrasi Bahaya 83
Reaktifitas Kimia.

3.6 Kerangka Konsep Pengembangan Sistem Pengendalian 84


Terintegrasi Bahaya Reaktifitas Kimia Dengan Sistem
Manajemen Kualitas, Keselamatan dan Lingkungan Pada
Industri Kimia Hilir.

4.1 Rancangan Penelitian Bahaya Reaktifitas Kimia. 91

4.2 Skreening Potensi Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia. 96

4.3 Contoh Masukan KJ Analysis dari Peserta Diskusi Dalam 99


Post-it Note.

4.4 Proses Pengabungan Penyebab BRK Level Proses ke Level 99


Industri.

4.5 Hubungan Langsung. 107

4.6 Hubungan Tidak Langsung. 108

5.1 Grafik Enam Kategori Penyebab BRK dari Hasil KJ 130


Analisis

5.2 Tiga Faktor Utama Hasil Kajian Kualitatif BRK. 131

5.3 Nilai Persentase Rata-Rata Pelaksanaan Sistem Manajemen 133


K3 dari Hasil Observasi dengan Metode Checklist pada
Tiga Perusahaan.

5.4 Model Hipotesis Penyebab BRK Sesuai Skenario Terburuk 142


yang Dikembangkan.

5.5 Hubungan Variabel Komitmen K3 dengan Variabel- 143


Variabel Lain.

5.6 Hubungan Variabel Training & Kompetensi dengan 144


Variabel Lain.

5.7 Hubungan Variabel Faktor Pekerja dengan Variabel- 145


Variabel Lain.

5.8 Hubungan Variabel Prosedur dan Standar Kerja dengan 146


Faktor Pekerjan dan Lingkungan Kerja.

xxi Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
5.9 Hubungan Variabel Kenyamanan/Keamanan Lingkungan 147
Kerja dengan Variabel-Variabel Lain

5.10 Hubungan Variabel Analisi Bahaya dan Risiko dengan 148


Variabel-Variabel Lain.

5.11 Model Struktural Penyebab BRK Berdasarkan Model 152


Hipotesis.

5.12 Model struktural Penyebab BRK Modifikasi I. 159

5.13 Model Struktural Penyebab BRK Modifikasi II. 162

5.14 Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada 173


Industri Kimia Hilir

5.15 Sistem Pengendalian BRK Terintegrasi dengan ISO 9001, 180


ISO 14000, OHSAS 18001 dan SMK3 Permenaker

6..1 Layout Area Produksi PT PQR. 190

6.2 Kecenderungan Penurunan IB dan IR dengan Penerapan 193


Sistem Manajemen Kualitas, Keselamatan dan
Lingkungan.

6.3 Ilustrasi Metode Pengelompokkan Penyimpanan Bahan 213


Baku Kimia.
6.4 Rekomendasi Proses Pembuatan Prosedur Kerja Standar 218
(SOP)

6.5 Ilustrasi Layout Alur Proses dengan Sistem Series untuk 222
Industri Kimia Hilir

6.6 Tahapan Penerapan Sistem Pengendalian BRK pada 226


Industri Kimia Hilir

xxii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul
Lampiran

1 Daftar Bahan Baku dan Indeks Bahaya


2 Tabel Ketidakcocokkan Bahan Baku Kimia
3 Tabel Ketidakcocokkan Antar Bahan Kimia Dalam Produk
4 Rancangan Skenario Terburuk BRK
5 Hasil Kajian Skenario BRK dengan KJ Analysis
6 Daftar Kuosioner Penelitian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri
Kimia Hilir
7 Ceklist Manajemen Bahaya Reaktifitas Kimia
8 Surat Permohonan Ijin Penelitian
9 Lembar Persetujuan Kerjasama Penelitian
10 Daftar Hadir KJ Analysis
11 Lembar Persetujuan Pengisian Kuosioner
12 Panel Diskusi Kuosioner
13 Foto-Foto Penelitian

xxiii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Keterangan
AIChe American Institute of Chemical Engineers
BOM Bill of Material
BRK Bahaya Reaktifitas Kimia
CCPS Center for Chemical Process Safety
CFI Comparative Fit index
CRH Chemical Reactivity Hazards
CRW Chemical Reactivity Worksheet
DCI Downstream Chemical Industry
GFI Goodness-of-Fit Index
GOF Goodness-of-Fit
HI Hazards Index
IB Indeks Bahaya
IKH Industri Kimia Hilir
K3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja
KJT Koefesien Jalur Terstandarisasi
KJ Jiro Kawakita
IFI Incremental Fit Indices
LDKB Lembar Data Keselamatan Bahan
MSDS Material Safety Data Sheet
IR Indeks Risiko
ISO International Standard Organization
ISRS International Safety Rating System
LOPA Layer of protection analysis
NOAA National Oceanic Atmospheric Administration
OHSAS Occupational Health and Safety Assessment Series
Permenaker Peraturan Menteri Tenaga Kerja
PSM Process Safety Management
RHI Remaining Hazards Index
RI Risk Index

xxiv Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
RMSEA Root Mean Square Error of Approximation
RRI Remaining Risk Index
SEM Structural Equation Modelling
SIB Sisa Indeks Bahaya
SIR Sisa Indeks Risiko
SOP Standard Operating Procedure
SREST Substance, Reactivity, Equipment, System and Technology
SRMR Standardized Root Mean Residual

xxv Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR ISTILAH

Istilah Keterangan

Bahaya Kimia Bahaya yang ditimbulkan oleh bahan


kimia.

Bahaya Reaktifitas Kimia Bahaya yang ditimbulkan akibat reaksi


kimia yang tidak terkontrol.

Indeks Bahaya Angka yang menunjukkan tingkat bahaya


(0 – 1)

Indeks Risiko Angka yang menunjukkan tingkat risiko


dari hasil perkalian probabilitas BRK
dengan Indeks Bahaya (0 – 1)

Industri Kimia Hilir Industri yang memproduksi produk-


produk kimia yang dapat secara langsung
digunakan oleh konsumen.

KJ Analisis Teknik dalam menggali dan


mengorganisasi informasi verbal kedalam
bentuk visual terstruktur.

Koefesien Jalur Terstandarisasi (KJT) Koefesien yang menunjukkan hubungan


antar variable dalam model struktural
dimana makin mendekati nol makin kecil
pengaruhnya.

Parameter Proses Parameter yang digunakan untuk


mengatur dan mengontrol proses produksi
seperti tekanan, temperatur, kecepatan
aliran dst.

Prosedur Kerja Standar (SOP) Tata cara kerja yang diatur secara
sistematik, terstruktur dan dituangkan
dalam bentuk perintah kerja tertulis.

Reaktifitas Kimia Kecendrungan bahan kimia bereaksi


dengan bahan kimia lain.

Sisa Indeks Bahaya Angka yang menunjukkan tingkat bahaya


setelah dikurangi faktor teknologi
keselamatan, faktor pekerja dan faktor
sistem manajemen keselamatan.

xxvi Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
Sisa Indeks Risiko Angka yang menunjukkan tingkat risiko
dari hasil perkalian probablitas BRK
dengan Sisa Indeks Bahaya.

Sistem Manajemen Terintegrasi Sistem manajemen yang memiliki


kesamaan elemen-elemen dengan sistem
manajemen lain sehingga dapat
digabungkan.

Sistem Manajemen Keselamatan Sistem manajemen standar yang mengatur


keselamatan dan kesehatan kerja.

Sistem Manajemen Kualitas Sistem manajemen standar yang mengatur


proses pembuatan dan kontrol produk
sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.

Sistem Manajemen Lingkungan Sistem manajemen standar yang mengatur


dan mengontrol pengelolaan lingkungan.

xxvii Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Bahan kimia banyak digunakan dalam berbagai proses industri sebagai bahan
baku, produk antara dan produk akhir. Bahan kimia dapat dikelompokkan berdasarkan
wujudnya, asalnya, sifat fisik, sifat kimia, sifat bahaya dan lain-lain. Pengelompokkan
bahan kimia berdasarkan sifat bahayanya adalah beracun, korosi, mudah terbakar dan
mudah meledak. Bahaya bahan kimia secara garis besar dapat dikategorikan menjadi
dua jenis yaitu; bahaya kimia (chemical hazards) dan bahaya reaktifitas kimia
(chemical reactivity hazards). Bahaya kimia adalah bahaya yang di sebabkan oleh
sifat dasar dari bahan kimia tersebut, seperti beracun, korosif, mudah terbakar dan
mudah meledak. Selanjutnya, bahaya reaktifitas kimia adalah bahaya yang
ditimbulkan akibat adanya interaksi atau reaksi dari dua atau lebih senyawa kimia
yang berbeda, seperti reaksi polimerisasi, kondensasi, hidrolisis, tercampurnya dua
atau lebih bahan kimia yang tidak sesuai (incompatible) (Johnson et al., 2003). Akibat
dari bahaya reaktifitas kimia tersebut dapat menimbulkan ledakan, kebakaran,
pelepasan gas berbahaya yang berakibat pada kerugian baik bagi perusahaan maupun
masyarakat di sekitar area pabrik.
Bahaya reaktifitas kimia mengakibat kecelakaan yang sangat fatal pada
beberapa industri, diantaranya (Johnson et al., 2003; U.S.Chemical Safety and Hazard
Investigation Board, 2004 dan 2007; CCPS Safety Alert October 2001):
1. Pada tahun 1976 terjadi reaksi kimia yang tidak terkontrol di Saveso,
Italy, yang mengakibatkan terjadinya kontaminasi dioxin hingga beberapa
mil dari tempat kejadian.
2. Pada tahun 1984 terjadinya kebocoran Isocyanate di Bhopal, India, yang
mengakibatkan 2000 orang meninggal.
3. Pada tahun 2001 terjadi ledakan ammonium nitrate di dekat Toulouse,
Prancis, yang mengakibatkan 30 orang meninggal, 2500 cedera dan
merusak sepertiga bagian kota Toulouse.

1 Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
2

4. Pada tanggal 13 oktober 2002, terjadi ledakan di tower distilasi bahan


kimia milik First Chemical Corporation Plant di Pascagoula, Mississippi,
menyebabkan tiga orang cidera dan merusak sebagian besar pabrik dan
memicu terjadinya kebakaran.
5. Pada tanggal 23 Maret 2005 terjadi ledakan besar di BP Texas City
Refinery yang mengakibatkan 15 orang meninggal dan menciderai 180
orang lainnya.
6. Ledakan dan kebakaran besar terjadi pada pabrik pengemasan bahan kimia
agrikultur di Arkansas, menewaskan 3 pemadam kebakaran dan melukai 4
orang lainnya. Kejadian ini disebabkan oleh kemasan azinphos-methyl
(bahan insektisida) yang ditempatkan berdekatan dengan pipa panas
buangan kompresor.
7. Lima orang meninggal ketika mesin pengaduk (mixer) meledak. Mesin ini
digunakan untuk mengaduk beberapa jenis powder termasuk aluminum
powder dan sodium hydrosulfite. Ledakan dipicu oleh bocornya air
pendingin yang kemudian masuk ke dalam mesin pengaduk.
Bahaya reaktifitas kimia tidak hanya terjadi pada fasilitas dan proses industri,
tapi juga ditemukan pada fasilitas-fasilitas umum yang memiliki bahan dan sistem
yang berpotensi menimbulkan bahaya reaktifitas kimia akan tetapi tidak mengetahui
adanya potensi bahaya tersebut. Ada juga sebagian sudah mengetahui potensi bahaya
reaktifitas kimia tetapi tidak memiliki sistem dan alat keselamatan untuk
menanganinya. Pada umumnya kita memperhatikan bahaya kimia secara individu dan
seringkali mengabaikan bahaya yang dapat terjadi jika bahan tersebut tercampur atau
dicampur dengan bahan lainnya. Berikut adalah contoh dari beberapa kejadian bahaya
reaktifitas kimia pada fasilitas umum (CCPS Safety Alert October 2001):
1. Ledakan yang disebabkan oleh bocornya atap gudang penyimpanan bahan
kimia kering untuk kolam renang. Air hujan yang masuk bereaksi dengan
bahan kimia tersebut dan menyebabkan ledakan, kebakaran dan pelepasan
klorin selama 3 hari. Lebih dari 25000 orang dievakuasi dan 275 orang
luka bakar dan mengalami masalah pernapasan dilarikan ke rumah sakit.
2. 23 orang dilarikan ke rumah sakit setelah kejadian pelepasan uap bahan
kimia di sebuah kasino. Dua jenis bahan kimia pembersih dicampur secara
sengaja di basement gedung dan menghasilkan uap kimia.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
3

Kecelakaan pada industri kimia di Indonesia juga pernah terjadi walaupun


tidak banyak informasi yang dapat diperoleh. Minimnya informasi kecelakaan kerja,
khususnya kecelakaan akibat bahaya reaktifitas kimia disebabkan oleh masih kurang
baiknya sistem pengawasan dan pelaporan kecelakaan di Indonesia. Beberapa
informasi kecelakaan pada industri kimia yang dapat diperoleh dari koran lokal adalah
sebagai berikut:
1. 14 Juli 1998: Salah satu tangki (vessel) berisi zat kimia soda kustik
(NaOH) di lingkungan industri PT Asahimas Subentra Chemical (ASC),
Jalan Raya Ciwandan, meledak. Ledakan itu mencederai 29 karyawan, tiga
di antaranya cedera berat.
2. Pada tahun 2001 tangki amoniak milik PT Petrokimia Gresik meledak,
mengakibatkan sekitar 40 warga di sekitar lingkungan pabrik dirawat
dirumah sakit.
3. 20 Januari 2004: Salah satu tanki bahan kimia (maleic anhydride (MA)
dan phthalic anhydride (PA) meledak di PT Petrowidada-Gresik, menelan
korban meninggal 2 orang dan 50 orang luka berat.
Sementara data kecelakaan kerja yang dikeluarkan oleh departemen
ketenagakerjaan dan transmigrasi (DEPNAKERTRANS) menunjukkan jumlah
kecelakaan kerja di Indonesia sangat tinggi, pada tahun 2007 jumlah kecelakaan
adalah 65,474 dan tahun 2008 triwulan I 37,904 . Meskipun data yang dikeluarkan
oleh DEPNAKERTRANS tidak memberikan informasi mengenai jenis penyebab
terjadinya kecelakaan, tapi penulis berkeyakinan jumlah kecelakaan pada industri
kimia hilir yang disebabkan oleh bahaya reaktifitas kimia cukup besar.
Beberapa negara maju telah menerapkan regulasi sistem proses keselamatan
dan manajemen risiko yang juga mengatur penanganan dan manajemen bahaya kimia,
seperti di Amerika dan Eropa (Johnson et al., 2003):
1. Di Amerika Serikat; Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
Process Safety Management Standard, 29 CFR 1910.119 (OSHA 1992),
merupakan regulasi pengendalian bahan-bahan kimia berbahaya. Disini juga
terdapat daftar bahan-bahan yang sangat reaktif.
2. Regulasi Federal Amerika Serikat memuat tentang penanganan bahaya kimia
seperti EPA RMP Rule (40 CFR Part 68), EPCRA Section 311 dan 312, dan
OSHA Hazard Communication Standard (29 CFR 1910.1200). Meskipun EPA

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
4

RMP Rule tidak secara eksplisit mencakup bahaya reaktifitas kimia, namun
sejumlah sifat reaktifitas seperti beracun atau mudah terbakar termasuk
didalam peraturan ini.
3. Di Eropa, Seveso II Directive [96/082/EEC] menerapkan aturan pada fasilitas
yang menangani bahan-bahan berbahaya dengan jumlah diatas ambang batas,
termasuk bahan kimia yang dikategorikan bersifat reaktif. Disini diterapkan
persyaratan program pencegahan yang hampir sama dengan standar OSHA
PSM.
Namun regulasi yang dikeluarkan OSHA, Federal Amerika Serikat maupun
Saveso II Directive tersebut diatas belum mengatur secara spesifik bahaya reaktifitas
kimia. Maka untuk mencegah kecelakaan besar seperti kecelakaan Bhopal, American
Institute of Chemical Engineers (AIChE), pada tahun 1985 mengambil insiatif untuk
membentuk suatu badan yang disebut Center for Chemical Process Safety (CCPS).
Badan ini bertugas mengembangkan sistem pengendalian bahaya kima termasuk
bahaya reaktifitas kimia. CCPS telah mengembangkan beberapa guidelines untuk
manajemen bahaya reaktifitas seperti Guidelines for Chemical Reactivity Evaluation
and Application to Process Design (1995), Guidelines for Safety Storage and
Handling of Reactive Materials (1995), Guideline for Safe Warehousing of Chemicals
(1988) dan Guidelines for Process Safety in Batch Reaction System (1999).
Guidelines yang dikeluarkan oleh CCPS ini langsung diadopsi oleh berbagai
perusahaan besar. Namun pada tahun 2002, berdasarkan investigasi dari US Chemical
and Hazards Safety Board (CSB), ditemukan banyak sekali industri skala kecil-
menengah yang memiliki keterbatasan sumber daya tidak mampu menerapkan
guidelines ini.
Pada tahun 2003, CCPS mempublikasikan guidelines cara pelaksanaan
manajemen bahaya reaktifitas kimia (Essential Practice for Managing Chemical
Reactivity Hazards) yang lebih mudah dipahami (Berger, 2006). Dalam guidelines
baru ini terdapat 12 elemen penting dari manajemen bahaya reaktifitas kimia.
Keduabelas elemen tersebut sejalan dengan sistem manajemen yang sudah ada yaitu
Proses Safety Management Standard (PSM) yang dikeluarkan oleh CCPS, OSHA dan
Saveso II, namun masih terdapat beberapa elemen dari ketiga PSM tersebut yang
belum masuk atau terakomodasi dalam sistem manajemen bahaya reaktifitas kimia.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
5

Demikian pula sebaliknya dimana sebagian elemen-elemen yang terdapat dalam PSM
telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen bahaya reaktifitas kimia.

1.2. Permasalahan
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 74 tahun 2001 tentang
pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) dinyatakan bahwa setiap orang yang
melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menjaga keselamatan dan kesehatan kerja
(Bab V, Pasal 22, Ayat 1). Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat
dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan
atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya (Bab I, Pasal 1,
Ayat 1). Dalam PP ini cukup jelas dinyatakan bahwa perusahaan yang menggunakan
B3 berkewajiban melakukan pengendalian bahaya yang dapat ditimbulkan oleh B3
tersebut. Bahaya reaktifitas kimia adalah merupakan bagian dari B3 sesuai dengan
definisi diatas, namun demikian pengendalian bahaya reaktifitas kimia secara spesifik
belum diatur oleh pemerintah, baik pada tingkat PP maupun pada tingkat keputusan
menteri seperti sistem manajemen K3 (SMK3) yang dikeluarkan oleh DEPNAKER,
juga tidak mengatur secara spesifik pengendalian bahaya reaktifitas kimia.
Sistem manajemen keselamatan yang banyak diterapkan oleh industri kimia
hilir adalah SMK3 Permenaker dan OHSAS 18001, karena penerapan sistem ini,
khususnya SMK3 Permenaker, sudah diharuskan oleh pemerintah. Namun kedua
sistem manajemen keselamatan ini tidak mengatur secara spesifik pengendalian
bahaya reaktifitas kimia, sehingga potensi terjadinya kecelakaan akibat bahaya
reaktifitas kimia masih terbuka lebar dan tingkat risikonya tetap tinggi. Secara umum
keterbatasan dari industri kimia hilir dalam menerapkan berbagai sistem manajemen
adalah karena:
1. Keterbatasan sumberdaya manusia.
2. Keterbatasan dana.
3. Keterbatasan teknologi.
4. Keterbatasan infrastruktur penunjang.
Sementara sistem manajemen yang wajib diterapkan karena tuntutan
pelanggan demi meningkatkan persaingan dipasar adalah sistem manajemen kualitas

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
6

(ISO 9000), dan bahkan ada pelanggan terutama diluar negeri yang mewajibkan
pemasoknya untuk memiliki sertifikat OHSAS 18001 atau ISO 14000. Dengan segala
keterbatasan perusahaan harus memenuhi tuntutan tersebut, sehingga sistem
manajemen keselamatan yang sifatnya sukarela seperti halnya PSM atau Manajemen
Reaktifitas Kimia tidak lagi menjadi perioritas dan bahkan tidak mungkin lagi
diterapkan karena perusahaan sudah tidak mampu baik dari segi sumber daya maupun
finansial.
Studi bahaya reaktifitas kimia yang selama ini banyak dilakukan adalah pada
industri kimia hulu seperti industri refinery, petrokimia dan oil&gas, karena industri-
industri tersebut memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan industri kimia
hilir. Industri kimia hulu pada umumnya berskala besar dan menggunakan serta
menyimpan bahan kimia dalam jumlah yang besar, dan apabila terjadi kecelakaan
dapat menyebabkan korban dan kerugian yang sangat besar. Sehingga sistem
majemen keselamatan dan teknologi keselamatan yang diterapkanpun jauh lebih baik
dibanding industri kimia hilir.
Industri kimia hilir pada umumnya berskala kecil-menengah, teknologi yang
digunakanpun masih banyak yang konvensional atau sederhana dan sumberdaya
manusia yang terbatas terutama dari sisi pendidikan. Sebagian besar industri kimia
hilir menggunakan sistem batch dan semi batch proses, dimana proses pembuatan
produk dilakukan dalam vesel berskala kecil dan bahan baku dimasukkan secara
manual kedalam vesel atau reaktor. Umumnya jumlah produk akhir atau produk
antara sangat bervariasi, sementara vesel atau reaktor tempat pengolahan proses
produksi sangat terbatas sehingga pergantian jenis produk dalam satu reaktor atau
vesel sangat tinggi. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya kesalahan dalam proses
atau terjadinya kontaminasi produk yang satu dengan produk yang lain. Bahkan ada
industri kimia hilir yang memiliki lebih dari seratus jenis produk yang berbeda dan
hanya memiliki kurang dari 10 reaktor, sehingga siklus produksi menjadi sangat
tinggi. Dengan banyaknya jenis produk yang dihasilkan maka secara otomatis jumlah
bahan baku yang digunakan juga sangat banyak, sebagai contoh; industri cat
memiliki jenis bahan kimia lebih dari 300 jenis dan industri kosmetik memiliki jenis
bahan kimia lebih dari 150 jenis.
Dalam sistem batch proses, peranan pekerja dalam mengoperasikan proses
produksi sangat dominan, apa lagi pada industri kimia yang masih menggunakan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
7

teknologi konvensional. Mulai dari proses pengambilan bahan baku digudang,


dilanjutkan dengan penimbangan, kemudian pengiriman kebagian produksi untuk
selanjutnya dimasukkan kedalam reaktor atau vesel untuk proses produksi dilakukan
secara manual oleh pekerja atau operator dilapangan. Demikian pula halnya dengan
pengaturan parameter proses seperti temperatur, tekanan, kecepatan pengadukan,
lamanya waktu pengadukan, pengaturan kualitas pH, kekentalan, penambahan air dan
seterusnya juga dilakukan oleh operator dilapangan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa operator adalah bagian terintegrasi dari sistem kontrol untuk sistem
batch proses. Bahkan operator atau pekerja dilapangan juga harus membuat keputusan
yang sangat penting dalam proses produksi. Dengan besarnya peran pekerja dalam
sistem batch proses, maka perhatian terhadap kemampuan dan kinerja dari pekerja
menjadi faktor yang sangat penting dalam menghindari dan mencegah terjadinya
kesalahan yang dapat menimbulkan kecelakaan yang diakibatkan oleh bahaya
reaktifitas kimia.
Rasmussen (1989) menemukan empat penyebab utama kecelakaan yang
disebabkan oleh bahaya reaktifitas kimia berdasarkan hasil kajian pada 190
kecelakaan reaktifitas kimia, yaitu (1) pengotor, (2) kesalahan pencampuran, (3)
kesalahan kondisi proses dan (4) ketidak sempurnaan pencampuran. Dan 57%
kecelakaan tersebut terjadi pada sistem batch reactor dan 24% di gudang
penyimpanan. Fakor-faktor utama yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan
tersebut adalah kurangnya pengetahuan pekerja (34%), kesalahan disain (32%),
kesalahan prosedur (24%) dan kesalahan operator (16%). Hal ini menunjukan bahwa
peran pekerja dalam suatu kecelakaan sangat besar.
Dengan mengembangkan sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia yang
lebih menitik beratkan pada peran pekerja dalam sistem pengendalian, maka keempat
faktor penyebab utama kecelakaan reaktifitas kimia tersebut diatas diharapkan dapat
dihindari. Selama ini sebagian besar industri kimia terutama industri kimia hilir hanya
fokus pada pengendalian lingkungan kerja dengan menerapkan berbagai sistem
teknologi dan sistem manajemen untuk mengendalikan bahaya kimia. Pendapat
bahwa dengan menerapkan sistem teknologi dan manajemen yang baik sudah cukup
untuk mengendalikan bahaya kimia. Faktor manusia atau pekerja yang merupakan
bagian penting dari keseluruhan sistem dalam suatu organisasi masih banyak
dilupakan. Padahal menurut teori Henrich (1931), 88% kecelakaan disebabkan oleh

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
8

tindakan tidak aman dari manusia, sedangkan sisanya disebabkan oleh hal-hal lain
yang tidak berkaitan dengan manusia. Maka pada studi ini juga akan dipelajari faktor
manusia sebagai bagian yang sangat penting dalam membangun suatu sistem
pengedalian bahaya reaktifitas kimia.
Sistem yang dikembangkan ini juga harus harus dapat diintegrasikan dengan
sistem manajemen kualitas (ISO 9000), keselamatan (SMK3 Permenaker atau
OHSAS 18001) dan lingkungan (ISO14000), agar lebih mudah diterapkan dan tidak
memberatkan bagi perusahaan baik dari sisi keuangan maupun sumber daya manusia.
Secara singkat dapat pula dijelaskan permasalahan penelitian ini dalam bentuk
pertanyaan sebagai berikut:
1. Seberapa besar potensi bahaya dan risiko reaktifitas kimia pada industri kimia
hilir?.
2. Seberapa besar peran faktor pekerja dalam sistem pengendalian bahaya
reaktifitas kimia pada industri kimia hilir?.
3. Apakah sistem manajemen keselamatan standar seperti SMK3 dan OHSAS
18001 cukup efektif dalam mengendalikan bahaya reaktifitas kimia pada
industri kimia hilir?.
4. Apakah sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia dapat diintegrasikan
dengan sistem manajemen keselamatan, lingkungan dan kualitas pada industri
kimia hilir untuk mengendalikan bahaya reaktifitas kimia?.
Masalah bahaya reaktifitas kimia juga merupakan masalah keselamatan masyarakat
yang cukup besar mengingat beberapa faktor berikut ini:
1. Kerugian dan korban yang ditimbulkan akibat kecelakaan bahaya reaktifitas
kimia selalu besar dan sudah banyak terjadi bahkan di negara-negara maju.
2. Masih banyak industri kimia hilir yang berlokasi di dekat pemukiman
penduduk yang berpotensi memperbesar jumlah kerugian dan korban jika
terjadi kecelakaan.
3. Sebagian besar industri kimia hilir belum memahami metode pengendalian
bahaya reaktifitas kimia.
4. Masih rendahnya tingkat kesadaran manajemen dan pekerja akan pentingnya
sistem keselamatan kerja memperbesar potensi terjadinya bahaya reaktifitas
kimia.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
9

5. Adanya komitmen pemerintah dalam Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya di


tempat kerja yang tertuang dalam keputusan menteri tenaga kerja RI nomor:
Kep. 187/Men/1999 dan Peraturan Pemerintah RI no. 74 tahun 2001 tentang
pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Sementara belum ada
standar nasional yang secara spesifik mengatur pengendalian bahaya
reaktifitas kimia.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan sistem
pengendalian terintegrasi bahaya reaktifitas kimia pada industri kimia hilir di
Indonesia. Secara khusus studi ini dilakukan untuk:
1. Mengidentifikasi potensi bahaya reaktifitas kimia pada industri kimia hilir.
2. Mengetahui tingkat risiko dan dampak bahaya reaktifitas kimia pada industri
kimia hilir.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap potensi terjadinya
kecelakaan akibat bahaya reaktifitas kimia dari aspek lingkungan kerja,
manajemen dan pekerja pada industri kimia hilir.
4. Mengembangkan sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia yang dapat
diintegrasikan dengan sistem manajemen keselamatan, lingkungan dan
kualitas pada industri kimia hilir.
5. Memberikan rekomendasi metode penerapannya bagi upaya pengendalian
bahaya reaktifitas kimia pada industri kimia hilir di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi dunia industri kimia
pada umumnya dan industri kimia hilir khususnya dalam mengendalikan bahaya
reaktifitas kimia. Secara khusus studi ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran manajemen dan pekerja akan tingginya risiko bahaya
reaktifitas kimia pada industri kimia hilir.
2. Mendapatkan informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
potensi terjadinya bahaya reaktifitas kimia pada industri kimia hilir.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
10

3. Mendapatkan informasi tingkat risiko dan dampak bahaya reaktifitas kimia


pada industri kimia hilir.
4. Mendapatkan informasi cara pengendalian dan pencegahan jika terjadi bahaya
reaktifitas kimia pada industri kimia hilir.
5. Memberikan sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia yang dapat
diintegrasikan dengan sistem manajemen yang sudah ada pada industri kimia
hilir.
6. Memberikan masukkan pada pemerintah akan pentingnya sistem pengendalian
bahaya reaktifitas kimia.

1.5. Lingkup Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada 3 perusahaan industri kimia hilir berbeda yang
menggunakan bahan baku kimia dan proses kimia dan/atau fisika. Ruang lingkup
penelitian ini adalah mengembangkan sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia
yang bersifat holistik dengan mensinergikan faktor lingkungan kerja, sistem
manajemen dan pekerja, serta dapat diintergrasikan dengan sistem manajemen lain
(SMK3 Permenaker, OHSAS 18001, ISO 9000 dan ISO 14000).
Secara garis besar tahapan yang dilakukan dalam studi ini adalah sebagai
berikut:
1. Melakukan pendekatan pada perusahaan-perusahaan industri kimia hilir yang
bersedia bekerjasama dalam penelitian ini.
2. Melakukan pengumpulan data primer dan sekunder untuk mendapatkan
informasi mengenai sistem manajemen dan faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap terjadinya kecelakaan akibat bahaya reaktifitas kimia dari aspek
lingkungan kerja, manajemen dan pekerja.
3. Mengembangkan sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia yang dapat
diintegrasikan dengan sistem manajemen keselamatan, lingkungan dan
kualitas serta memberikan rekomendasi metode penerapan untuk
meningkatkan pengendalian bahaya reaktifitas kimia pada industri kimia hilir.
Pemilihan industri kimia hilir pada studi ini berdasarkan pada kondisi dan pemikiran
bahwa:
1. Sebagian besar industri kimia hilir memiliki pemahaman bahwa bahaya
reaktifitas kimia hanya ada pada industri kimia hulu.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
11

2. Sebagian besar industri kimia hilir belum memiliki sistem manajemen yang
baik dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Sebagian besar industri kimia hilir menggunakan teknologi yang masih
konvensional sehingga memiliki risiko bahaya reaktifitas yang lebih tinggi.
4. Pada umumnya industri kimia hilir berskala kecil-menengah sehingga
memiliki keterbatasan sumber daya manusia terutama tingkat pendidikan.
5. Sebagian besar industri kimia hilir berlokasi dekat dengan pemukiman
penduduk sehingga berpotensi memperbesar jumlah kerugian jika terjadi
kecelakaan.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bahaya Reaktifitas Kimia


Bahaya reaktifitas kimia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah situasi
dimana potensi terjadinya reaksi kimia yang tidak terkontrol yang dapat
mengakibatkan terjadinya kecelakaan, dan secara langsung atau tidak langsung
menyebabkan kerugian pada pekerja, asset perusahaan dan lingkungan. Reaksi tidak
terkontrol tersebut dapat disertai oleh naiknya temperatur dan tekanan, pelepasan gas
atau energi. Bahaya reaktifitas bahan kimia analog dengan bahaya bahan kimia
lainnya seperti beracun, mudah terbakar, mudah meledak dan sebagainya (Johnson et
al., 2003). Bahaya reaktifitas kimia adalah suatu konsep yang kompleks, sampai saat
ini belum ada satupun parameter tunggal yang dikembangkan yang secara lengkap
dapat mengkarakterisasi semua aspek reaktifitas kimia (Daniel and Crowl, 2004).
Potensi terjadinya reaksi tidak terkontrol dapat terjadi dalam banyak bentuk
yang melibatkan satu atau lebih sifat dari bahan kimia tersebut dan kondisi dimana
bahan kimia tersebut diproses atau digunakan. Hal ini dapat dilihat dari kesimpulan
yang diambil oleh U.S. Chemical Safety and Hazards Investigation Board dari hasil
investigasi bahaya reaktifitas bahan kimia yang menyatakan bahwa pendekatan
regulasi yang menggunakan daftar bahan kimia untuk bahaya reaktifitas adalah
kurang tepat. Sehingga perlu adanya perbaikan terhadap manajemen bahaya
reaktifitas bahan kimia dimana tidak hanya mengacu pada daftar bahan kimia sesuai
dengan regulasi yang ada akan tetapi juga melihat pada bahaya dari kombinasi bahan-
bahan kimia dan kondisi proses pada industri.
Ada tiga parameter yang dijadikan sebagai acuan untuk mendisain proses
kimia yang aman (AIChE, 1995):
1. Energi potensial dari bahan kimia yang digunakan.
2. Laju potensial reaksi dan / atau dekomposisi.
3. Peralatan produksi dan proses.
Faktor pertama yang dipertimbangkan untuk mendisain proses kimia yang aman
adalah energi yang terlibat dalam proses reaksi kimia tersebut. Ada dua jenis energi

12 Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
13

yang harus diperhatikan yaitu eksotermik and endotermik. Kedua jenis energi ini
dapat diperoleh dari literatur, perhitungan termodinamika atau pengukuran dengan
peralatan/instrumen di laboratorium. Faktor kedua adalah laju reaksi dari suatu
reaksi kimia, dimana laju reaksi tersebut tergantung pada temperatur, tekanan dan
konsentrasi. Laju reaksi baik dalam kondisi normal maupun abnormal harus
ditentukan atau diperhitungkan untuk mendisain suatu proses kimia yang lebih aman.
Faktor ketiga adalah disain proses dan peralatan produksi yang dapat
mengakomodasi dan mengantisipasi faktor pertama dan kedua diatas seperti
pemindahan panas yang dihasilkan oleh reaksi eksotermik.
Ketiga parameter diatas saling berinteraksi satu sama lain, sebagai contoh;
sejumlah energi potensial yang besar bisa dipindahkan dalam proses yang normal jika
laju pelepasan energi relatif kecil dan dikontrol dengan kapasitas pendingin yang
mencukupi. Untuk mengetahui apakah kapasitas pendingin mencukupi untuk
memindahkan pelepasan energi, pendekatan dengan studi bahaya reaktifitas kimia
dapat dilakukan. Dalam banyak kasus, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
teoritis seperti studi literatur, database dan program software. Meskipun pendekatan
teoritis ini tidaklah sepenuhnya memadai untuk merancang proses kimia. Dalam
tahapan tertentu diperlukan eksperimen dan pengukuran tergantung dari reaktifitas
kimia yang terkait untuk mendapatkan disain proses yang lebih sempurna.
Adapun parameter yang kritikal dari suatu reaksi kimia, akan berbeda
bergantung pada kondisi proses/reaksi. Sebagai contoh, pada kasus penyimpanan
bahan kimia, parameter yang perlu di kontrol adalah temperatur luar dan pemisahan
bahan kimia yang tidak kompatibel untuk mencegah terjadinya reaksi yang tidak
diinginkan. Untuk area produksi yang melakukan pencampuran kimia dengan tujuan
tertentu (intentional chemical reaction), parameter kontrol yang utama adalah laju
penambahan reaktan dan temperatur dari reaktor.
Berdasarkan CCPS, untuk melakukan kontrol bahaya reaktifitas yang
berkaitan dengan pelepasan produk atau energi, yang perlu diperhatikan adalah:
1. Kondisi awal reaksi
Kondisi awal reaksi memperhitungkan jenis dan banyaknya reaktan dalam
proses yang ada, jumlah dan konsentrasi reaktan (Creaktan) yang digunakan,
energi aktivasi yang dibutuhkan untuk terjadinya reaksi (Ea atau energi
aktivasi Arrhenius diberikan dalam J/mol) dan tekanan dari inert gas

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
14

(seperti N2) yang digunakan untuk menjamin bahwa reaktor bebas dari
oksigen (O2).
2. Jalur reaksi.
Dengan mengikuti jalur reaksi dan pengambilan sampel selama terjadinya
reaksi (sampling) dapat dipastikan bahwa telah dihasilkan produk yang
diinginkan atau produk yang tidak diinginkan atau bahkan produk samping
yang berbahaya. Proses kimia yang dapat terjadi pada tahap ini beragam,
misalnya reaksi desalinasi, desulfirisasi, alkilasi, isomerisasi,
polimerisasi, hidrogenasi dan sebagainya. Jalur reaksi yang paling
mungkin secara termodinamika adalah jalur reaksi dengan nilai energi
bebas Gibbs (G) yang terendah. Kondisi awal reaksi seperti konsentrasi
reaktan (Creaktan) dan tekanan dalam reaktor (Preaktor) juga mempengaruhi
jalur reaksi. Jalur reaksi juga bisa diprediksi dengan menggunakan
analytical tools yang ada seperti ASTM CHETAH program (Balaraju et
al. 2002).
3. Termodinamika reaksi.
Dalam hal ini diperhitungkan jumlah panas yang dilepaskan saat terjadi
reaksi (energi reaksi total ) dan produk yang dihasilkan yang bersifat
stabil. Energi reaksi dapat berupa energi polimerisasi atau energi
dekomposisi atau energi lain bergantung pada jenis reaksinya( ∆H).
4. Kinetika reaksi.
Dalam hal ini diperhitungkan laju reaksi, yang berkaitan dengan laju
pelepasan panas dan terbentuknya produk. Laju reaksi dari suatu reaksi
kimia bergantung pada beberapa parameter seperti temperatur (T), tekanan
(P) dan konsentrasi (Creaktan). Laju reaksi harus diperhitungkan baik dalam
kondisi normal maupun abnormal.
Selain melakukan kontrol terhadap pelepasan produk dan/atau energi,
dilakukan kontrol terhadap interaksi antara produk dan/atau energi yang dihasilkan
oleh proses/reaksi dengan lingkungan, dimana perlu dilakukan kontrol terhadap :
a. Kondisi lingkungan
Kondisi lingkungan termasuk penyimpanan, penanganan dan pengemasan,
misalnya gudang atau tangki penyimpanan bahan kimia dimana tidak ada

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
15

proses pencampuran atau reaksi kimia yang dilakukan (Johnson et al.,


2003).
b. Peralatan proses produksi dan sistem kontrol yang digunakan
Seperti yang telah dijelaskan dalam termodinamika reaksi, sejumlah panas
yang dilepaskan saat terjadi reaksi atau disebut dengan energi reaksi total.
Dalam hal ini, besarnya energi yang dihasilkan dalam suatu reaksi, apakah
itu pada kondisi normal maupun abnormal harus diperhitungkan pada saat
mendisain proses dan peralatan produksi. Sehingga peralatan produksi
yang ada dapat mengakomodasi besarnya energi yang dilepaskan seperti
melalui pemindahan panas yang dihasilkan oleh reaksi eksotermik dan
juga mengantisipasi kenaikan tekanan yang disebabkan oleh penguapan
dari campuran yang ada didalam reaktor.
c. Transfer panas dan massa
Hubungan antara peralatan proses dengan kontrol energi juga produk yang
dihasilkan dalam suatu reaksi kimia menentukan dimana panas dan massa
akan berada. Persamaan Arrhenius menunjukkan bahwa laju reaksi
pembentukan panas yang diikuti dengan kenaikan temperatur yang
eksponensial akan tetap berlangsung selama masih ada reaktan. Pada
sistem reaksi eksotermik yang terkontrol dengan baik terdapat pemindahan
panas yang baik ke lingkungan disekitarnya, apakah melalui dinding
reaktor atau melalui cooling coil atau sistem pendingin lain yang
menggunakan air pendingin ataupun bahan kimia lainnya. Namun
demikian, perlu juga diperhatikan bahwa pemindahan panas hanya dapat
terjadi jika terdapat perbedaan panas yang linear antara sistem dengan
pendingin. Sehingga sangat perlu diperhatikan kapasitas pemindahan
panas yang dimiliki oleh sistem pendingin yang digunakan yang
disesuaikan dengan energi reaksi total yang dihasilkan selama
berlangsungnya reaksi, baik yang diinginkan maupun yang tidak
diinginkan.
Ada tiga situasi yang melibatkan bahaya reaktifitas bahan kimia yaitu
(Johnson et al., 2003):

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
16

1. Penyimpanan, penanganan dan pengemasan (misalnya gudang atau tangki


penyimpanan bahan kimia dimana tidak ada proses pencampuran atau
reaksi kimia yang dilakukan).
2. Pencampuran dan proses fisika (misalnya pencampuran, pengenceran,
blending, pengeringan, distilasi, absorpsi, filtrasi, crushing, atau
pemanasan dimana tidak dilakukan reaksi kimia).
3. Proses reaksi kimia (misalnya reaksi desalinasi, desulfirisasi, alkilasi,
isomerisasi, polimerisasi, hidrogenasi dan sebagainya)

2.2. Dampak Reaksi Kimia Tidak Terkontrol


Reaksi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya bahaya reaktifitas
kimia. Sebagai dampak dari reaksi kimia yang tidak terkontrol adalah pelepasan
energi, panas dan gas dalam jumlah besar, yang selanjutnya dapat memicu terjadinya
ledakan, kebakaran dan pelepasan gas beracun (Joseph, 2003).
Bahaya reaktifitas muncul karena adanya kecenderungan bahan kimia untuk
bereaksi atau mengalami dekomposisi. Ada empat jalur potensi bahaya reaktifitas
yang dapat terjadi seperti terlihat pada Gambar 2.1, yaitu (Carson, 2002):
1. Reaksi eksotermik dengan udara.
2. Reaksi dengan air.
3. Bercampur dengan bahan kimia lain.
4. Bereaksi sendiri atau mengalami dekomposisi.
Dampak bahaya yang dapat ditimbulkan oleh keempat jalur reaksi tersebut diatas
adalah ledakan, pelepasan gas mudah terbakar dan pelepasan gas beracun. Sebagai
contoh adalah senyawa-senyawa hidrida yang bereaksi dengan air atau udara
kemudian memicu terjadinya ledakan dan kebakaran (lihat tabel 2).

2.2.1. Ledakan dan Kebakaran


Dalam sistem manajemen keselamatan, pencegahan kebakaran dan ledakan
serta upaya mitigasi untuk mengurangi dampak kebakaran dan ledakan mendapat
perhatian yang sangat besar. Dalam banyak kasus rangkaian kejadian bermula dari
semburan bahan yang bersifat mudah terbakar atau meledak, kemudian diikuti dengan
pembentukan dan penyalaan awan mudah terbakar yang menghasilkan ledakan dan
kebakaran. Memahami proses rangkaian kejadian kecelakaan seperti halnya

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
17

kebakaran dan ledakan merupakan hal yang sangat penting untuk dapat merancang
sistem keselamatan (Eckhoff, 2005).

Over-pressurization*
Of container
Over-pressurization*
Of container

Ignition Of Flammable gases


Flammable gases Toxic
infalmes Gases
Vigorous
reaction

Exothermic
Reaction with Air Reaction with water

Specific
chemical

Self raction or
Admixture with Flammable gases
decomposition
another specific
chemical

Explosion Toxic
Gases
Violent Toxis Flammable
Reaction/explosion Gases Gases

Over-pressurization of countainer*

Over-pressurization*
Of container

*Unless venting/pressure relief is provided

Gambar 2.1 . Potensi Bahaya Reaktifitas Kimia


Sumber : Carson, 2002

Ledakan adalah suatu proses pelepasan sejumlah besar energi secara tiba-tiba
sehingga menghasilkan kebisingan (noise) dan gelombang tekanan. Energi yang
dilepaskan dapat berupa energi kimia atau mekanik (Eckhoff, 2005) . Pada proses
reaksi kimia yang bersifat eksotermik (Gambar 2.2), pelepasan energi yang tidak
terkontrol dapat menyebabkan (Johnson, 2006) :
• Gelombang ledakan
• Evaporasi dari fasa cair
• Kenaikan temperatur

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
18

• Kenaikan laju reaksi


• Menginisiasi reaksi lain
• Melebihi batas ketahanan panas dari bahan
• Tekanan yang memicu kearah ledakan

Tabel 2.1. Konsekuensi Dari Reaksi Berbagai Jenis Senyawa Hidrida Dengan Air dan
Udara.

Reaction (Ambient Temperature)


Substances Humid Air Water
Alumunium borohydrite (A|(BH4)3) Explosive Explosive
Alumunium hydrite (A|H3) Slow Moderate
Antymoni hydrite (stibine) (sbH3) Rapid Very slow
Arsenic hydrite (arsine) (AsH3) Moderate Very slow
Barium hydrite (BaH2) Rapid Rapid
Barylium borohydrite (Be(BH4)2) Explosive Explosive
Barylium hydrite (BaH2) Slow Slow
Calcium hydrite (CaH2) Moderaty fast Rapid
Carium hydrite (CeH3) Pyrophoric Slow
Caesium hydrite (CsH) Imflames Violent
Copper hydrite (CuH) Rapid Slow
Diborane (B2H6) Explosive Moderate
Lead hydrite (PbH4) Instant (unstable gas) -
Lithium Alumunium hydrite (LiaH4) Rapid Violent
Lithium borohydrite (LiBH4) Rapid Vigorous
Lithium hydrite (LiH) Can ignite Rapid
Magnesium Alumunium hydrite (Mg(A|H4)2) Vigorous Vigorous
Magnesium borohydrite (Mg(BH4)2) Very slow Violent
Magnesium hydrite (MgH2) Know to ignite Rapid
Pantaborane (B5H9) Ignites Rapid
Phosphorus hydrite (Phospine)(PH3) Pyrophoric Very slow
Potassium borohydrite (KBH3) Very slow Very slow
Potassium hydrite (KH3) Imflames Vigorous
Rubidium hydrite (RBH3) Imflames Violent
Silicon hydrite (silane)(SiH3) Explosive Rapid
Sodium Alumunium hydrite (NaA|H4) Rapid Ignites, may explode
Sodium borohydrite (NaBH4) Slow Slow
Sodium hydrite (NaH) Ignites Violent
Uranium hydrite (UH3) Pyrophoric Moderate
Sumber: Carson, 2002

Pelepasan energi secara tidak terkontrol tersebut dapat terjadi apabila energi
yang dihasilkan atau dilepaskan dari suatu proses reaksi kimia eksotermik tidak dapat
diserap oleh lingkungan, misalnya tidak optimalnya sistem pendingin dari suatu
reaktor polimerisasi. Pada suatu proses reaksi eksotermis yang normal dan terkontrol,
energi yang dilepaskan dapat diserap oleh lingkungan seperti sistem pendingin pada
dinding reaktor. Berdasarkan persamaan Archenius, laju panas yang dihasilkan naik
secara eksponensial dengan kenaikan temperatur selama reaktan masih tersedia.
Sementara proses laju pemindahan panas bersifat linier terhadap kenaikan
pemindahan panas pada permukaan dengan perbedaan temperatur antara pendingin

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
19

dan sistem (Gambar 2.3a). Selama kapasitas sistem pendingin (pemindah panas) dapat
mengimbangi kenaikan laju pelepasan panas oleh sistem, maka pelepasan energi tidak
terkontrol (ledakan) tidak akan terjadi.

Exothermic
ACTIVATED Reaction
COMPLEX
Activation
REACTIONTS Energy

Generalized diagram of path from Heat of


reactants to products for a sample
exothermic reaction.
Reaction
An activation energy bamer must be (NEGATIVE)
over come for the reaction to
proceed. The lower the activation
energy barrier, the faster the reaction
proceeds.
The energy difference between the
reactants and the products is heat of
reaction
PRODUCTS
REACTION COORDINATE

Gambar 2.2. Kurva Reaksi Kimia Eksotermik.

Sumber : Johnson, 2006

Persamaan Archenius: k = Z exp (-E/RT) (2.1)

Dimana k = Konstanta laju reaksi spesifik

Z = Faktor eksponensial

E = Energi Aktivasi

R = Konstanta Gas Ideal (8.31 J/mol.K

T = Temperatur (K)

Jika terjadi masalah pada sistem pendingin (pemindah panas) misalnya temperatur
pendingin naik atau koefisien pemindah panas turun sampai pada titik yang disebut
TNR [(temperature no return), yaitu temperatur dimana pelepasan panas yang
dihasilkan dari sistem tidak dapat dikontrol atau diabsorb lagi oleh lingkungan
(Gambar 2.3b)] maka kestabilan reaksi tidak bisa lagi dipertahankan. Reaksi kimia
menjadi tidak terkontrol dan berujung pada pelepasan energi yang sangat besar dan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
20

cepat yang kemudian menyebabkan suatu ledakan (Johnson, 2006). Apabila sistem
tersebut memiliki bahan kimia yang bersifat mudah terbakar, maka ledakan akan
disertai oleh kebakaran.

1
Heat Removal Heat Removal

Heat Generation
Heat Generation 2

Stable
Operation

TEMPERATURE
TEMPERATURE
Coolant Coolant TNR
Temperature Temperature
(A) (B)

Gambar 2.3 . Kurva Hubungan Pelepasan Panas dan Penyerapan Panas Pada Proses
Reaksi Eksotermik Dengan Sistem Pendingin.

Sumber : Johnson, 2006

2.2.2. Pelepasan Gas Beracun


Seperti yang terdapat pada diagram potensi bahaya reaktifitas kimia (Gambar
2.1), hampir semua proses reaksi kimia dapat menghasilkan pelepasan gas, baik yang
mudah terbakar atau beracun. Pelepasan gas beracun dapat terjadi pada proses reaksi
bahan kimia tertentu dengan air, reaksi yang diakibatkan bercampurnya bahan kimia
tertentu dan reaksi polimerisasi atau dekomposisi. Tabel 2.2 memberikan beberapa
contoh bahan kimia yang apabila bercampur akan menghasilkan bahan kimia lain
yang bersifat beracun (Carson, 2002). Sebagai contoh kasus pelepasan gas beracun
adalah tragedi atau kecelakaan yang terjadi di Bhopal India pada tahun 1984.
Terdapat dua teori yang menjelaskan tragedi Bhopal yaitu terjadinya
kontaminasi terhadap methyl isocyanate (MIC) oleh air didalam tangki penyimpan
yang berkapasitas 15000 gal (56,5 m3) dan terjadinya reaksi eksotermik tidak
terkontrol yang menyebabkan kenaikan temperatur sistem sampai diatas titik
didihnya. Hal tersebut menyebabkan pelepasan sekitar 40 metrik ton uap MIC yang

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
21

sangat beracun. Kejadian ini menewaskan 4000 orang yang berada di lingkungan
pabrik Union Carbide di Bhopal India (Johnson, 2006).

Tabel 2.2. Contoh Bahan Kimia Pada Kolom 1 yang Apabila Bercampur Dengan
Bahan Kimia Kolom 2 akan Melepaskan Bahan Kimia Beracun (Kolom 3).

Column 1 Column 2 Column 3


Arsenical materials Any Reducing Agent Arsine
Azides Acids Hydrogen azide
Cyanides Acids Hydrogen cyanide
Chlorine or hypochlorous
Hypochlorites Acids
acid
Nirates Acids Nitrogen Dioxide
Copper, Brass, Any heavey Nitrogen Dioxide (nitrous
Nitrric acid
Metals fumes)
Nitrites Acids Nitrous fumes
Caustic alkalis or Reducing
Phosphorus Phosphine
agent
Selenides Reducing agent Hydrogen selenide
Sulphides Acids Hydrogen Sulphide
Tellurides Reducing agent Hydrogen Telluride

Sumber: Carson, 2002

2.3. Metode Skrening Awal Bahaya Reaktifitas Kimia


Langkah pertama untuk mengetahui apakah pada suatu industri terdapat
bahaya reaktifitas bahan kimia atau tidak adalah dengan melakukan skrening awal
(preliminary screening) dengan mengajukan 12 pertanyaan seperti terlihat pada flow
chart Gambar 2.4 (EPA 550-F-04-004, May 2004). Preliminary screening merupakan
metode cepat dalam mengidentifikasi ada tidaknya bahaya reaktifitas dalam proses
tertentu.
Terdapat dua belas pertanyaan yang harus di jawab secara komprehensif yang
melibatkan beberapa departmen (produksi, laboratorium, enjinering, penyimpanan,
dan sebagainya) untuk dapat memutuskan ada tidaknya bahaya reaktifitas pada proses
tersebut. Jika terdapat bahaya kimia reaktifitas pada proses tertentu maka perlu
dilanjutkan dengan kajian bahaya reaktifitas dan cara penanganan bahaya reaktifitas
tersebut. Dua belas pertanyaan yang harus dijawab adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
22

Gambar 2.4. Flowchart Priliminary Screening Bahaya Reaktifitas Bahan Kimia.


Sumber : EPA 550-F-04-004, May 2004

1. Apakah ada proses reaksi kimia yang dilakukan pada proses tersebut?
(Catalytic cracking, Electrochemistry, Polimerisasi, dst)
2. Apakah ada proses pencampuran dari bahan kimia yang berbeda?
(Blending, Pengenceran pelarut, dst)
3. Apakah ada proses fisika lain yang dilakukan?
(Distilasi, pengeringan, penyaringan, penggerusan, dst)
4. Apakah ada bahan berbahaya yang disimpan atau digunakan?

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
23

(mudah terbakar, korosive, beracun, dst)


5. Apakah hanya proses pembakaran dengan udara yang dilakukan?
6. (Boiler, flare, burner, dst) Apakah ada panas yang dihasilkan dari proses
pencampuran atau proses fisika yang dilakukan?
7. Apakah ada bahan kimia yang bersifat terbakar secara spontan apabila
kontak dengan udara?
8. Apakah ada bahan kimia pembentuk peroksida?
9. Apakah ada bahan kimia yang bersifat reaktif terhadap air?
10. Apakah ada bahan kimia yang bersifat pengoksidasi?
11. Apakah ada bahan kimia yang bersifat self-reactive?
12. Dapatkah bahan kimia yang tidak compatibel saling kontak satu sama lain?

2.4. Metode Kajian Bahaya Reaktifitas Kimia


Berbagai teknik kajian bahaya reaktifitas telah dilakukan oleh banyak peneliti.
Sebagian besar kajian bahaya reaktifitas difokuskan pada metode identifikasi bahaya
reaktifitas kimia pada suatu proses industri, baik pada proses yang sudah berjalan
mapun pada proses yang masih dalam tahap pengembangan. Kajian juga dilakukan
pada berbagai teknik pengukuran reaktifitas bahan kimia dalam skala laboratorium
dengan melakukan pengukuran terhadap energi reaksi dan hasil reaksi dari suatu
bahan kimia atau campuran bahan kimia. Teknik lain yang dilakukan adalah evaluasi
bahya kimia secara teoritis, metode yang digunakan diantaranya adalah oxygen-
balance method, ASTM CHETAH (software), Calculated Adiabatic Reaction
Temperature (CART) dan Quatitative Structure-Property Relationship (QSPR) (Saraf
et al., 2003). Metode semi komputerisasi diperlukan untuk evaluasi bahaya reaktifitas
secara efisien, meskipun pada metode ini hanya membuat hubungan antara Tonset dan
Energi reaksi dengan deskripsi molekul. Metode yang sama dapat diaplikasikan untuk
mengembangkan hubungan parameter eksperimen seperti self-accelerating
decomposition temperature (SADT), time to maximum rate (TMR), dan kinetic rate
constants. Beberapa peneliti juga melakukan kajian terhadap kecelakaan akibat
bahaya reaktifitas kimia yang pernah terjadi dan mempelajari faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya kecelakaan tersebut dan mengembangkan metode
pengendaliannya.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
24

Perkembangan kajian bahaya reaktifitas kimia cukup pesat, hal ini dapat
dilihat dengan banyaknya tersedia informasi dan alat bantu yang dapat digunakan
untuk melakukan kajian bahaya reaktifitas kimia, misalnya NOAA workheet software
untuk melakukan kajian ketidak cocokan bahan kimia, ASTM CHETAH software
untuk memprediksi energi yang dihasilkan dari suatu reaksi bahan kimia, Bretherick
handbook database, US CHRIS database, dan masih banyak lagi software atau
guideline yang dapat digunakan untuk melakukan kajian bahaya reaktifitas kimia.
Kajian bahaya reaktifitas kimia diawali dengan mengumpulkan data sifat
kimia dan fisika dari bahan-bahan kimia yang digunakan di laboratorium, juga perlu
dipelajari fungsi dari setiap bahan kimia dalam suatu proses, apakah sebagai pelarut,
pereaksi, katalis, dan sebagainya. Kemudian jenis reaksi yang terjadi apakah
eksotermik atau endotermik, kecepatan, tekanan dan temperatur reaksi. Data yang
diperoleh ditransformasikan ke dalam bentuk potensi bahaya yang dapat terjadi;
keracunan, daya nyala, ledakan, reaktifitas dan kondisi reaksi (Legget, 2004).
Beberapa contoh penelitian bahaya reaktifitas kimia yang pernah dilakukan
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Studi Chemical Incompatibilities
Winder Dan Zare (2000), melakukan studi chemicals incompatibilities dengan
menggunakan tiga acuan kelompok bahaya kimia, yaitu; UN Dangerous
Goods System (14 kategori), US CHRIS System (24 kategori) dan
Environmental Risk System (25 kategori). Ketiga kelompok tersebut memiliki
filosopi yang berbeda. Metode yang digunakan dalam studi ini sangatlah
sederhana, tahap pertama menggabungkan UN DG dengan US CHRIS untuk
mendapatkan sistem penggabungan ketidak cocokan bahan kimia berdasarkan
sifat bahaya fisika dan reaktifitas kimia. Tahap kedua mengabungkan sistem
baru tersebut dengan hazardous waste incompatibility system of Hatayama et
al. untuk mendapatkan sistem yang lebih comprehensive. Sistem ketiga
mempertimbangkan sifat-sifat lingkungan sehingga diperoleh tabel ketidak
cocokan bahan kimia yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan
bahaya fisika, kimia, reaktifitas kimia dan lingkungan.
b. Kajian Risiko Pengiriman dan Penerimaan Bahan Kimia Berbahaya

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
25

Theodore et al., (2007), melakukan kajian kualitatif terhadap risiko bahan


baku berbahaya yang dikirim dan diterima menggunakan mobil tangki.
Metodologi yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi jenis bahan baku yang datang termasuk jenis
tangki, ukuran dan jumlah untuk setiap mobil tangki yang datang.
2. Untuk setiap jenis material berbahaya dilakukan kajian dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
• Menentukan jenis bahaya dan tingkat kritisnya.
• Membuat rata-rata jumlah material yang datang setiap
bulan.
• Menghitung probabilitas tumpahan skala besar.
• Memperkirakan radius dampak dari skenario terburuk.
Kajian dilakukan pada beberapa jenis bahan baku yaitu: vinyl chloride,
propylene, sodium hydroxide, monoethylene glycol, hexene dan hexane. Dari
studi diperoleh data seperti nama bahan baku, jenis tangki, muatan, jenis
bahaya dan bahaya kritis, nilai probabilitas risiko dan frekuensi tahunan serta
radius dampak skenario terburuk. Kajian ini difokuskan pada kemungkinan
pelepasan bahan kimia berbahaya dalam jumlah besar, dalam suatu proses
pengiriman dan penerimaan bahan kimia berbahaya menggunakan truk tangki.
Juga dilakukan perhitungan probabilitas frekuensi tahunan kemungkinan
terjadinya pelepasan bahan kimia berbahaya dalam proses tersebut.
c. Studi Identifikasi Bahaya Proses Kimia
Rasmussen (1989) melakukan studi identifikasi bahaya proses kimia pada 190
kasus kecelakaan reaksi kimia yang tidak diinginkan. Kajian dilakukan dalam
3 tahap:
1. Mengumpulkan informasi bahan-bahan kimia, sifat kimia dan fisik,
sistem proses, kondisi proses dan tempat kejadian.
2. Kajian dan investigasi terhadap penyebab dan konsekuensi
3. Kajian terhadap metode risk assessment seperti HAZOP, Action
Error Analysis dan pengujian di laboratorium seperti DSC dalam
mengindentifikasi bahaya reaksi kimia yang tidak diinginkan.
Dari hasil studi ini ditemukan:
• 57% kejadian pada sistem batch reactor.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
26

• 24% kasus terjadi pada tahap penyimpanan bahan baku.


• Efek terhadap manusia dari kasus ini mulai dari cidera ringan
sampai berat.
• Ditemukan penyebab terjadinya reaksi yang tidak diinginkan :
pengotor (20%), kesalahan pencampuran (19%), kesalahan kondisi
proses (19%) dan ketidaksempurnaan pencampuran (13%)
Dari hasil investigasi reaksi kimia yang tidak diinginkan ditemukan bahwa:
• Risiko reaksi kimia yang tidak diinginkan dapat terlihat jelas dari
hasil metode kajian risiko (HAZOP) dan hasil pengujian lab.
• Penyimpanan bahan kimia berbahaya lebih rentan terhadap reaksi
kimia tidak diinginkan.
• Perlu dikembangkan metode baru dalam manajemen sistem.
• Perlu dikembangkan metode identifikasi terhadap kontaminasi
pada produk.
d. Studi Pengembangan Sistem Penyimpanan Bahan Kimia
Moder et al. (2007) melakukan studi untuk mengembangkan guidance untuk
penyimpanan bahan-bahan yang tidak kompatibel dengan tujuan melakukan
kajian terhadap strategi dan lokasi penyimpanan dan menentukan serta
mengembangkan strategi baru yang didasarkan pada bahaya kompatibilitas
bahan kimia (material compatibility) untuk penyimpanan bahan berbahaya di
gudang. Ada 4 tahapan pekerjaan yang dilakukan dalam mengembangkan
guidance dan tool baru ini:
1. Menganalisa strategi penyimpanan yang ada.
2. Menentukan usulan strategi baru berdasarkan matrik kompatibilitas
bahan berbahaya.
3. Mengacu pada tabel contoh skala kecil
4. Menuntaskan strategi baru berdasarkan literatur, data lab, rekayasa dan
kontrol administrasi.
Acuan yang digunakan dalam studi ini adalah guideline dari CCPS “Essential
Practices for Managing Chemical Reactivity Hazards’’. Dari hasil studi ini
diperoleh strategi baru dalam penyimpanan bahan berbahaya yang tidak
kompatibel yaitu; isolasi, pengasingan, pemisahan dan persyaratan pemisahan.
Dan diperoleh juga 6 langkah baru dalam proses penyimpanan, yaitu:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
27

1. Identifikasi nama bahan dan jumlah.


2. Menentukan kategori penyimpanan bahan berbahaya.
3. Menggunakan compatibility chart untuk mengidentifikasi 1 dari 4
tempat penyimpanan yang di rekomendasikan.
4. Cek guideline dari “small quantities”
5. Menentukan strategi penyimpanan.
6. Membuat matrik kompatibilitas bahan berbahaya.
Berdasarkan umpan balik dari gudang penyimpanan terlihat bahwa strategi
baru ini telah menunjukkan indikasi pengurangan risiko dari bahan berbahaya.
e. Kajian Rute Proses Kimia
Srinivasan dan Nhan (2007) melakukan studi jalur proses yang lebih aman
dalam pembuatan Acetic Acid dan Methacrylate. Pada studi ini dilakukan
pendekatan statistik untuk mengevaluasi jalur proses kimia. Tujuannya adalah
untuk (1) Mencari jalur proses yang lebih aman (inherently safer) (2) Melihat
persamaan dan perbedaan antara jalur proses yang sedang digunakan dengan
jalur baru yang diusulkan. Metode statistik yang di gunakan adalah
pendekatan multivarian untuk mendapatkan Inherent benign-ness indicator
(IBI). IBI ini digunakan untuk membandingkan aspek-aspek SHE untuk
setiap rute proses melalui bahan baku, reaksi dan parameter proses. Ada 15
faktor yang berhubungan dengan SHE digunakan pendekatan statistik dalam
studi ini yaitu; Toxicity, Reactivity, Explosiveness, Flammability, Heat of
Reaction, Pressure, Process yield, Temperature, HTPI dan TTP, HTPE, ATP,
GWP, ODP, PCOP dan AP. Dari 15 faktor tersebut dikelompok menjadi dua
kategori yaitu Safety Aspect (8 factors) dan Health and Enviromental Aspect
(7 factors). Studi kasus di lakukan pada industri pembuatan Acetic Acid dan
Methyl Methacrylate (MAA). Pada studi ini dihitung Cumulative Index dan
IBI value untuk setiap rute proses. Dari hasil studi ini dapat disimpulkan
bahwa:
• Perengkingan secara sederhana untuk setiap rute proses dapat
dihitung secara lebih mudah.
• Hasil analisa dapat menyatakan persamaan dan perbedaan
antara rute-rute proses tersebut.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
28

• Hasil analisa juga dapat mengidentifikasi faktor utama yang


menyebabkan rute kurang aman dan hal ini dapat membantu
untuk melakukan perbaikan dan manajemen risiko.

2.4.1. SREST-Layer Assessment


Kajian bahaya reaktifitas kimia diawali dengan mengumpulkan data sifat
kimia dan fisika dari bahan-bahan kimia yang digunakan, mempelajari proses yang
akan dilakukan dan juga fungsi dari setiap bahan kimia dalam suatu proses, apakah
sebagai pelarut, pereaksi, katalis, dan sebagainya. Jenis reaksi yang terjadi apakah
eksotermik atau endotermik, kecepatan, tekanan dan temperatur reaksi juga menjadi
parameter penting yang harus diperhatikan. Masalah utama dalam melakukan kajian
bahaya reaktifitas kimia di awal proses adalah sebagai berikut (Koller 2000):
1. Tidak tersedianya konsep tunggal yang menyeluruh untuk mengkaji semua
aspek EHS.
2. Definisi dari masalah EHS dapat berubah dengan waktu dan berbeda dari
suatu area/lokasi ke area/lokasi lainnya.
3. Tidak tersedianya data dari bahan kimia, terutama untuk product
intermediate.
4. Tidak tersedianya informasi tentang detail proses (terutama jika dilakukan
batch proses) juga informasi tentang pabrik secara garis besar.
5. Format data yang bervariasi (baik sumber maupun jenis data) dan juga
tingkat kejelasan dari data.
Koller, et.al (2000) mempublikasikan penelitiannya dalam mengembangkan
metoda untuk mengatasi kekurangan tersebut diatas, dengan membuat suatu konsep
yang menggabungkan dan memperdalam beberapa metoda terbaik untuk mengkaji
risiko juga mengkaji efek terhadap lingkungan. Setiap bahan kimia yang digunakan
dalam proses dan kategori efeknya dikaji dengan menggunakan data yang diperoleh
dari berbagai database bahan kimia. Dalam metoda ini, aspek EHS dikaji dalam 11
kategori yang berbeda dan kemudian dilakukan perhitungan index value (nilai
indeks). Adapun kesebelas kategori yang digunakan meliputi mobilitas dari bahan
kimia, sifat mudah terbakar dan meledak, reaksi/ dekomposisi, toksisitas akut, sifat
irritant, toksisitas kronik, efek interaksi dengan udara, efek interaksi dengan air,
limbah padat, degradasi dari bahan kimia dan akumulasi dari bahan. Nilai indeks

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
29

standard (standard index value) yang menjadi menjadi acuan untuk mengkaji aspek
keselamatan diberikan pada Gambar 2.5.
Nilai indeks untuk masing-masing kategori adalah nilai tertinggi dari
keseluruhan nilai indeks untuk sub-kategorinya. Nilai indeks satu menunjukkan bahan
berbahaya dan nilai nol menunjukkan bahan tidak berbahaya. Nilai indeks untuk suatu
kategori sama dengan nilai terbesar dari nilai indeks sub-kategorinya. Kemudian
dengan menggunakan nilai indeks, dapat dihitung besarnya physical value atau
tingkat bahaya untuk setiap kategori. Untuk konversi dari nilai indeks menjadi dapat
dilihat pada penjelasan berikut :

(2.2)

(2.3)
(2.4)
sebagaimana dindikasikan pada Gambar 2.5
Dimana: j= bahan kimia, i= kategori bahaya, m=sifat bahaya

Physical value mempunyai satuan unit massa (e.g., kJ/kg, m3/kg). Konversi
nilai indeks menjadi physical value diberikan dalam masing-masing acuan
perhitungan nilai indeks seperti yang terdapat dalam Gambar 2.5
Setelah melakukan identifikasi EHS dan menghitung besarnya physical value
untuk setiap kategori, dilakukan perhitungan Effective Dangerous Property dari bahan
kimia, dimana hubungan antara Physical Value dengan Effective Dangerous Property
diberikan pada tabel 2.3

EDPij = IndValij + Fij (2.5)

Untuk memprediksi besarnya pengaruh dari EHS efek, Effective Dangerous


Properties diubah menjadi nilai ekponensialnya kemudian dikalikan dengan massa
sehingga menghasilkan besaran yang disebut dengan Potential of Danger (PoD)
PoDij = mij x 10 aiEDPij - bi (2.6)

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
30

Gambar 2.5. Kategori Dalam Melakukan Kajian Aspek Keselamatan .


Sumber : Koller, 2000

Tabel 2.3 Bilang Indeks Untuk Sifat Bahaya yang Berbeda


Dangerous Property DP1 fate index Fij
mobility, reaction/decomposition, solid waste,
degradation, accumulation 0
fire/explosion, irritation 0.1 x log(PhysValmobility j)
acute toxicity, chronic toxicity 0.2x log(PhysValmobility j)
air mediated eff., water mediated eff, for organic 0.25x log(PhysValdegradation j x
substances PhysValaccumulation j)
air mediated eff., water mediated eff, for inorganic
substances 0.25x log(PhysValaccumulation j)

Sumber : Shah, et.al., 2003

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
31

Potential of Danger (PoD) yang melibatkan berat dari bahan kimia yang
terkait. Untuk aspek lingkungan dipertimbangkan berat total dari buangan, untuk
aspek keselamatan dipertimbangkan jumlah maksimum bahan kimia yang disimpan
untuk kemudian digunakan dalam proses dan untuk kajian kesehatan dipertimbangkan
tingginya pajanan terhadap bahan kimia dalam selang waktu tertentu (diberikan dalam
kg). Umumnya massa dari bahan kimia ini lebih bergantung pada peralatan dan
kondisi kerja dibandingkan terhadap penyimpanan (inventory), sehingga sulit
diprediksi pada awal proses. Potential of Danger (PoD) dari bahan kimia diperoleh
dengan mengalikan massa dari bahan kimia dengan Effective Dangerous Property
(EDP).
Untuk setiap kategori diperoleh satu nilai indeks yang kemudian dapat
digunakan untuk pemilihan bahan kimia atau menentukan batasan maksimum dari
bahan kimia yang digunakan dalam proses kimia. Nilai indeks yang diperoleh juga
digunakan untuk menentukan teknologi keselamatan yang perlu digunakan untuk
menurunkan efek bahaya dari bahan kimia yang digunakan.
Sebagai metoda semikuantitatif, metoda ini terbukti dapat mengidentifikasi
dengan cepat masalah EHS yang utama, berikut dengan tingkat bahayanya dengan
menggunakan data bahan kimia yang terbatas dan dilakukan secara manual.
Fleksibilitas dari metoda yang memungkinkan penggabungan antara kajian EHS
dengan konsep inherently safer memungkinkan pengurangan tingkat bahaya dengan
adanya tolok ukur teknologi. Lebih jauh lagi, kebutuhan akan metoda kajian yang
cepat dan efisien, memicu dibuatnya sistem otomatis, dimana tidak hanya dibutuhkan
sistem yang sistematik tapi juga perangkat lunak komputer untuk mempercepat proses
pengkajian (Shah et.al, 2003).
Pendekatan yang dilakukan oleh Shah, et.al (2003) dalam melakukan kajian
EHS yang menyeluruh adalah dengan membagi masalah menjadi komponen-
komponen yang lebih kecil dan melakukan kajian bertahap secara mendalam.
Komponen-komponen yang ada saling berkaitan satu sama lain dan sebagai
konsekuensinya saling mempengaruhi satu sama lain. Metoda yang dikembangkan
dinamakan SREST-layer assessment method, dimana area produksi diasumsikan
sebagai bawang yang mempunyai lapisan-lapisan yang tersusun rapi dan kajian
dilakukan dari lapisan terdalam ke lapisan terluar. Adanya lapisan-lapisan ini
mempermudah identifikasi masalah EHS dalam tahap yang berbeda dari suatu proses

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
32

dan penerapan inherent safety technology dapat diterapkan langsung pada setiap
lapisan. Adapun keempat lapis dari SREST-layer assessment method dapat dilihat
pada Gambar 2.6

1. Substance Assessment Layer (SAL)


Seperti yang sudah dipublikasikan terdahulu oleh Koller (2000), pada tahap ini
data dari semua bahan kimia yang digunakan dalam proses dikumpulkan, baik sifat-
sifat kimia maupun fisika seperti mudah terbakar, beracun, korosif dan lain-lain. Data
tersebut dapat diambil dari berbagai sumber dan database, baik yang dikeluarkan
lembaga-lembaga internasional seperti ISO, OSHA, NIOSH maupun pihak industri
yang memproduksi material tersebut. Seperti dalam metoda EHS dari Koller et al.,
(2000), bahan kimia dikaji dalam 11 kategori efek sebagaimana yang telah dijabarkan
sebelumnya (Shah, et.al, 2003). Terdapat satu perubahan terhadap metoda EHS yang
terdahulu, dimana kategori reaksi/dekomposisi diubah menjadi kategori dekomposisi.
Dalam hal ini, hanya ketidakstabilan dari bahan kimia tunggal yang dipertimbangkan
dan reaksi atau interaksi antara 2 atau lebih bahan kimia akan ditinjau di tahap
berikutnya, yaitu Reactivity Asessment Layer (RAL).
Nilai yang dapat diterima (acceptable limit) untuk masing-masing kategori
pada tabel 2.4 akan digunakan sebagai acuan untuk memilih bahan kimia atau
menentukan jumlah maksimum bahan kimia yang dapat digunakan dalam suatu
proses, untuk memutuskan hasil kajian dari skenario kemungkinan terburuk dan untuk
memutuskan teknologi keselamatan yang akan digunakan untuk mengurangi dampak
berbahaya dari bahan kimia tersebut (mitigasi). Dalam SREST-layer assessment
method, effective dangerous property (EDP) juga digunakan untuk menunjukkan
secara semikuantitatif hasil kajian EHS yang dilakukan pada setiap bahan kimia.

Tabel 2.4. Nilai EHS Kategori Efek yang Dapat Diterima Pada Tahap SAL.
Acceptable region for EHS substance-
EHS effect category
index
Safety
Mobility and fire/explosion </=0.6
Acute toxicity and decomposition </=0.5
Health
Irritation </=0.5
Chronic toxicity </=0.6

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
33

Sumber : Shah, et.al., 2005

Prevention Safty-Technology
assessment layer Selection of synthesis route and
And process design:
Protection [STAL]
In the case of high hazard
1. Collect more data from
laboratory and other reliable
sources and perform SREST-
Worst case Layer-Assessment again.
Equipment Assessment
2. Consult with experts on the
Scenario Layer [EAL] results of all layers.
And unit -
3. Use inherent safety principles
Operation
at the end of each and perform
Assessment SREST-Layer-Assessment
again.
4. Select other synthesis routes,
Reactivity assessment if available, and perform
layer [RAL] SREST-Layer-Assessment for
new route.

Substance and
Reactivity
Hazard
Identification Substance assessment
and layer [SAL]
Assessment

Recipe or conceptual flow-sheet

Gambar 2.6. SREST-Metode Pengkajian Berlapis Dengan Menggunakan Prinsip


Inherent Safety
Sumber : Shah, et.al., 2005

2. Reactivity Assessment Layer (RAL)


Berdasarkan data kecelakaan, banyak kasus kecelakaan di industri kimia
terjadi akibat adanya reaksi eksotermik yang tidak terkendali yang dapat diakibatkan
oleh kesalahan kontrol dan kesalahan penanganan bahan kimia. Ketidaksesuaian
bahan kimia yang tidak diketahui sebelumnya dan pencampuran bahan kimia yang
tidak disengaja dapat menimbulkan panas yang kemudian memicu terjadinya
dekomposisi dari bahan kimia yang terdapat dalam suatu sistem. Oleh karena itu,
kajian tentang reaktifitas bahan kimia dengan udara, air dan bahan-bahan kimia lain
yang bersifat reaktif menjadi sangat penting dalam memprediksi runaway scenario
dan mengendalikan reaksi eksotermik, juga mencari teknologi keselamatan yang tepat
untuk mengurangi dampak berbahaya dari bahan kimia tersebut (mitigasi).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
34

Pada tahap ini semua bahan kimia yang mungkin akan kontak satu sama lain
dievaluasi, termasuk reaktifitas terhadap udara, air, panas, media pendingin,
konstruksi material, pengotor dan juga bahan-bahan lainnya. Kajian dilakukan dengan
menggunakan data dari Bretherick’s database (Urben, 1999) dan chemical reactivity
worksheet (NOAA, 2000). Data diperoleh dalam bentuk matriks interaksi. Jika
ditemukan adanya interaksi antara bahan kimia yang digunakan dalam proses, dapat
diambil langkah pengendalian, apakah dengan mensubtitusi bahan kimia tersebut atau
mengurangi dan meminimumkan penggunaannya. Tersedianya matriks interaksi yang
difasilitasi dengan adanya perangkat lunak (software) mempercepat pengumpulan
data dan membantu mempercepat pengolahan data untuk mengambil keputusan dalam
memperoleh proses yang aman dari segala aspek EHS-nya.
Pada tahun 2005, Shah et.al, mempublikasikan versi baru untuk SREST layer
assessment method (extended version), salah satunya dengan mengubah hasil kajian
reaktifitas bahan kimia yang berupa matriks menjadi indeks. Adanya indeks untuk
reaktifitas bahan kimia memudahkan pengambilan keputusan berdasarkan tingkat
indeks dan batas yang dapat diterima (acceptable limit). Informasi reaktivitas dibagi
menjadi dua kategori yaitu intended reaction (reaksi yang diinginkan) dan unintended
reaction or incompatible (reaksi yang tidak diinginkan atau tidak sesuai). Pedoman
indeks untuk kedua kategori tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.7 dan 2.8
Hasil kajian RAL tersebut kemudian dijadikan landasan untuk membuat
keputusan berdasarkan nilai indeks dan batasan yang dapat diterima (Tabel 2.5).

Tabel 2.5. Nilai Index Reaktifitas yang Dapat Diterima Untuk RAL

Acceptable region for reactivity-


Reactivity category
indeces

Intended reaction </=0.5


incompatible reaction </=0.5

Sumber : Shah, et.al., 2005

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
35

Gambar 2.7. Index Bahaya Dari Kategori Reaksi yang Diinginkan Pada Tahap RAL

Gambar 2.8. Index Bahaya Dari Kategori Campuran Tidak Sesuai Pada Tahap RAL
Sumber: Shah, et.al, 2005.

3. Equipment Assessment Layer (EAL)


Dalam kajian terhadap proses di industri, tidak hanya kajian terhadap bahan
kimia saja yang perlu dilakukan tapi juga kajian terhadap peralatan proses dan unit
operasi mengingat banyak kecelakaan reaktifitas bahan kimia disebabkan oleh
kegagalan dari peralatan proses. Tahap kajian terhadap peralatan pendukung proses
disebut Equipment Assessment Layer, dimana pada tahap ini dilakukan investigasi dan
evaluasi terhadap peralatan proses yang digunakan dengan mempertimbangkan semua
skenario terburuk yang berkaitan dengan pengoperasian peralatan proses tersebut.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
36

Kemungkinan skenario terburuk diidentifikasi dengan bantuan kondisi proses seperti


temperatur, tekanan, juga hasil dari kajian pada lapisan terdahulu (SAL dan RAL)
dan sebagainya. Skenario dari runaway reaction tersebut dapat dibagi menjadi bahaya
primer dan sekunder, dimana bahaya sekunder hanya ada jika bahaya primer terjadi.
Bahaya primer disebabkan oleh reaksi eksotermik yang terjadi dalam proses dan
bahaya sekunder disebabkan oleh pelepasan bahan kimia dari reaktor ke lingkungan
disekelilingnya.

4. Safety-Technology Assessment Layer (STAL)


Tahap terakhir pada SREST layer assessment method adalah tahap Safety
Technology Assessment atau (STAL) adalah tahap yang sangat penting sebagai
kontrol dan pengurangan terhadap risiko kecelakaan. Konsep yang digunakan adalah
inherent safety. Informasi yang didapat bisa berupa penanganan limbah untuk
mengurangi efek terhadap lingkungan dan sistem kontrol untuk mengurangi
kecelakaan dan efek terhadap kesehatan. Sebagai contoh, jika suatu pabrik
mengeluarkan emisi yang tidak aman, maka diperlukan sistem kontrol untuk
mengurangi risiko bahaya terhadap lingkungan. Penggunaan teknologi keselamatan
dilakukan untuk mengantisipasi hasil kajian yang dilakukan pada tahap sebelumnya
yaitu sebelas kategori bahan kimia untuk SAL, indeks reaktifitas dari RAL dan kajian
scenario terburuk dari tahap EAL.

2.4.2. Alat Bantu (Tools) Kajian Bahaya Reaktifitas Kimia


Untuk menilai suatu bahaya atau risiko dari suatu proses atau tempat kerja
diperlukan pendekatan yang sistematis. Ada beberapa metode yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi apakah dalam suatu proses industri terdapat potensi bahaya
reaktifitas kimia (Joseph, 2003), yaitu:
• Studi ketidaksesuaian menggunakan NOAA Worksheet.
• Studi literatur.
• Program Komputer ASTM CHETAH.
Semua metode diatas banyak digunakan dalam berbagai penelitian bahaya reaktifitas
kimia sebagai alat bantu. Untuk kajian bahaya reaktifitas secara komprehensif maka
sebaiknya menggunakan beberapa alat bantu secara bersamaan, karena alat bantu

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
37

tersebut dapat saling memperkuat satu sama lain. Dapat juga dikombinasikan metode
HAZOP dan FMEA.

2.4.2.1. Studi Ketidaksesuaian (NOAA Worksheet)


Bahan-bahan kimia berbahaya apabila tercampur dan tidak cocok
(incompatible) satu sama lain maka dapat menyebabkan reaksi-reaksi kimia yang
tidak diinginkan atau tidak terkontrol. Reaksi-reaksi tersebut bisa saja menyebabkan
ledakan, kebakaran atau melepaskan material lain yang berbahaya. Beberapa sistem
sudah dikembangkan untuk menganalisa dan mengetahui material-material yang tidak
sesuai. Diantaranya, ada tiga sistem yang paling sering digunakan untuk mengetahui
material yang tidak kompatibel yaitu UN Dangerous Goods System yang memiliki 14
kategori, US CHRIS sytem yang memiliki 24 kategori dan sistem yang ketiga yang
menggunakan environmental risk memiliki 25 kategori. Ketiga sistem tersebut dapat
digunakan secara terpisah atau dikombinasikan (Gambar 2.9), karena masing-masing
memiliki kelebihan dan dapat saling melengkapi (Winder dan Zarei, 2000).

1 Class 1 1
2 Class 2.1 N 2
3 Class 2.2 N Y 3
4 Class 2.3 N Y Y 4
5 Class 3 N Ya Y N 5
6 Class 4.1 N N Y Y Y 6
7 Class 4.2 N N N N N N 7
8 Class 4.3 N N Y Y Y Y Y 8
9 Class 5.1 N N Y N N N Y Y 9
10 Class 5.2 N N N N N N Y Y N 10
11 Class 6 N Y Y Y Yd Y Y Y Yb Yb 11
12 Class 7 N N Y Y N N N N N N Y 12
13 Class 8 N Y Y Y Y Y Y N N N Yd N 13
14 Class 9 N Y Y Y Y Y Y Y Yc Yc Y Y Y 14
Note:

Y Represents a safe combination.


N Represents an unsafe combination.
a Mean N when both classes are in bulk.
b Mean N when 6 substance is a fire risk substance.
c mean N when 9 substance is a fire risk substance.
d See also ADG code

Gambar 2.9. Rekomendasi Material Berbahaya yang Tidak Kompatibel Berdasarkan


UN Sistem.
Sumber : Winder dan Zarei, 2000

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
38

NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Chemical


Reactivity Worksheet juga dapat digunakan untuk mengetahui reaktifitas kimia dari
material-material yang berbeda apabila mereka di campur sehingga kita dapat
mengetahui apakah mereka kompatibel atau tidak kompatibel. Terdapat sekitar 6000
jenis bahan kimia dalam database ini. Dari worksheet ini kita dapat memprediksi
kemungkinan potensi konsekuensi interaksi dari material yang bercampur seperti
panas, tekanan, gas yang dilepaskan, dan sebagainya.

2.4.2.2. Studi Literatur


Untuk mengidentifikasi bahaya reaktifitas kimia dapat juga dilakukan dengan
studi literatur. Banyak sumber informasi yang dapat digunakan untuk mendapatkan
data bahaya reaktifitas kimia. Banyak penelitian mengenai bahaya reaktifitas yang
menggunakan studi literatur sebagai data pendukung untuk menentukan jenis bahaya
dan besar dampak dari bahaya tersebut. Sumber informasi dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Material Safety Data Sheet (MSDS)
MSDS ini diterbitkan oleh pembuat bahan kimia. Informasi yang terdapat
didalam MSDS ini sangat lengkap mulai dari sifat-sifat fisik dan kimia,
toxicology, alat pelindung diri, stabilitas sampai pada cara penyimpanan
bahan. Mengacu pada ISO standar, terdapat 16 jenis informasi yang
seharusnya terdapat didalam MSDS dan salah satunya adalah informasi
mengenai reaktifitas.
2. Literatur terbuka.
Terdapat beberapa sumber informasi yang sangat lengkap untuk
mendapatkan informasi bahaya reaktifitas, seperti Bretherick’s handbook
for chemical reactivity, Sax for general chemical hazards, NFPA for fire
protection, NIOSH pocket guide to chemical hazards dan berbagai
informasi dan guidance yang dikeluarkan oleh CCPS (Legget, 2006).
Jenis data dan informasi yang diperlukan dalam melakukan identifikasi dan
evaluasi bahaya reaktifitas adalah sebagai berikut (Legget, 2004):
• Nama bahan kimia
• Sifat fisika (melting point, boiling point, vapor pressure, flammable
limit, auto-ignition temperature, minimum ignition energy).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
39

• Sifat kimia (stability/reactivity, toxicity/exposure, NFPA/HMIS rating


incompatibilities, oxidizer/reducer, pyroporic, polymerizes, react
exposively, inhibitor required, impact/friction sensitive, temperatur
control needed, sensitive to heat, high hazard reaction or functional
group, water reactive, peroxide former).

2.5. Teori Penyebab Kecelakaan Kerja


Kecelakaan dapat dikategorikan kedalam dua kelompok yaitu, kecelakaan
individu dan kecelakaan organisasi (Reason, 1997). Kecelakaan individu dapat
diklasifikasikan sebagai kecelakaan minor dan kecelakaan organisasi diklasifikasikan
kecelakaan mayor atau dikenal dengan istilah catastrophic accident. Kecelakaan
mayor ini jarang terjadi, namun apabila terjadi menyebabkan kerugian yang sangat
besar baik terhadap properti, pekerja maupun lingkungan. Kecelakaan mayor
umumnya terjadi pada industri dengan teknologi modern seperti industri energi
nuklear, indusrti petrokimia, industri kimia dan lain-lain.
Fault of Person

Unsafe Condition
Environment

ACCIDENT
Unsafe Act
Ancestry

LOSS

Gambar 2.10. Teori Domino dari W.H. Heinrich.


Sumber : Reason, 1997
Teori yang paling terdahulu tentang penyebab kecelakaan adalah teori domino
yang diperkenalkan oleh Henrich pada tahun 1931. Menurut Henrich, 88%
kecelakaan disebabkan oleh tindakan tidak aman dari manusia, sedangkan sisanya
disebabkan oleh hal-hal lain yang tidak berkaitan dengan manusia. Gambar 2.10
menunjukkan susunan batu domino yang diibaratkan sebagai faktor-faktor penyebab
terjadinya kecelakaan. Apabila domino pertama roboh, maka dia akan merobohkan
domino-domino lainnya. Artinya jika terdapat satu kegagalan atau kesalahan manusia
maka akan tercipta unsafe condition dan unsafe act. Maka menurut teori ini, jika

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
40

unsafe condition dan unsafe act dihilangkan maka kecelakaan dapat dicegah (Cooper,
2001). Konsep dasar pada model ini adalah:
1. Accident adalah sebagai suatu hasil dari serangkaian kejadian yang
berurutan. Accident tidak terjadi dengan sendirinya.
2. Penyebab-penyebabnya adalah faktor manusia dan faktor fisik.
3. Accident tergantung kepada lingkungan fisik, dan lingkungan sosial di tempat
kerja.
4. Accident terjadi karena kesalahan manusia.
Dr. Michael Zabetakis, direktur akademi MSHA’s (Mine Safety and Health
Administration) mengembangkan teori Domino dengan konsep baru model penyebab
kecelakaan langsung (Gambar 2.11). Konsep penyebab langsung yaitu pelepasan
energi atau bahan berbahaya yang tidak direncanakan. Dr. Zabetakis menjelaskan
bahwa kebanyakan kecelakaan disebabkan oleh pelepasan energi (listrik, kimia,
mekanik, panas, radiasi) atau bahan kimia berbahaya (misalnya CO, CO2, H2S, CH4)
yang tidak direncanakan atau diinginkan. Pelepasan ini sebagian besar disebabkan
oleh tindakan tidak aman (unsafe act) dan lingkungan kerja tidak aman (unsafe
condition).
Pada awalnya kebanyakan pencegahan kecelakaan hanya fokus pada
identifikasi dan perbaikan terhadap tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman.
Sementara untuk peningkatan jangka panjang sebaiknya dilakukan identifikasi dan
perbaikan pada penyebab dasar kecelakaan. Penyebab dasar kecelakaan dapat
dikelompokan pada tiga kelompok yang saling berhubungan, yaitu (Heinrich, 1980):
1. Kebijakan dan keputusan manajemen.
2. Faktor personal (pekerja)
3. Faktor lingkungan.
Kelompok pertama adalah kebijakan dan keputusan manajemen, misalnya
adalah target produksi dan keselamatan; prosedur kerja; pencatatan; penugasan
tanggung jawab dan otoritas, dan kepercayaaan; pemilihan karyawan, pelatihan,
penempatan, pengawasan dan pengarahan; prosedur komunikasi; prosedur inspeksi;
peralatan, suplai, dan disain fasilitas, pembelian dan perawatan; prosedur pekerjaan
standar dan darurat; dan kebersihan dan kerapian.
Kelompok kedua adalah faktor personal atau pekerja, misalnya adalah
motivasi; keadaan fisik dan mental; waktu reaksi; kepedulian pribadi. Kelompok

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
41

ketiga adalah faktor lingkungan, misalnya adalah temperatur; tekanan; kelembaban;


debu; gas; uap; aliran udara; kebisingan; pencahayaan; kondisi alami lingkungan
(permukaan yang licin, hambatan, penopang yang tidak baik, benda berbahaya).

Management Safety Policy and Decision

Personal Factors
Environmental Factors

Unsafe Act Unsafe


Condition

JSA:
Education JSA:
Training Design
Motivation Inspection
Assingment Unplanned release of Engineering
Research Housekeeping
Energy and/or Maintenance
Hazardouse materials Review

Reduce Protective
quantities equipment
and
Structure
Accident:
Personnal injury
Property damage

First Aid:
Repair
Replacement
Investigation
Hazards analysis
Safety awareness

Gambar 2.11. Teori Penyebab Kecelakaan Zabetakis.


Sumber : Heinrich, 1980
Bird dan Loftus pada tahun 1970an mengembangkan teori domino dari
Henrich dengan pemikiran yang lebih modern. Gambaran dari teori yang
dikembangkan oleh Bird dan Loftus dapat dilihat pada Gambar 2.12. Teori ini tidak
jauh berbeda dengan teori Heinrich dimana melibatkan 2 faktor kecelakaan kerja
unsafe act dan unsafe condition. Namun dalam teori ini, Bird dan Loftus tidak lagi

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
42

melihat kesalahan terjadi pada manusia/pekerja semata, tetapi lebih menyorot


bagaimana manajemen lebih mengambil peran dalam melakukan pengendalian agar
tidak terjadi kecelakaan (Cooper, 2001).

LACK OF MANAGEMENT CONTROL


Kelemahan fungsi-fungsi manajemen, Leadership, pengawasan, standard kerja,
standard performance, correction error.

INDIRECT / Basic Cause


Personal  knowledge, skill, motivation, physical or capability
al

DIRECT / Immmediate Cause


UNSAFE ACTS ; UNSAFE CONDITION

ACCIDENT

LOSS
Gambar 2.12. Teori Penyebab Kecelakaan oleh Loftus dan Bird.
Sumber : Cooper, 2001
Reason (1997) mengembangkan model investigasi kecelakaan organisasi
(Gambar 2.13). Model ini menghubungkan berbagai elemen yang berkontribusi
terhadap kecelakaan organisasi tersebut. Menurut teori ini kecelakaan organisasi
bermula dari kegagalan faktor organisasi dalam membuat keputusan strategis, proses
organisasi seperti forecasting, budgeting, alokasi sumber daya, komunikasi, audit,
perencanaan dan lain-lain. Kegagalan organisasi ini akan mewarnai budaya
organisasi, sikap pekerja dan cara-cara pekerja dalam menjalankan proses bisnis.
Konsekuensi dari kegagalan faktor organisasi akan menyebar pada seluruh
area kerja yang pada akhirnya akan memicu cara-cara kerja yang tidak aman (unsafe
act). Hal ini termasuk peralatan kerja yang tidak memadai, training yang tidak
memadai, pengawasan yang kurang, perawatan mesin yang tidak memadai,
komunikasi yang buruk dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut memicu dan
memperbesar potensi terjadinya kecelakaan organisasi.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
43

Losses
Danger
Hazards

Causes Investigatio
Latent n
condition Unsafe acts
pathways

Local workplace factors

Organization factors

Gambar 2.13. Model Perkembangan dan Investigasi Kecelakaan Organisasi


Sumber : Reason, 1997
Reason (2000) juga mengusulkan model keju Swiss (Swiss Cheesse Model of
Human Error), dimana dalam model ini terdapat empat tahapan kegagalan manusia
sehingga terjadi kecelakaan (Gambar 2.14). Model yang diajukan oleh Reason sangat
bermanfaat dalam investigasi kecelakaan karena mendorong setiap investigator untuk
memperhatikan dengan seksama kegagalan laten (latent Failure) dalam menjajagi
seluruh peristiwa yang terjadi di setiap tahapan penyebab.

Gambar 2.14. Model Keju Swiss Dalam Teori Kecelakaan Organisasi.


Sumber : Reason, 2000

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
44

Kegagalan laten dapat terjadi akibat faktor organisasi, pola supervisi dan juga
faktor prakondisi yang mendukung terjadinya tindakan tidak aman. Bila pada tiap
tahapan tersebut terdapat lubang-lubang atau tidak adanya pertahanan maka akan
memudahkan terbentuknya tindakan tidak aman. Namun Reason tidak menguraikan
secara jelas lubang-lubang tersebut dalam konteks operasional. Namun demikian
ketidak pastian lubang-lubang tersebut juga lebih memudahkan para investigator
untuk tidak terlalu terpaku pada faktor-faktor klasik yang selalu menjadi pusat
perhatian.

Unsuccessful Task Feedback

I
N
S F A
T O C
Human C
R R I T
E M D
E
A
S A
N S
Machine S T T K
Environ- O I
ment R O
N

Gambar 2.15. Penyebab Kecelakaan Model Firenze


Sumber : Wiegmann and Shappell, 2003.
Model Firenze memprediksi terjadinya kecelakaan atau kegagalan sistem yang
disebabkan oleh ketidak singkronan antara manusia, mesin komponen lingkungan
(Wiegmann and Shappell, 2003). Pada model ini diasumsikan bahwa mesin berfungsi
dengan baik dan demikian juga komponen lingkungan sangat mendukung untuk
menghasilkan keluaran yang baik. Masalah muncul ketika ada tekanan pada manusia
atau pekerja seperti kelelahan, kecemasan dan sikap-sikap yang menghambat proses
pembuatan keputusan sehingga memicu terjadinya kecelakaan (Gambar 2.15).
Meskipun demikian, berdasarkan teori Firenze untuk menurunkan tingkat kecelakaan
tidak bisa hanya fokus pada manusianya saja, melainkan harus dilihat dari
keseluruhan sistem, yaitu mesin, manusia dan lingkungan.
CCPS (1992) menjelaskan elemen-elemen dari suatu proses kecelakaan dalam
industri kimia. Suatu kecelakaan merupakan serangkaian proses yang berurutan,

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
45

dimulai dengan proses inisiasi yang dapat berupa kegagalan pada perangkat keras
(peralatan) dan/atau perangkat lunak (software), kegagalan sistem manajemen,
kesalahan manusia dan kejadian eksternal. Namun kecelakaan juga dapat terjadi
setelah proses inisiasi jika tidak terdapat sistem proteksi terhadap kecelakaan. Tahap
berikutnya adalah tahap intermediet (lanjutan) yang dibagi menjadi dua kelas yaitu
faktor propagasi dan faktor pengurangan risiko. Faktor propagasi yaitu kegagalan
dalam membuat lapisan proteksi dan lingkungan yang memperuncing kecelakaan.
Faktor pengurangan risiko meliputi respon yang baik dari pekerja dan administratif
kontrol serta lingkungan yang dapat mengurangi frekuensi dan kerusakan akibat
kecelakaan.

2.5.1. Faktor Lingkungan Kerja


Tindakan tidak aman sering kali dinyatakan sebagai penyebab terjadinya
kecelakaan kerja. Sejumlah data kecelakaan yang dilaporkan menunjukkan bahwa
kecelakaan terjadi akibat buruknya praktek kerja, salah dalam membuat keputusan,
kurangnya kontrol, kesembronoan dan tindakan yang bodoh. Berdasarkan hal tersebut
banyak yang berpendapat bahwa dengan menghentikan unsafe act maka kecelakaan
tidak akan terjadi. Menerima pendapat ini secara harfiah malah dapat menjadi salah
kaprah dalam menerapkan sistem keselamatan terutama dalam upaya meningkatkan
kondisi kerja yang aman (safe working kondision).
Jika diamati lebih jauh dan dalam banyak kasus, kecelakaan yang terjadi
disebabkan oleh kombinasi antara kondisi kerja yang tidak aman dan tindakan atau
perilaku tidak aman. Jarang sekali terjadi kecelakaan yang semata-mata disebabkan
oleh tindakan tidak aman sementara kondisi kerja sangat aman. Kondisi kerja tidak
aman misalnya adalah disain dan konstruksi sistem kerja yang buruk, kerapian dan
kebersihan yang buruk, prosedur kerja yang dapat menimbulkan bahaya, instruksi
kerja tidak memenuhi standar, kurangnya sistem pengaman pada mesin, perawatan
mesin yang kurang baik, mesin yang sudah tua sehingga kinerjanya sudah tidak
optimal dan lain sebagainya (DeReamer, 1981).
Kondisi kerja yang tidak aman ini akan memperbesar potensi terjadinya
tindakan tidak aman dari pekerja. Untuk memperkecil terjadinya tindakan tidak aman
dari pekerja maka kondisi kerja harus diperbaiki, maka ada teori yang membahas
hubungan antara mesin dengan manusia (DeReamer, 1981) dan teknologi keselamatan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
46

dengan faktor manusia (Hoyos, 1998). Kedua teori ini lebih banyak melakukan
pendekatan dari sisi teknologi atau kondisi kerja (lingkungan). Teori Hoyos
berpedoman pada hirarki sistem keselamatan kerja seperti pada Gambar 2.16 Tahap
pertama adalah mengurangi bahaya dengan cara menggunakan bahan-bahan yang
kurang berbahaya, misalnya menggunakan bahan kimia yang tingkat bahayanya
rendah. Jika menggunakan bahan berbahaya tidak dapat dihindari maka dilakukan
tahap kedua yaitu dengan memisahkan sumber bahaya dengan manusia, misalnya
dengan menggunakan sistem proses yang tertutup, dinding tahan api, tangki tahan
tekanan dan temperatur tinggi, dan lain-lain. Tahap berikutnya adalah memberikan
alat pelindung diri dan melengkapi mesin atau peralatan dengan pengaman seperti
alarm, tombol darurat, kontrol otomatis untuk mengurangi kontak dengan manusia
dan lain-lain.

4. Safety
psychology

3. Personal and technical protection

2. Separation of hazard and man

1. Elimination of hazards

Gambar 2.16. Hirarki Pencegahan Kecelakaan Kerja.


Sumber : Hoyos, 1998
Selanjutnya tahap terakhir adalah memperbaiki perilaku pekerja dalam
melakukan pekerjaan. Meskipun ketiga aspek sebelumnya sudah dilaksanakan, namun
apabila pekerja tidak mematuhi peraturan yang ada, seperti menggunakan alat
pelindung diri, menempatkan bahan baku sesuai dengan kategori yang sudah
ditentukan, melakukan pengamatan secara benar dan baik terhadap parameter proses
dan lain-lain, maka potensi terjadinya kecelakaan kerja masih besar.
Tujuan yang paling penting dari peningkatan kondisi atau lingkungan kerja
yang aman adalah mengurangi kemacetan, tekanan dan ketegangan dari alur proses
kerja. Beberapa program yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisi kerja

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
47

adalah disain mesin atau peralatan, perawatan mesin, tata letak, metode proses,
pencahayaan, pemanasan, ventilasi, sistem pertukaran udara, peredam suara dan lain-
lain (DeReamer, 1981).
Proses dan fasilitas produksi pada umumnya melalui beberapa tahapan
pengembangan, dan tahapan-tahapan tersebut dapat dinyatakan sebagai suatu siklus.
Siklus dari proses dan fasilitas produksi secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut
(Johnson et al., 2003):
 Initial concept/laboratory research
 Process development; small-scale or pilot plant operations
 Full-scale engineering design and facility construction
 Full-scale startup and operation, including shutdown and maintenance
activities
 Modifications and expansions
 Mothballing/decommissioning and demolition.
Setiap tahapan tersebut harus dikaji secara mendalam faktor-faktor yang berkaitan
dengan keselamatan kerja untuk meminimalkan resiko terjadinya kecelakaan.

2.5.2. Faktor Manajemen


Kegagalan manajemen merupakan salah faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan, seperti dalam teori kecelakaan oleh Bird dan Loftus. Banyak
perusahaan yang sudah menerapkan berbagai sistem manajemen untuk meningkatkan
kualitas, produktifitas serta menghilangkan potensi terjadinya kerugian akibat
kecelakaan dan berhasil mencapai sasaran yang diharapkan dengan menerapkan
berbagai sistem manajemen tersebut. Namun tidak jarang pula perusahaan gagal
mencapai tujuan dari penerapan sistem manajemen ini. Dalam hal ini banyak faktor
dan kendala yang dapat menyebabkan kegagalan manajemen sehingga tujuan
penerapan tidak tercapai. Gallagher (2001) menyampaikan beberapa kendala atau
hambatan dalam penerapan sistem manajemen keselamatan pada suatu perusahaan
sehingga tujuan penerapan sistem ini tidak tercapai, yaitu:
• Sistem yang diterapkan tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
perusahaan.
• Lemahnya komitmen pimpinan perusahaan dalam menerapkan sistem
manajemen tersebut.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
48

• Kurangnya keterlibatan pekerja dalam perencanaan dan penerapan.


• Audit tool yang digunakan tidak sesuai serta kemampuan auditor yang
tidak memadai.
Selanjutnya pertanyaan yang timbul adalah, apakah sistem manajemen yang
diterapkan sudah efektif dalam meningkatkan kualitas, produktifitas atau
keeselamatan kerja dan bagaimana cara mengukur efektifitas dari suatu sistem
manajemen. Secara umum ada dua cara yang umum digunakan dalam mengukur
kinerja sistem manajemen keselamatan, yaitu: metode konvensional dengan cara
mengukur insiden dan klaim kompensasi, dan metode yang kedua yaitu positive
performance indicators (PPIs) dengan mengukur relevansi sistem manajemen
keselamatan, proses, manajemen dan kesesuaian dengan praktek dilapangan.
Dalam penerapan sistem manajemen keselamatan ditemukan ada dua model
yaitu rational organisation theory dan socio-technical system theory. Rational
organisation theory menekankan pada pendekatan top-down, penerapan sistem
manajemen keselamatan didasarkan pada kebijakan atau instruksi dari top level
manajemen dan diteruskan sampai pada level yang paling bawah. Sementara socio-
technical system theory melakukan pendekatan dengan intervensi organisasi yang
didasarkan pada analisa hubungan antara teknologi, orientasi dari pekerja dan struktur
organisasi (Gallagher, 2001).
Gallagher juga mengklasifikasikan sistem manjemen keselamatan ke dalam 4
tipe, yaitu:
1. Safe Person Control Strategy; strategi pencegahan difokuskan pada
kontrol perilaku pekerja.
2. Safe Place Control Strategy; strategi pencegahan difokuskan pada bahaya
dari sumbernya melalui identifikasi, kajian dan pengendalian.
3. Traditional Management;
o Peran kunci dalam K3 dipegang oleh supervisor dan EHS specialis.
o Integrasi sistem manajemen keselamatan ke dalam sistem manajemen yang
lebih luas masih sangat rendah.
o Keterlibatan karyawan masih rendah.
4. Innovative Management;
o Peran kunci dalam K3 dipegang oleh senior dan line manager.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
49

o Integrasi sistem manajemen keselamatan kedalam sistem manajemen yang


lebih luas sudah sangat baik.
o Keterlibatan karyawan tinggi.
Metode implementasi dari manajemen keselamatan dapat dikategorikan
menjadi tiga yaitu, voluntary, mandatory dan hybrid (Gallagher, 2001). Voluntary
adalah pelaksanaan manajemen keselamatan secara sukarela didasarkan pada
tanggung jawab perusahaan terhadap keselamatan dan kesejahteraan karyawannya.
Dengan cara ini akan lebih mudah melibatkan karyawan untuk berpartisipasi dalam
berbagai program K3. Sementara sebaliknya kategori mandatory didasarkan pada
keharusan atau kewajiban untuk memenuhi persyaratan dari pemerintah atau
pelanggan. Dan implementasinya terlihat dipaksakan dan sedikit melibatkan
karyawan karena tujuannya tidak sepenuhnya melindungi pekerja melainkan
compliance. Kategori yang ketiga adalah hybrid yang merupakan kombinasi voluntary
dan mandatory, disamping untuk memenuhi persyaratan dari undang-undang juga
bertujuan untuk melindungi pekerja dan aset perusahaan.

2.5.3. Faktor Manusia


2.5.3.1. Kesalahan Manusia
Faktor manusia (human factors) secara sederhana didefinisikan sebagai faktor-
faktor yang berkaitan atau berhubungan dengan manusia. Pengetahuan mengenai
human factors berkembang dengan sangat pesat, meningkat dan melembaga sejak
akhir abad lalu, dan sekarang didukung lagi dengan ilmu-ilmu pengetahuan, dan
banyak dipergunakan untuk meningkatan keselamatan dari suatu sistem yang
kompleks, misalnya pada penerbangan sipil. Kurang lebih 75% dari kecelakaan yang
terjadi pada industri penerbangan diakibatkan oleh kurangnya performance pada
manusianya dan ini umumnya dikategorikan sebagai “pilot error”. Istilah “pilot
error” tidak memberikan kontribusi pada pencegahan kecelakaan. Bahkan menjadi
kontra produktif, sebab meskipun istilah tersebut dapat menentukan dimana kegagalan
dari suatu sistem, namun tidak dapat menentukan mengapa kecelakaan itu terjadi.
Kesalahan manusia pada suatu sistem dapat dipengaruhi dan distimulasi oleh training
yang kurang efektif, rancangan sistem prosedur yang buruk atau konsep yang kurang
matang baik pada tampilan checklist atau buku manual.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
50

Maka dalam pendekatan ini kesalahan manusia ditinjau dalam kerangka sistim
secara lebih menyeluruh. Manusia atau individu tetap dipandang sebagai pusat
perhatian, namun individu dipandang bukan semata-mata penyebab tunggal terjadinya
kesalahan. Model yang dikembangkan dalam pendekatan ini dikenal dengan SHELL
Model (Gambar 2.17). Kegagalan atau kesalahan manusia dapat terjadi akibat
interaksi antara manusia (liveware) dengan manusia lain (liveware), dengan
lingkungan (environment) dan dengan prosedur, peraturan (software) serta dengan
peralatan mesin (Hardware) dan seterusnya.
Model SHEL diusulkan oleh Edwards (1972) dan dimodifikasi oleh Hawkins
(1987) dalam ruang lingkup penerbangan, mengusulkan bahwa system dilihat dari
semua proses produktif yang selalu dihubungkan dengan empat komponen:
1. Hardware, mewakili komponen fisik dan non-manusia dari suatu sistem
seperti peralatan, manual, simbol dan lain-lain.
2. Software, mewakili semua komponen seperti peraturan, prosedur,
kebijakan, norma, dan semua peraturan formal atau non-formal yang
menjelaskan bagaimana tiap komponen yang berbeda dari suatu system
berinteraksi satu sama lainnya.
3. Liveware, menunjukkan komponen manusia serta aspek kerasionalan dan
komunikasinya.
4. Environment, menunjukkan lingkungan sosio-politik dan ekonomi tempat
terjadinya interaksi.

LIVEWARE
operators
team
mangement

SOFTWARE HARDWAR
procedures E interface
rules equipment
practices tools

Gambar 2.17. SHEL Model

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
51

Menurut model tersebut, analisa dari sistem sosio-teknik harus memfokuskan


pada interaksi antara sumber-sumbernya. Pada analisa faktor manusia, interaksi yang
paling penting adalah yang melibatkan komponen liveware (L-H, L-S, L-L, L-E). Dari
perspective individu, kita lebih tertarik dengan interaksi antara L-S yang menjelaskan
interaksi dengan komponen yang sangat penting untuk berjalannya suatu sistem
(software adalah dasar kedua paling penting dalam perspektif psikologi kultural).
Henrich pada tahun 1928 telah mengembangkan teori bahwa 80% kecelakaan
kerja disebabkan oleh unsafe act (perilaku tidak aman), 18% kecelakaan disebabkan
oleh unsafe condition (lingkungan tidak aman) dan 2 % kecelakaan disebabkan oleh
faktor lain yang tidak dapat diperkirakan. Teori ini juga menitik beratkan pada faktor
manusia sebagai penyebab terjadinya kecelakaan dengan berperilaku tidak aman.
Banyak hal yang berkaitan dengan perilaku manusia (human behavior) masuk dalam
bidang keselamatan, dimana perilaku manusia ini menjadi aspek yang sangat penting.
Demikian pula dalam bidang ilmu kesehatan kerja, perilaku juga mendapat perhatian
dengan ditemukannya fakta bahwa gaya hidup (life style) yang tidak sehat dapat
meningkatkan angka penyakit. Sejalan dengan hal tersebut, berkembang ilmu perilaku
manusia pada waktu sehat (health behavior), perilaku manusia pada waktu sakit
(illness behavior), perilaku manusia dalam menggunakan fasilitas kesehatan (health
service behavior) dan lain-lainya. Dalam ilmu keselamatan juga berkembang berbagai
teori dan model yang berupaya menjelaskan hubungan antara faktor perilaku manusia
dengan berbagai kecelakaan kerja, misalnya teori faktor manusia (human factors
psychology), teori mengenai pribadi cenderung celaka (accident proneness),
kesalahan manusia (human error), perilaku selamat (safety behavior), dan juga
budaya selamat (safety culture) dan lain-lainnya (Syaaf R. Z., 2008).
Dalam upaya peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja dari aspek
pendekatan pada faktor manusia maka berkembang program seperti promosi
kesehatan kerja agar manusia mampu memperbaiki gaya hidup yang lebih sehat,
kemudian behavior-based safety, safety culture dan safety climate untuk mengurangi
tingkat kesalahan manusia (human error) sehingga tingkat kecelakaan dapat
diturunkan pada level yang paling rendah atau minimal (Syaaf R.Z., 2008).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
52

2.5.3.2. Perilaku Keselamatan (Safety Behavior)


Perilaku diterjemahkan dari kata bahasa Inggris “behavior” dan kata tersebut
sering dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, namun seringkali pengertian perilaku
ditafsirkan secara berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Perilaku juga sering
diartikan sebagai tindakan atau kegiatan yang ditampilkan seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain dan lingkungan disekitarnya, atau bagaimana
manusia beradaptasi terhadap lingkungannya. Perilaku, pada hakekatnya adalah
aktifitas atau kegiatan nyata yang ditampikan seseorang yang dapat teramati secara
langsung maupun tidak langsung. Perilaku keselamatan adalah tindakan atau kegiatan
yang berhubungan dengan faktor-faktor keselamatan kerja.
Menurut Zhou et al., (2007) ada empat faktor yang paling efektif untuk
meningkatkan perilaku keselamatan, yaitu:
- safety attitudes,
- employee’s involvement,
- safety management systems and procedures,
- and safety knowledge.
Faktor iklim keselamatan lebih berpengaruh terhadap perilaku keselamatan jika
dibandingkan dengan pengalaman pekerja. Diperlukan strategi gabungan antara iklim
keselamatan dan pengalaman kerja untuk meningkatkan perilaku keselamatan secara
maksimal guna mencapai total budaya keselamatan.
Rundmo dan Hale (2003) melakukan studi terhadap sikap (attitude)
manajemen terhadap keselamatan dan pencegahan terjadi kecelakaan. Hasil studi
menunjukkan bahwa perilaku dipengaruhi oleh sikap. Sikap yang ideal untuk
manajemen adalah komitmen yang tinggi, kefatalan rendah, toleransi terhadap
pelanggaran rendah, emosi dan kekhawatiran tinggi, tunakuasa rendah, prioritas
keselamatan tinggi dan penguasaan dan kesadaran tinggi.
Paul P.S. dan Maiti J. (2007) mempelajari peranan perilaku keselamatan
pekerja terhadap terjadinya kecelakaan pada perusahaan tambang. Dari studi yang
dilakukan diperoleh struktural model yang menunjukkan hubungan work injury secara
signifikan dipengaruhi oleh: pengaruh negatif, pengambilan risiko, ketidakpuasan
kerja, umur dan kinerja keselamatan.
Menurut Mullen J. (2004), ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku
keselamatan individu pekerja, yaitu:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
53

• Faktor organisasi; yaitu beban kerja yang berlebih, persepsi kinerja


keselamatan, pengaruh sosialisasi, sikap keselamatan dan persepsi terhadap
risiko.
• Faktor personal image; yaitu kesan macho dan mampu untuk menghindari
konsekuensi negatif, misalnya diejek atau diremehkan rekan kerja dan
ketakutan kehilangan posisi.
Menurut Mullen bahwa faktor organisasi menentukan perilaku keselamatan pekerja.
Sosialisasi organisasi terhadap karyawan baru sedini mungkin akan mempengaruhi
persepsi pekerja terhadap iklim keselamatan, sikap keselamatan, komitmen terhadap
keselamatan dan perilaku keselamatan.
OHS training dan edukasi serta penegakan aturan, inspeksi, dan komunikasi
merupakan karakteristik perilaku yang paling dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja
keselamatan untuk semua posisi diatas. Mengembangkan atau merubah budaya
organisasi merupakan tantangan serta membutuhkan biaya dan waktu yang lama.
Dengan menentukan target yang tepat, seperti OHS advisor dan supervisor, kemudian
mengidentifikasi keahlian dan kemampuan serta perilaku yang paling dibutuhkan
yang dapat mengarah kebudaya keselamatan yang positif, kinerja keselamatan dapat
diperbaiki dan dimaksimalkan. Dalam hal ini ditunjukkan pentingnya peran pimpinan
dalam merubah budaya organisasi dan keselamatan. Pimpinan disini bukan hanya
pada tingkatan manajemen akan tetapi sampai pada pimpinan lapangan seperti
foremen (Dingsdag et al., 2008).
Pendekatan budaya keselamatan dimulai dari level manajemen ke level yang
lebih rendah (top-down approach), sementara pendekatan perilaku keselamatan
dimulai dari level bawah ke level atas (bottom-up approach). Keberhasilan kedua
pendekatan tersebut bergantung pada ada tidaknya perubahan pada tata nilai dasar
dari organisasi, itikad, dan asumsi tentang keselamatan di tempat kerja. DeJoy (2005)
mengusulkan metode pendekatan terintegrasi antara pendekatan budaya keselamatan
dan perilaku keselamatan. Pendekatan budaya keselamatan lebih bersifat
komprehensif namun kurang memberikan solusi pada masalah keselamatan yang
spesifik. Disisi lain, pendekatan perilaku lebih bersifat spesifik dalam menyelesaikan
masalah keselamatan namun kurang komprehensif. Dengan demikian, disimpulkan
bahwa kombinasi pendekatan kedua metode ini akan saling melengkapi dan
menghasilkan perubahan yang lebih komprehensif sekaligus menyelesaikan masalah-

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
54

masalah keselamatan yang spesifik. Model pendekatan terintegrasi yang diusulkan


sangat baik dan dapat diterima secara konsep (DeJoy, 2005).

2.5.3.3. Budaya Keselamatan (Safety Culture)


Berawal dari laporan International Atomic Energy Authority (IAEA) pada
tahun 1991 tentang kecelakaan yang terjadi di Chernobyl yang memperkenalkan
budaya keselamatan, perhatian akan budaya keselamatan pada suatu organisasi mulai
dilirik sebagai salah satu penyebab terjadinya major accident. Usaha untuk
menurunkan tingkat kecelakaan dimulai dari usaha untuk memperbaiki dan
meningkatkan teknologi (engineering, equipment, Safety, compliance) dan sistem
(integrating HSE, certification, competence, risk assessment), namun demikian
teknologi dan sistem ini tidak dapat menurunkan tingkat kecelakaan sampai pada
tingkat yang diinginkan (Gambar 2.18). Kemudian pada akhir tahun 1990 dilakukan
pendekatan budaya (behavior, leadership, accountability, attitudes, HSE as profit
center), ternyata pendekatan ini dapat menurunkan tingkat kecelakaan ke level yang
lebih rendah. (Hudson, 2007).

Technology

Systems
 Behaviours
 Engineering  Culture
Leadership
 Equipment  Accountability
 safety  Attitudes
 Compliance  HSE as a profit centre

Culture
 Integrating HSE
 Certification
 Competence
 Risk Assessment

Gambar 2.18. Perkembangan Usaha Untuk Menurunkan Tingkat Kecelakaan.


Sumber : Hudson, 2007
Gambar 2.19 menggambarkan tingkatan-tingkatan budaya keselamatan K3.
Tingkatan paling bawah dari budaya keselamatan adalah pathological, dimana pada
kondisi ini setiap orang yang ada dalam organisasi tidak ada yang peduli satu sama

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
55

lain karena mengganggap itu adalah tanggung jawab dan risiko masing-masing.
Tingkatan kedua sedikit lebih baik daripada tingkatan pertama yaitu reaktif, dimana
sudah terbentuk budaya bertindak setelah terjadi kecelakaan atau kegagalan.
Tingkatan ketiga adalah calculative dimana pada tingkatan ini sudah terdapat sistem
pengendalian bahaya dan risiko di tempat kerja. Tingkatan keempat adalah proaktif
dimana safety leadership dan values sudah diterapkan, dan perbaikan secara terus
menerus sudah dilakukan dengan melibatkan pekerja untuk bersifat proaktif dalam
mengidentifikasi potensi bahaya dan risiko. Tingkatan paling tinggi adalah generatif,
pada tingkatan ini keselamatan dan kesehatan kerja sudah merupakan bagian dari
setiap proses dan kegiatan bisnis pada perusahaan tersebut dalam segala tingkatan
(Hudson, 2007).

Gambar 2.19. Tangga budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja.


Sumber : Hudson, 2007.
Edgar Schein, ahli psikologi organisasi, mengembangkan model tentang
budaya organisasi yang dikelompokkan pada tiga tingkatan yaitu sesuatu yang dapat
langsung teramati yang disebut artifak dan perilaku, sedangkan yang tidak teramati
tapi bisa diketahui dan dijabarkan adalah tata nilai, dan yang terakhir adalah asumsi
dasar. Menurut model ini setiap budaya keselamatan pada hakekatnya mempunyai
karakteristik tertentu. Karakteristik tersebut akan tampak pada tiap tingkatan baik
pada tingkat artifak dan perilaku, tingkat tata nilai maupun pada tingkat asumsi dasar
(Syaaf R.Z., 2008).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
56

Menurut Grote G. (2007) budaya keselamatan dapat ditinjau dari kaca mata
ketidakpastian manajemen organisasi. Ada dua pendekatan terhadap ketidakpastian
organisasi, yaitu:
1. Meminimalkan ketidakpastian (minimizing uncertainties-MU).
2. Mengatasi ketidakpastian (Coping with uncertainties-CU).
Ada kekurangan dan kelebihan masing-masing dari kedua metode pendekatan diatas.
Sistem budaya keselamatan diusulkan untuk mengkoordinasikan dan
mengintegrasikan kedua metode tersebut. Berdasarkan konsep socio-technical model
dari budaya keselamatan dikembangkan angket pertanyaan yang dapat digunakan
untuk audit manajemen dan budaya keselamatan. Ada 3 pendekatan konsep socio-
technical model yaitu Proactive, Socio-technical integration dan Values
consciousness. Mengaitkan sistem manajemen, budaya keselamatan dan
sociotechnical model dapat mengurangi kelemahan budaya keselamatan, karena:
• Budaya keselamatan akan lebih terpancang dan mengakar pada keseluruhan
organisasi.
• Disain organisasi akan terhubung dengan prinsip keselamatan baik dari sisi
material dan immaterial (moral).
Peran budaya keselamatan dalam pendekatan CU adalah soft coordination sementara
pendekatan MU adalah hard coordination. Pendekatan CU dengan soft coordination
lebih sesuai dilakukan untuk peningkatan partisipasi, keterlibatan, perilaku,
tanggungjawab, kepemimpinan dan interaksi team. Sementara pendekatan MU
dengan hard coordination lebih menekankan pada perintah dan kontrol sehingga lebih
sesuai untuk pekerjaan rutin.
Menurut Choudhry R.M., et al. (2007), untuk mengembangkan budaya
keselamatan yang positif ada beberapa point yang harus dilakukan yaitu; merubah
sikap dan perilaku, komitmen manajemen, keterlibatan karyawan, strategi promosi,
training & seminar dan spesial program. Budaya keselamatan yang positif memiliki
lima komponen:
1. Komitmen manajemen terhadap keselamatan.
2. Perhatian manajemen terhadap pekerja.
3. Kepercayaan antara manajemen dan pekerja.
4. Pemberdayaan pekerja.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
57

5. Pengawasan, tindakan perbaikan, meninjau ulang sistem dan


perbaikan secara terus menerus.
Ada dua pendekatan untuk mengukur kinerja sistem keselamatan:
- Reactive, Downstream or Lagging Indicators
- Proactive, Upstream or Leading Indicators
Berdasarkan hasil kajian berbagai literatur tentang budaya keselamatan yang
dilakukan oleh Choudhry R.M., et al. maka dapat disimpulkan bahwa:
• Ditemukan banyak organisasi termasuk bidang konstruksi sangat tertarik
dengan konsep budaya keselamatan sebagai media untuk mengurangi
kecelakaan kerja.
• Dari sisi definisi dapat ditegaskan bahwa budaya keselamatan tidak sama
dengan iklim keselamatan. Iklim keselamatan merupakan produk dari budaya
keselamatan.
• Budaya keselamatan yang positif akan menghasilkan sistem manajemen
keselamatan yang efektif.

2.5.3.4 Metodologi Kajian Keselamatan Faktor Manusia


Ada beberapa jenis metodologi yang digunakan dalam melakukan kajian
keselamatan faktor manusia dalam suatu organisasi dengan tujuan yang berbeda-beda.
Misalnya kajian perilaku dan budaya keselamatan dapat dilakukan untuk melihat pada
tahap mana perilaku dan budaya keselamatan suatu organisasi berada atau untuk
melihat hubungan antara tingkat kecelakaan dengan perilaku dan budaya keselamatan.
Setiap organisasi selalu memiliki ciri-ciri atau karakteristik sendiri-sendiri. Untuk
melihat ciri dan karakteristik tersebut dapat dilakukan dengan metode survey pada
seluruh pegawai dan juga pada organisasi. Data yang dinginkan dapat diperoleh
melalui metode wawancara, kuesioner, diskusi kelompok terfokus maupun dengan
cara pengamatan. Tentunya setiap metode yang ada mempunyai kelebihan dan
keterbatasannya sendiri-sendiri. Data yang diperoleh tentunya ada yang bersifat
kuantitatif maupun kualitatif dan masing-masing membutuhkan cara analisis
tersendiri untuk memperolah suatu kesimpulan yang tepat.
1. Penyebaran Angket (Questionare)
Metode yang paling sering digunakan dalam berbagai penelitian perilaku dan
budaya keselamatan adalah penyebaran angket secara langsung kepada para

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
58

pekerja untuk mendapat informasi dan data. Angket digunakan di dalam


survey atau sensus untuk memperoleh laporan fakta, sikap dan pernyataan
subjektif lainnya. Ada tiga perspektif teori yang harus diperhatikan dalam
membuat angket, yaitu (Martin, 2006):
1. Model Standar (The Model of the Standardized Survey Interview)
Menurut teori ini angket harus terdiri dari pertanyaan standar dengan
tolok ukur yang sama sehingga jawaban atau respon dari responden
dapat dibandingkan satu sama lainnya.
2. Question Answering as a Sequence of Cognitive Tasks
Teori ini distimulasi oleh usaha untuk mengaplikasikan psikologi
konginitif. Responden harus melakukan serangkaian tugas pengamatan
untuk menjawab pertanyaan dari angket. Mereka harus memahami dan
menginterpretasikan pertanyaan, menggali informasi dari ingatan,
memadukan informasi dan kemudian baru merespon pertanyaan.
3. Wawancara sebagai Percakapan (The Interview as Conversation)
Responden tidak harus mengartikan dan menjawab pertanyaan secara
harfiah, akan tetapi mereka dapat menyimpulkan dan mengartikan
pertanyaan tersebut sesuai dengan pemahaman dan kondisi mereka.
Pertanyan dibuat dalam bentuk naskah komunikasi yang
memungkinkan adanya interaksi antara penanya dan responden.
2. Observasi
Observasi adalah kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena
yang muncul, mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena
tersebut. Tujuan observasi adalah untuk mendeskripsikan setting yang
dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung dan makna kejadian yang
diamati tersebut. Deskripsi harus akurat, faktual sekaligus teliti tanpa harus
dipenuhi berbagai catatan panjang lebar yang tidak relevan. Patton (1990)
mengatakan data hasil observasi menjadi data penting karena (Poerwandari,
2005):
• Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks yang
diamati.
• Memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka, berorientasi pada
penemuan daripada pembuktian, dan mendekati masalah secara induktif.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
59

• Memungkinkan peneliti mengamati hal hal yang oleh partisipan sendiri


kurang disadari.
• Memungkinkan memperoleh data yang tidak diungkapkan oleh subyek
yang diteliti.
• Memungkinkan bergerak lebih jauh dari presepsi selektif yang ditampilkan
subyek.
• Memungkin peneliti merefleksikan dan bersikap introspektif terhadap
penelitian yang dilakukannya.
3. Audit Dokumen dan Catatan
Dokumen dan catatan sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai sumber
informasi atau data. Dokumen dan catatan yang digunakan dalam penelitian
tentunya adalah dokumen dan catatan resmi yang dapat
dipertanggungjawabkan, seperti laporan kecelakaan, work permit, work
instruction, laporan hasil rapat dan sebagainya. Alasan penggunaan dokumen
dan catatan sebagai sumber data adalah sebagai berikut (Moleong, 2005):
• Merupakan sumber yang stabil, kaya dan mendorong.
• Berguna sebagai bukti untuk suatu pengujian.
• Mudah diperoleh.
4. KJ Analysis (Affinity Diagram)

KJ analysis atau yang banyak dikenal dengan nama affinity diagram


adalah suatu teknik dalam menggali dan mengorganisasi informasi verbal
kedalam bentuk visual terstruktur. Metode ini dikembangkan oleh Jiro
Kawakita pada tahun 1960, dan banyak digunakan sebagai tools untuk
perbaikan atau peningkatan kinerja bisnis. Suatu KJ analysis dimulai dengan
suatu ide yang spesifik yang dapat kemudian dikembangkan menjadi kategori
yang lebih luas. KJ analysis dapat digunakan untuk:

1) Menentukan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap suatu masalah


atau kegagalan dan,
2) Mengidentifikasi area-area yang dapat diperbaiki.
KJ analysis merupakan suatu tools yang sangat bagus digunakan untuk
mengajak peserta diskusi untuk lebih kreatif dalam mencari solusi suatu
permasalahan. Metode ini sangat baik digunakan dalam suatu kelompok yang

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
60

memiliki latar belakang dan keahlian yang berbeda-beda, atau situasi yang
cukup rumit dan membingungkan dimana situasi yang dihadapi belum tergali
atau diketahui secara baik oleh peserta diskusi. Beberapa hal yang unik dari
metode KJ analysis adalah:
1. Affinity silently; adalah cara yang paling efektif dalam
menyampaikan ide dalam sebuah kelompok yaitu dengan
menampilkan ide secara tertulis tanpa bicara. Hal ini memiliki
dua hal yang positip yaitu mendorong cara berfikir yang tidak
konvensional dan yang kedua mengurangi pertengkaran atau
pertentangan.
2. Go for gut reaction; adalah mendorong anggota kelompok
untuk bereaksi cepat terhadap apa yang dilihat atau dipikirkan.
Dan semua anggota kelompok dapat menyampaikan apa yang
ada dalam pikirannya.
3. Handle disagreement simply; adalah cara sederhana untuk
menangani ketidak sepakatan dalam cara pandang terhadap
suatu ide. Jika seseorang atau anggota kelompok tidak setuju
terhadap suatu idea pada kategori tertentu, mereka tinggal
memindahkan kedalam kategori yang lebih tepat hingga
ditemukan konsensus, jika tidak ditemukan konsensus maka
dapat dibuat duplikat idea untuk kedua kategori.
Metode ini dilakukan dengan cara brainstorming untuk mendapatkan ide-ide
dari peserta diskusi sesuai dengan topik diskusi. Brainstorming dilakukan
bukan dengan menyampaikan pendapat secara verbal akan tetapi disampaikan
secara tertulis diatas sepotong kertas berupa kartu atau post-it note. Kemudian
ide-ide atau pendapat tersebut ditempelkan pada papan tulis atau dinding
dimana memungkinkan untuk mengelompokkan ide-ide yang sama kedalam
satu kategori (Gambar 2.20). Semua peserta kelompok diskusi diajak untuk
membaca semua ide-ide yang tertempel dan mengelompokkan secara
bersama-sama untuk mendapatkan konsensus serta memberi nama kategori-
kategori tersebut (Gambar 2.21). Melalui diskusi dengan peserta kemudian
dicari hubungan sebab dan akibat dari semua kategori yang ada.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
61

Gambar 2.20. Ide-ide dalam bentuk post-it note yang ditempelkan oleh peserta diskusi
Metode-metode tersebut diatas dapat digunakan secara sendiri-sendiri atau
gabungan beberapa metode, hal ini tentunya tergantung dari jenis dan kedalam
informasi yang ingin diperoleh. Namun dalam banyak penelitian budaya dan perilaku
keselamatan, metode yang paling sering digunakan adalah metode penyebaran angket.
Beberapa penelitian menggabungkan penyebaran angket dengan fokus grup diskusi
dan audit dokumen dan catatan untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif.

Gambar 2.21. Ide-ide dalam bentuk post-it note yang ditempelkan oleh peserta diskusi
dan telah dikelompokkan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
62

2.6. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja


Keselamatan dan kesehatan kerja harus mempunyai kerangka pikir yang
bersifat sistimatis dan berorientasi kesistiman pada penerapannya di berbagai sektor
didalam kehidupan atau disuatu organisasi. Untuk menerapkan keselamatan dan
kesehatan kerja ini diperlukan juga pengorganisasian secara baik dan benar. Sehingga
diperlukan Sistim Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang
terintegrasi dan perlu dimiliki oleh setiap organisasi. Melalui sistim manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, pola pikir dan berbagai pendekatan yang ada
diintegrasikan ke dalam seluruh kegiatan operasional organisasi sehingga organisasi
dapat berproduksi dengan cara yang sehat dan aman, efisien serta menghasilkan
produk yang sehat dan aman pula serta tidak menimbulkan dampak lingkungan yang
tidak diinginkan.
Dewasa ini, perlunya organisasi memiliki sistim manajemen keselamatan dan
kesehatan kerja yang terintegrasi sudah merupakan suatu keharusan dan telah menjadi
peraturan. Organisasi Buruh Sedunia (ILO) menerbitkan panduan Sistim Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Di Indonesia panduan yang serupa dikenal dengan
istilah SMK3, sedang di Amerika OSHAS 1800-1, 1800-2 dan di Inggris BS 8800
serta di Australia disebut AS/NZ 480-1. Secara lebih rinci lagi asosiasi di setiap sektor
industri di dunia juga menerbitkan panduan yang serupa seperti misalnya khusus
dibidang transportasi udara, industri minyak dan gas, serta instalasi nuklir dan lain-
lain sebagainya. Baru-baru ini organisasi tidak hanya dituntut untuk memiliki sistim
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi, namun juga
diharapkan memiliki budaya sehat dan selamat (safety and health culture) dimana
setiap anggotanya menampilkan perilaku aman dan sehat.

2.6.1. Sistem Manjemen Keselamatan Terintegrasi


Definisi ”integrasi” didalam kamus bahasa sering diartikan ”mengabungkan”.
Dalam banyak kasus mengintegrasikan sistem manajemen standar adalah
menggabungkan elemen-elemen dari berbagai sistem dan hasil penggabungan tersebut
dikatakan sebagai sistem terintegrasi. Berdasarkan definisi dari British Standard
Institute, bahwa perubahan gabungan menjadi terintegarsi adalah sebagai berikut:
• Langkah 1 – Pengabungan: Sistem manajemen yang terpisah
digunakan secara bersama-sama dalam satu organisasi.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
63

• Langkah 2 – Dapat diintegrasikan: Elemen-elemen umum didalam


sistem manajemen telah diidentifikasi.
• Langkah 3 – Mengintegrasikan: Elemen-elemen umum yang telah
diidentifikasi sedang diintegrasikan.
• Langkah 4 – Terintegrasi: Ada satu sistem yang menggabungkan
semua elemen-elemen umum.
Strategi penggabungan sudah terdapat didalam standar primer kunci, sebagai contoh
adalah Anex B dari ISO 14001 yang menjelaskan hubungan antara ISO 9001:2000
dan ISO 14001:2004. Tabel A.1 dari OHSAS 18001:19999 memperlihatkan
hubungan antara OHSAS 18001:19999, ISO14001:1996 (versi lama) dan ISO
9001:2000. Meskipun terlihat mudah untuk mengintegrasikan dari sistem-sistem
tersebut, namun sebenarnya tidak semudah yang dibayangkan dengan hanya
menggabungkan begitu saja elemen-elemen yang sama. Integrasi yang sejati (genuine
integration) tidak hanya sekedar menggabungkan elemen-elemen umum menjadi satu
sistem akan tetapi adalah bagaimana suatu organiasi dapat mendorong proses integrasi
itu lebih jauh dengan cara melibatkan keryawan, proses review dan pendekatan sistem
sehingga sistem tersebut benar-benar terintegrasi secara sistem dan terintegrasi penuh
kedalam organisasi operasi bisnis (Pojasek R.B., 2006).

Gambar 2.22. Sistem Terintegrasi Dari Sudut Pandang Pekerja.


Sumber : Pojasek R.B., 2006
Untuk mendapat sistem terintegrasi yang benar, maka fokus dari sistem
manajemen harus dipusatkan pada karayawan yang menjadi pelaksana dari sistem

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
64

yang diintergasikan tersebut didalam suatu organisasi (Gambar 2.22). Integrasi dari
komponen-komponen sistem manajemen terfasilitasi apabila karyawan yang bekerja
dalam suatu organisasi bertanggung jawab langsung terhadap masalah-masalah
kualitas, lingkungan dan keselamatan dan kesehatan kerja. Integrasi sistem
manajamen dalam tingkat pekerja akan mengurangi kebingungan pekerja yang sering
terjadi apabila berhadapan dengan multistandar dari berbagai sistem (Pojasek R.B.,
2006).
Konsep manajemen keselamatan yang lebih moderen memiliki filosofi bahwa
keselamatan kerja berhubungan dengan kualitas produk. Hal ini dapat dilihat dari
proses evolusi dari sistem manajemen keselamatan dan dibandingkan dengan sistem
manajemen kualitas maka dapat dilihat ada kesamaan dalam proses evolusi kedua
sistem tersebut (Tabel 2.6). Kedua sistem manajemen ini mengarah pada konsep yang
sama yaitu Total Quality dan Total Safety. Dumas (1987) melakukan kajian dilebih
200 perusahaan selama 5 tahun, dan dia menyimpulkan bahwa ada kesamaan
komponen dari sistem manajemen kualitas dan keselamatan. Dan salah satu
kesimpulan dari studi yang dilakukan Dumas adalah bahwa keselamatan adalah salah
satu dimensi dari kualitas, misalnya mengurangi cacat produk berarti juga mengurangi
pratek tindakan tidak aman. Minter (1991) juga memastikan bahwa sebagai
konsekuensi dari segala sesuatu yang aman atau selamat akan berdampak pada
kualitas yang baik. Oleh karena tujuan dari kontrol kualitas adalah memperbaiki
kualitas produk melalui pendeteksian dan pengurangan produk cacat, dengan cara
yang sama maka tujuan dari kontrol keselamatan dapat didefinsikan sebagai
pengurangan kecelakaan melalui pengurangan tindakan tidak aman dan kondisi kerja
tidak aman (Herrero G.S. et. al., 2002).

Tabel 2.6 Tahapan Evolusi Dari Konsep Manajemen Keselamatan dan Kualitas
Quality management steps Safety management steps
Quality control Safety control
Quality assurance Safety assurance or guarantee
Total quality Total safety

Sumber : Herrero G.S. et. al., 2002


Dengan melihat adanya kesamaan dari berbagai elemen dari kedua sistem
manajemen ini (Tabel 2.7), maka dalam konsep manajemen keselamatan yang

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
65

moderen kedua sistem ini mulai diintegrasikan dalam penerapannya. Menurut


Manzella (1977), sistem manajemen keselamatan yang terintegrasi dengan sistem
manajemen kualitas akan menghasilkan kinerja keselamatan yang sangat baik.

Tabel 2.7. Prinsip dan Hubungan Sistem Manajemen Kualitas dan Keselamatan Kerja
Safety Quality
Objective: zero accidents Objective: zero defects
Analysis of incidents Analysis of events
Documenting the politics of safety Documenting the politics of quality
the procedures and the instructions the procedures and the instructions of work
Safety committees Quality circles
Participation of the workers Participation of the workers
Statistical analysis Statistical control of the process
All accidents and injuries could be
prevented The not conformities could be prevented

Source: Manzella (1997)

Gambar 2.23. Sistem Keselamatan Terintegrasi yang Dikembangkan oleh Weinstein


Sumber : Herrero G.S. et. al., 2002
Rahimi (1995) mengusulkan integrasi rencana strategik (jangka panjang) dari
keselamatan kerja kedalam Total Quality Management System (TQMS). Dari model

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
66

yang diusulkan oleh Rahimi termasuk konsep strategic safety management (SSM) dan
self-managed teams (SMT). Salah satu karakteristik dari model Rahimi ini adalah
team yang juga terintegrasi antara team keselamatan kerja dan kualitas sehingga
terbentuk kerjasama yang baik (teamwork). Weinstein (1996) mengembangkan Safety
Hazard Management System (SHMS) yang mengintergrasikan prinsip-prinsip TQM,
persyaratan dari ISO 9000 dan persyaratan teknis dari standar atau regulasi yang ada,
bentuk sistem tersebut seperti pada Gambar 28 (Herrero G.S. et. al., 2002)..
Dalam banyak kasus, perusahaan tidak memiliki pilihan dalam menerapkan
sistem manajemen tersebut secara terpisah, hal ini disebabkan karena rentang waktu
dari proses ratifikasi sistem manajemen tersebut yang memang sangat berjauhan.
Sebagai contoh, ISO 9000 diratifikasi pertama kali tahun 1987, sementara ratifikasi
ISO 14000 baru dilakukan pada tahun 1996 dan OHSAS 18001 pada tahun 2000. Hal
ini telah menyebabkan pendekatan terhadap penyelesaian masalah baik kualitas,
keselamatan dan lingkungan dilakukan secara bagian per bagian (piecemeal
approach). Pendekatan seperti ini telah mulai berubah karena dianggap tidak efektif
dan efesien, banyak perusahaan sudah melakukan pendekatan yang lebih kearah
sistem manajemen yang bersifat lebih komprehensif dan terintegrasi. Sistem
terintegrasi tidak hanya menguntungkan akan tetapi dari sisi operasional juga lebih
hemat dan bersinergis (Krause L.J. et.al., 2008).
Pada umumnya kebanyakan perusahaan melakukan integrasi antara sistem
manajemen lingkungan ISO 14001 dengan sistem manajemen keselamatan OHSAS
18001 dan/atau sistem manajemen kualitas ISO 9001. Dalam perkembangannya
sistem manajemen ISO 14001 dan ISO 9001 telah diselaraskan dan diharmoniskan
sehingga lebih mudah untuk diintegrasikan. Demikian pula halnya dengan OHSAS
18001 yang juga telah memiliki kesamaan struktur dengan ISO 14000 sehingga dapat
diintergasikan baik dengan ISO 14001 maupun ISO 9001 (Krause L.J. et.al., 2008).
Pada tahun 1996, CCPS mengeluarkan guideline untuk mengintegrasikan
antara Process Safety Management, Environment, Safety, Health and Quality. Sistem
manajemen tersebut dikembangkan secara terpisah dan mandiri, meskipun elemen-
elemennya memiliki kesamaan disana-sini. Hal tersebut membuat penerapan beberapa
sistem tersebut secara terpisah menjadi tidak efektif dan efesien. Hal inilah yang
melatar belakangi dikeluarkannya guideline ini dan ditambah dengan adanya
kebutuhan pada saat itu oleh perusahaan-perusahaan di Amerika, yaitu:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
67

1. Meningkatnya dan tumpang tindihnya regulasi yang dikeluarkan oleh


pemerintah, hal ini berdampak pada sistem dokumentasi, program dan
perbaikan kinerja.
2. Adanya tekanan untuk menurunkan biaya operasional dan pada saat yang
sama harus meningkatkan kinerja.
3. Adanya tekanan untuk melakukan perbaikan terus menerus dan berhenti
melakukan tindakan koreksi terhadap kegagalan.
4. Menyadari adanya keuntungan dari sistem integrasi manajemen yang lain
yang sudah diterapkan.
Gambar 2.24 memperlihatkan kerangka sistem terintegrasi yang dimaksud
oleh CCPS dalam guideline ini. Meskipun guideline ini dikembangkan untuk
mengintegrasikan PSM dan ESH, namun tidak menutup kemungkinan untuk
menambahkan program lain (CCPS, 1996). Proses penggabungan beberapa sistem ini
berangkat dari kesamaan masing-masing elemen untuk setiap program. Dalam
mempersiapkan justifikasi awal untuk mengintegrasikan sistem manajemen tersebut
maka perlu dilakukan tahapan seperti pada Gambar 2.25

Gambar 2.24. Kerangka Sistem Terintegrasi Process Safety Management,


Environment, Safety, Health and Quality.
Sumber : CCPS, 1996

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
68

Inventory PSM and ESH


Programs and Elements

Develop initial listing of


integrated programs and
elemements

Develop usefulness of
quality management
system for integration

Identify commonalities
and integrastion
opportunities

Gambar 2.25. Tahap Pengembangan Justifikasi Awal Sistem Terintegarsi.


Sumber : CCPS, 1996
Langkah pertama yang dilakukan adalah menginventarisir semua program dan
elemen-elemen yang terdapat dalam sistem manajemen PSM, ESH dan kualitas.
Dalam melakukan inventarisir elemen-elemen dan program dari masing-masing
sistem manajemen ini harus diketahui dengan baik tujuan dan isi dari elemen dan
program tersebut, sekaligus dilihat dan dipelajari kemungkinan elemen dan program
itu dikembangkan kedalam sistem manajemen lainnya. Sebagai contoh, apakah
program pencegahan tumpahan bahan kimia dalam sistem manajemen lingkungan
dapat digunakan atau dikembangkan kedalam sistem manajemen keselamatan, PSM
atau kualitas. Langkah kedua adalah membuat daftar semua elemen-elemen atau
program-program yang memungkinkan untuk diintergasikan, kemudian membuat
prioritas mana yang lebih penting atau yang harus didahulukan. Tahap ketiga melihat
atau mempelajari manfaat atau masalah yang mungkin muncul dari masing-masing
elemen atau program terintegrasi tersebut, termasuk mempelajari dampaknya terhadap
proses dan biaya operasional. Dan tahap terakhir adalah mengidentifikasi hal-hal yang
berlaku umum dan kemungkinan untuk diintegrasikan (CCPS, 1996)
Menurut Savic.S (2001), menginterasikan sistem terdiri dari tiga fasa, yaitu;
fasa pertama adalah mengurai semua sistem manajemen yang akan diintegrasikan,
fasa kedua menyatukan elemen-elemen yang umum dan fasa ketiga adalah

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
69

mengintegrasikan elemen-elemen umum tersebut. Elemen-elemen dikatakan umum


apabila memiliki:
- Kepentingan dan tujuan yang sama.
- Proses organisasi dan lingkungan yang sama.
- Metoda dan teknik, teori manajemen dan praktek yang sama.
- Proses manajemen konsep yang serupa.
- Sumber daya manajemen konsep yang serupa.
- Konsep pengukuran, analisa dan perbaikan yang sama.
- Tanggung jawab manajemen yang sama.
- Konsep bisnis, misi dan visi organisasi yang sama.

Gambar 2.26. Ilustrasi Dari Sistem Manajemen Terintegrasi.


Sumber : Savic.S, 2001
Berdasarkan konsep pengembangan sistem terintegrasi ini maka memungkin
untuk mengembangkan sistem manajemen terintegrasi seperti ilustrasi sistem
manajemen terintegrasi pada Gambar 2.26 Dimana dalam sistem manajemen
terintegarsi tersebut dibagun oleh elemen-elemen umum dari sistem manajemen yang
diintegrasikan (B) dan memungkinkan juga terdapat elemen atau program yang tidak
standar (A).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
70

2.6.2. Sistem Manajemen Bahaya Reaktifitas Kimia


Manajemen bahaya reaktifitas kimia adalah upaya terus menerus untuk
melindungi properti, pekerja, kontraktor, masyarakat dan lingkungan dari bahaya
reaktifitas kimia (Johnson et al., 2003). Pada tahun 2003, CCPS mempublikasikan
guidelines cara pelaksanaan manajemen bahaya reaktifitas kimia (Essential Practice
for Managing Chemical Reactivity Hazards) yang lebih mudah dipahami (Berger,
2006). Dalam guidelines baru ini terdapat 12 elemen penting dari manajemen bahaya
reaktifitas kimia, dimana elemen-elemen tersebut sejalan dengan sistem manajemen
yang sudah ada yaitu Proses Safety Management Standard (PSM), Tabel 2.8.
Sebagian elemen-elemen yang terdapat dalam PSM telah menerapkan prinsip-prinsip
manajemen bahaya reaktifitas kimia.

Tabel 2.8. Perbandingan Manajemen Bahaya dari CCPS, OSHA PSM/EPA RMP
Rule dan Saveso II
Chemical Reactivity Hazard CCPS Elements OSHA PSM Seveso II
Management Standard and EPA
RMP Rule
2.2. Life Cycle Issues Management of Change Management of Management of
Change Change
2.4. Product Stewardship Enhancement of — —
Process Safety
Knowledge
4.1. Develop System to Management Systems Management System Safety
Manage Chemical Reactivity Management
Hazards System
4.2. Collect Chemical Process Knowledge and Process Safety Identification of
Reactivity Data Documentation Information Major Hazards
4.3. Identify Chemical Process Risk Process Hazard Identification of
Reactivity Hazards Management Analysis Major Hazards
4.4. Test for Chemical Process Knowledge Process Safety Identification of
Reactivity and Documentation Information Major Hazards
4.5.Assess Chemical Process Risk Process Hazard Evaluation of
Reactivity Risks Management Analysis Major Hazards
4.6.Identify Process Controls Process Risk Process Hazard Operational
and Risk Management Management Analysis Control
Options
4.7. Document Chemical Process Knowledge and Process Safety Operational
Reactivity Risks and Documentation Process Information, Control
Management Decisions Risk Management Process Hazard
Analysis and
Operating
Procedures
4.6. Communicate and Train Training and Training Contractors Organization and
on Chemical Reactivity Performance Personnel
Hazards Process Risk

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
71

Management
4.9. Investigate Chemical Incident Investigation Incident Investigation Monitoring
Reactivity Incidents Performance
4.10. Review, Audit, Manage Audits and Corrective Compliance Audits Audit and Review
Change, and Improve Action Management of Management of
Hazard Management Management of Change Change Change
Practice/Program Enhancement of
Process Safety
Knowledge

Sumber : Johnson et al, 2003


Meskipun banyak diantara keduabelas elemen tersebut diatas sejalan dengan
sistem manajemen yang sudah ada yaitu Proses Safety Management Standard (PSM)
yang dikeluarkan oleh CCPS, OSHA dan Saveso II, namun masih terdapat beberapa
elemen dari ketiga PSM tersebut yang belum masuk atau terakomodasi dalam sistem
manajemen bahaya reaktifitas kimia (Tabel-2.9).

Tabel 2.9. Elemen-Elemen PSM yang Belum Masuk Dalam Sistem Manajemen
Bahaya Reaktifitas Kimia

CCPS Elements OSHA PSM Standard and Seveso II


EPA RMP Rule

• Process Safety Review • Employee Participation • Planning for


• Procedures for Capital • Pre-Startup Safety Review Emergencies
Projects • Mechanical Integrity
• Process and Equipment • Hot Work Permit
Integrity • Emergency Planning and
• Human Factors Response
• Company Standards, Codes • Trade Secrets
and Regulation

Sumber : Johnson et al., 2003

Menurut Makin (2008) bahwa sistem manajemen keselamatan harus dibangun


dan disesuaikan dengan individu organisasi. Konsep tersebut harus mencakup tiga
strategi secara bersamaan yaitu safe place, safe person and safe system (Gambar
2.27). Ketiga strategi tersebut terkait dengan bahaya ditempat kerja (workplace
hazards), yaitu:
1. Focusing on the physical workplace.
2. Focusing on people.
3. Focusing on management issues.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
72

Gambar 2.27. Strategi Dalam Hal Menangani Bahaya yang Kompleks.


Sumber : Makin, 2008
Tabel 2.10 menjelaskan kerangka konsep dari sistem manajemen keselamatan,
dimana terdapat keseimbangan antara ketiga strategik elemen sebagaimana tersebut
diatas yaitu safe place, safe person dan safe system, yang mencakup perencanaan ke
depan atau program yang bersifat lebih proaktif; implementasi dari masing-masing
strategik elemen, baik yang bersifat rutinitas maupun yang memerlukan keahlian
khusus; pengambilan langkah darurat saat langkah pencegahan dan kontrol tidak
berjalan dengan baik, juga pengkajian dan monitoring terhadap elemen-elemen yang
ada untuk meningkatkan efektifitas proses. Kebanyakan elemen-elemen dari suatu
sistem manajemen keselamatan tradisional lebih fokus pada pencegahan dan kontrol
yang merupakan respon terhadap bahaya, misalnya tidak adanya arahan dan fokus
yang jelas dalam suatu organisasi diatasi dengan adanya kebijakan dan visi-misi
perusahaan yang terukur, training bagi pekerja dilakukan untuk mengatasi minimnya
keterampilan dan tingkat penguasaan atau kompetensi dari pekerja, melakukan update
prosedur dan mengakses peraturan-peraturan yang terkini untuk menghindari masalah
pada penggunaan data atau informasi yang sudah kadaluarsa. Umumnya, sistem
manajemen keselamatan memisahkan antara pengendalian bahaya untuk bahaya-
bahaya yang umum dengan bahaya yang unik pada industri atau proses tertentu, yang
kemudian diklasifikasikan menjadi syarat-syarat umum untuk mengindentifikasi dan
mengontrol bahaya di tempat kerja secara keseluruhan. Pendekatan tersebut dapat
merubah nilai dan tujuan dari beberapa elemen yang ada dalam sistem manajemen
keselamatan yang umum dan memberikan petunjuk yang jelas hanya untuk beberapa
bahaya yang ada pada organisasi (Makin, 2008).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
73

Tabel 2.10. Pengelompokan Strategi OHS-MS

Safe place Safe person Safe systems


Equal opportunity/anti-
Baseline risk assessment harassment OHS policy
Ergonomic assessment Training needs analysis Goal setting
Access/agress Inductions-contractors/visitors Accountability
Plant/equipment Selection criteria Due diligence review/gap analysis
Materials
storage/handing/disposal Work organization Resource allocation/administration
Amenities/environment Accommodating diversity Procurement with OHS Criteria
Electrical Job descriptions Supply with OHS consideration
Noise Training Competent supervision
Hazardous substances Behavior modification Safe working procedures
Biohazards Health promotion Communication
Networking, mentoring, further
Radiation education Consultation
Installations/demolition Conflict resolution Legislative updates
Preventive maintenance Employee assistance programs Procedural updates
Modifications- peer
review/commissioning First aid/ reporting Record keeping/archives
Security - site/personal Rehabilitation Customer service-recall/hotlines
Emergency preparedness Health surveillance Incident management
housekeeping Performance appraisals Self assessment tool
Plant inspections/monitoring Feedback programs Audits
Risk review Review of personnel turnover System review

Sumber : Makin, 2008

Bellamy (2008) mengembangkan suatu model pengendalian risiko terintegrasi


antara faktor manusia, sistem manajemen keselamatan dan isu organisasi yang
bersifat holistik, dimana ketiga faktor utama tersebut merupakan satu kesatuan yang
kuat dan tidak dapat berdiri sendiri. Model ini dikembangkan berdasarkan kajian
terhadap berbagai kecelakan katastropik yang pernah dilaporkan seperti Flixborough
(1974), Grangemouth (UK, 13 March 1987), Allied Colloids (UK, 1992), Hickson
and Welch (UK, 1992), Cindu (The Netherlands, 1992), Associated Octel (UK, 1994),
Texaco (UK, 1994) dan Longford (Australia, 1998). Bellamy mengembangkan model
terintegrasi ini melalui tiga tahapan penting, yaitu:
1. Mengembangkan taxonomy
2. Mendisain model kerja
3. Melakukan workshop untuk validasi
Dari hasil pengembangan taxonomy dari berbagai kajian terhadap kecelakaan kerja
diatas, maka diperoleh satu atau lebih kontributor utama disetiap kecelakaan yaitu
organisasi, manajemen keselamatan, faktor manusia dan sistem kontrol risiko. Jumlah
elemen taxonomy dari keseluruhan kecelakaan adalah 400, termasuk 44 diantaranya

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
74

bukan dari faktor manusia, sistem manajemen atau organisasi. Komponen-komponen


yang diintegrasikan berbasis analisa kecelakaan tersebut terdiri dari 50 elemen
organisasi, 162 elemen sistem manajemen keselamatan, 92 elemen faktor manusia dan
52 elemen sistem kontrol risiko. Tahapan yang terpenting adalah menentukan alasan
utama atau hipotesa mengapa faktor manusia, sistem manajemen keselamatan dan isu
organisasi ada secara bersama-sama didalam suatu kecelakaan. Dalam elemen-elemen
taxonomy yang dihasilkan dari studi kasus ini, dapat dilihat beberapa fungsi kritis
yang umum untuk banyak kasus sehingga dapat dilihat hubungannya, sementara
banyak juga yang tidak dapat dilihat hubungannya.
Untuk mengintegrasikan elemen-elemen taxonomy yang cukup komplek
tersebut, maka Bellamy menggunakan warning triangle model yang diambil dari
NFPA hazard diamond concept (Gambar 2.28a). Keuntungan dari model ini adalah
bahwa tiga kandidat elemen yang diintegrasikan dapat digabungkan dengan triangle-
triangle lain untuk membentuk suatu triangle yang lebih besar (pyraMAP; pyramide
Major Accident Prevention ) dengan kontrol risiko sebagai pusat (Gambar 2.28b).

(a) (b)
Gambar 2.28. Warning Triangle Model Dalam Mengintegrasikan Faktor Manusia,
Organisasi dan Sistem Manajemen Menjadi Suatu Sistem yang Bersifat Holistik.

Sumber : Bellamy, 2008

2.7. Penerapan Sistem Manjemen Keselamatan di Indonesia


Jumlah pekerja seluruh Indonesia berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
Badan Pusat Statistik per Februari 2007 adalah 97,583,141 pekerja baik industri
formal maupun informal. Sementara jumlah perusahaan yang bergerak di bidang

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
75

manufaktur skala besar dan sedang pada tahun 2005 berjumlah 20,729 perusahaan
yang memperkerjakan sekitar 12,094,067 pekerja. Meskipun jumlah pekerja di
industri manufaktur hanya 12,4% dari total seluruh pekerja di Indonesia, namun para
pekerja di industri manufaktur ini sangat tinggi tingkat risiko kesehatannya karena
tingkat pajanan bahaya selama bekerja (BPS, 2007).
Pada tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea
menyatakan keprihatinannya terhadap keselamatan kerja, dengan menyebutkan bahwa
kecelakaan kerja menyebabkan hilangnya 71 juta jam orang kerja (71 juta jam yang
seharusnya dapat secara produktif digunakan untuk bekerja apabila pekerja-pekerja
yang bersangkutan tidak mengalami kecelakaan) dan kerugian laba sebesar 340
milyar rupiah. Tabel 2.11 berikut ini menyajikan jumlah kecelakaan kerja dan
santunan kecelakaan kerja yang dibayarkan selama periode 1996-1999. Data yang
disajikan dalam industri ini diambil dari database ASEAN OSHNET.

Tabel 2.11. Jumlah Kecelakaan Tercatat yang Terkait Dengan Pekerjaan dan Jumlah
Kompensasi yang Dibayarkan Selama Periode 1995-1999

Kasus kecelakaan Kompensasi/ ganti rugi yang


Tahun dibayarkan (dalam milyaran
Total Fatal Cacat permanen Cacat sementara
rupiah)
1995 65.949 902 13.282 51.765 39
1996 82.066 784 8.907 72.375 50
1997 95.759 1.089 7.877 86.773 71
1998 88.336 1.375 11.86 78.163 76
1999 80542 1.476 11.871 67.195 83

Sumber : The ASEAN OSHNET


Sementara jumlah tenaga pengawas ketenagakerjaan yang minim
menyebabkan pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Indonesia
masih sangat buruk. Akibatnya, setiap tahun perusahaan harus mengalami
pengurangan produktivitas, dan kerugian ditaksir mencapai Rp 80 miliar-Rp 100
miliar setiap tahun. ”Pelaksanaan K3 tidak hanya untuk buruh, tetapi juga perusahaan.
Karna itu, semua pihak harus bersama mengindahkan dan melaksanakan K3,” kata
Ketua Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N), di sela-sela acara
Training of Trainer (ToT) K3 se-Sumatera, yang dilaksanakan oleh Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, Kamis (30/10). Dikatakannya, minimnya
pengawas ketenagakerjaan tersebut, terlihat dari anggaran yang disiapkan pemerintah

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
76

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Yakni, dialokasikan hanya
untuk penambahan 60 orang tenaga pengajar saja setiap tahun (Medan Online,
31/10/2008).
Sayangnya, masih sedikit perusahaan di Indonesia yang berkomitmen untuk
melaksanakan pedoman SMK3 dalam lingkungan kerjanya. Menurut catatan SPSI,
baru sekitar 45% dari total jumlah perusahaan di Indonesia (data Depnaker tahun
2002, perusahaan di bawah pengawasannya sebanyak 176.713) yang memuat
komitmen K3 dalam perjanjian kerja bersamanya. Jika perusahaan sadar,
komitmennya dalam melaksanakan kebijakan K3 sebenarnya dapat membantu
mengurangi angka kecelakaan kerja di lingkungan kerja. Dengan sadar dan
berkomitmen, perusahaan akan melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan kondisi
kerja yang aman dan sehat. Komitmen perusahaan yang rendah ini diperburuk lagi
dengan masih rendahnya kualitas SDM di Indonesia yang turut memberikan point
dalam kejadian kecelakaan kerja, data dari Badan Pusat Statistik tahun 2003
menunjukkan bahwa hanya 2,7% angkatan kerja di Indonesia yang mempunyai latar
belakang pendidikan perguruan tinggi dan 54,6% angkatan kerja hanya tamatan SD
(Info Safety, 2009).
Beberapa faktor yang menghambat atau menjadi kendala dalam pelaksanaan
K3 di negara-negara berkembang adalah [Rosenstock, 2004):
• Akses terhadap informasi K3 yang sangat terbatas.
• Tingkat pengetahuan K3 para manajer dan pekerja yang rendah.
• Alat-alat safety yang tersedia di pasaran sangat terbatas dan berkualitas
rendah.
• Konflik regional, tekanan ekonomi, faktor klimatologi dan pertukaran
tenaga asing yang sedikit sehingga mempersulit pelaksanaan K3.
• Jumlah tenaga kerja tinggi sementara lapangan kerja sedikit.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut diatas, maka strategi yang harus
diterapkan harus meliputi strategi berskala internasional, nasional, tempat kerja
(organisasi) dan individu pekerja.
Intervensi dari pemerintah dalam menciptakan aturan dan sistem ditempat
kerja dalam bidang K3 sangatlah penting. Hal ini dibuktikan oleh negara-negara
industri yang memiliki kerangka kebijakan K3 yang kuat dan penegakan hukum
secara tegas dapat memperbaiki situasi ditempat kerja secara signifikan. Disamping

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
77

itu kontrol dari pemerintah tehadap pelaksanaan K3 dilapangan lebih efektif untuk
memperbaiki kesehatan pekerja, hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan
strategi K3 untuk meningkatkan daya saing perusahaan [Rosenstock, 2004].

2.8. Profil Industri Kimia Hilir di Indonesia


Berdasarkan informasi yang diperoleh dari direktori/profil perusahaan,
Koleksi Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) Departement Perindustrian, terdapat
10 klasifikasi industri kimia dengan 299 perusahaan yang tersebar diseluruh Indonesia
(Tabel 2.12). Penentuan jenis industri kimia hilir pada studi ini didasarkan pada
Peraturan Menteri Perindustrian Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 07/M-
IND/PER/5/2005, tentang Penetapan Jenis-jenis Industri dalam Pembinaan Masing-
masing Direktorat Jendral di Lingkungan Departemen Perindustrian, jumlah cabang
industri yang berada dalam lingkup pembinaan Direktorat Industri Kimia Hilir (IKH)
ada 55 jenis industri berdasarkan pada KBLI 5 Digit (Deprin, 2008).

Tabel 2.12. Klasifikasi dan Jumlah Industri Kimia yang Terdaftar di PUSDATIN.
Klasifikasi Industri Kimia Jumlah Industri
Industri Kimia Dasar Anorganik Gas Industri 44
Industri Kimia Dasar Anorganik Khlor dan Alkali 5
Industri Kimia Dasar Anorganik Pigment 10
Industri Kimia Dasar Organik yang Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lain 48
Industri Kimia Dasar Organik yang Menghasilkan Bahan Kimia Khusus. 50
Industri Kimia Dasar Organik yang Bersumber dari Minyak Bumi, Gas Bumi dan
Batu Bara 7
Industri Kimia Dasar Organik, Bahan Baku Zat Warna dan Pigmen, Zat Warna dan
Pigmen 20
Industri Kimia Dasar Organik, yang bersumber dari hasil pertanian. 37
Industri Kimia Dasar Organik yang Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lain 37
Industri Bahan Kimia dan Barang Kimia Lainnya 41
Total 299

Manajemen bahaya reaktifitas kimia juga tidak begitu dikenal dikalangan


industri kimia baik hulu maupun hilir di Indonesia. Beda halnya dengan PSM yang
sudah diterapkan oleh sebagian industri kimia hulu, dan hanya beberapa industri
kimia hilir terutama perusahaan multinasional (PMA) yang sudah menerapkan PSM
ini. Rendahnya tingkat penerapan PSM dan manajemen bahaya reaktifitas kimia pada

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
78

industri kimia hilir adalah karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh
perusahaan seperti sumber daya manusia, teknologi dan dana. Disamping itu elemen-
elemen yang terdapat dalam manajemen reaktifitas kimia yang dikeluarkan oleh
CCPS tidak mudah untuk diterap di industri kimia hilir. Salah satu contoh adalah test
for chemical reactivity, dimana perusahaan diharuskan untuk melakukan pengujian
bahaya reaktifitas kimia untuk setiap bahan baku maupun produk yang digunakan,
sementara pengujian reaktifitas membutuhkan peralatan laboratorium yang mahal dan
pengujiannya memakan waktu yang lama dan tidak mudah.
Sistem manajemen keselamatan yang banyak diterapkan oleh industri kimia
hilir adalah SMK3 Permenaker dan OHSAS 18001, karena penerapan sistem ini,
khususnya SMK3 Permenaker, sudah diharuskan oleh pemerintah. Namun kedua
sistem manajemen keselamatan ini tidak mengatur secara spesifik pengendalian
bahaya reaktifitas kimia, sehingga potensi terjadinya kecelakaan akibat bahaya
reaktifitas masih terbuka lebar dan tingkat risikonya tetap tinggi. Secara umum
keterbatasan dari industri kimia hilir dalam menerapkan berbagai sistem manajemen
adalah karena:
1. Keterbatasan sumberdaya manusia,
2. Keterbatasan dana,
3. Keterbatasan teknologi,
4. Keterbatasan infrastruktur penunjang.
Sementara sistem manajemen yang wajib diterapkan karena tuntutan pelanggan demi
meningkatkan persaingan dipasar adalah sistem manajemen kualitas (ISO 9000), dan
bahkan ada pelanggan terutama diluar negeri yang mewajibkan supliernya untuk
memiliki sertifikat OHSAS 18000 atau ISO 14000. Dengan segala keterbatasan
perusahaan harus memenuhi tuntutan tersebut, sehingga sistem manajemen
keselamatan yang sifatnya sukarela seperti halnya PSM atau Manajemen Reaktifitas
Kimia tidak lagi menjadi perioritas dan bahkan tidak mungkin lagi diterapkan karena
perusahaan sudah tidak mampu baik dari segi sumber daya maupun finansial.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 3
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL
DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Teori

Sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia (BRK) yang akan dikembangkan


dalam penelitian ini, berangkat dari kondisi ril bahaya reaktifitas kimia yang ada di
industri kimia hilir yang diperoleh melalui kajian bahaya dan risiko bahaya reaktifitas
kimia, kemudian dikembangkan model penyebab bahaya reaktifitas kimia serta sistem
pengendalian yang mengintegrasikan elemen-elemen sistem manajemen kualitas,
keselamatan dan lingkungan yang sesuai (Gambar 3.1). Berdasarkan konsep
pengembangan sistem terintegrasi ini maka dikembangkan kerangka teori dari
penelitian ini seperti pada Gambar 3.2

Kajian Bahaya &


Risiko Reaktifitas
Kimia

Pengembangan
Sistem Manajemen Model Penyebab dan Sistem Manajemen
Kualitas Sistem Pengendalian Keselamatan dan
BRK Lingkungan

Sistem Pengendalian BRK

Gambar 3.1. Konsep Pengembangan Sistem Pengendalian BRK

79 Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
80

Analisis Bahaya
Kimia
Faktor Kondisi
lingkungan kerja
(Unsafe Standar
Manajemen K3
Condition) Analisis Bahaya
(SMK3 atau
Proses OHSAS 18001)

Faktor and Model Manajemen


Faktor Analisis Penyebab Bahaya Bahaya Sistem Pengendalian
Manajemen dan Kegagalan Sistem Reaktifitas Kimia Reaktifitas Terintegrasi Bahaya
Organisasi manajemen Kimia (CCPS Reaktifitas Kimia
2003)

Standar Standard
Manajemen Manajemen
Kualitas (ISO Kualitas (ISO
Faktor Pekerja Analisi Kesalahan 14000) 9001)
(Unsafe Act) Manusia

Gambar 3.2. Kerangka Teori Pengembangan Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir.

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


81

3.2. Kerangka Konsep


Sistem manajemenen bahaya reaktifitas kimia yang dikembangkan oleh CCPS
(2003) belum secara maksimal memasukkan faktor pekerja kedalam elemen-elemen
pengendalian bahaya reaktifitas kimia (Gambar 3.3). Sesuai dengan konsep dan teori
keselamatan dan kecelakaan kerja yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa faktor
manusia dalam sistem manajemen keselamatan merupakan bagian yang sangat
penting bahkan sama pentingnya dengan kedua faktor lainnya yaitu lingkungan kerja
dan manajemen & organisasi.

12 Elements
of Chemical Reactivity Hazard Management

Working condition Management System


Workforce
/ Organization

Develop System to Manage Communicate and Train


Collect Chemical Reactivity Data
Chemical Reactivity Hazards on Chemical Reactivity Hazards

Identify Chemical
Document Chemical Reactivity
Reactivity Hazards Risks and Management Decisions

Test for Chemical Reactivity Review, Audit, Manage Change, and


Improve Hazard Management Practice/ Program

Assess Chemical
Reactivity Risks Product Stewardship

Identify Process Controls and


Investigate Chemical
Risk Management Options
Reactivity Incidents

Life Cycle Issues

Gambar 3.3. Manajemen Bahaya Reaktifitas Kimia dari CCPS 2003 Dikelompokkan
Berdasarkan Tiga Faktor Utama Penyebab Kecelakaan Kerja.

Sumber : Pengelompokan berdasarkan Tabel 15, Makin, 2008

Berdasarkan teori-teori keselamatan dan kecelakaan kerja yang sudah


dikembangkan pada berbagai penelitian sebelumnya, maka sistem pengendalian
bahaya reaktifitas kimia yang akan dikembangkan pada penelitian ini merupakan
penyempurnaan dari sistem manajemen bahaya reaktifitas kimia yang dikeluarkan
oleh CCPS serta disesuaikan dengan kemampuan industri kimia hilir di Indonesia.
Yang dimaksud dengan penyempurnaan disini adalah suatu sistem pengendalian yang
holistik antara ketiga faktor utama keselamatan kerja yaitu faktor lingkungan, faktor
manajemen & organisasi dan faktor pekerja, dimana ketiga faktor utama tersebut

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
82

merupakan satu kesatuan yang kuat dan tidak dapat berdiri sendiri (Bellamy, 2008).
Disamping itu terdapat keseimbangan diantara ketiga faktor tersebut baik dalam
pembobotan maupun prioritas dalam penerapannya (Gambar 3.4).

Lingkungan Kerja: Kondisi Sistem Manajemen:


Mesin, Alat Lingkungan Komitmen, Kebijakan,
Keselamatan, Bahan Kerja yang Aman SOP, WI, dll
Kimia, Proses, dll

Sistem
Pengendalian
BRK
Keterlibatan Komitmen
Pekerja Manajemen

Pekerja:
Pengetahuan, Keahlian,
Pengalaman, Perilaku
dll

Gambar 3.4. Ilustrasi Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia yang Lebih
Komperhensif dan Holistik

Sumber : Modifikasi, Bellamy, 2008

Disamping bersifat holistik, sistem manajemen bahaya reaktifitas kimia yang


akan dikembangkan ini juga terintegrasi dengan sistem manajemen lain. Sistem
terintegrasi yang dimaksud disini adalah sistem manajemen bahaya reaktifitas kimia
yang dapat diintegrasikan dengan sistem manajemen kualitas (ISO 9001),
keselamatan (SMK3 Permenaker atau OHSAS 18001) dan lingkungan (ISO14000).
Sistem atau program sukarela yang lain seperti Behavior Base Safety, Global
Harmonize System, 5S, Responsible Care dan lain-lain juga akan menjadi masukkan
yang sangat berguna dalam membangun sistem terintegrasi ini. Sistem terintegrasi ini
akan dibangun oleh-oleh elemen-elemen sebagai berikut:
1. Elemen-elemen standar yang berasal dari sistem manajemen
bahaya reaktifitas kimia CCPS 2003 = A
2. Elemen-elemen tidak standar yang berasal dari hasil kajian risiko
bahaya reaktifitas kimia = B.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
83

3. Elemen-elemen standar yang berasal dari sistem manajemen


kualitas (ISO 9001), lingkungan (ISO 14000) dan keselamatan
(OHSAS 18001 atau SMK3 Permenaker) = C.
4. Elemen-elemen tidak standar yang berasal dari hasil kajian risiko
bahaya reaktifitas kimia dan dapat digabungkan dengan elemen-
elemen standar dari sistem manajemen bahaya reaktifitas kimia
CCPS 2003, kualitas (ISO 9001), lingkungan (ISO 14000) dan
keselamatan (OHSAS 18001 atau SMK3) = D.
Ilustrasi sistem pengendalian terintegrasi bahaya reaktifitas kimia yang dikembangkan
ini dapat dilihat pada Gambar 3.5.

A A
A
Lingkungan C Sistem
kerja Manajemen
Sistem B Sistem Sistem
Manajemen BRK B Manajemen
Lingkungan D C Keselamatan
ISO 14000 Pekerja
D SMK3/
OHSAS18001
D
B

Sistem Manajemen
Kualitas ISO 9000

Gambar 3.5. Ilustrasi Sistem Pengendalian Terintegrasi Bahaya Reaktifitas Kimia.


Sumber : Modifikasi, Pojasek R.B., 2006 dan Savic.S, 2001
Untuk mendapatkan sistem pengendalian yang holistik dan dapat di
integrasikan, maka dikembangkan kerangka konsep (Gambar 3.6) yang
menggambarkan hubungan ketiga faktor utama penyebab kecelakaan kerja dan
variabel-variabel yang mempengaruhi faktor pemicu bahaya reaktifitas kimia,
kemudian dikembangkan model penyebab bahaya reaktifitas kimia dan sistem
pengendalian yang dapat diintegrasikan dengan memasukan elemen- elemen yang ada
dalam sistem manajemen kualitas ISO 9000, keselamatan SMK3/OHSAS 18001

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
84

Area Risiko BRK:


-Area Produksi / Proses Produksi
-Area Penyimpanan (Bahan baku dan produk akhir)

Faktor Manajemen:
-Kebijakan (Policy)
-Komitmen
-Program K3
-Sistem Manajemen: ISO
9001, ISO 14001 dan
SMK3/OHSAS 18001
-WI/SOP

Faktor Lingkungan Pemicu BRK: Faktor Pekerja:


Kerja: 1. Pengotor -Keahlian
-Teknologi proses/ mesin 2. Kesalahan pencampuran -Pengetahuan
-Kapasitas 3. Kesalahan kondisi -Kepedulian
-Infrastruktur pendukung proses -Kerjasama
-Perawatan & Kalibrasi 4. Ketidak sempurnaan -Prilaku keselamatan
-Alat pengaman pencampuran -Budaya keselamatan
-Bahan kimia berbahaya 5. Kesalahan Penyimpanan
-Temperatur/Tekanan/
Kelembaban.

Reaksi tidak terkontrol:


-Kelebihan panas
-Kelebihan tekanan

Bahaya Reaktifitas Kimia


(BRK):
-Pelepasan gas beracun.
-Ledakan dan Kebakaran

Sistem Manajemen
Kualitas ISO 9001
Pengembangan Sistem Sistem Manajemen
Pengendalian Keselamatan SMK3 dan
Terintegrasi BRK. OHSAS 18001
Sistem Manajemen
Lingkungan ISO14001

Gambar 3.6. Kerangka Konsep Pengembangan Sistem Pengendalian Bahaya


Reaktifitas Kimia Industri Kimia Hilir yang Dapat Diintegrasikan dengan Sistem
Manajemen Baku ISO 9001, ISO 14000, OHSAS 18001 dan SMK3

dan lingkungan ISO 14000 kedalam sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia
serta mempertimbangkan masukkan dari program sukarela yang sedang diterapkan.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
85

Variabel-variabel yang diteliti difokuskan pada variabel-variabel yang berpotensi


menyebabkan terjadinya bahaya reaktifitas kimia dari ketiga faktor utama penyebab
kecelakaan kerja, baik berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung.

3.3. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan pada penelitian ini, maka di
kembangkan tiga hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Terdapat potensi yang cukup tinggi terjadinya kecelakaan bahaya reaktifitas
kimia pada industri kimia hilir.
2. Faktor pekerja memberikan kontribusi paling besar yang dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan bahaya reaktifitas kimia yang dipicu oleh pengotor,
kesalahan pencampuran, kesalahan kondisi proses, ketidak sempurnaan
pencampuran dan kesalahan penyimpanan pada industri kimia hilir di
Indonesia.
3. Sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia dapat diintegrasikan dengan
sistem manajemen keselamatan, kualitas dan lingkungan untuk mengendalikan
bahaya reaktifitas kimia.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
86

3.4. Definisi Operasional

Untuk memudahkan penelitian ini maka terdapat beberapa istilah yang akan dijelaskan difinisi atau penjelasan operasionalnya sebagai
mana tercantum dalam tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1 Matrik Variable dan Definisi Operasional


No Kategori Variabel Definisi / Penjelasan Operasional Alat Ukur Skala
Pengukuran
1 Area Risiko Proses Produksi Adalah suatu proses untuk mentransformasi dari bahan dasar - -
BRK menjadi produk
Penyimpanan Tempat penyimpanan bahan kimia yang umumnya memiliki - -
loading/uploading area, mengoperasikan forklift (untuk
pemindahan barang) dan penempatan pallets berdasarkan ISO
standar.
2 Faktor Teknologi proses / Teknologi atau mesin automatik yang digunakan untuk mengubah Ceklist Ordinal
Lingkungan mesin yang digunakan bahan kimia dasar menjadi produk jadi.
Kerja Proses penyimpanan Alur proses dan tata letak penyimpanan bahan baku yang Ceklist & Ordinal
bahan baku dan produk digunakan dan produk yang dihasilkan Kuosioner
Program perawatan Kegiatan mencegah kemungkinan bahwa system melewati fault Ceklist & Ordinal
mesin atau alat-alat atau kegagalan tanpa adanya error (CCPS). Kuosioner
produksi
Kelengkapan alat-alat Alat-alat yang digunakan sebagai pencegah atau antisiapasi Ceklist & Ordinal
pengaman terjadinya suatu kecelakan. Kuosioner
Kebersihan dan Program kebersihan, standar kebersihan dan kerapian alat-alat dan Ceklist & Ordinal
keteraturan alat-alat area kerja. Kuosioner
dan area kerja

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


87

No Kategori Variabel Definisi / Penjelasan Operasional Alat Ukur Skala


Pengukuran
3 Faktor Kebijakan (Policy) Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi Ceklist & Ordinal
Manajemen pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, Kuosioner
kepemimpinan dan cara bertindak.
Komitmen Ketetapan pada sesuatu atau seseorang dalam bentuk: komitmen Ceklist & Ordinal
pribadi, sukarela, organisasi, brand, dan sebagainya. Kuosioner
Sistem Manajemen ISO ISO 9000 adalah kumpulan standar untuk sistem manajemen Ceklist & Ordinal
9000 mutu (SMM) yang meliputi prosedur, pengawasan, pendataan, Kuosioner
pemeriksa dan peninjauan.
ISO 9000 yang dirumuskan oleh TC 176 ISO, yaitu organisasi
internasional di bidang standarisasi.
Sistem Manajemen ISO ISO 14001 adalah kumpulan standar untuk sistem managemen Ceklist & Ordinal
14000 lingkungan (SML) yang meliputi syarat-syarat atau aturan Kuosioner
komprehensif bagi suatu organisasi untuk mengembangkan sistem
pengelolaan dampak lingkungan di suatu industri.
Sistem Manajemen K3 SMK3 adalah kumpulan kebijakan terhadap suatu sistem Ceklist & Ordinal
Permenaker keselamatan dan kesehatan kerja yang melibatkan unsur Kuosioner
manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja dalam
rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat
kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan
produktif yang dikeluarkan oleh DEPNAKERTRANS.
Sistem Manajemen Sistem manajemen keselamatan yang dikeluarkan oleh OHSAS. Ceklist & Ordinal
OHSAS 18001 Kuosioner
Prosedur dan standar Dokumen yang menjelaskan aktivitas yang spesifik dan tugas- Ceklist & Ordinal
kerja (SOP/WI) tugas dalam organisasi dengan perincian yang detail. Kuosioner
Program K3 Program kerja yang dibuat untuk mendukung pelaksanaan sistem Ceklist & Ordinal
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Kuosioner

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


88

No Kategori Variabel Definisi / Penjelasan Operasional Alat Ukur Skala


Pengukuran
Program Sukarela Program yang tidak masuk dalam sistem managemen baku, Ceklist & Ordinal
namun dibutuhkan untuk mensukseskan program yang ada. Kuosioner
Analisis Bahaya dan Kajian sistematis yang dilakukan untuk mengetahui Indeks Ceklist & Ordinal
Risiko Bahaya dan Risiko suatu aktifitas atau proses yang dilakukan. Kuosioner
3 Faktor Pelatihan Pelatihan adalah proses mempersiapkan peserta latihan untuk Ceklist & Ordinal
Pekerja mengambil jalur tindakan tertentu yang dilukiskan oleh teknologi Kuosioner
dan organisasi tempat bekerja, dan membantu peserta
memperbaiki prestasi dalam kegiatannya terutama mengenai
pengertian dan keterampilan (Wikipedia, 2010
Kompetensi Kemampuan untuk melakukan suatu tugas, pekerja atau tindakan Ceklist & Ordinal
secara baik dan berhasil. Kuosioner
Keahlian Kemampuan dan kompetensi yang dimiliki dan dapat Ceklist & Ordinal
dikembangkan melalui pelatihan dan pengalaman Kuosioner
Pengetahuan Ilmu, kepedulian dan pengertian yang diperoleh melalui Ceklist & Ordinal
pengalaman, eksperimen dan pembelajaran tentang pekerjaan Kuosioner
yang ditangani beserta keselamatannya.
Kepedulian Sikap, penerimaan dan pemahaman pekerja terhadap keselamatan. Ceklist & Ordinal
Kuosioner
Kerjasama Proses dimana dua orang atau lebih bekerja sama untuk tujuan Ceklist & Ordinal
yang sama Kuosioner
Prilaku keselamatan Tingkah laku pekerja yang memperhatikan faktor keselamatan Ceklist & Ordinal
Kuosioner
Kesalahan Pekerja Kesalahan kerja yang diakibatkan oleh pekerja karena kelalaian Ceklist & Ordinal
dan ketidaktahuan. Kuosioner

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


89

No Kategori Variabel Definisi / Penjelasan Operasional Alat Ukur Skala


Pengukuran
4 Bahaya Gas beracun Gas yang mempunyai bahaya terhadap kesehatan dengan rating 3 CRW 2 Interval
reaktifitas atau 4 berdasarkan NFPA 704
kimia Ledakan Pelepasan energi yang menyebabkan gelombang tekanan secara CRW 2 Interval
cepat dan mendadak sehingga terjadi kehilangan tekanan dan
gelombang ledakan (IUPAC).
Kebakaran Terbakarnya bahan kimia akibat adanya reaksi yang tidak CRW 2 Interval
terkendali yang berasal dari proses oksidasi sehingga dihasilkan
energi berintensitas tertentu misalnya dalam bentuk panas dan
dapat juga menimbulkan asap.
Kelebihan panas Berlebihnya panas dalam suatu sistem yang dapat mengakibatkan CRW 2 Interval
bahaya reaktifitas bahan kimia.
Kelebihan tekanan Berlebihnya tekanan dari batasan yang seharusnya dalam suatu CRW 2 Interval
sistem yang dapat mengakibatkan bahaya reaktifitas bahan kimia.
Kesalahan Kesalahan penambahan satu atau lebih bahan bahan baku kimia Kuosioner Ordinal
pencampuran diluar ingridien yang ditentukan pada saat proses produksi yang
dapat memicu BRK.
Kesalahan parameter Kesalahan pengaturan parameter proses diluar standar yang Kuosioner Ordinal
proses ditetapkan pada saat proses produksi yang dapat memicu BRK.
Pengotor Masukknya bahan lain atau asing kedalam bahan baku kimia atau Kuosioner Ordinal
produk yang dapat memicu BRK.
Ketidaksempurnaan Tejadinya pencampuran yang tidak sempurna akibat dari Kuosioner Ordinal
pencampuran komposisi yang tidak sesuai standar yang ditetapkan atau
pengadukkan yang tidak sempurna pada saat proses produksi
yang dapat memicu BRK.
Kesalahan Penyimpanan bahan baku atau produk yang tidak sesuai dengan Kuosioner Ordinal
penyimpanan standar baku yang ditetapkan.

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian


Konsep pendekatan metodologi penelitian yang digunakan pada studi ini
merupakan modifikasi dari metode SREST-layer-assessment yang dikembangkan
oleh Shah et al. (2005). Metode SREST-layer-assessment yang terdiri dari 4 langkah
hanya fokus pada kondisi lingkungan kerja dan kajian dilakukan secara berlapis atau
berurutan. Untuk mendapatkan sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia yang
lebih komprehensif dan dapat diintegrasikan dengan sistem manajemen lain maka
metode ini perlu dimodifikasi dengan memasukkan kajian terhadap faktor manajemen
dan faktor pekerja, serta kajian dilakukan secara berurutan pada tiga tahap pertama
dan simultan pada empat tahap berikutnya dalam bentuk kajian skenario terburuk
bahaya reaktifitas kimia. Adapun kajian terhadap manajemen dan pekerja
dimaksudkan untuk menyempurnakan kajian sehingga lebih komprehensif dengan
memperhitungkan semua faktor utama penyebab dasar kecelakaan yaitu faktor
lingkungan kerja, faktor manajemen/organisasi dan faktor pekerja. Rancangan
peneltian dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Secara garis besar tahapan yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Kajian bahaya bahan kimia berdasarkan NFPA 704.
2. Kajian bahaya reaktifitas bahan kimia. Identifikasi potensi terjadinya
bahaya reaktifitas kimia.
3. Mengembangkan skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia.
4. Kajian skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia dengan metode KJ
Analysis untuk mengembangkan model hipotesis penyebab bahaya
reaktifitas kimia.
5. Pengambilan data melalui kuosioner untuk mengembangkan model
kuantitatif penyebab bahaya reaktifitas kimia.

90 Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
91

Kajian Bahaya Bahan Baku Kimia


Berdasarkan NFPA 704

Tidak
IB>/= 0.5 Stop

Ya
NOAA
Worksheet Kajian Ketidaksesuaian Bahan Kimia
(Incompatibility)

Tidak
IB>/= 0.5 Stop

Ya
Identifikasi Potensi Bahaya Reaktifitas
Checklist Kimia

Mengembangkan Skenario Terburuk


Diskusi sesuai potensi Bahaya Reaktifitas Kimia

Tidak
IB>/= 0.5 Stop

Ya
Kajian Skenario Terburuk BRK (Kesalahan
Pencampuran, Pengotor, Kesalahan Pengembangan Model
KJ Analysis Parameter Proces, Ketidaksempurnaan Hipotesis Penyebab BRK
Pencampuran dan Kesalahan penyimpanan)

Pengambilan data melalui kuosioner


untuk mengembangkan model kuantitatif Pengembangan
penyebab BRK Kuosioner

ISO 14000
ISO 9001 Pengembangan Sistem Pengendalian
Bahaya Reaktifitas Kimia

OHSAS
18001/SMK3
Sistem Pengendalian Terintegrasi BRK
Pada Industri Kimia Hilir

Gambar 4.1. Rancangan Penelitian Bahaya Reaktifitas Kimia

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
92

6. Pengembangan sistem pengendalian bahaya reaktiftas kimia


Tahapan pertama sampai dengan tahapan kelima adalah untuk mengetahui tingkat
bahaya dan risiko dari industri kimia hilir, sekaligus untuk mendapatkan penyebab
utama terjadinya BRK. Tahapan keenam dan ketujuh adalah untuk mengembangkan
model penyebab BRK dan sistem pengendalian BRK pada indiustri kimia hilir.
Penelitian ini akan dilakukan pada 3 perusahaan industri kimia hilir.

4.1.1. Kajian Bahaya Bahan Kimia


Tahap awal dari penelitian ini adalah melakukan kajian bahaya kimia secara
individu dari semua bahan kimia yang digunakan. Bahan kimia dikelomppokkan
berdasarkan indeks bahaya (IB) seperti tercantum dalam tabel 4.1. Terdapat empat
kategori IB dalam kajian ini yaitu;
1. Sangat tinggi (IB: >/=0,75 - 1)
2. Tinggi (IB: >/=0,5-0,75)
3. Sedang (IB: >/=0,25-0,5)
4. Rendah (IB: <0,25).
Pengelompokan IB mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Shah et al (2005).

Tabel 4.1. Indeks Bahaya Bahan Kimia Secara Individu


Parameter Indikator IB (0-1) Keterangan
1 0,5 Sedang
Flammabilty
2 0,75 Tinggi
Rating NFPA 704
3, 4 1 Sangat tinggi
1 0,5 Sedang
Health Rating
2 0,75 Tinggi
NFPA 704
3, 4 1 Sangat tinggi
1 0,5 Sedang
Reaktif terhadap
2 0,75 Tinggi
air (NFPA 704)
3, 4 1 Sangat tinggi
LD 50 (Mulut) > 25 atau < 200 mgKg BB 0,5 Sedang
LD 50 (Kulit) > 25 atau < 400 mgKg BB 0,5 Sedang
LC 50 > 0.5 mg/l dan 2 mg/l 0,5 Sedang
LD 50 (Mulut) 25 mgKg BB 1 Sangat tinggi
LD 50 (Kulit) 25 mgKg BB 1 Sangat tinggi
LC 50 0.5 mg/l 1 Sangat tinggi
Titik nyala (Cairan > 21 C dan < 55 C pd 1 atm 0,5 Sedang
mudah terbakar < 21C, titik didih >20C pada 1 atm 1 Sangat tinggi
Titik didih (Gas
Mudah terbakar) < 20 C pada 1 atm 1 Sangat tinggi

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
93

Hanya bahan kimia yang memiliki indeks bahaya >/=0,5 yang akan diikutkan dalam
kajian selanjutnya.

4.1.2. Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Kimia


Tahap selanjutnya adalah melakukan kajian bahaya reaktifitas bahan kimia
yang memiliki indeks bahaya (IB) >/= 0,5 (memiliki tingkat bahaya sedang). Kajian
reaktifitas bahaya kimia dilakukan dengan menggunakan program perangkat lunak
NOAA Worksheet. Semua bahan kimia dimasukkan kedalam program ini satu persatu
untuk melihat ketidaksesuaian bahan kimia tersebut dengan bahan kimia lain apabila
tercampur. Keluaran dari kajian ini merupakan suatu matriks ketidaksesuaian bahan
kimia (Incompatibility Matrix). Bahaya reaktifitas kimia hasil dari program NOAA
worksheet ini dikelompokan berdasarkan indeks bahaya seperti pada tabel 4.2 dan 4.3.
Matriks ini akan digunakan untuk merancang skenario terburuk bahaya reaktifitas
kimia pada tahapan selanjutnya.

Tabel 4.2. Indeks Bahaya Reaktifitas Kimia


Indeks
Parameter Indikator Keterangan
Bahaya (0-1)
Tdk ada interaksi 0 Sangat Rendah
Heat generation, Fire,
inncuous and non-flammable
Interaksi kimia gas generation 0,75 Tinggi
Toxic and flammable gas
generation, explosion,
violent polymerization 1 Sangat tinggi
Reaktif terhadap Tdk ada interaksi 0 Sangat Rendah
udara Interaksi kritikal 1 Sangat tinggi
Tdk ada interaksi 0 Sangat Rendah
Interaksi dengan stainless
Interaksi dengam
steel 0,5 Sedang
material konstruksi
Interaksi dengan enamel
stainless steel 1 Sangat tinggi
Tdk ada pengotor 0 Sangat Rendah
Pengotor (logam Pengotor tdk kritikal 0,5 Sedang
berat, besi, dll) Pengotor kritikal yang dapat
menjadi katalis 1 Sangat tinggi
Gas 0,75 Tinggi
Produk hasil reaksi
Beracun dan mudah terbakar 1 Sangat tinggi

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
94

Tabel 4.3. Indeks Bahaya Reaktifitas Kimia CRW 2


Bahaya Reaktifitas Kode Indeks Bahaya
(CRW 2) (0-1)
Risiko ledakan jika ada goncangan, friksi, api atau sumber A2
api lain. 1
Membentuk senyawa logam eksplosif yang sangat tidak A3
stabil. 1
Bisa membentuk peroksida eksplosif. A5 1
Reaksi berlanjut dengan ledakan hebat atau membentuk A6
produk yang eksplosif. 1
Meledak jika tercampur dengan bahan dapat terbakar. A8 1
Panas dihasilkan dari reaksi kimia yang bisa memicu A9
terjadinya ledakan. 0,75
Bisa menjadi mudah terbakar atau memicu kebakaran, B1
khususnya jika ada bahan mudah menyala. 0,75
Panas reaksi menyebabkan produk secara spontan menyala. B4 0,75
Dapat melepaskan beberapa jenis gas, paling tidak salah satu B5
bersifat mudah terbakar yang dapat menyebabkan kenaikan
tekanan. 1
Dapat melepaskan beberapa jenis gas, termasuk gas beracun B6
dan mudah terbakar yang dapat menyebabkan kenaikan
tekanan. 1
Reaksi eksotermik, dapat mengahsilkan panas dan/atau C
menyebabkan kenaikan tekanan. 0,75
Reaksi eksotermik, berpotensi menyebabkan reaksi D1
polimerisasi dan menyebabkan kenaikan tekanan. 1
Dapat melepaskan beberapa jenis gas, paling tidak salah satu D3
bersifat beracun yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan. 1
Dapat melepaskan bahan tidak mudah terbakar, gas tidak D4
beracun yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan. 0,75
Dapat melepaskan bahan gas mudah-menambah menyala D5
(mis Oksigen) yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan. 0,75
Reaksi eksotermik, menghasilkan fume beracun dan korosif. D6 1
Menghasilkan cairan yang bersifat korosif. D7 0,75
Menghasilkan bahan beracun yang mudah larut dalam air. E 1
Reaksinya bisa hebat atau dahasyat. G 0,75
Mungkin berbahaya tapi tidak diketahui F
Sangat mudah terbakar 101 1
Agen oksidasi kuat 104 1
Senyawa dapat membentuk peroksida 111 1
Tidak ada reaksi NR 0

4.1.3. Kajian Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia


Ada lima faktor pemicu bahaya reaktifitas kimia yang akan diteliti dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Pengotor (Kontaminasi)
2. Kesalahan pencampuran
3. Kesalahan kondisi proses

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
95

4. Ketidaksempurnaan pencampuran
5. Kesalahan penyimpanan
Untuk menentukan pemicu mana yang paling mungkin terjadi dari suatu proses
industri, maka dilakukan screening awal pemicu bahaya reaktifitas kimia seperti pada
Gambar 4.2. Ada empat pertanyaan dalam screening awal ini yang dapat menentukan
pemicu yang paling mungkin terjadi, pertanyaan tersebut adalah:
1. Apakah terdapat bahan kimia yang tidak sesuai satu sama lain?
2. Apakah terdapat bahan kimia yang bersifat spontaneously combustible,
peroxide forming, water Reactive, oxidizing dan self reactive?
3. Apakah dilakukan reaksi kimia pada proses produksi?
4. Apakah dilakukan proses pencampuran bahan kimia?

4.1.4. Mengembangkan Skenario Terburuk Bahaya Reaktifitas Kimia


Dalam penelitian ini dirancang skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia
berdasarkan lima faktor pemicu tersebut. Skenario terburuk yang dirancang harus
sesuai dengan kondisi dilapangan dan memungkinkan untuk terjadi berdasarkan hasil
screening yang sudah dilakukan.
1. Skenario Terburuk BRK Karena Pengotor
Skenario terburuk ini dirancang berdasarkan kemungkinan terjadinya kontaminasi
bahan baku, produk atau proses. Pengotor yang dipilih adalah pengotor yang
memungkinkan terjadinya reaksi kimia yang tidak diinginkan yang dapat
menyebabkan BRK dengan IB >/= 0,5. Faktor kesalahan penyimpanan dapat terjadi
pada semua jenis industri, jadi tidak dimasukkan dalam proses skreening.
2. Skenario Terburuk BRK Karena Kesalahan Pencampuran
Skenario terburuk ini dirancang berdasarkan kemungkinan terjadinya kesalahan
pencampuran bahan baku pada proses produksi atau pengolahan limbah. Bahan
baku dan proses yang dipilih adalah yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia
yang tidak diinginkan yang dapat menyebabkan BRK dengan IB >/= 0,5.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
96

1. Pengotor (Kontaminasi)
2. Kesalahan pencampuran
3. Kesalahan kondisi proses
4. Ketidak sempurnaan pencampuran

Tidak Apakah terdapat bahan kimia Tidak


Apakah terdapat bahan yang bersifat Spontaneously
Mulai kimia yang tidak sesuai satu Combustible, Peroxide Forming Tidak ada potensi BRK
sama lain? Water Reactive, Oxidizing karena 1, 2, 3 dan 4
dan self reactive.

Ya
Ya Potensi BRK karena 1

Apakah dilakukan reaksi Ya


kimia pada proses Potensi BRK karena 1,
produksi? 2, 3 and 4

Tidak

Apakah dilakukan Ya
proses pencampuran Potensi BRK karena 1
bahan kimia? dan 2

Tidak

Potensi BRK karena 1

Gambar 4.2. Skreening Faktor Pemicu Bahaya Reaktifitas Kimia

3. Skenario Terburuk BRK Karena Kesalahan Kondisi Proses


Skenario terburuk ini dirancang berdasarkan kemungkinan terjadinya kesalahan
pada kondisi proses produksi atau pengolahan limbah, seperti temperatur, tekanan,
kecepatan aliran bahan baku dan lain-lain. Kesalahan kondisi proses yang dipilih
adalah yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia yang tidak diinginkan yang
dapat menyebabkan BRK dengan IB >/= 0,5.
4. Skenario Terburuk BRK Karena Ketidaksempurnaan Pencampuran
Skenario terburuk ini dirancang berdasarkan kemungkinan terjadinya
ketidaksempurnaan pencampuran bahan baku pada proses produksi atau
pengolahan limbah, seperti kesalahan dalam urutan pencampuran, kekurangan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
97

atau kelebihan salah satu atau lebih bahan baku, ketidakadaan salah satu atau lebih
bahan baku dan kurang pengadukan. Ketidaksempurnaan pencampuran yang
dipilih adalah yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia yang tidak diinginkan
yang dapat menyebabkan BRK dengan IB >/= 0,5.
5. Skenario Terburuk BRK Karena Kesalahan Penyimpanan
Skenario terburuk ini dirancang berdasarkan kemungkinan terjadinya kesalahan
penyimpanan bahan baku atau produk, seperti penempatan yang tidak benar
sehingga terjadi tumpahan, kemasan dibiarkan terbuka sehingga terkontaminasi,
tidak ada label dan bahan kadaluarsa. Kesalahan penyimpanan tersebut berakibat
terjadinya BRK dengan IB>/=0,5.
Setelah ditentukan jenis skenario terburuk mana yang paling mungkin terjadi
untuk masing-masing tempat penelitian, maka dilanjutkan dengan merancang
skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia. Proses dalam merancang skenario terburuk
adalah sebagai berikut:
1. Mempelajari komposisi bahan baku untuk setiap produk yang diproduksi,
dan melihat kemungkinan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan
berdasarkan matriks ketidaksesuaian bahan kimia.
2. Mempelajari proses produksi untuk melihat kemungkinan terjadinya
potensi penyebab bahaya reaktifitas kimia.
3. Melakukan diskusi dengan bagian produksi dalam merancang skenario
terburuk yang mungkin terjadi.
Skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia yang akan dikaji harus memiliki indeks
bahaya (IB) minimal 0,5 mengacu pada Tabel 20. Setiap perusahaan yang masuk
dalam penelitian ini akan dibuat minimal 3 skenario terburuk, maka total skenario
yang dibuat berjumlah minimal 9 skenario terburuk dari 3 perusahaan yang masuk
dalam penelitian ini.

4.1.5. Kajian Skenario Terburuk Bahaya Reaktifitas Kimia Dengan Metode KJ


Analysis
Skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia dikaji secara mendalam untuk
mencari faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan terjadinya bahaya reaktifitas
kimia sesuai skenario yang dirancang. Kajian ini dilakukan dalam kelompok diskusi
yang melibatkan berbagai departemen seperti produksi, QC, R&D, engineering, safety

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
98

dan gudang dengan menggunakan metode KJ analysis atau yang lebih dikenal dengan
metode Affinity Diagram. Keunggulan metode ini sudah dijelaskan pada tinjauan
pustaka. Tahapan yang dilakukan dalam metode KJ analysis ini adalah sebagai
berikut:
1. Membentuk grup diskusi dengan persetujuan pihak manajemen perusahaan
(Tabel 4.4), dengan kriteria peserta sebagai berikut:
a. Departemen: Produksi, QC, R and D, Maintenance Engineering,
K3 dan Gudang.
b. Jabatan : Operator, Foremen, Supervisor dan Manajer.
c. Lama bekerja : Minimal 2 tahun.

Tabel 4.4. Peserta KJ Analysis Skenario Terburuk Pada Tiga Perusahaan


PT XYZ PT PQR PT CDF

Total Jumlah Peserta 19 12 15


Jabatan Management 3 2 2
Supervisor/Engineer 5 3 2
Lead Operator 6 1 4
Operator/Teknisi 5 6 7
Asal Dept. Produksi 4 5 6
Departemen Dept. Lab/QA 6 2 4
Dept. Gudang 1 2 2
Dept. Maintenance 5 2 2
Dept. K3 3 1 1

2. Menentukan jadual diskusi dan membuat undangan untuk peserta diskusi.


3. Melaksanakan diskusi dengan metode KJ Analysis (3-4 jam) untuk setiap
skenario:
a. Menjelaskan tujuan dan tatacara diskusi dengan metode KJ
analysis.
b. Menjelaskan skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia yang
merupakan permasalahan yang akan didiskusikan.
c. Setiap peserta diskusi diminta untuk memberikan masukkan
dengan cara menuliskan (diatas Post-it Note yang sudah
disediakan) faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
bahaya reaktifitas kimia, yang ditinjau dari tiga faktor yaitu; faktor

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
99

lingkungan kerja, faktor sistem manajemen dan faktor pekerja. Satu


penyebab dituliskan diatas satu lembar Post-it Note, dan peserta
diberi kebebasan untuk menuliskan sebanyak yang mereka ketahui.
Gambar 4.3 adalah contoh penulisan masukkan dengan metode KJ
Analisis.

Lupa menutup Tidak terdapat Tidak ada


valve 103 label yang jelas prosedur dan
sehingga bahan pada drum bahan standar pencucian
kimia X kimia vesel
mengkotaminasi
produk Y

Gambar 4.3. Contoh Masukkan KJ Analysis Dari Peserta Diskusi


Dalam Post-it Note

d. Kemudian peserta diskusi diminta untuk menempelkan Post-it Note


yang sudah mereka isi ditempat yang sudah disediakan berdasarkan
kategori faktor lingkungan kerja, faktor sistem manajemen dan
faktor pekerja.
e. Kemudian semua peserta diskusi diminta untuk kedepan dan
membaca semua masukkan yang tertempel di papan tulis untuk
mendiskusikan masukkan-masukkan tersebut serta
mengelompokkan kedalam ketegori yang lebih rendah lagi.

Penyebab BRK Level


Proses

Penyebab BRK Level


Industri

Penyebab BRK Level


Industri Kimia Hilir

Gambar 4.4. Proses Penggabungan Penyebab BRK dari Level Proses Kelevel Industri

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
100

Model penyebab BRK pada level proses digabungkan menjadi satu model
penyebab pada level jenis industri. Penggabungan model penyebab BRK ini
didasarkan pada kesamaan kategori risiko. Setelah mendapatkan model penyebab
BRK untuk masing-masing jenis industri, kemudian model penyebab pada level
industri ini digabungkan dengan cara yang sama seperti menggabungkan model
penyebab BRK level proses ke level industri. Hasil penggabungan model penyebab
BRK level industri akan diperoleh model penyebab BRK yang mewakili industri
kimia hilir (Gambar 4.4).

4.1.6. Audit Sistem Manajemen Keselamatan


Metode audit dilakukan dengan cara melihat langsung fasilitas dan proses
produksi mulai dari kedatangan bahan baku, proses produksi dan pengemasan serta
penyimpanan bahan baku dan produk. Audit juga dilakukan terhadap dokumen yang
ada seperti prosedur kerja, data-data hasil pengukuran, data-data kecelakaan kerja,
dan seterusnya. Metode pencatatan hasil audit adalah dengan menggunakan ceklist
yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Ceklist dibuat atau dikembangkan berdasarkan
hasil diskusi KJ analysis dan kuosioner sebelumnya. Beberapa pertanyaan dalam
ceklist juga diambil dari literatur-literatur seperti Seo D.C. (2004), Dingsdag D.P. et
al. ( 2008), Rundmo T. et al. (2003), Zhou Q. et al. (2007), Cox S.J. et al. (2000), teori
manajemen BRK (Johnson R.W., 2003), teori audit K3 (DNV, 1994) dan CCPS
(1999). Terdapat 96 item dalam checklist yang digunakan untuk observasi lapangan,
96 item tersebut dikelompokkan menjadi 17 kategori. Pengisian checklist dilakukan
melalui pengamatan aktifitas dan kondisi proses atau lingkungan kerja, pengecekan
dokumen proses, diskusi atau wawancara dengan pekerja dan supervisor/manajer.

4.1.7. Analisa Model Kuantitatif Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia


Model penyebab bahaya reaktifitas kimia yang sudah dikembangkan
sebelumnya, kemudian dilakukan analisa kuantitatif terhadap model tersebut. Metode
yang digunakan dalam analisa kuantitatif ini adalah dengan membuat kuosioner
(angket pertanyaan). Kuosioner dikembangkan berdasarkan faktor-faktor penyebab
bahaya reaktifitas kimia yang muncul dalam model risiko bahaya reaktifitas kimia
yang sudah dikembangkan dengan metode kualitatif pada tahap sebelumnya.
Kuosioner akan dibagikan kepada pekerja (operator, supervisor dan manajer) dari 3

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
101

industri kimia hilir yang masuk dalam penelitian ini. Hasil kuosioner akan diolah
dengan program statistik SPSS dan LISREL. Aplikasi SPSS digunakan untuk analisis
statistik diskriptif dan LISREL digunakan untuk Structural Equation Model (SEM).
SEM secara statistik adalah generasi kedua dari teknik analisis multivariate, yang
memungkinkan peneliti untuk menguji hubungan antara variabel yang kompleks baik
recursive maupun non-recursive untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai
keseluruhan model yang dibuat.

4.1.7.1. Pengembangan Kuosioner


Dasar pengembangan kuosioner adalah hasil kajian kualitatif curah pendapat
dengan metoda KJ Analisis yang sudah dilakukan sebelumnya. Dari kajian kualitatif
bahaya reaktifitas kimia tersebut diperoleh 6 variabel utama penyebab langsung dan
tidak langsung bahaya reaktifitas kimia berdasarkan skenario terburuk yang dibuat
pada tiga perusahaan berbeda. Kemudian dari 6 variabel ini dikembangkan beberapa
pertanyaan atau pernyataan yang sesuai dengan masing-masing variabel.
Bentuk pertanyaan yang dikembangkan dalam kuosioner ini adalah pertanyaan
tertutup (closed ended). Bentuk pertanyaan tertutup ini dipilih karena mudah
mengarahkan jawaban responden dan juga mudah diolah (ditabulasi) (Jatiputra,
1991). Responden tinggal memilih jawaban yang sudah disediakan pada setiap
pertanyaan atau pernyataan yang diberikan. Alternatif jawaban diberikan dalam
bentuk skala angka 1 sampai dengan 5 mengikuti skala Linkert. Skala rating angka 1
berarti sangat tidak setuju, tidak pernah, tidak ada sama sekali atau sangat kecil. Skala
rating angka 5 berarti sangat setuju, sangat sering, sangat lengkap atau sangat besar.
Dan juga disediakan jawaban tidak tahu untuk memberikan alternatif bagi responden
apabila pertanyaan yang diajukan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan mereka
atau responden benar-benar tidak mengetahui jawabannya. Format skala Linkert ini
banyak digunakan dalam penelitian perilaku, budaya dan iklim keselamatan kerja
seperti penelitian iklim keselamatan kerja yang dilakukan oleh Seo D.C. et al. (2004).
Dari 6 variabel hasil KJ analisis skenario terburuk dikembangkan sebanyak 47
item pertanyaan, dimana 6 variabel tersebut merupakan variabel independen.
Sedangkan untuk variabel dependen terdiri dari 4 faktor pemicu kecelakaan BRK
berdasarkan penelitian sebelumnya (Ramussen B., 1989) yaitu kesalahan
pencampuran, kontaminasi, kesalahan seting parameter proses dan ketidak

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
102

sempurnaan pencampuran. Berdasarkan sistem manajemen bahaya reaktifitas kimia


yang dikeluarkan oleh CCPS, dimana faktor kesalahan penyimpanan bahan kimia
merupakan faktor yang sangat berpotensi menyebabkan kecelakaan BRK, dan juga
melihat kondisi dilapangan, maka untuk melengkapi informasi dan model resiko BRK
yang dikembangkan ini, maka peneliti menambah 1 faktor kesalahan penyimpanan
bahan baku sebagai variabel dependen. Dari 5 variabel dependen ini dikembangkan
17 item pertanyaan. Pada pertanyaan variabel dependen juga ditanyakan konsekuensi
yang mungkin terjadi dari masing-masing item pertanyaan, dengan jawaban skala 1
sampai dengan 5. Jadi total item pertanyaan atau pernyataan yang diajukan dalam
kuosioner ini adalah 64 item pertanyaan (Lampiran 6).
Pada kuosioner ini responden juga diminta untuk menjawab pertanyaan data
demografi seperti umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan
sebagainya. Juga ditambahkan tiga pertanyaan yang menyangkut tingkat kepatuhan
dalam melaksanakan K3, kejadian hampir celaka dengan bahan kimia dalam satu
tahun terakhir dan kejadian kecelakaan dengan bahan kimia yang pernah dialami
pekerja dalam lima tahun terakhir.
Setiap item pertanyaan yang dikembangkan mengacu pada literatur-literatur
yang ada seperti penelitian sebelumnya oleh Seo D.C. (2004), Dingsdag D.P. et al.
( 2008), Rundmo T. et al. (2003), Zhou Q. et al. (2007), Cox S.J. et al. (2000), teori
manajemen BRK (Johnson R.W., 2003), teori audit K3 (DNV, 1994), CCPS (1999)
dan juga berdasarkan hasil diskusi KJ analisis (Lihat Tabel 4.5).
Untuk menyempurnakan kuosioner peneliti juga berkonsultasi dengan
pembimbing, manajemen (tenaga ahli) diketiga perusahaan, teman-teman kuliah dan
kantor, dan beberapa dosen di FKM dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

4.1.7.2. Uji Validitas dan Realibilitas Kuosioner


4.1.7.2.1. Uji Validitas
Uji validitas adalah untuk memastikan bahwa skala pengukuran yang
digunakan mengukur apa yang seharusnya diukur. Ada 3 jenis validasi yang dapat
dilakukan pada suatu kuosioner sebelum dilakukan uji coba dilapangan, yaitu uji
validitas isi (Content Validity), uji validitas konstruksi (Construct Validity), dan uji
validitas kriteria (Criterion Validity) (Sarwono, 2006).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
103

Uji validitas konstruksi dan isi dapat dilakukan melalui pendapat para ahli dan
profesional mengenai kuosioner yang sudah dikembangkan (Sugiyono, 2005). Peneliti
melakukan panel diskusi dengan 2 orang ahli dalam bidang keselamatan kerja pada
tanggal 12 Maret 2010, pukul 8.30-10.30 WIB bertermpat di Lab K3 FKM UI.
Panelis yang melakukan evaluasi dan uji validitas pada kuosioner tersebut adalah
Dr.rar.nat. Budiawan (FMIPA-Kimia-UI) dan Dr.dr.Meily Temajaya (FKM-K3-UI).
Peneliti juga meminta pendapat dari Dr.Robiana Modjo (FKM-K3-UI) dalam diskusi
terpisah pada tanggal 25 Februari 2010, pukul 16.00-17.30 WIB di FKM-K3 UI dan
Corina PhD (Psikologi-UI) pada tanggal 2 Maret 2010 pukul 12.00-14.00 WIB.
Peneliti juga meminta para profesional/ahli dari luar akademis untuk melakukan
evaluasi dan memberikan masukkan terhadap kuosioner yang dikembangkan, para
profesional yang dimintai masukkannya adalah Audist Subekti PhD (OH&ES
Profesional Advisor 3M Indonesia), Operational Director PT PQR, Plant Manager
PT XYZ dan Production Manager PT CDF.
Dari hasil diskusi dengan para ahli dan profesional, diperoleh masukkan dan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Beberapa kalimat pertanyaan agar lebih disederhanakan agar lebih mudah
dipahami oleh resoponden yang pada umumnya memiliki latar belakang
pendidikan SLTA.
2. Masih terdapat beberapa pertanyaan yang memiliki jawaban ganda agar
dibagi menjadi dua pertanyaan.
3. Perlu perbaikan mengenai pertanyaan untuk uji pengetahuan atau
pemahaman tentang istilah label dan simbol.
4. Jawaban (no. 46 s/d 50) tentang pilihan perlu diperbaiki agar selaras
dengan pertanyaan.
5. Beberapa istilah bahasa inggris agar ditambahkan bahasa Indonesianya.
6. Pengelompokan item-item pertanyaan agar diperbaiki sesuai hasil diskusi.
Semua para ahli dan profesional menyimpulkan bahwa secara keseluruhan kuosioner
yang dikembangkan sudah baik dan valid, setelah diperbaiki peniliti sudah dapat
melakukan uji coba terlebih dahulu.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
104

Tabel 4.5. Literatur dan Dasar Pengembangan Kuosioner Bahaya Reaktifitas Kimia
Kuosioner BRK KJ Ramussen Paul P.S. Seo Dingsdag Rundmo Zhou Q. Cox S.J. Lawrie Johnson Teori CCPS
Analysis B. (1999) et al. D.C. D.P. et al. T. et al. et al. et al. M. et al. R.W. audit K3 (1999)
(2007) (2004) ( 2008) (2003) (2007) (2000) (2006) (2003) (DNV,
1994),
Training dan
Kompentensi (X1) √ √ √ √ √ √ √
Prosedur dan standar
kerja (X2) √ √ √ √ √ √ √
Faktor Pekerja (X3) √ √ √
Komitmen K3 (X4) √ √ √ √ √ √ √ √ √
Keamanan dan
kenyamanan lingkungan √ √ √ √ √
kerja (X5)

Analisa Resiko (X6) √ √ √ √ √


Kesalahan Pencampuran
(Y1) √ √ √ √
Kontaminasi / Pengotor
(Y2) √ √ √ √
Kesalahan parameter
process produksi (Y3) √ √ √ √
Ketidaksempurnaan
pencampuran (Y4) √ √ √ √
Kesalahan penyimpanan
bahan baku/produk (Y5) √ √ √

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


105

4.1.7.2.2. Uji Reabilitas


Reabilitas menunjukkan adanya konsistensi dan stabilitas nilai hasil skala
pengukuran tertentu. Reabilitas berkonsentrasi pada masalah akurasi pengukuran dan
hasilnya (Sarwono, 2006). Untuk mengetahui reabilitas kuosioner yang digunakan
pada penelitian ini maka dilakukan uji coba pengambilan data pada 40 responden dari
dua perusahaan tempat penelitian.
Data hasil kuosioner dari 40 responden (100% respond rate) diolah dengan
menggunakan program statistik SPSS versi 16 untuk melihat realibilitas kuosioner
(cronbach alpha). Hasil perhitungan statistik cronbach alpha adalah seperti pada
Tabel 4.6, semua varibel memiliki nilai cronbach alpha lebih besar dari 0,70. Nilai
cronbach alpha yang dapat diterima adalah >/=0,70 (Seo, 2004), artinya tingkat
reabilitas dari kuosioner adalah baik atau dapat diterima, dimana terdapat 12 variabel
laten dan 64 variabel indikator.

Tabel 4.6. Hasil Perhitungan Cronbach Alpha (Reabilitas)


Cronbach
No Variabel Laten Alpha
1 Training dan Kompetensi (X1) 0,80
2 Prosedur dan standar kerja (X2) 0,78
3 Faktor Pekerja (X3) 0,76
4 Komitmen K3 (X4) 0,83
5 Keamanan Lingkungan Kerja (X5) 0,77
6 Analisis Bahaya atau Resiko (X6) 0,77
7 Kesalahan Pencampuran (Y1) 0,75
8 Kontaminasi / Pengotor (Y2) 0,82
9 Kesalahan parameter process produksi (Y3) 0,86
10 Ketidak sempurnaan pencampuran (Y4) 0,82
11 Kesalahan penyimpanan bahan baku/produk (Y5) 0,75

4.1.7.3. Pengambilan Data Melalui Kuosioner


SEM mensyaratkan jumlah sampel yang relatif lebih besar jika dibandingkan
dengan metode analisis multivariate yang lain. Makin besar jumlah sampel maka
model yang dihasilkan akan semakin dapat dipercaya, namun jumlah sampel yang
terlalu besar akan memerlukan biaya dan waktu yang besar. Menurut Hair et al (2006)
bahwa aturan umum yang diterima mengenai minimal jumlah sampel adalah lima kali
dari jumlah variabel yang diukur (5:1), dan yang lebih dapat diterima dan realistis
adalah 10:1, dan beberapa peneliti lain menyarankan untuk mengambil dengan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
106

perbandingan 20:1. Yang dimaksud dengan jumlah variabel yang diukur disini adalah
koefesien faktor atau hubungan antar dua variabel, yaitu varian (variabel eksogen) dan
distrubance (variabel endogen). Dalam penelitian ini jumlah awal variabel yang akan
diukur adalah 38 variabel, maka minimal jumlah sampel yang dibutuhkan adalah
minimal 380.
Setelah tahapan uji validitas dan reabilitas, kuosioner dibagikan kepada lebih
dari 500 pekerja dari 3 perusahaan industri kimia tempat penelitian dilakukan. Jumlah
kuosioner yang dibagikan untuk masing-masing perusahaan adalah sebagai berikut:
1. PT XYZ berjumlah 396 kuosioner, diserahkan pada tanggal 01 April dan
20 April 2010.
2. PT CDF berjumlah 40 kuosioner, diserahkan pada tanggal 05 April 2010
3. PT PQR berjumlah 150 kuosioner, diserahkan pada tanggal 06 April 2010
Total : 586 kuosioner
Jumlah kuosioner yang dikembalikan oleh responden adalah sebagai berikut:
1. PT XYZ berjumlah 365 kuosioner, diterima pada tanggal 09 April dan
30 April 2010.
2. PT CDF berjumlah 40 kuosioner, diterima pada tanggal 09 April 2010
3. PT PQR berjumlah 149 kuosioner, diterima pada tanggal 20 April
2010
Total : 554 Kuosioner
Tingkat pengembalian kuosioner dari 3 perusahaan ini cukup tinggi (94,5%).

4.1.7.4. Pengembangan Structural Equation Modeling Penyebab Bahaya


Reaktifitas Kimia
Data yang diperoleh dari kuosioner akan diolah dengan menggunakan
program statistik SPSS 16 dan LISREL 8.50. Pengolahan data dengan SPSS untuk uji
reabilitas kuosioner, normalitas dan multikolinearitas data. Dan LISREL digunakan
untuk membuat model struktur penyebab BRK atau Structural Equation Modelling
(SEM).
Ada beberapa asumsi yang harus dipenuhi sebelum dilakukan pemodelan
SEM, yaitu (Widarjono, 2010):
1. Normalitas; data harus memenuhi asumsi normalitas, jika asumsi terpenuhi
maka pemodelan SEM dapat dilakukan.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
107

2. Linearitas; hubungan antar variabel harus memenuhi asumsi hubungan


yang bersifat linear.
3. Multikolinearitas; tidak ada kolinearitas atau hubungan sempurna antar
variabel.
4. Outlier; tidak ada outlier pada data.
Ada enam tahapan dalam pembuatan SEM yang harus dilakukan (Hair, et.al.,
2006), yaitu:

1. Mendefinisikan Konstruksi Individu.


Tahap pertama adalah menentukan dan mendefinisikan variabel indikator dan
skala yang akan diukur untuk setiap variabel laten yang akan dimasukkan kedalam
model. Kedua hal tersebut harus didukung oleh teori yang kuat sehingga konstruksi
model yang dibangun dapat dipercaya dan akurat. Tahapan ini dilakukan pada saat
pembuatan kuosioner.

2. Mengembangkan Model Pengukuran.


Tahap kedua adalah mengembangkan model pengukuran atau menetapkan model
yang akan diestimasi. Model pengukuran yang dimaksud disini adalah pernyataan
struktural/statistik tentang hubungan antar variabel (Damayanti, 2007). Pada
penelitian ini, model pengukuran ditetapkan pada tahapan analisa kualitatif bahaya
reaktivitas kimia. Model pengukuran dikembangkan berdasarkan hasil kajian grup
diskusi KJ analisis dan diskusi dengan praktisioner dilapangan serta didukung oleh
teori-teori yang mendasari hubungan dari variabel tersebut. Didalam melakukan
analsis SEM, ada 2 jenis hubungan dari variabel-variabel yang ada dalam model,
yaitu:
a. Hubungan langsung (Gambar 4.5): yaitu hubungan dari dua variabel yang
memiliki arah dan digambarkan dengan panah satu arah. Hubungan ini dapat
dianalisa dengan anova atau regresi ganda.

Pengetahuan Kesalahan
Pekerja Pekerja

Gambar 4.5. Hubungan Langsung

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
108

b. Hubungan tidak langsung (Gambar 4.6): yaitu hubungan dari dua variabel
yang tidak langsung akan tetapi hubungan tersebut melalui variabel lain
sebagai perantara.

Pengetahuan
Pekerja
Komitmen K3

Kesalahan
Pekerja

Gambar 4.6. Hubungan Tidak Langsung

3. Mendisain Studi untuk Mendapatkan Hasil Empiris.


Tahapan ketiga adalah mendisain studi untuk mendapatkan hasil empiris, pada
tahapan ini ada enam hal yang harus diperhatikan, yaitu:
a. Jenis analisis data kovarian atau korelasi.
Yaitu menentukan jenis analisa apakah kovarian atau korelasi, meskipun program
SEM dapat melakukan pengolahan data tanpa membedakan keduanya. Sebagian besar
peneliti menggunakan analisis korelasi karena lebih mudah untuk diinterpertasikan.
b. Missing data.
Missing data dapat menimbulkan masalah pada interpretasi atau estimasi dari analisa
SEM. Missing data yang masih dapat diterima adalah lebih kecil dari 10 persen dan
bersifat random.
c. Ukuran sampel.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa aturan umum yang diterima mengenai
minimal jumlah sampel adalah lima kali dari jumlah variabel yang diukur (5:1), dan
yang lebih dapat diterima dan realistis adalah 10:1, dan beberapa peneliti lain
menyarankan untuk mengambil dengan perbandingan 20:1.
d. Model struktur.
Tahapan yang paling penting dalam analisis SEM adalah menentukan dan
mengkomunikasikan model pengukuran kedalam program dengan cara menspesifikasi
parameter model menjadi model estimasi atau dengan kata lain mencoba membuat

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
109

model secara statistik. Dalam menspesifikasi model ada dua jenis parameter atau
konstanta hubungan antara dua variabel yang harus dispesifikasi, yaitu:
1) Free parameter; yaitu parameter yang diestimasi oleh analisis SEM dimana
nilainya tidak nol.
2) Fixed Parameter; yaitu parameter yang diestimasi oleh peneliti dimana nilainya
adalah nol.
e. Teknik estimasi.
Setelah model dispesikasi, maka tahap selanjutnya adalah mengestimasi model yaitu
mengestimasi free parameters dari satu set variabel. Ada beberapa teknik estimasi
yang dapat digunakan seperti regresi Ordinary Least Square (OLS), Maximum
Likelihood Estimation (MLE), Weighted Least Square (WLS), Generalized Least
Square (GLS) dan Asysmtotically Distribution Free (ADF). Masing-masing metode
memiliki keunggulan, dan yang paling banyak digunakan adalah MLE dan menjadi
default pada banyak program SEM.
f. Program pengolahan data yang digunakan.
Ada beberapa program perangkat lunak (software) yang dapat digunakan untuk
analisis SEM seperti LISREL, AMOS, EQS dan CALIS. Program yang paling banyak
digunakan adalah LISREL dan AMOS karena relatif lebih mudah aplikasinya.

4. Menilai Validitas Model Pengukuran.


Tahapan keempat adalah melakukan validasi terhadap model pengukuran yaitu
dengan menghitung nilai Goodness-of-fit (GOF). GOF merupakan indikasi seberapa
cocok/fit matriks kovarian dari hasil estimasi dengan observasi. Semakin sempurna
model estimasi maka nilai estimasi matrik kovarian (∑k) dan nilai matrik kovarian
hasil observasi (S) akan sama. Index kecocokkan yang umum digunakan adalah χ2
(Chi-square) GOF, dimana χ2 GOF = (N-1) (S- ∑k), dimana N adalah ukuran sampel.
Nilai signifikasi dari χ2 GOF adalah dalam bentuk p-value, makin tinggi nilai p-value
makin tidak cocok antara model estimasi dengan model observasi. Nilai p-value yang
dapat diterima adalah <0,05 (Hair et.al, 2006), dimana pada nilai ini model dapat
dianggap cocok/fit atau tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua model.
Namun χ2 GOF tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya alat untuk menentukan
kecocokan/fit dari model, karena χ2 dipengaruhi oleh ukuran sampel (N), makin besar

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
110

ukuran sample maka makin mudah signfikansi tercapai, padahal signifikansi


menunjukan ketidak cocokan model. Disarankan untuk menggunakan beberapa
metode GOF berikut untuk menentukan kecocokan/fit dari SEM:
a) Absolute Fit Measures; yaitu ukuran kecocokan secara keseluruhan (model
estimasi dan model observasi) terhadap matriks korelasi dan matriks kovarians. Ada
beberapa metode pada kategori ini, salah satu contohnya adalah Goodness-of-Fit
Index (GFI). Metode GFI ini tidak terlalu sensitif terhadap jumlah sample. Nilai GFI
berada pada kisaran 0 sampai dengan 1 dimana makin tinggi nilainya makin baik atau
cocok/fit model tersebut. Ada yang berpendapat nilai GFI > 0,9 sudah bagus dan juga
ada yang berpendapat nilai GFI > 0,95 baru dapat dikatakan bagus. Metode lain yang
masuk dalam kategori ini adalah Root Mean Square Residual (RMSR); yaitu residu
rata-rata antara matriks kovarians/korelasi teramati dan hasil estimasi, nilai
RMSR<0,05 adalah good fit. Rood Mean Square Error of Approximation (RMSEA);
yaitu merupakan ukuran rata-rata perbedaan per degree of freedom yang diharapkan
dalam populasi. RMSEA<0,08 adalah good fit, sedangkan RMSEA<0,05 adalah close
fit (Yamin et.al. 2009).

Tabel 4.7. Nilai Signifikansi GFI untuk SEM


uji statistik n <250 n >250
m≤12 12< m <30 m≥30 m≤12 12< m <30 m≥30
X2 tidak signifikan signifikan tidak signifikan signifikan
signifikan signifikan
CFI or TLI ≥0,97 '≥0,95 >0,92 ≥0,95 '>0,92 >0,90
or RNI
RNI sulit '≥0,95 >0,92 ≥0,95 tapi >0,92 tapi >0,90 tapi
terdiagnosa tidak tidak tidak
untuk n>1000 untuk n>1000 untuk n>1000
SRMR bisa bias, ≤0,08 (dg <0,09 (dg bisa bias, ≤0,08 (dg ≤0,08 (dg
gunakan CFI≥0,95) CFI>0,92) gunakan CFI>0,92) CFI>0,92)
indeks lain indeks lain
RMSEA <0,08 dg <0,08 dg CFI <0,08 dg <0,07 dg <0,07 dg <0,07 dg
CFI≥0,97 ≥0,95 CFI>0,92 CFI≥0,97 CFI≥0,92 CFI≥0,90

Sumber: Multivariate Data Analysis, Hair et all (2006;p753)

b) Incremental Fit Indices; yaitu ukuran kecocokan yang bersifat relative, digunakan
untuk membandingkan model estimasi dengan null model (some alternative baseline
model). Salah satu contoh metode dalam kategori ini adalah Normed Fit Index (NFI)
dimana metode ini mengukur perbedaan nilai χ2 fitted model dan null model dibagi

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
111

nilai χ2 null model. Kisaran nilai NFI adalah antara 0 dan 1 dimana nilai 1
menunjukan model sangat cocok/fit sempurna, dan umumnya nilai yang dapat
diterima adalah >0,9. Metode lain yang ada dalam kategori ini adalah Comparative Fit
Index (CFI), Tucker Lewis Index (TLI) dan Relative Noncentrality Index (RNI).
Menurut Hair (2006), untuk menilai apakah sebuah model sudah fit minimal tiga nilai
GFI seperti pada Tabel 4.7 terpenuhi.

5. Menspesifikasi Model Struktur.


Tahapan kelima ini merupakan tahapan yang paling kritikal dalam pengembangan
SEM. Pada tahapan ini adalah menentukan kekuatan hubungan antara variabel laten
baik exogen maupun endogen. Dengan mengetahui hubungan antar variabel laten
tersebut, maka dapat ditentukan variabel-variabel yang paling perpengaruh diantara
hubungan tersebut.

6. Menilai Validitas Model Struktur


Ini merupakan tahapan terakhir dari proses SEM, dimana pada tahapan ini dilakukan
validasi terhadap model yang sudah dibuat. Validasi dapat dengan cara pengukuran
GOF untuk struktural model.

4.1.8. Pengembangan Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia


Mengacu pada model penyebab BRK yang sudah dikembangkan sebelumnya,
dimana sudah diketahui faktor-faktor penyebab bahaya reaktifitas kimia, baik
penyebab langsung maupun tidak langsung, maka selanjutnya dapat dikembangkan
sistem pengendalian atau kontrol terhadap bahaya reaktifitas kimia tersebut.
Tahapan dalam pengembangan sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia
adalah sebagai berikut:
1. Menentukan sistem kontrol yang sesuai untuk setiap penyebab bahaya
reaktifitas kimia baik penyebab langsung maupun tidak langsung
berdasarkan model risiko bahaya reaktifitas kimia. Sistem kontrol yang
diusulkan dapat diambil dari sistem yang sudah baku seperti CCPS, NFPA,
OHSAS 18001, SMK3, ISO 9001 dan 14001 atau modifikasi dari sistem
yang sudah baku tersebut berdasarkan pengalaman praktisi lapangan.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
112

2. Menyatukan sistem kontrol yang sama kedalam satu elemen pengendalian


bahaya reaktifitas kimia. Dimana masing-masing sistem kontrol akan
menjadi sub-elemen. Elemen-elemen pengendalian bahaya reaktifitas
kimia ini akan diintegrasikan dengan elemen-elemen yang terdapat
didalam ISO 9001, ISO 14001 dan OHSAS 18001/SMK3.
3. Membuat usulan program untuk mendukung penerapan elemen dan sub
elemen secara operasional. Usulan program ini akan terintegrasi dengan
program yang dibuat berdasarkan sistem manajemen ISO 9001, ISO 14001
dan OHSAS 18001/SMK3.
4. Membuat guideline penerapan sistem pengendalian terintegrasi bahaya
reaktifitas kimia.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada 3 jenis industri kimia hilir yang berlokasi di Banten
dan Jawa Barat. Penelitian berlangsung selama lebih kurang 1 tahun dimulai pada
bulan Juni 2009 sampai dengan Juni 2010, yaitu industri cat (PT XYZ), kosmetik (PT
PQR) dan herbisida (PT CDF). Pemilihan ketiga jenis industri dan perusahaan ini
adalah berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
1. Ketiga jenis industri ini termasuk kedalam kategori industri kimia hilir
berdasarkan data dari Departemen Perindustrian.
2. Ketiga jenis industri ini menggunakan berbagai bahan kimia sebagai bahan
baku produksi.
3. Ketiga jenis industri ini menggunakan sistem batch proses.
4. Ketiga jenis industri ini dapat mewakili proses pencampuran saja (mixing),
proses fisika (grinding) dan proses reaksi kimia, ketiga hal tersebut
merupakan proses yang berpotensi menimbulkan bahaya reaktifitas kimia.
5. Ketiga perusahaan ini sudah mengaplikasikan sistem manajemen QHSE
pada tahapan dan level yang berbeda, sehingga dapat dilihat perbedaan
pengaruh sistem tersebut terhadap potensi bahaya reaktifitas kimia.
6. Ketiga perusahaan berlokasi di daerah Jobodetabek yang memungkin
peneliti untuk melakukan sendiri pengambilan data dilapangan.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
113

7. Ketiga perusahaan ini bersedia untuk bekerjasama dan memberikan


kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian bahaya reaktifitas
kimia.

4.3. Pengumpulan Data


4.3.1. Sumber Data
Sumber data dan informasi adalah sebagai berikut:
1. Berbagai literatur sifat fisik dan kimia; NFPA, NOAA Worksheet
Bretherick’s Handbook, US CHRIS database, NIOSH Pocket Guide
dan lain-lain.
2. Informasi bahan baku dari manufaktur; MSDS, TDS.
3. Data proses dan QC; catatan produksi dan laboratorium.
4. Data bahan baku dari logistik.
5. WI, SOP dan P&ID
6. Data kecelakaan kerja dari departemen safety.
7. Program manajemen keselamatan, lingkungan dan kualitas.
8. Manajemen dan pekerja.
9. Observasi dan survei lapangan.

4.3.2. Jenis Data


Data yang diambil dari penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data
primer yaitu data yang diperoleh dari wawancara, diskusi, observasi, survei, audit dan
penyebaran angket. Sementara data sekunder diperoleh hanya dari audit dokumen.

4.3.3. Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dan studi literatur.
Pengumpulan data dilapangan dibantu oleh departemen keselamatan (safety),
produksi, gudang, laboratorium dan engineering. Cara pengumpulan data dan
informasi adalah sebagai berikut:
1. Studi literatur dan dokumen bahan-bahan kimia untuk mendapat
informasi jenis dan bahaya reaktifitas kimia dari bahan yang
digunakan.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
114

2. Review dokumen (WI, SOP, Kebijakan K3, Prosedur K3, Laporan K3,
dan dokmen-dokumen lain yang dirasa perlu dan berhubungan dengan
penelitian ini).
3. Survey dan observasi lapangan untuk melihat potensi dan risiko
bahaya reaktifitas kimia untuk membuat skenario terburuk.
4. Diskusi dengan pekerja/manajemen dalam melakukan kajian skenario
terburuk untuk mendapatkan informasi faktor-faktor penyebab
kecelakaan bahaya reaktifitas kimia.
5. Penyebaran kuosioner untuk analisa kuantitatif model penyebab BRK
dengan program statistik SPSS dan LISREL.
6. Audit dan review sistem manajemen keselamatan, lingkungan dan
kualitas untuk merancang sistem pengendalian bahaya reaktifitas
kimia.

4.4. Pengontrolan Kualitas Data


Untuk menjaga kualitas data dilakukan sistem kontrol sebagai berikut:
1. Melibatkan petugas keselamatan, produksi, laboratorium, enjiniring dan
gudang dalam mengumpulkan data dan kajian risiko bahaya reaktifitas
kimia dilapangan.
2. Melakukan diskusi dan review ulang terhadap temuan dilapangan dengan
bagian terkait untuk memastikan validitas dan keakuratan data dan
informasi temuan tersebut.
3. Peneliti secara langsung melakukan pengambilan dan kajian informasi,
data dan risiko dilapangan.
4. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan menggunakan format
yang sudah disiapkan terlebih dahulu untuk menjaga konsistensi proses
pengumpulan data dan informasi.
4.5. Analisis Data
Sebelum dilakukan data analisis terlebih dahulu dilakukan proses manajemen
data sebagai berikut:
1. Editing dan cleaning; semua data hasil observasi akan disaring untuk
menghilangkan data atau informasi yang tidak relevan atau janggal.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
115

2. Entry data; semua data dan informasi yang diperoleh akan dimasukkan
kedalam program komputer untuk memudahkan pengolahan data lebih
lanjut.
Ada beberapa jenis pengolahan data yang akan dilakukan untuk mendapat
informasi yang dibutuhkan, yaitu:
1. Ketidaksesuaian bahan kimia (incompatibility material); data diolah dengan
mengunakan NOAA worksheet program dan didukung dengan literatur dari
Bretherick’s Handbook, NIOSH pocket guide dan US CHRIS database.
2. Data KJ analysis diolah dengan program Excel untuk membuat model
kualitatif risiko bahaya reaktifitas kimia.
3. Hasil kuosioner akan diolah dengan menggunakan program statistik SPSS dan
LISREL.

4.6. Keterbatasan Penelitian


Beberapa keterbatasan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Setiap industri memiliki sistem manajemen, proses, teknologi dan sumber
daya yang berbeda-beda, sehingga diperoleh data yang mungkin sangat
beragam dengan tingkat risiko yang berbeda-beda.
2. Hanya 3 Jenis industri yang dipilih dari 14 kategori industri kimia hilir
yang masuk dalam kriteria penelitian ini, hal ini disebabkan oleh
keterbatasan waktu dan dana yang dimiliki dalam penelitian ini. Namun
diharapkan ke-3 jenis industri ini dapat mewakili industri kimia hilir.
3. Beberapa bahan kimia tidak dapat dimasukkan dalam proses pengolahan
data karena keterbatasan informasi yang tersedia seperti adanya trade-
secret dan tidak tersedianya MSDS.

4.7. Etik Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada tiga perusahaan industri kimia hilir. Setiap
perusahaan memiliki peraturan dan kebijakan yang berbeda-beda dalam memberikan
informasi dan data kepada pihak luar, terutama informasi mengenai proses dan
formula produk. Untuk mendapatkan ijin dalam melakukan penelitian ini, maka
peneliti terlebih dahulu menjelaskan tujuan, ruang lingkup dan manfaat penelitian ini
kepada pihak manajemen perusahaan. Kemudian peneliti mengajukan proposal

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
116

kerjasama dan jaminan kerahasiaan informasi kepada pihak manajemen perusahaan.


Persetujuan dan jaminan kerahasian informasi ditanda tangani oleh penliti dan
perwakilan manajemen perusahaan tempat penelitian dilakukan.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1. Data Perusahaan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada tiga industri kimi hilir, yaitu industri cat (PT
XYZ), kosmetik (PT PQR) dan herbisida (PT CDF). Pada tahap pertama dilakukan
kajian tingkat bahaya reaktifitas kimia dan pembuatan skenario terburuk untuk
mengembangkan kuosioner. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan data melalui
penyebaran kuosioner untuk mengembangkan model kuantitatif resiko bahaya
reaktifitas kimia, dan tahapan terakhir adalah observasi lapangan untuk memvalidasi
model resiko yang dikembangkan tersebut.

Tabel 5.1. Data-Data Perusahaan Tempat Penelitian Dilakukan.

No XYZ –Plant A/B PQR CDF


Kawasan Industri Gajah Kawasan Industri
1. Alamat Jl. Raya Bogor
Tunggal Manis

2. Jenis badan usaha PMA


PMDN PMA
3. Jenis usaha Industri Resin/Cat Industri Kosmetik Industri Herbisida
4. Tahun berdiri 1977 1986 1987
Kapasitas Resin: 18,000T/anum 220,000,000
5. 11,000 T/ anum
produksi Cat : 14,400T/anum pcs/anum
Jumlah karyawan
6. 473 380 47
Pabrik
ISO 9001-2008.
Sertifikasi Sistem OHSAS 18001, ISO
7 ISO 9001-2008 ISO 9001-2008
Manejemen 14000; BS 8800;
SMK3

PT XYZ yang merupakan industri resin dan cat terkemuka di Indonesia


didirikan pada tahun 1977. PT XYZ Plant A memproduksi cat dan Plant B
memproduksi resin yang merupakan bahan baku utama cat. Perusahaan ini
memproduksi berbagai jenis cat dengan kualitas tinggi seperti untuk Decorative paint,
Industrial Metal Finish paint, Auto Refinish paint, Wood & Rattan finish paint,
Marine paint dan Plastic coating. Perusahaan cat yang dimiliki oleh pengusaha lokal

117 Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
118

ini mendapatkan lisensi khusus dari perusahaan cat terkemuka Jepang untuk
memproduksi berbagai jenis produk baik untuk lokal maupun ekspor. Saat ini PT
XYZ memiliki kapasitas produksi sebesar 18,000 ton resin pertahun dan 14,400 ton
cat pertahun dengan jenis lebih dari 150 cat. Total karyawan PT XYZ berjumlah 473
orang dan semua karyawannya berstatus karyawan tetap. Pada tahun 2002 PT XYZ
memperoleh sertifikat sistem manajemen mutu ISO 9001 versi 2000, dan kemudian
pada tahun 2009 ditingkatkan menjadi ISO 9001 versi 2008. Awal tahun 2009 PT
XYZ mulai mempersiapkan diri untuk menerapkan sistem manajemen lingkungan
ISO 14000. Diharapkan pada tahun 2010 ini PT XYZ memperoleh sertifikat ISO
14000 tersebut. Meskipun PT XYZ belum memperoleh sertifikat sistem manajemen
keselamatan kerja (SMK3 atau OHSAS 18000), namun perusahaan ini telah lama
menerapkan prinsip-prinsip manajemen keselamatan kerja. Hal ini terlihat dari
dibentuknya P2K3 (Panitia Pengawas Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang
anggotanya terdiri dari berbagai departmen dan melibatkan pihak manajemen, dimana
P2K3 ini langsung dipimpin oleh Plant Manager PT XYZ. Perusahan ini juga
memiliki 1 orang ahli K3 umum dan 1 orang ahli K3 Kimia. Mulai awal tahun 2010,
manajemen perusahaan sudah mencanangkan akan mempersiapkan diri untuk
menerapkan sistem manajemen K3 secara formal dan ditarget untuk memperoleh
sertifikat SMK3 pada tahun 2011 atau paling lambat awal tahun 2012.
PT PQR merupakan industri kimia yang memproduksi kosmetik seperti sabun,
deodoran, pewangi dan lain-lain. Perusahaan ini merupakan perusahaan penanaman
modal asing (PMA) yang mulai beropearsi di Indonesia sejak tahun 1986. PT PQR
memiliki karyawan 450 orang pekerja dan 200 diantaranya merupakan karyawan
pabrik. PT PQR sudah memiliki sertifikat ISO 9001, dan saat ini sedang dalam
mempersiapkan proses sertifikasi ISO 14000. Walaupun perusahaan ini belum
menerapkan sistem manajemen keselamatan OHSAS 18001 atau SMK3, akan tetapi
perusahaan ini sangat memperhatikan keselamatan kerja para karyawannya. Hal ini
ditunjukan dengan adanya departemen K3 yang memiliki ahli K3 umum.
PT CDF merupakan industri kimia yang memproduksi herbisida. Perusahaan
ini merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang mulai beroperasi di
Indonesia sejak tahun 1987. Kapasitas produksi PT CDF adalah 11000 ton pertahun
dengan dua jenis produk. Total karyawan PT CDF adalah berjumlah 77 orang dimana
47 orang diantaranya merupakan karyawan pabrik dan sisanya merupakan karyawan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
119

pemasaran. Perusahaan ini sudah memperoleh sertifikat ISO 9001, ISO 14000,
OHSAS 18001, BS 8800 dan SMK3. PT CDF juga telah menerapkan Process Safety
Manajemen (PSM). Penerapan berbagai sistem manajemen secara baik merupakan
komitmen dari induk perusahaan (corporate) dari PT CDF, hal ini terlihat dari
keterlibatan pihak corporate dalam audit sistem manejemen keselamatan kerja yang
dilaksanakan setiap tahun. PT CDF juga sudah memiliki teknologi produksi yang jauh
lebih baik dibanding dengan 2 industri lainnya. Dimana PT CDF sudah menggunakan
software dalam mengontrol proses produksi. PT CDF juga sudah memiliki ahli K3
umum dan ahli K3 kimia.

5.2. Kajian Bahaya Bahan Kimia


Kajian bahaya bahan kimia dilakukan untuk melihat tingkat bahaya bahan
kimia yang digunakan pada industri tersebut. Tingkat bahaya bahan kimia
dikelompokkan berdasarkan indeks bahaya dari bahan kimia tersebut yang mengacu
pada Tabel 4.2.

Tabel 5.2. Indeks Bahaya Bahan Baku Kimia Masing-Masing Perusahaan

No Tingkat Bahaya PT XYZ PT PQR PT CDF Total


(rata-rata)
Jumlah Bahan kimia dengan
1 tingkat bahaya sangat tinggi 37 4 7 48
(IB= 1) (7,39%) (1,13%) (28,00% ) (5%)

2 Jumlah Bahan kimia dengan 21 73 7 101


tingkat bahaya tinggi (IB= 0.75) (4,19%) (20,56%) (28,00% ) (12%)

3 Jumlah Bahan kimia dengan 46 171 6 223


tingkat bahaya sedang (IB= 0.5) (9,18%) (48,17% ) (24,00% ) (25%)

4 Jumlah Bahan kimia dengan 12 47 4 63


tingkat bahaya rendah (IB<0.25) (2,40%) (13,24%) (16,00%) (7%)

5 Jumlah Bahan kimia dengan 385 60 0 445


tingkat bahaya tidak diketahui (76,85%) \(16,90%) (0,00%) (51%)
6
Total Bahan kimia 501 355 25 881

Hasil kajian bahaya bahan kimia dapat dilihat pada Tabel 5.2. Jumlah bahan
kimia yang masuk dalam kajian ini 881 jenis bahan kimia yang berasal dari tiga
industri yaitu PT XYZ (501 jenis bahan kimia), PT PQR (355 jenis bahan kimia) dan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
120

PT CDF (25 jenis bahan kimia). Jumlah bahan kimia dengan indeks bahaya sangat
tinggi (IB=1) pada PT XYZ adalah 37 jenis bahan kimia (7,39%), PT PQR adalah 4
jenis bahan kimia (1,13%) dan PT CDF adalah 7 jenis bahan kimia (28%). Sedangkan
jumlah bahan kimia dengan indeks bahaya tinggi (IB=0,75) pada PT XYZ adalah 21
jenis bahan kimia (4,19%), PT PQR adalah 73 jenis bahan kimia (20,56%) dan PT
CDF adalah 7 jenis bahan kimia (28%). Jumlah bahan kimia dengan indeks bahaya
sedang (IB=0,5) pada PT XYZ adalah 46 jenis bahan kimia (9,18%), PT PQR adalah
171 jenis bahan kimia (48,17%) dan PT CDF adalah 6 jenis bahan kimia (24%)
Sementara jumlah bahan kimia dengan indeks bahaya rendah (IB<0,25) pada PT XYZ
adalah 12 jenis bahan kimia (2,40%), PT PQR adalah 47 jenis bahan kimia (13,24%)
dan PT CDF adalah 4 jenis bahan kimia (16%). Jumlah bahan kimia yang tidak
diketahui indeks bahayanya pada PT XYZ adalah 385 jenis bahan kimia (76,85%), PT
PQR adalah 60 jenis bahan kimia (16,90%) dan PT CDF adalah 0%. Tingginya
jumlah bahan kimia yang tidak bisa ditentukan indeks bahayanya disebabkan oleh
minimnya informasi sifat-sifat bahan-bahan kimia tersebut, hal ini disebabkan oleh
ketidak tersediaan Material Safety Datasheet (MSDS) maupun Technical data Sheet
(TDS), atau dapat juga disebabkan oleh kerahasian dagang dari pihak manufaktur.
Semua bahan-bahan kimia dengan indeks bahaya (IB) >/= 0,5 harus
dimasukkan dalam kajian bahaya reaktifitas kimia pada tahapan berikutnya. Bahan
kimia dengan dengan IB<0,5 boleh dimasukkan atau ditinggalkan dalam kajian
bahaya reaktifitas, hal ini sangat tergantung pada ketersediaan informasi dalam data
base perangkat lunak (software) yang digunakan.

5.3. Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Kimia


5.3.1. Skreening Awal Bahaya Reaktifitas Kimia
Sebelum dilakukan kajian BRK, terlebih dahulu dilakukan skrininig awal
BRK untuk mengidentifikasi potensi terjadinya bahaya reaktifitas kimia (BRK) pada
suatu industri. Dalam proses skrining ini terdapat 12 pertanyaan yang harus dijawab
untuk melihat kemungkinan adanya potensi BRK pada industri tersebut. Keduabelas
pertanyaan tersebut diambil dari CCPS, Managing Chemical Reactivity Hazards.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
121

Tabel 5.3. Hasil Skrining Awal BRK pada Tiga Industri Kimia Hilir

No Pertanyaan XYZ PQR CDF


Apakah ada proses reaksi kimia yang dilakukan
1. pada proses tersebut? (Catalytic cracking,
Electrochemistry, Polimerisasi, dst).
X √ √
Apakah ada proses pencampuran dari bahan
2. kimia yang berbeda? (Blending, Pengenceran √ √
pelarut, dst). √
Apakah ada proses fisika lain yang dilakukan?
3. (Distilasi, pengeringan, penyaringan,
penggerusan, dst). √ √ √
Apakah ada bahan berbahaya yang disimpan atau
4. digunakan? (mudah terbakar, korosive, beracun,
dst). √ √ √
Apakah hanya proses pembakaran dengan udara
5.
yang dilakukan? (Boiler, flare, burner, dst).
X X X
Apakah ada panas yang dihasilkan dari proses
6.
pencampuran atau proses fisika yang dilakukan?
X X √
Apakah ada bahan kimia yang bersifat terbakar
7.
secara spontan apabila kontak dengan udara?
X X X
8. Apakah ada bahan kimia pembentuk peroksida?
√ X √
Apakah ada bahan kimia yang bersifat reaktif
9.
terhadap air? √ √ X
Apakah ada bahan kimia yang bersifat
10.
pengoksidasi? √ X √
Apakah ada bahan kimia yang bersifat self-
11.
reactive? X X X
Dapatkah bahan kimia yang tidak compatibel
12.
saling kontak satu sama lain?
√ √ √
Catatan : √= Ada, X= Tidak ada

Skreening awal ini dilakukan dengan metode observasi lapangan, diskusi


dengan manajemen perusahaan dan kajian terhadap data bahan baku yang diberikan
oleh pihak perusahaan. Dari hasil kajian ini ditemukan fakta bahwa industri kimia
hilir pada umumnya menyimpan dan menggunakan berbagai jenis bahan kimia dalam
jumlah banyak dari sisi jenis bahan kimia dan jumlah kecil sampai dengan sedang dari
sisi kuantitas bahan kimia. Industri cat, PT XYZ Plant A, tidak melakukan proses
reaksi kimia, semua proses yang dilakukan hanya merupakan proses pencampuran
bahan kimia yang berbeda. PT XYZ-Pant B melakukan proses reaksi esterifikasi
untuk resin Alkyd, Formalin proses dan Metilolisasi untuk resin Amino yang bersifat

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
122

endotermik dalam pembuatan resin tersebut yang akan digunakan sebagai bahan baku
cat. Sementara industri kosmetik pada umumnya melakukan proses pencampuran dan
sedikit melakukan proses reaksi. Pada PT PQR yang memproduksi berbagai jenis
bahan kosmetik, hanya melakukan satu jenis proses reaksi yaitu reaksi penyabunan,
namun reaksi ini bersifat eksotermik. Industri herbisida, PT CDF melakukan proses
reaksi penggaraman yang juga bersifat eksotermik dan dilanjutkan dengan proses
pencampuran pada saat finishing. Dari hasil kajian skreening awal ini dapat
disimpulkan bahwa terdapat potensi terjadinya bahaya reaktifitas kimia pada ketiga
jenis industri tersebut diatas.

5.3.2. Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Baku Kimia


Hasil kajian bahaya reaktifitas menggunakan program CRW terangkum dalam
Tabel 5.4. Jumlah bahan kimia yang dimasukkan dalam kajian ini adalah 492 jenis
bahan kimia dari tiga industri, PT XYZ berjumlah 112 bahan kimia, PT PQR
berjumlah 355 jenis bahan kimia dan PT CDF berjumlah 25 jenis bahan kimia. Total
pasangan campuran dari hasil olahan data CRW 2 untuk PT XYZ adalah 6328 pasang,
PT PQR adalah 63190 pasang dan PT CDF adalah 300 pasang. Jumlah pasangan
campuran yang ada interaksi atau reaksi kimia pada PT XYZ adalah 561 pasangan
bahan kimia (8,87%), PT PQR adalah 470 pasangan bahan kimia (0,74%) dan PT
CDF adalah 12 pasangan bahan kimia (4%). Jumlah pasangan campuran yang
diketahui tidak ada interaksi atau reaksi kimia pada PT XYZ adalah 615 pasangan
bahan kimia (9,72%), PT PQR adalah 427 pasangan bahan kimia (0,68%) dan PT
CDF adalah 16 pasangan bahan kimia (5,33%). Tingkat bahaya reaktifitas yang
berpotensi terjadi dengan indeks bahaya sangat tinggi (IB=1) pada PT XYZ adalah
356 pasangan bahan kimia (5,64%), PT PQR adalah 304 pasangan bahan kimia
(0,48%) dan PT CDF adalah 5 pasangan bahan kimia (1,67%). Tingkat bahaya
reaktifitas yang berpotensi terjadi dengan indeks bahaya tinggi (IB=0,75) pada PT
XYZ adalah 203 pasangan bahan kimia (3,22%), PT PQR adalah 166 pasangan bahan
kimia (0,26%) dan PT CDF adalah 7 pasangan bahan kimia (2,33%). Sementara
tingkat bahaya reaktifitas yang berpotensi terjadi dengan indeks bahaya sedang
(IB=0,5) dan rendah (IB<0,25) tidak ditemukan (0) pada ketiga industri.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
123

Tabel 5.4. Hasil Kajian Bahaya Reaktifitas Bahan Baku Kimia

Total
No Tingkat Bahaya XYZ PQR CDF (rata-rata)
Total bahan kimia yang masuk
1. dalam kajian reaktifitas. 112 355 25 492
Total pasangan campuran bahan
2. kimia dalam kajian reaktifitas. 6328 63190 300 69818
Jumlah pasangan campuran bahan
561 470 12 1043
kimia yang ada interaksi/reaksi
(8,87%) (0,74%) (4,00%) (1,49%)
3. kimia.
Jumlah pasangan campuran bahan
615 427 16 1058
kimia yang tidak ada interaksi/
(9,72%) (0,68%) (5,33%) (1,52%)
4. reaksi kimia.
Jumlah pasangan campuran bahan
kimia yang ada interaksi/reaksi
356 304 5 665
dengan tingkat bahaya sangat
(5,64%) (0,48%) (1,67%) (0,95%)
5. tinggi (IB= 1)
Jumlah pasangan campuran bahan
kimia yang ada interaksi/reaksi 376
203 166 7
dengan tingkat bahaya tinggi (IB= (0,54%)
(3,22%) (0,26%) (2,33%)
6. 0,75)
Jumlah pasangan campuran bahan
5152 62293 272 67717
kimia dengan tingkat bahaya
(81.42%) (98,58%) (90,66%) (96,99%)
8. tidak diketahui.

Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi bahaya
reaktifitas kimia dari bahan baku yang digunakan dengan indeks bahaya sangat tinggi
(IB=1) dan indeks bahaya tinggi (IB=0,75) pada ketiga jenis industri pada penelitian
ini.

5.3.3. Kajian Bahaya Reaktifitas Kimia Produk Antara dan Akhir


Kajian bahaya reaktifitas kimia dalam produk antara (intermediete) dan akhir
adalah untuk melihat apakah didalam formulasi atau campuran bahan kimia untuk
setiap produk antara dan akhir terdapat interaksi atau reaksi kimia. Dalam kajian ini
juga dilihat potensi bahaya reaktifitas jika terjadi campuran antar produk baik produk
antara maupun akhir. Pengolahan data juga menggunakan program software CRW 2.
Jumlah produk antara dan akhir yang masuk dalam kajian ini adalah 351
produk yang terdiri dari PT XYZ 102 produk, PT PQR 247 produk dan PT CDF 2
produk. Jumlah total produk antara dan akhir pada PT XYZ lebih dari 300 produk,
dan yang masuk dalam kajian ini hanya 30% dari total produk yang ada, karena pihak
manajemen perusahaan hanya bersedia memberikan formula 102 produk. Sementara
pada PT PQR dan CDF dilakukan untuk semua produk yang ada (100%) pada kedua

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
124

perusahaan tersebut, pihak manajemen bersedia memberikan semua formula produk


pada peneliti untuk dilakukan kajian bahaya BRK.

Tabel 5.5. Hasil Kajian Bahaya Reaktifitas Produk Antara dan Akhir

Total
No Tingkat Bahaya XYZ PQR CDF (rata-rata)
Total produk yang masuk dalam kajian. 102 247 2 351
Jumlah produk yang memiliki potensi
51 58 2 111
I interaksi/reaksi bahan baku dalam
(50%) (23%) (100%) (32%)
formulanya.
48 22 2 72
Memiliki Indeks Bahaya = 1
(47%) (9%) (100%) (21%)
3 36 0 39
Memiliki Indeks Bahaya = 0,75
(3%) (15%) (0%) (11%)
51 189 0 240
Tidak diketahui
(50%) (77%) (0%) (68%)
Jumlah produk yang berpotensi saling 89 204 2 295
II
berinteraksi/bereaksi jika tercampur. (87%) (83%) (100%) (84%)
Total pasangan campuran produk
4005 11035 2 15042
yang memiliki potensi interaksi/reaksi
457 2247 2 2706
Memiliki Indeks Bahaya = 1
(11%) (20%) (100%) (18%)
344 4506 0 4850
Memiliki Indeks Bahaya = 0,75
(9%) (41%) (0%) (32%)
3204 4282 0 7486
Tidak diketahui
(80%) (39%) (0%) (50%)

Dari hasil kajian ketidaksesuaian bahan kimia menggunakan software CRW 2,


diperoleh 111 produk (32%) memiliki potensi interaksi/reaksi bahan baku dalam
formulanya. Meskipun dalam proses produksi tidak dilakukan reaksi kimia dalam
membuat produk tersebut, namun terdapat beberapa bahan baku yang digunakan
berpotensi bereaksi satu sama lain jika kondisi untuk terjadinya reaksi kimia
terpenuhi. Jumlah pasangan interaksi/reaksi kimia dengan IB = 1 dalam masing-
masing produk antara dan akhir adalah 72 produk (21%) dan IB = 0,75 adalah 39
produk (11%). Data ini menunjukkan bahaya BRK yang dapat terjadi cukup tinggi
pada ketiga jenis industri. Namun industri cat (PT XYZ) dan herbisida (PT CDF)
menunjukkan tingkat bahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan industri
kosmetik (PT PQR). PT XYZ memiliki IB=1 sebesar 47% dan PT CDF sebesar
100%, sementara PT PQR hanya 9%.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
125

Jumlah produk yang berpotensi saling berinteraksi/bereaksi jika tercampur


adalah 295 produk (84%), yang terdiri dari PT XYZ sebanyak 89 produk (87%), PT
PQR sebanyak 204 produk (83%) dan PT CDF sebanyak 2 produk (100%). Ketiga
perusahaan menunjukkan potensi terjadinya BRK yang sangat tinggi dimana sebagian
besar (>80%) produk antara dan akhir dapat bereaksi jika tercampur dan kondisi yang
dibutuhkan untuk bereaksi terpenuhi. Jumlah pasangan produk yang
berinteraksi/bereaksi dengan IB = 1 adalah sebanyak 2706 pasangan (18%) dan IB =
0,75 adalah sebanyak 4850 pasangan (32%) dan tidak ada pasangan dengan indeks
bahaya 0,5. Sementara jumlah pasangan yang tidak diketahui indeks bahayanya
adalah sebanyak 7486 pasangan (50%). Tingginya jumlah IB yang tidak diketahui
disebabkan oleh banyaknya bahan baku yang tidak terdapat didalam data base CWR 2
dan tidak jelasnya nama kimia bahan baku yang digunakan.
Dari hasil kajian reaktifitas produk antara dan akhir dapat disimpulkan bahwa
terdapat potensi terjadinya bahaya reaktifitas kimia dari bahan baku penyusun produk
antara dan akhir, dan juga terdapat potensi terjadinya bahaya reaktifitas kimia dari
beberapa produk antara atau akhir apabila saling tercampur.

5.4. Kajian Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia


5.4.1. Skrining Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia
Untuk menentukan penyebab langsung mana yang paling mungkin terjadi dari
suatu proses industri, maka dilakukan screening awal penyebab bahaya reaktifitas
kimia. Proses skreening dilakukan dengan cara observasi lapangan, diskusi dengan
pihak produksi, QA dan gudang serta kajian terhadap bahan kimia dan reaktifitas
bahan kimia yang sudah dilakukan pada tahapan awal. Hasil skreening penyebab
bahaya reaktifitas kimia dari 3 perusahaan kimia dapat dilihat pada Tabel 5.6. Dari
hasil skrining penyebab bahaya reaktifitas kimia pada ketiga perusahaan tempat
penelitian dilakukan dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis industri ini memiliki
potensi bahaya reaktifitas kimia yang disebabkan oleh pengotor, kesalahan
pencampuran, kesalahan kondisi proses dan ketidaksempurnaan pencampuran. Hanya
PT XYZ Plant A yang tidak memiliki potensi bahaya reaktifitas yang disebabkan oleh
kesalahan kondisi proses.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
126

Tabel 5.6. Hasil Skrining Penyebab Bahaya Reaktifitas pada Tiga Industri
XYZ XYZ
No Pertanyaan Plant A Plant B PQR CDF
1 Apakah terdapat bahan
kimia yang tidak sesuai
satu sama lain?
√ √ √ √
2 Apakah terdapat bahan
kimia yang bersifat
Spontaneously
Combustible, Peroxide √ √ X √
Forming Water
Reactive, Oxidizing dan
self reactive?
3 Apakah dilakukan
reaksi kimia pada
proses produksi? X √ √ √
4 Apakah dilakukan
proses pencampuran
√ √ √ √
bahan kimia?
5 Potensi BRK yang Pengotor, Pengotor, Pengotor,
dapat terjadi kesalahan kesalahan kesalahan
pencampuran, pencampuran, pencampuran,
Pengotor, kesalahan kesalahan kesalahan
kesalahan kondisi proses kondisi proses kondisi proses
pencampuran dan dan dan
dan ketidak ketidak ketidak ketidak
sempurnaan sempurnaan sempurnaan sempurnaan
pencampuran pencampuran pencampuran pencampuran
Catatan : √= Ya, X= Tidak

5.4.2. Rancangan Skenario Terburuk Bahaya Reaktifitas Kimia


Ada 16 rancangan skenario terburuk yang dibuat pada ketiga indsustri yaitu, 7
skenario pada PT XYZ (2 skenario pengotor, 1 skenario kesalahan pencampuran, 2
skenario kesalahan kondisi proses, 1 skenario ketidak sempurnaan pencampuran dan 1
skenario umum kegagalan program K3), 4 skenario pada PT PQR (1 skenario
pengotor, 1 skenario kesalahan pencampuran, 1 skenario kesalahan kondisi proses dan
1 skenario ketidaksempurnaan pencampuran), 5 skenario pada PT CDF (2 skenario
pengotor, 2 skenario kesalahan kondisi proses dan 1 skenario umum kegagalan
program K3). Semua skenario terburuk BRK diatas kecuali skenario umum memiliki
IB=1 (sangat berbahaya). Dalam rancangan skenario ini juga terdapat kasus
kecelakaan bahaya reaktifitas kimia yang pernah terjadi yaitu, 2 kasus pada PT XYZ,
1 kasus pada PT PQR dan 1 kasus pada PT CDF. Skenario umum dibuat atas
masukkan dari manajemen perusahaan untuk mengetahui penyebab kecelakaan kerja

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
127

secara umum, yang juga diyakini ada keterkaitannya dengan penyebab bahaya
reaktifitas kimia. Rancangan skenario terburuk bahaya reaktifitas kimia untuk ketiga
jenis industri dapat dilihat pada lampiran 4.

5.4.3. KJ Analysis Skenario Terburuk Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia


Jumlah peserta diskusi dari ketiga perusahaan berjumlah 46 pekerja dari
berbagai departemen yaitu; produksi, Lab/QA, Gudang, Maintenance dan K3. Peserta
diskusi juga dihadiri oleh level manajemen sampai operator/teknisi. Keterwakilan
peserta diskusi baik dari sisi departemen dan posisi atau jabatan sudah sangat baik
sehingga masukkan yang diperoleh akan sangat komprehensif.
Metode KJ Analysis juga sangat tepat digunakan dalam diskusi yang
berbentuk curah pendapat (brainstroming) dengan peserta yang sangat bervariasi baik
dari sisi latar belakang maupun jabatan. Metode ini memberikan kesempatan kepada
peserta untuk memberikan masukkan dengan cara menuliskan pada kertas yang sudah
disediakan, sehingga peserta dengan jabatan teknisi atau supervisor tidak perlu merasa
takut atau segan untuk menyampaikan masukkan didepan atasan atau manajer. Hal ini
dapat dilihat dari ringkasan hasil KJ Analysis pada Tabel 5.7. Jumlah total masukkan
dari tiga perusahaan berjumlah 805 masukkan yang terdiri dari PT XYZ 366
masukkan, PT PQR 211 masukkan dan PT CDF 228 masukkan (lihat lampiran 4).
Dari 805 masukkan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 31 faktor-faktor
yang dianggap paling dominan sebagai penyebab kesalahan dari skenario terburuk
yang didiskusikan, kemudian 31 faktor tersebut juga dapat dikelompokkan kedalam 6
kategori, yaitu training dan kompetensi, prosedur dan standar kerja, faktor pekerja,
komitmen K3, keamanan/kenyamanan lingkungan kerja dan analisis bahaya dan
risiko. Gambar 5.1 memperlihat grafik hasil KJ analisis dari 6 kategori tersebut.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
128

Tabel 5.7. Rangkuman KJ Analysis BRK


Jumlah Input Penyebab BRK
Penyebab BRK Berdasarkan KJ Analysis
No Kategori
PT PT PT Kategori
XYZ PQR CDF Total % (%)
Kurangnya pengetahuan pekerja tentang bahan baku 7 2 0 9 1,12

Kurangnya pengetahuan pekerja tentang proses kimia 5 0 2 7 0,87


Training dan
1 Kurangnya pengetahuan pekerja tentang prosedur kerja 1 7 3 11 1,37 7,70
Kompetensi (X1)
Kurangnya pengetahuan pekerja tentang bahaya di tempat kerja 8 11 0 19 2,36

Pekerja kurang mendapatkan pelatihan 9 4 3 16 1,99

Prosedur Standar kerja (SOP) proses produksi tidak ada atau kurang lengkap 8 29 3 40 4,97

Prosedur Standar kerja (SOP) untuk penyimpanan bahan baku tidak jelas 15 0 0 15 1,86
Prosedur dan 11 0 2 13 1,61
Prosedur Standar kerja (SOP) untuk tanggap darurat tidak ada
2 Standar Kerja 18,76
(X2) Proses verifikasi dan validasi tidak ada 11 6 0 17 2,11

Standar untuk kebersihan tidak ada 19 27 0 46 5,71

Label dan Identifikasi bahan baku/produk 2 10 8 20 2,48

Kesalahan pekerja dalam proses penimbangan bahan baku 6 14 0 20 2,48

Kesalahan pekerja dalam proses produksi 17 3 41 61 7,58

Kesalahan pekerja dalam proses entri data pada dokumen proses 28 11 6 45 5,59

Faktor Pekerja Kesalahan pekerja dalam pengiriman bahan baku ke produksi 20 0 0 20 2,48
3 36,89
(X3) 18 4 0 22 2,73
Kesalahan dalam proses penyimpanan bahan baku
Pekerja kurang disiplin dalam melakukan pekerjaan 30 17 17 64 7,95

Pekerja terburu-buru dalam melakukan pekerjaan 7 4 5 16 1,99

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


129

Tabel 5.7. Rangkuman KJ Analysis BRK (Lanjutan)

Jumlah Input Penyebab BRK


Penyebab BRK Berdasarkan KJ Analysis Kategori
No Kategori PT PT PT (%)
XYZ PQR CDF Total %
Pekerja ceroboh dalam melakukan pekerjaan 10 2 1 13 1,61

Pekerja lalai dalam melakukan pekerjaan 17 2 8 27 3,35

Kerjasama Tim 2 0 7 9 1,12

22 2 14 38 4,72
Sistem komunikasi yang kurang baik
10 0 2 12 1,49
Komitment K3 Lemahnya sistem pengawasan pekerja dilapangan
4 13,29
(X4)
4 2 16 22 2,73
Beban kerja berlebih
8 0 27 35 4,35
Komitmen Manajemen dan Pekerja terhadap K3
16 10 53 79 9,81
Kurangnya perawatan alat dan mesin
7 21 3 31 3,85
Keamanan/Keny Kalibrasi alat ukur tidak dilakukan secara regular
amanan
5 32 5 1 38 4,72 22,86
Lingkungan Area kerja tidak kurang layak dan aman
Kerja (X5)
7 2 0 9 1,12
Rancangan (disain) alat tidak sesuai
9 13 5 27 3,35
Sistem kontrol dan pengaman tidak memadai
Analisis Bahaya
6 0 3 1 4 0,50 0,50
dan Resiko (X6) Identifikasi dan analisa bahaya ditempat kerja tidak dilakukan
366 211 228 805 100 100
Total

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


130

50.00%
45.00%
40.00% 36.89%
35.00%
30.00%
25.00% 22.86%
18.76%
20.00%
13.29%
15.00%
10.00% 7.70%
5.00% 0.50%
0.00%

Faktor Pekerja (X3)


Training dan kompetensi

Prosedur dan standar

Keamanan/kenyamanan

Analisis bahaya dan


Komitmen K3 (X4)

lingkungan kerja (X5)

risiko (X6)
kerja (X2)
(X1)

Gambar 5.1. Enam Kategori Penyebab BRK dari Hasil KJ Analisis

Faktor kesalahan pekerja merupakan faktor yang paling dominan (36,89%),


hal ini menunjukkan bahwa pekerja memegang peranan penting dalam proses
pencegahan kecelakaan kerja akibat bahaya reaktifitas kimia. Hal lain yang juga
sangat erat kaitannya dengan pekerja adalah training dan kompetensi (7,70%).
Sehingga total peran faktor pekerja dalam kaitan skenario bahaya reaktifitas ini adalah
44,60% (X1+X3). Prosedur kerja dan standar kerja (18,76%), analisa resiko (0,50%)
dan komitmen K3 (13,29%) dapat digolongkan kedalam sistem manajemen dimana
total masukkan untuk faktor sistem manajemen ini adalah 32,55% (X2+X4+X6).
Kelompok yang ketiga yaitu lingkungan kerja, masukkan untuk kategori ini adalah
sebesar 22,86% (X5). Gambar 5.2 menunjukkan besarnya kontribusi ketiga faktor
utama yang dapat menyebabkan terjadinya bahaya reaktifitas kimia sesuai dengan
teori sistem manajemen keselamatan kerja yang sudah dibahas pada bagian tinjauan
pustaka.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
131

Lingkungan Kerja,
22.86%

Faktor Pekerja, 44.60%

Sistem Manajemen,
32.55%

Gambar 5.2. Tiga Faktor Utama Penyebab BRK Hasil Kajian KJ Analisis

5.5. Hasil Audit Sistem Manajemen Keselamatan


Audit lapang dilakukan dengan tujuan untuk melihat pelaksanaan dan
penerapan sistem manajemen baku yang ada, khususnya sistem manajemen K3. Hasil
ceklist dari empat perusahaan dapat dilihat pada lampiran 9. Tabel 5.8
memperlihatkan rangkuman dari hasil observasi lapangan menggunakan ceklist.
Dari Gambar 5.3 dapat dilihat bahwa PT CDF memiliki tingkat pelaksanaan
sistem manajemen K3 yang jauh lebih baik dibandingkan dengan tiga perusahaan
lainnya. Sementara PT XYZ Plant A dan Plant B memiliki tingkat pelaksanaan sistem
manajemen K3 yang lebih rendah dibandingkan PT CDF dan PT PQR. Hal ini sejalan
dengan komitmen manajemen perusahaan yang menerapkan sistem manajemen
seperti SMK3, ISO 9001, ISO 14000 dan PSM, dimana pada PT CDF semua sistem
tersebut sudah diimplementasikan, sementara PT XYZ baru memgimplementasi ISO
9001 dan sedang mempersiapkan diri untuk mendapatkan sertifikasi ISO 14000.
Sementara PT PQR juga telah menerapkan ISO 9001 dan juga sedang
mempersiapkan diri untuk menerapkan ISO 14000, namun perusahaan ini juga
memiliki sistem manajemen yang mengacu pada kebijakan induk perusahaan
(Corporate), sehingga pelaksanaannya lebih baik. Dari Tabel 5.8 dapat dilihat bahwa
PT CDF memenuhi semua kategori sistem manajemen K3 yang terdapat dalam
checklist, sementara PT XYZ terdapat banyak sekali kategori sistem manajemen K3

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
132

yang belum diterapkan sepenuhnya. Terlihat bahwa komitmen manajemen pada PT


XYZ lebih rendah dibandingkan PT CDF dan PQR. Hal inilah yang menyebabkan
rendahnya penerapan sistem manajemen K3 secara keseluruhan pada PT XYZ.

Tabel 5.8. Rangkuman Hasil Pengamatan Lapangan Terhadap Pelaksanaan Sistem


Manajemen K3 Dengan Metode Ceklist Pada Empat Perusahaan.

% Tingkat Pelaksanaan (% of Compliance)


No Item Checklist PT XYZ PT CDF PT PQR
1 Komitmen top manajemen (Policy) 75 100 100
2 Alokasi sumber daya 100 100 100
3 Partisipasi pekerja 0 100 100
4 Proses identifikasi bahaya 0 100 33
5 Proses analisis kecelakaan 75 100 100
6 Training dan komunikasi 40 80 40
7 Prosedur produk baru 100 100 100
8 Sistem review/audit 0 100 0
9 Rencana tanggap darurat 100 100 100
10 Manajemen Bahan Baku 82 100 100
11 Standar Kerja Proses produksi 82 100 80
Tekonolgi Keselamatan untuk
menangani bahan kimia yang
12 mudah menguap (volatile) 0 100 50
Teknologi Keselamatan untuk
menangani bahan kimia mudah
13 terbakar 44 100 70
Teknologi keselamatan untuk
menangani bahaya bahan kimia
14 beracun 60 100 50

Teknologi keselamatan untuk


15 mitigasi dari reaksi tidak terkontrol 0 100 67
16 Lingkungan Kerja 80 100 93
Pengamatan terhadap pekerja
17 secara umum 50 100 100

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
133

% Tingkat Pelaksanaan Sistem K3 Hasil Obseravsi dengan


Metode Checklist

100%

90%
Tingkat Pelaksanaan Sistem K3 80%

70%

60%

50%

40%

30%

20%

10%

0%
PT XYZ PT PQR PT CDF

Perusahaan

Gambar 5.3. Nilai Persentase Rata-Rata Pelaksanaan Sistem Manajemen K3 dari


Hasil Observasi dengan Metode Checklist pada Tiga Perusahaan.

5.6. Perhitungan Sisa Indeks Bahaya dan Risiko


Sistem pengendalian bahaya kimia di fokuskan pada bahan kimia dengan
indeks bahaya sedang sampai dengan sangat tinggi. Shah, et al (2005) mengusulkan
persamaan yang menunjukkan tingkat sisa indeks bahaya (SIB) setelah dikurangi
dengan faktor penerapan teknologi keselamatan sebagai berikut:
SIB = IB - ∑FTK (5.1)
Dimana,
SIB = Sisa Indek Bahaya
IB = Indek Bahaya
∑FTK = Faktor Teknologi Keselamatan
Mengacu pada persamaan yang dikembangkan oleh Shah et.al (2005), peneliti
mengusulkan persamaan baru dengan faktor tambahan dalam menghitung SIB bahan
kimia dan reaktifitas kimia sebagai berikut:

SIB = IB – (∑FSMK n-k+∑FP n-k+∑FTK n-k)


(5.2)

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
134

Dimana,
SIB = Sisa Indeks Bahaya Kimia dan Reaktifitas Kimia
IB = Indeks Bahaya Bahan Kimia atau Reaktifitas Kimia
∑FTK = Total Faktor Teknologi Keselamatan
∑FSMK = Total Faktor Sistem Manajemen Keselamatan
∑FP = Total Faktor Pekerja
Faktor sistem manajemen keselamatan (FSMK), faktor pekerja (FP) dan
teknologi keselamatan (FTK) yang diusulkan terdapat pada Tabel 5.9, 5.10 dan 5.11.
Faktor-faktor yang diusulkan didalam Tabel 5.0, 5.10 dan 5.11 mengacu pada ceklist
yang digunakan untuk observasi lapangan (Lampiran 7). Dari hasil kajian KJ analysis
diperoleh rasio faktor penyebab terjadinya kecelakaan antara faktor lingkungan dan
sistem manajemen dan pekerja adalah 0,23 : 0,33 : 0,44 (Gambar 5.2). Hasil kajian KJ
analysis dan nilai rasio ini dijadikan landasan untuk mengembangkan nilai FTK,
FSMK dan FP sebagai faktor pengurang nilai indeks bahaya.
Total nilai FSMK yang diusulkan adalah 0,33 atau 33% dapat menurunkan
bahaya kimia dan reaktifitas kimia pada industri kimia hilir. Total nilai FP yang
diusulkan adalah 0,44 atau 44% dapat menurunkan bahaya kimia dan reaktifitas kimia
pada industri kimia hilir. Total nilai FTK yang diusulkan adalah 0,23 atau 23% dapat
menurunkan bahaya kimia dan reaktifitas kimia pada industri kimia hilir. Menurut
peneliti untuk menurunkan indeks bahaya (IB) pada industri kimia hilir di Indonesia
yang memiliki teknologi yang pada umumnya masih konvensional dan sumber daya
manusia yang terbatas dengan jumlah bahan kimia dan produk yang demikian banyak
dan bervariasi, tidak bisa hanya dengan menerapkan teknologi keselamatan (FTK),
hal ini terbukti dari hasil KJ analysis bahwa faktor pekerja (FP) dan sistem
manajemen keselamatan (FSMK) lebih dominan dalam menyebabkan terjadinya
kecelakaan BRK.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
135

Tabel 5.9. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Sistem Manajemen Keselamatan (FSMK)
No Faktor Sistem Manajemen Keselamatan (FSMK) ISRS Element ISRS Score % Score Bobot FSMK
1 Komitmen top manajemen (Policy) Leadership and Administratiom 1310 24% 0.08
2 Proses identifikasi bahaya Off-the-job safety 240 4% 0.01
3 Proses analisis kecelakaan Accident/incident investigation 605 11% 0.04
4 Prosedur produk baru Engineering and change management 670 12% 0.04
5 Sistem review/audit System evaluation 700 13% 0.04
6 Rencana tanggap darurat Emergency preparedness 700 13% 0.04
7 Manajemen Bahan Baku Materials and service management 615 11% 0.04
8 Standar Kerja Proses produksi Critical task analysis and procedure 650 12% 0.04
Total 5490 100% 0.33
Catatan: Total nilai FSMK adalah 0,33

Tabel 5.10. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Pekerja (FP)


No Faktor Pekerja (FP) ISRS Element ISRS Score % Score Bobot FP
1 Alokasi sumber daya Hiring and placement 405 21% 0.09
2 Partisipasi pekerja dalam K3 Personal Communication 490 25% 0.11
3 Training dan komunikasi Knowlegde and skill training 700 35% 0.16
4 Pengamatan terhadap pekerja secara umum (APD) Personal Protective Equipment 380 19% 0.08
Total FP 1975 100% 0.44
Catatan: Total nilai FP adalah 0,44

Tabel 5.11. Hasil Perhitungan Bobot Faktor Teknologi Keselamatan (FTK)


No Faktor Teknologi Keselamatan (FTK) ISRS Element ISRS Score % Score Bobot FTK
1 Tekonolgi Keselamatan bahan kimia yang mudah menguap Health and hygine control 700 20% 0.046
2 Teknologi Keselamatan bahan kimia mudah terbakar Health and hygine control 700 20% 0.046
3 Teknologi keselamatan bahaya bahan kimia beracun Health and hygine control 700 20% 0.046
4 Teknologi keselamatan untuk mitigasi dari reaksi tidak terkontrol Health and hygine control 700 20% 0.046
5 Lingkungan Kerja Planned inspection and maintenance 690 20% 0.045
Total FTK 3490 100% 0.230
Catatan: Total nilai FTK adalah 0,23

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


136

Sistem pembobotan nilai FSMK, FP dan FTK mengacu pada pembobotan


International Safety Rating System (ISRS) yang digunakan untuk audit yang
dikembangkan oleh DNV Management System (1994). Persentase skore (% score)
dari ISRS score untuk setiap elemen-elemen dalam FSMK, FP dan FTK dikalikan
dengan total nilai FSMK, FP dan FTK yang diperoleh dari KJ analysis.
Bobot FSMK = % Score ISRS x 0,33 (5.3)
Bobot FP = % Score ISRS x 0,44 (5.4)
Bobot FTK = % score ISRS x 0,23 (5.5)
Tabel 5.10, 5.11 dan 5.12 menunjukkan hasil perhitung bobot masing-masing elemen
dari FSMK, FP dan FTK. Nilai bobot FSMK, FP dan FTK tersebut digunakan untuk
menghitung nilai aktual dari FSMK, FP dan FTK pada ketiga industri tempat
penelitian dilakukan.
Untuk menghitung nilai FSMK, FP dan FTK dari masing-masing perusahaan,
digunakan rumus sebagai berikut:
FSMK = % Compliance x Bobot FSMK (5.6)
FP = % Compliance x Bobot FP (5.7)
FTK = % Compliance x Bobot FTK (5.8)
% Compliance diperoleh dari hasil survey dan observasi lapangan menggunakan
ceklist (Lampiran 7). % Compliance adalah tingkat kesesuaian pelaksanaan dengan
standar manajemen yang diterapkan atau dipersyaratkan. Maka nilai FSMK, FP dan
FTK adalah merupakan perkalian antara bobot (weight) dari masing-masing faktor
tersebut dikalikan dengan % tingkat pelaksanaan dari standar atau persyaratan yang
ditetapkan untuk masing-masing faktor tersebut.
Tabel 5.12 menunjukkan hasil perhitung nilai aktual FSMK, FP dan FTK
untuk ketiga perusahaan PT XYZ, PT CDF dan PT PQR. Total nilai aktual FSMK
untuk PT XYZ adalah 0,231, PT CDF adalah 0,330 dan PT PQR adalah 0,270. Nilai
FSMK ini menunjukkan bahwa PT CDF memiliki sistem menajemen yang lebih baik
dibandingkan PT PQR dan PT XYZ. Demikian juga dengan PT PQR memiliki sistem
manajemen yang lebih baik dibandingkan dengan PT XYZ. Total nilai aktual FP
untuk PT XYZ adalah 0,195, PT CDF adalah 0,409 dan PT PQR adalah 0,346. Nilai
FP ini menunjukkan bahwa PT CDF juga memiliki sumber daya manusia yang lebih
baik, terutama dari sisi kompetensi dan dan sistem pengembangan kompetensi serta

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
137

Tabel 5.12. Hasil Perhitungan Nilai Faktor Sistem Manajemen Keselamatan (FSMK), Faktor Pekerja (FP) dan Nilai Faktor Teknologi
Keselamatan (FTK) dari Observasi Lapangan

PT XYZ PT CDF PT PQR


No Faktor Sistem Manajemen Keselamatan (FSMK) Bobot FSMK %Compliance FSMK %Compliance FSMK %Compliance FSMK
1 Komitmen top manajemen (Policy) 0,079 0,750 0,059 1,000 0,079 1,000 0,079
2 Proses identifikasi bahaya 0,014 0,000 0,000 1,000 0,014 0,330 0,005
3 Proses analisis kecelakaan 0,036 0,750 0,027 1,000 0,036 1,000 0,036
4 Prosedur produk baru 0,040 1,000 0,040 1,000 0,040 1,000 0,040
5 Sistem review/audit 0,042 0,000 0,000 1,000 0,042 0,000 0,000
6 Rencana tanggap darurat 0,042 1,000 0,042 1,000 0,042 1,000 0,042
7 Manajemen Bahan Baku 0,037 0,820 0,030 1,000 0,037 1,000 0,037
8 Standar Kerja Proses produksi 0,039 0,820 0,032 1,000 0,039 0,800 0,031
Total FSMK 0,330 0,231 0,330 0,270
No Faktor Pekerja (FP) Bobot FP % Compliance FP % Compliance FP % Compliance FP
1 Alokasi sumber daya 0,090 1,000 0,090 1,000 0,090 1,000 0,090
2 Partisipasi pekerja 0,109 0,000 0,000 1,000 0,109 1000 0,109
3 Training dan komunikasi 0,156 0,400 0,062 0,800 0,125 0,400 0,062
4 Pengamatan terhadap pekerja secara umum 0,085 0,500 0,042 1,000 0,085 1,000 0,085
Total FP 0,440 0,195 0,409 0,346
No Faktor Teknologi Keselamatan (FTK) Bobot FTK % Compliance FTK % Compliance FTK % Compliance FTK
Tekonolgi Keselamatan untuk menangani bahan
1 kimia yang mudah menguap (volatile) 0,046 0,000 0,000 1,000 0,046 0,500 0,023
Teknologi Keselamatan untuk menangani bahan
2 kimia mudah terbakar 0,046 0,440 0,020 1,000 0,046 0,700 0,032
Teknologi keselamatan untuk menangani bahaya
3 bahan kimia beracun 0,046 0,600 0,028 1,000 0,046 0,500 0,023
Teknologi keselamatan untuk mitigasi dari reaksi
4 tidak terkontrol 0,046 0,000 1,000 0,046 0,670 0,031
5 Lingkungan Kerja 0,045 0,800 0,036 1,000 0,045 0,930 0,042
Total FTK 0,230 0,084 0,230 0,152

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


138

keterlibatan pekerja dalam program K3 dibandingkan dengan kedua perusahaan


lainnya PT PQR dan PT XYZ. Total nilai aktual FTK untuk PT XYZ adalah 0,084,
PT CDF adalah 0,230 dan PT PQR adalah 0,152. Nilai FTK menunjukkan bahwa PT
CDF memiliki sistem teknologi keselamatan yang lebih baik dibandingkan dengan PT
XYZ dan PT PQR. Nilai total FSMK, FP dan FTK ini digunakan untuk menghitung
nilai sisa indeks bahaya (SIB) pada ketiga perusahaan tersebut.
Tabel 5.13, 5.14 dan 5.15 menunjukan hasil perhitungan sisa indeks bahaya
(SIB) bahan baku kimia pada PT XYZ, CDF dan PQR. Tabel 5.13 menunjukan hasil
perhitungan sisa indeks bahaya bahan kimia (SIB) PT XYZ. Dari tabel dapat dilihat
bahwa masih terdapat sisa bahaya setelah penerapan beberapa sistem teknologi dan
manajemen keselamatan, terutama SIB untuk indeks bahaya sangat tinggi dan tinggi,
total SIB bahan baku kimia pada PT XYZ adalah 0,720 (tinggi). Nilai SIB negatif
menunjukan bahwa sistem pengendalian jauh diatas tingkat bahaya bahan kimia. Nilai
SIB ini masih dapat diturunkan dengan memperbaiki sistem manajemen bahan kimia
dan penambahan beberapa sistem teknologi keselamatan yang masih sangat minim.
PT XYZ belum secara formal menerapkan SMK3 atau OHSAS 18001, dengan
penerapan salah satu dari sistem manajemen tersebut, termasuk meningkatkan
pengetahuan dari pekerja akan bahaya bahan kimia, maka tingkat risiko bahaya bahan
kimia akan dapat diturunkan sampai pada tingkat yang lebih rendah.

Tabel 5.13. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia PT XYZ

Bahaya Jumlah IB FTK FP FSMK SIB


Bahaya sangat tinggi 7,39% 1 0,084 0,195 0,231 0,490
Bahaya tinggi 4,19% 0,75 0,084 0,195 0,231 0,240
Bahaya sedang 9,18% 0,5 0,084 0,195 0,231 -0,010
Bahaya rendah 2,40% 0,25 0,084 0,195 0,231 -0,260
Bahaya tidak diketahui 76,85% 0
Total SIB 0,720

Tabel 5.14 menunjukan hasil perhitungan sisa indeks bahaya (SIB) bahan baku kimia
PT CDF. Dari tabel dapat dilihat bahwa hampir tidak ada sisa bahaya setelah
penerapan beberapa sistem teknologi dan manajemen keselamatan, hanya SIB bahaya
sangat tinggi yang masih ada, namun nilainyapun sangat kecil, total nilai SIB bahan
baku kimia untuk PT CDF adalah 0,031 (sangat rendah). PT CDF telah menerapkan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
139

hampir semua sistem manajemen kualitas, lingkungan dan keselamatan. Hal inilah
yang menjadi faktor utama baiknya sistem pengendalian bahaya bahan baku kimia
pada PT CDF.

Tabel 5.14. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia PT CDF

Bahaya Jumlah IB FTK FP FSMK SIB


Bahya sangat tinggi 28,00% 1 0,230 0,409 0,330 0,031
Bahaya tinggi 28,00% 0,75 0,230 0,409 0,330 -0,219
Bahaya sedang 24,00% 0,5 0,230 0,409 0,330 -0,469
Bahaya rendah 16,00% 0,25 0,230 0,409 0,330 -0,719
Bahaya tidak diketahui 0,00%
Total SIB 0,031

Tabel 5.15 menunjukan hasil perhitungan sisa indeks bahaya (SIB) bahan baku kimia
PT PQR. Dari tabel dapat dilihat bahwa masih ada sisa bahaya setelah penerapan
beberapa sistem teknologi dan manajemen keselamatan, hanya SIB bahaya sangat
tinggi yang masih ada, nilai SIB untuk bahaya sangat tinggi masih cukup signifikan,
yaitu 0,232, total SIB bahan baku kimia untuk PT PQR adalah 0,232 (rendah). PT
PQR sudah menerapkan sistem manajemen kualitas dengan baik, untuk sistem
manajemen keselamatan PT PQR mengikuti sistim dari induk perusahaan.

Tabel 5.15. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) Bahan Baku Kimia PT PQR

Bahaya Jumlah IB FTK FP FSMK SIB


Bahya sangat tinggi 1,13% 1 0,152 0,346 0,270 0,232
Bahaya tinggi 20,56% 0,75 0,152 0,346 0,270 -0,018
Bahaya sedang 48,17% 0,5 0,152 0,346 0,270 -0,268
Bahaya rendah 13,24% 0,25 0,152 0,346 0,270 -0,518
Bahaya tidak diketahui 16,90%
Total SIB 0,232

Mengacu pada metode perhitungan semi kuantitatif level risiko yang banyak
dipakai dalam analisis dan manajemen risiko, dimana (Cross J, 1998):
Risk = Likelihood x Severity (5.9)
atau
Risk = Likelihood x Hazads x Exposure (5.10)

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
140

Maka dengan menggunakan prinsip yang sama dapat dihitung nilai indeks risiko (IR)
BRK pada ketiga perusahaan dengan rumus perhitungan nilai Indeks Risiko (IR) dan
Sisa Indeks Risiko (SIR) adalah sebagai berikut:

Indeks Risiko (IR) BRK = Probabilitas BRK x Indeks Bahaya BRK (5.11)

Sisa Indeks Risiko (SIR) BRK = Probabilitas BRK x Sisa Indeks Bahaya
(SIB) BRK (5.12)

Nilai probabilitas BRK diambil dari nilai jumlah persentase pasangan dari produk
atau bahan kimia yang berpotensi mengandung BRK. Menurut Cross J. (1998), nilai
probabilitas kemungkinan terjadinya kecelakaan adalah sebanding dengan nilai
kecendrungan terjadinya kecelakaan (likelihood). Nilai indeks bahaya (IB) BRK
adalah merupakan tingkat bahaya dan keparahan (severity) yang diakibatkan oleh
BRK tersebut. Kategori nilai IR sama dengan kategori nilai IB yang mengacu pada
penelitian yang dilakukan oleh Shah et.al (2003), dimana:
IR: >/=0,75 - 1,00 adalah risiko sangat tinggi,
IR: >/= 0,50 - 0,75 adalah risiko tinggi,
IR: >/=0,25 - 0,50 adalah risiko sedang
IR: < 0,25 adalah risiko rendah.
Hasil perhitungan nilai sisa indeks bahaya (SIB) BRK, nilai indeks risiko (IR)
BRK dan nilai sisa indeks risiko (SIR) BRK untuk ketiga perusahaan tempat
penelitian dilakukan dapat dilihat pada Tabel 5.16, 5.17 dan 5.18. Nilai total SIB BRK
PT XYZ adalah 1,460 (sangat tinggi), PT CDF adalah 0,062 (sangat rendah) dan PT
PQR adalah 0,464 (sedang). Untuk nilai IR BRK pada PT XYZ adalah 0,670 (tinggi),
PT CDF adalah 2,00 (sangat tinggi) dan PT PQR adalah 0,710 (tinggi). Nilai SIR
BRK setelah penerapan FSMK, FP dan FTK untuk PT XYZ adalah 0,313 (sedang),
PT CDF adalah 0,062 (sangat rendah) dan PT PQR adalah 0,067 (sangat rendah).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
141

Tabel 5.16. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT XYZ
No Jumlah IB IR FTK FP FSMK SIB SIR
Produk yang memiliki potensi 47% 1 0,470 0,084 0,195 0,231 0,490 0,230
1 reaktifitas dalam formulanya 3% 0,75 0,023 0,084 0,195 0,231 0,240 0,007
Produk yang berpontensi breaksi 11% 1 0,110 0,084 0,195 0,231 0,490 0,054
2 jika tercampur 9% 0,75 0,068 0,084 0,195 0,231 0,240 0,022
Total 0,670 1,460 0,313

Tabel 5.17. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT CDF
No Jumlah IB IR FTK FP FSMK SIB SIR
Produk yang memiliki potensi 100% 1 1,000 0,230 0,409 0,330 0,031 0,031
1 reaktifitas dalam formulanya 0% 0,75 0,000 0,230 0,409 0,330 -0,219 0,000
Produk yang berpontensi breaksi 100% 1 1,000 0,230 0,409 0,330 0,031 0,031
2 jika tercampur 0% 0,75 0,000 0,230 0,409 0,330 -0,219 0,000
Total 2,000 0,062 0,062

Tabel 5.18. Hasil Perhitungan Sisa Indeks Bahaya (SIB) dan Sisa Indeks Risiko (SIR) Reaktifitas Kimia PT PQR
No Jumlah IB IR FTK FP FSMK SIB SIR
Produk yang memiliki potensi 9% 1 0,090 0,152 0,346 0,270 0,232 0,021
1 reaktifitas dalam formulanya 15% 0,75 0,113 0,152 0,346 0,270 -0,018 -0,003
Produk yang berpontensi breaksi 20% 1 0,200 0,152 0,346 0,270 0,232 0,046
2 jika tercampur 41% 0,75 0,308 0,152 0,346 0,270 -0,018 -0,007
Total 0,710 0,464 0,067

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


142

5.7. Pengembangkan Model Hipotesis Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia


Berdasarkan hasil kajian skenario terburuk dengan metoda KJ analisis
sebelumnya, maka kemudian dapat dikembangkan model hipotesis dari 6 variabel
yang dapat menyebabkan terjadinya kesalahan yang dapat memicu bahaya reaktifitas
kimia sesuai skenario yang dikembangkan. Model hipotesis dapat dilihat pada
Gambar 5.4. Model ini dikembangkan berdasarkan hasil diskusi dengan para ahli
dilapangan (Supervisor, Manajer Produksi dan Plant Manajer) pada 3 perusahaan
tempat penelitian dilakukan.

Mengurangi
Kompetensi + Faktor + Kesalahan
(X1) Pekerja Pencampuran (Y1)
(X1)
+
+ + + +
Mengurangi
Kesalahan Proses
(Y2)
Komitmen + Prosedur
K3 (X4) dan Standar +
Kerja (X2)
+ + Mengurangi
Kontaminasi (Y3)
+
+ + +
Analisis Lingkungan + Mengurangi
Bahaya dan Kerja Ketidaksempurnaan
Risiko (X6) + (X5) Pencampuran (Y4)

+ Mengurangi
+ Kesalahan
Penyimpanan (Y5)

Gambar 5.4. Model Hipotesis Penyebab BRK Sesuai Skenario Terburuk yang
Dikembangkan

Berikut akan dijelaskan teori-teori yang mendukung model kualitatif yang


dikembangkan ini.

5.7.1. Komitmen K3
Setiap perusahaan harus memiliki komitmen untuk melindungi keselamatan
dan kesehatan semua pekerja yang dapat terkena dampak keselamatan dan kesehatan
dari aktifitas kerja yang dilakukanya (BSI, 2004). Dalam buku petunjuk pelaksanaan
OHSAS 18001 yang dikeluarkan oleh British Standard Institution tahun 2004,

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
143

komitmen K3 ditunjukan dalam bentuk kebijakan manajemen perusahaan yang


mengutamakan prinsip K3, kesediaan mengalokasikan dana dan sumber daya yang
cukup untuk program K3, keterlibatan top manajemen dan line manajemen dalam
setiap program K3, dan mengkomunikasikan kebijakan dan program K3 kepada
seluruh karyawan. Dari definisi komitmen K3 yang dikeluarkan oleh BSI 2004 dapat
dipahami bahwa komitmen K3 merupakan fondasi dari keseluruhan program K3 pada
suatu perusahaan. Kebijakan perusahaan harus menunjukkan komitmen terhadap
pengendalian risiko dan bahaya, pemenuhan terhadap peraturan pemerintah,
pelaksanan standar prosedur K3, komunikasi dan pelatihan K3, usaha perbaikan atau
peningkatan K3 secara berkelanjutan dan tinjau ulang secara berkala. Gambar 5.5
menunjukkan hubungan antara variabel komitmen K3 dengan variabel training &
kompetensi, prosedur dan standar kerja, kemanan dan kenyamanan lingkungan kerja
dan analsis bahaya dan risiko berdasarkan hasil KJ Analisis yang dilakukan
sebelumnya.

Training &
Kompetensi

Prosedur dan
Standar Kerja

Keamanan/
Kenyamanan
Komitmen K3 Lingkungan Kerja

Analisis
Bahaya &
Risiko

Gambar 5.5. Hubungan Variabel Komitmen K3 dengan Variabel-Variabel Lain.

5.7.2. Training dan Kompetensi


Seseorang pekerja yang mendapatkan pelatihan yang cukup dan berhati-hati
dalam melakukan pekerjaan akan terhindar dari kecelakaan kerja walaupun
melakukan pekerjaan yang berbahaya, sebaliknya pekerja yang tidak mendapatkan
pelatihan dan tidak berhati-hati dalam melakukan pekerjaan akan mengalami
kecelakaan walaupun melakukan pekerjaan yang aman (Heinrich, 1980).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
144

Pelatihan bagi bekerja harus dilakukan sebelum pekerja tersebut melakukan


pekerjaan yang ditugaskan. Setiap karyawan baru harus mendapatkan pelatihan yang
cukup untuk setiap pekerjaan yang akan dilakukan. Penugasan pekerja yang belum
mendapatkan pelatihan untuk melakukan sesuatu yang tidak dikuasainya dengan baik
akan memberikan peluang besar terjadinya kecelakaan pada pekerja tersebut. Pekerja
harus memahami dengan baik setiap tahapan proses pekerjaan yang dilakukan,
pemahaman tidak hanya pada proses teknis pelaksanaanya saja, akan tetapi
pemahaman harus meliputi aspek keselamatan dari pekerjaan tersebut.

Training &
Kompetensi Faktor Pekerja

Gambar 5.6. Hubungan Variabel Training & Kompetensi dengan Variabel Faktor
Pekerja.
Pelatihan yang tepat akan meningkatkan kompetensi atau kemampuan serta
keahlian pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Pelatihan yang diberikan harus
sesuai dengan tanggung jawab dan autoritas pekerjaan yang diberikan. Pelatihan K3
harus fokus pada pengembangan kemampuan pekerja akan keselamatan kerja,
sehingga menimbulkan kesadaran akan bahaya ditempat kerja dan meningkatkan
kemampuan menangani bahaya tersebut serta memahami alasan-alasan kenapa
program K3 dilakukan (Dingdags et al., 2008).

5.7.3. Faktor Pekerja


Pada pertengahan tahun 1920 telah mulai berkembang beberapa teori yang
menjelaskan penyebab terjadinya kecelakaan, dan salah satu yang paling terkenal
adalah teori domino. Menurut teori ini bahwa kecelakaan disebabkan oleh tindakan
tidak aman dari seseorang dan keterpajanan terhadap kondisi mekanik yang tidak
aman (Heinrich, 1980). Dari diskusi dengan pekerja pada saat melakukan kajian
skenario terburuk terungkap bahwa pekerja seringkali melakukan pekerjaan secara
terburu, memotong prosedur kerja, ceroboh dan tidak berhati-hati sehingga
menyebabkan kesalahan atau kegagalan proses yang berpotensi menjadi kecelakaan
kerja. Gambar 5.7 memperlihatkan hubungan antara faktor kesalahan pekerja dengan
penyebab terjadinya kecelakaan BRK.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
145

Kesalahan
Pencampuran

Kesalahan
Faktor Pekerja proses

Kontaminasi

Ketidaksempurnaa
n pencampuran

Kesalahan
Penyimpanan

Gambar 5.7. Hubungan Variabel Faktor Pekerja dengan Variabel-Variabel Lain.

5.7.4. Prosedur dan Standar Kerja


Sistem manajemen international seperti ISO 9001 mensyaratkan dibuatnya
prosedur kerja pada elemen-elemen yang sudah ditentukan. Salah satu tujuan
dibuatnya prosedur adalah untuk menjaga bahwa setiap proses kegiatan dilakukan
secara konsisten untuk menjaga kualitas produk yang dibuat. Sistem manajemen K3
(SMK3 atau OHSAS 18001) juga mensyaratkan dibuatnya prosedur untuk elemen-
elemen tertentu, misalnya OHSAS 18001 mensyaratkan dibuatnya prosedur untuk
mengidentifikasi bahaya K3 dan prosedur untuk mengidentifikasi semua
perundangan, peraturan atau standar yang terkait dengan resiko yang terdapat dalam
perusahaan.

Keamanan/
Faktor Pekerja Prosedur dan
Kenyamanan
Standar Kerja
Lingkungan Kerja

Gambar 5.8. Hubungan Variabel Prosedur dan Standar Kerja dengan Faktor Pekerjan
dan Lingkungan Kerja.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
146

Prosedur dan standar kerja biasanya menggambarkan prosedur operasi standar


(SOP) untuk mengikuti berbagai proses bisnis dalam sebuah organisasi. Tujuan
utamanya adalah (Wikipedia, 2010):
1. Untuk merekam secara sistematis semua kebijakan bisnis, proses dan
prosedur yang berlaku.
2. Untuk menunjukkan aliran tindakan yang dilakukan dari awal sampai
akhir rantai proses.
3. Untuk menanamkan budaya "kesadaran pengendalian" antara pemilik
proses dan operasi.
4. Untuk melihat kekurangan dalam kebijakan, proses dan prosedur dan
membuat rekomendasi yang cocok untuk perbaikan dalam kebijakan,
efektivitas proses, proses efisiensi, kontrol internal dan kepatuhan,
sebagaimana berlaku.
5. Sebagai dasar untuk menyebarluaskan pengetahuan kepada karyawan
yang berhubungan dengan fungsi bisnis yang relevan, dan untuk
mengaktifkan pelatihan yang cukup kepada karyawan sehingga mereka
bisa bekerja secara independen.
6. Sebagai panduan referensi untuk Internal Audit, yang menilai sejauh
mana SOP dipenuhi.
Dan salah satu tujuan dibuatnya prosedur K3 adalah untuk menghindari
terjadinya kecelakaan kerja atau mengontrol risiko dan bahaya ditempat kerja.
Sebagai contoh Chemical Reactivity Management System yang dikeluarkan oleh
CCPS mensyaratkan dilakukannya identifikasi bahaya reaktivitas kimia untuk
menghindari terjadinya bahaya reaktivitas kimia ditempat kerja. Gambar 5.6
menunjukkan hubungan antara variabel prosedur dan standar kerja dengan variabel
faktor pekerja dan keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.

5.7.5. Kenyamanan/Kemanan Lingkungan Kerja


Menurut teori kecelakaan kerja yang keluarkan oleh Zabetakis, bahwa
penyebab yang paling mendasar terjadinya kecelakaan adalah kebijakan manajemen,
faktor pekerja dan faktor lingkungan kerja. Faktor lingkungan kerja disebut juga
sebagai kondisi yang tidak aman (unsafe condition), contohnya adalah alat-alat kerja
yang rusak dan masih digunakan, bahaya-bahaya ledakan dan kebakaran, area kerja

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
147

yang kotor, ventilasi yang buruk, pencahaayaan yang kurang, alat-alat bantu kerja
yang tidak memadai, tidak adanya sistem peringatan dini, dan lain sebagainya
(Heinrich, 1980).
Lingkungan kerja akan berpengaruh secara langsung pada faktor pekerja.
Pekerja tidak akan bisa bekerja secara aman dan baik jika lingkungan kerja tidak
aman dan nyaman. Misalnya jika pencahayaan tidak mencukupi maka akan sangat
membahayakan bagi pekerja dalam bekerja, demikian juga dengan ventilasi yang
kurang memadai akan menimbulkan suasana panas dan pengap sehingga menganggu
konsentrasi pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Gambar 5.9 memperlihatkan
hubungan variabel kemanan/kenyamanan lingkungan kerja dengan variabel faktor
pekerja dan penyebab terjadinya kecelakaan BRK karena kesalahan parameter proses,
kontaminasi dan kesalahan penyimpanan berdasarkan hasil KJ analisis yang sudah
dilakukan sebelumnya.

Faktor Pekerja Kesalahan


proses

Kontaminasi

Keamanan/
Kenyamanan
Lingkungan Kerja Penyimpanan

Gambar 5.9. Hubungan Variabel Kenyamanan/Keamanan Lingkungan Kerja dengan


Variabel-Variabel Lain.

5.7.6. Analisis Bahaya dan Resiko


Analisis risiko merupakan elemen paling mendasar dalam keberhasilan
pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja. Prinsip pelaksanaan
analisis risiko haruslah bersifat proaktif. Identifikasi bahaya dan kontrol risiko harus
dilakukan sebelum terjadi kecelakaan. Proses identifikasi bahaya, kajian risiko,
pelaksanaan dan kaji ulang kontrol risiko harus berdasarkan sistiem K3 secara
keseluruhan (BSI, 2004). Gambar 5.10 menunjukkan hubungan variabel analsis
bahaya dan risiko dengan variabel faktor pekerja, prosedur dan standar kerja,
kemanan dan kenyamanan lingkungan kerja berdasarkan hasil KJ analisis yang
dilakukan sebelumnya.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
148

Faktor
Pekerja

Prosedur dan
Analisis Bahaya &
Standar Kerja
Risiko

Keamanan/
Kenyamanan
Lingkungan Kerja

Gambar 5.10. Hubungan Variabel Analisi Bahaya dan Risiko dengan Variabel-
Variabel Lain.

5.8. Pengembangan Model Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia


Tahap berikutnya adalah mengembangkan model penyebab bahaya reaktifitas
kimia dengan metode SEM, data diperoleh dari hasil kuosioner pada ketiga
perusahaan tempat penelitian dilakukan. Ada beberapa tahapan proses yang harus
dilakukan dalam mengembangkan SEM ini, yaitu:
1. Uji Normalitas
2. Uji Multikolinearitas
3. Mengembangkan model pengukuran
4. Pengembangan model struktural
5. Respesifikasi model struktural

5.8.1. Uji Normalitas


Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16. Karena
jumlah sampel yang cukup besar, maka uji normalitas menggunakan uji descriptive
normal P-P Plot. Suatu data dikatakan berdistribusi normal jika sebaran data
mengikuti atau menempel pada garis linear pada grafik P-P Plot (Zar. J.H., 1999).
Hasil pengujian menunjukkan semua hasil pengukuran mengikuti distribusi normal
atau asumsi normalitas terpenuhi.

5.8.2. Uji Multikolinearitas

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
149

Uji multikolinearitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16. Hasil


uji multikoliearitas menunjukkan nilai Pearl Correlation lebih kecil dari 0,8 (r < 0,8),
artinya tidak ditemukan adanya kolinearitas antar variabel indikator.

5.8.3. Mengembangkan Model Pengukuran Penyebab Bahaya Reaktifitas


Kimia
Untuk mengembangkan model pengukuran digunakan metode Confirmatory
Factor Analysis (CFA) dari program LISREL 8.50. Persamaan regresi model
pengukuran untuk setiap variabel indikator dapat dilihat pada Tabel 5.19.

Tabel 5.19. Persamaan Regresi Model Pengukuran Penyebab BRK

Persamaan t-score Error R2


Variance
Q1 = 0,38*KOMPETENSI 4,61 3,25 0,04
Q2 = 0,20*KOMPETENSI 3,06 2,09 0,02
Q3 = 0,20*KOMPETENSI 3,26 1,85 0,02
Q4 = 0,15*KOMPETENSI 2,07 2,62 0,01
Q5 = 0,95*KOMPETENSI 20,61 0,55 0,62
Q6 = 0,93*KOMPETENSI 19,96 0,57 0,60
Q7 = 0,78*KOMPETENSI 14,65 1,00 0,38
Q8 = 0,72*KOMPETENSI 16,82 0,58 0,47
Q43 =0,62*KOMPETENSI 15,04 0,60 0,39
Q44 = 0,17*KOMPETENSI 3,51 1,17 0,03
Q45 = 0,35*KOMPETENSI 6,44 1,31 0,08
Q46 = 0,24*KOMPETENSI 4,89 1,08 0,05
Q47 = 0,37*KOMPETENSI 6,58 1,44 0,09
Q14 = 0,37*PEKERJA 6,80 1,32 0,09
Q15 = 0,33*PEKERJA 6,61 1,15 0,09
Q16 = 0,59*PEKERJA 7,97 2,41 0,13
Q17 = 1,05*PEKERJA 15,16 1,60 0,41
Q18 = 0,94*PEKERJA 15,81 1,12 0,44
Q19 = 0,81*PEKERJA 13,90 1,19 0,35
Q20 = 0,58*PEKERJA 9,10 1,66 0,17
Q21 = 0,60*KOMITMEN 11,77 1,03 0,26
Q22 = 0,94*KOMITMEN 16,04 0,97 0,48
Q23 = 1,03*KOMITMEN 16,35 0,99 0,52
Q24 = 0,82*KOMITMEN 15,08 0,99 0,40
Q25 = 0,96*KOMITMEN 17,51 0,98 0,48
Q26 = 0,79*KOMITMEN 14,43 0,95 0,39
Q27 = 0,66*KOMITMEN 12,05 0,96 0,31
Q28 = 0,67*KOMITMEN 13,02 0,92 0,33
Q29 = 0,13*KOMITMEN 2,12 1,95 0,01
Q9 = 0,71*SOP 11,63 1,47 0,25
Q10 = 0,91*SOP 14,26 1,37 0,37
Q11 = 0,76*SOP 14,20 1,07 0,35
Q12 = 0,90*SOP 16,75 0,92 0,47
Q13 = 0,80*SOP 16,27 0,79 0,45

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
150

Persamaan t-score Error R2


Variance
Q30 = 1,03*LINGKUNGAN 16,28 1,33 0,44
Q31 = 0,94*LINGKUNGAN 15,30 1,33 0,40
Q32 = 0,85*LINGKUNGAN 15,58 0,99 0,42
Q33 = 0,73*LINGKUNGAN 14,22 0,95 0,36
Q34 = 0,55*LINGKUNGAN 11,90 0,83 0,26
Q35 = 1,05*LINGKUNGAN 16,67 1,30 0,46
Q36 = 0,93*LINGKUNGAN 13,26 1,87 0,32
Q37 = 0,61*LINGKUNGAN 11,55 1,10 0,25
Q38 = 0,65*ANALISISRISIKO 10,77 1,53 0,22
Q39 = 1,11*ANALISISRISIKO 15,08 1,88 0,40
Q40 = 1,04*ANALISISRISIKO 16,50 1,26 0,46
Q41 = 0,86*ANALISISRISIKO 15,74 1,04 0,42
Q42 = 1,13*ANALISISRISIKO 15,48 1,84 0,41
Q48 = 1,46*PENCAMPURAN 19,52 1,01 0,68
Q49 = 1,39*PENCAMPURAN 21,45 1,09 0,64
Q50 = 1,66*PENCAMPURAN 22,73 1,19 0,70
Q55 = 1,44*PARAMETER 22,19 1,17 0,64
Q56 = 1,61*PARAMETER 25,17 0,87 0,75
Q57 = 1,67*PARAMETER 24,37 1,12 0,71
Q51 = 1,15*KONTAMINAN 20,11 0,99 0,57
Q52 = 1,49*KONTAMINAN 23,66 0,88 0,72
Q53 = 1,51*KONTAMINAN 22,90 1,16 0,66
Q54 = 1,93*KONTAMINAN 32,64 0,10 0,97
Q58 = 1,45*TDKSEMPURNA 20,55 1,40 0,60
Q59 = 1,61*TDKSEMPURNA 22,76 1,23 0,68
Q60 = 1,43*TDKSEMPURNA 18,27 2,12 0,49
Q61 = 1,47*PENYIMPANAN 21,76 1,00 0,68
Q62 = 1,60*PENYIMPANAN 23,01 1,02 071
Q63 = 1,52*PENYIMPANAN 22,14 1,19 0,66
Q64 = 1,47*PENYIMPANAN 18,92 1,91 0,53

Dari Tabel 5.19 diatas dapat dilihat bahwa nilai t-score (perhitungan) memilki
nilai > 1,96, artinya semua variabel indikator memiliki nilai yang signifikan. Maka
dapat disimpulkan bahwa semua variabel indikator dapat diikut sertakan dalam
pembentukan model struktural.
Pada tahapan ini juga dilakukan uji kecocokan model pengukuran untuk setiap
variabel laten. Uji kecocokan dilihat dari nilai RMSEA, CFI, SRMR, IFI dan GFI.
Tabel 5.20 menunjukkan hasil perhitungan derajat kecocokan model pengukuran
bahaya reaktifitas kimia.
Dari Tabel 5.20 dapat dilihat bahwa 4 indeks GOF menunjukkan derajat
kecocokan data-model adalah baik dan hanya satu indeks GOF yang menunjukkan
derajat kecocokan data-model kurang baik, maka dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan derajat kecocokan data-model adalah baik.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
151

Tabel 5.20. Nilai Derajat Kecocokan Data-Model (GOF) dari Model Pengukuran
Penyebab BRK

Indeks GOF Batas Nilai Kelayakan Hasil Keterangan


Perhitungan
RMSEA <0,07 dgn CFI> 0,90 0,026 Baik
CFI >/= 0,90 0,960 Baik
SRMR </=0,08 dgn CFI >0,92 0,050 Baik
IFI >/=0,90 0,960 Baik
GFI >/=0,90 0,880 Kurang baik

5.8.4. Mengembangkan Model Struktural Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia


Setelah memperoleh model pengukuran untuk semua variabel laten, maka
tahap berikutnya adalah mengembangkan model struktural yang dibangun dari model
pengukuran. Konstruk model struktural diambil dari model yang dikembangkan pada
kajian kualitatif sebelumnya (Gambar 5.4). Model struktural tersebut menjadi model
hipotesis pada uji SEM. Berikut adalah hipotesis nol yang dikembangkan berdasarkan
konstruk model struktural dari kajian kualitatif.
H01 : Komitmen K3 berpengaruh positip secara signifikan terhadap
kompetensi atau penyediaan training bagi pekerja.
H02 : Komitmen K3 berpengaruh positip secara signifikan terhadap analisis
risiko ditempat kerja.
H03 : Komitmen K3 berpengaruh positip secara signifikan terhadap prosedur
standar kerja (SOP).
H04 : Komitmen K3 berpengaruh positip secara signifikan terhadap
keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.
H05 : Kompetensi berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
kesalahan pekerja.
H06 : Analsisi risiko berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
kesalahan pekerja.
H07 : Analisis risiko berpengaruh positip secara signifikan terhadap prosedur
standar kerja (SOP).
H08 : Analisis risiko berpengaruh positip secara signifikan terhadap
keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
152

+0,10 +0,40 Mengurangi


Kompetensi Faktor Kesalahan
(X1) Pekerja Pencampuran (Y1)
(X1)
+0,23
+0,65 +0,10
+0,13
+0,54 Mengurangi
Kesalahan Proses
(Y2)
Komitmen +0,04 Prosedur +0,13
K3 (X4) dan Standar
+0,70 Kerja (X2) -0,02
Mengurangi
Kontaminasi (Y3)
+0,24
+0,57 +0,04
+0,21 +0,26
Analisis Lingkungan Mengurangi
Bahaya dan +0,69 Kerja Ketidaksempurnaan
Risiko (X6) (X5) Pencampuran (Y4)

-0,04

+0,21 Mengurangi
Kesalahan
Penyimpanan (Y5)

Gambar 5.11. Model Struktural Penyebab BRK Berdasarkan Model Hipotesis.

H09 : Prosedur dan standar kerja kerja berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi kesalahan pekerja.
H010 : Prosedur dan standar kerja kerja berpengaruh positip secara signifikan
meningkatkan keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.
H011 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya kesalahan pencampuran.
H012 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya kesalahan parameter proses.
H013 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya kontaminasi.
H014 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya ketidaksempurnaan pencampuran.
H015 : Faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan mengurangi
terjadinya kesalahan penyimpanan.
H016 : Keamanan/kenyamanan lingkungan berpengaruh positip secara
signifikan mengurangi terjadinya kesalahan parameter proses.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
153

H017 : Keamanan/kenyamanan lingkungan kerja berpengaruh positip secara


signifikan mengurangi terjadinya kontaminasi.
H018 : Keamanan/kenyamanan lingkungan berpengaruh positip secara
signifikan mengurangi terjadinya kesalahan penyimpanan

Untuk menjawab hipotesis nol diatas, maka dilakukan pemodelan dengan


program LISREL 8.50 untuk menghitung nilai signifikansi hubungan masing-masing
variabel berdasarkan model hipotesis. Gambar 5.11 adalah model struktural
berdasarkan model hipotesis (model kualitatif) dengan nilai faktor loading yang
menunjukkan hubungan antar variabel laten.

Tabel 5.21. Nilai Derajat Kecocokan Data-Model dari Model Struktural Hipotesis
Penyebab BRK

Indeks GOF Batas Nilai Kelayakan Hasil Keterangan


Perhitungan
RMSEA <0,07 dgn CFI> 0,90 0,032 Baik
CFI >/= 0,90 0,940 Baik
SRMR </=0,08 dgn CFI >0,92 0,080 Baik
IFI >/=0,90 0,940 Baik
GFI >/=0,90 0,870 Kurang baik

Hasil perhitungan derajat kecocokan model (Goodness Of Fit) yang


menunjukkan derajat kecocokan antara model hipotesis dengan data terdapat dalam
Tabel 5.21, dapat dilihat bahwa 4 indeks GOF menunjukkan derajat kecocokan data-
model adalah baik dan hanya satu indeks GOF yang menunjukkan derajat kecocokan
data-model kurang baik, maka dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan derajat
kecocokan data-model adalah baik.
Dari persamaan model struktural hipotesis diatas, dibuat persamaan
regregresinya dari 10 variabel endogen dan 1 variabel eksogen. Dari model struktural
hipotesis diatas diperoleh 10 persamaan, Tabel 5.22 menggambarkan persamaan
regresi model struktural dari model hipotesis.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
154

Tabel 5.22. Persamaan Regresi Model Struktural Hipotesis Penyebab BRK

No Persamaan Error Variance


1 KOMPETENSI = 0,65*KOMITMEN Errorvar.= 0,58 , R² = 0,42
2 FAKTOR PEKERJA = 0,10*KOMPETENSI + 0,54*SOP + Errorvar.= 0,24 , R² = 0,76
0,23*LINGKUNGAN + 0,10*ANALISIS RISIKO
3 SOP = 0,70*ANALISIS RISIKO + 0,038*KOMITMEN Errorvar.= 0,48, R² = 0,52
4 LINGKUNGAN = 0,21*SOP + 0,69*ANALISIS RISIKO + Errorvar.= 0,23 , R² = 0,77
0,044*KOMITMEN
5 ANALISIS RISIKO = 0,57*KOMITMEN Errorvar.= 0,68 , R² = 0,32
6 PENCAMPURAN = 0,40*PEKERJA Errorvar.= 0,75 , R² = 0,25
7 PARAMETER = 0,13*PEKERJA + 0,13*LINGKUNGAN Errorvar.= 0,74, R² = 0,26
8 KONTAMINASI = - 0,024*PEKERJA + Errorvar.= 0,75 , R² = 0,25
0,24*LINGKUNGAN
9 TDKSEMPURNA = 0,26*PEKERJA Errorvar.= 0,73 , R² = 0,27
10 PENYIMPANAN = - 0,037*PEKERJA + Errorvar.= 0,87 , R² = 0,13
0,21*LINGKUNGAN

Dari persamaan regresi model struktural hipotesis pada Tabel 5.22, dapat
dilihat koefesien struktural (KS) untuk masing-masing jalur sesuai dengan hipotesis
nol yang dibuat. Nilai KS dan uji hipotesis (t-perhitungan) untuk masing-masing jalur
dapat dilihat pada Tabel 5.23, bahwa ada beberapa lintasan yang memiliki nilai
koefesien struktural (KS) yang tidak signifikan sehingga hipotesis nol (H0) ditolak.
Nilai KS dikatakan signifikan jika nilai t-perhitungan > t-Tabel, dimana nilai t-Tabel
adalah 1,96.

Tabel 5.23. Nilai Koefesien Struktural dan Signifikansi Model Hipotesis Penyebab
BRK

Lintasan (Path) Nilai KS Nilai t-perhitungan H0


Komitmen  Kompetensi 0,65 4,5 Signifikan H01: Diterima
Komitmen  Analsis Risiko 0,57 8,3 Signifikan H02: Diterima
Komitmen  SOP 0,04 0,64 Tidak Signifikan H03: Ditolak
Komitmen  Lingkungan 0,04 0,87 Tidak Signifikan H04: Ditolak
Kompetensi  Pekerja 0,10 1,59 Tidak Signifikan H05: Ditolak
Analisis Risiko  Pekerja 0,10 0,81 Tidak Signifikan H06: Ditolak
Analisis Risiko  SOP 0,70 6,59 Signifikan H07: Diterima
Analisis Risiko  Lingkungan 0,69 6,04 Signifikan H08: Diterima
SOP  Pekerja 0,54 4,56 Signifikan H09: Diterima
SOP  Lingkungan 0,21 2,69 Signifikan H010: Diterima
Pekerja  Pencampuran 0,40 4,62 Signifikan H011: Diterima
Pekerja  Proses 0,13 1,21 Tidak Signifikan H012: Ditolak
Pekerja  Kontaminasi -.0,024 -0,22 Tidak Signifikan H013: Ditolak
Pekerja  Tdk sempurna 0,26 4,06 Signifikan H014: Diterima
Pekerja  Penyimpanan -.0,037 -0,28 Tidak Signifikan H015: Ditolak
Lingkungan  Proses 0,13 1,19 Tidak Signifikan H016: Ditolak
Lingkungan Kontaminasi 0,24 2,17 Signifikan H017: Diterima
Lingkungan Penyimpanan 0,21 1,74 Tidak Signifikan H018: Ditolak

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
155

Dari hasil pengujian statistik hipotesis nol model struktural hipotesis tersebut,
terdapat 9 hipotesis nol yang ditolak, yaitu H03, H04, H05, H06, H12, H13, H15, H16, dan
H18, dimana hubungan kedua variabel laten pada masing-masing hipotesis tersebut
tidak signifikan;
H03 ditolak berarti komitmen K3 tidak berpengaruh positip secara signifikan
terhadap prosedur standar kerja (SOP). Data hasil pengukuran menunjukkan
bahwa kelengkapan, aspek K3, kemudahan dan pemahaman standar dan
prosedur kerja tidak dipengaruhi secara signifikan oleh komitmen K3 secara
langsung.

H04 ditolak berarti komitmen K3 tidak berpengaruh positip secara signifikan


terhadap keamanan/kenyamanan lingkungan kerja. Data hasil pengukuran
menunjukkan bahwa perawatan alat dan mesin, alur proses, pengaturan
penyimpanan bahan baku, sistem kontrol proses, kenyamanan area kerja dan
alat pelindung diri tidak secara signifikan dipengaruhi oleh komitmen K3
secara langsung.

H05 ditolak berarti kompetensi tidak berpengaruh positip secara signifikan


mengurangi kesalahan pekerja. Data hasil pengukuran yang menggabungkan
antara training dengan kompetensi dan pengetahuan menunjukkan hubungan
yang tidak sgnifikan dengan kesalahan yang disebabkan oleh faktor pekerja.
Untuk kasus ini peneliti melakukan pemisahan antara variabel indikator
training dengan kompetensi pada respesifikasi model pada tahapan berikutnya.

H06 ditolak berarti analsis risiko tidak berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi kesalahan pekerja. Data hasil pengukuran menunjukkan bahwa
kesalahan yang diakibatkan oleh kelalaian, terburu-buru, kesalahan
pengiriman bahan baku, memotong jalur SOP dan mengingatkan rekan kerja
tidak secara signifikan dipengaruhi oleh analisis risiko secara langsung.

H012 ditolak berarti faktor pekerja tidak berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi terjadinya kesalahan parameter proses. Data hasil pengukuran
menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan parameter proses seperti tekanan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
156

atau temperatur terlalu tinggi/rendah, pemanasan atau pendinginan terlalu


cepat/lambat dan kecepatan penambahan bahan baku terlalu cepat atau lambat
tidak secara signifikan dipengaruhi oleh faktor pekerja.

H013 ditolak berarti faktor pekerja tidak berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi terjadinya kontaminasi. Data hasil pengukuran menunjukkan
bahwa terjadinya kontaminasi seperti kontaminasi bahan baku, kebersihan
vesel atau wadah yang buruk, kesalahan transfer dan terdapat sisa bahan baku
dalam vesel atau wadah tidak secara signifikan dipengaruhi oleh faktor
pekerja.

H015 ditolak berarti faktor pekerja tidak berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi terjadinya kesalahan penyimpanan. Data hasil pengukuran
menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan penyimpanan seperti bahan baku
disimpan melewati masa kadaluarsa, kemasan/ packaging bahan baku
dibiarkan terbuka, kemasan/packaging baku tanpa label, dan kemasan/
packaging bahan baku bocor atau tumpah tidak secara signifikan dipengaruhi
oleh faktor pekerja.

H016 ditolak berarti keamanan/kenyamanan lingkungan tidak berpengaruh


positip secara signifikan mengurangi terjadinya kesalahan parameter proses.
Data hasil pengukuran menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan parameter
proses seperti tekanan atau temperatur terlalu tinggi/rendah, pemanasan atau
pendinginan terlalu cepat/lambat dan kecepatan penambahan bahan baku
terlalu cepat atau lambat tidak secara signifikan dipengaruhi oleh
keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.

H018 ditolak berarti keamanan/kenyamanan lingkungan tidak berpengaruh


positip secara signifikan mengurangi terjadinya kesalahan penyimpanan. Data
hasil pengukuran menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan penyimpanan
seperti bahan baku disimpan melewati masa kadaluarsa, kemasan/ packaging
bahan baku dibiarkan terbuka, kemasan/packaging baku tanpa label, dan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
157

kemasan/ packaging bahan baku bocor atau tumpah tidak secara signifikan
dipengaruhi oleh keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.

Hipotesis nol yang diterima pada uji statistik model struktural hipotesis adalah H01,
H02, H07, H08, H09, H010, H011, H014, dan H017, dimana hubungan kedua variabel laten
pada masing-masing hipotesis tersebut signifikan;

H01 diterima berarti komitmen K3 berpengaruh positip secara signifikan


terhadap kompetensi atau penyediaan training bagi pekerja. Dari hasil
pengukuran menunjukkan bahwa untuk peningkatan kompetensi pekerja
diperlukan komitmen dari manajemen.

H02 diterima berarti komitmen K3 berpengaruh positip secara signifikan


terhadap analisis risiko ditempat kerja. Dari hasil pengukuran menunjukkan
bahwa analsis risiko ditempat kerja hanya bisa dilakukan jika ada komitmen
dari manajemen untuk melaksanakannya.
H07 diterima berarti analisis risiko berpengaruh positip secara signifikan
terhadap prosedur kerja standar (SOP). Data hasil pengukuran menunjukkan
bahwa kelengkapan, aspek K3, kemudahan dan pemahaman standar dan
prosedur kerja dipengaruhi secara signifikan oleh hasil dan pelaksanaan
analisis risiko yang dilakukan.

H08 diterima berarti analisis risiko berpengaruh positip secara signifikan


terhadap keamanan/kenyamanan lingkungan kerja. Data hasil pengukuran
menunjukkan bahwa perawatan alat dan mesin, alur proses, pengaturan
penyimpanan bahan baku, sistem kontrol proses, kenyamanan area kerja dan
alat pelindung diri secara signifikan dipengaruhi oleh hasil dan pelaksanaan
analisis risiko.

H010 diterima berarti prosedur dan standar kerja kerja berpengaruh positip
secara signifikan meningkatkan keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.
Data hasil pengukuran menunjukkan bahwa perawatan alat dan mesin, alur
proses, pengaturan penyimpanan bahan baku, sistem kontrol proses,

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
158

kenyamanan area kerja dan alat pelindung diri secara signifikan dipengaruhi
oleh standar dan prosedur kerja.

H011 diterima berarti faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan


mengurangi terjadinya kesalahan pencampuran. Dari hasil pengukuran
menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan formula/komposisi produk,
penambahan berlebih atau kurang dan kesalahan urutan penambahan baku
secara signifikan dipengaruhi oleh faktor pekerja.

H014 diterima berarti faktor pekerja berpengaruh positip secara signifikan


mengurangi terjadinya ketidaksempurnaan pencampuran. Dari hasil
pengukuran menunjukkan bahwa terjadinya proses pengadukan terlalu
lama/cepat, kecepatan pengadukan terlalu tinggi/rendah dan pengaduk/stirer
tidak bekerja pada saat proses secara signifikan dipengaruhi oleh faktor
pekerja.
H017 diterima berarti keamanan/kenyamanan lingkungan kerja berpengaruh
positip secara signifikan mengurangi terjadinya kontaminasi. Dari hasil
pengukuran menunjukkan bahwa terjadinya kontaminasi bahan baku,
kurangnya kebersihan vesel atau wadah, terjadinya kesalahan transfer dan sisa
bahan baku dalam vesel atau wadah secara signifikan dipengaruhi oleh faktor
pekerja.

5.8.5. Respesifikasi Model Struktural Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia


Untuk mendapatkan model yang lebih sesuai atau cocok dengan data empiris,
maka model awal dapat dimodifikasi dan diuji kembali dengan data yang sama.
Peneliti dapat melakukan modifikasi model awal menjadi beberapa model dengan
tujuan untuk mencari satu model yang lebih cocok dengan data secara baik, tetapi
juga mempunyai sifat bahwa setiap parameternya dapat diartikan dengan baik
(Wijanto, 2008).
Pada tahapan berikutnya peneliti melakukan modifikasi model dengan cara
menghilangkan atau menghapus beberapa hubungan antar variabel yang memiliki
hubungan tidak signifikan atau hipotesis nol ditolak secara bertahap, dan mengubah
variabel laten kompetensi menjadi dua variabel laten lain yaitu training dan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
159

pengetahuan/kompetensi untuk memperbaiki koefesien struktural dari kompetensi


dengan faktor kesalahan pekerja. Pemecahan variabel kompetensi ini dapat dilakukan
dengan mengelompokkan variabel pengukuran 1- 8 untuk variabel training dan 43-47
untuk variabel pengetahuan. Model struktural penyebab BRK Modifikasi I dapat
dilihat pada Gambar 5.12.
Hipotesis nol tambahan untuk jalur tambahan model struktural modifikasi I ini
adalah sebagai berikut:
H019 : Training berpengaruh positip secara signifikan meningkatkan
pengetahuan dan kompetensi pekerja.
H020 : Pengetahuan dan kompetensi berpengaruh positip secara signifikan
mengurangi terjadinya kesalahan akibat faktor pekerja.

Training +1,15 Kompetensi +0,21 Mengurangi


(X1) (X2) Kesalahan
Pencampuran (Y1)

+0,63 +0,35
+0,25
Mengurangi
Faktor Kesalahan Proses
Pekerja (Y2)
(X4)

Komitmen +0,75 +0,15 Mengurangi


K3 (X5) Ketidaksempurnaan
Pencampuran (Y4)
+0,75 Prosedur
dan Standar
Kerja (X3)
+0,19 Mengurangi
Kontaminasi (Y3)
+0,60 +0,23

Analisis +0,72 Lingkungan +0,17


Bahaya dan Kerja Mengurangi
Risiko (X7) (X6) Kesalahan
Penyimpanan (Y5)

Gambar 5.12. Model Struktural Penyebab BRK Modifikasi I

Kemudian dilakukan uji kecocokan model dengan LISREL 8.50. Model struktural
modifikasi I yang memiliki nilai kecocokan yang paling baik terdapat pada Gambar
5.12. Hasil perhintungan derajat kecocokan model (Goodness Of Fit) yang
menunjukkan derajat kecocokan antara model struktural penyebab BRK modifikasi I
dengan data terdapat dalam Tabel 5.24.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
160

Tabel 5.24. Nilai Derajat Kecocokan Data-Model (GOF) dari Model Struktural
Penyebab BRK Modifikasi I

Indeks GOF Batas Nilai Kelayakan Hasil Keterangan


Perhitungan
RMSEA <0,07 dgn CFI> 0,90 0,026 Baik
CFI >/= 0,90 0,960 Baik
SRMR </=0,08 dgn CFI >0,92 0,072 Baik
IFI >/=0,90 0,960 Baik
GFI >/=0,90 0,890 Kurang baik

Dari Tabel 5.24 dapat dilihat bahwa 4 indeks GOF menunjukkan derajat
kecocokan data-model adalah baik dan hanya satu indeks GOF yang menunjukkan
derajat kecocokan data-model kurang baik, maka dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan derajat kecocokan data-model adalah baik.

Tabel 5.25. Persamaan Regresi Model Struktural Penyebab BRK Modifikasi I


No Persamaan Error Variance
1 TRAINING = 0,63*KOMITMEN Errorvar.= 0,61 , R² = 0,39
2 PENGETAHUAN = 1,15*TRAINING, Errorvar.= 0,72 , R² = 0,28
3 PEKERJA = 0,35*PENGETAHUAN + 0,75*SOP Errorvar.= 0,12 , R² = 0,88
4 SOP = 0,73*ANALISIS RISIKO Errorvar.= 0,47 , R² = 0,53
5 LINGKUNGAN = 0,23*SOP + 0,72*ANALISIS RISIKO Errorvar.= 0,18 , R² = 0,82
6 ANALISIS RISIKO= 0,60*KOMITMEN Errorvar.= 0,64 , R² = 0,36
7 PENCAMPURAN = 0,21*PEKERJA Errorvar.= 0,76 , R² = 0,24
8 PARAMETER = 0,25*PEKERJA Errorvar.= 0,74 , R² = 0,26
9 KONTAMINASI = 0,19*LINGKUNGAN Errorvar.= 0,87 , R² = 0,13
10 TDKSEMPURNA = 0,15*PEKERJA Errorvar.= 0,85 , R² = 0,15
11 PENYIMPANAN = 0,17*LINGKUNGAN Errorvar.= 0,87 , R² = 0,13

Dari persamaan regresi model struktural penyebab BRK modifikasi I pada


Tabel 5.25, dapat dilihat koefesien struktural untuk masing-masing jalur sesuai
dengan hipotesi nol yang dibuat. Nilai KS dan uji hipotesis (t-perhitungan) untuk
masing-masing jalur dapat dilihat pada Tabel 5.26, hasil menunjukkan bahwa semua
hubungan antar variabel dalam model struktural modifikasi I adalah signifikan dan
hipotesis nol diterima, dimana nilai t-perhitungan >/= 1,96.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
161

Tabel 5.26. Nilai Koefesien Struktural dan Signifikansi Model Struktural Penyebab
BRK Modifikasi I

Lintasan (Path) Nilai KS Nilai t-perhitungan H0


Komitmen  Training 0,63 4,24 Signifikan H01: Diterima
Komitmen  Analsis Risiko 0,60 8,87 Signifikan H02: Diterima
Analisis Risiko  SOP 0,73 7,63 Signifikan H07: Diterima
Analisis Risiko  Lingkungan 0,72 7,17 Signifikan H08: Diterima
SOP  Pekerja 0,75 4,04 Signifikan H09: Diterima
SOP  Lingkungan 0,23 3,16 Signifikan H010: Diterima
Pekerja  Pencampuran 0,21 3,26 Signifikan H011: Diterima
Pekerja  Proses 0,25 4,38 Signifikan H012: Diterima
Pekerja  Tdk sempurna 0,15 2,89 Signifikan H014: Diterima
Lingkungan Kontaminasi 0,19 3,86 Signifikan H017:: Diterima
Lingkungan  Penyimpanan 0,17 3,51 Signifikan H018: Diterima
Training  Pengetahuan/ 1,15 4,15 Signifikan H019: Diterima
kompetensi
Pengetahuan  Pekerja 0,35 2,78 Signifikan H020: Diterima

Untuk hipotesis nol jalur tambahan dapat dijelaskan sebagai berikut:


H019 diterima berarti training K3 berpengaruh positip secara signifikan
meningkatkan pengetahuan dan kompetensi pekerja. Dari hasil pengukuran
menunjukkan bahwa pelaksanaan training mengenai bahaya bahan kimia,
keselamatan bahan kimia, lembar keselamatan bahan kimia secara signifikan
dapat meningkatkan pengetahuan dan kompetensi pekerja.

H020 diterima berarti pengetahuan dan kompetensi berpengaruh positip secara


signifikan mengurangi terjadinya kesalahan akibat faktor pekerja. Dari hasil
pengukuran menunjukkan bahwa kesalahan pekerja seperti bekerja terburu-
buru, memotong jalur standar kerja, mengabaikan SOP dan kesalahan
pengiriman bahan baku dapat dikurangi dengan meningkatkan pengetahuan
pekerja.

Untuk mendapatkan model struktural yang lebih baik dan memiliki hubungan
antar variabel laten yang memilki koefesien struktural lebih tinggi, peneliti mencoba
melakukan modifikasi kedua dengan menambah beberapa jalur (path) yang didukung
secara teori atau fakta dilapangan. Model struktural penyebab BRK modifikasi II
dapat dilihat pada Gambar 5.13.
Hipotesis nol tambahan untuk jalur baru dari model struktural modifikasi II
adalah sebagai berikut:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
162

H021 : Mengurangi kesalahan pencampuran berpengaruh positip secara


signifikan mengurangi ketidaksempurnaan pencampuran.
H022 : Mengurangi kesalahan pencampuran berpengaruh positip secara
signifikan mengurangi kontaminasi produk.
H023 : Mengurangi kesalahan penyimpanan berpengaruh positip secara
signifikan mengurangi kontaminasi produk.

+0,94
Training Kompetensi Mengurangi Mengurangi
+0,90 Ketidaksempurnaan
(X1) (X2) Kesalahan
Pencampuran Pencampuran (Y4)
(Y1)
+0,26

+0,82 +0,37

Faktor Mengurangi
Pekerja Kesalahan
(X4) Parameter (Y2)
+0,28
+0,21
Komitmen +0,61
K3 (X5) Mengurangi
Kontaminasi (Y3)
Prosedur
+0,73 dan Standar
Kerja (X3)
+0,75

+0,58 +0,20

Analisis +0,73 Lingkungan +0,13 Mengurangi


Bahaya dan Kerja Kesalahan
Risiko (X7) (X6) Penyimpanan
(Y5)

Gambar 5.13. Model Struktural Penyebab BRK Modifikasi II

Hasil perhitungan derajat kecocokan model (Goodness Of Fit) yang menunjukkan


derajat kecocokan antara model struktural penyebab BRK modifikasi II dengan data
terdapat dalam Tabel 5.27, terdapat 4 indeks GOF menunjukkan derajat kecocokan
data-model adalah baik dan hanya satu indeks GOF yang menunjukkan derajat
kecocokan data-model kurang baik, maka dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan derajat kecocokan data-model adalah baik.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
163

Tabel 5.27. Nilai Derajat Kecocokan Data-Model (GOF) dari Model Struktural
Penyebab BRK Modifikasi II

Indeks GOF Batas Nilai Kelayakan Hasil Keterangan


Perhitungan
RMSEA <0,07 dgn CFI> 0,90 0,023 Baik
CFI >/= 0,90 0,960 Baik
SRMR </=0,08 dgn CFI >0,92 0,055 Baik
IFI >/=0,90 0,960 Baik
GFI >/=0,90 0,890 Kurang baik

Tabel 5.28 menggambarkan persamaan regresi model struktural penyebab BRK


modifikasi II.

Tabel 5.28. Persamaan Regresi Model Struktural Penyebab BRK Modifikasi II

No Persamaan Error Variance


1 TRAINING = 0,82*KOMITMEN Errorvar.= 0,33 , R² = 0,67
2 PENGETAHUAN = 0,90*TRAINING Errorvar.= 0,22 , R² = 0,78
3 FAKTOR PEKERJA = 0,37*PENGETAHUAN + 0,61*SOP Errorvar.= 0,10 , R² = 0,90
4 SOP = 0,73*ANALISIS RISIKO Errorvar.= 0,46 , R² = 0,54
5 LINGKUNGAN = 0,20*SOP + 0,73*ANALISIS RISIKO Errorvar.= 0,21 , R² = 0,79
6 ANALISIS RISIKO = 0,58*KOMITMEN Errorvar.= 0,66 , R² = 0,34
7 PENCAMPURAN = 0,26*PEKERJA Errorvar.= 0,76 , R² = 0,24
8 PARAMETER = 0,28*PEKERJA Errorvar.= 0,77 , R² = 0,23
9 KONTAMINAN = 0,21*PENCAMPURAN + Errorvar.= 0,29 , R² = 0,71
0,75*PENYIMPANAN
10 TDKSEMPURNA = 0,94*PENCAMPURAN Errorvar.= 0,40 , R² = 0,60
11 PENYIMPANAN = 0,13*LINGKUNGAN Errorvar.= 0,88 , R² = 0,12

Dari persamaan regresi model struktural penyebab BRK modifikasi II pada Tabel
5.28, dapat dilihat koefesien struktural untuk masing-masing jalur sesuai dengan
hipotesi nol yang dibuat. Nilai KS dan uji hipotesis (t-perhitungan) untuk masing-
masing jalur dapat dilihat pada Tabel 5.29, hasil menunjukkan bahwa semua
hubungan antar variabel dalam model struktural modifikasi II adalah signifikan dan
hipotesis nol diterima, dimana nilai t-perhitungan >/= 1,96.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
164

Tabel 5.29. Nilai Koefesien Struktural dan Signifikansi Model Struktural Penyebab
BRK Modifikasi II

Lintasan (Path) Nilai KS Nilai t-perhitungan H0


Komitmen  Training 0,82 5,30 Signifikan H01: Diterima
Komitmen  Analsis Risiko 0,58 8,90 Signifikan H02: Diterima
Analisis Risiko  SOP 0,73 7,76 Signifikan H07: Diterima
Analisis Risiko  Lingkungan 0,73 7,31 Signifikan H08: Diterima
SOP  Pekerja 0,75 4,04 Signifikan H09: Diterima
SOP  Lingkungan 0,20 2,74 Signifikan H010: Diterima
Pekerja  Pencampuran 0,28 4,23 Signifikan H011: Diterima
Pekerja  Parameter Proses 0,21 3,59 Signifikan H012: Diterima
Pencampuran  Kontaminan 0,20 4,63 Signifikan H021: Diterima
Penyimpanan  Kontaminan 0,75 13,87 Signifikan H022: Diterima
Pencampuran  Tdk Sempurna 0,94 5,53 Signifikan H023: Diterima
Lingkungan  Penyimpanan 0,13 2,96 Signifikan H018: Diterima
Training  0,90 4,92 Signifikan H019: Diterima
Pengetahuan/kompetensi
Pengetahuan  Pekerja 0,37 3,75 Signifikan H020: Diterima

Untuk hipotesis nol jalur tambahan dapat dijelaskan sebagai berikut:


H021 diterima berarti mengurangi kesalahan pencampuran berpengaruh positip
secara signifikan mengurangi ketidaksempurnaan pencampuran. Dari hasil
pengukuran menunjukkan bahwa terjadinya ketidaksempuranaan
pencampuran dapat dikurangi dengan mengurangi terjadinya kesalahan
pencampuran.

H022 diterima berarti mengurangi kesalahan pencampuran berpengaruh positip


secara signifikan mengurangi kontaminasi produk. Dari hasil pengukuran
menunjukkan bahwa terjadinya kontaminasi produk dapat dikurangi dengan
mengurangi terjadinya kesalahan pencampuran.

H023 diterima berarti mengurangi kesalahan penyimpanan berpengaruh positip


secara signifikan mengurangi kontaminasi produk. Dari hasil pengukuran
menunjukkan bahwa terjadinya kontaminasi produk dapat dikurangi dengan
mengurangi terjadinya kesalahan penyimpanan.

5.9. Hasil Uji Multiple Regresi Linear Model Hipotesis Penyebab Bahaya
Reaktifitas Kimia

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
165

Uji multiple regresi linear untuk model hipotesis penyebab bahaya reaktifitas
kimia dilakukan dengan menggunakan program SPSS 16.0. Persamaan multiple
regresi linear untuk melihat kuat hubungan antara variabel dependen (5 faktor pemicu
BRK) dengan variabel independen (7 faktor penyebab pemicu BRK) dapat dilihat
pada Tabel 5.30. Dari hasil uji multiple regresi dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pengurangan kesalahan pencampuran memiliki hubungan yang kuat dengan
kompetensi pekerja, komitmen K3, faktor kesalahan pekerja dan lingkungan
kerja. Kuat hubungan dari persamaan multiple regresi adalah 37,8%.
2. Pengurangan kesalahan parameter proses memiliki hubungan yang kuat
dengan kompetensi pekerja, komitmen K3, faktor kesalahan pekerja dan
lingkungan kerja. Kuat hubungan dari persamaan multiple regresi adalah
31,1%.
3. Pengurangan Kontaminasi memiliki hubungan yang kuat dengan kompetensi
pekerja, komitmen K3, faktor kesalahan pekerja dan lingkungan kerja. Kuat
hubungan dari persamaan multiple regresi adalah 36,2%.
4. Pengurangan Ketidaksempurnaan Pencampuran memiliki hubungan yang kuat
dengan kompetensi pekerja, faktor kesalahan pekerja dan lingkungan kerja.
Kuat hubungan dari persamaan multiple regresi adalah 31,9%.
5. Pengurangan Keasalahan Penyimpanan memiliki hubungan yang kuat dengan
kompetensi pekerja dan lingkungan kerja. Kuat hubungan dari persamaan
multiple regresi adalah 39,1%.
Semua hubungan diatas memenuhi asumsi linearitas dimana nilai Pv =0,000 (< 0,05).
Dari persamaan regresi diatas diketahui bahwa prosedur kerja standar (SOP)
tidak memiliki hubungan dengan semua variabel dependen. Kesalahan penyimpanan
hanya dipengaruhi oleh faktor kompetensi pekerja dan lingkungan kerja. Kompetensi
pekerja memiliki hubungan dengan semua variabel dependen. Faktor kesalahan
pekerja memiliki hubungan dengan semua variabel dependen kecuali kesalahan
penyimpanan.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
166

Tabel 5.30. Rangkuman Persamaan Multiple Regresi Linear Penyebab Bahaya Reaktifitas Kimia
Variabel Variabel Independen Persamaan Kuat *Pv
Dependen Hubungan (R)
Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Kesalahan Pencampuran = -0,425 + 0,400* 0,378 0,000
Kesalahan Analisis Risiko, SOP, Faktor (Kompetensi) -0,231 * (Komitmen K3) + 0,384 * (Faktor Pekerja) +
Pencampuran Pekerja, Lingkungan Kerja 0,418 * (Lingkungan Kerja).

Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Kesalahan Parameter Proses = -0,534 + 0,275 * 0,311 0,000
Kesalahan Analisis Risiko, SOP, Faktor (Kompetensi) – 0,185 * (Komitmen K3) + 0,312 * (Faktor Pekerja)
Parameter Proses Pekerja, Lingkungan Kerja + 0,485 * (Lingkungan Kerja).

Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Kontaminasi = 0,100 + 0,283 * (Kompetensi) – 0,257 * 0,362 0,000
Kontaminasi Analisis Risiko, SOP, Faktor (Komitmen K3) + 0,313 * (Faktor Pekerja) + 0,508 * (Lingkungan
Pekerja, Lingkungan Kerja Kerja).

Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Ketidaksempurnaan Pencampuran = -0,817 + 0,402 * 0,319 0,000
Ketidaksempurnaan Analisis Risiko, SOP, Faktor (Kompetensi) + 0,244 * (Faktor Pekerja) + 0,333 * (Lingkungan
Pencampuran Pekerja, Lingkungan Kerja Kerja)

Pengurangan Komitmen K3, Kompetensi, Pengurangan Kesalahan Penyimpanan = -0,098 + 0,529 * 0,391 0,000
Kesalahan Analisis Risiko, SOP, Faktor (Kompetensi) + 0,400 * (Lingkungan Kerja)
Penyimpanan Pekerja, Lingkungan Kerja

*Pv < 0,05, artinya asumsi linearitas pada pemodelan terpenuhi.

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


167

5.10. Hasil Analisis Kualitatif Pengembangan Sistem Pengendalian Bahaya


Reaktifitas Kimia
Sistem pengendalian BRK dikembangkan dengan metoda kualitatif
berdasarkan hasil observasi dan diskusi dengan para pekerja dan manajemen
dilapangan. Sistem manajemen pengendalian mengacu pada model penyebab BRK II.
Hasil analisis kualitatif usulan pengendalian untuk mengurangi terjadinya pemicu
BRK adalah seperti pada tabel 5.31. Usulan pengendalian yang dapat secara langsung
dikontrol dan mempengaruhi faktor yang lain adalah sebagai berikut:
1. Komitmen K3; yang meliputi komitmen manajemen dan pekerja dalam
melaksanakan dan mengikuti training dan melaksanakan analisis bahaya dan
risiko ditempat kerja.
2. Training; yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan program training yang
memasukkan pelatihan bahaya bahan kimia untuk meningkatkan kompetensi
pekerja dalam mengendalikan BRK sehingga dapat menurunkan kesalahan
pekerja yang dapat memicu terjadinya kesalahan pencampuran, kesalahan
proses, kontaminasi dan ketidak sempurnaan pencampuran.
3. Analisis bahaya dan risiko; yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan
analsis bahaya dan risiko ditempat kerja yang merupakan landasan untuk
membuat prosedur kerja standar dan program keamanan dan kenyamanan
lingkungan kerja.
4. Pembuatan prosedur kerja standar; didasarkan pada hasil analisis bahaya dan
risiko untuk mengurangi terjadinya kesalahan pekerja yang dapat memicu
terjadinya BRK
5. Program lingkungan kerja yang didasarkan pada hasil kajian bahaya dan risiko
ditempat kerja yang dapat mengurangi terjadinya pemicu BRK yaitu kesalahan
penyimpanan dan kontaminasi.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
168

Tabel 5.31. Hasil Kajian Kualitatif Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia


Hubungan Faktor-Faktor Pernyebab BRK Usulan Pengendalian

• Komitmen manajemen untuk menetapkan penanggung jawab training.


Komitmen Traning • Komitmen manajemen dalam pengadaan training bagi pekerja.
K3 • Komitmen manajemen dalam alokasi budget training.
• Komitmen manajemen memberikan training bagi pekerja baru.
• Pengadaan topik training yang berkaitan dengan bahaya bahan kimia.
• Pencatatan data-data training pekerja
Kompetensi
• Melakukan evaluasi terhadap hasil training.
• Komitmen manajemen untuk melakukan training penyegaran secara berkala.
• Komitmen pekerja untuk mengikuti semua program training.

• Komitmen manajemen untuk melakukan analisis bahaya dan risiko pada semua area pabrik.
• Komitmen manajemen dalam mengalokasikan dana dan sumber daya manusia untuk melakukan analisis
bahaya dan risiko.
Analisis Bahaya • Komitmen manajemen untuk menunjuk penanggung jawab analisis bahaya dan risiko.
Komitmen & Risiko
K3 • Komitmen manajemen untuk melaksanakan hasil rekomendasi dari analisis bahaya dan risiko.
• Komitmen manajemen untuk melakukan analisis bahaya dan risiko secara berkesinambungan.
• Komitmen manajemen untuk menetapkan prosedur analisis bahaya dan risiko
• Komitmen manajemen untuk melibatkan pekerja dalam melakukan analisis bahaya dan risiko.
• Komitmen pekerja untuk ikut aktif berpartisipasi dalam melakukan analisi bahaya dan risiko.
• Komitmen pekerja untuk melaporkan setiap potensi bahaya dan risiko ditempat kerja.

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


169

Hubungan Faktor-Faktor Pernyebab BRK Usulan Pengendalian

• Membuat perencanaan training atau pelatihan bagi pekerja.


Training Kompetensi • Melakukan training bagi pekerja baru.
• Melakukan training penyegaran minimal 1x dalam 1 tahun.
• Melakukan training bahan kimia berbahaya
• Melakukan training BRK
• Melakukan training identifikasi BRK
Faktor Kesalahan
Pekerja
• Melakukan training penanganan BRK
• Melakukan training prosedur kerja standar
• Melakukan training proses produksi
• Melakukan training MSDS
Kesalahan Kesalahan • Melakukan training APD penanganan BRK
pencampuran Parameter • Melakukan training Label Hazards
Proces
• Melakukan training tanggap darurat BRK
• Melakukan evaluasi setiap selesai pelaksanaan training
Ketidak- • Melakukan pencatatan setiap kegiatan training
sepmpurnaan Kontaminasi
pencampuran • Materi training harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan, kemampuan pekerja, jenis pekerjaan
• Training harus diberikan oleh personel yang memiliki kompetensi dibidangnya.
• Manajemen harus memberikan kesempatan pada pekerja untuk ikut serta dalam training.
• Manajeger dan supervisor harus terlibat dalam training.
• Membuat perencanaan analisis bahaya dan risiko ditempat kerja.
Analisis Bahaya Prosedur Kerja • Menetapkan personel yang bertanggung jawab melakukan analisis bahaya dan risiko
& Risiko Standar (SOP • Melibatkan pekerja dalam melakukan analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia.
• Melakukan identifikasi bahaya semua bahan kimia yang digunakan.
• Mengumpulkan informasi bahaya reaktifitas semua bahan kimia yang digunakan.
• Melakukan analisis bahaya reaktifitas semua bahan kimia yang digunakan.
• Melakukan analisis bahaya reaktifitas semua produk antara dan akhir.
Lingkungan
Kerja • Mengidentifikasi sumber-sumber bahaya reaktifitas kimia pada proses produksi, laboratorium dan
penyimpanan.
• Memberikan rekomendasi pengendalian bahaya reaktifitas kimia.
• Melakukan analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia secara berkesinambungan

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


170

Hubungan Faktor-Faktor Pernyebab BRK Usulan Pengendalian

• Pembuatan prosedur kerja standar harus dibuat oleh personel yang memiliki kemampuan dan
pengalaman yang memadai (kompeten).
• Pembuatan prosedur kerja standar harus melibatkan pekerja yang terlibat langsung dengan proses kerja
tersebut.
Prosedur Kerja Faktor Kesalahan • Prosedur kerja standar harus jelas dan mudah dipahami oleh pekerja yang akan menggunakannya.
Standar (SOP Pekerja
• Prosedur kerja standar dibuat berdasarkan rekomendasi hasil analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia.
• Prosedur kerja standar yang harus dibuat adalah sebagai berikut:
o Prosedur Training
o Prosedur Ijin Kerja
o Prosedur Analisis Bahaya dan Manajemen Risiko
Kesalahan
o Prosedur Penaganan Bahan Kimia Berbahaya
Kesalahan
pencampuran Parameter o Prosedur Penanganan Tumpahan Bahan Kimia
Proces o Prosedur Pengembangan Produk Baru
o Prosedur Perubahan Komposisi atau Modifikasi Produk
o Prosedur Perubahan Proses Produksi
Ketidak- o Prosedur Keadaan Darurat
sepmpurnaan Kontaminasi o Prosedur Ijin Kerja Bagi Kontraktor
pencampuran o Prosedur Penerimaan Bahan Baku (Kelengkapan dokumen)
o Prosedur Pengecekan Kualitas Bahan Baku (QC Incoming raw materail)
o Prosedur Permintaan dan Pengiriman Bahan Baku ke Produksi (BOM, Pelabelan)
o Prosedur Proses Produksi (WI Proses)
o Prosedur Sampling dan Pengecekan Kualitas Produk Antara dan Akhir
o Prosedur Penyimpanan Bahan Baku (Penempatan dan Pelabelan)
o Prosedur dan Standar Kebersihan Tangki/Vessel
o Prosedur Penyimpanan dan Transfer Produk Antara dan Akhir
o Prosedur Pelabelan Tangki Proses dan Produk Antara
o Prosedur dan Jadual Perawatan / Kalibrasi Alat dan Mesin

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


171

Hubungan Faktor-Faktor Pernyebab BRK Usulan Pengendalian

• Membuat perencanaan program kemananan dan kenyamanan lingkungan kerja.


• Melibatkan pekerja dalam pembuatan program lingkungan kerja.
• Mengalokasikan dana dan sumberdaya untuk program lingkungan kerja.
• Program lingkungan kerja dibuat berdasarkan rekomendasi hasil analisis bahaya dan risiko reaktifitas
Prosedur Kerja Lingkungan kimia.
Standar (SOP Kerja
• Membuat prosedur dan standar kerja untuk:
o Perawatan dan kalibrasi alat
o Kebersihan alat-alat proses produksi
o Standar kebersihan alat-alat proses produksi
o Kebersihan area kerja
Kesalahan
o Penyimpanan bahan-bahan kimia
Penyimpanan o Pembuatan standar rambu K3
o Pembuatan label bahan kimia
• Program lingkungan kerja harus meliputi:
o Perawatan rutin secara berkala sarana produksi serta peralatan mencakup verifikasi alat-alat
pengaman.
Kontaminasi o Kalibrasi alat-alat ukur secara berkala sesuai standar.
o Kebersihan dan kerapian lingkungan kerja.
o Penataan alur proses produksi yang efektif dan efesien untuk mengurangi potensi kesalahan
pencampuran, kontaminasi dan kesalahan penyimpanan
o Sistem kontrol terhadap bahan baku yang lama dan baru harus diterapkan secara baik untuk
menghindari bahan baku kadaluarsa.
o Penempatan rambu-rambu K3 dan marking line untuk meningkat kewaspadaan pekerja.
o Sistem pengendalian bahaya dengan engineering control.
o Sistem perlindungan dengan menggunakan alat pelindung diri yang sesuai.
• Setiap perubahan pada sarana dan peralatan produksi harus disetujui oleh manajer atau supervisor yang
bertanggung jawab.

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


172

Dari respesifikasi model struktural penyebab BRK II diketahui bahwa hanya


ada dua variabel laten yang berpengaruh langsung terhadap pemicu terjadinya BRK
yaitu variabel kesalahan pekerja dan keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja.
Variabel keesalahan pekerja mempengaruhi terjadinya kesalahan pencampuran dan
kesalahan proses. Variabel lingkungan kerja berpengaruh terhadap kesalahan
penyimpanan. Sementara terjadinya kontaminasi dan ketidak sempurnaan
pencampuran dipengaruhi oleh kesalahan pencampuran dan lingkungan kerja. Maka
fokus pengendalian BRK pada industri kimia hilir adalah pada pengurangan kesalahan
yang disebabkan oleh faktor pekerja dan peningkatan keamanan dan kenyamanan
lingkungan kerja.
Respesifikasi model struktural penyebab BRK II menunjukkan bahwa faktor
kesalahan pekerja dipengaruhi oleh variabel laten lain baik langsung maupun tidak
langsung, hal sama juga terjadi pada faktor lingkungan kerja. Variabel laten yang
langsung mempengaruhi faktor kesalahan pekerja adalah kompetensi pekerja dan
prosedur kerja standar (SOP). Sementara kompetensi pekerja dipengaruhi oleh
training dan SOP dipengaruhi oleh analisis risiko. Variabel laten yang langsung
mempengaruhi lingkungan kerja adalah analisis risiko dan SOP. Analisis risiko dan
training dipengaruhi secara langsung oleh komitmen K3. Berdasarkan hubungan-
hubungan antara variabel laten pada respesifikasi model struktural penyebab BRK II,
dan hasil kajian kualitatif pengendalian pada tabel 5.31 maka peneliti mengusulkan
pengendalian potensi BRK pada industri kimia hilir seperti pada Gambar 5.14. Sistem
pengendalian BRK secara utuh yang diusulkan dari hasil penelitian ini dan diyakini
dapat menurunkan terjadinya kecelakaan BRK pada industri kimia di Indonesia dapat
dilihat sebagai berikut:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
173

1. Kebijakan dan Komitmen Pengendalian BRK


1.1. Komitmen Manajemen
1.2. Komitmen Pekerja

2. Analisis Bahaya dan Risiko BRK


2.1. Perencanaan Analisis Bahaya dan Risiko BRK
2.2. Pelaksanaan Analisis Bahaya dan Risiko BRK

3. Pelatihan BRK
3.1. Perencanaan Program Pelatihan BRK
3.2. Pelaksanaan Program Pelatihan BRK

6. Tinjauan Ulang Untuk Peningkatan


4. Prosedur Kerja Standar BRK 6.1. Perencanaan Program Tinjauan Ulang Untuk
4.1. Perencanaan Pembuatan Prosedur Kerja Standar BRK Peningkatan
4.2. Pelaksanaan Pembuatan Prosedur Kerja Standar BRK 6.2. Pelaksanaan Program Tinjauan Ulang Untuk
Peningkatan

5. Keamanan dan Kenyamanan Lingkungan Kerja


5.1. Perencanaan Program Keamanan dan Kenyamanan
Lingkungan Kerja
5.2. Pelaksanaan Program Keamanan dan Kenyamanan
Lingkungan Kerja

Gambar 5.14. Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


174

SISTEM PENGENDALIAN BAHAYA REAKTIFITAS KIMIA PADA


INDUSTRI KIMIA HILIR

1. KOMITMEN DAN KEBIJAKAN


1.1. Komitmen Manajemen
Manajemen perusahaan harus menunjukkan komitmen terhadap pengendalian
bahaya reaktifitas kimia dengan menyediakan sumber daya yang memadai
untuk melaksanakan analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia dan
pelaksanaan pelatihan bagi pekerja tentang bahaya reaktifitas kimia.
Manajemen perusahaan harus mewujudkan komitmen pengendalian bahaya
reaktifitas kimia dalam bentuk:
a. Mengkomunikasikan kebijakan pengendalian bahaya reaktifitas
kimia perusahaan kepada seluruh pekerja dan pihak-pihak terkait.
b. Menetapkan personel yang bertanggung jawab dalam program
pengendalian bahaya reaktifitas kimia ditempat kerja.
c. Menyediakan anggaran, tenaga kerja berkualitas dan sarana-sarana
lain yang diperlukan dalam pengendalian bahaya reaktifitas kimia.
d. Melaksanakan analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia ditempat
kerja.
e. Melaksanakan tindak lanjut hasil rekomendasi hasil analisis bahaya
dan risiko reaktifitas kimia ditempat kerja.
f. Melaksanakan pelatihan bahaya reaktifitas kimia kepada seluruh
pekerja yang menangani bahan kimia ditempat kerja, dan
melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari pelatihan bahaya
reaktifitas kimia yang dilakukan.
1.2. Komitmen Pekerja
Pekerja harus menunjukkan komitmen terhadap pengendalian bahaya
reaktifitas kimia ditempat kerja dengan ikut berpartisipasi aktif dalam
melakukan analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia dan pelaksanaan
pelatihan tentang bahaya reaktifitas kimia. Komitmen pekerja terhadap
pengendalian bahaya reaktifitas kimia harus diwujudkan dalam bentuk:
a. Berpartisipasi aktif dalam melakukan analisis bahaya dan risiko
reaktifitas kimia ditempat kerja.
b. Melaksanakan semua hasil rekomendasi analisis bahaya dan risiko
reaktifitas kimia ditempat kerja.
c. Berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pelatihan bahaya reaktifitas
kimia.
d. Melaksanakan prosedur kerja standar secara baik.

Komitmen Manajemen ini dapat dituangkan dalam bentuk kebijakan tertulis


dan ditanda tangani oleh manajemen perusahaan.

2. ANALISIS BAHAYA DAN RISIKO REAKTIFITAS KIMIA


2.1. Perencanaan Analsis Bahaya dan Risiko Reaktifitas Kimia
Perusahaan harus membuat perencanaan analisis bahaya dan risiko reaktifitas
kimia yang efektif guna menetapkan keberhasilan analisis bahaya dan risiko
reaktifitas kimia ditempat kerja dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur.
Perencanaan analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia meliputi:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
175

a. Menetapkan tujuan dan sasaran analisis bahaya dan risiko reaktifitas


kimia.
b. Menetapkan personel yang kompeten untuk melaksanakan analisis bahaya
dan risiko reaktifitas kimia.
c. Menetapkan sarana dan jangka waktu pelaksanaan analisis bahaya dan
risiko reaktifitas kimia.
d. Menetapkan ruang lingkup pelaksanaan analisis bahaya dan risiko
reaktifitas kimia.
2.2. Pelaksananan Analisis Bahaya dan Risiko Reaktifitas Kimia.
Analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia merupakan hal yang paling penting
dalam pengendalian bahaya reaktifitas kimia. Pelaksanaan analisis bahaya dan
risiko reaktifitas kimia harus meliputi hal-hal berikut ini guna mencapai
pengendalian yang optimal terhadap bahaya reaktifitas kimia:
a. Analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia harus dilakukan oleh personel
yang sudah mendapatkan pelatihan analisis bahaya dan risiko reaktifitas
kimia.
b. Melibatkan pekerja dalam melakukan analisis bahaya dan risiko reaktifitas
kimia.
c. Melakukan identifikasi bahaya semua bahan kimia yang digunakan.
d. Mengumpulkan informasi bahaya reaktifitas semua bahan kimia yang
digunakan.
e. Melakukan analisis bahaya reaktifitas semua bahan kimia yang digunakan.
f. Melakukan analisis bahaya reaktifitas semua produk antara dan akhir.
g. Mengidentifikasi sumber-sumber bahaya reaktifitas kimia pada proses
produksi, laboratorium dan penyimpanan.
h. Memberikan rekomendasi pengendalian bahaya reaktifitas kimia.
i. Melakukan analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia secara berkala
untuk menjamin agar tetap relevan dan efektif.

3. PELATIHAN BAHAYA REAKTIFITAS KIMIA


3.1. Perencanaan Pelatihan Bahaya Reaktifitas Kimia
Perusahaan harus membuat perencanaan pelatihan bahaya reaktifitas kimia yang
efektif guna menetapkan keberhasilan pelatihan bahaya reaktifitas kimia
ditempat kerja dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan
pelatihan bahaya reaktifitas kimia meliputi:
a. Menetapkan tujuan dan sasaran pelatihan bahaya reaktifitas kimia.
b. Menetapkan personel yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
pelatihan bahaya reaktifitas kimia.
c. Menetapkan sarana dan jangka waktu pelaksanaan pelatihan dan pelatihan
penyegaran bahaya reaktifitas kimia.
d. Menetapkan ruang lingkup materi pelatihan bahaya reaktifitas kimia sesuai
dengan rekomendasi hasil analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia.
e. Membuat materi pelatihan sesuai dengan rekomendasi hasil analisis
bahaya dan risiko reaktifitas kimia.
3.2. Pelaksananan Pelatihan Bahaya Reaktifitas Kimia.
Pelatihan bahaya reaktifitas kimia merupakan hal yang sangat penting dalam
upaya mengendalikan bahaya reaktifitas kimia ditempat kerja. Pelaksanaan
pelatihan bahaya reaktifitas kimia harus meliputi hal-hal berikut ini guna
mencapai pengendalian yang optimal terhadap bahaya reaktifitas kimia:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
176

a. Pelatihan harus diberikan oleh personel yang berkompeten untuk


memberikan pelatihan bahaya reaktifitas kimia.
b. Pelatihan bahaya reaktifitas kimia harus disesuaikan dengan jabatan, area
tanggung jawab, tingkat kemampuan dan keahlian pekerja.
c. Pelatihan bahaya reaktifitas kimia harus diberikan kepada semua pekerja
produksi, laboratorium, enjinering dan gudang termasuk pekerja baru dan
pindahan agar mereka dapat melaksanakan pekerjaannya secara aman dari
bahaya reaktifitas kimia.
d. Materi pelatihan yang harus diberikan adalah sebagai berikut:
i. Lembar Data Keselamatan Bahan dan Label
ii. Bahaya Bahan Kimia dan Penangananya
iii. Bahaya Reaktifitas Kimia dan Penangananya
iv. Penilaian dan Pengendalian Risiko Bahaya Reaktifitas
Kimia
v. Prosedur Kerja dengan Bahan Kimia Reaktif
vi. Penyimpanan dan Penanganan Bahan Kimia Reaktif
vii. Penanganan Kebocoran dan Tumpahan Bahan Kimia
Reaktif
viii. Alat Pelindung Diri Bekerja dengan Bahan Kimia Reaktif
ix. Rencana dan Prosedur Tanggap Darurat Bahaya Reaktifitas
Kimia
e. Evaluasi harus dilakukan pada setiap sesi pelatihan untuk menjamin
peningkatan secara berkelanjutan.
f. Perusahaan harus mendokumentasikan dan menyimpan catatan setiap
pelatihan.
g. Program dan materi pelatihan harus ditinjau ulang secara teratur untuk
menjamin agar tetap relevan dan efektif.

4. PROSEDUR KERJA STANDAR


4.1. Perencanaan Pembuatan Prosedur Kerja Standar
Perusahaan harus membuat perencanaan pembuatan prosedur kerja standar bahaya
reaktifitas kimia yang efektif guna menetapkan keberhasilan pelaksanaan prosedur
kerja standar bahaya reaktifitas kimia ditempat kerja dengan sasaran yang jelas
dan dapat diukur. Perencanaan pembuatan prosedur kerja standar bahaya
reaktifitas kimia meliputi:
a. Menetapkan tujuan dan sasaran pembuatan prosedur kerja standar bahaya
reaktifitas kimia.
b. Menetapkan personel yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
pembuatan prosedur kerja standar bahaya reaktifitas kimia.
c. Menetapkan sarana dan jangka waktu pelaksanaan pembuatan prosedur
kerja standar bahaya reaktifitas kimia.
d. Menetapkan ruang lingkup prosedur kerja standar bahaya reaktifitas kimia
sesuai dengan rekomendasi hasil analisis bahaya dan risiko reaktifitas
kimia.
4.2. Pelaksanaan Pembuatan Prosedur Kerja Standar
Pembuatan prosedur kerja standar adalah untuk memastikan bahwa proses
pekerjaan dilakukan secara konsisten. Pelaksanaan pembuatan prosedur kerja
standar bahaya reaktifitas kimia harus meliputi hal-hal berikut ini guna mencapai
pengendalian yang optimal terhadap bahaya reaktifitas kimia:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
177

a. Pembuatan prosedur kerja standar harus dilakukan oleh personel yang


memiliki kemampuan dan pengalaman yang memadai (kompeten).
b. Pembuatan prosedur kerja standar sebaiknya melibatkan pekerja yang
terlibat langsung dengan proses kerja tersebut.
c. Prosedur kerja standar harus dibuat sederhana, jelas dan mudah dipahami
oleh pekerja yang akan menggunakannya.
d. Prosedur kerja standar harus disetujui oleh manajer atau supervisor yang
bertanggung jawab.
e. Prosedur kerja standar dibuat berdasarkan rekomendasi hasil analisis
bahaya dan risiko reaktifitas kimia.
f. Prosedur kerja standar yang harus dibuat adalah sebagai berikut:
i. Prosedur Training
ii. Prosedur Ijin Kerja
iii. Prosedur Analisis Bahaya dan Manajemen Risiko
iv. Prosedur Penaganan Bahan Kimia Berbahaya
v. Prosedur Penanganan Tumpahan Bahan Kimia
vi. Prosedur Pengembangan Produk Baru
vii. Prosedur Perubahan Komposisi atau Modifikasi Produk
viii. Prosedur Perubahan Proses Produksi
ix. Prosedur Keadaan Darurat
x. Prosedur Ijin Kerja Bagi Kontraktor
xi. Prosedur Penerimaan Bahan Baku (Kelengkapan dokumen)
xii. Prosedur Pengecekan Kualitas Bahan Baku (QC Incoming raw
materail)
xiii. Prosedur Permintaan dan Pengiriman Bahan Baku ke Produksi
(BOM, Pelabelan)
xiv. Prosedur Proses Produksi (WI Proses)
xv. Prosedur Sampling dan Pengecekan Kualitas Produk Antara dan
Akhir
xvi. Prosedur Penyimpanan Bahan Baku (Penempatan dan Pelabelan)
xvii. Prosedur dan Standar Kebersihan Tangki/Vessel
xviii. Prosedur Penyimpanan dan Transfer Produk Antara dan Akhir
xix. Prosedur Pelabelan Tangki Proses dan Produk Antara
xx. Prosedur dan Jadual Perawatan / Kalibrasi Alat dan Mesin
g. Prosedur kerja standar harus ditinjau ulang secara teratur untuk menjamin
agar tetap relevan dan efektif.

5. KEAMANAN DAN KENYAMANAN LINGKUNGAN KERJA


5.1. Perencanaan Program Keamanan dan Kenyamanan Lingkungan Kerja
Perusahaan harus membuat perencanaan program perbaikkan peningkatan
keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja yang efektif guna menetapkan
keberhasilan pelaksanaan program peningkatan keamanan dan kenyamanan
lingkungan kerja dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan
program perbaikkan dan peningkatan keamanan dan kenyamanan lingkungan
kerja meliputi:
a. Menetapkan tujuan dan sasaran program perbaikkan dan peningkatan
keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
178

b. Menetapkan personel yang bertanggung jawab untuk melaksanakan


program perbaikkan dan peningkatan keamanan dan kenyamanan
lingkungan kerja.
c. Menetapkan sarana dan jangka waktu pelaksanaan program perbaikkan
dan peningkatan keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja.
d. Melibatkan pekerja dalam perencanaan program perbaikkan dan
peningkatan keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja.
e. Menetapkan ruang lingkup program perbaikkan dan peningkatan
keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja sesuai dengan rekomendasi
hasil analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia.
5.2.Pelaksanaan Program Keamanan dan Kenyamanan Lingkungan Kerja
Keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja harus dipelihara dan ditingkatkan
untuk menghindari terjadinya bahaya reaktifitas kimia ditempat kerja.
Pelaksanaan program perbaikkan dan peningkatan kemananan dan kenyamanan
lingkungan kerja harus meliputi hal-hal berikut ini guna mencapai pengendalian
yang optimal terhadap bahaya reaktifitas kimia:
a. Program perbaikkan dan peningkatan keamanan dan kenyamanan
lingkungan kerja dibuat berdasarkan rekomendasi hasil analisis bahaya dan
risiko reaktifitas kimia.
b. Pelaksanaan perbaikkan dan peningkatan keamanan dan kenyamanan
lingkungan kerja harus dilakukan oleh personel yang kompeten.
c. Perbaikkan dan peningkatan keamananan dan kenyamanan lingkungan
kerja harus meliputi:
i. Perawatan rutin secara berkala sarana produksi serta peralatan
mencakup verifikasi alat-alat pengaman.
ii. Kalibrasi alat-alat ukur secara berkala sesuai standar.
iii. Kebersihan dan kerapian lingkungan kerja.
iv. Penataan alur proses produksi yang efektif dan efesien untuk
mengurangi potensi kesalahan pencampuran, kontaminasi dan
kesalahan penyimpanan
v. Sistem kontrol terhadap bahan baku yang lama dan baru harus
diterapkan secara baik untuk menghindari bahan baku kadaluarsa.
vi. Penempatan rambu-rambu K3 dan marking line untuk meningkat
kewaspadaan pekerja.
vii. Sistem pengendalian bahaya dengan engineering control.
viii. Sistem perlindungan dengan menggunakan alat pelindung diri yang
sesuai.
d. Setiap perubahan pada sarana dan peralatan produksi harus disetujui oleh
manajer atau supervisor yang bertanggung jawab.
e. Program perbaikkan dan peningkatan lingkungan kerja harus dilakukan
secara terus menerus untuk memastikan lingkungan kerja selalu dalam
keadaan aman dan nyaman.

6. TINJAUAN ULANG UNTUK PENINGKATAN


6.1. Perencanaan Tinjauan Ulang Untuk Peningkatan
Perusahaan harus membuat perencanaan tinjauan ulang untuk peningkatan yang
efektif guna menetapkan keberhasilan pelaksanaan tinjauan ulang untuk
peningkatan dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan tinjauan
ulang untuk peningkatan meliputi:

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
179

a. Menetapkan tujuan dan sasaran tinjauan ulang untuk peningkatan.


b. Menetapkan personel yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
tinjauan ulang untuk peningkatan.
c. Menetapkan sarana dan jangka waktu pelaksanaan tinjauan ulang untuk
peningkatan.
d. Melibatkan pekerja dalam perencanaan tinjauan ulang untuk peningkatan.
e. Menetapkan ruang lingkup tinjauan ulang untuk peningkatan.
6.2.Pelaksanaan Tinjauan Ulang Untuk Peningkatan
Tinjauan ulang untuk perbaikkan dilakukan untuk memeriksa kesesuaian kegiatan
perencanaan dan untuk menentukan apakah kegiatan tersebut efektif. Tinjauan
ulang untuk perbaikkan harus meliputi hal-hal berikut ini guna mencapai
pengendalian yang optimal terhadap bahaya reaktifitas kimia:
a. Tinjauan ulang untuk peningkatan harus dilakukan oleh personel yang
kompeten dan sudah mendapatkan pelatihan tinjauan ulang.
b. Laporan tinjauan ulang untuk peningkatan harus didistribusikan kepada
manajemen dan petugas lain yang berkepentingan.
c. Melibatkan pekerja dalam kegiatan tinjauan ulang untuk peningkatan.
d. Memastikan bahwa rekomendasi hasil tinjauan ulang telah dilaksanakan.
e. Tinjauan ulang untuk peningkatan harus meliputi:
i. Tinjauan ulang komitmen bahaya reaktifitas kimia.
ii. Tinjauan ulang analisis bahaya dan risiko reaktifitas kimia.
iii. Tinjauan ulang pelatihan bahaya reaktifitas kimia
iv. Tinjauan ulang prosedur kerja standar bahaya reaktifitas kimia
v. Tinjauan ulang keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja.
f. Tinjauan ulang untuk peningkatan harus dilakukan minimal dua kali dalam
satu tahun untuk menjamin sistem pengendalian bahaya reaktifitas kimia tetap
relevan dan efektif.

Sistem pengendalian BRK ini dapat diterapkan secara mandiri atau


diintegrasikan dengan sistem manajemen baku yang sudah ada. Penerapan sistem
manajemen secara terintegrasi akan menghasilkan pengendalian yang lebih optimal.
Sistem pengendalian yang diusulkan ini dapat diintegrasikan dengan sistem
manajemen standar ISO 9001, ISO 14000, OHSAS 18001 dan SMK3 Permenaker.
Gambar 5.15 memperlihat hubungan integrasi yang dapat dilakukan dari sistem
pengendalian BRK yang dikembangkan dengan masing-masing sistem manajemen
standar tersebut.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
180

MBRK 2. Program 3. Analisis Bahaya 4. Prosedur dan 5. Keamanan & MBRK


1. Komitmen BRK Training BRK dan Risiko BRK Standar Kerja Kenyamanan
BRK Penanganan BRK Lingkungan Kerja

MBRK 1. Pembangunan 2. Strategi 3. Peninjauan 5. Pembelian 6. Keamanan 8. Pelaporan 9. Pengelolaan 12. Pengembangan MBRK
dan pemeliharaan Pendokumentas Ulang Disain dan Bekerja dan Perbaikan Material dan Keterampilan dan
Komitmen ian Kontrak Berdasarkan Perpindahannya Kemampuan
SMK3
4.2. Kebijakan 4.2.Kebijakan K3
Lingkungan
1. Komitmen BRK 1. Komitmen BRK
4.3.1. Aspek 4.3.1. Identifikasi
Lingkungan
SMK3 Bahaya, Kajian
Risiko dan
2. Program Permena- Pengontrolan 2. Program
Training BRK 4.3.3. Tujuan,
ker Training BRK
Sasaran dan 4.3.3. Tujuan dan
Program Program
3. Analisis Bahaya 3. Analisis Bahaya
dan Risiko BRK 4.4.2. Kompetensi, ISO OHSAS 4.4.2. Pelatihan, dan Risiko BRK
BRK Training dan Sistem Kepedulian dan BRK
Kepedulian 14000: Pengendalian 18001: Komunikasi.
4. Prosedur dan 2004 BRK 2007 4. Prosedur dan
Standar Kerja 4.4.6. Kontrol 4.4.6. Kontrol Standar Kerja
Penanganan BRK Operasional Operasional
Penanganan BRK
4.4.7. Perencanaan
Keadaan Darurat
ISO 4.4.7. Keadaan
Darurat
5. Keamanan & 5. Keamanan &
Kenyamanan 9001: Kenyamanan
Lingkungan Kerja 2008 Lingkungan Kerja
4.5.1. Pengawasan 4.5.1. Pengukuran
dan Pengukuran dan Monitor
Kinerja

5.1. Komitmen 6.2. Sumber 6.3. 6.4. 7.3. 7.4. Pembelian 7.5. Provisi 7.6. Kontrol 8.2.
Manajemen Daya Manusia Infrastruktur Lingkungan Perancangan & Pelayanan dan Alat Ukur dan Pengukuran
Kerja Pegembangan Produksi Monitor dan Monitor
MBRK MBRK

2. Program 3. Analisis Bahaya 4. Prosedur dan 5. Keamanan &


1. Komitmen BRK Training BRK dan Risiko BRK Standar Kerja Kenyamanan
BRK Penanganan BRK Lingkungan Kerja
MBRK MBRK

Gambar 5.15. Sistem Pengendalian BRK Terintegrasi dengan ISO 9001, ISO 14000, OHSAS 18001 dan SMK3 Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


181

A. Integrasi sistem pengendalian BRK dengan sistem manajemen standar ISO


9001:2008:
1. Komitmen pengendalian BRK dapat diintegrasikan kedalam elemen 5.1
(Komitmen K3).
2. Program training BRK dapat diintegrasikan kedalam elemen 6.2 (Sumber
Daya Manusia).
3. Analisis bahaya dan risiko BRK dapat diintegrasikan kedalam elemen 7.3
(Perancangan & Pengembangan) dan elemen 7.5 (Provisi & Pelayanan
Produksi).
4. Prosedur dan standar kerja BRK dapat diintegrasikan kedalam beberapa
elemen, yaitu: 7.4 (Pembelian), 7.5 (Provisi & Pelayanan Produksi) dan
8.2 (Pengukuran dan Monitor).
5. Keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja dapat diintegrasikan
kedalam beberapa elemen, yaitu: 6.3 (Infrastruktur), 6.4 (Lingkungan
Kerja), 7.5 (Provisi & Pelayanan Produksi) dan 7.6 (Kontrol Alat Ukur dan
Monitor).

B. Integrasi sistem pengendalian BRK dengan sistem manajemen standar ISO


14000:2004:
1. Komitmen pengendalian BRK dapat diintegrasikan kedalam elemen 4.2
(Kebijakan Lingkungan) dan elemen 4.3.3. ( Tujuan, Sasaran dan
Program).
2. Program training BRK dapat diintegrasikan kedalam elemen 4.4.2
(Kompetensi, Training dan Kepedulian).
3. Analisis Bahaya dan Risiko BRK dapat diintegrasikan kedalam elemen
4.3.1 (Aspek Lingkungan), 4.4.6 (Kontrol Operasional), 4.4.7
(Perencanaan Keadaan Darurat).
4. Prosedur dan standar kerja pengendalian BRK dapat diintegrasikan
kedalam elemen 4.4.6 (Kontrol Operasional) dan 4.5.1 (Pengawasan dan
Pengukuran).
5. Keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja dapat diintegrasikan
kedalam elemen 4.4.6 (Kontrol Operasional) dan 4.5.1 (Pengawasan dan
Pengukuran).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
182

C. Iintegrasi sistem pengendalian BRK dengan sistem manajemen standar


OHSAS 18001:2007.
1. Komitmen manajemen terhadap pengendalian BRK dapat dimasukkan
kedalam elemen 4.2. (Kebijakan K3) dan 4.3.3. (Tujuan). Komitmen
pengendalian BRK juga dapat ditunjukkan dengan memasukkan program
pengendalian BRK kedalam program dan target K3. Komitmen juga dapat
ditunjukkan dengan mengalokasikan tanggung jawab pengendalian
kedalam struktur organisasi K3. Dan komunikasi komitmen BRK dapat
diintegrasikan dengan elemen komunikasi dan konsultasi.
2. Program dan training BRK dapat diitegrasikan kedalam 4.4.2. (Pelatihan,
Kepedulian dan Komunikasi).
3. Analisis bahaya dan risiko BRK dapat diintegrasikan dengan elemen 4.3.1.
(Identifikasi Bahaya, Kajian Risiko dan Pengontrolan), 4.4.6 (Kontrol
Operasional) dan 4.4.7 (Keadaan Darurat).
4. Prosedur dan standar kerja penanganan BRK dapat diitegrasikan kedalam
elemen 4.4.6 (Kontrol Operasional) dan 4.5.1. (Pengukuran dan Monitor
Kinerja).
5. Kemananan dan kenyamanan lingkungan kerja dapat diintegrasikan
kedalam elemen 4.4.6 (Kontrol Operasional) dan 4.5.1 (Pengukuran dan
Monitor Kinerja).

D. Integrasi sistem pengendalian BRK dengan sistem manajemen standar SMK3


Permenaker:
1. Komitmen pengendalian BRK dapat diintegrasikan dengan elemen 1
(Pembangunan dan Pemeliharaan Komitmen).
2. Program training BRK dapat diintegrasikan kedalam elemen 12
(Pengembangan Keterampilan dan Kemampuan).
3. Analisis bahaya dan risiko BRK dapat diintegrasikan kedalam elemen 3
(Peninjauan Ulang Disain dan Kontrak), 6 (Keamanan Bekerja
Berdasarkan SMK3) dan 8 (Pelaporan dan Perbaikan).
4. Prosedur dan standar kerja BRK dapat diintegrasikan kedalam beberapa
elemen, yaitu: 2 (Strategi Pendokumentasian), 5 (Pembelian) dan 9
(Pengelolaan Material dan Perpindahannya).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
183

5. Keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja dapat diintegrasikan kedalam


elemen 6 (Keamanan Bekerja Berdasarkan SMK3) dan 9 (Pengelolaan
Material dan Perpindahannya).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 6
PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian


Kajian tingkat bahaya dan risiko bahaya reaktifitas kimia dilakukan dengan
metoda kajian berlapis dan kemudian dilanjutkan dengan kajian penyebab terjadinya
bahaya reaktifitas kimia dengan metoda kajian simultan. Data yang diperoleh sangat
dipengaruhi oleh ketersediaan data dan informasi bahan kimia dan produk,
keterbukaan pihak perusahaan dalam memberikan informasi secara lengkap dan
pemahaman responden terhadap pertanyaan yang terdapat dalam kuosioner. Penelitian
ini mengkaji potensi terjadinya bahaya reaktifitas kimia pada industri kimia hilir di
Indonesia. Potensi bahaya reaktifitas kimia yang dimaksud adalah potensi terjadinya
reaksi antara dua atau lebih bahan kimia yang tidak terkendali sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya ledakan, kebakaran dan pelepasan gas beracun. Penelitian
dilakukan pada tiga perusahaan industri kimia hilir dengan empat jenis proses yaitu
proses pembuatan resin, proses pembuatan cat, proses pembuatan kosmetik dan
kosmetika dan proses pembuatan herbisida.
Ketiga perusahaan telah memberikan komitmen yang baik dalam memberikan
informasi yang dibutuhkan terutama jenis bahan baku dan komposisi bahan baku
dalam produk yang dihasilkan. Namun ketersediaan dan kelengkapan informasi
mengenai bahaya dan keselamatan bahan baku (Lembar Data Keselamatan Bahan)
sangatlah kurang. Ditemukan banyak sekali bahan baku yang tidak memiliki LDKB
atau MSDS, padahal hal ini sangat penting untuk mengetahui sifat bahaya dari suatu
bahan baku termasuk bahaya reaktifitas kimia. Ditemukan juga banyak sekali LDKB
yang tidak sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh departemen perindustrian
nomor 87/M-IND/PER/9/2009, dimana LDKB harus mengandung 16 aspek
informasi sesuai dengan Global Harmonize System (GHS) yang mulai diterapkan
pada tahun 2010. Kekurangan dan ketidak lengkapan LDKB/MSDS sebagian besar
terdapat pada bahan baku yang berasal dari pemasok lokal. Dari hasil kajian bahaya

184 Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
185

bahan baku, jumlah bahan baku yang tidak diketahui indeks bahayanya adalah 51%
dari total bahan baku yang masuk dalam kajian ini dari tiga perusahaan tersebut.
Ketidak lengkapan informasi yang diperoleh dari LDKB berdampak pada
pengolahan data dengan menggunakan perangkat lunak CRW 2 untuk kajian bahaya
reaktifitas kimia bahan baku tersebut. Hal ini dapat dilihat bahwa jumlah pasangan
bahan baku yang tidak dapat diketahui indeks bahaya reaktifitas kimianya berjumlah
97%. Hanya sebagian kecil pasangan bahan kimia yang dapat diketahui potensi
bahaya reaktifitasnya (3%). Sebagian besar disebabkan oleh ketidak tersedian nama
UPAC atau CAS number dari bahan baku yang digunakan sehingga tidak bisa diolah
dengan program perangkat lunak CRW 2. Sebagian besar bahan kimia yang tidak
diketahui indeks bahaya reaktifitasnya adalah berupa bahan kimia pewarna (pigmen),
bahan kimia pewangi (fragrance) dan bahan kimia aditif. Pada umumnya bahan kimia
ini bersifat stabil dan tidak bereaksi dengan bahan kimia lain. Dan bahan kimia ini
juga digunakan dalam jumlah yang sangat kecil (0,1% - 5,0%). Sementara bahan
kimia yang diketahui indeks bahaya reaktifitasnya adalah bahan kimia utama seperti
solvent, surfactant, binder dan ingridien aktif. Bahan kimia ini digunakan dalam
jumlah yang besar (30% - 95%).
Kuosioner dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan hasil kajian
kualitatif dengan metode KJ Analysis dan didukung dengan teori dari berbagai
literatur. Karena yang diukur adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
potensi bahaya reaktifitas kimia, maka pertanyaan yang diajukan dalam kuosioner
cukup banyak. Terdapat 64 pertanyaan tertutup ditambah 3 pertanyaan terbuka dan
beberapa pertanyaan demografi. Pertanyaan yang diajukan meliputi pengetahuan
bahaya bahan kimia, training, komitmen K3, kesalahan pekerja, keamanan dan
kenyamanan lingkungan kerja, analisis risiko, kesalahan pencampuran, kesalahan
parameter proses, kontaminasi, ketidak sempurnaan pencampuran dan kesalahan
penyimpanan. Rata-rata kuosioner ini membutuhkan waktu 30-45 menit untuk
menjawab semua pertanyaan. Hal ini tentu saja membutuhkan kesabaran dan
konsentrasi yang baik untuk menjawab pertanyaan secara tepat. Umumnya pekerja
mengisi kuosioner pada waktu istirahat atau setelah jam kerja, tidak menutup
kemungkinan bahwa pekerja dalam kondisi lelah atau stress, sehinga tidak dapat
berkonsentrasi dengan baik untuk memahami pertanyaan yang diberikan, akibatnya
jawaban yang diberikan tidak akurat.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
186

Dari jumlah kuosioner yang dikembalikan dapat disimpulkan bahwa sebagian


besar responden bersedia untuk memberikan jawabannya, jumlah kuosioner yang
dikembalikan adalah 94.5%. Namun dalam jawaban yang diberikan ditemukan
beberapa responden yang memberikan jawaban nol (0) atau tidak tahu, terutama pada
pertanyaan yang menyangkut dengan kesalahan pencampuran, kesalahan parameter
proses, kontaminasi, ketidak sempurnaan pencampuran dan kesalahan penyimpanan.
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan pekerja memberikan jawaban nol
untuk pertanyaan tersebut, yaitu:
1. Pekerja tidak memahami isi pertanyaan yang diberikan.
2. Pertanyaan yang diberikan tidak relefan dengan proses produksi yang
mereka miliki.
3. Pekerja kurang memahami proses produksi.
4. Pekerja tidak pernah mengalami kejadian yang ditanyakan.
5. Kejadian yang ditanyakan sangat jarang terjadi sehingga pekerja sudah
lupa.
6. Pekerja engan untuk memberikan jawaban yang sebenarnya sehingga
memilih untuk menjawab tidak tahu.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini sudah memenuhi standar secara
keseluruhan. Namun jika dilihat satu persatu dari pertanyaan yang diberikan masih
terdapat beberapa pertayaan yang memiliki error variance yang cukup tinggi, seperti
pertanyaan 1 - 4 (training K3 bahan kimia) memiliki error variance 1,85 – 3,25 dan
nilai faktor determinan R2 yang sangat kecil 0,01-0,04. Asfahl C.R (1990)
mengatakan bahwa training K3 merupakan program yang sangat penting dalam
menurunkan prilaku atau tindakan tidak aman dari pekerja sehingga dapat mengurangi
kecendrungan terjadinya kecelakaan. Apabila pekerja mengetahui dan memahami
dengan baik proses pekerjaan yang dilakukan, peralatan yang digunakan, bahan kimia
yang digunakan dan dampak atau risiko yang dapat terjadi jika ada kesalahan maka
pekerja akan melakukan pekerjaannya lebih baik dan hati-hati sesuai tingkat
pengetahuan mereka. Penelitian ini mengukur apakah training K3 yang diberikan
meliputi aspek-aspek keselamatan bahan kimia seperti MSDS/LDKB, penanganan
tumpahan bahan kimia, bahaya reaktifitas kimia, simbol bahan kimia dan sebagainya.
Karena aspek-aspek tersebut sangat penting, maka pertanyaan 1 - 4 tidak dikeluarkan
atau dihilangkan dalam penelitian ini.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
187

6.2. Bahaya Bahan Kimia Pada Industri Kimia Hilir


Bahaya bahan kimia yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahaya yang
disebabkan oleh sifat intrinksik dari bahan kimia tersebut, seperti mudah terbakar,
beracun, mudah meledak, reaktif dan korosif. Industri kimia hilir seperti industri cat,
kosmetik/kosmetika dan herbisida dimana penelitian ini dilakukan memiliki jenis
bahan kimia yang cukup banyak. Industri cat (PT XYZ) memiliki lebih dari 400 jenis
bahan kimia, industri kosmetik/kosmetika (PT PQR) memiliki jenis bahan kimia lebih
dari 200 jenis dan industri herbisida (PT CDF) memiliki jenis bahan kimia lebih dari
20 jenis. Meskipun demikian kuantitas dari bahan kimia yang digunakan atau
disimpan tidak begitu besar, hal ini dapat dilihat dari kapasitas produksi yang berkisar
antara 1 – 5 ton per batch. Dari data yang diperoleh dilapangan, kuantitas bahan kimia
yang digunakan atau disimpan berkisar antara 1 kg sampai dengan 20 ton. Jika
dibandingkan dengan industri kimia hulu dengan proses kontinu menyimpan bahan
kimia hingga ratusan ton, maka jumlah bahan kimia pada industri kimia hilir cukup
kecil. Besarnya jumlah bahan kimia yang digunakan dan disimpan akan berdampak
pada besarnya risiko jika terjadi kecelakaan seperti kebakaran, ledakan dan pelepasan
gas beracun. Makin besar kuantitas bahan kimia yang disimpan atau digunakan maka
makin besar risiko yang dapat terjadi. Maka salah satu metoda yang disarankan dalam
sistem Inherently Safer Chemical Process (Bollinger et.al, 1996) adalah mengurangi
jumlah bahan kimia yang disimpan atau digunakan sampai pada tingkat yang optimal.
Sebagai contoh ilustrasi adalah sebagai berikut: ” Jika waktu yang dibutuhkan untuk
mendatangkan bahan baku Toluen dari pemasok (lead time delivery) adalah 2 minggu
sejak purchase order (PO) dikirim, dan kebutuhan produksi untuk Toluen adalah 5
ton untuk satu minggu, maka maksimum Toluen yang disimpan untuk produksi
adalah 10-13 ton. Jadi jumlah Toluen yang disimpan digudang sesuai dengan
kebutuhan produksi dan maksimal 30% diatas kebutuhan produksi sebagai antisipasi
keterlambatan pengiriman dari pemasok”. Dengan mengurangi jumlah stok bahan
kimia di gudang penyimpanan, berarti kita sudah mengurangi risiko bahaya kimia
ditempat kerja.
Besarnya jumlah jenis bahan kimia yang terdapat pada industri kimia hilir
berdampak pada makin banyak jenis bahaya yang mungkin dapat terjadi meskipun
skala dampak risiko tersebut tidak begitu besar, namun dapat menjadi besar jika
terjadi efek domino. Teknologi keselamatan yang dibutuhkan untuk menangani bahan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
188

kimia dengan kuantitas kecil tentu saja tidak sama dengan teknologi kesalamatan
dengan kuantitas besar seperti pada industri kimia hulu. Pada umumnya industri kimia
hulu menerapkan teknologi keselamatan yang sangat tinggi (standar yang
maksimum), namun untuk industri kimia hilir dengan kuantitas bahan kimia yang
kecil tidak harus menerapkan teknologi keselamatan yang tinggi seperti industri kimia
hulu. Dari hasil kajian bahaya bahan kimia yang dilakukan, peniliti berpendapat
bahwa untuk mengelola bahan kimia dengan kuantitas kecil dan jenis yang banyak
dapat dilakukan dengan menerapkan sistem manajemen pengelolaan bahan kimia
yang baik dan teknologi keselamatan pada standar yang minimum. Sistem manajemen
pengelolaan bahan kimia yang dimaksud disini adalah sistem yang mengatur aliran
bahan kimia mulai dari pemasok, masuk kegudang penyimpanan, pengaturan
penyimpanan bahan kimia, pengiriman kebagian produksi sesuai dengan permintaan
(Bill of Material), penanganan sisa bahan kimia, pengaturan produk antara
(intermediate), dan pengiriman dan penyimpanan produk akhir. Setiap tahapan
tersebut harus diatur secara baik dan sistematis dalam suatu prosedur kerja standar
(SOP) dan sistem kontrol yang baik. Satu hal yang sangat penting adalah mengetahui
secara baik jenis bahaya bahan kimia dan cara penanganannya pada setiap tahapan
proses yang dilakukan.

6.3. Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir


Kajian bahaya reaktifitas kimia yang dilakukan pada penelitian ini didahului
dengan melakukan preliminary screening bahaya reaktifitas kimia dengan menjawab
12 pertanyaan. Dari hasil prilimanary screening dapat disimpulkan terdapat potensi
bahaya reaktifitas kimia pada ketiga industri kimia tempat penelitian dilakukan.
Untuk menjawab kedua belas pertanyaan diperlukan diskusi dan observasi lapangan,
ketepatan dan keakuratan jawaban sangat tergantung dari informasi yang diberikan
dan data yang diperoleh dilapangan. Ketiga industri memberikan jawaban dan
kesempatan secara terbuka kepada peneliti untuk mendapatkan informasi yang
dibutuhkan untuk menjawab kedua belas pertanyaan yang ada dalam checklist
prelimnary screening. Ceklist ini sangat efektif untuk mengetahui adanya potensi
bahaya reaktifitas pada suatu proses inidustri, namun belum dapat ditentukan jenis
dan tingkat bahaya reaktifitas kimia yang dapat terjadi sehingga diperlukan kajian
lebih jauh terhadap potensi tersebut.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
189

Kajian bahaya reaktifitas yang dilakukan meliputi kajian bahaya reaktifitas


bahan baku kimia dan kajian produk antara dan akhir. Kajian ini dilakukan dengan
menggunakan program perangkat lunak CRW 2 dari NOAA. Estimasi potensi bahaya
yang dihasilkan oleh perangkat lunak CRW 2 adalah pada kondisi standar (25 C dan 1
atm) dimana bahan kimia tersebut berada pada kondisi stabil, tentunya ini adalah
kondisi yang paling aman untuk tidak terjadinya reaksi kimia. Dalam proses produksi
dapat saja terjadi kenaikan temperatur dan tekanan yang dapat mempercepat
terjadinya reaksi kimia atau beberapa reaksi kimia dapat terjadi pada temperatur dan
tekanan tertentu. Kondisi seperti ini tidak dapat diestimasi oleh perangkat lunak CRW
2. Program CRW 2 juga hanya dapat melakukan estimasi dari dua campuran bahan
kimia, pada kenyataannya dilapangan beberapa bahan kimia dicampur sekaligus
dalam suatu proses, bisa saja satu atau lebih dari bahan kimia tersebut bisa menjadi
katalis, initiator atau inhibitor bagi bahan kimia lain dalam suatu campuran. Kondisi
seperti ini juga tidak dapat diestimasi oleh perangkat lunak CRW 2. Dengan demikian
potensi bahaya reaktifitas kimia yang dapat terjadi dari hasil kajian ini adalah potensi
bahaya yang paling minimal dapat terjadi. Secara garis besar dapat disimpulkan jenis
bahaya yang dapat terjadi adalah ledakan, kebakaran, pelepasan gas beracun dan
pembentukan bahan kimia korosif.
Berdasarkan hasil observasi dilapangan ditemukan fakta bahwa ada beberapa
produk yang berpotensi menimbulkan BRK dibuat dengan menggunakan tanki atau
vesel yang sama. Hal ini disebabkan karena jumlah jenis produk yang dibuat jauh
lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tanki atau vesel yang ada. Misalnya pada
PT PQR jumlah total produk pada saat penelitian ini adalah 247 sementara jumlah
tanki atau vesel produksi hanya ada 59 tanki/vesel. Ratio rata-rata antara produk dan
tanki adalah 4 : 1, artinya satu tanki digunakan untuk 4 jenis produk. PT XYZ
memiliki jumlah total produk pada saat penelitian ini adalah kira-kira 3000 produk
dan jumlah tanki yang tersedia adalah 450 tanki/vesel, maka ratio antara produk dan
tanki adalah 6.7 : 1, artinya 1 tanki rata-rata digunakan untuk 6-7 jenis produk. PT
CDF memiliki 2 jenis produk dan 1 reaktor untuk proses reaksi. Dari hasil
pengamatan ini peneliti dapat menyimpulkan bahwa potensi terjadinya kontaminasi
dan pencampuran bahan kimia yang tidak sesuai (kompatibel) sangatlah mungkin
terjadi, terutama pada saat transisi dari satu produk ke produk lain. Gambar 6.1 adalah
salah satu contoh layout area produksi PT PQR, dimana pada layout tersebut dapat

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
190

dilihat tata letak dan pembagian ruangan untuk setiap proses yang dibagi kedalam
beberapa line proses. Dalam layout tersebut terdapat 30 tanki pencampuran (mixer)
dengan kapasitas yang bervariasi mulai dari 50 liter sampai dengan 10,000 liter.

425 lt mixer 200 lt mixer 370 lt lawsol 200 lt mixer 1000 lt mixer 100 lt mixer 10.000 lt 2000 lt 2000 lt 2000 lt 2000 lt 400 lt mixer
425 lt mixer 50 lt melter 370 lt nawsol 50 lt melter 100 lt melter 100 lt mixer hopper with mixer mixer mixer mixer 400 lt mixer
500 lt nawsol 50 lt melter 300 lt wax E 50 lt melter 50 lt melter stirrer 400 lt mixer
200 lt melter 25 lt melter 400 lt mixer
250 lt melter

425 lt paste 200 lt paste lawsol 200 lt paste wax E 100 lt paste Wax E 2000 lt 2000 lt Liquid Liquid 400 lt color LSP
425 lt paste nawsol 100 lt paste black Black Base Base 400 lt color LSP
wax E LSP LSP 400 lt color LSP
400 lt color LSP

Line Line Line Line Line Line Line Line


T8 T7 T6 T5 T4 T3 T2 T1

Gambar 6.1. Layout Area Produksi PT PQR

Pada umumnya pengelompokkan area produksi (line produksi) didasarkan


pada kesamaan jenis produk dan teknologi pembuatannya misalnya line powder, line
pasta, line emulsi dan seterusnya. Jadi besar kemungkinan bahwa didalam satu line
produksi terdapat beberapa produk dimana bahan baku pembuatnya ada yang tidak
sesuai (kompatibel) satu sama lain yang dapat berpotensi menyebabkan BRK.

Tabel 6.1. Pasangan Produk yang Berpotensi Bereaksi Pada Tanki atau Line Produksi
yang Sama Pada PT PQR

Jumlah Jumlah Pasangan % Pasangan


Produk Yang Jumlah Pasangan Produk yang Berpotensi Produk
Kode Tangki Diproduksi Produk Berinteraksi (IB>/=0,5) IB>/=0,5
T1 3 3 0 0
T2 8 28 0 0
T3 3 3 0 0
T4 4 6 0 0
T5 12 66 1 2
T6 5 10 2 20
T7 22 231 12 5
T8 4 6 0 0
T9 12 66 12 18
T10 21 210 61 29
T11 25 300 37 12
T12 16 120 35 29
T13 28 378 152 40
T14 8 28 9 32
T15 3 3 3 100
T16 3 3 0 0
T17 3 3 1 33

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
191

Tabel 6.1 merupakan hasil kajian ketidaksesuaian produk pada setiap


kelompok produk yang diproduksi pada tangki atau line produksi yang sama pada PT
PQR. Dari tabel tersebut dapat dilihat beberapa tangki atau line produksi memiliki
potensi pasangan produk yang memiliki IB>/= 0,5, artinya terdapat pasangan produk
yang mungkin bereaksi satu sama lain jika tercampur. Sebagai contoh T6 memiliki
potensi 20% dari pasangan produk yang diproduksi pada tangki tersebut dapat
menimbulkan reaksi kimia atau BRK, dimana pada tangki T6 diproduksi 10 jenis
produk. Sementara T13 memiliki potensi 40% dari pasangan produk yang diproduksi
pada tanki tersebut dapat menimbulkan reaksi kimia atau BRK, dimana pada tanki
T13 tersebut diproduksi 28 jenis produk.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rasmussen (1989) pada
sejumlah industri ditemukan bahwa pemicu terjadinya kecelakaan BRK pada industri
kimia adalah kesalahan pencampuran, pengotor (kontaminasi), kesalahan parameter
atau kondisi proses dan ketidak sempurnaan pencampuran. Untuk mengidentifikasi
kemungkinan adanya keempat pemicu BRK tersebut, peneliti mengembangkan ceklist
pertanyaan seperti terlihat pada Gambar 4.2. Dari hasil skrining potensi pemicu
bahaya reaktifitas pada ketiga industri (Tabel 5.6) diperoleh bahwa hanya PT XYZ
Plant A saja yang tidak memiliki potensi kesalahan parameter/kondisi proses, hal ini
disebabkan pada PT XYZ Plant A tidak dilakukan proses reaksi kimia, semua proses
yang dilakukan hanya berupa proses pencampuran pada kondisi standar (suhu ruang
dan tekanan 1 atm). Faktor yang paling dominan dapat menyebabkan terjadinya BRK
terutama pada PT XYZ dan PT PQR yang memiliki jumlah produk sangat bervariasi
adalah terjadinya kesalahan pencampuran dan pengotor (kontaminasi). Tingginya
intensitas jalur proses produksi sangat berpotensi menyebabkan terjadinya kesalahan
transfer produk, tertukarnya bahan baku, tertukarnya produk antara dan terjadinya
pengotor atau kontaminasi akibat kurang bersihnya tangki pada saat transisi produk.

6.4. Penurunan IB dan IR Dengan Penerapan Sistem Manajemen Baku


Persamaan SIB yang diusulkan pada penelitiaan ini terbukti lebih dapat
menurunkan IB pada industri kimia hilir sampai pada level yang jauh lebih rendah
jika dibandingkan dengan persamaan SIB yang digunakan oleh Shah et al (2005).
Persamaan SIB yang diturunkan pada penelitian ini mengandung ketiga faktor utama
sistem pengendalian BRK yaitu faktor manajemen (FSMK), faktor pekerja (FP) dan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
192

faktor teknologi (FTK), sementara persamaan SIB yang digunakan oleh Shah et al
hanya mengandung satu faktor pengendalian BRK yaitu faktor teknologi (FTK).
Persamaan SIB Shah et al lebih tepat diterapkan pada industri kimia hulu yang
memiliki teknologi yang lebih moderen, dimana faktor teknologi lebih dominan
dibandingkan faktor pekerja, sebaliknya pada industri kimia hilir pada umumnya
menggunakan teknologi yang masih konvensional dan faktor pekerja lebih dominan
pada proses yang dilakukan.
Data IB dan IR BRK membuktikan bahwa potensi risiko BRK pada industri
kimia hilir di Indonesia adalah tinggi, namun potensi risiko tersebut dapat diturunkan
dengan menerapkan sistem manajemen baku seperti ISO 9001, ISO 14001, OHSAS
18001 dan SMK3 sampai pada level tertentu. Hal ini juga membuktikan bahwa sistem
manajemen baku tersebut juga sudah mengandung ketiga unsur pengendalian BRK
tersebut diatas.
PT CDF memiliki potensi risiko BRK sangat tinggi karena perusahaan ini
melakukan proses reaksi eksotermik dalam pembuatan produk herbisida. Potensi
risiko tersebut dapat diturunkan dari IR=2,0 menjadi SIR=0,062 (97%) dengan
menerapkan berbagai sistem manajemen baku seperti OHSAS 18001, ISO 9001, ISO
14000, PSM, BS 8800 dan SMK3. Disamping sistem manajemen yang baik,
perusahaan ini juga telah menggunakan tekonologi yang semi otomatis sehingga
memiliki sistem kontrol proses yang lebih baik. Sumber daya manusia yang dimiliki
juga relatif lebih baik.
PT XYZ memiliki IR=0,670 artinya PT XYZ memiliki potensi risiko BRK
cukup tinggi, namun masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan PT CDF karena
PT XYZ tidak melakukan reaksi kimia dalam pembuatan produknya. Semua proses
yang dilakukan oleh PT XYZ hanyalah merupakan proses pencampuran. Potensi BRK
dapat terjadi jika terjadi kesalahan pencampuran atau kontaminasi dari bahan-bahan
kimia yang dapat bereaksi. Nilai SIR masih cukup tinggi yaitu 0,313. Penerapan
sistem manjemen kualitas (ISO 9001) hanya dapat menurunkan 47% potensi risiko
BRK pada perusahaan ini. Diperlukan perbaikan pada sistem manajemen yang ada
misalnya dengan menerapkan SMK3 untuk memperbaiki sistem pengendalian bahaya
bahan kimia dan reaktifitas kimia. Atau dapat juga dilakukan dengan menerapkan
elemen-elemen yang dibutuhkan dalam mengendalikan BRK. Perbaikan terhadap

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
193

sistem teknologi keselamatan juga akan dapat menurunkan potensi risiko BRK
menjadi lebih rendah.
PT PQR memiliki potensi risiko BRK yang juga cukup tinggi bahkan lebih
tinggi dari PT XYZ (IR = 0,710) karena perusahaan ini disamping melakukan proses
pencampuran tanpa reaksi kimia, juga melakukan proses reaksi kimia yaitu reaksi
penyabunan yang bersifat eksotermik. Nilai IR dapat diturunkan secara signifikan dari
0,710 menjadi 0,067 (90%) dengan penerapan sistem manajemen kualitas ISO 9001,
Good Manufacturing Practice (GMP) dan Sistem Manajemen Keselamatan yang
mengacu pada induk perusahaan. PT PQR yang merupakan Multinational Company
memiliki sistem internal untuk program GMP dan keselamatan yang cukup baik.
Gambar 6.2 memperlihatkan kecendrungan penurunan indeks bahaya dan risiko
dengan adanya penerapan sistem manajemen kualitas, keselamatan dan lingkungan.

Kecendrungan Penurunan IB dan IR dengan Penerapan Sistem Manajemen


1.6
SIB BRK 1.46
1.4

1.2
Sangat Tinggi
1
Sisa Indeks

0.8
0.72
SIB BK
Tinggi
0.6
0.464
0.4 Sedang
0.313
SIR BRK 0.232
0.2 Rendah
0.067 0.062
0.032
0
PT XYZ PT PQR PT CDF
ISO 9001 ISO 9001+GMP+ ISO 9001+ISO 14001+
Corporate Safety OHSAS 18001+SMK3
Program PSM+ BS8800

Gambar 6.2. Kecenderungan Penurunan IB dan IR dengan Penerapan Sistem


Manajemen Kualitas, Keselamatan dan Lingkungan.

Hasil perhitungan SIB dan SIR pada ketiga perusahaan tersebut diatas sesuai
dengan hasil survei tingkat kesadaran pelaksanaan K3, hampir celaka dan kecelakaan
dengan bahan kimia melalui kuosioner. Tabel 6.2 memperlihatkan hasil perhitungan
perbedaan rata-rata tingkat kesadaran pelaksanaan K3, tingkat hampir celaka dengan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
194

bahan kimia dan tingkat kecelakaan bahan kimia pada tiga perusahaan tempat
penelitian. Uji univariate perbedaan rata-rata tingkat kesadaran pelaksanaan K3
menggunakan metoda one-way anova. Sementara perbedaan rata-rata tingkat hampir
celaka dan celaka menggunakan metoda Mann Whitney (non paramentrik) karena
data tidak berdistribusi normal dan tidak homogen.
Hasil uji hipotesis perbedaan rata-rata tingkat kesadaran pelaksanaan K3
berbeda secara signifikan pada ketiga perusahaan tersebut, dimana pv=0,042 <0,05
(Ho ditolak). Dari hasil uji perbedaan rata-rata lebih lanjut melalui uji Post Hoc;
Tukey HSD, Scheff, LSD dan Bonferroni diperoleh perbedaan yang signifikan dari
ketiga perusahaan tersebut dalam hal kesadaran pekerja dalam melaksanakan K3
hanya antara PT XYZ dengan PT CDF dan PT PQR, sementara antara PT CDF dan
PT PQR tidak berbeda secara signifikan. Hal ini juga dapat diartikan bahwa pekerja
pada PT CDF dan PT PQR memiliki kesadaran K3 yang lebih baik dibandingkan
dengan PT XYZ.

Tabel 6.2. Nilai Perbedaan Rata-Rata Pengukuran Tingkat Kesadaran K3, Hampir
Celaka dan Kecelakaan dengan Bahan Kimia.

Variabel Perusahaan __
Dependen X SD P-Value Ho
PT XYZ 0,717 0,187
Tingkat Kesadaran
PT CDF 0,812 0,191 0,042 Ditolak
Pelaksanaan K3
PT PQR 0,730 0,187
*Uji Anova, data berdistribusi normal dan homogen

Variabel Perusahaan __
Dependen X SD P-Value Ho
PT XYZ 0,520 1,146 XYZ-CDF 0,040 Ditolak
Tingkat Hampir
PT CDF 0,020 0,158 CDF-PQR 0,048 Ditolak
Celaka (Near Miss)
PT PQR 0,330 1,088 PQR-XYZ 0,046 Ditolak
PT XYZ 0,720 1,381 XYZ-CDF 0,030 Ditolak
Tingkat Kecelakaan
PT CDF 0,050 0,223 CDF-PQR 0,158 Diterima
dengan Bahan Kimia
PT PQR 0,300 1,107 PQR-XYZ 0,020 Ditolak
*Uji Mann Whitney, data berdistribusi tidak normal dan tidak homogen

Hasil uji hipotesis perbedaan rata-rata tingkat pelaksanaan tingkat hampir


celaka dan kecelakaan dengan bahan kimia diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan rata-rata tingkat hampir celaka diantara ketiga
perusahaan yaitu PT XYZ, PT CDF dan PT PQR (nilai pv<0,05; Ho
ditolak). Dari nilai rata-rata tingkat hampir celaka dapat dilihat bahwa

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
195

PT CDF memiliki nilai yang paling rendah dan PT XYZ memiliki nilai
yang paling tinggi.
2. Terdapat perbedaan rata-rata tingkat kecelakaan dengan bahan kimia
antara PT XYZ dengan PT CDF dan PT PQR (nilai pv<0,05; Ho
ditolak). Tidak terdapat perbedaan rata-rata tingkat kecelakaan dengan
bahan kimia antara PT CDF dengan PT PQR (nilai pv>0,05; Ho
diterima). Meskipun demikian PT CDF memiliki nilai rata-rata tingkat
kecelakaan yang lebih rendah dibandingkan dengan PT PQR, dan PT
XYZ memiliki nilai rata-rata tingkat kecelakaan paling tinggi.
Dari hasil uji hipotesis diatas dapat disimpulkan bahwa PT CDF relatif
memiliki tingkat kesadaran K3 lebih baik dibandingkan dengan PT PQR dan PT
XYZ. Secara teori hal ini dapat berpengaruh pada tingkat hampir celaka dan
kecelakaan dengan bahan kimia pada PT CDF yang lebih rendah dibandingkan
dengan kedua perusahaan lainnya. Sementara PT XYZ yang memiliki rata-rata tingkat
kesadaran K3 paling rendah dibandingkan kedua perusahaan lainnya juga memiliki
rata-rata tingkat hampir celaka dan kecelakaan dengan bahan kimia lebih tinggi
dibandingkan dua perusahaan lainnya. Tabel 6.3 merupakan ringkasan secara
keseluruhan penurunan SIB, SIR, tingkat kecelakaan dan hampir celaka dalam
kaitannya dengan penerapan sistem manajemen kualitas, keselamatan dan lingkungan
serta kesadaran pekerja dalam melaksanakan dan mengikuti aturan sistem K3.
Sistem manajemen kualitas ISO 9001 bertujuan untuk menjaga konsistensi
proses dan kualitas produk yang dihasilkan. Didalam sistem manajemen kualitas
diatur berbagai proses yang berkaitan dengan penerimaan bahan baku, pengembangan
produk baru, kontrol kualitas, kalibrasi alat ukur, peningkatan kompetensi pekerja dan
masih banyak lagi elemen-elemen yang bertujuan untuk memastikan bahwa kualitas
produk yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan. Semua
elemen-elemen tersebut sangat erat kaitannya dengan pengendalian bahaya reaktifitas
kimia. Penerapan ISO 9001 terbukti dapat menurukan risiko BRK sebesar 47%, masih
diperlukan beberapa elemen-elemen tambahan agar risiko BRK dapat diturunkan
samapi pada level yang rendah. Dengan mengintegrasikan sistem pengendalian BRK
yang diusulkan pada penelitian ini, misalnya memasukkan elemen identifikasi bahaya
dan risiko BRK, prosedur penanganan bahan kimia berbahaya, materi training BRK
dan seterusnya maka risiko BRK dapat diturunkan sampai pada level yang rendah.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
196

Sistem manajemen lingkungan ISO 14001 bertujuan untuk mengatur


pengelolaan lingkungan. Sertifikasi ISO 14001 mensyaratkan program-program yang
menurunkan pengunaan bahan-bahan kimia berbahaya dan limbah berbahaya (Kuhre
W.L., 1996). Elemen-elemen yang terdapat dalam ISO 14001 sangat erat kaitannya
dengan pengendalian BRK, seperti kontrol operasional dan pengembangan
kompetensi pekerja mengenai bahan berbahaya sangat mendukung pengendalian
BRK.
Sistem manajemen keselamatan baik OHSAS 18001, SMK3 maupun PSM dan
BS8800 adalah bertujuan untuk melindungi pekerja, aset perusahaan dan lingkungan
dari segala kemungkinan terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan. Secara
umumsistem manajemen keselamatan telah mengandung elemen-elemen
pengendalian BRK. Walaupun sistem manajemen keselamatan baku yang ada
termasuk PSM mengandung elemen-elemen pengendalian BRK, namun penerapan
sistem manajemen keselamatan baku ini saja tidak dapat menurunkan risiko BRK
secara keseluruhan, masih diperlukan elemen-elemen tambahan untuk menurunkan
risiko BRK (Johnson et al., 2003). Pengabungan sistem manajemen keselamatan
dengan sistem manajemen lain seperti ISO 9001 dan ISO 14001 pada penelitian ini
terbukti dapat menurunkan risiko BRK sampai pada level yang rendah. Namun yang
menjadi kendala adalah banyaknya perusahaan-perusahaan industri kimia hilir di
Indonesia tidak mampu menerapkan sistem manajemen baku tersebut secara
keseluruhan, maka diperlukan sistem pengendalian BRK yang dapat diterapkan secara
terpisah atau terintegrasi dengan salah satu atau lebih sistem manajemen baku yang
ada. Bahasan selanjutnya akan dijelaskan sistem pengendalian BRK yang diusulkan
dapat diterapkan pada industri kimia hilir di Indonesia.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
197

Tabel 6.3. Ringkasan SIB, SIR, Tingkat Kecelakaan dan Hampir Celakan dengan Penerapan Sistem Manajemen Kualitas, Keselamatan dan
Lingkungan pada PT XYZ, PT PQR dan PT CDF
Perusahaan IB BRK Sisa Indeks Sisa Indeks Indeks Sisa Indeks % Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Sistem
Bahaya Bahaya Risiko Risiko (SIR) Compliance Tingkat Tingkat Tingkat Manajemen yang
(SIB) BRK (SIB) Bahan BRK BRK Survei BRK Hampir Kecelakaan Kesadaran sudah diterapkan
Kimia Celaka dlm dlm 5 Thn Pelaksanaan K3
1 Thn Terakhir
Terakhir
PT XYZ 1 (sangat 1,460 0,720 0,67 0,313 56% 0,515 0,710 0,717 ISO 9001
tinggi) dan (Sangat (Tinggi) (Tinggi) (Sedang)
0,75 Tinggi)
(tinggi)
PT PQR 1 (sangat 0,464 0,232 0,71 0,067 75% 0,330 0,300 0,730 ISO 9001, GMP,
tinggi) dan (Sedang) (Rendah) (Tinggi) (Rendah) Corporate Safety
0,75 Program
(tinggi)
PT CDF 1 (sangat 0,062 0,031 2,00 0,062 99% 0,020 0,050 0,812 ISO 9001, ISO
tinggi) dan (Rendah) (Rendah) (Sangat (Rendah) 14001, OHSAS
0,75 Tinggi) 18001, SMK3,
(tinggi) PSM, BS8800

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


198

6.5. Hubungan Antara Variabel Laten Model Struktural Penyebab Bahaya


Reaktifitas Kimia
Hipotesis yang dikembangkan dalam membuat hubungan antara variabel laten
eksogen dan endogen adalah berdasarkan kajian kualitatif dengan metoda KJ analisis
dan didukung dengan teori yang kuat. Hipotesis awal dikembangkan berdasarkan
model kualitatif penyebab BRK, kemudian dilakukan respesifikasi model dengan
menambah beberapa hipotesis baru untuk mendapatkan model penyebab BRK yang
lebih baik. Penjelasan hubungan antar variabel laten model penyebab BRK berikut
didasarkan pada hipotesis model kualitatif dan respesfikasi model penyebab BRK II.
Model struktural penyebab BRK II dianggap model yang paling tepat untuk indiustri
kimia hilir berdasarkan hasil penelitian ini.

6.5.1. Hubungan Komitmen K3 dengan Training dan Analisis Bahaya dan


Risiko
Komitmen K3 dihipotesakan dapat meningkatkan kelengkapan, kemudahan
dan keefektifan prosedur kerja standar (SOP) dan meningkatkan keamanan dan
kenyamanan lingkungan kerja ternyata tidak terbukti, ternyata komitmen K3 tidak
secara langsung berpengaruh kepada kedua variabel laten tersebut.
Hasil temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa komitmen K3 dapat
meningkatkan kompetensi pekerja melalui pelaksanaan program training, hubungan
antara komitmen K3 dengan pelaksanaan program training untuk meningkatkan
kompetensi pekerja sangat kuat (koefesien jalur terstandarnisasi= 0,82), dan hubungan
antara program training dengan peningkatan kompetensi pekerja terbukti juga sangat
kuat (koefesien jalur terstandarnisasi= 0,89). Komitmen K3 juga terbukti memiliki
hubungan yang kuat dengan perencanaan dan pelaksanaan analisis risiko ditempat
kerja (koefesien jalur terstandarnisasi= 0,58).
Dari nilai R2 terlihat bahwa persamaan regresi program training dan komitmen
hanya dapat menjelaskan 67% dari varian yang ada, sementara sisanya dijelaskan oleh
varian lain yang tidak masuk dalam penelitian ini. Sementara untuk persamaan regresi
antara analsis risiko dan komitmen variasi yang dapat dijelaskannya hanya 34% dan
sisanya dijelaskan oleh varian lain yang tidak diteliti.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
199

6.5.2. Hubungan Analisis Risiko dengan Prosedur Kerja Standar dan


Lingkungan Kerja
Analisis risiko ditempat kerja dihipotesakan dapat meningkatkan kemananan
dan kenyamanan lingkungan kerja, meningkatkan kelengkapan, kemudahan dan
keefektifan prosedur kerja standar (SOP) dan menurunkan tingkat kesalahan pekerja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis risiko ditempat kerja hanya dapat
meningkatkan kemananan dan kenyamanan lingkungan kerja dan meningkatkan
kelengkapan, kemudahan dan keefektifan prosedur kerja standar (SOP). Analisis
risiko ditempat kerja ternyata tidak terbukti dapat menurunkan tingkat kesalahan
pekerja secara langsung.
Analsis risiko sangat berpengaruh terhadap peningkatan keamanan dan
kenyamanan lingkungan kerja, hubungan antara kedua variabel laten ini sangat kuat
dimana koefesien jalur terstandarnisasinya adalah 0,73. Dengan dilakukannya analisis
risiko ditempat kerja maka akan diketahui potensi bahaya dan risiko yang ada
ditempat kerja, kemudian dapat dilakukan program pengurangan risiko atau
manajemen risiko ditempat kerja yang pada akhirnya akan menurunkan risiko kerja
dan meningkatkan kemananan dan kenyamanan berkerja.
Penelitian ini juga membuktikan bahwa analisis risiko diperlukan untuk
meningkatkan kelengkapan, keefektifan dan kemudahan pemahaman prosedur kerja
standar. Hubungan kedua variabel ini sangat kuat, dimana koefesien jalur
terstandarinisasinya adalah 0,73. Ini menunjukkan bahwa pembuatan prosedur kerja
dan keselamatan akan sangat lebih efektif apabila didasari oleh hasil analisis risiko
yang dilakukan.
Persamaan regresi SOP menunjukan variasi yang ada dapat menjelaskan 54%,
artinya masih terdapat variabel lain selain analsis risiko yang dapat mempengaruhi
SOP. Dan persamaan regresi keamanan/kenyamanan lingkungan kerja melibatkan
variabel SOP dan analisis risiko dimana varian ini dapat menjelaskan 79% dari varian
yang ada, hal ini menunjukkan masih ada variabel yang lain yang dapat
mempengaruhi keamanan/kenyamanan lingkungan kerja.

6.5.3. Hubungan Training dengan Kompetensi Pekerja


Training keselamatan bahan kimia berbahaya dihipotesakan mengurangi
kesalahan pekerja, ternyata hubungan ini tidak signifikan. Setelah dilakukan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
200

repsefikasi model dengan menambah jalur hipotesis dimana training dihipotesakan


meningkatkan pengetahuan pekerja, dan pengetahuan pekerja dapat mengurangi
kesalahan yang diakibatkan oleh faktor pekerja, ternyata hipotesis ini dapat diterima.
Training keselamatan bahan kimia berbahaya memiliki hubungan yang sangat kuat
dengan tingkat pengetahuan bahan kimia berbahaya para pekerja (koefesien jalur
terstandarnisasi = 0,89). Pengetahuan bahan kimia berbahaya para pekerja terbukti
dapat menurunkan tingkat kesalahan kerja oleh pekerja, hubungan antara kedua
variabel laten ini cukup kuat (koefesien jalur terstandarnisasi=0,37).
Dari persamaan regresi pengetahuan pekerja variasi yang dapat dijelaskan oleh
persamaan ini adalah 78%, hal ini menunjukan bahwa masih ada variabel lain yang
menpengaruhi pengetahuan pekerja selain training. Persamaan pada faktor pekerja
melibatkan pengetahuan pekerja dan SOP dimana variasi ini dapat menjelaskan 90%
dari varian yang ada, artinya masih terdapat varian lain yang mempengaruhi
kesalahan faktor pekerja selain pengetahuan dan SOP.

6.5.4. Hubungan Prosedur Kerja Standar dengan Faktor Pekerja dan


Lingkungan Kerja
Prosedur kerja standar (SOP) dihipotesakan dapat mengurangi terjadinya
kesalahan pencampuran, kesalahan parameter proses, kontaminasi, ketidak
sempurnaan pencampuran dan kesalahan penyimpanan ternyata tidak terbukti.
Asumsi bahwa dengan memperbaiki atau menambah SOP dapat mengurangi secara
langsung semua faktor penyebab langsung bahaya reaktifitas tersebut ternyata
memiliki hubungan yang tidak signifikan. Perbaikan dan penambahan SOP terbukti
hanya mempengaruhi variabel laten kesalahan pekerja dan kemananan/kenyamanan
lingkungan kerja. SOP memiliki hubungan yang kuat dengan variabel kesalahan
pekerja (koefesien jalur terstandarnisasi = 0,61), artinya kesalahan pekerja dapat
diturunkan dengan memperbaiki atau menambah prosedur kerja standar (SOP).
Semua sistem manajemen standar mensyaratkan dibuatnya prosedur kerja standar
(SOP) secara tertulis sebagai acuan bagi pekerja dalam melakukan perkerjaannya
serta untuk menjaga konsistensi proses kerja, kinerja dan kualitas. SOP juga memiliki
hubungan yang cukup kuat dengan variabel keamanan dan kenyamanan lingkungan
kerja (koefesien jalur terstandarnisasi = 0,20), meskipun hubungan ini tidak begitu
kuat akan tetapi cukup signifikan. Rekomendasi dari hasil analisis risiko sebaiknya

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
201

dituangkan dalam bentuk prosedur kerja standar sehingga dapat dilaksanakan secara
berkesinambungan dalam menjaga keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja.
Kegiatan perawatan alat, kebersihan alat dan lingkungan kerja, alur proses produksi,
penyimpanan dan penempatan bahan baku atau produk dan seterusnya sebaiknya
dituangkan dalam prosedur kerja standar untuk menjaga konsistensi proses kerja dan
kenyamanan lingkungan kerja.

6.5.5. Hubungan Lingkungan Kerja dengan Kesalahan Penyimpanan


Keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja dihipotesakan dapat mengurangi
terjadinya kontaminasi produk, ketidaksempurnaan pencampuran dan kesalahan
penyimpanan. Hubungan yang terbukti signifikan pada penelitian ini hanyalah antara
kemananan dan kenyamanan lingkungan kerja dengan kesalahan penyimpanan, dan
hubungan ini juga tidak begitu kuat (koefesien jalur terstandarnisasi = 0,13). Alur
proses bahan baku, ketersediaan tempat penyimpanan yang cukup, pembagian area
penyimpanan yang jelas dan kondisi ruang penyimpanan sesuai standar akan dapat
mempengaruhi proses penyimpanan bahan baku atau produk.
Persamaan regresi kesalahan penyimpanan yang melibatkan variabel
lingkungan kerja hanya dapat menjelaskan 12% dari varian yang ada. Hal ini
menunjukkan bahwa masih banyak variabel lain yang tidak masuk dalam penelitian
ini yang berpengaruh terhadap kesalahan penyimpanan.

6.5.6. Hubungan Faktor Kesalahan Pekerja dengan Kesalahan Pencampuran


dan Parameter Proses
Faktor kesalahan pekerja terbukti hanya berpengaruh pada variabel kesalahan
pencampuran dan parameter proses. Hasil penelitian membuktikan bahwa
pengurangan kesalahan pekerja akan dapat menurunkan terjadinya kesalahan
pencampuran dan parameter proses, hubungan antara variabel ini cukup kuat dimana
koefesien jalur terstandarnisasi untuk kesalahan pencampuran adalah 0,26 dan
kesalahan parameter proses adalah 0,21. Hal ini dapat dipahami bahwa pada industri
kimia hilir tempat penelitian dilakukan, kedua proses tersebut dilakukan secara
manual oleh pekerja.
Persamaan regresi kesalahan pencampuran yang melibat variabel faktor
pekerja hanya dapat menjelaskan 24% dari varian yang ada, sementara persamaan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
202

regresi kesalahan parameter proses yang juga melibatkan faktor pekerja hanya dapat
menjelaskan 23% dari varian yang ada. Hal ini menunjukkan masih banyak variabel
lain yang tidak masuk dalam penelitian ini yang berpengaruh terhadap kesalahan
pencampuran dan parameter proses selain variabel faktor pekerja.

6.5.7. Hubungan Kesalahan Pencampuran dengan Ketidaksempurnaan


Pencampuran dan Kontaminasi
Pada respesifikasi model penyebab BRK dihipotesakan bahwa kesalahan
pencampuran dapat memiliki hubungan yang kuat dengan ketidaksempurnaan
pencampuran dan terjadinya kontaminasi bahan baku atau produk. Hasil penelitian
membuktikan bahwa dengan mengurangi terjadinya kesalahan dalam pencampuran
akan dapat mengurangi ketidaksempurnaan pencampuran dan terjadinya kontaminasi.
Hubungan antara variabel kesalahan pencampuran dengan ketidaksempurnaan
pencampuran sangat kuat dimana koefesien jalur terstandarnisasinya adalah 0,91,
sementara hubungan antara variabel kesalahan pencampuran dengan terjadinya
kontaminasi tidak begitu kuat (koefesien jalur terstandarnisasi = 0,20).
Persamaan regresi kontaminasi yang melibatkan variabel kesalahan
pencampuran dan kesalahan penyimpanan hanya dapat menjelaskan 71% dari varian
yang ada. Sementara persamaan regresi ketidak sempurnaan pencampuran yang
melibatkan variabel kesalahan pencampuran hanya dapat menjelaskan 60% dari
varian yang ada. Artinya masih ada variabel lain yang dapat mempengaruhi
kontaminasi dan ketidak sempurnaan pencampuran selain dari variabel kesalahan
pencampuran.

6.5.8. Hubungan Kesalahan Penyimpanan dengan Kontaminasi


Pada respesifikasi model penyebab BRK juga dihipotesakan bahwa kesalahan
penyimpanan memiliki hubungan yang kuat dengan terjadinya kontaminasi produk
atau bahan baku. Hasil penelitian membuktikan bahwa pengurangan terjadinya
kesalahan penyimpanan dapat mengurangi terjadinya kontaminasi produk atau bahan
baku, hubungan kedua variabel ini sangat kuat (koefesien jalur terstandarnisasi =
0,75). Penyimpanan bahan baku tanpa label, bahan baku kadaluarsa, kemasan bocor
atau terbuka dapat meningkatkan potensi terjadinya kontaminasi bahan baku lain atau
produk.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
203

6.6. Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia Pada Industri Kimia Hilir
Sistem pengendalian BRK yang diusulkan pada penelitian ini sangat cocok
dengan kondisi industri kimia hilir di Indonesia. Sistem pengendalian ini dapat
diterapkan secara mandiri maupun diintegrasikan dengan sistem manajemen baku ISO
9001, ISO 14001, OHSAS 18001 dan SMK3 Permenaker. Meskipun beberapa elemen
dari sistem manajemen baku yang ada sudah mengandung aspek-aspek pengendalian
BRK, namun belum sepenuhnya dapat menurunkan potensi bahaya dan risiko BRK
pada industri kimia hilir. Penerapan secara terintegrasi sistem pengendalian BRK ini
akan menghasilkan pengendalian yang lebih maksimal dibandingkan penerapan
secara mandiri.

Tabel 6.4. Keunggulan Sistem Manajemen BRK Industri Kimia Hilir Dibandingkan
Sistem Manajemen BRK CCPS 2003
No. Sistem Pengendalian BRK Industri Sistem Pengendalian BRK CCPS
Kimia Hilir 2003
1 Disusun berdasarkan kondisi ril industri Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kimia hilir di Indonesia, sehingga lebih sistem ini sulit diterapkan pada industri
mudah dan cocok untuk diterapkan. kimia berskala kecil-menengah.
2 Lebih komprehensif karena Lebih fokus pada sistem manajemen dan
memasukkan ketiga faktor utama lingkungan kerja.
keselamatan kerja yaitu; fakor
manajemen, faktor lingkungan kerja dan
faktor pekerja.
3 Hanya memiliki 6 elemen sistem Memiliki 10 elemen sistem pengendalian,
pengendalian, sehingga penerapan-nya sehingga penerapannya lebih sulit dan
lebih mudah dan cepat. lama.
4 Pengendalian lebih difokuskan pada Pengendalian lebih difokuskan pada
faktor pekerja sebagai penyebab BRK. sumber bahaya BRK.
5 Tidak diharuskan melakukan analisa Diharuskan melakukan uji laboratorium
laboratorium untuk menguji reaktifitas untuk mengetahui reaktifitas bahan kimia.
bahan kimia. Dimana sebagian besar
industri kimia hilir di Indonesia tidak
mampu melakukannya.
6 Lebih mudah diintegrasikan kedalam Lebih mudah diintegrasikan kedalam
sistem manajemen baku kualitas sistem manajemen keselamatan PSM
lingkungan dan keselamatan. (OSHA dan CCPS) dan Saveso II.
7 Mengutamakan keterlibatan pekerja Hanya dilakukan oleh team yang dibentuk
dalam setiap elemen. oleh manajemen.
8 Sangat tepat untuk diterapkan pada Kurang tepat untuk diterapkan pada
industri yang menggunakan bahan kimia industri yang menggunakan bahan kimia
dalam jumlah jenis yang besar. dalam jumlah jenis yang besar

Sistem penegendalian BRK yang diusulkan ini memiliki beberapa keunggulan


dibandingkan dengan sistem manajemen BRK yang dikeluarkan oleh CCPS pada

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
204

2003 jika diterapkan untuk industri kimia hilir di Indonesia. Perbandingan kedua
sistem ini dapat dilihat pada tabel 6.4.
Namun demikian sistem pengendalian BRK industri kimia hilir ini juga
memiliki kelemahan jika dibandingkan dengan sistem manajemen pengendalian BRK
CCPS 2003. Tabel 6.5 menunjukkan beberapa kelemahan sistem pengendalian BRK
industri kimia hilir.

Tabel 6.5. Kelemahan Sistem Manajemen BRK Industri Kimia Hilir Dibandingkan
Sistem Manajemen BRK CCPS 2003

No. Sistem Pengendalian BRK Industri Sistem Pengendalian BRK CCPS


Kimia Hilir 2003
1 Analisis BRK dilakukan dengan Analisis BRK dilakukan dengan
program perangkat lunak CRW 2, pengujian laboratorium sehingga lebih
sehingga hasilnya hanya merupakan akurat.
pendekatan pada kondisi ideal,
sehingga menjadi kurang akurat jika
dibandingkan dengan hasil uji
laboratorium.
2 Kurang dapat (terlalu sederhana) Lebih cocok untuk industri hulu yang
untuk diimplementasikan pada memiliki teknologi moderen.
industri kimia hulu dengan sistem
teknologi yang lebih moderen.
3 Kurang tepat untuk diterapkan pada Dapat diterapkan pada industri dengan
industri yang menggunakan sistem sistem batch dan continous proses.
continous proses.

6.6.1. Komitmen Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia


SMK3 Permenaker dan CCPS secara jelas mensyaratkan komitmen
manajemen dalam sistem manajemen K3. OHSAS 18001 mensyaratkan kebijakan K3
secara tertulis yang mencerminkan komitmen manajemen dalam menerapkan K3.
Dalam SMK3 Permenaker disebutkan bahwa pengurus harus menunjukkan
kepemimpinan dan komitmen terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dengan
menyediakan sumber daya yang memadai. Pengusaha dan pengurus perusahaan harus
menunjukkan komitmen terhadap K3 yang diwujudkan dalam:
a. Menempatkan organisasi K3 pada posisi yang dapat menentukan
keputusan perusahaan.
b. Menyediakan anggaran, tenaga kerja yang berkualitas dan sarana-
sarana lain yang diperlukan dibidang K3.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
205

c. Menetapkan personel yang mempunyai tanggung jawab, wewenang


dan kewajiban yang jelas dalam penanganan K3.
d. Perencanaan K3 terkoordinasi.
e. Melakukan penilaian kinerja dan tindak lanjut pelaksanaan K3.
Komitmen dan kebijakan tersebut pada butir a sampai dengan e diadakan
peninjauan ulang secara teratur.
Setiap tingkat pimpinan dalam perusahaan harus menunjukkan komitmen
terhadap K3 sehingga penerapan SMK3 berhasil diterapkan dan
dikembangkan.
Setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada ditempat kerja harus
berperan serta dalam menjaga dan mengendalikan pelaksanaan K3.
Dari SMK3 Permenaker tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen K3
merupakan hal yang paling mendasar dalam penerapan sistem manajemen K3 pada
industri. Komitmen K3 tidak hanya dari pihak manajemen perusahaan akan tetapi
juga diperlukan komitmen dari seluruh pekerja dalam penerapan K3 ditempat kerja.
Manajemen juga harus ikut terlibat dalam pelaksanaan program K3 sebagai
role model bagi para pekerja. Keterlibatan manajemen dalam berbagai program K3
akan memberikan citra baik kepada pekerja bahwa K3 sangatlah penting bagi
perusahaan dan karyawan. Komitmen manajemen puncak juga harus dituangkan
dalam bentuk kebijakan K3 secara tertulis dan dikomunikasikan kepada seluruh
pekerja.
Dari hasil survei yang dilakukan pada PT XYZ, PT PQR dan PT CDF dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesadaran pelaksanaan K3 oleh
pekerja ditiga perusahaan tersebut (Gambar 5.3). PT CDF memiliki tingkat kesadaran
pelaksanaan K3 yang jauh lebih baik dibandingkan dengan 2 perusahaan lainnya.
Baiknya tingkat kesadaran pelaksanaan K3 oleh pekerja pada PT CDF seiring dengan
tingginya komitmen manajemen perusahaan dalam menerapkan K3 ditempat kerja,
hal ini dapat dilihat dari sistem manajemen K3 yang sudah diterapkan dengan baik.
PT CDF sudah menerapkan sistem manajemen OHSAS 18001, SMK3, PSM, ISO
14001 dan ISO 9001.
Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa untuk pengendalian BRK
ditempat kerja pada industri kimia hilir, diperlukan komitmen yang kuat dari
manajemen untuk melaksanakan training atau pelatihan bagi pekerja dan analisis

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
206

bahaya dan risiko ditempat kerja. Hal ini sejalan dengan persyaratan SMK3
Permenaker tersebut diatas, untuk melaksanakan training dan analisis risiko
diperlukan sumber daya dan anggaran yang memadai, dan ini memerlukan komitmen
yang kuat dari manajemen.
PT XYZ dan PT PQR belum melakukan analisis bahaya dan risiko sesuai
persyaratan sistem manajemen K3, karena kedua perusahaan ini belum menerapkan
SMK3. Sebenarnya untuk melakukan analisis bahaya dan risiko ditempat kerja tidak
harus menunggu diterapkannya SMK3. Analisis risiko dan bahaya dapat dilakukan
asalkan perusahaan memiliki komitmen untuk melakukannya. Dari hasil survey juga
ditemukan bahwa PT XYZ dan PT PQR juga tidak memiliki program training yang
terencana, sementara PT CDF memiliki program training yang lebih baik. Alasan
utama minimnya program training adalah tidak adanya waktu bagi pekerja untuk
mengikuti training karena kapasitas produksi dan pekerjaan yang tinggi. Dari hasil
kajian ini peniliti menyimpulkan bahwa minimnya program dan pelaksanaan training
bagi pekerja adalah karena rendahnya komitmen manajemen dalam penerapan K3.
Penerapan sistem manajemen BRK memerlukan komitmen K3 dari
manajemen perusahaan. Komitmen manajemen pengendalian BRK tidak harus secara
spesifik dinyatakan dalam kebijakan tertulis akan tetapi dapat merupakan bagian dari
kebijakan K3 secara umum. Komitmen manajemen dalam mengendalikan BRK harus
diwujudkan dalam:
a. Menyediakan anggaran dan sumber daya yang memadai untuk
melaksanakan program training K3 dan analisis bahaya dan risiko
ditempat kerja secara berkelanjutan.
b. Berkomitmen untuk melaksanakan rekomendasi hasil analisis bahaya
dan risiko.
c. Ikut terlibat aktif dalam program training, analisis bahaya dan risiko.
Pekerja harus menunjukkan komitmen dalam pengendalian BRK yang diwujudkan
dalam:
a. Mengikuti semua program training yang dilakukan oleh perusahaan.
b. Ikut berpartisipasi aktif dalam melakukan analisis risiko dan bahaya
ditempat kerja secara berkelanjutan.
c. Melaksanakan prosedur kerja standar secara baik.
d. Menjaga kemananan dan kenyamanan lingkungan kerja.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
207

6.6.2. Program dan Pelaksanaan Pelatihan Bahaya Reaktifitas Kimia


Dalam sistem manajemen K3 (SMK3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor
PER.05/MEN/1996 pada lampiran I poin 3.1.5 tentang pelatihan (training) disebutkan
bahwa penerapan dan pengembangan sistem manajemen K3 yang efektif ditentukan
oleh kompetensi kerja dan pelatihan dari setiap tenaga kerja di perusahaan. Pelatihan
merupakan salah satu alat penting dalam menjamin kompetensi kerja yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan keselamatan dan kesehatan kerja. OHSAS 18001 section 4.4.2
mensyaratkan bahwa setiap pekerja harus memiliki kompetensi untuk melakukan
tugas-tugas yang berdampak pada K3. Kompetensi harus ditetapkan dalam hal
pendidikan yang sesuai, pelatihan dan / atau pengalaman.
Training K3 merupakan program yang sangat penting dalam mencegah
terjadinya kecelakaan kerja, dari berbagai studi yang dilakukan terhadap prilaku tidak
aman dari pekerja diperoleh beberapa alasan (National Safety Council, 1985):
1. Pekerja tidak memperoleh intruksi kerja secara spesifik dan detil.
2. Kesalahpahaman terhadap intruksi kerja.
3. Tidak mengetahui instruksi kerja.
4. Menganggap instruksi kerja tersebut tidak penting atau tidak perlu.
5. Mengabaikan instruksi kerja.
Untuk mencegah hal tersebut diatas terjadi maka sangat diperlukan training bagi
pekerja untuk memahami setiap instruksi kerja secara baik dan akibat yang dapat
terjadi jika tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan instruksi kerja.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa training dapat meningkatkan
kompetensi dan pengetahuan pekerja. Kemudian pengetahuan dan kompetensi pekerja
tersebut dapat mengurangi kesalahan pencampuran dan parameter proses yang
disebabkan oleh faktor pekerja, dimana kesalahan tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya BRK. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dingsdag
(2008) yang menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan budaya dan prilaku K3 untuk
mengurangi kecelakaan kerja maka diperlukan training K3 untuk meningkatkan
kompetensi dan pemahaman K3 pada seluruh line management dan pekerja.
Setiap pekerja baru harus mendapatkan training yang cukup sebelum
melaksanakan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan. Training yang diberikan
harus sesuai dengan kebutuhan dari area kerja masing-masing pekerja. Untuk
memastikan bahwa pekerja baru sudah menguasai tugas dan tanggung jawab yang

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
208

diberikan maka diperlukan tolok ukur sebagai umpan balik dari training yang
diberikan. Training tidak hanya diberikan pada pekerja baru, akan tetapi pekerja
lamapun harus diberikan training penyegaran. Pihak manajemen perusahaan harus
membuat program training tahunan yang meliputi topik-topik baru maupun topik-
topik lama sebagai penyegaran (re-fresh training).
Training yang diberikan harus meliputi pengetahuan (knowledge) dan keahlian
(skill) untuk meningkat kompetensi pokok (core competency) dan kompetensi K3
(safety competency). Kompetensi pokok adalah kompetensi minimum yang harus
dimiliki pekerja untuk menjalankan tugas pokok yang dibebankan, misalnya operator
produksi harus memahami dan mampu menjalankan mesin produksi, laboran harus
mampu melakukan analisa dasar bahan kimia dan seterusnya. Namun kompetensi
pokok saja tidak cukup untuk melakukan pekerjaan secara aman, maka diperlukan
kompetensi K3. Pada umumnya training kompetensi pokok tidak dilengkapi dengan
kompetensi K3 atau tidak mengandung aspek-sapek K3 (Dingsdag, 2008). Untuk
perusahaan yang sudah menerapkan sistem terintegrasi QHSE seperti PT CDF,
training K3 sudah menjadi bagian dari training kompetensi pokok, meskipun masih
diperlukan training khusus mengenai K3 untuk pendalaman pada aspek-aspek
tertentu.
Secara garis besar training K3 yang diperlukan adalah sebagai berikut
(National Safety Council, 1985):
1. Training untuk karyawan baru, misalnya: peraturan umum perusahaan,
profil perusahaan, peraturan K3 secara umum, kebijakan K3, program
pencegahan kecelakaan, intruksi kerja yang dibutuhkan, bahaya ditempat
kerja, alat pelindung diri, dst.
2. Job Safety Analysis (JSA); pemahaman terhadap JSA dan proses JSA.
3. Job instruction training (JIT); training yang secara spesifik menjelaskan
prosedur kerja standar di area kerja masing-masing, misalnya; prosedur
kalibrasi, prosedur pembuatan produk, prosedur pembersihan tangki, dst.
4. Other method instruction; training untuk trainer, bagaimana
mempersiapkan dan melakukan training secara baik.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
209

Tabel 6.6. Topik Training Peningkatan Kompetensi Pekerja Untuk Mengurangi


Risiko BRK.

No Topik Training Kompetensi Bagian Jabatan Keterangan


1 Prosedur kerja standar Pokok Semua Operator Kebutuhan disesuaikan
dan instruksi kerja s/d dengan departemen
Manager masing-masing (SOP/WI)
2 Sistem Manajemen K3 Pokok/K3 Semua Spv s/d Pemahaman (SMK3,
manager OHSAS 18001)
3 Respon keadaan Pokok/K3 Semua Semua Pemahaman dan praktek
darurat (SOP)
4 Bahan kimia berbahaya Pokok/K3 Prod., Operator Kebutuhan disesuaikan
dan Penaganannya Gudang, s/d dengan tingkat jabatan
Lab, Manager dan bersifat umum
Enjinering (NFPA, NIOSH)
5 MSDS dan Label K3 Prod., Operator Kebutuhan disesuaikan
Bahan Kimia (GHS) Gudang, s/d dengan tingkat jabatan
Lab, Manager dan bersifat umum
Enjinering (GHS,NFPA, UN)
6 Tata Cara Pokok/K3 Gudang Operator Operator – Umum
Penyimpanan Bahan s/d Spv& Mgr – Detil
Kimia di Gudang Manager (CCPS, NFPA)
7 Penanganan Tumpahan K3 Prod, Operator Operator – praktek
Bahan Kimia Gudang s/d Spv&Mgr - +
dan Lab Manager pengetahuan (NFPA,
CCPS)
8 Bahaya Reaktifitas K3 Prod., Operator Operator - Bersifat umum
Kimia Gudang, s/d (awareness)
Lab, Manager Spv & Mgr – Lebih detil
Enjinering /pemahaman (CCPS)
9 Penanganan BRK K3 Prod., Operator Operator - Bersifat umum
Gudang, s/d (awareness)
Lab, Manager Spv & Mgr – Lebih detil
Enjinering /pemahaman (CCPS)
10 Managemen BRK K3 Prod., Spv s/d Pemahaman (CCPS)
Gudang, Manager
Lab,
Enjinering
11 Indentifikasi dan K3 Prod., Spv s/d Pemahaman dan praktek
analisis BRK Gudang, Manager (CCPS)
Lab,
Enjinering
12 Analysis Tools untuk K3 Lab Spv Pemahaman dan praktek
BRK (CCPS, CRW 2)

Topik dan isi training harus disesuaikan dengan kebutuhan area kerja atau
tanggung jawab dan tingkatan atau jabatan pekerja, karena umumnya tingkatan atau
jabatan menunjukkan tingkat pendidikan pekerja. Sebagai contoh, operator bagian
produksi memerlukan training keahlian dalam mengoperasikan mesin produksi,
sementara teknisi dari bagian enjinering memerlukan training keahlian dalam
perawatan dan perbaikan mesin produksi. Supervisor produksi lebih memerlukan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
210

training pengetahuan proses produksi dari pada keahlian dalam mengoperasikan


mesin produksi.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa untuk mengurangi kesalahan
pekerja yang berdampak pada BRK, maka diperlukan core competency dan safety
competency yang baik. Tabel 6.6 merupakan topik training yang direkomendasikan
untuk meningkatkan core dan safety competency pekerja sehingga dapat mengurangi
risiko BRK ditempat kerja.

6.6.3. Program dan Pelaksanaan Analisis Bahaya dan Risiko Bahaya Reaktifitas
Kimia
OHSAS 18001 section 4.3.1 mensyaratkan adanya prosedur untuk
mengidentifikasi bahaya dan menetapkan mana saja yang signifikan, penilaian risiko
dan pencegahannya. Dalam sistem manajemen K3 (SMK3) Peraturan Menteri Tenaga
Kerja nomor PER.05/MEN/1996 juga disyaratkan untuk melakukan identifikasi
sumber bahaya, penilaian dan pengendalian risiko. Sumber bahaya yang
teridentifikasi harus dinilai untuk menentukan tingkat risiko yang merupakan tolak
ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Analisis bahaya dan risiko merupakan landasan untuk mengembangkan sistem
manjemen K3. Menurut Frank Bird dalam bukunya Loss Control Management, untuk
mengembangkan suatu sistem K3 yang baik, harus mengikuti tahapan yang disebut
IEDIM, yaitu: Identification, Evaluation, Develop the plan, Implementation dan
Measurement (Ramli S., 2004). Frank Bird menempatkan identifikasi bahaya dan
risiko pada tahapan pertama dalam proses pengembangan sistem manajemen K3.
Identifikasi bahaya dan risiko harus disertai dengan evaluasi dan penilaian risiko,
karena setiap industri memiliki jenis dan tingkat bahaya dan risiko yang berbeda-
beda, sehingga sistem pengendalian dan manajemen keselamatan yang diterapkan
juga akan berbeda.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa untuk mengembangkan sistem
manajemen K3 dalam hal ini prosedur kerja standar dan keamanan lingkungan kerja
harus didahului oleh analisis bahaya dan risiko. Analisis bahaya dan risiko BRK
dapat merupakan bagian dari analisis bahaya dan risiko K3 secara umum sesuai
persyaratan sistem manajemen K3, namun harus ada penekanan secara mendalam
pada kajian bahaya dan risiko reaktifitas kimia yang dapat terjadi baik pada

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
211

penyimpanan bahan baku atau proses produksi. Tabel 6.7 merupakan analsis bahaya
dan risiko tambahan yang diperlukan untuk pengembangan sistem pengendalian BRK
pada industri kimia hilir. Berdasarkan hasil penelitian ini, analisis bahaya dan risiko
yang diusulkan pada Tabel 6.7 cukup memadai untuk mengendalikan BRK pada
industri kimia hilir dan sangat dapat diterapkan dengan segala keterbatasan yang ada
pada industri kimia hilir di Indonesia.

Tabel 6.7. Analsis Bahaya dan Risiko BRK pada Industri Kimia Hilir

No Analisis Bahaya dan Risiko BRK Lokasi Alat Analisis (Tools)


1 Analsis Bahaya Bahan Baku Kimia Gudang dan MSDS, NIOSH Pocket
/sifat intrinksik (Flammablity, Lab Guide, NFPA
Toxicity, Corrositivity, Reactivity, etc)
2 Analisis Potensi BRK Bahan Baku Gudang dan CRW 2 NOAA Worksheet,
Lab Bretherick’s Handbook,
CRISH Database
3 Preliminary Screening BRK Prod, Lab, Preliminary Screening
Gudang Checklist CCPS
4 Analisis Potensi BRK Produk Produksi CRW 2 NOAA Worksheet
5 Analsis Potensi BRK Proses Produksi / Produksi Checklist, KJ Analysis
faktor ektrinksik

Ada 5 tahapan analisis bahaya dan risiko BRK yang direkomendasikan untuk
dilakukan pada industri kimia hilir, yaitu:
1. Analisis bahaya sifat intrinksik bahan baku kimia; analisis ini dilakukan
untuk mengetahui sifat-sifat bahaya bahan kimia yang digunakan sebagai
bahan baku produksi. Sifat-sifat instrinksik bahan kimia yang perlu
diidentifikasi adalah sifat mudah terbakar (Flammability), sifat mudah
meledak (Explosive), sifat beracun (Toxicology) dan sifat reaktif dengan
air atau udara (Reaktifity). Sumber informasi yang dapat digunakan adalah
Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) yang dapat diperoleh dari
pemasok bahan kimia atau dari database yang ada di internet. Analisis
bahaya sifat intrinksik bahan baku kimia ini perlu dilakukan untuk
mengetahui metode penyimpanan, sistem kontrol teknologi keselamatan
yang diperlukan dan penanganan kondisi darurat.
2. Analisis potensi BRK bahan baku kimia; analisis ini dilakukan untuk
mengetahui bahan baku kimia yang berpotensi bereaksi atau berinteraksi
satu sama lain. Analisis ini dapat dilakukan dengan menggunakan program

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
212

perangkat lunak CRW 2 dari NOAA. Dari hasil analisis ini dapat diperoleh
tabel kesesuaian (compatibility chart) yang dapat dijadikan acuan untuk
metode penyimpanan atau pemisahan bahan-bahan yang dapat
berienteraksi satu sama lain. Dengan mengetahui bahan baku kimia yang
berpotensi bereaksi satu sama lain maka dapat dicegah terjadinya reaksi
kimia yang tidak diinginkan pada saat penanganan bahan baku kimia
digudang penyimpan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Ramussen (1989) bahwa 24% kecelakaan BRK terjadi di gudang
penyimpanan. Pada umumnya penyimpanan bahan baku dikelompokkan
berdasarkan bentuk fisik (Padat, Cair, Pasta, Gas) dan sifat intrinksik
bahan kimia (Flammable, Toxic, Corrosive, dst). Untuk menghindari
adanya potensi BRK pada gudang penyimpanan maka perlu dilakukan
pemisahan bahan-bahan kimia yang berpotensi bereaksi dengan bahan
kimia lain. Gambar 6.3 merupakan ilustrasi metode pengelompokkan
penyimpanan bahan kimia berdasarkan bentuk fisik, sifat intrinksik dan
sifat reaksi atau compatibility bahan kimia.
3. Prilimanary Screening BRK; analisis ini dilakukan untuk mengetahui
potensi adanya BRK pada industri tersebut secara umum. Ceklist yang
dikeluarkan oleh CCPS Chemical Reactivity Hazards Management dapat
digunakan untuk mengidentifikasi potensi BRK pada proses yang
dilakukan. Untuk mengetahui potensi yang dapat menyebabkan terjadinya
BRK pada proses produksi dapat digunakan ceklist yang dikembangkan
pada penelitian ini (Gambar 4.2). Hasil skirining ini dapat digunakan
sebagai acuan untuk analisis BRK lebih dalam.
4. Analisis Potensi BRK Produk; analisis ini adalah untuk mengetahui adanya
potensi BRK pada formulasi setiap produk yang diproduksi dan potensi
BRK antar produk yang diproduksi. Analisis ini dapat dilakukan dengan
menggunakan program perangkat lunak CRW 2 dari NOAA. Data yang
diperlukan untuk analisis ini dapat diperoleh dari Bill of Material (BOM)
yang digunakan untuk order produksi. Dari BOM ini juga dapat diketahui
komposisi dari masing-masing ingridien yang terdapat didalam formula
produk yang akan diproduksi, sehingga juga dapat diperkirakan atau
dihitung stokiometri reaksi yang dapat terjadi. Dengan mengetahui potensi

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
213

BRK yang dapat terjadi pada produk maka dapat diantisipasi potensi
terjadinya kesalahan pencampuran, kontaminasi, kesalahan parameter
parameter proses dan ketidak sempurnaan pencampuran dari produk-
produk yang memiliki potensi BRK.

Bentuk Fisik Bahan Kimia Sifat Intrinksik Compatibility


Bahan kimia Bahan Kimia

Powder Toxic Tidak ada


PADAT interaksi kimia
Pellet Corrosive

dst

Solven Toxic Tidak ada


CAIR interaksi kimia
Compound Corrosive

dst dst

GAS Flammable Tidak ada


interaksi kimia
Non
Flammable

Gambar 6.3. Ilustrasi Metode Pengelompokkan Penyimpanan Bahan Baku


Kimia

5. Analisis Potensi BRK Faktor Ekstrinksik; yang dimaksud faktor


ekstrinksik disini adalah faktor yang bukan intrinksik dari bahan kimia
yang digunakan seperti jumlah bahan kimia, sistem pencampuran,
teknologi keselamatan, layout facility, pemisahan bahan penyimpanan
bahan kimia, dst. (Johnson et al., 2003). Untuk analisis ini dapat
digunakan ceklist yang dikembang pada penelitian ini (Lampiran 7), dan
KJ analisis untuk mengkaji potensi kecelakaan BRK dengan skenario
kecelakaan BRK. Dengan mengetahui faktor ekstrinksik penyebab BRK
maka dapat dikembangkan sistem manajemen BRK dan teknologi
keselamatan BRK.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
214

6.6.4. Pembuatan dan Pelaksanaan Prosedur Kerja Standar


Dalam sistem manajemen K3 OHSAS 18001 ataupun SMK3 Permenaker
dipersyaratkan atau disarankan adanya prosedur tertulis atau SOP untuk beberapa
elemen-elemen penting misalnya diperlukan prosedur tertulis untuk; identifikasi
bahaya, penilaian dan pengendalian risiko, pelatihan, kepedulian dan kompetensi,
pengendalian dokumen dan data, pengendalian operasi (prosedur operasi atau
instruksi kerja), dan seterusnya. Didalam SMK3 Permenaker Lampiran II poin 2.2
tentang Manual SMK3 disebutkan:
2.2.1. Manual Sistem Manajemen K3 meliputi kebijakan, tujuan, rencana dan
prosedur keselamatan dan kesehatan kerja untuk semua tingkatan
dalam perusahaan.
2.2.2. Apabila diperlukan manual khusus yang berkaitan dengan produk,
proses atau tempat kerja tertentu telah dibuat.
2.2.3. Manual SMK3 mudah didapat oleh semua personil dalam perusahaan.
Pada poin 3.1 tentang pengendalian dokumen disebutkan:
3.1.1. Prosedur yang terdokumentasi mempertimbangkan identifikasi bahaya
dan penilaian risiko yang dilakukan pada tahap melakukan
perancangan dan perancangan ulang.
3.1.2. Prosedur dan instruksi kerja untuk penggunaan produk, pengoperasian
sarana produksi dan proses yang aman disusun selama tahap
perancangan.
3.1.3. Petugas yang kompeten telah ditentukan untuk melakukan verifikasi
bahwa perancangan memenuhi persyaratan keselamatan dan kesehatan
kerja yang ditetapkan.
3.1.4. Semua perubahan dan modifikasi perancangan yang mempunyai
implikasi terhadap keselamatan dan kesehatan kerja diidentifikasi,
didokumentasikan, ditinjau ulang dan disetujui oleh petugas yang
berwenang sebelum pelaksanaan.
Didalam sistem manajemen bahaya reaktifitas kimia yang dikeluarkan oleh
CCPS pada section 4.1 tentang Develop/Document System to Manage Chemical
Reactivity Hazards dijelaskan bahwa pembuatan atau pengembangan sistem
manajemen tidak dapat dilakukan hanya satu kali (one time project), akan tetapi harus

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
215

terus dilakukan selama ada perubahan terhadap bahan baku, proses dan pekerja yang
dapat berdampak pada keselamatan dan kesehatan kerja. Termasuk perubahan kecil
dari kemurnian bahan baku, modifikasi ukuran tangki atau perubahan prosedur kerja
(AIChe, 1995).
Hasil penelitian juga membuktikan bahwa sistem manajemen BRK harus
dilengkapi dengan prosedur kerja standar yang tertulis. Prosedur kerja standar harus
memasukkan aspek-aspek K3 untuk mencegah terjadinya kesalahan prosedur yang
dapat mengakibatkan kecelakaan kerja. Sistem manajemen BRK tidak harus memilki
prosedur tersendiri atau terpisah dengan sistem manjemen lain. Pada prinsipnya
sistem manajemen keselamatan, lingkungan dan kualitas sudah mengandung sebagian
besar aspek-aspek manajemen BRK yang diperlukan. Beberapa poin yang diperlukan
dalam mengendalikan BRK dapat diintegrasikan dengan sistem manajemen yang
sudah ada. Tabel 6.8 adalah rekomendasi prosedur kerja standar yang dapat
diintegrasikan dengan sistem manajemen lain untuk mengurangi potensi BRK pada
industri kimia hilir di Indonesia.
Prosedur kerja standar dan instruksi kerja harus ditulis dalam bahasa yang
mudah dipahami oleh pekerja. Umumnya pada industri kimia hilir, sebagian besar
pekerja produksi, gudang, enjinering dan Lab memiliki pendidikan yang rendah
(SLTP, SLTA dan D3). Sebaiknya dalam membuat prosedur kerja melibatkan para
pekerja sehingga lebih sesuai dengan pemahaman pekerja dilapangan. Prosedur kerja
standar juga harus lengkap, jelas dan tidak bertele-tele.
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa untuk membuat prosedur kerja
standar K3 atau BRK harus mengacu pada hasil analisis bahaya dan risiko. Prosedur
K3 atau BRK tidak akan menjadi efektif dalam menurunkan tingkat kecelakaan atau
potensi BRK ditempat kerja jika dibuat hanya mengacu pada literatur atau replikasi
dari sistem lain meskipun dari industri sejenis. Setiap industri memiliki karakteristik
proses dan bahaya sendiri-sendiri, oleh karena itu pengendalian bahaya dan risikonya
juga harus disesuaikan dengan karakter masing-masing industri. Gambar 6.4 adalah
merupakan ilustrasi proses pembuatan prosedur kerja standar yang direkomendasikan
dari hasil penelitian ini.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
216

Tabel 6.8. Prosedur Kerja Standar Terintegrasi dengan Sistem Manajemen K3, Kualitas dan Lingkungan.

No Elemen Prosedur Kerja Standar Prosedur BRK SMK3 OHSAS ISO ISO
Pengendalian Terintegrasi Permenaker 18001:2007 9001:2008 14001:2004
BRK
1 Program and Training Prosedur Training Memasukkan topik Bahaya Bahan 12 4.4.2, 4.3.4, 6.2 4.4.2
BRK Kimia, MSDS dan Bahaya
Reaktifitas Kimia dalam Modul
Training.
2 Analisis Bahaya dan Prosedur Ijin Kerja Prosedur untuk pengecekan bahan 6.4 4.3.1 4.2 4.3.1
Risiko BRK kimia berbahaya dan reaktif
3 Prosedur Analisis Bahaya dan Prosedur analisis bahaya 6.1 4.3.1 4.2 4.3.1
Risiko reaktifitas kimia
4 Prosedur Penaganan Bahan Kimia Prosedur Penanganan Bahan 6.1 4.4.7 - 4.4.7
Berbahaya Kimia Reaktif
5 Prosedur Penanganan Tumpahan Prosedur Penanganan Tumpahan 6.1, 9.1 4.4.7 - 4.4.7
Bahan Kimia Bahan Kimia Reaktif
6 Prosedur Pengembangan Produk Prosedur Pengecekan Potensi 3.1 4.4.6 7.3 4.4.6
Baru BRK pada Produk Baru
7 Prosedur Perubahan Komposisi Prosedur Pengecekan Potensi 3.1 4.4.6 7.3 4.4.6
atau Modifikasi Produk BRK pada Produk yang di
Modifikasi
8 Prosedur Perubahan Proses Prosedur Pengecekan Potensi 3.1 4.4.6 7.3 4.4.6
Produksi BRK pada Proses Baru
9 Prosedur Keadaan Darurat Prosedur Penanganan Bahaya 6.7, 8 4.4.7 - 4.4.7
Reaktifitas Kimia
10 Prosedur Ijin Kerja Bagi Prosedur Pengecekan Potensi 6.4 4.4.6 4.3 4.4.6
Kontraktor BRK pada area kerja. Training
BRK untuk Kontraktor

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


217

No Elemen Prosedur Kerja Standar Prosedur BRK SMK3 OHSAS ISO ISO
Pengendalian Terintegrasi Permenaker 18001:2007 9001:2008 14001:2004
BRK
11 Prosedur Standar Prosedur Penerimaan Bahan Baku Kelengkapan MSDS, CoA, Label 5.1, 5.3, 9.2 4.4.6 7.4 4.4.6
Kerja Penanganan (Kelengkapan dokumen) dan Simbol Hazard
12 BRK Prosedur Pengecekan Kualitas Kemurnian Bahan Baku 5.2 4.5.1 7.4 4.5.1
Bahan Baku (QC Incoming raw
materail)
13 Prosedur Permintaan dan Pelabelan dan penanganan bahan 2.2 4.4.6 7.5 4.4.6
Pengiriman Bahan Baku ke kimia berbahaya dan reaktif,
Produksi (BOM, Pelabelan) penyimpanan sisa bahan baku.
14 Prosedur Proses Produksi (WI Kontrol terhadap komposisi bahan 2.2 4.4.6 7.5 4.4.6
Proses) baku, urutan proses pencampuran,
tekanan, temperatur, pengambilan
sampel.
15 Prosedur Sampling dan Cara sampling, waktu sampling, 2.2 4.5.1, 4.4.6 8.2 4.5.1, 4.4.6
Pengecekan Kualitas Produk tempat sampling, spesifikasi,
Antara dan Akhir pelaporan hasil pengecekan.
16 Keamanan & Prosedur Penyimpanan Bahan Pemisahan bahan-bahan kimia 9.3 4.4.6 4.15, 4.8 4.4.6
Kenyamanan Baku (Penempatan dan Pelabelan) reaktif
17 Lingkungan Kerja Prosedur dan Standar Kebersihan Cara membersihkan, standar 6.5 4.4.6 4.9 4.4.6
Tangki/Vessel kebersihan dan pengecekan
kebersihan
18 Prosedur Penyimpanan dan Tempat penyimpanan, kondsisi 9.3 4.4.6 7.5 4.4.6
Transfer Produk Antara dan Akhir penyimpanan, waktu
penyimpanan, cara
pemindahan/transfer.
19 Prosedur Pelabelan Tangki Proses Bentuk label, penamaan tangki 9.3 4.4.6 4.8 4.4.6
dan Produk Antara dan produk
20 Prosedur dan Jadual Perawatan / Prosedur untuk pengecekan bahan 6.5 4.5.1 7.6 4.5.1
Kalibrasi Alat dan Mesin kimia berbahaya dan reaktif

Universitas Indonesia

Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011


218

Analisis Bahaya dan


Risiko

Masukkan dari Pembuatan / Modifikasi / Tahapan Proses /


Pekerja Pengembangan Manual / Persyaratan
Prosedur Kerja Standar Standar Baku
(SOP)

Tinjau Ulang /
Review

Perbaikkan

Approval dari
Manager

Implementasi
SOP

Gambar 6.4. Rekomendasi Proses Pembuatan Prosedur Kerja Standar (SOP)

Pembuatan, modifikasi dan pengembangan prosedur kerja standar (SOP) harus


memasukkan 3 faktor penting yaitu (1) masukkan dari pekerja, (2) masukkan dari
hasil analisis bahaya dan risiko, (3) tahapan prosess, manual mesin dan persyaratan
standar baku. Pembuatan SOP dapat dilakukan oleh team atau perorangan yang
ditugaskan dan memiliki kompetensi sesuai dengan prosedur yang dibuat. Setelah
rancangan SOP selesai, tahap selanjutnya harus dilakukan tinjau ulang atau review
yang dilakukan oleh team yang melibatkan pekerja, supevisor atau manajer
berwenang yang akan melakukan approval. Semua masukkan dari team tinjau ulang
harus dimasukkan kedalam SOP dengan melakukan perbaikkan pada rancangan SOP.
Setelah rancangan SOP diperbaiki maka diserahkan kepada supervisor atau manajer
yang berwenang untuk melakukan persetujuan atau approval. Setelah SOP mendapat
persetujuan oleh manajer berwenang maka SOP sudah dapat digunakan atau
diimplementasikan. Dalam proses implementasi sebaiknya dilakukan tinjau ulang atau

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
219

review berkala untuk mendapatkan umpan balik dari pekerja yang menggunakan SOP
tersebut, jika ada perbaikkan maka harus dilakukan persetujuan ulang oleh manajer
berwenang.

6.6.5. Pemiliharaan Keamanan/Kenyamanan Lingkungan Kerja


Didalam SMK3 Permenaker pada lampiran I poin 3.3.4 tentang Perancangan
(Design) dan Rekayasa disebutkan bahwa pengendalian risiko kecelakaan dan
penyakit akibat kerja dalam proses rekayasa harus dimulai sejak tahap perancangan
dan perencanaan. Setiap tahap dan siklus perancangan meliputi pengembangan,
verifikasi ulang, validasi dan penyesuaian harus dikaitkan dengan identifikasi sumber
bahaya, prosedur penilaian dan pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat
kerja.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa faktor kemananan dan kenyamanan
lingkungan hanya berpengaruh terhadap proses penyimpanan bahan baku dan produk,
secara tidak langsung faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap terjadinya
kontaminasi bahan baku atau produk baik digudang maupun diarea produksi.
Keamanan dan kenyamanan lingkungan kerja yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah kebersihan dan kerapian area dan alat kerja, perawatan mesin dan alat kerja,
alur proses atau tata letak dan ruang, pencahayaan, ventilasi, teknologi keselamatan
dan alat-alat keselamatan kerja.
Berdasarkan hasil observasi dilapangan ditemukan bahwa:
1. Tempat dan tata ruang penyimpanan sangat terbatas. Pembagian area
penyimpanan baik digudang maupun di area produksi untuk produk antara
juga sangat terbatas dan tidak tertata dengan baik. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya kesalahan pengambilan bahan baku yang dapat
menyebabkan terjadinya kontaminasi atau pengotor. Penempatan bahan
baku digudang yang tidak teratur dan ditumpuk juga memungkinkan
terjadinya kontaminasi bahan baku.
2. Ditemukan beberapa bahan baku tanpa label atau label tidak jelas. Hal ini
dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaan bahan baku.
3. Beberapa area dan alat kerja yang kurang bersih dan rapi, terutama pada
PT XYZ dan PT PQR dimana kedua perusahaan ini memiliki jumlah dan
jenis produk yang sangat bervariasi dan banyak, hal ini menyebabkan

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
220

siklus produksi tinggi dan jumlah bahan baku dan produk antara di area
produksi juga banyak. Disamping kemungkinan terjadinya kontaminasi,
kondisi ini juga sangat rentan terhadap tertukarnya bahan baku atau produk
antara.
4. Pencahayaan dan ventilasi sudah cukup baik. Meskipun pada PT XYZ
plant A ditemukan bau solven yang sangat menyengat, hal ini bukan
disebabkan oleh ventilasi yang kurang baik akan tetapi disebabkan oleh
penangan solven yang tidak tepat.
5. Alat pelindung diri kurang mencukupi dan tidak sesuai standar terutama
pada PT XYZ dan PT PQR.
6. Beberapa alat-alat produksi berada dalam kondisi kurang baik dan tidak
terawat terutama pada PT XYZ Plant B.

Tabel 6.9. Rekomendasi Program Pemeliharaan Keamanan dan Kenyamanan


Lingkungan Kerja untuk Mengurangi BRK

No Program Keterangan Referensi

1 Perawatan Rutin Program dan jadual perawatan mesin ISO 9001,


(Routine Maitenance) dan alat-alat produksi harus dimasukkan OHSAS 18001
dalam SOP
2 Kalibrasi Alat Alat-alat ukur seperti timbangan, ISO 9001,
pengukuran tekanan, pengukur suhu dan OHSAS 18001
pengukur aliran harus dikalibrasi secara
periodik.
3 Program kebersihan Program kebersihan dan kerapian harus Program 5R
dan kerapian masuk dalam prosedur kerja standar. (Ringkas, Rapi,
(Houskeeping) Resik, Rawat dan
Rajin)
4 First In First Out Sistem kontrol terhadap bahan baku
(FIFO) yang lama dan baru harus diterapkan
secara baik untuk menghindari bahan
baku kadaluarsa.
5 Layout atau Tata Penataan alur proses produksi yang
Ruang Alur Proses efektif dan efesien untuk mengurangi
Produksi potensi kesalahan pencampuran,
kontaminasi dan kesalahan penyimpanan
6 Rambu-Rambu K3 Penempatan rambu-rambu K3 dan
dan Marking Line marking line untuk meningkat
kewaspadaan pekerja.
7 Engineering Control Sistem pengendalian bahaya dengan NFPA, OSHA
System engineering control.
8 Alat Pelindung Diri Sistem perlindungan menggunakan alat NIOSH, OSHA
(APD) pelindung diri yang sesuai.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
221

Semua temuan diatas dapat berpotensi menyebakan terjadinya kontaminasi


bahan baku atau produk baik diarea produksi maupun gudang. Kontaminasi tidak
hanya menybabkan produk cacat (quality defect) akan tetapi juga berpotensi
menyebabkan terjadinya BRK. Untuk mengurangi terjadinya potensi BRK yang
diakibatkan oleh faktor lingkungan, beberapa rekomendasi untuk menjaga dan
meningkatkan kondisi lingkungan kerja dapat dilihat pada Tabel 6.9. Semua program
untuk memperbaiki lingkungan kerja tersebut harus mengacu pada hasil analisis
bahaya dan risiko yang sudah dilakukan sehingga perbaikkan lingkungan kerja benar-
benar dapat mengurangi potensi terjadinya kecelakaan BRK.
Ada 8 rekomendasi program lingkungan kerja yang dapat dilakukan untuk
menurunkan potensi BRK pada industri kimi hilir. Sebagian dari program tersebut
merupakan bagian dari sistem manajemen kualitas dan keselamatan.
1. Perawatan Rutin; mesin dan alat-alat kerja yang digunakan untuk proses
produksi harus dijaga agar selalu dalam kondisi baik atau berfungsi secara
baik. Untuk menjaga mesin dan peralatan produksi agar tetap berfungsi
secara baik maka diperlukan perawatan secara rutin dan berkala.
2. Kalibrasi Alat; kalibrasi alat-alat ukur merupakan hal yang sangat penting
untuk menjaga kuakurasian pengukuran yang dilakukan. Alat-alat yang
pada umumnya perlu dikalibrasi secara berkala dan rutin adalah
timbangan, pressure gauge, flow meter, termometer dan alat ukur yang
digunakan di laboratorium. Alat-alat ukur yang sudah dikalibrasi harus
diberi label kalibrasi yang mencantumkan waktu kalibrasi, hasil kalibrasi
dan waktu untuk kalibrasi ulang. Kalibrasi dapat dilakukan secara internal
atau oleh pihak ketiga yang memiliki otorisasi. Alat-alat ukur yang
terkalibrasi secara baik akan mengurangi potensi terjadinya kesalahan
parameter proses dan ketidaksempurnaan pencampuran yang dapat
menyebabkan terjadinya BRK.
3. Program Kebersihan dan Kerapian; kebersihan dan kerapian area kerja
akan meningkatkan kenyamanan dalam bekerja dan mengurangi potensi
terjadinya kesalahan kerja seperti kontaminasi produk, kesalahan
pencampuran dan kesalahan penyimpanan. Salah satu program yang
sangat populer dan banyak digunakan dalam industri manufaktur untuk
menjaga kebersihan dan kerapian area kerja adalah program 5R. 5R yang

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
222

merupakan singkatan dari Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin dapat
digunakan untuk mencegah potensi BRK pada industri kimia hilir yang
menggunakan bahan kimia, tangki atau vesel dan produk yang dihasilkan
dalam jumlah yang cukup banyak dan bervariasi. Penerapan prinsip-
prinsip 5R secara konsisten dan baik akan sangat efektif dalam
menurunkan potensi BRK seperti yang dilakukan oleh PT CDF.
4. Firts In First Out (FIFO); adalah sistem kontrol terhadap penggunaan
bahan baku dimana bahan baku digunakan berdasarkan tanggal kedatangan
ke gudang penyimpanan. Bahan baku yang kedatangan lebih awal harus
digunakan lebih dahulu untuk proses produksi guna menghindari bahan
baku melewati masa kadaluarsa. Untuk memudahkan proses FIFO maka
penyimpanan di gudang harus ditempatkan berdasarkan urutan kedatangan
bahan baku.

Area Tanki
penempatan Proses Area Paking
Line -1 Bahan baku Produksi Produk Akhir
Siap Proses

Area Tanki Tanki


penempatan Proses Proses Area Paking
Line -2 Bahan baku Produksi -1 Produksi - Produk Akhir
Siap Proses 2

Area Tanki Tanki


penempatan Proses Proses Area Paking
Bahan baku Produksi - Produksi - Produk Akhir
Siap Proses 1a 2 (a+b)

Line -3

Area Tanki
penempatan Proses
Bahan baku Produksi -
Siap Proses 1b

Gambar 6.5. Ilustrasi Layout Alur Proses dengan Sistem Series untuk Industri Kimia
Hilir

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
223

5. Layout dan Tata Ruang Alur Proses Produksi; penataan ruang atau layout
alur proses produksi yang baik dapat meningkatkan efesiensi proses
produksi, mengurangi potensi terjadinya kesalahan pencampuran dan
kontaminasi produk dan meningkatkan kenyamanan dan keamanan kerja.
Layout dan tata ruang proses produksi harus mencerminkan alur proses
pembuatan produk. Secara sederhana dapat digambarkan layout proses
produksi yang direkomendasikan pada industri kimia hilir seperti pada
Gambar 6.5. Alur proses sebaiknya mengikuti rangkaian seri untuk proses
yang berurutan dan paralel untuk proses yang dilakukan bersamaan. Alur
proses sebaiknya mengikuti aliran bahan baku hingga menjadi produk
akhir di paking area. Hal ini akan memudahkan sistem kontrol terhadap
proses produksi.
6. Rambu-rambu K3 dan marking line; pembuatan rambu dan penandaan
bisa sejalan dengan program 5R. Rambu-rambu K3 (safety signage) sangat
penting dalam mengurangi prilaku atau tindakkan tidak aman dari pekerja.
Dalam ilmu prilaku keselamatan ABC model, rambu-rambu dan marking
line merupakan salah satu aktivator bagi prilaku seorang pekerja (Geller
E.S., 2000). Penempatan rambu K3 dan marking line juga merupakan
salah satu bentuk intervensi untuk mengubah prilaku pekerja. Menurut
Geller (2000), untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari proses
intervensi ini maka ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam suatu
aktivator, yaitu:
a. Specify behavior; aktivator harus dibuat spesifik untuk prilaku tertentu,
misalnya rambu wajib memakai helem di area kerja tertentu.
b. Maintain salience with novelty; aktivator harus dapat memberikan
dampak jangka panjang, oleh sebab itu aktivator harus memiliki pesan
yang akan membekas dalam pikiran pekerja dan selalu dapat diingat.
c. Vary the message: aktivator sebaiknya memiliki pesan yang bervariasi,
oleh karena itu rambu juga harus dapat diganti atau dengan membuat
slogan-slogan K3 yang bervariasi.
d. Involve target audience: dalam membuat aktivator sebaiknya
melibatkan pekerja untuk mendapatkan disain rambu yang baik dan
mudah dipahami oleh pekerja.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
224

e. Activate close to response opportunity; penempatan aktivator harus


sesuai dan dekat dengan target atau mudah dilihat oleh pekerja.
f. Implicate consequences; aktivator juga dapat merefleksikan atau
memberi pesan konsekuensi jika terjadi pelanggaran.
Untuk rambu K3 yang standar dan marking line pada umumnya sudah ada
standar ukuran, bentuk dan warna yang ditetapkan oleh peraturan lokal
atau internasional.
7. Engineering Control; , yaitu dengan menambahkan berbagai peralatan dan
mesin yang dapat mengurangi bahaya dari sumbernya. Contohnya adalah
penggunaan exhaust dan sistem ventilasi untuk meminimalisir bahaya
debu atau gas. Akan tetapi pengendalian dengan system engineering
control membutuhkan dana yang cukup besar. Engineering control harus
dilakukan berdasarkan anlisis bahaya dan risiko sehingga diperoleh
proteksi yang maksimum dari engineering control tersebut.

Tabel 6.10. Jenis Bahaya dan APD yang Diperlukan pada Industri Kimia Hilir

No Tubuh Yang Bahaya APD


Dilindungi
1 Mata Percikan bahan kimia, safety spectacles,
debu, proyektil, gas, uap, goggles, faceshields,
radiasi visors.
2 Kepala Kejatuhan benda, benturan, Helmet
rambut tertarik mesin
3 Sistem pernapasan Debu, gas, uap, fume, Respirator, alat bantu
kekurangan oksigen pernapasan
4 Melindungi badan Panas berlebihan, Cover all, pakaian anti
tumpahan atau percikan panas/api
bahan kimia
5 Tangan Panas, terpotong, bahan Sarung tangan
kimia, sengatan listrik
6 Kaki Tumpahan bahan kimia, Sepatu safety
tertimpa benda, sengatan
listrik

8. Alat pelindung diri (APD); definisi APD dalam HSE regulasi adalah semua
peralatan yang melindungi pekerja selama bekerja termasuk pakaian yang
harus di pakai pada saat bekerja, pelindung kepala (helmet), sarung tangan
(gloves), pelindung mata (eye protection), pakaian yang bersifat reflektive,
sepatu, pelindung pendegaran (hearing protection) dan pelindung

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
225

pernapasan (masker). [HSE, 1992]. Penggunaan APD di tempat kerja di


sesuaikan dengan pajanan bahaya yang di hadapi di area kerja. Tabel 6.10
memperlihatkan jenis bahaya dan APD yang diperlukan diarea kerja pada
industri kimia hilir. Penggunaan APD secara benar dan tepat dapat
meninggkatkan rasa aman dan nyaman dalam melakukan pekerjaan. Hal
ini akan dapat mengurangi prilaku tidak aman yang dapat menyebabkan
terjadinya kecelakaan kerja.

6.7. Rekomendasi Penerapan Sistem Pengendalian Bahaya Reaktifitas Kimia


Untuk kemudahan dan kepraktisan dalam penerapan sistem pengendalian BRK
ini, ada 7 tahapan yang direkomendasi dalam penerapan sistem pengendalian BRK
pada industri kimia hilir. Gambar 6.6 merupakan langkah-langkah yang dapat
dilakukan dalam penerapan sistem pengendalian BRK.
Tahap-1 : Mendapatkan komitmen dari manajemen untuk menerapkan sistem
pengendalian BRK pada fasilitas perusahaan. Untuk mendapatkan komitmen dari
manajemen diperlukan penjelasan mengenai tujuan, ruang lingkup, sistem
pelaksanaan dan dampak bagi perusahaan kepada pihak manajemen. Jika diperlukan
dapat diundang pakar yang memahami BRK untuk menjelaskan kepada pihak
manajemen. Komitmen manajemen ini kemudian dikomunikasikan kepada seluruh
pekerja.
Tahap-2: Melakukan analisis bahaya dan risiko pada seluruh fasilitas yang
terkait dengan proses produksi. Analisis bahaya dan risiko dimulai dengan
pembentukan tim yang ditunjuk secara resmi oleh manajemen, sehingga memiliki
kewenangan untuk mendapakan informasi yang diperlukan.
Tahap-3: Setelah memperoleh hasil analisis bahaya dan risiko pada fasilitas
perusahaan, kemudian secara paralel dikembangkan program training BRK, membuat
SOP dan program lingkungan kerja. Untuk mengembangkan prosedur kerja standar
dan program lingkungan kerja harus mengacu pada hasil rekomendasi dari analisis
bahaya dan risiko. Melibatkan pekerja dalam mengembangkan program training,
pembuatan SOP dan program lingkungan kerja.
Tahap-4: Melakukan komunikasi kepada pekerja mengenai program yang akan
diterapkan guna mengendalikan BRK pada fasilitas perusahaan, hal ini dilakukan
untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari seluruh pekerja.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
226

Tahap-5: Melaksanakan semua program BRK yang sudah direncanakan,


dimulai dengan melakukan training bagi pekerja agar memahami sistem pengendalian
BRK ditempat kerja. Kemudian dilanjutkan dengan menerapkan prosedur kerja
standar dan program lingkungan kerja.

Mendapatkan Melakukan Anailsis


Komitmen Bahaya dan Risiko
dari Manajemen BRK
(Terintegrasi)

Mengembangkan Mengembangkan
Mengembangkan atau
Program Training BRK Program
Memodifikasi SOP
(Terintegrasi) Perbaikan Lingkungan
(Terintegrasi)
Kerja
(Terintegrasi)

Mendapatkan Komitmen
Pekerja

Implementasi Training Implementasi SOP Implementasi Program


BRK Lingkungan Kerja

Tinjau Ulang Perbaikan

Gambar 6.6. Tahapan Penerapan Sistem Pengendalian BRK pada Industri Kimia
Hilir.
Tahap-6: Melakuan tinjau ulang secara berkala untuk melihat efektifitas
pelaksanaan sistem pengendalian BRK dan mengidentifikasi kekurangan sistem untuk
dapat ditingkatkan.
Tahap-7: Melakukan perbaikan berdasarkan rekomendasi dari hasil tinjau
ulang.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
227

Ketujuh tahapan penerapan sistem pengendalian BRK ini merupakan siklus


proses sistem pengendalian yang harus dilakukan secara terus menerus. Siklus ini
harus dijalankan secara berkesinambungan untuk:
1. Meningkatkan sistem pengendalian BRK kearah yang lebih baik,
2. Mengidentifikasi dan mengendalikan adanya bahaya dan risiko baru karena
adanya perubahan pada proses dan sistem produksi.
3. Mengidentifikasi dan mengendalikan potensi bahaya dan risiko karena usia
peralatan proses yang makin tua.
4. Mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya dan risiko karena pertukaran
personel kerja.
5. Mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya dan risiko karena adanya
produk-produk baru.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
1. Hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat potensi yang cukup tinggi
terjadinya kecelakaan bahaya reaktifitas kimia pada industri kimia hilir dapat
diterima. Hal ini dibuktikan dari hasil kajian bahaya reaktifitas kimia 351 produk
antara dan akhir diperoleh jumlah produk antara dan akhir yang memiliki potensi
interaksi/reaksi bahan baku dalam formulanya adalah 32%, dimana jumlah
pasangan interaksi/reaksi kimia dengan IB = 1 (bahaya sangat tinggi) adalah 21%
dan jumlah pasangan interaksi/reaksi kimia dengan IB = 0.75 (bahaya tinggi)
adalah 11%. Sedangkan jumlah produk yang berpotensi saling berinteraksi/
bereaksi jika tercampur adalah 295 produk (84%) dengan total pasangan
campuran 15042, dimana jumlah pasangan produk yang dapat berinteraksi/
bereaksi dengan IB = 1 adalah 18%, jumlah pasangan produk yang dapat
berinteraksi/ bereaksi dengan IB = 0.75 adalah 32%.

2. Persamaan SIB yang memasukan faktor Sistem Manajemen Keselamatan (FSMK),


Faktor Pekerja (FP) dan Faktor Teknologi Keselamatan (FTK) terbukti lebih dapat
menurunkan IB pada industri kimia hilir.

3. Hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa faktor pekerja memberikan


kontribusi paling besar yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan bahaya
reaktifitas kimia yang dipicu oleh pengotor, kesalahan pencampuran, kesalahan
kondisi proses, ketidak sempurnaan pencampuran dan kesalahan penyimpanan
pada industri kimia hilir di Indonesia dapat diterima. Berdasarkan hasil KJ analisis
BRK; faktor pekerja (FP) dapat menurunkan 44% potensi BRK, faktor sistem
manjemen keselamatan (FSMK) dapat menurunkan potensi BRK 33% dan faktor
teknologi keselamatan (FTK) dapat menurunkan 23% potensi BRK.

228 Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
229

4. Hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa sistem pengendalian bahaya


reaktifitas kimia dapat diintegrasikan dengan sistem manajemen keselamatan,
kualitas dan lingkungan untuk mengendalikan bahaya reaktifitas kimia dapat
diterima. Hal ini dibuktikan dari hasil temuan penelitian pada tiga perusahaan
industri kimia hilir sebagai berikut:
a. PT XYZ yang sudah menerapkan ISO 9001 dapat menurunkan 47% indeks
risiko BRK.
b. PT PQR yang sudah menerapkan ISO 9001 + GMP + Corporate Safety
Program dapat menurunkan 90% indeks risiko BRK.
c. PT CDF yang sudah menerapkan ISO 9001+ ISO 14001 + OHSAS 18001 +
SMK3 + PSM + BS8800 dapat menurunkan 97% indeks risiko BRK.

5. Dari model penyebab BRK yang dikembangkan terdapat 7 variabel laten yang

mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terjadinya BRK pada

industri kimia hilir, yaitu: komitmen K3, training, analisis risiko, kompetensi

pekerja, faktor pekerja, prosedur kerja standar dan lingkungan kerja. Dan terdapat

dua variabel laten yang berpengaruh secara langsung terhadap terjadinya bahaya

reaktifitas kimia, variabel tersebut adalah faktor kesalahan pekerja yang

mempengaruhi terjadinya kesalahan pencampuran dan parameter proses, variabel

yang lain adalah lingkungan kerja yang mempengaruhi kesalahan penyimpanan.

6. Penelitian ini juga membuktikan bahwa Program perangkat lunak CRW 2 dari
NOAA cukup efektif digunakan untuk menganalisis bahaya reaktifitas bahan baku
kimia, produk antara dan produk akhir. Pada umumnya industri kimia hilir di
Indonesia memliki sumber daya yang sangat terbatas sehingga hampir tidak
memungkinkan untuk melakukan pengujian reaktifitas kimia di laboratorium,
maka alternatif penggunaan program perangkat lunak menjadi alternatif paling
tepat efisien dan efektif. Namun penggunaan program perangkat lunak CRW 2
harus didukung dengan kelengkapan informasi bahan baku kimia seperti lembar
data keselamatan bahan (LDKB).

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
230

7. Metoda kajian berlapis BRK (CRH layer assessment) yang dikembangkan pada
penelitian ini untuk industri kimia hilir terbukti dapat mengidentifikasi potensi
BRK. Metoda kajian berlapis yang dimodifikasi dari metoda yang dikembangkan
oleh Shah et.al (2005), yaitu merupakan kajian yang dilakukan secara bertahap
dan simultan terbukti efektif dalam menggali potensi BRK pada industri kimia
hilir.

8. Metode KJ analisis yang dikembangkan oleh Jiro Kawakita dapat digunakan


untuk menganalisis dan mengidentifikasi penyebab terjadinya suatu skenario
kecelakaan melalui curah pendapat yang melibatkan pekerja mulai dari level
paling bawah (operator) sampai level manajemen (Direktur). Metoda KJ analisis
pada umumnya digunakan sebagai tools untuk perbaikkan kinerja bisnis. Pada
penelitian ini metoda KJ analisis digunakan untuk mengidentifikasi penyebab
terjadinya kecelakaan BRK dari skenario terburuk yang dikembangkan ternyata
dapat menggali secara mendalam potensi penyebab terjadinya skenario kecelakaan
BRK tersebut.

7.2. Saran
Dari pengalaman selama melakukan penelitian dan hasil penelitian yang
diperoleh, ada beberapa saran yang ingin peneliti sampaikan kepada pihak
pemerintah, perusahaan dan peneliti-peneliti lain yang mengkaji BRK pada IKH:

Untuk Pemerintah:
1. Membuat standar (SNI) pengendalian bahaya reaktifitas kimia untuk industri kimia
hilir.
2. Melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam penerapan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja umumnya dan pengendalian bahaya reaktifitas
kimia khususnya..
3. Mewajibkan semua industri kimia hilir untuk menerapkan Global Harmonize
System (GHS), sehingga penggunaan dan kelengkapan Lembar Data Keselamatan
Bahan (LDKB) dan sistem pelabelan bahan kimia menjadi lebih baik.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
231

Untuk Kelompok Akademis dan Peneliti:


a. Perlu dikembangkan program perangkat lunak untuk menghitung SIB
dan SIR BRK pada IKH dan dilakukan uji coba pada IKH yang lebih luas.
b. Perlu dilakukan penelitian tentang efektifitas penerapan sistem
pengendalian BRK yang diusulkan.
c. Pengembangan penelitian tentang kemampuan dan pemahaman
terhadap Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) dari produsen dan konsumen
bahan kimia di Indonesia.
d. Pengembangan penelitian tentang efek domino dan dampak
lingkungan dari BRK pada industri kimia hilir.
e. Perlu dilakukan penelitian tentang efek kesehatan dari BRK.

Untuk Industri Kimia Hilir:


1. Komitmen manajemen terhadap pengendalian bahaya reaktifitas kimia perlu lebih
ditingkatkan.
2. Perlu dilakukan peningkatan pengetahuan dan pemahaman para pekerja tentang
proses kimia dan fisika, bahaya bahan kimia dan reaktifitas kimia.
3. Perlu dilakukan analis risiko bahaya reaktifitas kimia pada keseluruhan fasilitas
produksi dan penyimpanan.
4. Memasukkan sistem dan program pengendalian BRK yang diusulkan dalam
penelitian ini kedalam sistem manajemen yang ada (diintegrasikan).
5. Melakukan pengawasan dan tinjau ulang terhadap pelaksanaan sistem
pengendalian bahaya reaktifitas kimia secara berkala.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
DAFTAR KEPUSTAKAAN

AIChE. 1995. Guidelines For Chemical Reactivity Evaluation and Application to


Process Design, Center for Chemical Safety of the Institute of Chemical Engineers,
345 East 47th street, New York, New York 10017

ASTM (2005). The ASTM Computer Program for Chemical Thermodynamic and
Energy Release Evaluation, User Guide. ASTM International, 100 Barr Harbor
Drive, West Conshocken. USA.

Asfahl, C.R. (1990). Industrial Safety and Health Management, second


edition.Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey 07632.

Bellamy, L.J., Geyer T.A.W. and Wilkonson. (2008). Development of a functional


model which integrates human factors, safety management system and wider
organizational issues. Journal of Safety Science 46, 461-492.

Berger, S. (2006). AIChE Initiatives to Promote Effective Management of Chemical


Reactivity Hazards. Published online 16 March 2006 in Wiley InterScience
(www.interscience.wiley.com). DOI 10.1002/prs.10130

BPS. 2008. http://www.bps.go.id/index.shtml, Selasa 20 Maret 2008

Carson, P. (2002). Hazardous Chemicals Handbook. Butterworth-Heinemann


An imprint of Elsevier Science. Linacre House, Jordan Hill, Oxford OX2 8DP.
225 Wildwood Avenue, Woburn, MA 01801-2041.

CCPS. (1992).Guidlines For Hazard Evaluation Procedures. American Institute of


Chemical Engineers. 345 East 47th Street, New York, NY 10017.

CCPS. (2001). Reactive Material Hazards. CCPS Safety Alert • October 1, 2001

CCPS. (1995). Guidline For Chemical Reactivity Evaluation and Application to


Process Design. American Institute of Chemical Engineers. 345 East 47th Street,
New York, NY 10017.

CCPS. (1996). Integrating Process Safety Management, Environment, Safety, Health,


and Quality. American Institute of Chemical Engineers. 345 East 47th Street, New
York, New York 10017.

Choudhry, R.M., Fang D. and Mohamed S. (2007). The nature of safety culture: A
survey of the state-of-the-art. Safety Science 45, 993–1012.

Cooper, D. (2001). Improving Safety Culture, A Pratical Guide. Applied Behavioral


Science. UK.

Cui, L., Zhao, J., Qiu, T. and Chen, B. (2008). Layered Digraph Model for HAZOP
Analysis of Chemical Processes. Willey Interscience, Process Safety Progress Vol.
27, No.4.

232 Universitas Indonesia


Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
233

Cross, J. (1998). Study Notes, SESC9211 Risk Management. Departmen of Safety


Science, University of New South Wales, Sydney 2052

Daniel, A. & Crowl, T.I. (2004). Identifying criteria to classify chemical mixtures as
‘‘highly hazardous’’ due to chemical reactivity. Journal of Loss Prevention in the
Process Industries 17, 279–289.

DeJoy, D.M. (2005). Behavior change versus culture change: Divergent approaches to
managing workplace safety. Safety Science 43, 105–129.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. (2008). Data


Kecelakaan Kerja. http://www.nakertrans.go.id/pusdatin.html,16,naker.

Departemen Perindustrian Republik Indonesia. (2008). Direktori Profil Perusahaan.


http://www.depperin.go.id/Content2.asp?kd4dg=0202#0202.

DeReamer (1981). Modern Safety and Health Technology. Willey interscience, New
York.

Dingsdag, D.P., Biggs, H.C. and Sheahan, V.L. (2008). Understanding and defining
OH&S competency for construction site positions: Worker perceptions. Safety
Science 46, 619–633.

DNV. (1994). International Safety rating System, 6 edition. Publishedby DNV


Managemen Services, Palce house, 3 Cathedral Street, London SE1 9DE.

Eckhoff, R.K. (2005). Explosion Hazards in The Process Industries. University of


Bergen, Norway.

EPA 550-F-04-004, May 2004. Identifying Chemical Reactivity Hazards: Preliminary


Screening Method. United States Environmental Protection Agency.

EPA 550-F-04-005, February 2005. Managing Chemical Reactivity Hazards. United


States Environmental Protection Agency.

Gallagher, C., Underhill, E. and Rimmer, M. (2001). Occupational Health and Safety
Management System-A Review of their Effectiveness in Securing Healthy and
safe Workplaces. Nasional Occupational Health and Safety Commision, Sydney.

Grote, G. (2007). Understanding and assessing safety culture through the lens of
organizational management of uncertainty. Safety Science 45, 637–652.

Hair, J. F., Black, W.C., Babin, B.J., Anderson, R. E. and Tatham, R.L. (2006).
Multivariate Data Analysis. Six Edition. Pearson Prentice Hall, Pearson Education
International.

Heinrich, H.W., Petersen, D. and Ross N. (1980). Industrial Accident Prevention – A


Safety Management Approach. Fifth Edition. McGraw-Hill Book Company.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
234

Herrero, G.S., Saldan, M.A.M., Campo, M.A.M. and Ritzel D.O. (2002). From the
traditional concept of safety management to safety integrated with quality. Journal
of Safety Research, 33 (2002) 1 – 20.

Hoyos, C.G. and Zimohong, B. (1988). Occupational Safety and Accident Prevention-
Behavioral Strategies and Methods. Elsevier, New York.

Hudson, P. (2007). Implementing a safety culture in a major multi-national. Safety


Science 45, 697–722.

Info Safety. (2009). Mengenal OHSAS 18001 dalam Penerapan SMK3.


http://programsafety.blogspot.com/2009/03/22.50.

Jatiputra, S. and Yovsyah. (1991). Metodologi Penelitian Kesehatan. Fakultas


Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Johnson, R.W. (2006). Chemical Reactivity Hazards-Instructional Module.CCPS,


AIChe. USA.

Johnson, R.W., Rudy, S.W and Unwin S.D. (2003). Essential Practice Managing
Chemical Reactivity Hazards, Center for Chemical Safety of the Institute of
Chemical Engineers, 3 Park Avenue, New York, NY 10016-5991.

Joseph, G. (2003). Recent reactive incidents and fundamental concept that can help
prevent them. Journal of Hazardous Materials 104, 65–73.

Kraus, L.J. and Grosskopf, J. (2008). Auditing Integrated Management Systems:


Considerations and Practice Tips. Published online in Wiley InterScience
(www.interscience.wiley.com). DOI: 10.1002/tqem.20202.

Kresno, S., Hadi, E.N., Wuryaningsih, C.E. and Ariawan, I. (2000). Aplikasi Metode
Kualitatif dalam Penelitian Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Depok.

Koller, G., Fischer, U. and Hungerbhler K. (2000). Assessing Safety, Health, and
Environmental Impact Early during Process Development. Ind. Eng. Chem. Res.,
2000, 39 (4), 960-972.

Laskova, A. & Tabas, M. (2008). Method for the Systematical Hazard Identification.
Published online 11 June 2008 in Wiley InterScience
(www.interscience.wiley.com). DOI 10.1002/prs.10265.

Legget, D. (2004). Chemical reactivity assessments in R&D. Journal of Hazardous


Materials 115, 63–70.

Leggett, D.J. (2006). Rapid Identification of Reactivity Hazards in a Multiuse Facility.


Published online 3 January 2006 in Wiley InterScience
(www.interscience.wiley.com). DOI 10.1002/prs.10119.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
235

Makin, A.M. & Winder, C. (2008). A new conceptual framework to improve the
applicationof occupational health and safety management systems. Journal of
Safety Science 46, 935-948.

Martin, E. (2006). Survey Questionnaire Construction. U. S. Census Bureau,


Washington D.C.

Medan Online. (2008). Penerapan K3 Sangat Buruk.


http://www.medanbisnisonline.com/2008/10/31.

Moder, K.P., Russo, J.P., Justiniano, F., Marshall, W.F., Mcghee, T.H., Stankovich,
R. and Frank W.L. (2007). Development of a Hazardous Material Compatibility
Storage Guideline and Tool. Published online 5 February 2007 in Wiley
InterScience (www.interscience.wiley.com). DOI 10.1002/prs.10186.

Moleong, L.J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT Remaja


Rosdakarya, Bandung.

Mullen, J. (2004). Investigating factors that influence individual safety behavior at


work. Journal of Safety Research 35, 275– 285.

Paul, P.S. & Maiti, J. (2007). The role of behavioral factors on safety Management in
underground mines. Safety Science 45, 449–471.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER.05/MEN/1996 tentang Sistem


Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

PP 74 tahun 2001. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Poerwandari, K. (2005). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia.


Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok.

Pojasek, R.B. (2006). Is Your Integrated Management System Really Integrated?.


Published online in Wiley InterScience (www.interscience.wiley.com). DOI:
10.1002/tqem.20124.

Ramli, S. (2004). Road Map Sistem Manajemen K3. INRESH Consulting. Jakarta.

Rasmussen, B. (1989). Chemical Process Hazard Identification. Reliability


Engineering and System Safety 24, 11-20.

Reason, J. (2000). Human Error: Model and Management. British Medical Journal,
320 : 768-770.

Reason, J. (1990). Human Error. Cambridge University Press. New York, USA.

Reason, J. (1997). Managing the Risk of Organization Accidents. Ashgate Publishing


Limted. England.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
236

Rosenstock, L., Cullen, M. and Fingerhut, M. (2004), Disease Control Priorities in


Developing Countries.
Roy, M. (2003). Self-directed workteams and safety: a winning combination?. Safety
Science 41, 359–376.

Rundmo, T. & Hale, A.R. (2003). Managers’ attitudes towards safety and accident
prevention. Safety Science 41, 557–574.

Safety Alert (October 1, 2001). Reactive Material, What You Need To Know,
Hazards. CCPS.

Saraf, S.R., Rogers, W.J. and Mannan, M.S. (2003). Prediction of reactive hazards
based on molecular structure. Journal of Hazardous Materials A98, 15–29.

Sarwono, J. (2006). Analsis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit C.V Andi
Offset. Jogyakarta.

Savic, S. (2001). Integrastion of Management System in Terms of Optimization of


Workplace Human Performance. FACTA Universities. Working and Living
Environmental Protection. Vol 2. N. 1, 2002, pp 27-38.

Shah, S., Fischer, U. and Hungerbu¨hler, K. (2005). Assessment of chemical process


hazards in early design stages. Journal of Loss Prevention in the Process
Industries 18, 335–352.

Shah, S., Fischer, U., and Hungerbu¨hler, K. (2005). Assessment of chemical process
hazards in early design stages. Journal of Loss Prevention in the Process
Industries, 18, 335–352.

Srinivasan, R. & Nhan, N.T. (2007). A statistical approach for evaluating inherent
benign-ness of chemical process routes in early design stages. Process safety and
environmental protection xxx, xxx–xxx.

Sugiyono, (2005). Statistika Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung


Syaaf, R. Z. (2008). Konsep dan Teori-Teori Perilaku dalam Bidang Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Theodore, S., Glickman, and Erkut, E. (2007). Assessment of hazardous material risks
for rail yard safety. Safety Science 45, 813–822.

U.S.Chemical Safety and Hazard Investigation Board. Reactive Explosion at First


Chemical Corp. Investigation Digest, Published October 2004.

U.S.Chemical Safety and Hazard Investigation Board. Refinary Explosion and Fire,
Investigation Report NO. 2005-04-I-TX, Maret 2007.

Wiegman, D.A and Shappell, S.A. (2003). A Human Error Approach to Aviation
Accident Analysis. Ashgate Publishing Limited. England.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011
237

Wikipedia. (2010). http://en.wikipedia.org/wiki/Standard_operating_procedure. May


07, 2010.

Winder, C. & Zarei, A. (2000). Incompatibilities of chemicals .Journal of Hazardous


Materials ,A79, 19–30.

WWW.osha.gov (2.19 p.m. 09/19/2007). OSHA Technical Manual (OTM). Section


5-Safety Hazards, Chapter 2-Petroleum Refining Proscess., US Department of
Labour.

Zar, J.H., (1999). Biostatical Analysis, 4th Edition. Department of Biological Sciences,
Northen Illionois University. Upper Saddle River, New Jersey 07458.

Zhou,Q., Fang,D. and Wang, X., (2007). A method to identify strategies for the
improvement of human safety behavior by considering safety climate and personal
experience. Safety Science xxx, xxx–xxx.

Universitas Indonesia
Kajian risiko..., Alfajri Ismail, FKMUI, 2011

Anda mungkin juga menyukai