041 - Putri Nur Fadila - Sinopsis

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 7

SINOPSIS PENELITIAN

JUDUL PENELITIAN :
1. HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN
PENYAKIT TUBERCULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MABELOPURA, KEC.PALU
SELATAN
2. ⁠Hubungan pengetahuan dan Peran ibu tentang pemberian Asi Eksklusif dengan
Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sangurara Kota Palu
3. ⁠HUBUNGAN ANTARA PERILAKU KESEHATAN DENGAN KEJADIAN DEMAM
BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS UPTD PUSKESMAS
BIROBULI KOTA PALU

Oleh :

Nama : Putri Nur Fadilah


NIM : P101 210 41

PRODI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS TADULAKO

2024
A. Judul
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP PERILAKU PENCEGAHAN
PENYAKIT TUBERCULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MABELOPURA,
KEC.PALU SELATAN

B. Latar Belakang

Sistem pernafasan dapat dipengaruhi oleh tuberkulosis (TB), suatu penyakit menular yang
disebarkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosisyang ditularkan melalui udara. Rasa tidak
nyaman di dada, sesak napas, demam, batuk berdarah, danbatuk lebih dari dua bulan
merupakan tanda-tanda penyakit tuberkulosis (TBC)(Sidik dkk, 2021).

Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan


global. Secara global kasus baru tuberkulosis sebesar 6,4 juta, setara dengan 64% dari insiden
tuberkulosis (10 juta). Tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab kematian tertinggi di dunia dan
kematian tuberkulosis secara global diperkirakan 1,3 juta pasien (WHO, Global Tuberculosis
Report, 2018). Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus TB Paru yang berada
di urutan ketiga terbesar dunia setelah India dan China. Kasus TB Paru di Indonesia mencapai
842.000. Sebanyak 442.000 pengidap TB Paru melapor dan sekitar 400.000 lainnya tidak
melapor atau tidak terdiagnosa. Penderita TB Paru tersebut terdiri atas 492.000 laki-laki, 349.000
perempuan, dan sekitar 49.000 diantaranya anak-anak. Tuberkulosis paru merupakan salah satu
penyakit infeksi yang prevalensinya paling tinggi di dunia. Indonesia saat ini berada pada rangking
kedua Negara dengan beban TB paru tertinggi di dunia setelah India (who, 2020).

Data yang diperoleh dari profil Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, menunjukkan angka
penemuan kasus tuberkulosis pada tahun 2019 yaitu 5.315 (52,07%), namun hal ini belum memenuhi
target angka penemuan kasus yaitu 80%. Kabupaten/Kota yang telah mencapai target penemuan kasus
TBC yaitu Banggai sebanyak 1.105 (89,8%) kasus dan Morowali 452 (117%) kasus. Angka
kesembuhan pengobatan TBC di Sulawesi Tengah terjadi penurunan, pada tahun 2015 sebesar
79,81%, pada tahun 2016 sebesar 79%, pada tahun 2017 sebesar 75% dan pada tahun 2018 sebesar
72%. Dengan demikian Sulawesi Tengah belum mencapai standar > 85, beberapa kendala yang
dihadapi yaitu keberhasilan pengobatan pada beberapa rumah sakit di Kab/Kota masih rendah karena
kasus pindah tidak ada keterangan baik hasil evaluasi pengobatan serta follow up kemajuan
pengobatan dengan pemeriksaan sputum belum dilakukan sesuai protap pada beberapa fasyankes,
serta masa pengobatan yang lama membuat pasien jenuh, adanya efek samping obat sehingga pasien
menghentikan pengobatan secara sepihak (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah., 2019).

Perilaku dan sikap masyarakat sangat berperan penting dalam rendahnya penemuan
kasus. Demi meningkatkan upaya-upaya pencegahan yang dilakukan maka dianggap perlu untuk
melakukan usaha-usaha seperti memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang
penyakit TB, bahaya-bahaya tentang penyakit TB serta cara penularannya. Pendidikan kesehatan ini
merupakan upaya untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok,
individu agar memperoleh pengetahuan kesehatan yang lebih baik dengan proses
memberikan penyuluhan dan pelatihan (Notoatmodjo, 2020).

Penting untuk memahami risiko penyebaran penyakit TB dirumah agar tidak menular
kepada anggota keluarga, sehingga perlu untuk ditekankan perlu adanya perilaku pencegahan dimulai
dengan pemberian imunisasi BCG, diagnosa dini TB jika ada gejala batuk menahun, pengobatan
paket secara teratur dan rutin hingga paket pengobatn selesai, perilaku batuk, buang sputum,
minum obat teratur sampai tuntas. Konstribusi yang diberikan oleh keluarga sangat berperan
penting dalam pencegahanpenyakit karena keluarga dapat memengaruhi pemilihan gaya hidup yang
dapat mencegah penyakit. Studi pendahuluan yang dilakukan penulis di Puskesmas
Mabelopura, Kec. Palu Selatan Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui penularan dan
penanganan tuberculosis Dari informasi tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
pendidikan kesehatan dalam pencegahan penularan penyakit tuberculosis paru.

C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Hubungan tingkat pengetahuan terhadap perilaku
pencegahan penyakit Tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas Mabelopura, Kecamatan Palu
Selatan

D. Metode
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei analitik, dengan desain
Cross Sectional. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Lokasi penelitian ini
dilakukan di wilayah kerja puskesmas Mabelopura, Kecamatan Palu Selatan

E. Daftar Pustaka

Dinas Kesehatan Kota Palu. (2019). Profil Penyakit Menular Tuberculosis


Notoatmodjo, S. (2018). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasinya: Edisi Revisi.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sidik, A. P., & Mayasari, N. (2021). Mendeteksi Penyakit Tuberkulosis dengan
Algoritma Bayes. JSI: Jurnal Sistem Informasi (E-Journal), 13(2), 2021.
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jsi/article/view/15541
WHO. (2020). Global Tuberculosis Report 2020. Geneva: World Health
Organization.
A. Judul Penelitian

Hubungan pengetahuan dan Peran ibu tentang pemberian Asi Eksklusif dengan Kejadian Stunting
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sangurara Kota Palu

B. Latar Belakang

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2016 dalam rahmadhita (2020), stunting
adalah masalah kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh asupanigizi yang tidak mencukupi
dari waktu ke waktu sebagai akibat dari pemberian makan yang tidak cukup gizi. Stunting bisa
dimulai saat janin masih dalam kandungan dan berlangsung hingga anak berusia dua tahun.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kejadian global stunting pada anak di bawah usia
lima tahun adalah 22,9% pada tahun 2016 (3). Menurut frekuensi stunting di Laos, Asia Tenggara,
yaitu sebesar 43,8%. Menurut Status Monitoring, prevalensi stunting padaibayi di bawah usia lima
tahun (balita) di Indonesia pada tahun 2015 adalah 36,4%. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari
sepertiga, atau sekitar 8,8 juta anak di bawahiusia lima tahun, mengalami kekurangan gizi di mana
tinggi badan mereka di bawah standar usia dan stunting melebihi 20% kriteria WHO. Indonesia
memiliki tingkat stunting tertinggi kedua di antara balita. Menurut Gizi (PSG) Tahun 2017, 26,6%
balita mengalami stunting. Statistik ini meliputi 9,8% dari kategori sangat pendek dan 19,8% dari
kategori pendek (Rahmadhita,2020)

Di Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2018 terdapat 32,5% balita yang mengalami stunting
(Riskesdas, 2018), sedangkan berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Palu tahun 2018
prevalensi stunting di Kota Palu sebesar 30,51%. Puskesmas Sangurara dalam dua tahun
berturut-turut angka prevalensi stuntingnya lebih tinggi dari hasil riset kesehatan dasar nasional
dan Provinsi Sulawesi Tengah. Untuk prevalensi stunting di wilayah kerja Puskesmas Sangurara
sebesar 33,56% dari 1308 balita ditimbang pada tahun 2019 dan pada tahun 2020 prevalensi
stunting sebesar 35,32% dari jumlah balita yang ditimbang sebesar 1.056 balita (Dinas Kesehatan
Kota Palu, 2020). Dari 5 kelurahan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Sangurara, Kelurahan
Duyu memiliki balita stunting paling tinggi yaitu 106 balita (Dinas Kesehatan Kota Palu, 2020).

Tanda-tanda stunting merupakan efek dari pertumbuhan yang lambat dan kekurangan asupan
makronutrien dan mikronutrien kronis atau akibat infeksi kronis.Tumbuh kembang anak
dipengaruhi oleh 3 faktor yakni pertama: individu, antara lain asupan gizi, berat badan saat lahir,
infeksi penyakit yang diderita, dan faktor lingkungan. Stunting disebabkan karena kurangnya
nutrisi dari berbagai makanan. Stunting juga bisa disebabkan karena mengonsumsi makanan yang
tidak sehat (seperti minuman berkarbonasi yang mengganggu metabolisme tulang). Faktor sosial
ekonomi lain yang memengaruhi kejadian stunting antara lain pengeluaran makanan, pendidikan,
pendapatan, dan pekerjaan orang tua. Dalam jangka pendek, kemungkinan dampak terburuk dari
masalah gizi anak adalah perkembangan otak, gangguan perkembangan intelektual dan fisik serta
gangguan proses metabolisme di dalam tubuh. Dalam jangka waktu yang panjang, kemungkinan
konsekuensi yang tidak diinginkan yaitu penurunan kapasitas kognitif dan kemampuan akademik,
daya tahan tubuh yang rendah, rentan penyakit, risiko tinggi diabetes, obesitas, kanker, penyakit
pembuluh darah dan jantung, stroke dan ketidakmampuan atau keterbatasan lanjut usia, serta kerja
yang tidak berkualitas dan berdaya saing yang menyebabkan menurunnya daya produksi ekonomi
(Kemenkes, 2021).

C. Tujuan

Untuk Hubungan pengetahuan dan Peran ibu tentang pemberian Asi Eksklusif dengan Kejadian
Stunting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sangurara Kota Palu

D. Metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif variabel independen
yaitu usia, jarak rumah dengan pelayanan kesehatan, jenis pekerjaan dan pernah melakukan
pemeriksaan USG.

E. Daftar Pustaka

Arafat.Hubungan Pengetahuan dan Pola Makan dengan Kejadian Stunting pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Sangurara Kota Palu.2020

Dinas Kesehatan Kota palu. (2020). Laporan Tahunan Stunting. Dinas Kesehatan Kota
Palu.Fikadu, T., Assegid, S., & Dube, L. (2014). Factors associated with stunting among children
of age 24 to 59 months in Meskan district, Gurage Zone, South Ethiopia: A case-control study.
BMCPublic Health, 14(1), 1–7. https://doi.org/10.1186/1471-2458-14-800

Dinas Kesehatan Kota palu. (2020). Laporan Tahunan Stunting. Dinas Kesehatan Kota Palu.

Rahmadhita K. Permasalahan Stunting dan Pencegahannya. J Ilm Kesehat Sandi Husada.


2020;9(1):225–9.
A.Judul

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU KESEHATAN DENGAN KEJADIAN DEMAM


BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS UPTD PUSKESMAS
BIROBULI KOTA PALU

B. Latar Belakang

Penyakit Demam Berdarah Dengue(DBD) atauDengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah


penyakit yang disebabkan oleh virusdengueyang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti dan Aedes Albopictus

Demam Berdarah Dengue(DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub tropis. Datadari
seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita Demam
Berdarah Dengue (DBD) setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun
2009, WorldHealth Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan
kasus Demam Berdarah Dengue(DBD) tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit Demam Berdarah
Dengue(DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakatyang utama di
Indonesia. Di Indonesia Demam Berdarah Dengue(DBD)pertama kali ditemukan di kota
Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya
meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %)

Kasus Demam Berdarah Dengue(DBD) ditemukan dan ditangani di Provinsi Sulawesi


Tengah tahun 2008-2015. Pada tahun 2008 yang ditemukan sekitar 1391 kasus, tahun 2009
yang ditemukan ada 952 kasus, tahun 2010 ada sekitar 2092 kasus, tahun 2011 ada 2037
kasus, tahun 2012 sekitar2265 kasus dan tahun 2013 sekitar 1778 kasus, tahun 2014 sekitar
1451 dan tahun 2015 sekitar1588 kasus.Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
kurangnya Peran Serta Masyarakat (PSM) dalam pengendalian Demam Berdarah
Dengue(DBD) terutama pada kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masih kurang karena masih terlihat sampah-sampah dan ban-ban
bekas yang menjadi tempat perindukan nyamuk Demam Berdarah Dengue(DBD) dan adanya
perubahan iklim yang terjadi Sulawesi Tengah khususnya di Kota Palu, dimana terjadi pola
musim hujan yangtidak beraturan, disela musim panas sering terjadi hujan lokal dan hujan sesaat
yang memberi peluang bagi berkembangnya vektor penyebab Demam Berdarah Dengue(DBD).

Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kota Palu, kasus DBD pada UPTD. Puskesmas
Birobuli Kota Palu terdapat 53 kasus dan baru-baru ini dari hasil observasi ada satu orang
yang meninggal. Sedangkan di tahun 2019 ada 46 kasus yang tercatat di UPTD Puskemas
Birobuli, di tahun 2020 berdasarkan informasi (data) yang diambil bahwa jumlah kasus berkurang
menjadi 31 kasus DBD

C. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetatuhi Hubungan antara perilaku kesehatan dengan
kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah kerja UPTD puskesmas Birobuli kota Palu

D. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan survei analitik, dengan
desain Cross Sectional. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan wawancara terstruktur
E. Daftar Pustaka

Dinkes. 2020. p. 1–4.

Putra,dkk. PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANG TUA TERHADAP KEJADIAN


PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) ANAK DI PUSKESMAS KAMONJI KOTA
PALU.2021

Anda mungkin juga menyukai