Sosiologi Sastra Yewah Aneh
Sosiologi Sastra Yewah Aneh
Sosiologi Sastra Yewah Aneh
Sementara itu Sastra adalah alat yang berfungsi untuk mendidik, atau memberikan
pengetahuan pada pembacanya (Teewu, 2013) ada juga pengertian yang lebih mendalam
ialah, Ideologi dalam Karya sastra menurut Marx merupakan kesadaran, keyakinan, ide, dan
gagasan yang dipercaya masyarakat yang berkaitan bentuk aktivitas material masyarakat. Di
sinilah karya sastra kemudian ditempatkan sebagai sistem produksi ideologi suatu kelas
tertentu. Namun dengan melihat sastra sebagai artefak yang dideterminasi oleh aktivitas
material, maka sebelum melihat sastra sebagai produksi ideologi, sastra sebenarnya adalah
refresentasi ideologi kellas sosial pengarang sebagai anggota masyarakat (Lihat, Kurniawan,
2011:44-46) .
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata sastra tidak lagi
digunakan sebagai kata yang berfungsi untuk menandai berbagai objek atau benda yang
berbentu atau bersifat buku dan tulisan atau abjad secara umum, tetapi digunakan untuk
merujuk atau menandai pada sebuah objek atau benda yang di dalamnya terdapat
manifesting kebahasaan (seperti kata-kata, gaya bahasa) yang bukan bahasa sehari-hari.
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik benang merah untuk mengaitkan
sosiologi dan sastra, Sosiologi Sastra adalah pendekatan yang menitikberatkan pada
hubungan karya sastra dengan nilai nilai sosial yang berlaku pada pengarang dan pembaca
(Muzzaka dalam Damono, 2010). Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989 :
85), sosiologi sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat
dari atau mengenai sastra karya para kritikus dan sejarahwan yang terutama
mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia
berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekomoni serta khalayak yang ditujunya.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan
karya sastra dan segi-segi sosial.
Dalam novel ini beberapa konflik perbedaan kelas sosial bisa dilihat dari penggalan
dialog maupun narasi yang ada pada awal dan tengah bagian novel.
“Bayaranmu sesuai dengan tingkat risiko, Dan ini perintah!” Dokter Ravesteyn tak
mampu lagi mengajukan bantahan. Dia seorang dokter di tanah jajahan. Mau tak
mau harus tunduk pada perintah atasan yang lebih berkuasa, bukan pada sumpah
profesi yang diembannya. (hal. 6)
Pada dialog dan narasi sudah sangat jelas tergambar bahwa kelas sosial pada masa itu sangat
terpandang. Perbedaan kelas sosial membuat kaum borjuis seenaknya dan tak punya hati
pada kaum bawah atau kaum proletal. Terlihat di mana seorang dokter bisa melanggar
sumpah dokternya dengan satu perintah dari sang penguasa.
“Aku ingin hidup selamanya, bersama rakyat dan kaumku yang ditindas oleh
keangkuhan dan kelicikan” (hal. 12)
Dari dialog di atas, tergambar jelas bagaimana kejam dan jahatnya sistem perbedaan kelas
sosial pada masa itu. Rakyat kecil hanya memiliki dua pilihan, yakni hidup di bawah tekanan
atau mati.
“Bukan Yu! Itu Ibu kita! Ibuku! Bukan babu!” (hal. 33)
Dilihat dari penggalan dialog di atas, bahkan dalam keluarga juga menganut perbedaan kelas
sosial. Di mana istri pertama yang bukan dari keluarga bangsawan harus menjadi pembantu
ketika sang suami telah menemukan keluarga bangsawan untuk menjadi istri barunya. Tak
pandang bulu, masa itu semua digantungkan pada kelas sosial seseorang.
Benarkah suatu aturan dibuat untuk kebaikan?, bagaimana jika hanya menimbulkan
kesakitan dan penderitaan? Sungguh aturan yang aneh dan tak manusiawi. Tak
rasional dan ahistoris! (hal. 36)
Dalam penggalan narasi itu, terlihat jelas menggambaran aturan-aturan yang tak sepatutnya
digunakan. Dan tentu menjadi aturan yang berat sebelah, hanya memberatkan pada kaum
bawah atau kaum pekerja.
Terlihat pula bagaimana peraturan perbedaan kelas sosial itu tak memandang gender untuk
dipekerjakan. Bagaimana perempuan zaman itu melahirkan diusia belia dan harus bekerja
untuk sekedar memberi anaknya makan tanpa dirinya ikut makan. Betapa kejam pemerintah
yang digambarkan dalam novel ini.
“setelah lulus E.L.S, kamu akan masuk pingitan, Ni. Kamu baru bisa keluar rumah
saat ada surat lamaran dari putra bangsawan”
Sejatinya ia tengah berfikir, lagi lagi karena aturan yang entah atas nama apa.
Aturan yang justru membuat pelaksananya tak bahagia. Aturan yang telah
mengebiri kemerdekaan manusia untuk ajdi manusia. (hal. 62)
Pada penggalan narasi di atas, aturan tak masuk akal lagi lagi digambarkan jelas di sini.
Dijelaskan bahwa seorang wanita yang tidak boleh berpendidikan tinggi dan harus berdiam
di rumah sampai ada yang ingin meminangnya. Hal itu tentu bukan lagi perbedaan kelas
sosial namun lebih pada tak adanya kesetaraan gender pada masa itu.
Dapat dibayang betapa dikekangnya seorang perempuan pada masa itu, perempuan yang tak
memiliki pilihan hidup lain selain yang sudah ditentukan keluarga. Seperti pada dialog diatas,
bahkan banyak dari para perempuan merasa salah untuk lahir sebagai seorang perempuan.
“Lihatlah, Kangmas. Masa pingitan ini menegaskan bahwa gerak kami sudah dijajah
sejak dalam berpakaian”
Apa sebenarnya yang diinginkan oleh aturan jahat ini? Jika payudara perempuan
tidak boleh terlihat menonjol, bukankah kami sudah menutupinya dengan pakaian
dua lapis? Bagaimana memaksa yang menonjol menjadi rata? Mengapa tidak
dipotong saja. (hal. 67)
Bahkan dalam berpakaian, seorang wanita benar benar diatur dengan aturan jahat dan
konyol. Tentu tidak ada keadilan gender pada masa ini, novel ini juga menggambarkan krisis
kesetaraan gender pada masa ini.
Kartini menggambarkan bahwa pada masa ini, perempuan diibaratkan sapi/hewan yang
dipaksa gemuk, melahirkan, dan menyusui seperti hewan ternak. Sangat banyak aturan
untuk hidup sebagai perempuan pada masa itu. Dalam novel ini juga menggambarkan
bagaimana seorang perempuan tidak diberikan hak berbicara untuk melawan atau bahkan
sekedar mengaduh kesakitan.
Aku tidak akan menikah. Aku akan buktikan aku bisa jadi diriku sendiri. Aku bisa
berdaya tanpa laki-laki. (hal. 90)
Pada narasi di atas menggambarkan perlawanan yang ingin dilakukan Kartini. Perlawanan
pada semua aturan keji dan tak manusiawi yang dibuat tanpa hati entah atas dasar apa dan
atas nama siapa. Kartini juga ingin membuktikan, bahwa semua gender bisa berdaya dan
berjaya sendiri. Tanpa pandang perempuan atau laki-laki.
“Aku tidak mau seperti itu Kangmas. Karena hanya orang bodoh dan lemah saja
yang tetap tersenyum saat ditindas dan dianiaya sedemikian keji. Jadi aku akan
melawan! Kalau benar itu takdir, mungkin aku perempuan pertama yang
melanggarnya” ucap Kartini. (hal. 91)
Sama seperti narasi sebelumnya, pada dialog ini juga menggambarkan bagaimana Kartini
melakukan perlawan pada aturan yang dikatakan sebagai takdir itu. Bagaimana seorang
Kartini ingin terlepas dari jerat aturan-aturan yang tak manusiawi.