Sosiologi Sastra Yewah Aneh

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 5

Analisis Penyimpangan Kelas Sosial dan Kesetaraan Gender pada Novel

“Kartini” Karya Abidah El Khalieqi


a. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi berasal dari dua kata dasar, yakni socius dari bahasa latin yang berarti
teman atau sesama dan logos dari bahasa Yunani yang berarti ilmu (Abbercombie, 1984:232)
sedangkan menurut Email Durkheim Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari fakta-fakta
sosial atau kenyataan yang berisikan cara bertindak, cara berpikir dan cara merasakan
sesuatu.

Sementara itu Sastra adalah alat yang berfungsi untuk mendidik, atau memberikan
pengetahuan pada pembacanya (Teewu, 2013) ada juga pengertian yang lebih mendalam
ialah, Ideologi dalam Karya sastra menurut Marx merupakan kesadaran, keyakinan, ide, dan
gagasan yang dipercaya masyarakat yang berkaitan bentuk aktivitas material masyarakat. Di
sinilah karya sastra kemudian ditempatkan sebagai sistem produksi ideologi suatu kelas
tertentu. Namun dengan melihat sastra sebagai artefak yang dideterminasi oleh aktivitas
material, maka sebelum melihat sastra sebagai produksi ideologi, sastra sebenarnya adalah
refresentasi ideologi kellas sosial pengarang sebagai anggota masyarakat (Lihat, Kurniawan,
2011:44-46) .

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata sastra tidak lagi
digunakan sebagai kata yang berfungsi untuk menandai berbagai objek atau benda yang
berbentu atau bersifat buku dan tulisan atau abjad secara umum, tetapi digunakan untuk
merujuk atau menandai pada sebuah objek atau benda yang di dalamnya terdapat
manifesting kebahasaan (seperti kata-kata, gaya bahasa) yang bukan bahasa sehari-hari.

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik benang merah untuk mengaitkan
sosiologi dan sastra, Sosiologi Sastra adalah pendekatan yang menitikberatkan pada
hubungan karya sastra dengan nilai nilai sosial yang berlaku pada pengarang dan pembaca
(Muzzaka dalam Damono, 2010). Sedangkan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989 :
85), sosiologi sastra merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat
dari atau mengenai sastra karya para kritikus dan sejarahwan yang terutama
mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia
berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekomoni serta khalayak yang ditujunya.
Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan
karya sastra dan segi-segi sosial.

Dengan berbagai pengertian dan kesimpulan di atas, saya dapat mengartikan,


Sosiologi sastra adalah suatu pendekatan dalam menganalisis karya sastra yang melihat karya
sastra dari luar karya sastra itu, atau dapat dikatakan bahwa Sosiologi sastra menganalisis
nilai sosial dalam karya sastra tertentu.

b. Garis besar cerita novel “Kartini” karya Abidah El Khalieqi


Pada Sosiologi Sastra mempelajari dua teori yakni teori Marxisme dan teori
Positivisme, banyak karya sastra yang dapat dianalisis dengan dua teori itu, terutama novel.
Novel sangat bisa jika dianalisis dengan pendekatan Sosiologi Sastra, baik Marxisme ataupun
Positivisme.
Salah satunya Novel “Kartini” karya Abidah El Khalieqi merupakan novel perjuangan
pahlawan perempuan Indonesia, banyak hal yang dapat diambil dan dipelajari dari novel ini.
Banyak juga ungkapan ungkapan motivasi dari RA. Kartini yang dapat menyemangati.
Meskipun ini adalah novel dengan latar belakang tahun 90-an, namun novel ini masih cocok
untuk dibaca anak anak muda. Karena kata-kata yang digunakan juga tidak terlalu berat dan
mudah dimengerti.
Novel ini dengan jelas menggambarkan viasulisasi era sebelum merdeka yang di
mana Indonesia masih dikuasai oleh kaum Londho (Belanda). Kesan Kaum Borjuis dan
Proletal kental terlihat dalam kisah novel “Kartini” ini, kelas sosial juga banyak dibahas. Tak
hanya itu, Novel ini banyak mengangkat kasus-kasus yang terjadi pada zaman Hindia –
Belanda pada tahun 90-an.
Bila dilihat dari garis besar cerita, novel ini bercerita tentang masa kecil hingga tua
RA. Kartini, konflik-konflik yang ada pada era Hindia-Belanda. Pada novel ini juga melukiskan
bagaimana hidup kerajaan di bagian Jawa, bagaimana keras dan disiplinnya kehidupaan pada
saat itu. Perjuangan Kartini dengan orang Belanda bahkan dengan keluarganya sendiri.
Novel ini juga menceritakan bagaimana sosok RA. Kartini yang berani melantangkan
sumpah menentang ikatan pernikahan? Menabrak akar tradisi, ia juga memiliki perspektif
tentang dunia yang begitu jauh. Meradang tentang ketidakadilan zamannya, pembrontakan
sang putri pingitan bak moncong senjata, yang bahkan mengentak kesadaran seorang Ratu
Wilhelmina.
Buku ini juga memberi banyak inspirasi, memahami Kartini berarti menyelami
perasaan akan nasib Ngasirah yang terusir dari rumah utama. Menyelami pedihnya harus
memanggil ibu kandungnya dengan sebutan Yu, layaknya pada pembantu. Menghayati
lukanya menyaksikan Kardinah, adik kandungnya, menderita akibat dijadikan istri kedua;
melihat kepedihan perempuan yang seolah menjadi-jadi usai pernikahnnya. Sementara disisi
lain Kartini harus pula menghadapi para politisi busuk yang menikungya dengan berbagai
tindakan brutal.
Kartini tentu tak tinggal diam dengan semua perlakuan dan peraturan itu, ia
mencoba dengan gigih untuk melakukan perlawanan pada aturan-aturan tak manusiawi itu.
Kartini ingin semua orang bisa merasakan hidup layak seperti manusia seutuhnya tnapa
ditekan siapapun. Semua Kartini lakukan untuk kesataraan gender yang ia idam-idamkan,
untuk hidup aman, damai, dan bahagia seperti yang didambakan.
Dengan kegigihannya dalam perlawanan tentang kekangan dan aturan konyol pada
masa itu, Kartini menjadi mimpi buruk bagi kaum-kaum atas atau borjuis Belanda yang
membuat peraturan tak manusiawi itu. Hal itu membuat mereka gencar menghalalkan
secagala acara untuk menghancurkan Kartini. Puncaknya ketika Kartini diracuni saat baru 4
hari melahirkan anak laki-lakinya. Kartini pergi meninggalkan suami dan bayi berusia 4 tahun
yang menjadi anugerahnya.
Sungguh sebuah hidup yang penuh, bahkan ketika pada akhirnya Kartini menemukan
satu-satunya yang ia kehendaki “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu
Hamba Allah.”
Maka dari itu, novel ini cocok untuk dianalisis dengan pendekatan Teori Maxisme
karena pada novel ini jelas menggambarkan kelas sosial yang dimaksudkan pada teori
Maxisme yakni kelas Sosial Borjuis dan Proletar. Pada Novel ini juga banyak menjelaskan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan Komunis, Feodalis, dan Kapitalis. Sehingga sangat
cocok novel ini jika dikaji dengan teori Marxisme.
Karena penggambaran novel ini adalah tahun 90-an, tentu novel ini banyak
mengupas tentang masalah dan kasus yang terjadi pada tahun di mana Indonesia masih
dikuasai oleh bangsa Belanda. Tokoh tokoh pada novel ini juga nampak sangat bagus
penggambaran orang Belanda sebagai kaum atas dan penduduk pribumi sebagai kaum
tertindas atau kaum bawah.

c. Analisis novel dengan salah satu teori sosiologi sastra


Teori marxisme merupakan salah satu teori yang ada di pendekatan sosiologi sastra.
Teori ini dipopulerkan oleh Karl Marx yang menganggap manusia itu serakah. Marxisme
membahas tentang perkembangan masyarakat dari segi ekomoni yang Komunis – Feodalis –
Kapitalis – kembali lagi ke Komunis. Dengan kemunculan teori ini berdampak atau
berpengaruh pada ekonomi masyarakat.
Karl Marx juga menjelaskan bahwa dalam Teori Marxisme terdapat 2 kelas sosial
yakni Borjuis dan Proletal. Borjuis adalah kaum yang berada di atas atau kaum yang memiliki
modal dan alat produksi sedangkah Proletal adalah kaum bawah atau kaum yang bekerja
pada kaum Borjuis untuk kelangsungan hidupnya.
Pendekatan Marximse ini dapat dilihat dari dua hal yang ada pada suatu karya sastra.
Yakni, pertama dilihat dari pembagian kelasanya dan dipertimbangkan dengan ekonominya
serta yang kedua adalah dilihat seperti apa penyimpangan Komunis, Kapitalis, dan Feodalis
dalam suatu karya sastra.
Pada novel ini akan dianalisis beberapa pendekatan yang sesuai dengan teori
marxisme, yakni perbedaan kelas sosial, ketidaksetaraan gender, dan penyimpangan
Komunis, Kapitalis, dan Feodalis. Tiga hal ini sangat kental kaitannya dengan marxisme dan
tiga hal ini juga berkaitan erat dengan konflik yang ada dalam novel “Kartini’.

Dalam novel ini beberapa konflik perbedaan kelas sosial bisa dilihat dari penggalan
dialog maupun narasi yang ada pada awal dan tengah bagian novel.

“Bayaranmu sesuai dengan tingkat risiko, Dan ini perintah!” Dokter Ravesteyn tak
mampu lagi mengajukan bantahan. Dia seorang dokter di tanah jajahan. Mau tak
mau harus tunduk pada perintah atasan yang lebih berkuasa, bukan pada sumpah
profesi yang diembannya. (hal. 6)

Pada dialog dan narasi sudah sangat jelas tergambar bahwa kelas sosial pada masa itu sangat
terpandang. Perbedaan kelas sosial membuat kaum borjuis seenaknya dan tak punya hati
pada kaum bawah atau kaum proletal. Terlihat di mana seorang dokter bisa melanggar
sumpah dokternya dengan satu perintah dari sang penguasa.

“Aku ingin hidup selamanya, bersama rakyat dan kaumku yang ditindas oleh
keangkuhan dan kelicikan” (hal. 12)

Dari dialog di atas, tergambar jelas bagaimana kejam dan jahatnya sistem perbedaan kelas
sosial pada masa itu. Rakyat kecil hanya memiliki dua pilihan, yakni hidup di bawah tekanan
atau mati.

“kamarmu itu di dalam, bukan di kamar Yu Ngasirah!”

“Bukan Yu! Itu Ibu kita! Ibuku! Bukan babu!” (hal. 33)

Dilihat dari penggalan dialog di atas, bahkan dalam keluarga juga menganut perbedaan kelas
sosial. Di mana istri pertama yang bukan dari keluarga bangsawan harus menjadi pembantu
ketika sang suami telah menemukan keluarga bangsawan untuk menjadi istri barunya. Tak
pandang bulu, masa itu semua digantungkan pada kelas sosial seseorang.

Benarkah suatu aturan dibuat untuk kebaikan?, bagaimana jika hanya menimbulkan
kesakitan dan penderitaan? Sungguh aturan yang aneh dan tak manusiawi. Tak
rasional dan ahistoris! (hal. 36)

Dalam penggalan narasi itu, terlihat jelas menggambaran aturan-aturan yang tak sepatutnya
digunakan. Dan tentu menjadi aturan yang berat sebelah, hanya memberatkan pada kaum
bawah atau kaum pekerja.

Terlihat perempuan-perempuan muda yang menggendong anaknya sembari


membawa tangguk berisi rumput di punggung mereka. (hal. 52)

Terlihat pula bagaimana peraturan perbedaan kelas sosial itu tak memandang gender untuk
dipekerjakan. Bagaimana perempuan zaman itu melahirkan diusia belia dan harus bekerja
untuk sekedar memberi anaknya makan tanpa dirinya ikut makan. Betapa kejam pemerintah
yang digambarkan dalam novel ini.

“setelah lulus E.L.S, kamu akan masuk pingitan, Ni. Kamu baru bisa keluar rumah
saat ada surat lamaran dari putra bangsawan”

Sejatinya ia tengah berfikir, lagi lagi karena aturan yang entah atas nama apa.
Aturan yang justru membuat pelaksananya tak bahagia. Aturan yang telah
mengebiri kemerdekaan manusia untuk ajdi manusia. (hal. 62)

Pada penggalan narasi di atas, aturan tak masuk akal lagi lagi digambarkan jelas di sini.
Dijelaskan bahwa seorang wanita yang tidak boleh berpendidikan tinggi dan harus berdiam
di rumah sampai ada yang ingin meminangnya. Hal itu tentu bukan lagi perbedaan kelas
sosial namun lebih pada tak adanya kesetaraan gender pada masa itu.

“kamu tahu salahku apa, Kangmas?” Tanya Kartini

“Karena aku terlahir sebagai perempuan” Tambahnya. (hal. 65)

Dapat dibayang betapa dikekangnya seorang perempuan pada masa itu, perempuan yang tak
memiliki pilihan hidup lain selain yang sudah ditentukan keluarga. Seperti pada dialog diatas,
bahkan banyak dari para perempuan merasa salah untuk lahir sebagai seorang perempuan.

“Lihatlah, Kangmas. Masa pingitan ini menegaskan bahwa gerak kami sudah dijajah
sejak dalam berpakaian”

Apa sebenarnya yang diinginkan oleh aturan jahat ini? Jika payudara perempuan
tidak boleh terlihat menonjol, bukankah kami sudah menutupinya dengan pakaian
dua lapis? Bagaimana memaksa yang menonjol menjadi rata? Mengapa tidak
dipotong saja. (hal. 67)

Bahkan dalam berpakaian, seorang wanita benar benar diatur dengan aturan jahat dan
konyol. Tentu tidak ada keadilan gender pada masa ini, novel ini juga menggambarkan krisis
kesetaraan gender pada masa ini.

“Tatanan seperti apa ini, Kangmas?” Tanya Kartini.


“Tatanan yang membuat perempuan seperti sapi yang dipaksa gemuk dan tak
pernah tau siapa yang akan menyembelihnya” Lanjutnya. (hal. 73)

Kartini menggambarkan bahwa pada masa ini, perempuan diibaratkan sapi/hewan yang
dipaksa gemuk, melahirkan, dan menyusui seperti hewan ternak. Sangat banyak aturan
untuk hidup sebagai perempuan pada masa itu. Dalam novel ini juga menggambarkan
bagaimana seorang perempuan tidak diberikan hak berbicara untuk melawan atau bahkan
sekedar mengaduh kesakitan.

Aku tidak akan menikah. Aku akan buktikan aku bisa jadi diriku sendiri. Aku bisa
berdaya tanpa laki-laki. (hal. 90)

Pada narasi di atas menggambarkan perlawanan yang ingin dilakukan Kartini. Perlawanan
pada semua aturan keji dan tak manusiawi yang dibuat tanpa hati entah atas dasar apa dan
atas nama siapa. Kartini juga ingin membuktikan, bahwa semua gender bisa berdaya dan
berjaya sendiri. Tanpa pandang perempuan atau laki-laki.

“Aku tidak mau seperti itu Kangmas. Karena hanya orang bodoh dan lemah saja
yang tetap tersenyum saat ditindas dan dianiaya sedemikian keji. Jadi aku akan
melawan! Kalau benar itu takdir, mungkin aku perempuan pertama yang
melanggarnya” ucap Kartini. (hal. 91)

Sama seperti narasi sebelumnya, pada dialog ini juga menggambarkan bagaimana Kartini
melakukan perlawan pada aturan yang dikatakan sebagai takdir itu. Bagaimana seorang
Kartini ingin terlepas dari jerat aturan-aturan yang tak manusiawi.

Anda mungkin juga menyukai