0% found this document useful (0 votes)
278 views

Skripsi Kusta

This document is a thesis written by Siti Zahnia from the Faculty of Medicine, University of Lampung in 2017. The thesis examines the internal factors associated with successful treatment of Morbus Hansen (leprosy) patients in Bandar Lampung. It analyzes data from 42 leprosy patients undergoing treatment at community health centers in Bandar Lampung. The results show that successful treatment is associated with younger age, female gender, higher education, not working, medication adherence, good knowledge about leprosy, and good socioeconomic status. Statistical analysis found that age, knowledge, and socioeconomic status significantly influence treatment success, while gender, education, and employment do not.
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
278 views

Skripsi Kusta

This document is a thesis written by Siti Zahnia from the Faculty of Medicine, University of Lampung in 2017. The thesis examines the internal factors associated with successful treatment of Morbus Hansen (leprosy) patients in Bandar Lampung. It analyzes data from 42 leprosy patients undergoing treatment at community health centers in Bandar Lampung. The results show that successful treatment is associated with younger age, female gender, higher education, not working, medication adherence, good knowledge about leprosy, and good socioeconomic status. Statistical analysis found that age, knowledge, and socioeconomic status significantly influence treatment success, while gender, education, and employment do not.
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 61

FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG BERPERAN DALAM

KEBERHASILAN TERAPI PASIEN TERHADAP PENYAKIT MORBUS


HANSEN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh
SITI ZAHNIA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG BERPERAN DALAM
KEBERHASILAN TERAPI PASIEN TERHADAP PENYAKIT MORBUS
HANSEN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh
SITI ZAHNIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ABSTRACT

INTERNAL FACTORS THAT PLAY A ROLE UPON THE SUCCESSFUL


THERAPY OF MORBUS HANSEN DISEASE'S PATIENTS
IN BANDAR LAMPUNG

By

SITI ZAHNIA

Background: Morbus Hansen (MH) is a chronic infectious disease caused by


Mycobacterium leprae. Morbus Hansen's disease is a national public health problem in
Indonesia. The cure rate in Lampung in 2014 is about 83.3% for PB and 60.1% for MB.
The cure rate has not yet reached the target release from treatment, which is >90%. Low
achievement of MH cure rate can be caused by patients who’re not regularly taking the
medication. The lack of MH cure rate can be caused by several factors, including
irregular patients taking the drugs, less potential of drugs, irregular drug storage, drug
resistance and patients forget to take medication.
Objectives: This study aimed to determine the internal factors that associated with
therapy success of Morbus Hansen's disease in Bandar Lampung
Method: This study is an observational study with cross sectional design. The sample in
this study is MH patients who take medication to Puskesmas in Bandar Lampung region,
about 42 patients. Bivariate data analysis using chi-square test.
Results: The results analysis showed that out of 42 respondents, the success of MH
therapy is bigger on the child's age, female gender, higher education, not working,
medication adherence, good knowledge and good socio-economic. From the bivariate
analysis, it’s known that there is influence of age (p=0,017), knowledge (p=0,030) and
socio-economic on the successful of therapy (p=0.002), while gender, education and
employment do not affect the success of the therapy (p = 0.190; p = 0.064; p = 0.355).
Conclusion: The internal factors that associated to the successful treatment of patients
against Morbus Hansen's disease is age, knowledge and socio-economic.

Keywords: Morbus Hansen, Therapeutic success


ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG BERPERAN DALAM


KEBERHASILAN TERAPI PASIEN TERHADAP PENYAKIT MORBUS
HANSEN DI KOTA BANDAR LAMPUNG

Oleh

SITI ZAHNIA

Latar Belakang: Morbus Hansen (MH) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit Morbus Hansen merupakan masalah
nasional kesehatan masyarakat di Indonesia. Angka kesembuhan di Lampung pada tahun
2014 untuk PB sebesar 83,3% dan MB sebesar 60,1%. Angka kesembuhan ini belum
mencapai target release from treatment, yaitu >90%. Rendahnya pencapaian angka
kesembuhan MH dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penderita tidak
teratur minum obat, potensi obat kurang, penyimpanan obat tidak teratur, adanya
resistensi obat dan penderita lupa minum obat.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor internal yang
berhubungan dengan keberhasilan terapi penyakit Morbus Hansen di Bandar Lampung.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional desain cross sectional.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien MH yang melakukan pengobatan ke
Puskesmas di wilayah Kota Bandar Lampung, sebanyak 42 orang. Analisis data bivariat
menggunakan uji chi-square.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 42 responden, keberhasilan terapi MH
lebih besar pada usia anak, jenis kelamin perempuan, pendidikan tinggi, tidak bekerja,
pengetahun baik dan sosio-ekonomi baik. Dari analisis bivariat diketahui bahwa terdapat
hubungan usia (p=0,017), pengetahuan (p=0,030) dan sosio-ekonomi (p=0,002) terhadap
keberhasilan terapi sedangkan jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap keberhasilan terapi (p=0,190; p=0,064; p=0,355).
Kesimpulan: Faktor-faktor internal yang berhubungan dengan keberhasilan terapi pasien
Morbus Hansen adalah usia, pengetahuan dan sosio-ekonomi.

Kata kunci: Keberhasilan terapi, Morbus Hansen.


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Metro, Lampung pada tanggal 31 Oktober 1995,

sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Bapak Supandi dan Ibu

Renggogeni.

Pedidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Aisyiyah Bustanul

Athfal I Metro Pusat pada tahun 2001, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD

Muhammadiyah Kota Metro pada tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama (SMP)

diselesaikan di SMP Negeri 9 Kota Metro pada tahun 2010, dan Sekolah

Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 2 Kota Metro pada tahun

2013.

Tahun 2013, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi

Negeri (SBMPTN). Selama menjadi mahasiswa, Penulis pernah aktif pada

organisasi Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina FK Unila.


Karya Sederhana ini merupakan
sebagian peluh dan derai keringat
yang kupersembahkan untuk:

Kedua Orang Tua Ku…


Bapak H. Supandi, Mama Hj.
Renggogeni yang telah merawat, mendidik,
menjaga, mendukung, memotivasi, memberi kasih
sayang dan mengorbankan segalanya untukku..

Adikku…
Aulia Putri yang selalu memberi
dukungan, do’a dan selalu ada untukku..
SANWACANA

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT, Allah yang Maha Pengasih, Allah yang Maha

Penyayang, yang tiada habis memberikan kepada kita kasih dan sayang-Nya,

nikmat dan karunia-Nya, seingga penelitian ini dapat saya selesaikan. Shalawat

dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebaik-baik

manusia di muka bumi dengan keteladanan yang abadi hingga kini.

Alhamdulillah atas kehendak dan pertolongan Allah SWT, akhirnya penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor – Faktor Internal yang

Berperan dalam Keberhasilan Terapi Pasien Terhadap Penyakit Morbus Hansen

di Kota Bandar Lampung” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Penulis meyakini penelitian skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan

bantuan dari banyak kalangan. Maka dengan ini penulis sampaikan ucapan terima

kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas

Lampung;

2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked, M.Kes, Sp.PA, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung;


3. dr. Tri Umiana Soleha, S.Ked., M.Kes, selaku Pembimbing Utama atas

waktu dan kesediaannya untuk memberikan ilmu, bimbingan, saran, dan

kritik yang membangun dalam proses serta penyelesaian skripsi ini;

4. dr. Ety Apriliana, S.Ked., M.Biomed, selaku Pembimbing Pendamping

atas waktu dan kesediaannya untuk memberikan ilmu, bimbingan, saran,

dan kritik yang membangun dalam proses serta penyelesaian skripsi ini;

5. dr. Susianti, S.Ked., M. Sc, selaku Penguji Utama atas waktu, ilmu,

bimbingan, saran, dan kritik yang membangun yang telah diberikan;

6. dr. T.A. Larasati, S.Ked, M.Kes, selaku Pembimbing Akademik dari

semester awal hingga akhir di Fakultas Kedokteran yang telah meluangkan

waktu diantara kesibukannya;

7. Bapak Supandi dan Ibu Renggogeni, kedua orang tua penulis yang selalu

menyelipkan nama penulis di setiap doa mereka, yang selalu memberikan

restu dan ridha di setiap keputusan yang penulis ambil, kasih sayang dan

dukungan yang tak pernah putus, serta semangat dan motivasi yang tak

pernah habis sehingga penulis dapat melewati seluruh proses pembelajaran

dan penyelesaian skripsi ini, semoga kelak penulis bisa menjadi salah satu

sumber kebahagiaan mama papa di dunia dan di akhirat;

8. Adik Aulia Putri, sebagai saudara penulis. Terima kasih atas do’a,

dukungan, semangat, dan kebahagiaan yang senantiasa muncul saat

bersama yang menjadi motivasi bagi penulis, semoga kita dapat

berkumpul lagi di surga-Nya;


9. Seluruh staf pengajar Program Studi Pendidikan Dokter Unila atas ilmu

yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang

menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;

10. Seluruh Staf Tata Usaha, Akademik, pegawai, dan karyawan FK Unila;

Mbak Lisa, Mbak Iin, Mbak Qori, Mbak Ida, Mas Seno, Pak Pangat dan

civitas akademik lainnya yang telah memberikan doa, semangat, motivasi,

dan nasihat selama pembelajaran di FK Unila;

11. Nenek dan Kakek ku tercinta, Marzualnis dan Irman Rahman, yang tidak

henti-hentinya memberikan doa, bantuan, dukungan, kasih sayang.

Semoga Allah selalu melindungi dan memberikan ladang pahala di akhirat

kelak;

12. Tante ku Yolmi Satri dan Putri Reno Mila, yang telah menemani,

merawat, dan memberikan doa serta bantuan dalam menjalani masa

orientasi di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.. Semoga Allah

selalu melindungi dan menjadikan ladang pahala di akhirat kelak;

13. Sunardi, kakak, sahabat terbaik yang tidak henti-hentinya memberikan

semangat, doa, dukungan dan bantuan;

14. Sahabat Seperjuangan saya Kandita Mahran Nisa dan Glenys Yulanda

yang saling membantu, menemani dalam suka dan duka, berbagi canda

tawa, berbagi kebahagiaan dan memberikan semangat atas kegiatan selama

perkuliahan maupun dalam proses penelitian serta pembuatan skripsi ini;

15. Sahabat yang menjadi keluarga kesekian di FK Unila Shesy Sya’haya,

Lisa Ayu Pratiwi, Rika Oktaria, Nisa Arifa yang selalu menjadi pelipur
lara dan membersamai setiap proses perjalanan menuntut ilmu dalam

perantauan;

16. Seluruh sahabat, teman angkatan 2013 CERE13LLUMS yang tidak bisa

disebutkan satu persatu atas kekompakan, canda, tawa, maupun masalah

selama ini yang telah memberikan warna serta makna tersendiri. Semoga

kebersamaan dan kekompakkan selalu terjalin baik sekarang maupun ke

depan nanti;

17. Sahabat-sahabat SD sampai SMA Livia Indriani, Rafika khoirrunisa, Anita

Yuliani untuk segala do’a dan dukungannya. Kembangkan sayap,

terbanglah tinggi, dan lihatlah dunia;

18. Dan semua pihak yang turut berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini

yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas segala

kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh

dari kesempurnaan, namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat

dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala

perhatian, kebaikan, dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan

dari Allah SWT. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bandar lampung, Februari 2017.

Penulis

Siti Zahnia
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................................. i


DAFTAR TABEL .......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. v
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... vi

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1


1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morbus Hansen .................................................................................. 8


2.1.1 Definisi ..................................................................................... 8
2.1.2 Etiologi ..................................................................................... 8
2.1.3 Epidemiologi ............................................................................ 9
2.1.4 Cara Penularan.......................................................................... 14
2.1.5 Diagnosis dan Tanda Klinis...................................................... 16
2.1.6 Klasifikasi Morbus Hansen ...................................................... 19
2.1.7 Tatalaksana .............................................................................. 21
2.1.8 Pencegahan dan Pemberantasan ............................................... 23
2.1.9 Evaluasi Pengobatan ................................................................. 25
2.2 Keberhasilan Pengobatan Morbus Hansen ........................................ 26
2.3 Faktor-Faktor Internal yang Berperan dalam Keberhasilan Terapi
Morbus Hansen .................................................................................. 26
2.4 Kerangka Teori ................................................................................... 29
2.5 Kerangka Konsep ................................................................................ 30
2.6 Hipotesis ............................................................................................. 30

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian .......................................................................... 31


3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. 31
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................................... 31

i
3.4 Kriteria Penelitian ............................................................................... 32
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ................................... 32
3.6 Prosedur Penelitian.............................................................................. 34
3.7 Alur Penelitian .................................................................................... 35
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................. 36
3.8.1 Pengolahan Data ....................................................................... 36
3.8.2 Analisis Data ............................................................................ 36
3.9 Etika Penelitian ................................................................................... 37

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian ................................................................................... 38


4.1.1 Analisis Univariat................................................................... 39
4.1.2 Analisis Bivariat ..................................................................... 41
4.2 Pembahasan ......................................................................................... 44
4.2.1 Kriteria Penderita ................................................................... 44
4.2.2 Hubungan Faktor – faktor Internal dengan Keberhasilan
Terapi Pasien Terhadap Penyakit Morbus Hansen ................ 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 51


5.2 Saran ................................................................................................... 52

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Situasi Morbus Hansen di Provinsi Lampung tahun 2009–2014.............. 12

2. Klasifikasi MB menurut Ridley & Jopling .............................................. 19

3. Klasifikasi PB menurut Ridley & Jopling ............................................... 20

4. Pedoman Utama untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit


Morbus Hansen Menurut WHO................................................................ 21

5. Definisi operasional ......................................................................................... 33

6. Karakteristik Pasien Morbus Hansen ........................................................ 39

7. Keberhasilan Terapi Pasien Morbus Hansen ............................................ 40

8. Pengaruh Usia terhadap Keberhasilan Terapi ........................................... 41

9. Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Keberhasilan Terapi ........................... 41

10. Pengaruh Pendidikan terhadap Keberhasilan Terapi ............................... 42

11. Pengaruh Pekerjaan terhadap Keberhasilan Terapi .................................. 42

12. Pengaruh Pengetahuan terhadap Keberhasilan Terapi .............................. 43

13. Pengaruh Sosio-ekonomi terhadap Keberhasilan Terapi .......................... 43

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Prevalensi Morbus Hansen di dunia ........................................................ 9

2. Angka penemuan kasus baru di dunia ..................................................... 10

3. Angka prevalensi dan penemuan kasus baru Morbus Hansen tahun


2008-2014 di Indonesia ............................................................................. 11

4. Penemuan kasus baru Morbus Hansen di Lampung tahun 2014 ............. 13

5. Distribusi kasus Morbus Hansen di Bandar Lampung tahun 2010-2014 . 14

6. Kerangka Teori ........................................................................................ 29

7. Kerangka Konsep ..................................................................................... 30

8. Alur Penelitian ......................................................................................... 35

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Etika Penelitian

2. Surat Izin Penelitian dari FK Unila

3. Surat Izin Penelitian dari KESBANGPOL Kota Bandar Lampung

4. Surat Izin Penelitian dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung

5. Lembar Informed Consent

6. Kuesioner Penelitian

7. Lampiran Analisis Univariat

8. Lampiran Analisis Bivariat

9. Dokumentasi Penelitian

10. Data Penelitian

v
DAFTAR SINGKATAN

1. BTA : Basil Tahan Asam

2. M.leprae : Mycobacterium leprae

3. MB : Multibasiler

4. MDT : Multiple Drug Therapy

5. MH : Morbus Hansen

6. NCDR : New Case Detection Rate (Angka penemuan kasus baru

Morbus Hansen)

7. PB : Pausibasiler

8. RFT : Release From Treatment

9. WHO : World Health Organization

vi
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan

oleh Mycobacterium leprae (M.leprae). M.leprae menyerang hampir semua organ

tubuh terutama saraf tepi dan kulit, serta organ tubuh lainnya seperti mukosa

mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot dan

(Harahap, 2000). Morbus Hansen di kenali di masyarakat dengan sebutan kusta

atau lepra. Seseorang yang terinfeksi Morbus Hansen dapat menyebabkan

kecacatan pada sistem saraf motorik, otonom, atau sensorik (Khafiludin, 2010).

World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa jumlah pasien baru

Morbus Hansen di dunia pada tahun 2011 sebesar 219.075 penderita, dengan

penderita terbanyak di Asia Tenggara dengan jumlah kasus 160.132 penderita,

Amerika 36.832 penderita, Afrika 12.673 penderita, dan sisanya berada di

regional lain di dunia. Indonesia menduduki peringkat ke tiga di dunia dengan

jumlah kasus 20.032 penderita di dunia setelah India (127.295 penderita) dan

Brazil (33.955 penderita) (WHO, 2011). Penyakit Morbus Hansen di Indonesia

merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dengan beberapa daerah di

Indonesia masih memiliki angka prevalensi yang tinggi. Prevalensi Morbus

Hansen di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 0,79 per 10.000 penduduk dan
2

ditemukan kasus baru sebesar 17.025 dengan 83,5% kasus di antaranya

merupakan tipe multibasiler (MB) (Departemen Kesehatan RI, 2015).

Penderita Morbus Hansen di Bandar Lampung sejak tahun 2012-2014 tercatat

sebanyak 162 penderita dengan angka prevalensi 0,28 per 10.000 penduduk. Pada

tahun 2014 tercatat penemuan kasus baru yaitu sebanyak 129 kasus yang terdiri

atas tipe Multibasilar (MB) sebanyak 109 (84,4%) penderita dan tipe Pausibasilar

(PB) 20 (15,6%) penderita. Bila dilihat dari distribusi kasus baru Morbus Hansen

berdasarkan kabupaten/kota, maka terlihat bahwa kasus Morbus Hansen tertinggi

ada di kabupaten Lampung Tengah sebanyak 24 kasus yang terdiri atas tipe

Multibasilar (MB) 20 (50%) dan tipe Pausibasilar (PB) 4 (10%). Sedangkan

urutan ke 2 adalah Kabupaten Lampung Timur sebanyak 22 kasus yang terdiri

atas tipe Multibasilar (MB) 19 (47,5%) dan tipe Pausibasilar (PB) 3 (7,5%). Dan

urutan ke tiga adalah Bandar Lampung sebanyak 22 kasus yang terdiri atas tipe

Multibasilar (MB) 19 (47,5%) dan tipe Pausibasilar (PB) 3 (7,5%) (Dinas

Kesehatan Lampung, 2015).

Walaupun Morbus Hansen dapat disembuhkan, namun seseorang yang

pernah menderita Morbus Hansen dapat mengalami cacat fisik. Kecacatan

Morbus Hansen dapat bermacam-macam mulai dari hanya berupa bercak-bercak

di kulit, namun hingga sebagian anggota tubuh tidak lagi lengkap, atau tidak bisa

digerakkan, bahkan ada yang kelopak mata tidak bisa ditutup. Perubahan-

perubahan fisik tersebut menyebabkan krisis pada penderita Morbus Hansen.

Mereka sulit untuk berinteraksi dengan masyarakat lain (Kartono, 2011)


3

Pengobatan pada penderita Morbus Hansen bertujuan untuk memutuskan

mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya

cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.

Pada penderita yang sudah mengalami cacat permanen, pengobatan bertujuan

untuk mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita Morbus Hansen tidak meminum

obat secara teratur maka Mycobacterium leprae dapat menjadi aktif kembali dan

dapat menimbulkan gejala-gejala baru yang akan memperburuk keadaan

penderitmea. Pengobatan Morbus Hansen dilakukan sedini mungkin dan secara

obat agar tidak timbul cacat yang baru (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Tahun 1982, WHO memperkenalkan dan merekomendasikan rejimen

Multiple Drug Therapy (MDT) untuk pengobatan Morbus Hansen, yang terdiri

atas dapson, klofazimin, dan rifampisin (Stump et al, 2004). Rejimen terapi ini

telah terbukti efektif menurunkan angka prevalensi Morbus Hansen di dunia

dengan tingkat kekambuhan hanya 1% (Lasry-Levi, 2011). Morbus Hansen

seharusnya dapat diterapi sangat efektif dengan menggunakan rejimen MDT

apabila belum terjadi kerusakan jaringan saraf yang bersifat permanen. Meskipun

demikian, pasien Morbus Hansen sering terlambat diagnosis dan diberikan terapi

sehingga telah terjadi kecacatan walaupun pasien mendapat rejimen MDT secara

lengkap (Nascimento et al., 2012).

Angka penemuan kasus baru (NCDR) Morbus Hansen selama tahun 2009 –

2014 berfluktuasi dari 2,33 per 100.000 menjadi 1,9 per 100.000 penduduk, dan

angka ini sudah cukup baik (target <5 per 100.000 penduduk). Namun angka

kesembuhan (RFT) rate tahun 2014 di Lampung untuk PB sebesar 83,3% (12

penderita) dan MB sebesar 60,1% (82 penderita). RFT rate belum mencapai target
4

>90%. Proporsi cacat tingkat 2 tahun 2014 sebanyak 7% (target 5%). Hal tersebut

masih belum mencapai indikator standar kesembuhan RFT di Lampung (Dinas

Kesehatan Lampung, 2015). Rendahnya pencapaian angka kesembuhan

kemungkinan disebabkan oleh penderita tidak teratur minum obat, potensi obat

kurang, menyimpan obat tidak teratur, obat kadaluarsa, obat sering terlambat,

adanya resistensi obat, jumlah obat yang di minum kurang dari jumlah yang di

tentukan dan penderita lupa dalam pengambilan obat (Kemenkes RI, 2012).

Beberapa penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan

pengobatan Morbus Hansen telah dilakukan, namun belum diteliti tentang faktor-

faktor internal yang berperan terhadap keberhasilan pengobatan. Setiawan (2012)

menunjukkan bahwa keberhasilan pengobatan pasien Morbus Hansen tergantung

pada penemuan penyakit dan pengobatan secara dini, faktor karakteristik pribadi

penderita (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan), faktor pengetahuan

pasien tentang Morbus Hansen, kepatuhan pasien untuk minum obat MDT,

dukungan keluarga dan masyarakat sekitar dan akses pelayanan kesehatan serta

peranan petugas dalam meningkatkan pemberian informasi dan edukasi kepada

penderita. Sedangkan Selum (2012) menunjukkan bahwa pasien Morbus Hansen

yang teratur minum obat tidak mengalami kecacatan yang lebih besar di

bandingkan pasien yang tidak teratur minum obat.


5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah

penelitian ini adalah :

a. Apakah terdapat hubungan faktor usia dengan keberhasilan terapi Morbus

Hansen

b. Apakah terdapat hubungan faktor jenis kelamin dengan keberhasilan

terapi Morbus Hansen

c. Apakah terdapat hubungan faktor pendidikan dengan keberhasilan terapi

Morbus Hansen

d. Apakah terdapat hubungan faktor pekerjaan dengan keberhasilan terapi

Morbus Hansen

e. Apakah terdapat hubungan faktor pengetahuan dengan keberhasilan

terapi Morbus Hansen

f. Apakah terdapat hubungan faktor sosial ekonomi dengan keberhasilan

terapi Morbus Hansen

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui hubungan faktor usia dengan keberhasilan terapi Morbus

Hansen.

2. Mengetahui hubungan faktor jenis kelamin dengan keberhasilan terapi

Morbus Hansen

3. Mengetahui hubungan faktor pendidikan dengan keberhasilan terapi

Morbus Hansen
6

4. Mengetahui hubungan faktor pekerjaan dengan keberhasilan terapi Morbus

Hansen

5. Mengetahui hubungan faktor pengetahuan pasien dengan keberhasilan

terapi Morbus Hansen.

6. Mengetahui hubungan faktor sosial ekonomi dengan keberhasilan terapi

Morbus Hansen.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang penyakit Morbus

Hansen dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi terhadap

penyakit Morbus Hansen.

1.4.2 Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai sarana penelitian untuk mengaplikasikan teori yang telah

dipelajari selama kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan

merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam rangka menambah

wawasan pengetahuan serta pengembangan diri khususnya dalam bidang

penelitian.

1.4.3 Manfaat Bagi Institusi Terkait

Dapat menjadi dasar dan acuan informasi mengenai faktor-faktor

internal yang berperan dalam keberhasilan terapi Morbus Hansen sehingga

dapat menunjang keberhasilan program penanggulangan Morbus Hansen,

khususnya di Bandar Lampung.


7

1.4.4 Manfaat Bagi Penderita Morbus Hansen

Memberi pemahaman kepada penderita Morbus Hansen mengenai

faktor-faktor internal yang berperan dalam keberhasilan terapi terhadap

penyakit Morbus Hansen sehingga dapat meningkatkan keberhasilan terapi

Morbus Hansen di Bandar Lampung.


8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morbus Hansen (MH)

2.1.1 Definisi

Morbus Hansen (Kusta, Lepra) merupakan penyakit infeksi menahun

akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer

menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ

lainnya (WHO, 2010). Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang dapat

menimbulkan masalah kecacatan (Susanto, 2006). Masalah yang timbul tidak

hanya pada masalah kesehatan fisik saja, tetapi juga masalah psikologis,

ekonomi dan sosial bagi penderitanya (Amiruddin, 2006).

Morbus Hansen adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan

masalah yang sangat kompleks (Departemen Kesehatan RI, 2006). Masalah

tersebut bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial,

ekonomi, psikologis (Hutabarat, 2008).

2.1.2 Etiologi

Morbus Hansen disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae).

Secara umum bakteri ini memiliki bentuk pleomorf lurus, batang panjang, dan

sisi paralel dengan kedua ujung bulat; ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron; basil ini

berbentuk batang gram positif, tidak bergerak, dan tidak berspora,


9

berkembang biak secara perlahan dengan cara binary fision yang

membutuhkan waktu 11-13 hari, merupakan basil obligat intraseluler yang

terutama dapat berkembang biak di dalam sel schwann saraf dan makrofag

kulit, memiliki sifat tahan asam, namun dapat diekstraksi oleh piridin (sifat

khas Mycobacterium leprae), Mycobacterium leprae salah satu parasit

intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan, dapat

bertahan hidup di luar hospes/sekret kering selama 7-9 hari dengan

temperatur yang bervariasi atau 46 hari pada temperatur kamar (Harahap,

2000).

2.1.3 Epidemiologi

Berdasarkan data WHO, prevalensi Morbus Hansen di dunia tercatat

sebesar 192.246 kasus pada tahun 2011 dan ditemukan kasus baru sebesar

228.474 selama tahun 2010. Prevalensi Morbus Hansen di dunia dicantumkan

dalam gambar berikut ini (WHO, 2011).

Gambar 1. Prevalensi Morbus Hansen di dunia


10

Gambar diatas menunjukkan tingkat prevalensi negara dan regional di

dunia yang diukur berdasarkan tingkat prevalensi per 10.000 populasi.

Sedangkan untuk angka penemuan kasus baru di dunia yang dilaporkan pada

Januari, 2011 dicantumkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2. Angka penemuan kasus baru di dunia

Angka penemuan kasus baru di dunia sebesar 407.791 pada tahun 2004,

menurun menjadi 228.474 pada tahun 2010 dan hanya sebesar 219.075 pada

tahun 2011. Berdasarkan proporsi kasus Morbus Hansen tipe multibasiler

(MB), negara dengan kasus tertinggi di dunia adalah Kenya sebesar 99.21%,

sedangkan di Asia Tenggara adalah Filipina sebesar 93.92% dan Indonesia

sebesar 80.96% (World Health Organization, 2011).

Target prevalensi Morbus Hansen adalah sebesar <1 per 10.000

penduduk (<10 per 100.000 penduduk), sedangkan prevalensi Morbus

Hansen di Indonesia pada tahun 2014 adalah sebesar 0,79 per 10.000
11

penduduk sehingga prevalensi Morbus Hansen di Indonesia telah mencapai

target program. Pada tahun 2014 dilaporkan 17.025 kasus baru Morbus

Hansen dengan 83,5% kasus di antaranya merupakan tipe multibasiler (MB).

Sedangkan menurut jenis kelamin, 62,6% penderita baru Morbus Hansen

berjenis kelamin laki-laki dan sebesar 37,4% lainnya berjenis kelamin

perempuan (Departemen Kesehatan RI, 2015).

Gambar 3. Angka prevalensi dan penemuan kasus baru Morbus Hansen


tahun 2008-2014 di Indonesia

Penemuan penderita baru (case finding) penyakit Morbus Hansen di

Provinsi Lampung dilaksanakan melalui penemuan aktif melalui survei

kontak dan survei kasus, serta melalui kegiatan pemeriksaaan sukarela yang

dilaksanakan secara terpadu oleh Wasor Kabupaten/Kota serta petugas

Puskesmas. Jumlah penderita baru adalah sebanyak 129 orang (MB sebanyak

109 penderita (84,4%) dan PB sebanyak 20 penderita (15,6%)) (Dinas

Kesehatan Lampung, 2015).


12

Profil kesehatan provinsi Lampung menunjukkan bahwa angka

kesakitan (prevalence) Morbus Hansen per 10.000 penduduk selama tahun

2009-2014 cenderung tetap dari 0,29 per 10.000 penduduk menjadi 0,28 per

10.000 penduduk dan angka ini sudah cukup baik karena telah dibawah target

yaitu <1 per 10.000 penduduk. Angka penemuan kasus baru (NCDR) Morbus

Hansen selama tahun 2009 – 2014 berfluktuasi dari 2,33 per 100.000 menjadi

1,9 per 100.000 penduduk, dan angka ini sudah cukup baik (target < 5 per

100.000 penduduk). Namun angka kesembuhan (RFT) rate Morbus Hansen

di Lampung pada tahun 2014 adalah sebesar 83,3% (12 penderita) untuk

pausibasiler (PB) dan MB sebesar 60,1% (82 penderita). RFT rate belum

mencapai target >90% (Dinas Kesehatan Lampung, 2015).

Tabel 1. Situasi Morbus Hansen di Provinsi Lampung tahun 2009–2014

MH
NCDR Prevalen %
Jumlah pada
RFT
Tahun Kasus per per
anak (%) Kecacatan
100.000 10.000
PB MB pddk Pddk Tingkat II PB MB
2010 36 208 3,21 0,32 7,37 4,10 58,62 51,77
2011 24 226 2,35 0,33 6,08 8,29 50,00 50,00
2012 22 156 1,84 0,31 6,63 8,29 100 69,13
2013 15 118 1,90 0,28 4,00 6,0 83,3 60,1
2014 20 122 1,77 0,28 4,60 7,0 83,3 60,1
Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Lampung

Distribusi jumlah penderita kasus baru Morbus Hansen di provinsi

Lampung menurut kabupaten/kota pada tahun 2014 dicantumkan pada

gambar dibawah ini.


13

Gambar 4. Angka penemuan kasus baru Morbus Hansen di Lampung tahun


2014

New Case Detection Rate (NCDR) atau penemuan kasus baru

penderita Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung tahun 2010-2014

cenderung meningkat. Penderita Morbus Hansen tipe pausibasiler (PB) di

Bandar Lampung selama tahun 2013 ditemukan sebanyak 5 kasus, tahun

2014 ditemukan sebanyak 3 kasus. Sedangkan untuk penderita tipe

multibasiler (MB) tahun 2013 sebanyak 24 kasus dan tahun 2014 sebanyak

19 kasus. Distribusi kasus Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung tahun 2010-

2014 tercantum dalam gambar dibawah ini (Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung,

2015).
14

Gambar 5. Distribusi kasus Morbus Hansen di Bandar Lampung tahun


2010-2014

2.1.4 Cara Penularan

Cara penularan penyakit Morbus Hansen sampai sekarang masih belum

diketahui dengan pasti, namun beberapa ahli mengatakan bahwa penyakit

Morbus Hansen menular melalui saluran pernafasan dan kulit (Chin, 2006).

Sumber penularan adalah Mycobacterium leprae utuh (solid) yang

berasal dari pasien Morbus Hansen tipe multibasiler (MB) yang belum

diobati atau tidak teratur berobat. Penyakit ini menyerang segala umur namun

jarang sekali pada anak dibawah usia 3 tahun. Hal ini diduga berkaitan

dengan masa inkubasi yang cukup lama. Namun meskipun sebagian besar

penduduk di daerah endemik lepra pernah terinfeksi M. Leprae tidak semua

akan terserang penyakit ini karena kekebalan alamiah terhadap kuman

tersebut. Diperkirakan sekitar 15% dari populasi didaerah endemis kekebalan

tubuhnya tidak cukup untuk membunuh kuman yang masuk dan

kemungkinan suatu saat bisa terserang penyakit ini (Mansjoer et al., 2000).

Masa inkubasinya antara beberapa bulan sampai beberapa tahun.

Seseorang bisa saja mendapatkan penularan pada masa kanak-kanak, tetapi

gejala penyakitnya baru muncul setelah dewasa (Entjang, 2003). Timbulnya


15

penyakit Morbus Hansen pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu

ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber

penularan, Mycobacterium leprae, daya tahan tubuh, sosial ekonomi dan

iklim (Mansjoer et al., 2000).

Penyakit Morbus Hansen tidak hanya ditularkan oleh manusia tetapi

juga ditularkan oleh binatang seperti armadillo, monyet dan mangabey.

Mycobacterium leprae hidup pada suhu rendah. Bagian tubuh manusia yang

memiliki suhu lebih rendah yaitu mata, saluran pernafasan bagian atas, otot,

tulang, testis, saraf perifer dan kulit (Burn et al, 2010).

M. Leprae sebenarnya mempunyai patogenitas dan daya invasi yang

rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu

memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.

Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain

disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya

reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau

progresif. Oleh karena itu penyakit Morbus Hansen dapat disebut sebagai

penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi

selularnya daripada intensitas infeksinya (Djuanda et al, 2010).

Teori-teori tentang mekanisme penularan M. Leprae pada tubuh

manusia yang dikemukakan oleh Sehgal (2006) diantaranya adalah melalui

kontak langsung dengan penderita Morbus Hansen, sekret pernapasan yang

terinfeksi, melalui bersin, dan juga dapat ditularkan melalui tanah yang

terinfeksi M. Leprae. Perkembangan penyakit kusta pada tubuh seseorang

sangat bergantung pada tinggi rendahnya sistem imun seluler (cellular


16

mediated immune) seseorang. Penyakit Morbus Hansen akan menjadi

tuberkolid ketika seseorang mempunyai imunitas yang tinggi.

2.1.5 Diagnosis dan Tanda Klinis

Penyakit Morbus Hansen adalah penyakit menular, menahun dan

disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan

jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Atas dasar definisi

tersebut maka untuk mendiagnosa Morbus Hansen dicari kelainan-kelainan

yang berhubungan dengan gangguan saraf tepi dan kelainan-kelainan yang

tampak pada kulit (Departemen Kesehatan RI, 2012).

Diagnosa Morbus Hansen dan klasifikasi harus dilihat secara

menyeluruh baik dari segi klinis, bakteriologis, imunologis dan

histopatologis. Pemeriksaan bakteriologis seperti kerokan dengan pisau

skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga,

dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl

Neelsen dapat dilakukan bila ada keraguan dan fasilitas yang memungkinkan.

Gambaran histologis yang khas dapat ditemukan dengan biopsi kulit atau

saraf yang menebal (Zulkifli, 2003).

Departemen Kesehatan RI (2012), untuk menetapkan diagnosis

penyakit Morbus Hansen perlu dicari tanda- tanda utama atau cardinal sign,

yaitu:

a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan

(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa

(anasthesi).
17

b. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf

tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:

i. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa

ii. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan

(paralise)

iii. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.

c. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA

positif).

Seseorang dinyatakan sebagai penderita Morbus Hansen bilamana

terdapat satu dari tanda - tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar

penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian

pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.

Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor

atau ahli Morbus Hansen, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai

penderita yang dicurigai (suspek) (Departemen Kesehatan RI, 2012).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2012), penderita penyakit Morbus

Hansen juga memiliki tanda-tanda pada kulit yaitu sebagai berikut:

a. Kelainan pada kulit berupa bercak kemerahan, keputihan, atau benjolan

b. Kulit mengkilap

c. Bercak yang tidak gatal

d. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat dan tidak berambut

e. Lepuh tapi tidak nyeri


18

Tanda-tanda pada syaraf adalah sebagai berikut:

a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka

b. Gangguan kerak pada anggota badan atau bagian muka

c. Adanya kecacatan (deformitas) pada bagian tubuh

d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, bakterioskopis dan

histopatologi. Diagnosis Morbus Hansen menurut WHO dapat ditegakkan

apabila terdapat satu dari tanda kardinal berikut:

1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensitibilitas

Lesi kulit dapat tunggal atau multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi

kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi pada

umumnya berupa makula, papul atau nodul tetap dapat pula bervariasi.

Kehilangan sensitibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.

Kehilangan sensitibilitas kulit dan kelemahan otot merupakan manifestasi

dari kerusakan saraf terutama saraf tepi.

2. Penebalan saraf tepi

3. BTA positif

Pada hasil kerokan jaringan kulit, ditemukan basil tahan asam pada

beberapa kasus Morbus Hansen. Kasus dianggap dicurigai dan diperiksa

ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis Morbus Hansen atau

penyakit lain apabila masih ragu-ragu dalam menentukan tanda-tanda

Morbus Hansen tersebut (Mansjoer et al., 2000).


19

2.1.6 Klasifikasi Morbus Hansen

Tujuan klasifikasi penyakit Morbus Hansen adalah untuk menentukan

rejimen pengobatan, prognosis, komplikasi dan perencanaan operasional. Bila

kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis

sesuai kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem

imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik, akan tampak gambaran klinis

kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran

lepromatosa. Menurut Agusni (2003), klasifikasi penyakit Morbus Hansen

terdiri atas klasifikasi Ridley&Jopling, madrid dan WHO.

Ridley&Jopling memperkenalkan istilah spektrum pada penyakit

Morbus Hansen yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

a. Tuberkuloid polar (TT), bentuk yang stabil.

b. Borderline tuberculoid (BT), bentuk yang labil

c. Mid borderline (BB), bentuk yang labil

d. Borderline lepromatous (BL), bentuk yang labil

e. Lepramatosa polar (LL), bentuk yang stabil.

Tabel 2. Klasifikasi MB menurut Ridley & Jopling

SIFAT LL BL BB
Lesi
- Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrasi difus Plakat Dome-shaped (kubah)
Papul Papul Punched-out
Nodus
- Jumlah Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, masih ada Dapat dihitung, kulit sehat
tidak ada kulit sehat kulit sehat jelas ada
- Distribusi Simetris Hampir simetris asimetris
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Tidak ada - tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
Sumber :Agusni & Menaldi, 2003
20

Tabel 3. Klasifikasi PB menurut Ridley & Jopling

SIFAT TT BT I
Lesi
- Bentuk Makula saja; makula Makula dibatasi infiltrat; Hanya makula
dibatasi infiltrate infiltrat saja
- Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
- Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu negative Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) positif lemah Dapat positif lemah
atau negative
Sumber :Agusni & Menaldi, 2003

Klasifikasi Internasional (Madrid 1953) terdiri dari:

a. Indeterminate (I)

b. Tuberkuloid (T)

c. Borderline (B)

d Lepramatosa (L)

Berdasarkan WHO, Morbus Hansen tipe PB adalah Morbus Hansen

dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe

I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut

disertai BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam Morbus Hansen tipe

MB. Sedangkan Morbus Hansen tipe MB adalah semua penderita Morbus

Hansen tipe BB, BL dan LL atau adapun klasifikasi klinisnya dengan BTA

positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2012) pada tahun 1982 jenis

klasifikasi World Health Organization (WHO) yang dipakai oleh petugas

kesehatan diseluruh Indonesia untuk menentukan tipe penderita Morbus

Hansen yaitu tipe pausibasiler dan multibasiler. Pedoman untuk menentukan


21

penyakit Morbus Hansen tersebut menurut klasifikasi World Health

Organization (WHO) yaitu:

Tabel 4. Pedoman Utama untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit Morbus


Hansen Menurut WHO

Tanda Utama PB MB

Bercak kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah >5

Penebalan saraf tepi yang


disertai dengan gangguan
fungsi (gangguan fungsi bisa
berupa kurang/mati rasa atau Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
bersangkutan)

Sediaan apusan BTA negatif BTA positif

Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta (Depkes RI, 2012)

2.1.7 Tatalaksana

Menurut Departemen Kesehatan RI (2012), MDT merupakan dua atau

lebih obat anti Morbus Hansen, yang salah satunya harus terdiri dari atas

rifampisin sebagai anti Morbus Hansen yang sifatnya bakterisid kuat dengan

obat anti Morbus Hansen lain yang bisa bersifat bakteriostatik. Berikut ini

merupakan kelompok orang-orang yang membutuhkan MDT:

a. Penderita baru yaitu mereka dengan tanda Morbus Hansen yang belum

pernah mendapat pengobatan MDT.

b. Ulangan, termasuk didalamnya adalah:

i. Relaps penderita diobati kembali dengan regimen pengobatan PB dan

MB
22

ii. Masuk kembali setelah default adalah penderita yang datang kembali

setelah dinyatakan default (baik PB maupun MB)

iii. Pindahan (pindah masuk), harus dilengkapi dengan surat rujukan

berisi catatan pengobatan yang telah diterima hingga saat tersebut,

penderita ini hanya membutuhkan sisa pengobatan yang belum

lengkap

iv. Ganti tipe, penderita dengan perubahan klasifikasi.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO yaitu

sebagai berikut:

a. Tipe PB

Lama pengobatan : 6 blister diminum selama 6-9 bulan

- Hari pertama (diminum didepan petugas) : 2 kapsul Rifampisin 300 mg

(600 mg) dan 1 tablet Dapsone (DDS 100 mg)

- Pengobatan hari ke 2-28 (dibawa pulang) : 1 tablet dapson (DDS 100

mg) per hari

b. Tipe MB

Lama Pengobatan : 12 blister diminum selama 12-18 bulan

- Hari pertama (diminum di depan petugas) : 2 kapsul Rifampisin 300 mg

(600 mg), 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg) dan 1 tablet Dapsone

(DDS 100 mg)

- Pengobatan hari ke 2-28 : 1 tablet Lampren 50 mg dan 1 tablet Dapsone

(DDS 100 mg)

Penderita Morbus Hansen tipe PB dan MB setelah menyelesaikan

pengobatan sesuai dengan aturan maka dinyatakan release from treatment


23

(RFT) tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium yang artinya dianggap

sudah sembuh. Petugas harus memberikan keterangan tentang arti dan

maksud RFT kepada penderita bahwa tipe PB adalah pengobatan 6 dosis

selesai dalam waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan sembuh, untuk tipe MB

adalah pengobatan 12 dosis selesai dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan

sembuh atau RFT. Walaupun sudah sembuh petugas tetap meyakinkan

penderita bahwa bercak yang akan ada akan berangsur hilang dan

menjelaskan cara mencengah terjadinya luka jadi terjadi kecacatan yaitu

dengan memelihara tangan dan kaki dengan baik dan bila penderita melihat

bercak kulit yang baru atau tanda – tanda baru mereka harus datang kembali

kontrol atau pemeriksaan ulang ke puskesmas.

2.1.8 Pencegahan dan Pemberantasan

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit Morbus Hansen.

Faktor pengobatan adalah amat penting dimana Morbus Hansen dapat

dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu

peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita adalah untuk menganjurkan

kepada penderita untuk berobat secara teratur (Zulkifli, 2003). Sementara itu

menurut Enjang (2000), usaha pencegahan pribadi adalah menghindari kontak

dengan penderita. Bila kontak ini tak dapat dihindari maka higiene badan

cukup menjamin pencegahannya. Higiene lingkungan yang baik dan makanan

yang sehat cukup kualitas maupun kuantitasnya. Usaha pencegahan untuk

masyarakat, dilaksanakan dengan menghilangkan sumber penularan yaitu

dengan mengobati semua penderita.


24

Pengobatan kepada penderita Morbus Hansen adalah merupakan salah

satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman M. Leprae diluar tubuh

manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini

tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas

cuaca makin cepat kuman Morbus Hansen mati. Jadi, dalam hal ini

pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya

tempat-tempat yang lembab (Zulkifli, 2003).

Mengingat bahwa pengobatan dapat menghentikan penularan, maka

pemberantasannya dilakukan dengan tiga usaha pokok yaitu:

a. Mencari dan menemukan semua penderita (case finding) dalam

masyarakat untuk diberikan pengobatan yang sebaik-baiknya.

b. Mengobati dan mengikuti penderita (case holding)

- Pengobatan dilaksanakan di poliklinik yang semudah mungkin dicapai

penderita.

- Bila penderita tidak datang berobat ke poliklinik, dilakukan kunjungan

rumah untuk diberikan pengobatan dan penerangan.

- Setiap penderita pindah alamat harus diikuti dengan teliti agar ia tidak
lepas dari pengobatan dan perawatan. Hal ini perlu dilakukan karena

jangka waktu pengobatannya sangat lama, minimal tiga tahun terus

menerus.
25

2.1.9 Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pengobatan Morbus Hansen menurut Buku Panduan

Pemberantasan Penyakit Kusta adalah sebagai berikut :

a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9

bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan

laboratorium.

b. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis dalam waktu

12-24 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani pemeriksaan

laboratorium.

c. RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan

pemeriksaan (surveillance) dan dapat dilakukan oleh petugas Morbus

Hansen.

d. Masa pengamatan.

Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:

- Tipe PB selama 2 tahun

- Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium

- Hilang/Out of Control (OOC)

Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam 1 tahun tidak

mengambil obat dan dapat dikeluarkan dari register pasien.

- Relaps (kambuh)

Terjadi bila lesi aktif kembalisetelah pernah dinyatakan sembuh atau

RFT (Mansjoer et al., 2000)


26

2.2 Keberhasilan Pengobatan Morbus Hansen

Keberhasilan terapi pasien Morbus Hansen dinyatakan dengan RFT (Release

From Treatment). RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa harus

pemeriksaan laborotarium. Pasien PB (pausibasilar) yang telah mendapat

pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus

pemeriksaan laborotarium. Pasien MB (multibasiler) yang telah mendapat

pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT,

tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Jika seorang pasien PB tidak mengambil

atau minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6 bulan secara

komulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu

yang ditetapkan), maka penderita Morbus Hansen dikatakan default atau lalai

dalam pengobatan (Departemen Kesehatan RI, 2012).

2.3 Faktor-Faktor Internal yang Berperan dalam Keberhasilan Terapi


Morbus Hansen

Adapun faktor-faktor internal yang berperan dalam keberhasilan terapi

Morbus Hansen, antara lain:

2.3.1 Usia

Anak-anak mempunyai tingkat kepatuhan yang lebih tinggi

dibandingkan remaja, meskipun anak-anak mendapatkan informasi

yang kurang. Untuk penderita lanjut usia, kepatuhan minum obat dapat

dipengaruhi oleh daya ingat yang berkurang, ditambah lagi apabila

penderita lanjut usia tinggal sendiri. Sedangkan orang tua atau usia

dewasa cenderung patuh minum obat karena mengikuti semua anjuran

dokter (Hutabarat, 2008).


27

2.3.2 Jenis Kelamin

Penderita wanita biasanya lebih patuh untuk minum obat karena sesuai

dengan kodrat wanita yang ingin tampak kelihatan cantik dan tidak

ingin cacat pada tubuhnya, sehingga wanita akan lebih patuh minum

obat dibandingkan dengan laki-laki (Hutabarat, 2008).

2.3.3 Pekerjaan

Penderita penyakit Morbus Hansen yang berkerja seperti biasa akan

termotivasi untuk lebih patuh minm obat demi kesembuhannya bila

dibandingkan dengan penderita yang tidak bekerja, karena pekerjaannya

adalah sumber mata pencahariannya. Pekerjaan memberikan kontribusi

paling besar terhadap kepatuhan berobat (Hutabarat, 2008).

2.3.4 Pendidikan

Tingkat kecerdasan seseorang dalam bidang pelajaran formal dapat

ditunjukkan melalui tingkat pendidikan namun tidak dapat

menunjukkan kecerdasan seseorang dalam bidang-bidang informal atau

dapat dikatakan semakin luasnya wawasan yang dimiliki termasuk

wawasannya mengenai Morbus Hansen tidak menjamin tingginya

tingkat pendidikan. Penderita mungkin akan lebih teratur minum obat

dan berkeinginan untuk sembuh apabila penderita memiliki wawasan

yang luas tentang Morbus Hansen. Pengetahuan mengenai Morbus

Hansen dapat diperoleh melalui penyuluhan petugas Morbus Hansen,

televisi, radio, internet, dan lain sebagainya (Selum, 2012).


28

2.3.5 Pengetahuan

Pengetahuan tentang kesehatan dan perilaku pencarian pengobatan

memiliki hubungan terhadap munculnya kecacatan pada penderita

Morbus Hansen (Sari, 2015). Sejalan dengan hal tersebut, pengetahuan

yang rendah tentang Morbus Hansen mengakibatkan penderita Morbus

Hansen tidak mengetahui akibat buruk yang ditimbulkan oleh Morbus

Hansen seperti cacat fisik (Manyullei, 2012). Henny menemukan

bahwa pengetahuan rendah memiliki resiko 2,89 kali untuk tidak teratur

menjalani pengobatan Morbus Hansen (Henny, 2000).

2.3.6 Sosial Ekonomi

Pengukur kesanggupan dari individu atau keluarga untuk memperoleh

pelayanan kesehatan dapat diukur dari pendapatan. Melakukan

pengobatan/perawatan untuk dirinya dapat dilakukan ketika seseorang

memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan primer

dan sekundernya. Tetapi orang yang berpendapatan rendah akan merasa

berat jika harus mengurangi waktu bekerja karena akan mengurangi

penghasilan mereka juga. Henny menemukan bahwa sosial ekonomi

rendah memiliki resiko 2,69 kali untuk tidak teratur menjalani

pengobatan Morbus Hansen (Henny, 2000).


29

2.4 Kerangka Teori

Morbus Hansen
Mycobacterium leprae

Gejala klinis: lesi pada kulit,


kerusakan saraf motorik,
sensorik atau otonom

Klasifikasi Morbus Hansen


- Pausibasiler
- Multibasiler

Pengobatan
Multi Drug Therapy

Faktor Internal Keberhasilan Terapi

Usia

Jenis Kelamin

Pendidikan

Pekerjaan

Pengetahuan

Sosial Ekonomi

Keterangan:
Variabel yang diteliti
Gambar 6. Kerangka Teori (Modifikasi Hutabarat, 2008)
30

2.5 Kerangka Konsep

1. Faktor usia
2. Faktor jenis kelamin
3. Faktor pendidikan Keberhasilan Terapi
4. Faktor pekerjaan Pasien Morbus Hansen
5. Faktor pengetahuan
6. Faktor sosial
ekonomi

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 7. Kerangka Konsep

2.6 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan antara usia dengan keberhasilan terapi Morbus

Hansen.

2. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan keberhasilan terapi

Morbus Hansen.

3. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan terapi Morbus

Hansen.

4. Terdapat hubungan antara pekerjaan dengan keberhasilan terapi Morbus

Hansen.

5. Terdapat hubungan antara pengetahuan pasien dengan keberhasilan terapi

Morbus Hansen.

6. Terdapat hubungan antara sosial ekonomi dengan keberhasilan terapi

Morbus Hansen.
31

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross

sectional.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di beberapa Puskesmas yang berada di Bandar

Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2016 – Januari 2017.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Morbus

Hansen yang berobat ke Puskesmas kota Bandar Lampung pada periode tahun

2013 - 2016. Sampel penelitian adalah pasien Morbus Hansen yang melakukan

pengobatan di beberapa Puskesmas Kota Bandar Lampung yang memenuhi

kriteria inklusi yang diperoleh dari anamnesis dan data laporan Dinas Kesehatan

Kota Bandar Lampung, serta bersedia ikut penelitian yang dinyatakan secara

tertulis dalam informed consent. Tehnik sampling yang digunakan adalah total

sampling dengan jumlah sampel ditentukan menggunakan rumus perhitungan

sampel:
32

n= ( , )²

n= ( , )²

n = 40,8 orang, dibulatkan menjadi 41 orang.

Keterangan:

n : Besar sampel

N : Besar populasi (penderita Morbus Hansen)

d : tingkat kepercayaan (10%)

3.4 Kriteria Penelitian

3.4.1 Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Pasien Morbus Hansen yang bersedia menjadi responden penelitian

b. Pasien Morbus Hansen yang mampu berkomunikasi dengan baik

3.4.2 Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Tidak bersedia menjadi responden penelitian

b. Pasien mengundurkan diri

c. Alamat pasien tidak lengkap

d. Pasien meninggal dunia

3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

3.5.1 Identifikasi Variabel

a. Variabel independen adalah karakteristik pribadi termasuk usia, jenis

kelamin, pendidikan, pekerjaan serta pengetahuan dan sosial

ekonomi
33

b. Variabel dependen adalah keberhasilan terapi pasien Morbus Hansen

3.5.2 Definisi Operasional

Adapun definisi operasional yang digunakan untuk memudahkan

pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas yaitu

sebagai berikut.

Tabel 5. Definisi operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Usia Jumlah tahun Kuesioner 1. Anak (<18 tahun) Ordinal
responden dihitung 2. Dewasa (18-55 tahun)
mulai tahun lahir 3. Lanjut usia (>55
sampai tahun terakhir tahun)
saat wawancara.
Jenis Kelamin Perbedaan antara laki- Kuesioner 1. Laki – laki Nominal
laki dan perempuan 2. Perempuan
berdasarkan
keterangan yang tertera
dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP).
Pendidikan Jenjang pembelajaran Kuesioner 1. Rendah (SD-SMP Ordinal
formal yang ditempuh 2. Tinggi (SMA-
responden Perguruan Tingi)
Pekerjaan Suatu kegiatan atau Kuesioner 1. Bekerja (PNS, Nominal
aktivitas responden Pegawai swasta,
sehari – hari Nelayan, Petani)
2. Tidak bekerja
Pengetahuan Tingkat kemampuan Kuesioner, 1. Baik, skor 15-24 Ordinal
responden untuk terdiri atas 6 (≥61%)
menjawab pertanyaan pertanyaan; 2. Kurang, skor 0-14 (<
dengan benar tentang a(4), b(3), 61%)
penyakit kusta. c(2), d(1),
e(0).
Sosial Pendapatan Kuesioner 1. Kurang, jika dibawah Ordinal
Ekonomi kotor yang UMK
diperoleh 2. Baik, jika diatas UMK
setelah bekerja *UMK Bandar Lampung
satu bulan = 1,8 juta (Gubernur
Lampung, 2016)
Keberhasilan Keberhasilan terapi Rekam 1. Berhasil, memenuhi Nominal
terapi pasien kusta Medis kriteria RFT yaitu telah
dinyatakan dengan mendapat pengobatan
RFT (Release From MDT 12 dosis dalam
Treatment) wakttu 12-18 bulan.

2. Gagal, tidak
memenuhi kriteria RFT
34

3.6 Prosedur Penelitian

3.6.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah skrining subyek

penelitian dan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji

validitas adalah uji untuk menilai ketepatan dan kecermatan alat ukur (tes)

sedangkan uji reliabilitas adalah uji untuk memastikan apakah kuesioner

penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data variabel penelitian

reliabel atau tidak (Dahlan, 2012).

3.6.2 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder dengan

cara pengisian kuesioner dan dalam pengisian kuesioner dipandu oleh

peneliti.

3.6.3 Prosedur Penelitian

a. Pada tahap persiapan, peneliti menyusun proposal penelitian lalu

setelah disetujui peneliti mengurus perizinan penelitian baik ke

instansi pendidikan maupun ke lokasi penelitian. Setelah

mendapatkan surat izin penelitian, peneliti melakukan koordinasi

dan mengajukan surat izin ke Puskesmas untuk melakukan

penelitian.

b. Peneliti mencari pasien sesuai kriteria sampel di Puskesmas Kota

Bandar Lampung sebagai responden, lalu peneliti menjelaskan

tujuan dan prosedur penelitian kepada responden.


35

c. Sebelum dilakukan perlakuan, responden diminta untuk membaca

dan menandatangani lembar informed consent.

d. Peneliti mengambil data identitas pasien lalu melakukan wawancara

termbimbing dan pengisian kuesioner.

e. Setelah data hasil pengukuran diperoleh, peneliti melakukan input

data ke dalam program statistik dan melakukan analisis data baik

univariat bivariat.

3.6.4 Alat dan Instrument Penelitian

a. Lembar informed consent

b. Lembar kuesioner

3.7. Alur Penelitian

Alur penelitian ini akan dilaksanakan sebagai berikut:

Persetujuan Ethical Clearance dari Komisi Etik


Fakultas Kedokteran UNILA

Izin dengan dinas terkait (DINKES Provinsi Lampung,


Kota Bandar Lampung dan Puskesmas)

Pencarian Subyek Penelitian

Persetujuan Subyek Penelitian (informed consent)

Skrining dan Kuesioner

Pengumpulan Data

Analisis Data

Penyusunan Hasil Penelitian

Gambar 8. Alur Penelitian


36

3.8 Pengolahan dan Analisis Data

3.8.1 Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah dalam

bentuk tabel-tabel, kemudian data diolah dengan menggunakan program

microsoft excel. Tahap-tahap pengolahan data adalah sebagai berikut:

a. Editing, untuk meneliti kembali formulir data dan untuk memeriksa

kembali data yang terkumpul apakah sudah lengkap, terbaca dengan jelas,

tidak meragukan, terdapat kesalahan atau tidak dan sebagainya.

b. Coding, untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian

kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

c. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.

d. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah

dimasukkan ke komputer.

e. Output komputer, hasil analis yang telah dilakukan komputer kemudian

dicetak

3.8.2 Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan software statistik dan

akan dilakukan 3 macam analisis data, yaitu analisis univariat, analisis

bivariat.

a. Analisis Data Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi

masing-masing variabel, baik bebas, dan variabel terikat. Teknik analisa

data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan perhitungan

statistik sederhana yaitu statistik deskriptif.


37

b. Analisa Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pribadi

termasuk usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan serta pengetahuan dan

sosial ekonomi dengan keberhasilan terapi pasien Morbus Hansen

menggunakan Uji Chi-Square.

3.9 Etika Penelitian

Penelitian ini telah disetujui dan mendapat surat keterangan layak etik

penelitian dari Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

dengan surat No : .103/UN26.8/DL/2017


51

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara usia dengan keberhasilan terapi pasien terhadap

penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.

2. Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan keberhasilan terapi pasien

terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.

3. Terdapat hubungan antara sosio-ekonomi dengan keberhasilan terapi

pasien terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.

4. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan keberhasilan terapi

pasien terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.

5. Tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan terapi

pasien terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.

6. Tidak terdapat hubungan antara pekerjaan dengan keberhasilan terapi

pasien terhadap penyakit Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung.


52

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti ingin memberikan saran bagi :

a. Puskesmas

Diharapkan puskesmas lebih aktif untuk memeberikan himmbauan kepada

masyarakat tentang pentingnya keteraturan perawatan dan pengobatan

pada penderita Morbus Hansen baik melalui media massa maupun dengan

penyuluhan kesehatan sehingga dapat memberikan petunjuk dan

kemungkinan komplikasi yang terjadi bila penderita Morbus Hansen tidak

berhasil dalam pengobatan.

b. Keluarga

Kepada keluarga penderita selaku orang yang terdekat, diharapkan tetap

mengawasi minum obat penderita agar teratur minum obat, member

dukungan, perhatianm, dan jangan mengucilkan penderita.

c. Peneliti selanjutnya

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang dapat

mempengaruhi keteraturan perawatan dan pengobatan pada penderita

Morbus Hansen missal nya jarak pelayanan kesehatan, dan dukungan

petugas kesehatan atau norma subjektif mengingat sifat stigma dari

penyakit Morbus Hansen masih ada di kalangan masyarakat.


53

DAFTAR PUSTAKA

Agusni I, Menaldi SL. 2003. Beberapa Prosedur Diagnosis Baru pada Penyakit
Kusta. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
59-65.
Amiruddin M. 2006. Penyakit Kusta di Indonesia: Masalah Penanggulangannya.
Jakarta: Hipokrates.

Burn, et al. 2010. Rook’s Textbook of Dermatology. United Kingdom: Wiley-


Blackwell.
BPOM. 2006. Kepatuhan pasien: faktor penting dalam keberhasilan terapi. Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 7(5): 1-12.
Chin J. 2006. Manual Pemberatasan Penyakit Menular. Jakarta: Infomedika.
Dahlan, MS. 2012. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Pedoman Nasional Program
Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Ditjen PP & PL.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Infodatin Kusta. Tersedia di
http://www.depkes.go.id. Diakses pada 20 Mei 2016.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan Indonesia
Tahun 2014.
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. 2015. Profil Kesehatan Kota Bandar
Lampung Tahun 2014.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Lampung
Tahun 2014.
Dewi IAP. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi pada
penderita diabetes melitus bulan oktober 2009 di rsd dr soebandi jember
[Skripsi]. Jember: Universitas Jember.
54

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, et al. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Universitas Indonesia. 73-88.
Eddington N, Shuman R. 2005. Subjective well being (happiness). Continuing
Psychology Education: 6 Continuing Education Hours. Diunduh pada 10
mei 2016 dari http://www.texcpe.com/cpe/PDF/cahappiness. pdf.
Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Entjang I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung: Citra Aditya Bakti. 52-
54.
Gubernur Lampung. 2016. Penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Bandar
Lampung Tahun 2016.
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Henny I. 2000. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan berobat
penderita kusta di kabupaten blora. [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Hutabarat. 2008. Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan
minum obat penderita kusta di kabupaten asahan tahun 2007. [Tesis].
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Kafiluddin, Moh. Erfan. 2010. Memberantas Penyakit Kusta/Lepra.

Kartono K. 2011. Patologi Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Kemenkes, RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Direktorat Jendral Pemberntasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta: Kemenkes RI.
Lasry-Levy E, et al. 2011. Neuropathic pain and psychological morbidity in
patients with treated leprosy: a cross-sectional prevalence study in mumbai.
Neglected Tropical Diseases. 5(3): 1-8.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardani WI, Setiowulan W, et al. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius. 65-75.
Manyullei S, Utama DA, Birawida AB. Gambaran faktor yang berhubungan
dengan penderita kusta di kecamatan tamalate kota makassar. Ind J of Publ
Health. 1(1): 10-7.
Nascimento OJM, de Freitas MRG, Escada T, Junior WM, Cardoso F, Pupe C, et
al. 2012. Leprosy late-onset neuropathy: an uncommon presentation of
leprosy. Arq Neuropsiqiatr. 70(6): 404-6.
Notoatmodjo S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
153-4.
Notoatmodjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
55

Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Jakarta: Rineka Cipta.
Sari AN, Gustia R, Edison. Hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan
tingkat kecacatan pada penderita kusta di kabupaten padang
pariaman tahun 2013. J Kes Andalas. 2015. 4(3). 681-8.
Sehgal A. 2006. Leprosy: deadly diseases and epidemics. Diunduh dari
http://179.ifile.it/pzlvn/37577887/_leprosy_deadly_diseases_and_epidemics
_ pdf.
Selum, WCU. 2012. Faktor kecacatan pada ketidakteraturan berobat penderita
kusta di kabupaten pamekasan provinsi jawa timur. Indo J of Publ Health. 3
(8): 117-21.
Setiawan DA. 2012. Konsep Dasar Keluarga. Surakarta: Poltekes Surakarta.
Stump PR, Baccarelli R, Marciano LH, Lauris JRP, Teixeira MJ, Ura S, et al.,
2004. Neuropathic pain in leprosy patients. Internat J of Leprosy. 72(2):
134-8.
Susanto N. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecacatan
penderita kusta (kajian di kabupaten sukoharjo). Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Tirtana. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada
pasien tuberkulosis paru dengan resistensi obat tuberkulosis di wilayah jawa
tengah [Skripsi]. Jawa Tengah: Universitas Diponegoro.
WHO. 2011. Weekly epidemiological record: global leprosy situation 2010.
Diunduh dari http://www.who.int/wer/2010/wer8636.pdf.
Yuniarasari Y. 2013. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadiaan kusta.
[Skripsi]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Medan:
Universitas Sumatera Utara. 1-7.

You might also like