Skripsi Kusta
Skripsi Kusta
(Skripsi)
Oleh
SITI ZAHNIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
FAKTOR-FAKTOR INTERNAL YANG BERPERAN DALAM
KEBERHASILAN TERAPI PASIEN TERHADAP PENYAKIT MORBUS
HANSEN DI KOTA BANDAR LAMPUNG
Oleh
SITI ZAHNIA
Skripsi
Pada
Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
By
SITI ZAHNIA
Oleh
SITI ZAHNIA
Latar Belakang: Morbus Hansen (MH) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit Morbus Hansen merupakan masalah
nasional kesehatan masyarakat di Indonesia. Angka kesembuhan di Lampung pada tahun
2014 untuk PB sebesar 83,3% dan MB sebesar 60,1%. Angka kesembuhan ini belum
mencapai target release from treatment, yaitu >90%. Rendahnya pencapaian angka
kesembuhan MH dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain penderita tidak
teratur minum obat, potensi obat kurang, penyimpanan obat tidak teratur, adanya
resistensi obat dan penderita lupa minum obat.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor internal yang
berhubungan dengan keberhasilan terapi penyakit Morbus Hansen di Bandar Lampung.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional desain cross sectional.
Sampel dalam penelitian ini adalah pasien MH yang melakukan pengobatan ke
Puskesmas di wilayah Kota Bandar Lampung, sebanyak 42 orang. Analisis data bivariat
menggunakan uji chi-square.
Hasil: Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 42 responden, keberhasilan terapi MH
lebih besar pada usia anak, jenis kelamin perempuan, pendidikan tinggi, tidak bekerja,
pengetahun baik dan sosio-ekonomi baik. Dari analisis bivariat diketahui bahwa terdapat
hubungan usia (p=0,017), pengetahuan (p=0,030) dan sosio-ekonomi (p=0,002) terhadap
keberhasilan terapi sedangkan jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan tidak berpengaruh
terhadap keberhasilan terapi (p=0,190; p=0,064; p=0,355).
Kesimpulan: Faktor-faktor internal yang berhubungan dengan keberhasilan terapi pasien
Morbus Hansen adalah usia, pengetahuan dan sosio-ekonomi.
sebagai anak pertama dari dua bersaudara, dari Bapak Supandi dan Ibu
Renggogeni.
Athfal I Metro Pusat pada tahun 2001, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD
Muhammadiyah Kota Metro pada tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama (SMP)
diselesaikan di SMP Negeri 9 Kota Metro pada tahun 2010, dan Sekolah
Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 2 Kota Metro pada tahun
2013.
Adikku…
Aulia Putri yang selalu memberi
dukungan, do’a dan selalu ada untukku..
SANWACANA
Segala puji bagi Allah SWT, Allah yang Maha Pengasih, Allah yang Maha
Penyayang, yang tiada habis memberikan kepada kita kasih dan sayang-Nya,
nikmat dan karunia-Nya, seingga penelitian ini dapat saya selesaikan. Shalawat
di Kota Bandar Lampung” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Penulis meyakini penelitian skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan dan
bantuan dari banyak kalangan. Maka dengan ini penulis sampaikan ucapan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung;
dan kritik yang membangun dalam proses serta penyelesaian skripsi ini;
5. dr. Susianti, S.Ked., M. Sc, selaku Penguji Utama atas waktu, ilmu,
7. Bapak Supandi dan Ibu Renggogeni, kedua orang tua penulis yang selalu
restu dan ridha di setiap keputusan yang penulis ambil, kasih sayang dan
dukungan yang tak pernah putus, serta semangat dan motivasi yang tak
dan penyelesaian skripsi ini, semoga kelak penulis bisa menjadi salah satu
8. Adik Aulia Putri, sebagai saudara penulis. Terima kasih atas do’a,
10. Seluruh Staf Tata Usaha, Akademik, pegawai, dan karyawan FK Unila;
Mbak Lisa, Mbak Iin, Mbak Qori, Mbak Ida, Mas Seno, Pak Pangat dan
11. Nenek dan Kakek ku tercinta, Marzualnis dan Irman Rahman, yang tidak
kelak;
12. Tante ku Yolmi Satri dan Putri Reno Mila, yang telah menemani,
14. Sahabat Seperjuangan saya Kandita Mahran Nisa dan Glenys Yulanda
yang saling membantu, menemani dalam suka dan duka, berbagi canda
Lisa Ayu Pratiwi, Rika Oktaria, Nisa Arifa yang selalu menjadi pelipur
lara dan membersamai setiap proses perjalanan menuntut ilmu dalam
perantauan;
16. Seluruh sahabat, teman angkatan 2013 CERE13LLUMS yang tidak bisa
selama ini yang telah memberikan warna serta makna tersendiri. Semoga
depan nanti;
18. Dan semua pihak yang turut berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini
yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas segala
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan, namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Semoga segala
perhatian, kebaikan, dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan
Penulis
Siti Zahnia
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
i
3.4 Kriteria Penelitian ............................................................................... 32
3.5 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ................................... 32
3.6 Prosedur Penelitian.............................................................................. 34
3.7 Alur Penelitian .................................................................................... 35
3.8 Pengolahan dan Analisis Data ............................................................. 36
3.8.1 Pengolahan Data ....................................................................... 36
3.8.2 Analisis Data ............................................................................ 36
3.9 Etika Penelitian ................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
ii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
iv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Etika Penelitian
6. Kuesioner Penelitian
9. Dokumentasi Penelitian
v
DAFTAR SINGKATAN
3. MB : Multibasiler
5. MH : Morbus Hansen
Morbus Hansen)
7. PB : Pausibasiler
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
tubuh terutama saraf tepi dan kulit, serta organ tubuh lainnya seperti mukosa
mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot dan
kecacatan pada sistem saraf motorik, otonom, atau sensorik (Khafiludin, 2010).
Morbus Hansen di dunia pada tahun 2011 sebesar 219.075 penderita, dengan
jumlah kasus 20.032 penderita di dunia setelah India (127.295 penderita) dan
Hansen di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 0,79 per 10.000 penduduk dan
2
sebanyak 162 penderita dengan angka prevalensi 0,28 per 10.000 penduduk. Pada
tahun 2014 tercatat penemuan kasus baru yaitu sebanyak 129 kasus yang terdiri
atas tipe Multibasilar (MB) sebanyak 109 (84,4%) penderita dan tipe Pausibasilar
(PB) 20 (15,6%) penderita. Bila dilihat dari distribusi kasus baru Morbus Hansen
ada di kabupaten Lampung Tengah sebanyak 24 kasus yang terdiri atas tipe
atas tipe Multibasilar (MB) 19 (47,5%) dan tipe Pausibasilar (PB) 3 (7,5%). Dan
urutan ke tiga adalah Bandar Lampung sebanyak 22 kasus yang terdiri atas tipe
di kulit, namun hingga sebagian anggota tubuh tidak lagi lengkap, atau tidak bisa
digerakkan, bahkan ada yang kelopak mata tidak bisa ditutup. Perubahan-
cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
untuk mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita Morbus Hansen tidak meminum
obat secara teratur maka Mycobacterium leprae dapat menjadi aktif kembali dan
obat agar tidak timbul cacat yang baru (Departemen Kesehatan RI, 2006).
Multiple Drug Therapy (MDT) untuk pengobatan Morbus Hansen, yang terdiri
atas dapson, klofazimin, dan rifampisin (Stump et al, 2004). Rejimen terapi ini
apabila belum terjadi kerusakan jaringan saraf yang bersifat permanen. Meskipun
demikian, pasien Morbus Hansen sering terlambat diagnosis dan diberikan terapi
sehingga telah terjadi kecacatan walaupun pasien mendapat rejimen MDT secara
Angka penemuan kasus baru (NCDR) Morbus Hansen selama tahun 2009 –
2014 berfluktuasi dari 2,33 per 100.000 menjadi 1,9 per 100.000 penduduk, dan
angka ini sudah cukup baik (target <5 per 100.000 penduduk). Namun angka
kesembuhan (RFT) rate tahun 2014 di Lampung untuk PB sebesar 83,3% (12
penderita) dan MB sebesar 60,1% (82 penderita). RFT rate belum mencapai target
4
>90%. Proporsi cacat tingkat 2 tahun 2014 sebanyak 7% (target 5%). Hal tersebut
kemungkinan disebabkan oleh penderita tidak teratur minum obat, potensi obat
kurang, menyimpan obat tidak teratur, obat kadaluarsa, obat sering terlambat,
adanya resistensi obat, jumlah obat yang di minum kurang dari jumlah yang di
tentukan dan penderita lupa dalam pengambilan obat (Kemenkes RI, 2012).
pengobatan Morbus Hansen telah dilakukan, namun belum diteliti tentang faktor-
pada penemuan penyakit dan pengobatan secara dini, faktor karakteristik pribadi
pasien tentang Morbus Hansen, kepatuhan pasien untuk minum obat MDT,
dukungan keluarga dan masyarakat sekitar dan akses pelayanan kesehatan serta
yang teratur minum obat tidak mengalami kecacatan yang lebih besar di
Hansen
Morbus Hansen
Morbus Hansen
Hansen.
Morbus Hansen
Morbus Hansen
6
Hansen
Morbus Hansen.
penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer
menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ
lainnya (WHO, 2010). Morbus Hansen adalah penyakit kronis yang dapat
hanya pada masalah kesehatan fisik saja, tetapi juga masalah psikologis,
tersebut bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai segi sosial,
2.1.2 Etiologi
Secara umum bakteri ini memiliki bentuk pleomorf lurus, batang panjang, dan
sisi paralel dengan kedua ujung bulat; ukuran 0,3-0,5 x 1-8 mikron; basil ini
terutama dapat berkembang biak di dalam sel schwann saraf dan makrofag
kulit, memiliki sifat tahan asam, namun dapat diekstraksi oleh piridin (sifat
intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada media buatan, dapat
2000).
2.1.3 Epidemiologi
sebesar 192.246 kasus pada tahun 2011 dan ditemukan kasus baru sebesar
Sedangkan untuk angka penemuan kasus baru di dunia yang dilaporkan pada
Angka penemuan kasus baru di dunia sebesar 407.791 pada tahun 2004,
menurun menjadi 228.474 pada tahun 2010 dan hanya sebesar 219.075 pada
(MB), negara dengan kasus tertinggi di dunia adalah Kenya sebesar 99.21%,
Hansen di Indonesia pada tahun 2014 adalah sebesar 0,79 per 10.000
11
target program. Pada tahun 2014 dilaporkan 17.025 kasus baru Morbus
kontak dan survei kasus, serta melalui kegiatan pemeriksaaan sukarela yang
Puskesmas. Jumlah penderita baru adalah sebanyak 129 orang (MB sebanyak
2009-2014 cenderung tetap dari 0,29 per 10.000 penduduk menjadi 0,28 per
10.000 penduduk dan angka ini sudah cukup baik karena telah dibawah target
yaitu <1 per 10.000 penduduk. Angka penemuan kasus baru (NCDR) Morbus
Hansen selama tahun 2009 – 2014 berfluktuasi dari 2,33 per 100.000 menjadi
1,9 per 100.000 penduduk, dan angka ini sudah cukup baik (target < 5 per
di Lampung pada tahun 2014 adalah sebesar 83,3% (12 penderita) untuk
pausibasiler (PB) dan MB sebesar 60,1% (82 penderita). RFT rate belum
MH
NCDR Prevalen %
Jumlah pada
RFT
Tahun Kasus per per
anak (%) Kecacatan
100.000 10.000
PB MB pddk Pddk Tingkat II PB MB
2010 36 208 3,21 0,32 7,37 4,10 58,62 51,77
2011 24 226 2,35 0,33 6,08 8,29 50,00 50,00
2012 22 156 1,84 0,31 6,63 8,29 100 69,13
2013 15 118 1,90 0,28 4,00 6,0 83,3 60,1
2014 20 122 1,77 0,28 4,60 7,0 83,3 60,1
Sumber : Profil Kesehatan Provinsi Lampung
multibasiler (MB) tahun 2013 sebanyak 24 kasus dan tahun 2014 sebanyak
19 kasus. Distribusi kasus Morbus Hansen di Kota Bandar Lampung tahun 2010-
2014 tercantum dalam gambar dibawah ini (Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung,
2015).
14
Morbus Hansen menular melalui saluran pernafasan dan kulit (Chin, 2006).
berasal dari pasien Morbus Hansen tipe multibasiler (MB) yang belum
diobati atau tidak teratur berobat. Penyakit ini menyerang segala umur namun
jarang sekali pada anak dibawah usia 3 tahun. Hal ini diduga berkaitan
dengan masa inkubasi yang cukup lama. Namun meskipun sebagian besar
kemungkinan suatu saat bisa terserang penyakit ini (Mansjoer et al., 2000).
penyakit Morbus Hansen pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu
ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber
Mycobacterium leprae hidup pada suhu rendah. Bagian tubuh manusia yang
memiliki suhu lebih rendah yaitu mata, saluran pernafasan bagian atas, otot,
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau
progresif. Oleh karena itu penyakit Morbus Hansen dapat disebut sebagai
terinfeksi, melalui bersin, dan juga dapat ditularkan melalui tanah yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Atas dasar definisi
skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga,
dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl
Neelsen dapat dilakukan bila ada keraguan dan fasilitas yang memungkinkan.
Gambaran histologis yang khas dapat ditemukan dengan biopsi kulit atau
penyakit Morbus Hansen perlu dicari tanda- tanda utama atau cardinal sign,
yaitu:
(anasthesi).
17
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
(paralise)
c. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA
positif).
terdapat satu dari tanda - tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar
Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor
atau ahli Morbus Hansen, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
b. Kulit mengkilap
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
umumnya berupa makula, papul atau nodul tetap dapat pula bervariasi.
3. BTA positif
Pada hasil kerokan jaringan kulit, ditemukan basil tahan asam pada
kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem
imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik, akan tampak gambaran klinis
Morbus Hansen yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
SIFAT LL BL BB
Lesi
- Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrasi difus Plakat Dome-shaped (kubah)
Papul Papul Punched-out
Nodus
- Jumlah Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, masih ada Dapat dihitung, kulit sehat
tidak ada kulit sehat kulit sehat jelas ada
- Distribusi Simetris Hampir simetris asimetris
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak berkilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Tidak ada - tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
Sumber :Agusni & Menaldi, 2003
20
SIFAT TT BT I
Lesi
- Bentuk Makula saja; makula Makula dibatasi infiltrat; Hanya makula
dibatasi infiltrate infiltrat saja
- Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu Satu atau beberapa
dengan satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
- Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu negative Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) positif lemah Dapat positif lemah
atau negative
Sumber :Agusni & Menaldi, 2003
a. Indeterminate (I)
b. Tuberkuloid (T)
c. Borderline (B)
d Lepramatosa (L)
dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe
disertai BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam Morbus Hansen tipe
Hansen tipe BB, BL dan LL atau adapun klasifikasi klinisnya dengan BTA
Tanda Utama PB MB
2.1.7 Tatalaksana
lebih obat anti Morbus Hansen, yang salah satunya harus terdiri dari atas
rifampisin sebagai anti Morbus Hansen yang sifatnya bakterisid kuat dengan
obat anti Morbus Hansen lain yang bisa bersifat bakteriostatik. Berikut ini
a. Penderita baru yaitu mereka dengan tanda Morbus Hansen yang belum
MB
22
ii. Masuk kembali setelah default adalah penderita yang datang kembali
lengkap
sebagai berikut:
a. Tipe PB
b. Tipe MB
(600 mg), 3 kapsul Lampren 100 mg (300 mg) dan 1 tablet Dapsone
selesai dalam waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan sembuh, untuk tipe MB
penderita bahwa bercak yang akan ada akan berangsur hilang dan
dengan memelihara tangan dan kaki dengan baik dan bila penderita melihat
bercak kulit yang baru atau tanda – tanda baru mereka harus datang kembali
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit Morbus Hansen.
kepada penderita untuk berobat secara teratur (Zulkifli, 2003). Sementara itu
dengan penderita. Bila kontak ini tak dapat dihindari maka higiene badan
satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman M. Leprae diluar tubuh
manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini
tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas
cuaca makin cepat kuman Morbus Hansen mati. Jadi, dalam hal ini
penderita.
- Setiap penderita pindah alamat harus diikuti dengan teliti agar ia tidak
lepas dari pengobatan dan perawatan. Hal ini perlu dilakukan karena
menerus.
25
a. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9
laboratorium.
laboratorium.
Hansen.
d. Masa pengamatan.
- Relaps (kambuh)
From Treatment). RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa harus
pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus
pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT,
atau minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6 bulan secara
yang ditetapkan), maka penderita Morbus Hansen dikatakan default atau lalai
2.3.1 Usia
yang kurang. Untuk penderita lanjut usia, kepatuhan minum obat dapat
penderita lanjut usia tinggal sendiri. Sedangkan orang tua atau usia
Penderita wanita biasanya lebih patuh untuk minum obat karena sesuai
dengan kodrat wanita yang ingin tampak kelihatan cantik dan tidak
ingin cacat pada tubuhnya, sehingga wanita akan lebih patuh minum
2.3.3 Pekerjaan
2.3.4 Pendidikan
2.3.5 Pengetahuan
bahwa pengetahuan rendah memiliki resiko 2,89 kali untuk tidak teratur
Morbus Hansen
Mycobacterium leprae
Pengobatan
Multi Drug Therapy
Usia
Jenis Kelamin
Pendidikan
Pekerjaan
Pengetahuan
Sosial Ekonomi
Keterangan:
Variabel yang diteliti
Gambar 6. Kerangka Teori (Modifikasi Hutabarat, 2008)
30
1. Faktor usia
2. Faktor jenis kelamin
3. Faktor pendidikan Keberhasilan Terapi
4. Faktor pekerjaan Pasien Morbus Hansen
5. Faktor pengetahuan
6. Faktor sosial
ekonomi
2.6 Hipotesis
Hansen.
Morbus Hansen.
Hansen.
Hansen.
Morbus Hansen.
Morbus Hansen.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
sectional.
Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2016 – Januari 2017.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Morbus
Hansen yang berobat ke Puskesmas kota Bandar Lampung pada periode tahun
2013 - 2016. Sampel penelitian adalah pasien Morbus Hansen yang melakukan
kriteria inklusi yang diperoleh dari anamnesis dan data laporan Dinas Kesehatan
Kota Bandar Lampung, serta bersedia ikut penelitian yang dinyatakan secara
tertulis dalam informed consent. Tehnik sampling yang digunakan adalah total
sampel:
32
n= ( , )²
n= ( , )²
Keterangan:
n : Besar sampel
ekonomi
33
pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas yaitu
sebagai berikut.
2. Gagal, tidak
memenuhi kriteria RFT
34
3.6.1 Alat
penelitian dan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji
validitas adalah uji untuk menilai ketepatan dan kecermatan alat ukur (tes)
Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder dengan
peneliti.
penelitian.
univariat bivariat.
b. Lembar kuesioner
Pengumpulan Data
Analisis Data
Data yang diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah dalam
kembali data yang terkumpul apakah sudah lengkap, terbaca dengan jelas,
dimasukkan ke komputer.
dicetak
bivariat.
b. Analisa Bivariat
Penelitian ini telah disetujui dan mendapat surat keterangan layak etik
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka peneliti ingin memberikan saran bagi :
a. Puskesmas
pada penderita Morbus Hansen baik melalui media massa maupun dengan
b. Keluarga
c. Peneliti selanjutnya
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap faktor lain yang dapat
DAFTAR PUSTAKA
Agusni I, Menaldi SL. 2003. Beberapa Prosedur Diagnosis Baru pada Penyakit
Kusta. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
59-65.
Amiruddin M. 2006. Penyakit Kusta di Indonesia: Masalah Penanggulangannya.
Jakarta: Hipokrates.
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, et al. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Universitas Indonesia. 73-88.
Eddington N, Shuman R. 2005. Subjective well being (happiness). Continuing
Psychology Education: 6 Continuing Education Hours. Diunduh pada 10
mei 2016 dari http://www.texcpe.com/cpe/PDF/cahappiness. pdf.
Entjang I. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Entjang I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung: Citra Aditya Bakti. 52-
54.
Gubernur Lampung. 2016. Penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Bandar
Lampung Tahun 2016.
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Henny I. 2000. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakteraturan berobat
penderita kusta di kabupaten blora. [Tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Hutabarat. 2008. Pengaruh faktor internal dan eksternal terhadap kepatuhan
minum obat penderita kusta di kabupaten asahan tahun 2007. [Tesis].
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Kafiluddin, Moh. Erfan. 2010. Memberantas Penyakit Kusta/Lepra.
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Jakarta: Rineka Cipta.
Sari AN, Gustia R, Edison. Hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan
tingkat kecacatan pada penderita kusta di kabupaten padang
pariaman tahun 2013. J Kes Andalas. 2015. 4(3). 681-8.
Sehgal A. 2006. Leprosy: deadly diseases and epidemics. Diunduh dari
http://179.ifile.it/pzlvn/37577887/_leprosy_deadly_diseases_and_epidemics
_ pdf.
Selum, WCU. 2012. Faktor kecacatan pada ketidakteraturan berobat penderita
kusta di kabupaten pamekasan provinsi jawa timur. Indo J of Publ Health. 3
(8): 117-21.
Setiawan DA. 2012. Konsep Dasar Keluarga. Surakarta: Poltekes Surakarta.
Stump PR, Baccarelli R, Marciano LH, Lauris JRP, Teixeira MJ, Ura S, et al.,
2004. Neuropathic pain in leprosy patients. Internat J of Leprosy. 72(2):
134-8.
Susanto N. 2006. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kecacatan
penderita kusta (kajian di kabupaten sukoharjo). Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Tirtana. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan pada
pasien tuberkulosis paru dengan resistensi obat tuberkulosis di wilayah jawa
tengah [Skripsi]. Jawa Tengah: Universitas Diponegoro.
WHO. 2011. Weekly epidemiological record: global leprosy situation 2010.
Diunduh dari http://www.who.int/wer/2010/wer8636.pdf.
Yuniarasari Y. 2013. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadiaan kusta.
[Skripsi]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. Medan:
Universitas Sumatera Utara. 1-7.