Makalah Manajemen Risiko - Tugas Frs Pak Saroja - Angkatan 26 - 2017

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH MANAJEMEN RISIKO DALAM

PELAYANAN KESEHATAN DI INSTALASI FARMASI


RUMAH SAKIT

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmasi Rumah Sakit dengan
Dosen Pengampu: Drs. Saroja, Apt., Sp.FRS.

Nama Kelompok :
Wijayanti Marheani 1061611016
Martanti Gunawan 1061711071
Nala Ghassani 1061711078
Yuliana 1061711126

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI “YAYASAN PHARMASI SEMARANG"
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Rumah sakit yang menerapkan prinsip keselamatan pasien berkewajiban


untuk mengidentifikasi dan mengendalikan seluruh risiko strategis dan operasional
yang penting. Hal ini mencakup seluruh area baik manajerial maupun fungsional,
termasuk area pelayanan, tempat pelayanan, juga area klinis. Rumah sakit perlu
menjamin berjalannya sistem untuk mengendalikan dan mengurangi risiko.
Manajemen risiko berhubungan erat dengan pelaksanaan keselamatan pasien rumah
sakit dan berdampak kepada pencapaian sasaran mutu rumah sakit. Ketiganya
berkaitan erat dalam suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan (Suryadi, 2015).
Manajemen risiko merupakan disiplin ilmu yang luas. Seluruh bidang
pekerjaan di dunia ini pasti menerapkannya sebagai sesuatu yang sangat penting.
Makin besar risiko suatu pekerjaan, maka makin besar perhatiannya pada aspek
manajemen risiko ini. Pengertian dari risiko adalah peluang terjadinya sesuatu yang
akan mempunyai dampak pada pencapaian tujuan. Sedangkan manajemen risiko
adalah budaya, proses dan struktur yang diarahkan untuk mewujudkan peluang
peluang sambil mengelola efek yang tidak diharapkan atau kegiatan terkoordinasi
untuk mengarahkan dan mengendalikan organisasi (NZS, 2004).
Pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu
kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, Alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik.
Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan.
Apoteker dalam melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian tersebut juga harus
mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi yang disebut dengan manajemen
risiko (Kemenkes RI, 2016).
Manajemen risiko menurut Kemenkes RI merupakan aktivitas pelayanan
kefarmasian yang dilakukan untuk identifikasi, evaluasi, dan menurunkan risiko
terjadinya kecelakaan pada pasien, tenaga kesehatan dan keluarga pasien, serta
risiko kehilangan dalam suatu organisasi (Kemenkes RI, 2016). IFRS (Instalasi
Farmasi Rumah Sakit) merupakan salah satu komponen penting dalam pelayanan
kesehatan. Setiap kegiatan pelayanan yang dilakukan di instalasi farmasi pasti
mengandung resiko, baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui. Oleh
karena itu, dengan manajemen resiko, diharapkan kerugian yang ditimbulkan dari
ketidakpastian dapat dikurangi bahkan dihilangkan untuk kelangsungan pelayanan
kesehatan khususnya di IFRS (Qoriawaty, 2016).
BAB II
ISI

2.1 Definisi Manajemen Resiko


Manajemen risiko adalah suatu proses mengidentifikasi, mengukur risiko,
serta membentuk strategi untuk mengelolanya melalui sumber daya yang tersedia.
Strategi yang dapat digunakan antara lain mentransfer risiko pada pihak lain,
mengindari risiko, mengurangi efek buruk dari risiko dan menerima sebagian
maupun seluruh konsekuensi dari risiko tertentu.

Menurut Djojosoedarso manajemen risiko merupakan berbagai cara


penanggulangan risiko. Dan menurut Peltier, manajemen risiko merupakan proses
mengidentifikasi risiko, mengukur untuk mengurangi risiko. Sedangkan, menurut
Dorfman manajemen risiko merupakan proses logik yang digunakan oleh
perusahaan bisnis dan individual. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa setiap
orang harus selalu berusaha untuk mencegah terjadinya resiko, artinya bahwa
adanya upaya untuk meminimumkan resiko yang terjadi. Dan pencegahan resiko
tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengelolaan dari pencegahan resiko
inilah yang kita sebut sebagai manajemen risiko.

Program manajemen risiko dengan demikian mencakup tugas-tugas, seperti


(1) Mengidentifikasi risiko-risiko yang dihadapi; (2) Mengukur atau menentukan
besarnya risiko tersebut; (3) Mencari jalan untuk menghadapi atau menanggulangi
risiko; (4) Menyusun strategi untuk memperkecil ataupun mengendalikan risiko;
(5) Mengkoordinir pelaksanaan penanggulangan risiko serta mengevaluasi program
penanggulangan risiko yang telah di buat

2.1 Fungsi-Fungsi Pokok Manajemen Risiko


Menurut Djojosoerdarso, fungsi pokok manajemen risiko terdiri dari:
1. Menemukan Kerugian Potensial
Artinya berupaya untuk menemukan atau mengidentifikasi seluruh
risiko murni yang dihadapi perusahaan, yang meliputi (a) Kerusakan fisik dari
harta kekayaan perusahaan; (b) Kehilangan pendapatan atau kerugian lainnya
akibat terganggunya operasi perusahaan; (c) Kerugian akibat adanya tuntutan
hokum dari pihak lain; (d) Kerugian-kerugian yang timbul karena penipuan,
tindakan-tindakan kriminal lainnya, tidak jujurnya karyawan; (e) Kerugian-
kerugian yang timbul akibat karyawan kunci (keymen) meninggal dunia, sakit
dan cacat.
2. Mengevaluasi Kerugian Potensial
Artinya melakukan evaluasi dan penilaian terhadap semua kerugian
potensial yang dihadapi oleh perusahaan. Evaluasi dan penilaian ini akan
meliputi perkiraan mengenai (a) Besarnya kemungkinan frekuensi terjadinya
kerugian artinya memperkirakan jumlah kemungkinan terjadinya kerugian
selama suatu periode tertentu atau berapa kali terjadinya kerugian tersebut
selama suatu periode tertentu; (b)Besarnya bahaya dari tiap-tiap kerugian,
artinya menilai besarnya kerugian yang diderita, yang biasanya dikaitkan
dengan besarnya pengaruh kerugian tersebut, terutama terhadap kondisi
financial perusahaan; (c) Memilih teknis/cara yang tepat atau menentukan
suatu kombinasi dari teknik-teknik yang tepat guna menanggulangi kerugian.

2.3 Identifikasi dan Analisa Resiko


Menurut Darmawi tahapan pertama dalam proses manajemen risiko adalah
tahap identifikasi risiko. Identifikasi risiko merupakan suatu proses yang secara
sistematis dan terus menerus dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan
timbulnya risiko atau kerugian terhadap kekayaan, hutang, dan personil perusahaan.
Proses identifikasi risiko ini mungkin adalah proses yang terpenting, karena dari
proses inilah, semua risiko yang ada atau yang mungkin terjadi pada suatu proyek,
harus diidentifikasi.

Proses identifikasi harus dilakukan secara cermat dan komprehensif,


sehingga tidak ada risiko yang terlewatkan atau tidak teridentifikasi. Dalam
pelaksanaannya, identifikasi risiko dapat dilakukan dengan beberapa teknik, antara
lain:
a) Brainstorming
b) Questionnaire
c) Industry benchmarking
d) Scenario analysis
e) Risk assessment workshop
f) Incident investigation
g) Auditing
h) Inspection
i) Checklist
j) HAZOP (Hazard and Operability Studies)

Setelah melakukan identifikasi risiko, maka tahap berikutnya adalah


pengukuran risiko dengan cara melihat potensial terjadinya seberapa besar severity
(kerusakan) dan probabilitas terjadinya risiko tersebut. Penentuan probabilitas
terjadinya suatu event sangatlah subyektif dan lebih berdasarkan nalar dan
pengalaman. Beberapa risiko memang mudah untuk diukur, namun sangatlah sulit
untuk memastikan probabilitas suatu kejadian yang sangat jarang terjadi. Sehingga,
pada tahap ini sangtalah penting untuk menentukan dugaan yang terbaik supaya
nantinya kita dapat memprioritaskan dengan baik dalam implementasi perencanaan
manajemen risiko. Kesulitan dalam pengukuran risiko adalah menentukan
kemungkinan terjadi suatu risiko karena informasi statistik tidak selalu tersedia
untuk beberapa risiko tertentu. Selain itu, mengevaluasi dampak severity
(kerusakan) seringkali cukup sulit untuk asset immateriil.

2.4 Pengelolaan Resiko


Jenis-jenis cara mengelola risiko:
1. Risk avoidance
Yaitu memutuskan untuk tidak melakukan aktivitas yang mengandung risiko
sama sekali. Dalam memutuskan untuk melakukannya, maka harus
dipertimbangkan potensial keuntungan dan potensial kerugian yang dihasilkan
oleh suatu aktivitas.
2. Risk reduction
Risk reduction atau disebut juga risk mitigation yaitu merupakan metode yang
mengurangi kemungkinan terjadinya suatu risiko ataupun mengurangi dampak
kerusakan yang dihasilkan oleh suatu risiko.
3. Risk transfer
Yaitu memindahkan risiko kepada pihak lain, umumnya melalui suatu kontrak
(asuransi).
4. Risk deferral
Dampak suatu risiko tidak selalu konstan. Risk deferral meliputi menunda
aspek saat dimana probabilitas terjadinya risiko tersebut kecil.
5. Risk retention
Walaupun risiko tertentu dapat dihilangkan dengan cara mengurnagi maupun
mentransfernya, namun beberapa risiko harus tetap diterima sebagai bagian
penting dari aktivitas.

Penanganan risiko
a) High probability, high impact: risiko jenis ini umumnya dihindari ataupun
ditransfer.
b) Low probability, high impact: respon paling tepat untuk tipe risiko ini adalah
dihindari. Dan jika masih terjadi, maka lakukan mitigasi risiko serta
kembangkan contingency plan.
c) High probability, low impact: mitigasi risiko dan kembangkan contingency
plan.
d) Low probability, low impact: efek dari risiko ini dapat dikurangi, namun
biayanya dapat saja melebihi dampak yang dihasilkan. Dalam kasus ini
mungkin lebih baik untuk menerima efek dari risiko tersebut.
e) Contingency plan: Untuk risiko yang mungkin terjadi maka perlu dipersiapkan
contingency plan seandainya benar-benar terjadi. Contingency plan haruslah
sesuai dan proporsional terhadap dampak risiko tersebut. Dalam banyak kasus
seringkali lebih efisien untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya untuk
mengurangi risiko dibandingkan mengembangkan contingency plan yang jika
diimplementasikan akan lebih mahal. Namun beberapa scenario memang
membutuhkan full contingency plan.

2.5 Proses Manajemen Resiko


Pemahaman risk management memungkinkan manajemen untuk terlibat
secara efektif dalam menghadapi uncertainty dengan risiko dan peluang yang
berhubungan dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan nilai
tambah. Menurut COSO, proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam 8
komponen (tahap)
1. Internal environment (lingkungan internal)
Komponen ini berkaitan dengan lingkungan dimana instansi
Pemerintah berada dan beroperasi. Cakupannya adalah risk-management
philosophy (kultur manajemen tentang risiko), integrity (integritas), risk-
perspective (perspektif terhadap risiko), risk-appetite (selera atau penerimaan
terhadap risiko), ethical values (nilai moral), struktur organisasi, dan
pendelegasian wewenang.
2. Objective setting (penentuan tujuan)
Manajemen harus menetapkan objectives (tujuan-tujuan) dari
organisasi agar dapat mengidentifikasi, mengakses, dan mengelola risiko.
Objective dapat diklasifikasikan menjadi strategic objective dan activity
objective. Strategic objective di instansi Pemerintah berhubungan dengan
pencapaian dan peningkatan kinerja instansi dalam jangka menengah dan
panjang, dan merupakan implementasi dari visi dan misi instansi tersebut.
Sementara itu, activity objective dapat dipilah menjadi 3 kategori, yaitu (1)
operations objectives; (2) reporting objectives; dan (3) compliance objectives.
Risk tolerance dapat diartikan sebagai variasi dalam pencapaian objectif yang
dapat diterima oleh manajemen.
3. Event identification (identifikasi risiko)
Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kejadian potensial baik yang
terjadi di lingkungan internal maupun eksternal organisasi yang mempengaruhi
strategi atau pencapaian tujuan dari organisasi. Kejadian tersebut bias
berdampak positif (opportunities), namun dapat pula sebaliknya atau negatif
(risks).
4. Risk assessment (penilaian risiko)
Komponen ini menilai sejauhmana dampak dari events (kejadian atau
keadaan) dapat mengganggu pencapaian dari objectives. Besarnya dampak
dapat diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat dianalisis dalam dua
perspektif, yaitu: likelihood (kecenderungan atau peluang) dan
impact/consequence (besaran dari terealisirnya risiko). Dengan demikian,
besarnya risiko atas setiap kegiatan organisasi merupakan perkalian antara
likelihood dan consequence.
Penilaian risiko dapat menggunakan dua teknik, yaitu: (1) qualitative
techniques; dan (2) quantitative techniques. Qualitative techniques
menggunakan beberapa tools seperti self-assessment (low, medium, high),
questionnaires, dan internal audit reviews. Sementara itu, quantitative
techniques data berbentuk angka yang diperoleh dari tools seperti probability
based, non-probabilistic models (optimalkan hanya asumsi consequence), dan
benchmarking. Yang perlu dicermati adalah events relationships atau
hubungan antar kejadian/keadaan. Events yang terpisah mungkin memiliki
risiko kecil. Namun, bila digabungkan bisa menjadi signifikan. Demikian pula,
risiko yang mempengaruhi banyak business units perlu dikelompokkan dalam
common event categories, dan dinilai secara aggregate.
5. Risk response (sikap atas risiko)
Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian risiko. Risk
response dari organisasi dapat berupa:
a) avoidance, yaitu dihentikannya aktivitas atau pelayanan yang
menyebabkan risiko;
b) reduction, yaitu mengambil langkah-langkah mengurangi likelihood atau
impact dari risiko;
c) sharing, yaitu mengalihkan atau menanggung bersama risiko atau
sebagian dari risiko dengan pihak lain;
d) acceptance, yaitu menerima risiko yang terjadi (biasanya risiko yang
kecil), dan tidak ada upaya khusus yang dilakukan. Dalam memilih sikap
(response), perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti pengaruh tiap
respon terhadap risk likelihood dan impact, respon yang optimal sehingga
bersinergi dengan pemenuhan risk appetite and tolerances, analis cost
versus benefits, dan kemungkinan peluang (opportunities) yang dapat
timbul dari setiap risk response.
6. Control activities (aktifitas-aktifitas pengendalian)
Komponen ini berperanan dalam penyusunan kebijakan-kebijakan
(policies) dan prosedur-prosedur untuk menjamin risk response terlaksana
dengan efektif. Aktifitas pengendalian memerlukan lingkungan pengendalian
yang meliputi: (1) integritas dan nilai etika; (2) kompetensi; (3) kebijakan dan
praktik-praktik SDM; (4) budaya organisasi; (5) filosofi dan gaya
kepemimpinan manajemen; (6) struktur organisasi; dan (7) wewenang dan
tanggung jawab.
Dari pemahaman atas lingkungan pengendalian, dapat ditentukan jenis
dan aktifitas pengendalian. Terdapat beberapa jenis pengendalian, diantaranya
adalah preventive, detective, corrective, dan directive. Sementara aktifitas
pengendalian berupa: (1) pembuatan kebijakan dan prosedur; (2) pengamanan
kekayaan organisasi; (3) delegasi wewenang dan pemisahan fungsi; dan (4)
supervisi atasan. Aktifitas pengendalian hendaknya terintegrasi dengan
manajemen risiko sehingga pengalokasian sumber daya yang dimiliki
organisasi dapat menjadi optimal.
7. Information and communication (informasi dan komunikasi)
Fokus dari komponen ini adalah menyampaikan informasi yang relevan
kepada pihak terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam penyampaiaan informasi dan komunikasi adalah
kualitas informasi, arah komunikasi, dan alat komunikasi. Informasi yang
disajikan tergantung dari kualitas informasi yang ingin disampaikan, dan
kualitas informasi dapat dipilah menjadi: (1) appropriate; (2) timely; (3)
current; (4) accurate; dan (5) accessible. Arah komunikasi dapat bersifat
internal dan eksternal. Sedangkan alat komunikasi berupa diantaranya manual,
memo, buletin, dan pesan-pesan melalui media elektronis.
8. Monitoring
Monitoring dapat dilaksanakan baik secara terus menerus (on going)
maupun terpisah (separate evaluation). Aktifitas monitoring ongoing
tercermin pada aktivitas supervisi, rekonsiliasi, dan aktivitas rutin lainnya.
Monitoring terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu (kasuistis).
Pada monitoring ini ditentukan scope tugas, frekuensi, proses evaluasi
metodologi, dokumentasi, dan action plan. Pada proses monitoring, perlu
dicermati adanya kendala seperti reporting deficiencies, yaitu pelaporan yang
tidak lengkap atau bahkan berlebihan (tidak relevan). Kendala ini timbul dari
berbagai faktor seperti sumber informasi, materi pelaporan, pihak yang
disampaikan laporan, dan arahan bagi pelaporan.

Menurut Menkes RI (2016) manajemen risiko pengelolaan sediaan farmasi,


alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dilakukan melalui beberapa langkah
yaitu:
1. Menentukan konteks manajemen risiko pada proses pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
2. Mengidentifikasi Risiko
Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam pengelolaan sediaan farmasi,
alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai antara lain:
a) ketidaktepatan perencanaan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai selama periode tertentu;
b) pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
tidak melalui jalur resmi;
c) pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
yang belum/tidak teregistrasi;
d) keterlambatan pemenuhan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai;
e) kesalahan pemesanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai seperti spesifikasi (merek, dosis, bentuk sediaan) dan
kuantitas;
f) ketidaktepatan pengalokasian dana yang berdampak terhadap
pemenuhan/ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai;
g) ketidaktepatan penyimpanan yang berpotensi terjadinya kerusakan dan
kesalahan dalam pemberian;
h) kehilangan fisik yang tidak mampu telusur;
i) pemberian label yang tidak jelas atau tidak lengkap; dan
j) kesalahan dalam pendistribusian.
3. Menganalisa Risiko
Analisa risiko dapat dilakukan kualitatif, semi kuantitatif, dan kuantitatif.
Pendekatan kualitatif dilakukan dengan memberikan deskripsi dari risiko yang
terjadi. Pendekatan kuantitatif memberikan paparan secara statistik
berdasarkan data sesungguhnya.
4. Mengevaluasi Risiko
Membandingkan risiko yang telah dianalisis dengan kebijakan pimpinan
rumah sakit (contoh peraturan perundang-undangan, standar operasional
prosedur, surat keputusan direktur) serta menentukan prioritas masalah yang
harus segera diatasi. Evaluasi dapat dilakukan dengan pengukuran berdasarkan
target yang telah disepakati.
5. Mengatasi Risiko
Mengatasi risiko dilakukan dengan cara:
a) melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan rumah sakit;
b) mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;
c) menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);
d) menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
e) mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi menghindari risiko,
mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan risiko, dan
mengendalikan risiko.
BAB III
PENUTUP

Beberapa risiko yang berpotensi terjadi dalam melaksanakan pelayanan


farmasi klinik adalah:
a) Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien
Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien akan berakibat
terhadap kemungkinan kesalahan dalam terapi. Faktor risiko tersebut adalah
umur, gender, etnik, ras, status kehamilan, status nutrisi, status sistem imun,
fungsi ginjal, fungsi hati.
b) Faktor risiko yang terkait terkait penyakit pasien
Faktor risiko yang terkait penyakit pasien terdiri dari 3 faktor yaitu: tingkat
keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat keparahan, tingkat cidera yang
ditimbulkan oleh keparahan penyakit.
c) Faktor risiko yang terkait farmakoterapi pasien
Faktor risiko yang berkaitan dengan farmakoterapi pasien meliputi: toksisitas,
profil reaksi Obat tidak dikehendaki, rute dan teknik pemberian, persepsi
pasien terhadap toksisitas, rute dan teknik pemberian, dan ketepatan terapi.

Setelah melakukan identifikasi terhadap risiko yang potensial terjadi dalam


melaksanakan pelayanan farmasi klinik, Apoteker kemudian harus mampu
melakukan:
a) Analisa risiko baik secara kualitatif, semi kualitatif, kuantitatif dan semi
kuantitatif.
b) Melakukan evaluasi risiko; dan
c) Mengatasi risiko melalui:
1) melakukan sosialisasi terhadap kebijakan pimpinan Rumah Sakit;
2) mengidentifikasi pilihan tindakan untuk mengatasi risiko;
3) menetapkan kemungkinan pilihan (cost benefit analysis);
4) menganalisa risiko yang mungkin masih ada; dan
5) mengimplementasikan rencana tindakan, meliputi menghindari risiko,
mengurangi risiko, memindahkan risiko, menahan risiko, dan
mengendalikan risiko.

Pembinaan dan edukasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang terlibat dalam
setiap tahap manajemen risiko perlu menjadi salah satu prioritas perhatian. Semakin
besar risiko dalam suatu pemberian layanan dibutuhkan SDM yang semakin
kompeten dan kerjasama tim (baik antar tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan
lain/multidisiplin) yang solid. Beberapa unit/area di Rumah Sakit yang memiliki
risiko tinggi, antara lain Intensive Care Unit (ICU), Unit Gawat Darurat (UGD),
dan kamar operasi.
DAFTAR PUSTAKA

Idris, Fachmi. 2007. Manajemen Resiko Dalam Pelayanan Kesehatan: Konsep


Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat–
Kedokteran Komunitas. Palembang : Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.

Kemenkes RI. 2016. Peraturan Menkes RI No. 72 Tahun 2016 Tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta : Kemenkes RI.

New Zealand Standart (NZS). 2004. The Australian And New Zealand Standard on
Risk. Edisi 3. New Zealand : NZS.

Qoriawaty, Fitri. 2016. Manajemen Risiko Dalam Pelayanan Kesehatan di Instalasi


Farmasi dan Contoh Kasus yang Terjadi di Ifrs Rsud Dr. Adjidarmo Kab.
Lebak. Laporan Mata Kuliah Patient Safety. Bandung : Fakultas Farmasi
Universitas Padjadjaran.

Anda mungkin juga menyukai