Tasyri Pada Masa Imam Abu Hanifah
Tasyri Pada Masa Imam Abu Hanifah
Tasyri Pada Masa Imam Abu Hanifah
Tarikh Tasyri’
Dosen Pengampu:
Disusun oleh :
Isna Lia Renanti (931105817)
(IAIN) KEDIRI
2019
KATA PENGANTAR
Dengan ucapan puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Karena limpahan
rahmat,taufik, inayah, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
mata kuliah Hukum Perdata yang berjudul “Tasyri’ pada Masa Imam Abu Hanifah”.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya, dan semua pengikut beliau yang
telah ikhlas memperjuangkan agama Allah sampai akhir hayat. Dan kami
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Syaiful Bahri,M.HI. selaku pembimbing
yang telah memberi kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai perbaikan
dalam penulisan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................. 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tarikh tasyri’ adalah ilmu yang membahas tentang kondisi fiqh Islam pada
zaman Nabi SAW dan seterusnya dengan menetukan fase-fase perkembangan
sumber-sumber syariat dan hukumnya, menjelaskan setiap perubahan yang
terjadi, menetapkan sebuah hukum dan ijtihad yang terhimpun dalam fiqh Islam.
Dalam perjalanan dan perkembangannya, fiqh Islam telah mengalami zaman
kegemilangan dengan muculnya beberapa mujtahid dan fuqaha’ besar yang
memiliki peranan penting dalam membangun kemajuan dan kesempurnaan fiqh
Islam.1
Sejalan dengan munculnya para imam besar, mereka mendedikasikan
hidupnya untuk ilmu pengetahuan dan berkhidmah pada agama islam di setiap
persoalan. Lahirlah beberapa mazhab fiqh, yang membahas tentang hasil ijtihad,
cara istinbath, dan kaidah-kaidah yang mereka terapkan. Salah satunya adalah
mazhab Hanafi, yang merupakan mazhab fiqh tertua diantara mazhab Maliki,
Syafi’i, dan Hambali. Yang mendirikan mazhab Hanafi adalah Imam Abu
Hanifah, beliau memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya,
cerdas, dan tajam wawasannya. Sebagai sumber dan pemikirannya yaitu
mendirikan madrasah Ahlu Ra’yi yang menjadikannya manhaj khusus dalam
pensyariatan Islam dan penggalian hukum sebagai perantara pemahaman kepada
kaum muslimin.2
Dalam menentukan ketetapan hukum, Imam Abu Hanifah berpegang
kepada al-Qur’an kemudian as-Sunnah dan perkataan para sahabat, jika tidak
menemukannya baru setelahnya beliau berijtihad.
1
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 3.
2
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, hlm. 171.
1
Dalam makalah ini, saya akan membahas lebih mendetail tentang tasyri’
pada masa Imam Abu Hanifah, biografi intelektual beliau, tokoh-tokoh penting,
karakteristik, dan sumber tasyri’ mazhab Hanafiyah. Agar pembaca bisa lebih
memahami bagaimana beliau dalam melakukan istinbath hukum dan menambah
wawasan atau pengetahuan pembaca tentang kehidupan Imam Abu Hanifah. Dan
sebagai bentuk apresiasi untuk para ulama.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tasyri’ pada masa Imam Abu Hanifah?
2. Bagaimana analisis terhadap corak pemikiran Imam Abu Hanifah?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tasyri’ pada masa Imam Abu Hanifah.
2. Mengetahui analisis terhadap corak pemikiran Imam Abu Hanifah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
ِ َعلَى َرأْي.ص ِل ْ َ ار ِسيَةُ األ َ َ ه ِم ْن أ َ ْس َرةِ ف80 ان بِ ْال ُك ْوفَّ ِة َعا َّم ُ َولَدَ النُّ ْع َم
ي النُ ْع َما ُن تَيْمنٌا بِأ َ َح ِد َم ْل َو َك الفَ ْر ِس َ س ِمَ : َوقِ ْي َل, َال َكثِي َْر ِمنَ ال ُم َؤ َر ِخيْن
ب َو ََل ِ ص ِح ْي ُح ِأل َ َّن اِ ْس َم النُّ ْع َمان َكانَ َم ْش ُه ْو ًرا ِع ْندَ العَ َر َ َو َهذَا َغي ُْر
ي ُّ َ ي َحنِ ْيفَة ال ُحب َْر أ َ َو ِه. َو َكانَ يُ ْكنِى بِأَبِي َحنِ ْيفَة, َِسيَ َما العَ َراقِيِيْن
َو َه ِذ ِه ال ِكنَ َي ِة. الَّ ِت ْي َكانَ َي ْح ِملُ َها َم َعهُ ِل ِكتَا َب ِة َما َيتْ ِلقَاهُ ِمنَ ْالعُلُ ْو ِم,ال َم ْح َب َرة
ِي ْ ب الَّذِ ت ِع ْن َوانٌا َواِ ْس ٌما ِل ْل َم ْذ َه ْ َظل ُ َو,ط َوا َل َح َيا ِت ِهَ ُشتْ ُه َر ِب َها َو ََل زَ ْمتَه َ ا
4
.َي ْق ِلدُهَ ال َم ََل ِييْنَ ِم ْن ال ُم ْس ِل ِميْنَ ِفي ْال َعالَ ِم ْال َي ْو ِم
3
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.
71.
4
Imam Abu Hanifah An-Nu’man (Abhatsul Basroh, 2012), hlm. 176.
3
An-Nu'man lahir di Kufah pada tahun 80 H dari keluarga Persia.
Menurut pendapat banyak sejarawan, dikatakan: Nama Nu’man diambil dari
salah satu nama raja Persia dan hal ini dianggap tidak benar karena nama
Nu'man sudah terkenal di kalangan bangsa Arab, terutama Irak, itu adalah
gelar Imam Abu Hanifah. Gelar tersebut merupakan nama yang tersemat pada
Imam Abu Hanifah ketika menulis di berbagai karangan keilmuan, dan gelar
ini pun terkenal dan tersemat sepanjang kehidupan Imam Abu Hanifah dan
menjadi nama mazhab yang dianutnya bagi seluruh muslim di dunia pada saat
ini.
5
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 172.
6
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembantukan Hukum Islam (Depok: Gramata Publishing,
2010), hlm. 121.
4
Abu Hanifah tidak memulai pembelajaran dari fiqh, tetapi memulai
dengan ilmu kalam sehingga hal ini yang menyokong dalam pembentukkan
metode berfikirnya yang rasional dan realistis. Pada perkembangannya, ia
dikenal dengan sebutan ahlu ra’yi dalam fiqh dengan metodenya yang
terkenal, yaitu istihsan. Abu Hanifah tidak meninggalkan karya tulis
mengenai pandangan hukum. Hanya saja terdapat risalah-risalah kecil yang
dinisbatkan kepadanya, seperti al-fiqh al-akbar, al-alim wa al-muta’alim dan
juga risalah yang menolak pandangan qadariyyah. Karya-karya tersebut
kemudian dibukukan oleh para muridnya. Terdapat empat orang murid Abu
Hanifah yang paling terkenal, yakni Ya’kub ibn Ibrahim ibn Habib al Ansari,
terkenal dengan nama Abu Yusuf, Zuffar ibn Hudail, Muhammad ibn al-
Hassan ibn Farqad asy-Sayibani, dan al-Hasan ibn Ziyad al-Lu’lui. Melalui
keempat muridnya inilah pemikiran Abu Hanifah tersebar luas, terutama
melalui dua muridnya, Abu Yusuf dan asy-Syaibani.7
Gubernur Irak dari Bani Umayah, Yazid bin Umar bin Hubairah hendak
mengangkat Imam Abu Hanifah sebagai qadhi (hakim) di Kufah, namun
beliau menolaknya, lalu beliau didera sebanyak 110 cambukan. Namun ia
tetap tidak mau menerimanya, ketika Ibnu Hubairah melihat keadaannya
demikian maka dibebaskanlah Imam Abu Hanifah. Pada masa khalifah al-
Mansyur al-Abbasi, Imam Abu Hanifah dipindahkan dari Kufah ke Baghdad
dan hendak dijadikan qadhi namun beliau juga menolaknya, lalu al-Mansur
bersumpah atasnya agar jabatan tersebut diterima. Kemudian Imam Abu
hanifah juga bersumpah tidak akan menerima jabatan tersebut. Maka ar-Rabi’
al-Hajib berkata, “Apakah kamu tidak perhatikan Amirul Mukminin telah
bersumpah?” Abu Hanifah berkata, “Amirul Mukminin lebih mampu
membayar kifarat sumpahnya daripada aku.” Ar-Rabi bin Yunus
menceritakan, “Saya melihat Amirul Mukminin al-Mansur menetapkan dalam
bidang peradilan, dan Imam Abu Hanifah berkata, “Bertakwalah kepada Allah
7
Iqbal Juliansyahzen, “Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: Sebuah Kajian Sosio-Historis Seputar
Hukum Keluarga”, Jurnal Al-Mazahib, 1 (Juni, 2015), hlm. 76.
5
dan janganlah bersekutu dalam amanatmu kecuali kepada orang yang takut
kepada Allah. Demi Allah, aku tidak merasa tentram bila menerimanya, maka
bagaimana aku menjadi tentram dengan kemarahan (jabatan qadhi)? Sungguh
aku tidak layak terhadap jabatan tersebut.” Al-Mansur berkata padanya,
“Engkau berdusta, engkau pantas memangkunya.” Jawab Imam Abu Hanifah,
“Sungguh engkau telah memutuskan tentang diriku, maka bagaimana engkau
dibolehkan mengangkat seorang qadhi yang akan melaksanakan amanatmu
sedang ia sendiri adalah seorang pendusta.”8
8
Abdurrahman Kasdi, “Metode Ijtihad Dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah”, Jurnal Yudisia, 2
(Desember, 2014), hlm. 219-220.
6
hujjah yang digunakan dan menjadi sandaran di kalangan pengikut
madzhab Hanafi.
d. Abul Huzail, Zufar Ibnu Huzail bin Qais al-Kufi (110-158 H)
Dilahirkan di Asfihan, meninggal di Basrah. Pada mulanya, dia
cenderung kepada bidang hadits, tetapi kemudian dia lebih berminat pada
bidang ar-ra’yudan muncul sebagai seorang ahli dalam al-qiyas, hingga
merupakan orang yang paling termasyhur dalam perkara ini di kalangan
murid dan peringkat Imam Abu Hanifah. Dia adalah seorang mujtahid
mutlak.
e. Al-Hassan bin Ziyad al-lu’lu’i (wafat 204 H)
Pada mulanya, dia belajar kepada Abu Hanifah, kemudian kepada Abu
Yusuf dan Muhammad. Dia terkenal sebagai orang yang meriwayatkan
hadits dan fatwa / pendapat Imam Abu Hanifah. Namun, riwayatnya tidak
dapat menandingi kitab Zahir ar-Riwayat yang dihasilkan oleh al-Imam
Muhammad. Kepakarannya di bidang fiqih tidaklah sampai kepada
kepakaran dan martabat Imam Abu Hanifah dan kedua sahabat utamanya,
yaitu Abu Yusuf dan Muhammad al-Hassan Asy-Syaibani.9
9
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul hayyie Al-Kattani
(Jakarta:Gema Insani, 2010), hlm. 40.
7
beliau juga sangat terkenal dengan istihsan, yang mana istihsan tersebut tidak
digunakan pada mazhab-mazhab lain. Yang membedakan antara pemikiran
Imam Abu Hanifah dengan imam lainnya adalah terletak pada kebenarannya
menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang
menjadi sasaran utama di syariatkannya suatu hukum.10
10
Abdurrahman Kasdi, “Metode Ijtihad Dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah”, Jurnal Yudisia, 2
(Desember, 2014), hlm. 223-224.
8
d. Ijma’
Ijma’ adalah hujjah (dasar hukum). Ia adalah konsensus para imam
mujtahid dalam suatu masa terhadap suatu hukum. Para ulama sepakat
bahwa ijma’ adalah hujjah, tetapi mereka berselisih tentang keberadannya
setelah masa sahabat. Imam Ahmad menolak kalau ijma’ terjadi setelah
masa sahabat, karena tidak mungkinnya para ulama saat itu bersatu dan
sepakat.
e. Qiyas
Imam Abu Hanifah menggunakan qiyas ketika tidak ada nash al-
Qur’an, sunnah atau ucapan sahabat. Qiyas ialah menyamakan hukum
suatu perkara yang tidak ada nashnya dengan perkara yang ada nashnya
karena adanya kesamaan dalam illat (sebab) antara keduanya. Maka qiyas
sebenarnya membawa perkara tersebut kepada nash dengan cara mengenal
sebab dan sifat-sifatnya yang sesuai yang ada nashnya. Ketika diketahui
adanya kesamaan dalam sebab, maka hukumnya disamakan.
f. Istihsan
Istihsan yaitu berpindah dari ketentuan yang seharusnya menuju
ketentuan baru karena ada pertimbangan atau karena ada alasan. Hal itu
dikarenakan karena beberapa alasan:
1. Karena qiyas yang nampak telah nyata tidak sesuai bagi sebagian
perkara yang bersifat parsial sehingga harus mencari illat lain. Hal
ini dinamakan qiyas khafi (qiyas tersembunyi, lawan qiyas zhahir).
2. Karena qiyas zhahir kontradiksi dengan nash sehingga qiyas
tersebut tidak diambil. Sebab qiyas hanya boleh diambil saat tidak
ada nash.
3. Karena qiyas berbenturan dengan ijma’, atau karena bertentangan
dengan ‘urf.
g. ‘Urf
‘Urf (adat istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum
muslimin dan tidak ada nash, baik dari al-Qur’an, sunnah, atau perbuatan
9
sahabat, dan berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash
sehingga dapat dijadikan hujjah. ‘Urf terbagi menjadi dua, yang shahih,
yakni yang sesuai dengan nash, dan yang fasid (tidak shahih), yang
menyalahi nash. ‘Urf fasid harus diabaikan. ‘Urf shahih menjadi dasar
hukum saat tidak ada nash.11
11
Muhammad Abu Zahrah, Fiqih Islam Mazhab dan Aliran (Tangerang Selatan: Gaya Media Pratama,
2014), hlm. 125-126.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hanafiyah adalah mazhab tertua diantara mazhab empat, yang
didirikan oleh Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit bin Zutha At-Tamimiya
yang berasal dari Kufah. Beliau terkenal sebagai seorang yang ahli dalam
ilmu fiqih di Irak dan pendiri madrasah Ahlu Ra’yi. Fiqh beliau juga sangat
terkenal dengan istihsan. Kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari
tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama di
syariatkannya suatu hukum. Tokoh yang paling penting dalam mazhab
Hanafiyah adalah gurunya yang bernama Hammad bin Sulaiaman, dan
beberapa muridnya antara lain: Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Kufi,
Muhammad ibnul Hassan asy-Syibani, Abul Huzail, Zufar Ibnu Huzail bin
Qais al-Kufi, Al-Hassan bin Ziyad al-lu’lu’I. Dalam menentukan ketetapan
hukum, Imam Abu Hanifah berpegang kepada al-Qur’an kemudian as-Sunnah
dan perkataan para sahabat, jika tidak menemukannya baru setelahnya beliau
berijtihad.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Fiqih Islam Mazhab dan Aliran. Tangerang Selatan: Gaya
Media Pratama, 2014.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Terj. Abdul Hayyie Al-Kattani.
Jakarta: Gema Insani, 2010.
Imam Abu Hanifah An-Nu’man. Abhatsul Basroh, 2012.
Kasdi, Abdurrahman. “Metode Ijtihad Dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah”. Jurnal
Yudisia (online), Vol. 5, No. 2, 2014, (http://eprints.stainkudus.ac.id, diakses 20
Maret 2019).
Juliansyahzen, Iqbal. “Pemikiran Hukum Islam Abu Hanifah: Sebuah Kajian Sosio-
Historis Seputar Hukum Keluarga”. Jurnal Al-Mazahib (online), Vol. 3, No. 1,
2015, (http://ejournal.uin-suka.ac.id, diakses 20 Maret 2019).
Sopyan, Yayan. Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembantukan Hukum Islam. Depok: Gramata
Publishing, 2010.
12