Bab I

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan usia dini adalah perkawinan yang dilakukan pada usia remaja, pada

umumnya dapat menimbulkan masalah baik secara fisiologis, psikologis maupun sosial

ekonomi (Romauli dan Vindari, 2012). Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana

Nasional (2014), menyatakan bahwa usia siap menikah untuk laki-laki pada usia 25

tahun sedangkan perempuan pada usia 20 tahun.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) memiliki Program

Generasi Berencana (GenRe) yang dilaksanakan dengan pendekatan dari dua sisi yaitu

pendekatan kepada remaja itu sendiri dan pendekatan kepada keluarga yang memiliki

remaja. Pendekatan kepada remaja dilakukan melalui pengembangan Pusat Informasi

dan Konseling Remaja (PIK R), sedangkan pendekatan kepada keluarga melalui

pengembangan kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR). Melalui kelompok bina

keluarga remaja setiap keluarga yang memiliki remaja dapat saling bertukar informasi

dan bersama tentang hal-hal yang berkaitan dengan remaja, meliputi kebijakan

program generasi berencana salah satunya pendewasaan usia pekawinan (Pusat Data

dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) diluncurkan oleh program

generasi berencana yang diselenggarakan oleh BKKBN bertujuan untuk memberikan

pengertian dan kesadaran pada remaja bahwa dalam merencanakan keluarga, remaja

dapat mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengan kehidupan


berkeluarga, emosional, mental, kesiapan fisik, pendidikan, sosial, ekonomi serta

menentukan jumlah dan jarak kelahiran (BKKBN, 2008).

Data World Health Organization tahun 2014 menunjukkan bahwa 16 juta

kelahiran terjadi pada ibu yang berusia 15-19 tahun atau 11% dari seluruh kelahiran di

dunia yang mayoritas (95%) terjadi di negara berkembang. Sebuah penelitian di

Amerika Latin dan Karibia menunjukkan bahwa 29% wanita menikah saat berusia 18

tahun. Prevalensi tertinggi kasus pernikahan usia dini di dunia terdapat di Nigeria

(79%), Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%). Menurut Kemenkes

RI tahun 2015, Indonesia menempati peringkat 37 di dunia dalam hal pernikahan usia

muda serta tertinggi kedua di ASEAN setelah kamboja. Hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa di Indonesia data pernikahan dini sudah

cukup tinggi yaitu 4,8% pada usia 10-14 tahun dan 41,9% pada usia 15-19 tahun.

Pernikahan usia dini sering diawali dengan terjadinya kehamilan. Berdasarkan

Data Age Spesific Fertility Rate (ASFR) di Bali ditemukan bahwa kehamilan remaja

pada usia dini cukup tinggi. Remaja yang hamil usia < 20 tahun ditemukan sebanyak

653 jiwa, sedangkan persalinan remaja pada usia < 20 tahun sebanyak 412 jiwa. Daerah

Kabupaten Tabanan berada pada peringkat empat di Provinsi Bali dalam hal remaja

yang hamil usia < 20 tahun, sebanyak 71 jiwa dan remaja yang bersalin usia < 20 tahun

sebanyak 45 jiwa (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2017). Data perkawinan di

Kabupaten Tabanan pada usia < 21 tahun terdapat 1854 jiwa. Jumlah laki-laki yang

menikah usia < 21 tahun 447 jiwa dan perempuan 1407 jiwa. Data pernikahan usia <

21 tahun lebih banyak ditemukan pada perempuan, hal tersebut dikarenakan

perempuan menikah dengan pasangannya yang berusia > 21 tahun (Dinas Penduduk
dan Catatan Sipil, 2017). Hasil dari studi pendahuluan bahwa data kehamilan dan

persalinan yang cukup tinggi pada remaja yang berusia < 20 tahun tentunya akan

beresiko tinggi pada kesehatan ibu dan bayi.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah pernikahan usia dini

melalui wajib belajar selama 12 tahun, mensosialisasikan pentingya pendidikan

kesehatan reproduksi (PP No. 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi).

Pernikahan yang dilakukan dalam usia muda dapat berisiko terhadap kesehatan,

pendidikan, ekonomi, keamanan diri perempuan dan anak-anakya (Anwar, 2016).

Kehamilan dan persalinan di usia yang terlalu muda berkolerasi dengan angka

kesakitan dan kematian ibu. Anak perempuan usia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat

meninggal saat hamil maupun bersalin sedangkan pada kelompok usia 15-19 tahun

risikonya meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan kelompok usia 20-24

tahun (WHO, 2014).

Dampak dari kehamilan dini secara fisiologis adalah keguguran (Abortus),

persalinan prematur, mudah terjadi infeksi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan

kelainan bawaan, anemia kehamilan, keracunan kehamilan (Gestosis) dan kematian

ibu. Dampak yang timbul secara psikologis yaitu perceraian, karena pasangan muda

keadaan psikologisnya belum matang, sehingga masih labil dalam menghadapi

masalah yang timbul dalam perkawinan. Jika dipandang secara sosial ekonomi, pada

usia yang cukup untuk berumah tangga, seseorang akan memiliki kehidupan yang kuat

atau dorongan mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya (Romauli dan Vindari,

2012).
Berdasarkan penelitian Pohan (2017) di Labuhanbatu Utara, status ekonomi

berpengaruh terhadap pernikahan usia dini, bahwa remaja yang status ekonominya

rendah mempunyai resiko 3,28 kali menikah dini dibandingkan dengan remaja putri

yang status ekonominya tinggi. Penelitian di SMP Muhammadiyah Piyungan dapat

diketahui bahwa pengetahuan remaja tentang pendewasaan usia perkawinan tertinggi

dalam persentase yang cukup (49,3%). Pengetahuan setiap individu dapat berbeda

antara satu dengan yang lainnya karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi

tingkat pengetahuan seseorang antara lain pengalaman, usia, lingkungan dan paparan

media informasi (Lestari, Sunarti dan Pratiwi, 2014).

Dilihat dari faktor-faktor penyebabnya serta resiko yang mungkin terjadi akibat

pernikahan usia dini perlu untuk dilakukan penyuluhan/edukasi kepada remaja yang

masih berusia dibawah 20 tahun. Penyuluhan kesehatan dapat memberikan dan

meningkatkan pengetahuan yang selanjutnya dapat mempengaruhi kesehatan

reproduksi pada remaja. Penyuluhan merupakan bentuk promosi kesehatan sederhana

yang dapat mencakup sasaran luas. Ceramah dalam penyuluhan dapat merangsang

pikiran dan dikombinasikan dengan dialog antara pemberi ceramah dan audiens.

Sasaran penyuluhan adalah usia remaja yaitu pelajar Sekolah Menengah Atas

(SMA). Hal tersebut dikarenakan pada usia pelajar rentan terkena pengaruh buruk dari

pergaulan yang dijalaninya dan mulai muncul keinginan untuk mencoba hal baru tanpa

disadari justru menjerumuskannya kepada seks bebas yang berakibat kehamilan dan

perkawinan usia dini karena kurangnya edukasi mengenai hal tersebut (Dewi, dkk.,

2017).
Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tabanan merupakan sekolah yang letaknya

di pusat Kota Tabanan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan pada

tanggal 20-23 Maret 2018 didapatkan informasi jumlah siswa kelas XI sebanyak 525

orang, laki-laki jumlahnya 282 orang sedangkan perempuan sebanyak 243 orang. Hasil

wawancara yang dilakukan oleh penulis di SMA Negeri 2 Tabanan pada bagian

kesiswaan bahwa disekolah tersebut terdapat ekstrakurikuler Kelompok Siswa Peduli

Aids dan Narkoba (KSPAN), namun tidak semua siswa memilih ekstrakurikuler

tersebut. Hasil wawancara dengan siswa kelas XI didapatkan bahwa dari sepuluh siswa

terdapat tiga siswa yang mengetahui tentang pendewasaan usia perkawinan, sedangkan

tujuh siswa belum mengetahui tentang pendewasaan usia perkawinan, maka perlu

diberikan penyuluhan kepada siswa tentang pendewasaan usia perkawinan.

Berdasarkan hal diatas penulis tertarik menjadikannya sebagai sebuah penelitian yang

berjudul “Perbedaan Pengetahuan Mengenai Pendewasaan Usia Perkawinan Sebelum

dan Sesudah diberikan Penyuluhan pada Siswa di SMA Negeri 2 Tabanan Tahun

2018”.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Apakah terdapat perbedaan pengetahuan mengenai pendewasaan usia

perkawinan sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan pada siswa di SMA Negeri 2

Tabanan tahun 2018?”


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan

pengetahuan mengenai pendewasaan usia perkawinan sebelum dan sesudah diberikan

penyuluhan pada siswa di SMA Negeri 2 Tabanan tahun 2018.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi pengetahuan siswa sebelum diberikan penyuluhan tentang

pendewasaan usia perkawinan.

b. Mengidentifikasi pengetahuan siswa sesudah diberikan penyuluhan tentang

pendewasaan usia perkawinan.

c. Menganalisis perbedaan pengetahuan siswa sebelum dan sesudah diberikan

penyuluhan tentang pendewasaan usia perkawinan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Secara teoritis informasi dari penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber

atau bahan kajian bagi petugas kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dalam

pendewasaan usia perkawinan.

2. Manfaat praktis

a. Manfaat bagi sekolah

Penelitian ini bermanfaat untuk membantu memberikan informasi tentang

pendewasaan usia perkawinan.


b. Manfaat bagi siswa

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi dan meningkatkan

pengetahuan siswa mengenai pendewasaan usia perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai