Tugas Resume
Tugas Resume
Tugas Resume
Dosen pengampu :
SUSANTI MARISYA,S.Pd.,M.Pd
Oleh
Afrizal
1810003744008
2020
A. Hakikat feminisme dan citra perempuan.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, penulis mengacu kepada pendapat Pradopo yang mengemukakan
bahwa citra didefinisikan sebagai kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh kata, frasa,
atau kalimat yang merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Hal tersebut disebabkan
dalam penelitian skripsi penulis meliputi kesan mental dan visual yang diungkapkan melalui kata, frasa,
dan kalimat melalui kutipan-kutipan yang telah diidentifikasi dari tokoh perempuan. Model pencitraan
dapat dilakukan dengan berbagai model, salah satunya penelitian mengenai citra perempuan dengan
menggunakan pendekatan kritik Sastra feminis. Pada penelitian sastra feminis menunjukan citra
perempuan dalam sebuah karya sastra yang penulisnya laki-laki dan perempuan yang menampilkan
perempuan sebagai makhluk yang ditekan, disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriarki yang
dominan. Di pihak lain, kajian dalam perempuan dalam tulisan penulis laki-laki dan perempuan dapat
juga menunjukkan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan justru mendukung nilai-nilai feminis. Peta
pemikiran feminisme diharapkan mempu memberikan pandangan-pandangan baru terutama yang
berkaitan dengan bagaimana karakter-karakter tokoh perempuan yang diwakili dalam karya sastra.
Penelitian citra perempuan atau images of women ini merupakan suatu jenis sosiologi yang menganggap
teks-teks sastra dapat digunakan sebagai bukti adanya berbagai jenis peranan perempuan. Mengingat
fokus penelitian ini adalah pencitraan perempuan, pengertian citra perempuan perlu diperjelas.
Sugihastuti (dalam Purwanto, 2003:11) menjelaskan bahwa citra perempuan adalah rupa, gambaran;
berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental (bayangan) visual
yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frasa, atau kalimat yang tampak dari peran atau fungsinya dalam
kehidupan bermasyarakat yang digambarkan para tokoh dalam sebuah cerita.
Selain itu, Sofia (2009:24) mengemukakan bahwa citra perempuan adalah semua wujud gambaran mental
spiritual dan tingkah laku keseharian perempuan yang menunjukkan perwajahan dan ciri khas perempuan.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa citra perempuan adalah refleksi tentang
perempuan sebagaimana tersaji dalam tokoh perempuan yang terdapat dalam novel atau suatu karya
sastra. Berkaitan dengan penelitian ini maka citra perempuan adalah refleksi tentang perempuan
sebagaimana tersaji dalam tokoh perempuan yang terdapat dalam novel Ibuk karya Iwan Setyawan.
Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan
kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 2008: 8). Sastra sebagai seni
kreatif yang menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya dapat dijadikan suatu media
untuk menyampaikan ide, teori, ataupun sistem berpikir manusia.
Karya sastra digunakan pengarang untuk menyampaikan pikirannya tentang sesuatu yang ada
dalam realitas yang dihadapinya. Realitas ini merupakan salah satu faktor penyebab pengarang
menciptakan karya sastra, di samping unsur imajinasi. Untuk mengetahui pikiranpikiran pengarang yang
terdapat di dalam karyanya, sastra dapat dibahas berdasarkan dua hal, yaitu isi dan bentuk. Dari sisi isi,
sastra membahas tentang hal yang terkandung di dalamnya, sedangkan dari sisi bentuk, sastra membahas
cara penyampaiannya.
Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan
pandangan untuk menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena persoalan yang
dibicarakan dalam novel adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan.
Perkembangan novel di Indonesia cukup pesat. Hal ini terbukti dengan banyaknya novel-novel
baru yang diterbitkan. Novel-novel tersebut mempunyai bermacam tema dan isi, antara lain tentang
masalah-masalah sosial yang pada umumnya terjadi dalam masyarakat, termasuk yang berhubungan
dengan perempuan. Sosok perempuan sangat menarik untuk dibicarakan. Perempuan di wilayah publik
cenderung dimanfaatkan oleh kaum laki-laki untuk memuaskan koloninya. Perempuan telah menjadi
bahan eksploitasi bisnis dan seks. Dengan kata lain, saat ini telah hilang sifat feminis yang dibanggakan
dan disanjung bukan saja oleh kaum perempuan, tetapi juga kaum lakilaki. Hal ini sangat menyakitkan
apabila perempuan hanya menjadi satu segmen bisnis atau pasar.
Gerakan emansipasi perempuan yang dipelopori oleh R.A. Kartini semestinya membawa
perempuan pada kesetaraannya dengan laki-laki untuk memperoleh hak pendidikan sampai tingkat
tertinggi. Selanjutnya, karena perempuan telah memperoleh pendidikan, mereka “dituntut” untuk
mengabdikan ilmunya pada masyarakat. Dalam diri perempuan muncul keinginan untuk berprestasi
dalam mewujudkan kemampuan dirinya sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang telah
dipelajarinya. Perempuan menginginkan untuk berkiprah di ranah publik dalam rangka
mengaktualisasikan dirinya.
Di sisi lain, budaya patriarki yang masih kuat mengakar dalam kehidupan masyarakat
mengonstruksi perempuan pada posisi tersuborermanifestasi dalam bentuk marginalisasi, stereotipe,
kekerasan, dan beban kerja. Ketidakadilan terhadap perempuan tersebut terjadi dalam berbagai tempat,
baik di ranah domestik maupun di ranah publik.
Sampai saat ini masih banyak kaum perempuan yang belum biasa menikmati pendidikan
sepenuhnya. Masih banyak orang tua yang beranggapan bahwa anak perempuan tidak perlu mendapat
pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya mereka hanya akan ke dapur juga. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam masyarakat terdapat anggapan bahwa tugas utama perempuan adalah ranah domestik, yaitu
tugas kerumahtanggaan. Adapun laki-laki akan berperan di ranah publik sehingga mereka diharuskan
untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik daripada anak perempuan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa dalam masyarakat terdapat pandangan yang bersifat androsentris, sudut pandang dari perspektif
laki-laki, perempuan dipandang sebagai objek yang pasif, bukan subjek (Sofia, 2009: 17). Kendala yang
dihadapi oleh perempuan dalam kiprahnya di ranah publik maupun domestik berpangkal pada pandangan-
pandangan yang telah terbentuk dan telah mengakar dalam masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan
tentang hal-hal yang pantas untuk perempuan dan yang pantas untuk laki-laki.
Secara sosial dan kultural, perempuan dan laki-laki dibedakan dalam banyak hal. Laki-laki
dianggap “lebih” dibandingkan dengan perempuan sehingga memunculkan pandangan inferior terhadap
keberadaan perempuan di dalam masyarakat. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional dan emosional
menyebabkan mereka tidak layak menjadi pemimpin dan berakibat munculnya sikap menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak penting (Fakih, 2007:15) Label feminim dilekatkan pada
perempuan yang dipandang lebih lemah, kurang aktif, dan lebih menaruh perhatian kepada keinginan
mengasuh dan mengalah. Sebaliknya, label maskulin dilekatkan pada laki-laki yang dipandang lebih kuat,
lebih aktif, dan lebih berorientasi pada pencapaian dominasi, otonomi, dan agresi (Sugihastuti, 2005:13).
Penggunaan teori kritik sastra feminisme telah banyak digunakan dalam menganalisis karya
sastra. Kritik sastra feminis sebagai cabang ilmu sosiologi sastra berawal dari hasrat para perempuan
feminism untuk menganalisis karya para pengarang perempuan di masa silam dan untuk menunjukkan
citra perempuan dalam karya para penulis laki-laki yang menampilkan perempuan sebagai makhluk yang
ditekan, disalahtafsirkan, dan disepelekan oleh tradisi patriarki yang dominan. Dalam masyarakat
patriarki, perempuan dimasukkan dalam kubu rumah yang terbatas pada lingkungan serta kehidupan di
rumah, sedangkan laki-laki dimasukkan dalam kubu umum yang mencakup lingkungan dan kehidupan di
luar rumah (Djajanegara, 2003: 30).
Saat ini kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengungkapan dan penjelasan tentang
fenomenafenomena perempuan dalam karya sastra kepada masyarakat semakin meningkat. Analisis
terhadap perjuangan feminisme dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dengan analisis kritik sastra
feminis dirasa perlu untuk diungkap. Ada beberapa alasan dipilihnya novel Perempuan Berkalung Sorban
sebagai bahan kajian. Alasan tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Novel Perempuan Berkalung Sorban
memuat perjuangan perempuan untuk mendapat eksistensi dan hak-hak sebagai manusia yang mandiri,
baik dalam pendidikan maupun sosial. 2. Novel Perempuan Berkalung Sorban memuat isu-isu tentang
perempuan mulai dari kekerasan dalam rumah tangga dan subordinasi terhadap perempuan dalam
berbagai hal akibat perbedaan gender. 3. Tokoh perempuan mendominasi dalam alur cerita. Tokoh
tersebut dihadirkan sebagai subjek yang mengutarakan pengalaman-pengalaman hidup tokoh perempuan
tersebut.
Pembelajaran apresiasi sastra masih dianggap sebagai salah satu pelajaran yang tidak penting
diajaran kepada siswa. Hal ini karena pembelajaran apresiasi sastra yang diajarkan masih bersifat
monoton dan belum mendorong siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Seharusnya pembelajaran
apresiasi sastra dapat dinikmati siswa secara apresiatif agar siswa memiliki kepekaan dan ketertarikan
untuk membaca karya sastra, khususnya novel. Apabila pembelajaran apresiasi sastra dilakukan secara
tepat, siswa akan memperoleh kesenangan, pengalaman, dan pemahaman yang baik tentang manusia dan
kemanusiaan, lingkungan, nilai-nilai moral, inspirasi, dan ide-ide baru. Hal ini sejalan dengan pendapat
Effendi (2002: 6) yang mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan
sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan, pikiran kritis, dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Adapun yang dimaksud dengan pembelajaran apresiasi prosa
atau novel adalah suatu kegiatan menggauli dengan sungguh-sungguh sehingga timbul kepekaan, pikiran
kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra, khususnya novel dan sastra pada umumnya.