Paradigma Metode Penelitian Kualitatif PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 267

i

ii
PENGANTAR

Karya (tulis) ilmiah hakekatnya adalah tulisan yang mendalam sebagai hasil dari
mengkaji dengan metode ilmiah. Metode ilmiah itu sendiri merupakan prosedur untuk
memperoleh kebenaran ilmiah, dengan ciri-ciri rasional dan teruji. Memang, selama ini orang
membedakan karya ilmiah atas karya ilmiah hasil penelitian ilmiah dan karya ilmiah hasil
pemikiran ilmiah. Namun, harus diakui bahwa kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui
penelitian ilmiah lebih banyak mengundang permasalahan, lebih menuntut prosedur yang
cukup kompleks. Untuk itu, teramat diperlukan hadirnya buku yang mampu memandu para
pencari kebenaran ilmiah (baca: peneliti) dalam membangun tubuh pengetahuannya, dalam
memformat kebenaran ilmiahnya, dalam berbagai disiplin keilmuan, termasuk keilmuan seni,
humaniora, dan kebudayaan pada umumnya.
Buku Paradigma-paradigma Kualitatif untuk Penelitian Seni, Humaniora, dan Budaya
ini merupakan pemikiran paradigma teoritis guna menjadi “pisau analisis” dalam pengkajian
dan penelitian seni, ilmu-ilmu sosial, dan budaya. Salah satu keunggulan buku ini adalah
memaparkan model-model pendekatan penelitian seni dan humaniora dengan paradigma
keilmuan setelah era modern, lebih tepatnya, banyak mengungkapkan pemikiran-pemikiran
para filosof era postmodern. Era modern yang didominasi oleh pemikiran subjek-objek,
menjadi objektivikasi manusia mulai dicerahkan dengan pemikiran intersubjek dalam
mendekati persoalan penelitian kebudayaan manusia.
Interpretasi terhadap makna seni-budaya manusia kurang tepat bila didekati dengan
pemikiran positivistik yang membendakan manusia. Ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan seni
adalah ilmu-ilmu dalam rumpun geisteswissenschafen, bahwa keilmuwan ini tidak dapat
dipaksakan menggunakan paradigma keilmuwan pengetahuan alam, naturwissenschaften.
Martin Heidegger dalam bukunya Being and Time mengungkapkan bahwa selain tentang “ada”
namun juga tidak dapat dilepaskan tentang proses waktu terus-menerus secara historis tentang
meng-“ada”. Manusia sebagai makhluk sosio-humaniora budaya haruslah ditelaah tidak hanya
tentang “ada-nya”, namun juga harus dikaji dan diteliti secara cermat tentang proses meng-
“ada”-nya sebagai makhluk sosial. Itulah, proses penelitian interpretatif sosio-humaniora dan
seni-budaya sangat memerlukan paradigama dialektik intersubjektif serta kontekstual dari
berbagai aspeknya.

iii
Buku ini cukup komprehensif. Karena, di samping penulis membahas paradigma
kualitatif dan teori kebudayaan, terapan teori dan metode kajian budaya, paradigma evaluasi
nilai estetik, penulis juga mengetengahkan tulisan tentang progres pengembangan kajian seni.
Dalam buku ini penulis juga memberikan paparan tentang ilmu semiotika, ilmu tentang tanda,
yang jika diterapkan dalam bidang seni dapat berkesesuaian dengan masyarakat abad ini (yang
penuh dengan tanda dan simbol melalui media masa dan tampilan pusat-pusat perbelanjaan).
Sudah barang tentu setiap penulis mempunyai tafsiran sendiri-sendiri mengenai dunia
yang ditulisnya. Sehingga, tidak setiap penulis mempunyai pandangan yang tepat sama dengan
penulis yang lain. Menurut saya, justru dari perbedaan seperti itu akan muncul peluang untuk
memajukan pengetahuan tentang topik atau perihal yang sedang dipedulikan itu. Harapan saya,
buku ini akan membantu kita semua dalam penelitian kualitatif untuk bidang keilmuan seni,
humaniora, dan budaya seperti yang dimaksud oleh penulis buku ini. Pun, buku ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan mutu akademik bidang seni, humaniora, dan budaya, baik bagi
para seniman, budayawan, maupun pendidik seni.
Akhir kata, untuk semua pihak, baik yang setuju, tidak setuju, maupun yang kurang
setuju atas buku ini, baik untuk sebagian maupun sepenuhnya, tetap sependapat dengan saya
bahwa kemauan setiap orang untuk menulis buku yang mencerdaskan orang lain, harus selalu
disambut gembira!

Yogyakarta, 8 Februari 2017

Dr. Sumaryadi, M.Pd.

iv
v
vi
Pendahuluan

Pada periode akhir abad ke-19, bermunculan pandangan tentang kelemahan paradigma
posistivisme guna mengungkap fenomena sosial budaya masyarakat, karena dasar pandangan
yang mengobjektisasi masyarakat sehingga tidak terjadi hubungan dialektik antara peneliti dan
masyarakat yang diteliti. Pandangan tentang unified science, pada era abad 19 yang
menganggap aturan-aturan ilmiah harus berlaku secara “mendunia“ dengan fakta-fakta yang
ada kemudian menghitung secara eksak dan memunculkan teori besar yang berlaku secara
umum seperti layaknya ilmu alam, semua yang bukan fakta empiris disebut sebagai bukan
ilmiah (scientific). Setelah abad ke-19 disadari beberapa kelemahan universal science dan
bersamaan dengan kritik atas era modern. Teori-teori postmodern memunculkan antara lain
poststrukturalisme (M. Foucault, J. Derrida, R. Barthes, Habermas) selain itu juga muncul teori
strukturasi (Anthony Giddens), yang mengkritik paradigma strukturalisme (Ferdinand de
Saussure, Levi Strauss). Di dunia ini ada permainan bahasa yang disebut language game oleh
Wittgenstein, permainan bahasa dalam masyarakat sesuai dengan konteksnya tersendiri
(Barker, 2014: 153), sehingga menyadarkan bahwa aturan struktur masyarakat-sosial tidaklah
sama semua, namun ada parol-parol, “dialeg” di setiap daerah kajian, wilayah etnis
masyarakat yang diteliti.

Objek kebudayaan material seni selalu hidup dan dihidupi oleh masyarakat
pendukungnya, sehingga upaya mengungkapkan makna objek material seni tidak bisa
dilepaskan dengan masyarakat pemilik seni budaya tersebut, nilai-nilai estetik dan etik menyatu
antara karya-karya seni dengan masyarakatnya. Masyarakat pemilik budaya memiliki language
game tersendiri, kedalaman keindahan seni gamelan tidak bisa diukur dengan kriteria
keindahan musik orchestra barat, dan sebaliknya keindahan symphonic orchestra tidak bisa
diukur dengan kriteria keindahan musik karawitan. Pemikiran semacam ini yang memunculkan
teori-teori studi budaya (Cultural Studies) dengan tokoh antara lain Edward Said, Raymond
Williams, Crish Barker, Julia Kristeva.

Pemikiran masyarakat sudah masuk pada era postmodern, masyarakat hiper realis,
manakala pemikiran-pemikiran kita masih tetap pada paradigma lama yaitu universal scientific

vii
dan narasi besar modern tanpa menghiraukan lingkaran kritis atas pemikiran-pemikiran
postmodern niscaya kita tidak bisa dengan tepat menganalisa fenomena seni budaya
masyarakat masa kini dan yang akan datang. Permasalahan ini berakibat pada kesalahan
menarik kesimpulan yang disebabkan pada ketidak tepatan dalam penggunaan metode.
Kesalahan dapat terjadi antara lain karena masih menggunakan aturan-aturan rasionalitas
instrumental, sebagaimana aturan-aturan baku dalam penerapan metode positivisme logis,
bukan melihat realitas dalam dan luar secara apa adanya dan bersifat dialektik. Kesalahan pada
penelitian bukan saja berdampak pada hasil namun terlebih juga bisa kesalahan kebijakan yang
berdampak pada kerugian manusia, manakala paradigma dan hasil penelitian tersebut
diterapkan dalam masyarakat.

Buku ini merupakan cetakan untuk edisi ke-2, edisi pertama dicetak oleh Charissa
Publisher untuk itu kami mengucapkan terimakasih atas kerjasama dengan saya mencetak buku
ini. Pada cetakan kedua ini, dilengkapi dengan kajian tentang dekonstrusi atas teks ataupun
syair lagu, juga ditambahkan metode penelitian dengan materi cerita-cerita mitos dalam
masyarakat. Isi buku ini merupakan “pisau” analisis untu peneliti kualitatif sehingga penelitian-
penelitian seni, humaniora dan budaya lebih mendasarkan pada kesatuan axiology, teks dan
konteks, harmoni dan selaras dengan setting budaya masyarakat guna memperoleh hasil
interpretasi pemaknaan sesuai dengan trajectory fokus penelitian.

Sebagian artikel dalam buku ini memang khusus ditulis guna penyampaian gagasan
pentingnya pemahaman yang tebal dan mendalam dalam kajian seni budaya masyarakat dengan
lebih menekankan pada paradigma penelitian kualitatif dengan memperhatikan aspek sosial-
budaya masyarakatnya. Sebagian artikel-artikel yang lain merupakan tulisan yang dimuat di
jurnal dan pemakalah seminar nasional maupun internasional. Pandangan-pandangan para
pemikir kajian budaya masyarakat diungkapkan di dalam buku ini, sekaligus penerapan-
penerapan kajiannya baik guna analisis ilmiah maupun kaitannya dengan penelitian seni dan
budaya masyarakat. Buku ini dibagi dalam empat kelompok yaitu: Pertama kelompok yang
lebih melihat teori-teori kebudayaan dalam pengkajian dan penelitian seni. Kedua terapan-
terapan teoritis dan prakmatis atas teori-teori kebudayaan tersebut dalam pengkajian dan
penelitian seni. Ketiga adalah kriteria yang harus diperhatikan dalam menilai baik maupun
kurang baik suatu karya seni. Model-model pertimbangan semacam ini sangat perlu

viii
diperhatikan khususnya bagi para evaluator seni maupun yuri. Keempat adalah terapan dan
progres perkembangan kajian seni.

Perkenankan saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Wakil Rektor I UNY, Dr.
Margana, M.Hum., M.A. beserta jajarannya, yang telah memberikan dana untuk buku ini
melalui Program Penulisan Buku Bagi Dosen . Ucapan terimakasih kepada Dr. Widyastuti
Purbani, Dekan FBS UNY yang telah mendukung penulisan buku ini dan Dr. Sumaryadi,
M.Pd., selaku pembimbing senior saya tahun 1990 - tahun 2015 sekaligus mantan Ketua
Jurusan saya yang berkenan memberikan pengantar untuk buku ini. Akhirnya kepada segenap
pembaca yang telah memilih buku ini, semoga buku ini menjadi jalan analisis dalam penelitian
kualitatif.

Yogyakarta, 1 September 2017


Salam saya,

A.M.Susilo Pradoko

ix
Penelitian Kualitatif dan Inspirasi Permasalahan Penelitian

Sejarah dan Gambaran Definisi


Penelitian kualitatif memiliki tradisi yang cukup lama khususnya dalam penelitian
antropologi, tokoh-tokoh peneliti model ini: Boas, Mead, Benedict, Bateson, Evan-Pritcard,
Radclif- Brown, dan Malinowski dimana meneliti di setting yang asing untuk studi adat-
istiadat, kebiasaan masyarakat lain dan Budaya. Pada 1920 an metode ini juga dikembangkan
oleh kelompok “Chicago School” dengan penelitian life histori . Lima phase perkembangan
keilmuwan kualitatif, yaitu: Tradisional (1900 – 1950); Modern (1950 – 1970), Aliran Blurred
(1970-1986); Krisis Representasi (1986-1990) dan Postmodern tahun 1990 hingga sekarang
(Denzin dan Yvonna S., 1994: 1-2).
Penelitian kualitatif merupakan multi metode yang fokus, melibatkan interpretasi,
pendekatan alamiah pada materi subjek. Ini berarti bahwa penelitian kualitatif studi segala
sesuatu dalam setting alamiah mereka, berusaha mengerti dan menginterpretasi, fenomena
dalam pengertian sesuai arti masyarakatnya. Penelitian kualitatif melibatkan studi
menggunakan dan mengkoleksi variasi materi-materi empiris, studi kasus, pengalaman
personal, introspektif, life histori, interview, observasi, sejarah, interaksional, dan teks visual
yang mengambarkan rutinitas dan problem waktu dan arti hidup individual (Denzin dan
Yvonna S., 1994: 2).
Penelitian kualitatif sebagai seorang yang professional mampu melakukan dan
mengambil data yang pada prinsipnya sebagai peneliti tunggal dalam segala aspeknya,
walaupun di lapangan dapat dibantu oleh tim atau kelompoknya. Denzin dan Yvonna menyebut
sebagai A bricoleur (a kind of professional do it yourself person) (Denzin dan Yvonna S.,
1994:2). Lexy Moleong menyebut manusia sebagai instrumen, peneliti sendiri atau dengan
bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama (Moleong, 1994: 4). Namun
sebaiknya jangan lalu disimpulkan manusia sebagai instrumen, tetapi lebih baik dinyatakan
bahwa manusia sebagai pemikir utama pemecahan masalah, memilih metode yang tepat untuk
permasalahannya, mengumpulkan data, mengolah dan menyimpulkan selaras dengan setting
penelitiannya. Instrumen dalam penelitian kualitatif dapat berubah sesuai dengan setting
penelitian, bukan merupakan alat pengukuran yang baku yang diprediksi sebelumnya seperti
halnya dalam paradigm positivistic.

1
Berbagai paradigma digunakan dalam strategi dan metode penelitian kualitatif, dari
konstruktivisme hingga kajian budaya, feminism, marxisme dan model-model studi etnik.
Penelitian kualitatif digunakan dari berbagai disiplin tidak hanya satu disiplin keilmuwan.
Penelitian kualitatif menggunakan semiotic, narrative, isi (content), wacana (discourse), arsip,
analisa phonemic, bahkan statistic. Selain itu menggunakan pendekatan, metode dan teknik
teknik etnometodologi, phenomenology, hermeneutic, feminism, rhizomatik,
dekonstruksionisme, etnografi, interview, psikoanalisa, kajian budaya, survey, observasi
partisipasi dan yang lain (Denzin dan Yvonne, 1994:3). Kelompok Chicago School
menggunakan kisah hidup dan pendekatan etnografi untuk mengembangkan metode
interpretasi yang berpusat pada sejarah hidup (life history) yang diceritakan; metode ini sering
disebut sebagai metode life history. Selain model-model penelitian yang dapat dikategorikan
sebagai penelitian kualitatif seperti yang telah disebutkan masih dapat ditambahkan di tulisan
ini yaitu penelitian dengan model paradigm strukturalisme, poststrukturalisme, strukturasi,
dekonstruksi dan penelitian-penelitian semiotic dalam masyarakat hiper realis, Yasraf Amir
Piliang (2010: 46) menyebut sebagai hipersemiotika, semiotika kedustaan. Paradigma
penelitian ini juga dikembangkan menjadi penelitian action research (penelitian) tindakan
dalam kelompok social tertentu (Danim, 2002:43; Penelitian Tindakan Kelas, Dit.PPTK dan
KPT – Dikti, 2005; Madya, 1994: 1).
Penelitian kualitatif menekankan realitas alami konstruksi sosial, hubungan kedekatan
antar peneliti dan yang diteliti dan suasana situasional yang menajamkan penelitian. Pencarian
jawaban pertanyaan penelitian yang menekankan bagaimana pengalaman social dibentuk dan
memberikan arti (Denzin dan Yvonne, 1994:4).

Perbedaan antara Metode Penelitian Kuantitatif dengan Kualitatif


Perbedaan antara paradigma positivisme yang kemudian menghasikan model penelitian
kualitatif dan paradigm postpositivisme yang kemudian menghasilkan berbagai jenis yang
termasuk dalam kategori penelitian kualitatif seperti yang telah diungkap terdahulu. Paparan
perbedaan ini akan menggabungkan sebagaian gagasan Lexy J. Moleong (1994: 16 ) dengan
gagasan Sudarwan Danim (2002:34).

2
Perbedaan Paradigma Ilmiah dan Alamiah

Poster tentang Paradigma


Ilmiah Alamiah
Teknik yang digunakan Kuantitatif Kualitatif
Kriteria kualitas Rigor Relevansi
Sumber teori A priori Dari dasar (grounded)
Persoalan kausalitas Dapatkah x mennyebabkan y Apakah x menyebabkan y
? dalam latar alamiah ?
Tipe pengetahuan yang Proposisional yang diketahui
digunakan Proposisional bersama
Pendirian Ekspansionis
Maksud Reduksionis Ekspansionis
Verifikasi
Karakteristik Metodologis
Instrumen Kertas-pinsil atau alat fisik Orang sebagai peneliti
lainnya
Waktu penetapan Sebelum penelitian Sselama dan sesudah
pengumpulan data dan pengumpulan data
analisis Pasti (preordinate) Muncul berubah-ubah
Desain Internal Seleksi
Gaya Laboratorium Alam
Latar Stabil Bervariasi
Perlakuan Variabel Pola-pola
Satuan kajian Kontrol Turut campur atas undangan
Unsur kontekstual
(Sumber: Lexy J. Moleong, 1994: 16).

Karakteristik penelitian kuantitatif dan kualitatif

Peneliitian Kuantitatif Penelitian kualitatif


1. Ilmu-ilmu keras 1. ilmu-ilmu lunak
2. Fokus “ringkas” dan sempit 2. Fokus kompleks dan luas
3. Reduksionistik 3. Holistik dan menyeluruh
4. Objektif 4. Subjektif atau perspektif emik
5. Penalaran logis dan deduktif 5. Penalaran dialiktik- induktif
6. Basis pengetahuan: hubungan sebab akibat 6. Basis pengetahuan makna dan temuan
7. Menguji teori 7. Mengembangkan/membangun teori
8. Kontrol atas variable 8. Sumbangsih tafsiran
9. Instrumen 9. Komunikasi dan observasi
10.Elemen dasar analisis: angka 10.Elemen dasar analisis kata-kata
11. Analisis statistic atas data 11. Interpretasi individual
12. Generalisasi 12. Keunikan
(Sumber: Danim, 2002: 34).

3
Definisi Ringkas Paradigma Motode Penelitian Kualitatif dan Contoh Kasus Penelitian
1. Penggunaan Aliran Strukturalisme
Strukturalisme adalah salah satu paradigm pemikiran yang digunakan dalam penelitian
masyarakat dan ilmu social-humniora. Penelitian mnegupayakan mencari struktur social dan
kait-mengait struktur masyarakat dengan peran serta fungsinya. Dalam penelitian musik
misalnya: Model Struktur Aransemen Musik Kyai Kanjeng, dan yang sejenis. Penelitian ini
berupaya mengungkap struktur (permasalahan apa saja ) dalam masyarakat. Tidak terbatas
pada kelompok masyarakat dapat pula melihat struktur bektuk teks, syair, tulisan dan
sebagainya.
2. Aliran Poststrukturalisme
Poststrukturalisme adalah aliran pemikiran yang menentang adanya struktur yang tetap
dan berlaku secara universal. Dalam bahasa misalnya tata bahasa ada yang berlaku keseluruhan
yang disebut langue namun juga ada parol-parol, atau bahasa terapan pada masyarakat tertentu
atau mudahnya disebut sebagai dialek suatu masyarakat tertentu, bahasa Indonesia namun
dengan dialek Banyumas misalnya.
Dalam penelitian musik misalnya kita mengungkap aliran-aliran musik kontemporer, di
mana kelompok muisk itu menggunakan format-format, alat musik, dan harmoni yang berbeda
dari harmoni standar yang berlaku secara universal.
3. Strukturasi
Paradigma tentang perubahan suatu masyarakat atau struktur social dikarenakan
pengaruh adanya agency, seseorang atau kelompok yang memiliki gagasan dan terus menerus
gagasan itu diterjemahkan dan mampu diterima dalam masyarakat untuk merubah struktur yang
sudah tetap. Dalam musik misalnya penelitian peran Sunan Kalijaga dalam syiar Islam melalui
kebudayaan material tradisi agama Hindu dan Budha.

4. Aliran Dekonstruksi
Paradigma pemikiran dalam filsafat yang melihat teks secara lebih tajam lagi dan
memberikan makna baru dan kritis atas penafsiran teks tersebut. Teks dipahami dan disusun
ulang dengan sudut pandang pemikiran yang berbeda, paradigm ini dicetuskan oleh Jacques
Derrida. Dalam musik misalnyamenganalisis teks syair lagu dengan sudut pandang yang lain

4
sehingga isi syair menjadi bermakna ganda/banyak/polisemi, berbeda dengan makna yang
diserap oleh kebanyakan orang.
5. Etnografi
Penelitian dengan cara melakukan terjun langsung di masyarakat yang diteliti. Etnis
berarti suku, kelompok masyarakat tertentu dan grafi berarti tulisan, maka etnografi berarti
tulisan tentang suatu masyarakat etnik tertentu. Cara melakukan penelitian dengan observasi
partisipasi, mengamati langsung masyarakat pemilik kebudayaan dengan melakukan
wawancara, menghubungi informan-informan, membawa buku catatan melakukan teknik field
work, kerja di lapangan dan dengan segera menuliskan setiap kejadian, data yang diperoleh
sesuai dengan fokus penelitiannya. Model penelitiannya sirkular, melingkar selalu cek dan
mengecek ulang atas data dan pengamataannya sehingga memperoleh interpretasi yang tepat
sesuai pandangan masyarakat yang diteliti. Bidang ilmu etnomusikologi banyak menggunakan
penelitian jenis ini. Penelitian model ini berasal dari tradisi keilmuwan Antropologi.
6. Action Research
Penelitian tindakan di sekelompok masyarakat/sekelompok murid (class room) untuk
memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi dengan cara menerapkan solusi dan
mengamati hasilnya serta merefleksikan hasil tindakan dan terus menerus mengembangkan
menjadi putaran siklus, biasanya putaran siklus dilakukan dua atau tiga kali dalam suatu
penelitian.
7. Fenomenologi
Penelitian ini bermula dari fenomena yang ingin diteliti, dengan cara mempertanyakan
langsung kepada orang-orang yang mengalami peristiwa. Fenomenologi adalah ilmu yang
mempelajari proses kesadaran manusia untuk melihat gejala/fenomena yang tampak di depan
mata. Fenomena beserta kejadiannya tidak hanya dilihat dari kulit luarnya saja, akan tetapi
lebih mendalam adalah melihat apa yang ada di “balik” yang tampak tersebut (Sutiyono,
2011:25).
8.Etnometodologi
Penelitian model ini, penelitian melakukan kerja lapangan untuk mengetahui cara hidup
kelompok masyarakat yang diteliti. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengungkapkan
metode yang dipakai kelompok masyarakat etnik dalam menanggapi hidup. Dalam bidang

5
musik misalnya penelitian yang akan mengungkapkan metode pembelajaran musik yang
dilakukan oleh kelompok musik tradisi.
9. Life History
Penelitian tentang riwayat hidup seseorang yang terkenal, dia memiliki potensi
keilmuwan terhadap bidang yang digeluti, ditangani. Dalam musik misalnya life histori dari
pakar musik kroncong yang membuat lagu Bengawan Solo, Gesang. Riwayat hidup pesinden
dan penyanyi pop lagu-lagu jawa, Waljinah. Penelitian dengan melakukan in depth interview,
wawancara mendalam tentang fokus permasalahan yang diteliti. Penelitian menghasilkan
deskripsi yang mendalam tentang kehidupan seniman tersebut, fokus penelitian bisa mengenai
masalah teknik bernyanyi, teknik membuat lagu atau hal-hal lain. In depth-nya penelitian ini
bisa dibantu dengan mencari turning point, perubahan peralihan, motivasi mendalam mengapa
akhirnya seniman tersebut memilih jalan sebagai seniman.
10. Analisis Wacana
Penelitian analisis wacana atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Discourse Analysis,
atau disebut juga dengan lebih tajam analisisnya dengan menyebutkan sebagai Critical
Discourse Analysis (CDA). Penelitian ini mengungkapkan makna teks, mengungkapkan hal-hal
yang terselubung dan memiliki tendensi tertentu dari teks yang ditulis baik melalui buku-buku,
karya sastra maupun media. Tokohnya antara lain Fairclough, Michael Halliday dan Michael
Foucault. Michael Foucault menggagas tentang genealogi, dimana teks dipilah-pilah kemudian
menjadi analisis yang lebih tajam tentang makna yang diekspresikan dan keinginan
apa/tersembunyi dari teks naskah yang ditulis. Dalam musik misalnya dengan mengupas syair
lagu yang diungkapkan oleh musikus-musikus yang sering mengkritisi kehidupan social
semisal Iwan Fals, Slangk.
11. Hermeneutik
Hermeneutika merupakan ilmu untuk menafsirkan guna memahami sesuatu yang
sifatnya abstrak dan gelap menjadi lebih terang mampu menjelaskan persoalan yang semula
bersifat abstrak tersebut. F. Budi Hardiman menuliskan pengertian hermeneutik sebagai
berikut:
“ Kata hermeneutik atau hermeneutika adalah pengindonesiaan dari kata Inggris hermeneutic.
Kata terakhir ini berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang artinya mengungkapkan
pikiran-pikiran orang dalam kata-kata. Kata kerja itu juga berarti menerjemahkan dan juga

6
bertindak sebagai penafsir. Ketiga pengertian ini sebenarnya mau mengungkapkan bahwa
hermeneutic merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relative gelap ke sesuatu yang
lebih terang. Dalam pengertian pertama hermeneuein dapat dipahami sebagai semacam
peralihan dari sesuatu yang sifatnya abstrak dan gelap, yaitu pikiran-pikiran, ke dalam bentuk
ungkapan yang jelas yaitu bentuk bahasa “ ( Hardiman, 2003: 37).
Hermeneutik merupakan ilmu tentang penafsiran, suatu proses tindakan interpretasi
guna memahami ke akar permasalahan, guna proses memahami tersebut seseorang atau peneliti
harus berada “di sana”, di wilayah lokasi penelitian-nya. Namun perlu mendapat perhatian
bahwa kata memahami di dalam konteks ini, bukan dimaksudkan sebagai kata memahami
dalam terminologi desain rancangan pembelajaran, sehingga kata kerja ini termasuk dalam
kategori “tidak operasional”. Kata memahami di dalam konteks hermeneutic merupakan kata
kerja yang jabarannya sangat luas sehingga mampu mengurai segala aspek permasalahan dan
menjelaskan segala aspek yang masih kabur menjadi jelas.
12.Semiotika
Semiotika merupakan ilmu tentang tanda, ilmu untuk mengungkapkan makna tanda-
tanda dalam kehidupan masyarakat. Robert W. Preucel mengungkapkan arti semiotik sebagai
berikut:
“Semiotik merupakan lahan kajian, multi disipliner dalam cakupan dan dalam skop
internasional, mengembangkan studi kecakapan manusia untuk memproduksi dan mengerti
tanda-tanda. Apakah tanda itu? Tanda adalah semacam suatu ide, kata, gambar, bunyi, dan
objek yang kompleks berimplikasi dalam: komunikasi. Semiotik meneliti sistem tanda dan
mode representasi yang digunakan manusia untuk menyampaikan emosi, ide, dan
pengalaman hidup ” (Preucel, 2010:5).
Tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat, sedangkan ilmu yang
mengkaji tanda adalah Semiotika. Semiotika semula muncul dalam ilmu bahasa, namun
Roland Barthes berpendapat bahwa tidak hanya digunakan untuk bidang bahasa saja:
“Tujuan penelitian semiologi adalah untuk menyusun fungsi dari sistem penandaan
selain bahasa dalam kesesuaian dengan tipikal proses dari beberapa aktivitas strukturalis,
yang membuat suatu simulasi dari objek di bawah pengamatan” (Roland Barthes dalam
Sunardi, 2004:37).

7
Dalam musik misalnya penelitian tentang musik tertentu yang digunakan dalam
masyarakat dan diterima sebagai musik yang luar biasa. Tanda-tanda musik tersebut serta
makna-makna yang dalam di masyarakatnya inilah yang diungkapkan. Pilihan insert musik
atau musik iklan, jingle; penelitiannya hingga mampu mengungkapkan antara bunyi musik
yang dimunculkan, konteks penguatan dalam iklannya serta konteks media masa dan
komunikasi dengan konsumen serta calon konsumen.
Kesimpulan
Penelitian kualitatif merupakan multi metode yang fokus, melibatkan interpretasi,
pendekatan alamiah pada materi subjek. Ini berarti bahwa penelitian kualitatif studi segala
sesuatu dalam setting alamiah mereka, berusaha mengerti dan menginterpretasi, fenomena
dalam pengertian sesuai arti masyarakatnya. Penelitian kualitatif menekankan realitas alami
konstruksi social, hubungan kedekatan antar peneliti dan yang diteliti dan suasana situasional
yang menajamkan penelitian. Pencarian jawaban pertanyaan penelitian yang menekankan
bagaimana pengalaman social dibentuk dan memberikan arti (Denzin dan Yvonne, 1994:4).

Daftar Pustaka:
Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Barthes, Roland. (1981). Elemnts of Semiology. English Translation: Jonathan.
New York: Hill and Wang.
Denzin, Norman K., Yvonna S.L. 1994. Handbook of Qualitatif Research. California: SAGE
Publications, Inc.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: C.V. Pustaka Setia.
Foucault, Michel. (1973). The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock
Publications.
Guba, Egon G. dan Yvona S.Lincoln. 1994 ” Competing Paradigms in Qualitative
Research” dalam Norman K.Denzin dan Yvanna S. Lincoln: Handbook of
Qualitative Research. California: SAGE Publication.
Hardiman, F.Budi. (2003). Melampaui Positivisme dan Modernitas.Yogyakarta:
Kanisius.
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J.P. (2007). Analisis Wacana Teori & Metode.
Terjemahan: Imam Suyitno, Lilik S. dan Suwarna. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: P.T.Remaja Rosdakarya.
Preucel, Robert W. (2010). Arhaeological Semiotics. Malden: Wiley-Blackwell
Publishing Ltd.
Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.
Sutiyono. 2011. Fenomenologi Seni Meneropong Fenomena Sosial dalam Kesenian.
Yogyakarta: Insan Persada

8
Sifat Sirkular Etnografi Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif merupakan kegiatan penelitian yang memiliki tujuan


mengungkapkan makna berbagai fenomena materi kajian yang diteliti. Penelitian ini sering
disebut jenis penelitian interpretatif, disebut demikian karena jenis penelitian ini berfokus untuk
mengungkapkan makna objek materi kebudayaan dalam suatu masyarakat. Fenomena objek
materi dalam masyarakat tidak hanya dilihat objek material secara fisik saja namun berusaha
mengungkap makna di balik fenomena permasalahan objek materi yang sedang diteliti tersebut.
Aspek objek material fisik saja yang diteliti bagi peneliti kualitatif masih kurang
memuaskan bagi para peneliti kualitatif. Istilah kualitatif menujuk pada kualitas, sehingga
untuk menjelaskan sesuatu benda atau alat tidak cukup hanya diukur panjang, pendek, diameter
dan bobot benda tersebut namun ada langkah lebih lanjut yaitu dengan mengungkapkan
konteks benda tersebut dalam kebudayaan masyarakat, mengungkap apa makna benda tersebut
bagi masyarakat, inilah yang sering disebut sebagai mengungkapkan beyond di balik benda
tersebut bagi pemilik kebudayaan.
Saifuddin Zuhri Qudsy mengutip gagasan W.Lawrence Neuman menyatakan bahwa
ada 4 faktor yang terkait dengan orientasi dalam penelitian kualitatif. Orientasi yang pertama
terkait dengan pendekatan yang digunakan terhadap data. Metode kualitatif memperlakukan
data sebagai sesuatu yang bermakna secara intrinsic. Orientasi kedua , penelitian kualitatif
berusaha memperlakukan objek kajian tidak sebagai objek, namun sebagai proses kreatif dan
mencerna kehidupan sosial sebagai sesuatu yang dalam dan penuh gelegak. Orientasi ketiga
adalah penggunaan logika penelitian yang bersifat “logic in practice” . Penelitian sosial
mengikuti dua bentuk logika yaitu logika yang direkonstruksi (reconstructed logic) dan logika
dalam praktek (logic in practice), prosedur informal yang dibangun dari pengalaman-
pengalaman di lapangan yang ditemukan si peneliti. Orientasi keempat, metode kualitatif
menempuh langkah-langkah non-linear. Dalam metode kuantitatif, seorang peneliti biasanya
dihadapkan pada langkah-langkah penelitian yang bersifat pasti dan tetap dengan panduan yang
jelas sehingga disebut dengan langkah-langkah linear. Sementara itu, metode penelitian
kualitatif lebih memberikan ruang bagi penelitinya untuk menempuh langkah non-linear dan
siklikal, kadangkala melakukan upaya ” kembali “ pada langkah-langkah penelitian yang sudah
ditempuhnya dalam menjalani proses penelitian. (Qudsy, 2011: xix).

9
Penelitian kualitatif tidak menggunakan hipotesis dan tidak membuktikan hipotesis.
Dalam kebudayaan masyarakat sangat multi norma, pranata, estetis, etika dan konteks yang
berjejaring poli semi, penuh makna sesuai kondisi local genius masyarakat setempat. Seorang
yang telah memiliki hipotesis terlebih dahulu dalam mengungkapkan makna objek yang diteliti
bisa menjadi keliru sebab tidak bersesuaian dengan makna bagi masyarakat setempat yang
diteliti. Aliran-aliran postmodern dalam penelitian kualitatif memperjelas gagasan ini, aliran
postmodern mempertanyakan kembali apakah grand theory dapat berlaku secara universal.
universal scientific yang muncul pada era modern dipertayakan kembali. Sebegitu
kompleksnya kebudayaan masyarakat di dunia ini dengan berbagai suku dan etnis serta kondisi
geografis-historis yang berbeda maka kemungkinan pemaknaan sangat kompleks dan berbeda
sesuai dengan lokal- historis-ligkungan masyarakatnya . Masing-masing masyarakatnya
memiliki language game sendiri-sendiri, atau masing-masing masyarakat memiliki parol-parol
sendiri. Salah satu contoh sederhana penggunaan hipotesa yang keliru msalnya memiliki
hipotesa bahwa orang yang meninggal menggunakan tanda bendera wara putih. Peneliti
kebetulan seseorang yang tinggal di salah satu desa dalam lingkup kelurahan, kecamatan dan
propinsi DIY. Puluhan desa dan lebih banyak lagi di Propinsi DIY dialaminya bahwa bila
seseorang meninggal dunia maka dipasang tanda bendera putih. Hipotesa dibuat bahwa tanda
ada orang yang meninggal adalah bendera putih. Ternyata hipotesa keliru sebab saat ada orang
meninggal di Desa yang masuk wilayah Jakarta memakai tanda bendera kuning baik di sekitar
rumahnya maupun saat perarakan menuju pemakaman. Desa-desa di Daerah Klaten berbeda
lagi penggunaan warna sebagai tanda adanya seseorang meninggal dunia yaitu dengan bendera
merah, mungkin ada masyarakat lain lagi di seantero dunia ini ternyata menggunakan tanda
bendera hitam atau warna yang lain lagi. Inilah salah satu contoh bukti bahwa teori-teori besar
perlu dikaji ulang sebab belum tentu dapat diterapkan seluruh sosial-masyarakat di seantoro
dunia. Penelitian kualitatif tidak menggunakan hipotesa namun si peneliti hanya bisa
memperkirakan jawaban-jawaban penelitiannya dan itupun karena berbagai sumber bacaan
yang telah dikaji sebelum penelitian. Peneliti kualitatif tidak boleh memaksakan jawaban
sementaranya, karena berakibat pembenaran sendiri yang sama sekali tidak berkesesuaian
dengan perilaku dan kondisi masyarakat yang ditelitinya.
Prose pengumpulan data, pengolahan data, analisa data dan penarikan kesimpulan
dalam penelitian kualitatif menggunakan pola sirkular, melingkar-lingkar, mengulang,

10
membandingkan hingga menemukan jawaban yang sahih atas apayang ditelitinya melalui
bukti-bukti lapangan, dokumen, wawancara dan berbagai sumber lain yang cukup kompleks
sesuai focus penelitian yang dikajinya. Pola sikrkular dalam penelitian kualitatif digambarkan
berikut ini.

Tidak cukup hanya trianggulasi, hanya melihat pada tri angel, tiga sudut pandang
untuk menentukan kesahihan penelitian namun perlu Kristal anggulasi. Istilah trianggulasi
dalam memperoleh ketepatan hasil penelitian sebenarnya kurang tepat, sebab pada
kenyataannya dalam penelitian kualitatif diperlukan lebih dari tiga angel/sudut, tiga sudut
pandang. Ricadson dan St. Pierre, dalam tulisan berjudul Menulis Sebuah Metode
penelitian mengungkapkan sebagai berikut:
“ Saya menyatakan bahwa sosok imajiner utama validasi bagi teks-teks
postmodernis bukanlah sgitiga , sebuah benda yang kaku, tetap dan berdimensi dua. Lebih
tepatnya sosok imajiner utamanya adalah Kristal, yang menggabungkan simetri dan
subtansi dengan beragam bentuk, subtansi, transmutasi, kemultidimensian dan sudut
pendekatan tanpa batas” ( Ricardson dan St.Pierre, 2011: 349).

Interpretasi yang tepat manakala sudah dibenturka dari berbagai aspek tersebut dan
menghasilkan interpretasi yang teruji akibat pembenturan berbagai aspek tersebut.
Kesimpulan dari interpretasinya adalah bangunan argumentasi yang disusun berdasarkan

11
berbagai benturan-benturan berbagai aspek tersebut, maka Ricardson dan Pierre
mengistilahkan dengan bangunan Kristal sebab tidak hanya bangunan yang berdimensi dua.
Penelitian etnografi lapangan dimulai dari peneliti terjun ke dalam observasi
lapangan tempat setting penelitian. Peneliti menemui informan-informan dan informan
kunci di lapangan tersebut, mengkaji dokumen, dokumen yang di lapangan tersebut,
menambahkan tulisan-tulisan, jurnal yang ada pada setting lapangan tersebut.Peneliti
melanjutkan proses dengan bertanya kepada kelompok seni pertunjukan, pemain selain itu
juga mencari informasi dari para penonton saat diadakan pementasan. Setelah pengumpulan
berbagai informasi sesuai focus penelitian melalui terjun ke lapangan tersebut, peneliti
melakukan interpretasi, interpretasi ini baru interpretasi hasil awal, hasil dari pengumpulan
informasi dan data pada putaran pertama. Hasil interpretasi pertama tersebut diolah lagi
melalui proses putaran ke dua dengan melakukan hal yang sama, melakukan pengecekan
atas interpretasi pertama tersebut apakah makna yang diperoleh pada putaran interpretasi
putaran pertama tersebut sudah sesuai dengan pemaknaan masyarakat pendukungnya dalam
setting penelitian lapangan itu. Pada putaran terjun ke lapangan kedua sambil mencari
ketepatan atas interpretasinya juga menambahkan pencarian data sesuai focus
penelitiannya. Putaran kedua dilakukan dengan siklus yang sama dengan putaran pertama
melalui proses informan-informan, dokumen yang ada, tempat pertunjukan/tempat ritual,
bertanya pada para pemain, bertanya pada masyarakat pendukung. Puturan kedua
menghasilkan ketepatan interpretasi pemaknaan karena telah diuji ulang melalui para
informan, dokumen dan masyarakat pendukung. Putaran kedua juga sekaligus
mengembangkan pencarian data sesuai pertanyaan-pertanyaan penelitian sesuai focus-fokus
penelitian. Hasil interpretasi makna pada putaran kedua diuji ulang kepada masyarakat
pendukungnya sambil mengembangkan pencarian data atas permasalahan yang diteliti.
Demikian terus-menerus peneliti etnografi melakukan studi lapangan hingga peneliti
mendapatkan ketepatan jawaban atas permasalahan yang diteliti serta kecukupan bukti-
bukti hasil olahan interpretasi pemaknaan sesuai dengan setting tempat lokasi penelitian
dan masyarakat pendukungnya.
Penulisan sebuah laporan penelitian etnografi dianjurkan menjadi menarik bagi
pembaca, sehingga penulisan ini menggabungkan antara keilmiahan dan seni menarasikan
hasil penelitiannya. Agar laporan tulisan etnografi menjadi ilmiah sekaligus menjadi seni di

12
dalam teknis menuliskan, Laurel Ricardson dan Adam St.Pierre ( 2011: 351) menjelaskan
tentang evaluasi terhadap kerja Etnografi Creative Analitical Process yang memiliki 4 ciri
yaitu:
1. Kontribusi subtantif
Apakah makalah ini memberikan kontribusi bagi pemahaman kita tentang dunia sosial ?
Apakah penulisnya memperlihatkan perspektif ilmiah yang kuat berakar apalagi melebur ?
Apakah makalah ilmiah ini tampak benar, yaitu sebuah paparan yang terpercaya tentang
pemahaman kultural, sosial, individual atau komunal tentang dunia nyata ?
2.Nilai Estetika
Bukannya menurunkan standar, justru perlu ditambahkan standar yang lain. Apakah makalah
ini tergolong berhasil secara estetis, apakah penggunaan analisis kreatifnya membuka teks dan
mengundang respon-respon kreatif ? Apakah teksnya dibentuk secara artistic, memuaskan,
kompleks dan tidak menjemukan ?
3. Refeksivitas
Bagaimakah subjektivitas penulis menjadi produsen dan sekaligus produk dari teks ini ?
Apakah terdapat kesadaran diri dan pemaparan diri yang mewadai bagi pembaca agar bisa
memberikan penilaian tentang sudut pandangnya ? Apakah si penulis menjadikan dirinya
sendiri bertanggung jawab atas standar pengetahuan dan penyampaian hasil penelitiannya
kepada masyarakat ?
4. Dampak
Apakah makalah ini mempengaruhi saya secara emosiomal atau intelektual ? Apakah makalah
ini merangsang pertanyaan pertanyaan baru atau menggerakkan saya untuk menulis ? Apakah
makalah ini menggerakkan saya untuk mencoba praktik-praktik penelitian baru atau
menggerakkan saya menujua aksi.
Keempat kriteria yang telah diungkapkan tersbut merupakan, kriteria menilai hasil suatu
etnografi dalam penelitian lapangan. Setelah melakukan etnografi dengan metode sirkular
tersebut diikuti dengan penulisan yang kreatif berdasarkan fakta-fakta saat melakukan kerja
lapamngan (field Work) maka perlu diikuti pelaporan yang seni kratif sehingga terpadu antara
keilmiahan dan seni pemaparan laporan penelitiannya.
Sementara penelitian kuantitatif menggunakan pola linear. Pola linear yang dimaksud
adalah tidak diperlukan perputaran-perputaran untuk kembali menemui para responden dan

13
kembali terjun terus menerus dalam kancah lapangan. Penelitian cukup satu kali terjun mencari
data dari para responden, setelah data diperoleh dari para responden tinggal mengolah, biasanya
melalui data yang dapat dikuantifikasikan dan diolah dalam rumus-rumus tertentu, sesuai
dengan permasalahan penelitiannya.
Proses linear dilakukan melalui proses memilih masalah, setelah masalah ditemukan
membuat hipotesa, selanjutnya memilih metode yang digunakan. Setelah metode ditemukan
yang berkesesuaian dengan masalah penelitian selanjutnya membuat instrument penelitian yang
biasanya berupa angket penelitian, atau alat evaluasi suatu topic penelitian. Instrumen
penelitian yang sudah jadi berikutnya diterapkan untuk dibagikan pada para responden. Pada
kasus tertentu instrumennya berupa alat evaluasi dalam masyarakat atau pembelajaran di kelas.
Langkah berikutnya adalah mengumpulkan data melalui alat instrument yang sudah jadi
tersebut, dilanjutkan langkah terakhir adalah pengolahan data kwantitatif atas hasil instrument
yang diperoleh dari para responden penelitian tersebut. Dengan demikian disebutlah jenis
penelitiannya linear sebab tidak memerlukan putaran untuk menemuinya kembali para
responden dan tidak harus terus menerus berada pada tempat penelitian, namun cukup sekali
mengambil data, bila sudah terkumpul tidak perlu lagi ke lokasi penelitian, pengolahan data
dapat dilakukan di mana peneliti bertempat tinggal, di kantor atau di mana saja tidak perlu
diolah di tempat setting penelitian. Berikut ini contoh bagan pola penelitian linear kuantitatif :

14
Model Penelitian Jenis Linear:

Perumusan Penyusunan Desain Penentuan Penyusunan Teknik


Masalah Penelitian Sampel Pengumpulan Data

Penulisan Analisis Penyederhanaan Rencana Pengumpulan Data


Laporan Data dan Tabulasi Analisis
Data Data
Sumber: Malo, Manase dan Sri Trisnoningtias, 1993: 6.

Tampak bahwa proses prosedur melakukan penelitian untuk memperoleh data,


mengolah data dan menarik kesimpulan dalam suatu kegiatan penelitian berbeda antara metode
kwntitatif dan metode kualitatif. Metoda kwantitatif menggunakan pola linear dalam proses
melakukan penelitian sedangkan metode kualitatif menggunakan proses sirkular.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta

Malo, Manasse dan Sri Trisnoningtyas. 1994. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Pusat
Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial U.I.

Richardson, Laurel dan Elizabeth Adam St.Pierre. 2011. “Menulis Sebuah Metode Penelitian”
dalam The Sage Handbook of Qualitative Research, Norman K Denzin dan Yvonna S
Lincol. Penerjemah Daryatno.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Qudsy, Saifuddin Zuhri. 2011. “Pengantar Bayang-bayang Agenda Revolusioner Penelitian


Kualitatif” dalam The Sage Handbook of Qualitative Research, Norman K Denzin dan
Yvonna S Lincol. Penerjemah Daryatno.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

15
HERMENEUTIK SEMIOTIKA SOSIAL VS POSITIVISME LOGIS
DALAM ANALISA KAJIAN SENI MASYARAKAT

A. Pendahuluan

Kajian seni erat kaitannya dengan kepentingan manusia, manusia sebagai pengguna
karya-karya seni, untuk itu fungsi, makna dan kegunaan karya seni tidak bisa lepas dari aspek
manusia sebagai penikmat, pengguna termasuk pemerhati karya-karya seni tersebut. Karya-
karya seni milik kebudayaan masyarakat atau seni dalam etnis masyarakat tertentu selalu lekat
dengan tradisi historis, tradisi religi, tradisi pranata serta tradisi kondisi sosial. Masyarakat
pemilik karya-karya seni yang dihidupi dan dilestarikan memiliki nilai-nilai etika dan estetika
tersendiri untuk menentukan baik ataupun buruk suatu karya seni berdasar kriteria keindahan
tersendiri secara turun temurun serta berdasarkan kegunaannya dalam mengatur sistem
keseluruhan kontekstual dalam masyarakatnya.
Seni dalam masyarakat memiliki aturan-aturan tradisi kepatuhan yang diteruskan secara
historis sesuai dengan kondisi kebudayaan setempat, Gordon Graham dalam bukunya
Philosophy of The Arts, An Introduction to Aesthetics menuliskan sebagai berikut:
“Normative theories of art concern themselves not with the definition of nature of art
but with its value. Sociological theories explain this value in terms of the historical specific
fungtion that art has performed in different cultures. But the fact is that generation and a wide
variety of cultures all have attributed a special value to certain works and activities, and this
suggest that some of things we call art have an abiding value… “ (Graham, 1997:176).

Teori normative dalam konteks sosial-kemasyarakatan bukan konsentrasi pada benda


seninya namun lebih pada nilai-nilai benda seni tersebut dalam masyarakat. Karya seni
memiliki fungsi khusus dalam penampilan di masyarakat dengan perbedaan budaya. Pada
kondisi tertentu bahkan setelah masa tertentu terjadi nilai-nilai kepatuhan khusus dalam karya
dan aktivitas seni. Nilai-nilai seni menjadi lebih rumit dirunut manakala pengkajian dilakukan
secara diakronik. Pertama kesulitan pada perbedaan etnis pemilik seni-kebudayaan setempat,
yang kedua kesulitan nilai-nilai yang berubah setelah mengalami periode pergantian generasi.
Pergantian dari masa historis meminjam istilah Michel Foucault dinamakan sebagai ruptus-
ruptus atau selaan. Setiap perubahan periodisasi historis memiliki ruptus-ruptus paradigma
tersendiri (Fuocault, 1973:7).

16
Positivisme merupakan kajian cara memperoleh pengetahuan berdasarkan fakta empiris.
Paradigma positivisme ini muncul melakukan kritik terhadap tradisi keilmuwan yang
mengandalkan metafisis, keilmuwan yang diperoleh hanya karena olahan-olahan pemikiran,
ilmu fisika yang dikaji secara bayangan saja. Dalam sejarah tahapan kebudayaan manusia
sejalan dengan tahapan kebudayaan ontologi, pada masa ini, bila meminjam model tahapan
kebudayaannya C.A. van Peursen adalah pada tahapan kebudayaan Ontologi, manusia
mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai
menyusun suatu ajaran atau teori mengenai hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai
segala sesuatu menurut perinciannya (van Peursen, 1988:18). Manusia tidak lagi dikekang oleh
kekuatan-kekuatan mitis, gaib, maka paradigme positivisme merupakan kritik terhadap
perolehan keilmuwan didasarkan pada kekuatan gaib serta konsep metafisika dan teologi yang
tidak ada fakta kenyataan empirisnya. Soerjanto Poespowardojo mengungkapkan tentang
pandangan positivisme sebagai berikut:

“…. positivisme adalah pandangan bahwa ilmu alam merupakan satu-satunya sumber
yang benar. Aktifitas akal budi yang bersifat spekulatif menghasilkan pernyataan-pernyataan
yang tidak dapat dibuktikan secara empiris dan arena itu tidak bersifat ilmiah karena tidak bisa
dibuktikan secara empiris, benar atau salah. Jadi posistivisme menekankan pengalaman dan
kehendak bebas. Pengalaman merupakan data indrawi yang bisa dibuktikan; jika bukan data
indrawi maka tidak bisa dibuktikan sebagai fakta“ (Poespowardojo, 2015:55).

Paradigma positivisme muncul saat itu merupakan penolakan akan pengetahuan yang
merupakan logika abstraksi, penalaran-penalaran yang dipengaruhi kekuatan-kekuatan gaib,
mitis, munculnya positivisme merupakan kritik atas metafisika dan merupakan kritik atas masa
tahapan kebudayaan mitos, masa menanggapi alam raya dan kekuatannya dianggap sebagai
memiliki roh-roh maupun kisah mitos guna memecahkan permasalahan fenomena alam yang
tidak terselami pada masa itu.
Tulisan ini akan mengungkap tentang paradigma pemaknaan karya seni dalam
masyarakat, seperti telah dipaparkan sebelumnya objek seni dapat diuraikan dengan paradigma
positivisme logis yaitu dengan mengkaji secara objektif berdasarkan fakta empiris seperti
dalam ilmu pengetahuan alam sehingga mampu mengurai isi dari objek seni tersebut. Namun
menjadi problem berikutnya bahwa seni memiliki suatu sistem yang menyatu dengan
masyarakat pendukungnya, sehingga manakala memaknai seni bagi masyarakatnya tidak bisa
lepas dengan kaidah-kaidah etika dan estetika masyarakat etnis setempat. Pada tulisan ini

17
melihat seni dalam konteks sosial-budaya masyarakatnya dengan demikian akan memberikan
paparan tentang paparan paradigma hermeunetika guna pengkajian seni dan kelemahan
posistvisme bila dikaitkan dengan seni dalam konteks sosial kemasyarakatannya.

B. Pembahasan
1. Seni dalam Masyarakat
Seni adalah hasil budi daya manusia guna mewujudkan keindahan. Seni menurut
Herbert Read seperti yang dikutip Sony Kartika dalam bukunya Kritik Seni diungkap sebagai
berikut:

“Seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan bentuk-bentuk yang


menyenangkan. Bentuk yang menyenangkan dalam arti bentuk yang dapat membingkai
perasaan keindahan dan perasaan keindahan itu dapat terpuaskan apabila dapat menangkap
harmoni atau satu kesatuan dari bentuk yang disajikan” (Read 1959:1, Dharsono, 2007:7).

Leo Tolstoy dalam penulisannya tentang apakah seni itu antara lain mengungkap
sebagai berikut:

“ Art is activity that produces beauty”.. pada bagian lain dinyatakan pula: “ The
activity of art is based on the fact that a man receiving trough his sense of hearing or sight
another man‟s expression of feeling, is capable of experiencing the emotion which moved the
man who expressed it” (Tolstoy, 1979:36).

Pengungkapan makna seni selalu berkaitan dengan masyarakat pemakainya, baik itu
aliran referensialisme maupun aliran ekspresionisme.
Aliran Referensialisme cara mengungkapkan pencarian makna sebagai berikut:

“ According to this view, the meaning and values of a work of art exist out
side of the work it self. To find an art work‟s meaning, you must go to the ideas,
emotions, attitudes, events, which the art work refers you to the world out side the
art work. The functioan of the art work is to remain you of, or tell you about, or help
you understand, or make you experience, samething which is extra-artistic, that is
some thing which is out side the crated thing and the artistic qualities which make it
a created thing…. Every work of art is inflenced by a variety of circumstances
impinging on the choices the artist made in creating it. Some this stem of the artist-
his or her personal or professional history, present life situation, characteristic
interest, internalized influences, from ather artist and so on. Other circumstances
stem from the culture within which the artist work, the general beliefe system about

18
the arts, important past and present political events, the existing social structure
within which the artist plays a part and so on” (Reimer, 1989: 17).

Pada pernyataan Reimer ini diungkapkan bahwa makna dan nilai suatu karya seni
terletak di luar karya seni yang melingkupinya yang disebut sebagai ekstra yang
berpengaruh pada karya seni. Aspek lingkungan yang berkaitan dengan karya seni itu
misalnya: ide, rasa, kemampuan, kaitan penyelenggaraan seni/event, proses perolehan
keterampilan seniman. Lingkungan sosial-budaya yang mempengaruhi yaitu sistem
kepercayaan tentang seni, religi, kesejarahan masa lampau dan kejadian kondisi politik.
Peneliti yang berupaya mengungkapkan makna dan fungsi seni dalam masyarakat harus
mempertimbangkan segala aspek yang diungkapkan tersebut, tanpa pertimbangan hal-hal
tersebut hanya membuahkan fungsi dan makna bagi peneliti sendiri tetapi tidak berlaku
bagi masyarakat pendukung seni yang diteliti tersebut.
Aliran Ekspresionisme yang diungkapkan oleh Reimer semakin memperjelas bahwa
makna seni tidak bisa lepas dengan lingkungan budaya walaupun juga dipelajari pula
seninya itu sendiri, ekspresi yang dimunculkan perlu dikaji terlebih dahulu :
“Absolute expressionism insist that meaning and value are internal; they are
functions of the artistic qualities them selves and how they are organized. But the
artistic/cultural influences surrounding a work of art may indeed to be strongly
involved in the experience the work gives , because they become part of the internal
experience for those aware of these influences.” (Reimer, 1989: 27)

Aliran Referensialisme maupun Ekspresionisme sama-sama menekankan


pentingnya lingkungan sosial-budaya masyarakat yang diteliti manakala kita
mengungkapkan makna seni dan nilai-nilai etika maupun estetika seni. Hal ini lah yang
oleh Gadamer disebut sebagai menyatu (lumer) menjadi fusion antara artis, karya seni dan
masyarakat pendukungnya, mengada secara bersama dan menciptakan makna, nilai-nilai
estetika dan etika secara bersama.

2. Pengungkapan Makna Primer dan Makna Sekunder

Kesenian pada dasarnya juga merupakan sarana komunikasi seseorang atau


sekelompok seniman kepada orang lain lewat berbagai cara dan sarana ekspresi seni yang
dicipta dalam konteks dan setting budaya masyarakat, tempat dan waktu. Di dalam setiap
penampilan karya seni, seniman selalu melibatkan berbagai unsur seni dan pendukungnya,

19
yang masing-masing dapat berperan sebagai alat untuk “berbicara” dari seseorang atau
sekelompok seniman itu. Oleh sebab itu dalam mengkaji seni pertunjukan orang juga harus
melihat unsur-unsur yang terlibat dalam kekaryaan tersebut (Supanggah, 1996:20).
Karya seni saat diekspresikan bagi masyarakat pendukungnya tidak diwujudkan dalam
bentuk yang masih mentah atau ekprsi apa adanya (mentah, wadag) namun sudah dikemas
dalam bentuk simbol-simbol ekspresi baik melalui gerak, suara, maupun rupa. Rahayu
Supanggah mengungkapkan sebagai berikut:
“…. Kesenian diharapkan dapat juga berfungsi sebagai pacu atau perangsang
menumbuhkan imajinasi dan atau perenungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karena
sifatnya yang imajiner memungkinkan kesenian dapat mendahului jamannya. Karya-karya yang
terlalu jelas, yang sering disebut sebagai “wadhag” atau representatif, justru dianggap sebagai
karya yang dangkal, kurang berbobot karena kurang mampu untuk memacu imajinasi,
interpretasi dan perenungan penghayatan. Karenanya, kesenian jarang menggunakan bahasa
(verbal) yang representatif. Kesenian sering menggunakan bahasa melalui bentuk-bentuk
ungkapan stylasi, lambang, symbol, ikon, dan atau metafora, hal tersebut berlaku baik itu untuk
seni-seni yang menggunakan media kata, gerak, suara, rupa dan media pilihan lainnya, yang
lazim digunakan pada cabang kesenian itu “ (Supanggah, 1996:6-7).

Makna karya-karya seni yang menyatu dalam masyarakat pendukungnya tidak serta
merta tampak, sangat terlalu mudah bila fenomena makna seni merupakan makna leterleg,
wadhag seperti yang diungkapkan Supanggah tersebut. Dunia makna seni bagi masyarakatnya
bisa memiliki makna bertingkat dan mampu bergulir terus menerus dengan memiliki
transformasi makna yang berbeda. Makna yang ditangkap pada saat awal diamatinya suatu
karya seni adalah makna denotasi, yaitu ungkapan yang diekspresikan secara langsung. Dalam
bahasa disebut sebagai makna harafiah, atau leterleg, di balik makna harafiah tersebut
mengandung makna lain yang disebut sebagi makna konotasi yaitu makna yang muncul
manakala dihadapkan dengan konteks tanda-tanda dan simbolisasi sesuai dengan lingkungan
sosial masyarakat berada, atau makna imajinatif sesuai dengan konteksnya.

Proses perubahan makna sistem denotasi menjadi sistem konotasi ini dijelaskan oleh
Roland Barthes melalui proses makna pada sistem primer yaitu denotasi dan makna pada
sistem sekunder yaitu konotasi, bahkan Roland Barthes masih mengembangkan lagi bahwa
sistem sekunder itu bisa terjadi pengembangan makna yaitu makna meta bahasa atau makna
sinonimnya dan makna konotasi adalah makna yang muncul karena perubahan pada isinya atau
diistilahkan dengan content-nya.

20
Ferdinand de Saussure melihat tanda terdiri dari signifiant (bahasa Perancis) dan
signifiė (bahasa Perancis) dalam bahasa Inggris menjadi signifier dan signified. Signifier oleh
Roland Barthes diistilahkan sebagai Ekspresi (E), sedangkan Signified oleh Barthes diistilahkan
dengan Content (C). Adanya proses arbitrer oleh masyarakat disebut sebagai adanya relasi (R),
relasi antara Ekspresi dan Content-nya. Proses adanya relasi dalam semiotika ini, menurut
Roland Barthes mengakibatkan perkembangan makna, makna menjadi sangat kompleks. Ada
makna denotatif, yaitu merupakan makna awal, makna pertama hubungan E dan C. Proses
relasi manusia memunculkan dua kemungkinan makna tingkat sistem sekunder yaitu makna
konotasi dan makna meta bahasa. Makna konotasi terjadi bila proses E-R-C pada sistem primer
menjadi C pada sistem sekunder. Makna meta bahasa terjadi bila proses E-R-C pada sistem
primer menjadi E pada sistem sekunder (Barthes, 1957, Sunardi, 2004:71-74, Hoed, 2014:178-
179). Gambar skema konotasi dan denotasi sebagai berikut diambil dari penjelasan Benny H.
Hoed dan St. Sunardi dengan ditambahkan sendiri kode tanda panah agar proses pada sistem
sekundernya lebih jelas. Pada sistem sekunder konotasi yang berkembang adalah Content-nya
atau isinya; sedangkan pada sistem sekunder metabahasa yang berkembang adalah Expressi-
nya. Sistem konotasi memiliki formula (EC) R C sedangkan metabahasa dengan formula E R
(EC) (Sunardi, 2004: 72).

Skema
metabahasa dan konotasi sistem sekunder.

Objek karya seni yang sama dapat dimaknai secara berbeda, mengalami perubahan dari makna
denotasi berkembang menjadi makna konotasi serta makna metabahasa atau sinonim. Tanda
pada sistem primer adalah tanda dasar yang diserap saat pertama kalinya atau makna denotasi.
Pengembangan pada sistem sekunder dapat berkembang menjadi dua model yaitu
perkembangan terhadap tanda ekspresinya (E) disebut sebagai pengembangan matabahasa,
pengembangan terhadap isinya (C) disebut sebagai pengembangan konotasi (Hoed, 2014:97).

Pemaknaan yang bertingkat dalam ilmu tanda-tanda atau semiotik menurut Ch.S.Peirce
menjelaskan dengan model trikotomis, proses pemaknaan tanda mengikuti tiga tahap yaitu: (1)

21
persepsi indrawi atas representamen (misalnya asap yang terlihat dari jauh); (2) perujukan asap
pada objek (peristiwa kebakaran yang tidak dialami langsung); (3) pembentukan interpretan
(penafsiran, misalnya itu pertokoan di daerah X). Pemaknaan tanda terjadi dalam proses yang
disebut semiosis, semiosis tidak terjadi satu kali melainkan berlanjut secara tak terbatas (Hoed,
2011:156-157).

Pada bagian ini akan diberikan sedikit contoh pada konteks upacara Garebeg Sekaten di
Yogyakarta, dengan model trikotomi Peirce. (1) Representamennya adalah suara permainan
tabuhan gamelan sekaten, (2) objeknya adalah orang-orang Abdi Dalem Keraton yang
memainkan gamelan sekaten, (3) terjadi Interpretan akan terjadi adanya penambahan berkah
dari keraton, bila digambarkan bentuk trikotominya sebagai berikut:

O (Objek, para Abdi Dalem Memainkan


Gemelan Sekaten)

R I
(Representamen, suara gamelan sekaten) (Interpretan, masyarakat akan
mendapat berkah)

Proses semiosis pemaknaan bisa berkembang terus misalnya, Interpretan mendapat


berkah menjadi Representamen baru yaitu omset penjualan pedagang kaki lima dan penjual
nasi kuning meningkat, objek baru para penjual nasi kuning dan kaki lima, Interpretan baru
transaksi peredaran rupiah meningkat di sekitar alun-alun kraton, dan seterusnya terjadi
perkembangan pemaknaan secara semiosis, bila digambarkan prosesnya menjadi seperti
berikut ini:
O1 (Abdi Dalem bermain gamelan) O2(Nasi kuning) dst.

R1(suara gamelan) I1 (Berkah) R2(Omset) I2 (P.rupiah) R3 dst.


Karya seni bila sudah berkaitan dengan masyarakat makna dan pengungkapan
maknanya bagi peneliti menjadi kompleks dan semakin banyak jejaringnya, jadi sulit

22
dipisahkan antara seni dan fungsinya bagi masyarakat serta makna-makna yang terkandung di
dalam ekspresi karyanya serta kompleksitas nilai-nilai etika, estetika dan konteks histori serta
religiusnya yang melekat.

Leburnya antara para seniman, dengan objek seni serta masyarakat pendukungnya ini
sangat mudah ditangkap melalui penjelasan Hans George Gadamer tentang sandiwara. Seorang
yang masuk dalam permainan sandiwara memang harus melakukan suatu gerak . Tetapi lebih
dari sekedar bermain, pemain itu sebenarnya membentuk dan dibentukl oleh gerak permainan.
Para pemain lebur dan lumer dalam permainan, dan melakoni peran di luar dirinya, suatu citra
yang baru. Mereka bukan dirinya lagi dan terhanyut di dalamnya. Jarak antara dirinya dengan
permainan sudah tidak tersekat lagi mereka menghayati dengan sungguh-sungguh. Pemain dan
penonton dalam sebuah sandiwara saling mengandaikan dalam menemukan makna dan nilai
secara bersama (Gusmao, 2013:91-92).

Pencarian makna, fungsi serta nilai-nilai karya seni dalam masyarakat sangat diperlukan
dialog antar subyek, subyek sebagai peneliti dan others atau liyan, subyek-subyek lain pemilik
seni-kebudayaan setempat, pemaknaan, nilai dan fungsi seni bagi masyarakat tidak bisa hanya
dengan melihat karya seni secara wadhag materinya saja. Pemaknaan bertingkat, tingkat
primer dan tingkat sekunder dan berproses terus menerus yang mampu mengembangkan
pemaknaan berikutnya bagi masyarakat pendukungnya. Pemaknaan juga menjadi proses
semiosis dalam trikotomi Peirce dan menghasikan produksi pemaknaan. Secara hermeneutik
Gadamer antara pelaku seni, ekspresi peranannya dan masyarakatnya merupakan kesatuan
guna mengada dan menghasilkan makna secara bersama. Antara peneliti dan pemilik seni-
kebudayaan setempat terjalin proses dialektik guna mengungkapkan makna, fungsi dan nilai-
nilai.

3. Aliran Posistivisme Logis

Pada abad pertengahan berkembang gagasan rasionalitas empiris, paradigma ini


menyatakan bahwa metode keilmuwan haruslah dibuktikan dengan nyata, ada fakta empiris
untuk memecahkan suatu persoalan penelitian. Pemikiran yang bersifat meta fisika maupun

23
pemikiran-pemikiran bersifat motos ditentang pada periode ini, sebab tidak bisa dibuktikan
secara nyata, harus ada bukti yang bisa ditangkap secara indrawi. Gagasan ini sangat
dipengaruhi metode penelitian dalam ilmu-ilmu alam. Dalam melakukan penelitian objek alam,
tampak secara indrawi objek yang diteliti, misalnya kejadian cuaca mendung, dapat diteliti
seberapa banyak kadar air yang dikandung di alam melalui perhitungan matematis dapat
diramalkan bahwa kejadian tersebut akan mengakibatkan hujan turun. Pada penelitian kimia
maupun pengobatan dapat diambil tikus sebagai sampel untuk diberi perlakuan pemberian
obat-obatan atau zat kimia lain kemudian dilihat reaksinya atas obat yang disuntikkan tersebut.
Pandangan-pandangan semacam ini yang menumbuhkan keyakinan bahwa metode penelitian
haruslah dapat dirasakan secara indrawi oleh manusia, harus ada fakta-fakta empiris/nyata
untuk pembuktian suatu karya hasil penelitian, sebaliknya hal-hal yang tidak dapat diamati
secara empiris disebut sebagai bukan penelitian ilmiah, untuk itu pada masa ini ada faham
unified sciens, metode ilmiah berlaku sama cara pendekatan penelitiannya.

Soerjanto Poespowardoyo dan Alexander Seran menjelaskan pandangan paradigma


positivisme sebagai berikut:
“Apa yang dipahami sebagai positivisme adalah bahwa ilmu alam merupakan satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar. Aktifitas akal budi yang bersifat spekulatif
menghasilkan pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, dan arena itu
tidak bersifat ilmiah karena tidak bisa dibuktikan secara empiris, benar atau salah. Jadi
positivisme menekankan pengalaman dan kehendak bebas. Pengalaman merupakan data
indrawi yang bisa dibuktikan, jika bukan data indrawi maka tidak bisa dibuktikan sebagai fakta.
Melalui penekanan terhadap pengalaman dan kehendak bebas, positivisme menolak teologi dan
metafisika sebagai ilmu pengetahuan ilmiah karena keduanya bersifat spekulatif dan
preskriptif“ (Poespowardoyo dan Alexander Seran, 2015:55).

Pada abad pertengahan muncul pemikiran dua kutub yaitu kutub subyek dan kutub
objek, kutub subjek yang mengetahui dan kutub objek yang diketahui atau realitas. Penekanan
pada objek sehingga mengabaikan subyek-subyek liyan/others yang berfikir, subyek si peneliti
adalah subyek yang berfikir dan yang mampu memecahkan masalah menghadapi fakta objektif,
sehingga pandangan ini merupakan penghancuran atas subyek yang berfikir. Objektivisme
bukan hanya tidak mengakui peranan subjek, melainkan juga mengosongkan apa-apa saja
dalam diri subjek sedemikian rupa sehingga menjadi fungsi objektif dan mekanis (Hardiman,
2003:51-53). Cara pemikiran positivisme yang demikian itu mengakibatkan tidak ada dialektik
pada unsur subyek-subyek liyan pemilik kebudayaan, manusia-manusia lain selain peneliti atau

24
tim peneliti dianggap sebagai benda atau dibendakan, yang berakibat pemilik kebudayaan
dianggap sabagai benda mati seperti halnya kekayaan alam yang bisa saja berujud tanah,
kandungan tanah, laut, air awan, udara, planet, gunung, pohon, hewan, di sini terjadi
pengabaian atas subjek-subjek liyan pemilik kebudayaan yang sebetulnya juga memiliki
kepandaian berfikir sebagaimana para penelitinya dengan segala kearifan lokalnya.

Kelemahan Posistivisme Logis

Karl Popper salah seorang filsuf abad-20 memberikan kritik atas pandangan
positivisme, Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran menuliskan sepuluh kritik atas
pandangan tersebut sebagai berikut :
1. Kesimpulan yang diambil secara pengambilan sampel belumlah tentu benar, karena
keterbatasan pengalaman indrawi sehingga tidak bersifat universal seperti yang selalu
dipaparkan kaum positivisme bahwa kebenaran berlaku universal.
2. Pengalaman indrawi harus dipastikan melalui analisis logis, karena belum tentu
menyatakan kebenaran universal, lidi yang kelihatannya bengkok dalam air, bukan
diartikan sebagai lidi tersebut memang bengkok.
3. Pengujian teori secara deduktif harus dilakukan sebagai metode pengujian teori secara
kritis bukan secara empiris semata. Dengan kata lain, dari sejumlah kesimpulan yang ditarik
harus diperiksa manakah kesimpulan yang merupakan sebuah pengetahuan yang baru dan
logis, sebab sebuah teori ilmiah dapat menambah begai pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain apakah teori tersebut seuai dengan kebutuhan praktis dan dapat
diaplikasikan. Hal ini menjadi jelas bahwa peangujian terhadap teori bersifat deduktif dan
untuk selanjutnya prediksi disimpulkan berdasarkan suatu teori, khususnya prediksi yang
dapat diuji dan diterapkan.
4. Para positivis selalu melihat masalah demarkasi dari sudut pandang naturalistic, dan
menganggap pernyataan metafisis sebagai masalah ilmu pengetahuan. Dengan demikian
mereka mencoba untuk mengeliminasikan metafisika dari diskursus ilmu pengetahuan
sebagai ilusi yang bersifat nonsense atau meaningless, mereka sudah berkata lebih banyak
mengenai nilai (meaning) ketimbang fakta (empiri). Dengan kata lain pernyataan tentang
fakta yang dianggap kaum positif bersifat genuine dipandang dari sudut pembenaran logis
mengenai pernyataan universal tentang kenyataan sesungguhnya tidak mengenai fakta

25
genuine, tetapi tentang nilai. Jadi masalahnya bukan demarkasi, melainkan kesepakatan
mengenai manakah pernyataan ilmu empiris dan manakah pernyataan metafisis. Hanya
dengan ini persoalan ilmu pengetahuan bisa diletakkan pada proporsinya yang benar
sebagai upaya rasional untuk memecahkan masalah. Di sini penting untuk menyingkap
rigorisme logis dan dogmatisme metafisis sebagai dua jenis ekstrem pendekatan yang
saling menyanggah. Di sinilah pentingnya metodologi yang mampu memperlihatkan
dinamika dari kemampuan masing-masing pendekatan untuk menjelaskan masalah ilmu
pengetahuan dalam suatu perspektif historis.
5. Pengalaman sebagai metode memiliki kelemahan yang menekankan bahwa ilmu empiris
hanya dapat menyatakan satu dunia, yakni dunia riil sebagai dunia pengalaman, tidak
mengintroduksi pluralism metode.
6. Falsiabilitas sebagai criteria demarkasi harus menggantikan veriviabilitas sebagai kriteria
demarkasi untuk memperlihatkan bahwa perkataan yang meaningfull dapat dipilih karena
benar dan dapat disanggah. Artinya, verifikasi dan falsifikasi merupakan dua cara
memastikan kebenaran. Jadi, induksi saja tidak cukup. Suatu pernyataan bersifat ilmiah
apabila pernyataan tersebut dapat disanggah.
7. Masalah dasar empiris berkaitan dengan pernyataan singular yang berfungsi sebagai
premis, bagaimana menguji hubungan antara persepsi dan pernyataan singular tetap kabur
dan tidak menjelaskan. Di sini, kita harus memisahkan aspek psikologis dari aspek logis
dan metodologis. Psikologisme mengatakan bahwa sebuah pernyataan dapat dibenarkan
tidak hanya melalui pernyataan, tetapi juga melalui persepsi. Menurut Popper, pembuktian
kebenaran sebuah pernyataan tidak pernah didasarkan pada persepsi yang kongkret, tetapi
pada sesuatu yang universal.
8. Objektivitas ilmiah dan subjektivitas konvensi merupakan dua konsep berlawanan. Ilmu
pengetahuan bersifat objektif, artinya dapat dibenarkan (justifiable) terlepas dari kehendak
pribadi. Teori ilmiah tidak dapat dibenarkan atau dijelaskan secara penuh tetapi dapat diuji
objektivitasnya melalui hubungan intersubjektivitas.
9. Dalam pandangan Popper, perkembangan ilmu pengetahuan merupakan sebuah proses
evolusi yang ditandai dengan formula: SM (Situasi Masalah)1 TT (Teori Tentatif)1
EK (Eliminasi Kesalahan)1 SM (Situasi Masalah) 2. Artinya apabila berhadapan dengan
situasi masalah maka sejumlah prediksi atau teori tentative dilakukan secara falsifikasi

26
untuk mengeliminasi kesalahan. Eliminasi kesalahan berlaku sama seperti seleksi natural
yang berlaku dalam evolusi biologis. Teori yang bertahan terhadap penolakan bukan berarti
bahwa teori itu benar, melainkan teori itu lebih sesuai dengan kata lain teori itu lebih bisa
diterapkan untuk memecahkan masalah yang ada.
10. Dalam The Open Society and Its Enemies dan The Poverty of Historicism, Popper
menampilkan sebuah pandangan kritik sejarah dan pembelaannya terhadap Open Society.
Sejarah berkembang secara niscaya menurut hukum-hukum general yang dikenal secara
umum menuju ke sebuah tujuan. Ini merupakan pandangan yang mengandaikan prinsip
otoritarianisme dan totalitarianisme. Ia berpendapat bahwa historisme dibangun atas
asumsi-asumsi yang salah dikaitkan dengan hukum dan prediksi ilmu pengetahuan. Apabila
perkembangan pengetahuan merupakan faktor kausal dan evolusi sejarah manusia, dan jika
tidak ada masyarakat yang dapat meramal secara ilmiah masa depannya, berarti tidak ada
ilmu pengetahuan yang bisa memperkirakan sejarah manusia. Walaupun Popper dikenal
sebagai pejuang pemikiran mengenai toleransi, ia menolak bahwa kita harus selalu
menerima apabila orang lain terus tidak toleran. Karena apabila toleransi mengizinkan tidak
toleran (intoleran) terus menerus, maka toleransi sendiri berada dalam bahaya
(Poespowardojo dan Alexander Seran, 2015:73-80).

Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln dalam tulisannya berjudul Competing Paradigma
in Qualitative Research (1994), menyatakan bahwa kritik atas paradigma positivisme ada dua
hal, yaitu kritik internal dan kritik eksternal. Kritik internal merupakan kritik yang berasal dari
paradigma pemikiran metafisik, sedangkan kritik eksternal merupakan kritik yang berasal dari
paradigma pemikiran lain.
Critiques Internal menurut Guba dan Yvonna ada 5 yaitu;
“ Content stripping. Precise quantitative approaches that focus on selected subsets of
variables necessarily “strip” from consideration, trough appropriate controls or
randomization, other variables exert their effects, greatly alter findings. Further, such
exclusionary designs, while increasing the theoretical rigor of a study, detract from its
relevance, … Qualitative data, it is argued, can redress that imbalance by providing contextual
information. “ (Guba dan Yvona, 1994:106).

(1) Melucuti isi, pendekatan kwantitatif yang menyeleksi variable melucuti pertimbangan
melalui control atau random, akibatnya mengeluarkan variable yang lain, mengesampingkan

27
relevansinya, data kwalitatif mampu memenuhi informasi secara kontekstual (Guba dan Yvona,
1994:106).
“Exclusion of meaning and purpose . Human behavior, unlike that of physical object, cannot
be understood without reference to the meaning and purpose attached by human actors to their
activities. Qualitative data, it is asserted, can provide rich insight into human behavior “(
Guba dan Yvona, 1994:106).

(2) Pengeluaran terhadap makna dan tujuan. Perilaku manusia, tidak seperti objek fisik, tidak
dapat dimengerti jika tanpa mengaitkan dengan makna dan tujuan. Data qualitative mampu
mengisinya, dapat menyediakan kekayaan tersembunyi dalam kehidupan perilaku manusia
(Guba dan Yvona, 1994:106).

“Disjunction of grand theories with local contexts:the etic/emic dilemma. The etic (outsider )
theory brought to bear on an inquiry by an investigator (or the hypothese proposed to be
tested) may have little or no meaning within the emic (insider) view of studied individuals,
groups, societies, or cultures.Qualitative data, it is affirmed are useful for uncovering emic
views; theories, to be valid, should qualitatively grounded (Glaser &Strauss, 1967; Strauss &
Corbin, 1990)” (Guba dan Yvona, 1994:106).

(3) Ketidak kaitan antara teori besar dengan konteks local: dilema etik dan emik. Teori etik
(pandangan luar) peneliti membawa hipotesa yang diteskan mungkin hanya sedikit berarti
bahkan tidak memiliki arti sama sekali bagi pandangan emik (dalam), grup, masyarakat
maupun budaya. Data kwalitatif mampu memenuhi dan valid (Guba dan Yvona, 1994:106).
“Implicability of general data to individualcases.This problem is some times described as the
nomothetic/ideographic disjunction. Generalization, although perhaps statistically
meaningfull, have no applicability in individual case… Qualitative data, it is held, can help to
avoid such ambiguitas” (Guba dan Yvona, 1994:106).

(4) Kemampuan penerapan untuk kasus individual. Problem terdapat pada ciri keteraturan
alam/nomothetic bukan mengurai ciri unik (idiographic). Generalisasi walaupun sangat berarti
untuk statistik namun tidak berkesesuaian dengan kasus individu (Guba dan Yvona, 1994:106).
“ Exklusion of the discovery dimension in inquiry. Conventional emphasis on the verification of
the specific, a priori hypotheses glosses over the source of those hypotheses, usually arrived at
by what is commonly termed the discovery process. In the received view only empirical inquiry
deserves to be called “science” Quantitative normative methodology is thus priveleges ove the
insight of creative and divergent thinkers. The call for qualitative inputs is expected to redress
this imbalance” (Guba dan Yvona, 1994:106).

28
(5) Mengabaikan dimensi penemuan ilmiah. Secara konvensional menekankan pada
penjernihan (verifikasi) tertentu, hipotesis berdasarkan teori malah mengabaikan sumber dari
hipotesanya sendiri, biasanya cenderung pada penemuan secara umum. Pandangan bahwa
hanya penelitian empiris patut disebut sebagi penelitian “ilmiah”. Metodologi kwantitatif
mengabaikan kreatifitas pandangan dalam dan pemikiran-pemikiran yang berbeda. Masukan
qualitative diharapkan dapat mendandani ketidak seimbangan ini (Guba dan Yvona, 1994:106).

External (Extraparadigm) Critiques, kritik dari luar paradigm terdapat 4 hal, oleh Guba dan
Yvona disampaikan sebagai berikut:
“ The theory-ladenness of facts. Conventional approaches to research involving the
verivication or falsification of hypothesess assume the independence of theoretical and
observational languages. If inquiry is to be objective, hypotheses must be stated in ways that
are independent of the way in which the facts needed to test them are collected. But it now
seems established beyond objection that theories and facts are quite interdependent – that is,
that facts are facts only within same theoretical framework. Thus fundamental assumption of
the received view is exposed as dubious. If hypotheses and observations are not independent,
“facts” can be viewed only trough a theorethical “windos” and objectivity is undermined “
(Guba dan Yvona, 1994:107).

(1) Fakta tidak memuat teori. Hipotesis asumsinya adalah bebas dari teori. Hipotesis
seharusnya dirumuskan dari fakta-fakta yang dikumpulkan, tetapi dirumuskan di dasari tujuan
melalui teori dan fakta yang saling ketergantungan. Fakta dibangun atas kerangka teori yang
sudah dibentuk, sehingga hal ini sebagai keraguan, hipotesa dan teori tidak bebas, fakta dilihat
hanya melalui kacamata teori dan objektivitas diruntuhkan (Guba dan Yvona, 1994:107).

“ The underdetermination of theory. This problem is also known as the problem of induction.
Not only are fact determined by the theory window trough which one looks for them, but
different theory windows might be equally well supported the same set of fact. …. Indeed it is
this difficulty that led philosophers such us Popper (1968) to reject the notion of verification in
favor of the notion of theory falsificasion. Whereas a million with swams can never establish,
with complete confidence, the proportion that all swams are white, one black swam can
completely falsify it. … (Guba dan Yvona, 1994:107).

(2) Berdasar Penentuan Teori. Problem ini juga dikenal sebagai problem induksi. Tidak hanya
fakta ditentukan oleh pandangan teori dimana seseorang melihatnya, tetapi bahkan pandangan
teori yang berbeda bisa sesuai mendukung seperangkat fakta yang sama. … Hal inilah ynag
membuat Popper, seorang tokoh filosofi menolak verifikasi namun menggantinya dengan

29
falsifikasi. Sebagaimana sejuta angsa berwarna putih tidak pernah tetap demikian dengan
keyakinan yang pasti, satu angsa saja ditemukan (berwarna ) hitam dapat memfalsifikasi
bahwa angsa adalah putih (Guba dan Yvona, 1994:107).

“ The value-ladennes of facts. Just as theories and facts are not independent, neither are values
and facts. Indeed, it can be argued that theories are themselves value statements. Thus putative
“facts” are viewed not only through a theory window but trough a value window as well. The
value free posture of the received is compromised “(Guba dan Yvona, 1994:107).

(3) Fakta tak memuat nilai. Sebagaimana teori dan fakta tidak bebas, demikian pula nilai-nilai
dan fakta. Namun dapat dinyatakan bahwa teori adalah pernyataan nilai sendiri. Jadi diduga
“fakta” dipandang tiadak hanya melalui jendela teori tetapi melalui suatu jendela nilai itu
sendiri. Perwujudan bebas nilai yang diterima merupakan suatu kompromi (Guba dan Yvona,
1994:107). Hipotesa yang dibuat berdasarkan teori, sementara teori yang dibangun sendiri
merupakan hal yang tidak bebas dari nilai-nilai, karenanya teori merupakan pernyataan nilai,
maka dalam hal ini disebut sebagai kompromi keduanya antara bebas nilai (fakta) dan tidak
bebas nilai (teori).

“ The interactive nature of the inquirer-inquired into dyad. The received view of science
pictures the inquirer as standing behind a one-way mirror, viewing natural phenomena as they
happen and recording them objectively. The inquirer when using proper methodology does not
influence the phenomena or vice versa. … “ (Guba dan Yvona, 1994:107).

(4) Alam interaksi dari peneliti dan yang diteliti dalam satu pasangan. Pandangan yang
diperoleh dari gambaran ilmiah peneliti sebagai berdiri di balik satu kaca pengilon, melihat
fenomena alam sebagaimana terjadi dan mencatatnya secara objektif. Peneliti sewaktu
menggunakan metodologi yang sesuai tidak dipengaruhi oleh fenomena dan sebaliknya (Guba
dan Yvona, 1994:107). Secara alamiah terdapat interaksi antara peneliti dan yang diteliti
sehingga merupakan pasangan. Namun ketika menggunakan sperangkat metodologi, bagaikan
hanya melihat satu arah seperti seseorang melihat di kaca, mengabaikan fenomena yang terjadi
pada saat penelitian dilakukan.

Egon G.Guba dan Yvonna S. Lincoln mengungkapkan kritik atas paradigm positivisme
pada intinya ada 5 hal dari aspek kelemahan pandangan diri dari dalam paradigm positivisme
itu sendiri yaitu: (1) mengeluarkan variable yang lain sehingga menghilangkan konteksnya; (2)

30
perilaku manusia tidak seperti objek fisik, tidak dapat dimengerti jika tanpa mengaitkan dengan
makna dan tujuan; (3) ketidak kaitan antara teori yang berlaku umum dengan konteks local; (4)
problem kemampuan penerapan pada kasus individu; (5) mengabaikan dimensi penemuan
ilmiah, malah mengabaikan sumbernya itu sendiri, sumber fakta dari hipotesa yang dibangun,
mengejar penemuan yang bersifat umum.

Aspek kritik dari luar paradigm positivisme menurut Guba dan Yvonna ada 4 hal yaitu:
(1) fakta dilihat hanya melalui kacamata teori. (2) Verifikasi tidak tepat berkaitan dengan fakta
yang dibangun namun falsifikasi lebih tepat, bukan penjernihkan temuannya melainkan lebih
tepat penyanggahan. Sebab penjernihan cenderung melakukan hal yang sama sesuai dengan
teori yang dibangun sebelumnya sementara penyanggahan melibatkan kompleksitas persoalan
penelitian yang dilakukan. (3) Fakta yang dibangun tak memuat nilai, smentara hipotesa yang
dibangun melalui teori sendiri pada dasarnya sudah terpengaruh oleh nilai-nilai itu sendiri. (4)
interaksi dari peneliti dan yang diteliti seharusnya merupakan satu pasangan, namun dalam
positivisme hanya memandang sebagi satu sisi saja, mengabaikan fenomena yang sedang
terjadi yang terdapat pada yang diteliti.

4. Hermeneutik Semiotika Sosial

Hermeneutika merupakan ilmu untuk menafsirkan guna memahami sesuatu yang


sifatnya abstrak dan gelap menjadi lebih terang mampu menjelaskan persoalan yang semula
bersifat abstrak tersebut. F. Budi Hardiman menuliskan pengertian hermeneutik sebagai
berikut:
“ Kata hermeneutik atau hermeneutika adalah pengindonesiaan dari kata Inggris hermeneutic.
Kata terakhir ini berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang artinya mengungkapkan
pikiran-pikiran orang dalam kata-kata. Kata kerja itu juga berarti menerjemahkan dan juga
bertindak sebagai penafsir. Ketiga pengertian ini sebenarnya mau mengungkapkan bahwa
hermeneutic merupakan usaha untuk beralih dari sesuatu yang relative gelap ke sesuatu yang
lebih terang. Dalam pengertian pertama hermeneuein dapat dipahami sebagai semacam
peralihan dari sesuatu yang sifatnya abstrak dan gelap, yaitu pikiran-pikiran, ke dalam bentuk
ungkapan yang jelas yaitu bentuk bahasa “ ( Hardiman, 2003: 37).

Martinho G. da Silva Gusmao (2013) menjelaskan gagasan Martin Heidegger tentang


hermeneutic sebagai berikut:
“ Secara sederhana, bukan konsep atau doktrin yang menentukan pemahaman kita melainkan
pengalaman hidup yang membawa kita ke akar-akar pemahaman.Di sinilah hermeneuen

31
menjembatani kita untuk menjalani kehidupan. Itu berarti pemahaman merupakan sebuah
penafsiran terhadap faktisitas bahwa kita selalu dan sedang berada “di sana”, dalam kehidupan
yang sedang berlangsung itu. Dengan begitu, Heidegger telah menciptakan nuansa baru dalam
hermeneutic – tidak hanya sebagai seni menafsirkan (art of interpretation), namun sekaligu
tindakan menafsirkan (act of interpretation). Hermeneutik bukan lagi sebuah teknik, melainkan
sebuah proses memahami “ (Gusmao, 2013:14).

Dari ke dua kutipan gagasan tentang hermeneutik tersebut dapat disarikan bahwa
hermeneutik merupakan ilmu tentang penafsiran, suatu proses tindakan interpretasi guna
memahami ke akar permasalahan, guna proses memahami tersebut seseorang atau peneliti
harus berada “di sana”, di wilayah lokasi penelitian-nya. Namun perlu mendapat perhatian
bahwa kata memahami di dalam konteks ini, bukan dimaksudkan sebagai kata memahami
dalam terminologi desain rancangan pembelajaran, sehingga kata kerja ini termasuk dalam
kategori “tidak operasional”. Kata memahami di dalam konteks hermeneutic merupakan kata
kerja yang jabarannya sangat luas sehingga mampu mengurai segala aspek permasalahan dan
menjelaskan segala aspek yang masih kabur menjadi jelas.

Salah satu contoh kata memahami dalam konteks hermeneutik ini misalnya kasus
pemahaman akan kemiskinan para buruh tani. Setelah berada “di sana” peneliti mampu
mendeskripsikan secara mendalam segala aspek kesusahan kemiskinannya yang bisa mencakup
gajinya yang kecil untuk menghidupi yang ternyata juga terbeban bukan keluarga inti saja,
kualitas makanan, kualitas gizi, kebutuhan budaya masyarakatnya dan seterusnya sesuai
pembatasan permasalahan yang diteliti. Terminologi memahami didalam konteks ini juga
seperti halnya bila kita mengatakan memahami isi buku Arranging Popular Music: A Practical
Guide karya Genichi Kawakami pada tahun 1975. Memahami isi buku ini yang kebetulan
berbahasa Inggris , berarti seseorang mampu menjabarkan maksud masing-masing topik yang
tertulis dalam daftar isi buku, segala aspek sub judul buku yang terdiri dari 763 halaman
tersebut mampu dijelaskan oleh si pemaham buku, inilah yang dimaksud dengan kata
memahami (verstehen), understanding (bhs.Inggris) dalam konteks hermeneutik dan juga
konteks ilmu-ilmu sosial. Hermeneutika berbeda dengan penalaran induktif dan deduktif
(walaupun tidak mengabaikannya) karena lebih menggunakan penalaran dialektis dan holistic
dalam menafsirkan memahami karya seni, budaya serta tingkah laku manusia yang dianggap
memiliki makna simbolis “ ( Yusuf L., 2004:102).

32
Makna simbolis objek seni yang ada dalam masyarakat tidak serta merta terwujud dan
mudah diartikan maknanya, namun perlu ditelusuri makna yang tersembunyi yang merupakan
nilai-nilai yang muncul dalam masyarakat. Nilai-nilai makna seni serta nilai keindahannya
menyatu dalam objek materialnya. Objek material seni “berdialektik” dengan subjek, subjek
dimaksud di sini adalah masyarakat pemilk budaya tersebut, masyarakat “berdialektik” untuk
membentuk nilai-nilai yang menyatu dengan objek seni tersebut. Makna seni dalam
masyarakat dikemas dalam bentuk tanda, ikon, indek dan simbol. Tanda terdiri dari penanda
yang merupakan wujudnya dan petanda yang merupakan makna isi dari wujud tersebut. Ikon
adalah wujud yang sangat mirip, persis serupa dengan yang diwujudkan, misalnya foto, patung.
Indek adalah indikator penunjuk terhadap objek yang ada namun tak tampak secara langsung,
misalnya adanya asap merujuk pada adanya objek api. Simbol adalah wujud-wujud material
yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakatnya, misalnya
pemasangan bendera merah di suatu wilayah masyarakat tertentu memberikan petunjuk bahwa
di daerah itu ada seseorang sedang meninggal dunia. Simbol-silmbol ini berbeda antara
masyarakat wilayah yang satu dengan masyarakat wilayah yang lain, bendera merah belum
tentu menunjukkan adanya seseorang meninggal dunia, di daerah lain symbol adanya orang
yang meninggal dengan menggunakan bendera warna putih dan di tempat lain lagi
menggunakan symbol warna kuning, perbedaan ini tampak misalnya tanda orang meninggal di
daerah Kota Jakarta berbeda dengan Kota Klaten dan berbeda pula dengan di Yogyakarta.

Pengungkapan makna seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, tidak hanya


bermakna lugas namun juga bermakna konotasi, bahkan pemaknaan ini berkembang menjadi
makna tingkat primer dan makna tingkat sekunder melalui proses semiosis dalam
masyarakatnya, selain itu perubahan pemaknaan juga terjadi karena perubahan paradigm
pemikiran serta dukungan latar belakan historis yang berbeda dari masa ke masa.
Pengungkapan makna inilah yang akan terungkap dan terurai melalui pemikiran-pemikiran
semiotic., ilmu tentang tanda. Robert W. Preucel mengungkapkan arti semiotik sebagai berikut:
“Semiotik merupakan lahan kajian, multi disipliner dalam cakupan dan
dalam skop internasional, mengembangkan studi kecakapan manusia untuk
memproduksi dan mengerti tanda-tanda. Apakah tanda itu? Tanda adalah semacam
suatu ide, kata, gambar, bunyi, dan objek yang kompleks berimplikasi dalam:
komunikasi. Semiotik meneliti sistem tanda dan mode representasi yang digunakan

33
manusia untuk menyampaikan emosi, ide, dan pengalaman hidup ” (Preucel,
2010:5).
Tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat, sedangkan ilmu yang
mengkaji tanda adalah Semiotika. Semiotika semula muncul dalam ilmu bahasa, namun
Roland Barthes berpendapat bahwa tidak hanya digunakan untuk bidang bahasa saja:
“Tujuan penelitian semiologi adalah untuk menyusun fungsi dari sistem
penandaan selain bahasa dalam kesesuaian dengan tipikal proses dari beberapa
aktivitas strukturalis, yang membuat suatu simulasi dari objek di bawah
pengamatan” (Roland Barthes dalam Sunardi, 2004:37).

Makna nilai-nilai keindahan, nilai-nilai estetika dan etika didapat melalui semiotika dengan
cara proses dialektik antara subjek (dalam hal ini peneliti) dengan penguraian atas objek
kebudayaan material seni bersama konteksnya yaitu subjek pemilik kebudayaan, karena
nilai-nilai objek seni terdapat pada subjek pemilik kebudayaan tersebut. Interaksi
penelitiannya menjadi sebagai berikut: Subjek (Peneliti) berdialektik dengan Objek
Material Budaya + Subjek Pemilik Kebudayaan. Dalam hal ini maka si pemilik
kebudayaan tidak kita anggap objek namun dia juga Subjek. Posisi antara Subjek sebagi
peneliti dan Subjek lain (pemilik budaya) adalah setara, sebab meraka adalah informan dan
nara sumber utama, tanpa pemilik budaya, objek material seni tidak akan berarti apa-apa,
sebab merekalah yang memberi “tempelan” nilai-nilai sehingga objek tersebut menjadi
sangat bermakna secara aksiologi. Pentingnya subjek pemilik budaya atau “orang dalam”
dituliskan Sal Murgianto sebagai berikut:
“ Dua isu dalam studi pertunjukan yang menarik perhatian saya selama belajar di
NYU adalah interaksi lintas budaya dan kecenderungan para peneliti humaniora yang
makin rela berbagi kekuasaan dengan orang-orang yang ditelitinya. Banyak sarjana
humaniora yang tidak lagi merasa menjadi wakil tunggal dari orang-orang yang ditelitinya.
Bagaimana mungkin sebagai “orang luar” ia dapat “lebih tahu” tentang pendapat dan
keyakinan dari “orang dalam” ? Begitu kira-kira mereka bertanya. Oleh karena itu, di
dalam hasil riset, mereka memberi ruang yang cukup kepada local-experts untuk
menjelaskan pendapat dan keyakinan mereka… “ (Murgianto, 2004:112).

Pemaknaan dicari melalui sisi insider, orang pemilik kebudayaan setempat dengan cara
pemahaman secara mendalam melalui proses dialektik. Proses penelitian guna
pengungkapan makna melalui semiotik dalam masyarakat pemilik budaya digambarkan
dalam bagan berikut ini:

34
Proses penelitian semiotik dengan mengutamakan dialektik inter subjek antar peneliti dan
yang diteliti melalui proses: (1) Peneliti mengkaji fenomena budaya suatu masyarakat untuk
mengungkap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. (2) Pemeliti mempersiapkan
seperangkat pendukung pisau analisis semiotika sebagai metodenya. (3)Peneliti melakukan
kerja lapangan dengan pengamatan objek kebudayaan material serta proses memahami
nilai-nilai estetik dan etik yang dikandungnya melalui proses dialektik dengan
masyarakatnya. (4) Penemuan hasil makna nilai-nilai estetik dan etik kebudayaan material
dalam masyarakat yang menjadi wilayah penelitiannya.

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa hermeneutic adalah merupakan ilmu


tentang penafsiran, suatu proses tindakan interpretasi guna memahami ke akar
permasalahan, guna proses memahami tersebut seseorang atau peneliti harus berada “di
sana”, di wilayah lokasi penelitian-nya. Semula hermeneutik memang hanya untuk
menafsirkan tesk-teks tertulis dari kitab suci ataupun sumber tertulis lainnya, demikian pula
metode-metodenya guna memberikan tafsiran atas teks-teks tersebut. Saat ini hermeneutic
berkembang dipergunakan untuk menguraikan permasalahan social-masyarakat, fenomena
sosial yang dijumpai dalam masyarakat khususnya tindakan sosial masyarakat dianggap
sebagai teks, karena fenomena sosial dianggap sebagai teks maka keseluruhan metode guna
mengurai, menjelaskan, menafsirkan dan menginterpretasikan analisis teks dapat
dipergunakan pula untuk menganalisis fenomena sosial tersebut.

35
Dalam buku Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya karya Benny H. Hoed dituliskan
gagasan Paul Ricoeur (1982) sebagai berikut:
“ Teks harus dipahami dengan memahami kaitannya dengan penulis (pemroduksi teks),
lingkungannya (fisik, social budaya), dan dengan teks lain (intertekstualitas). Maka teks
juga harus dipahami dalam konteks dialog antara pembaca dan teks yang dibacanya itu.
Dengan demikian hal yang menonjol dalam hermeneutic ialah bahwa pengertian bahwa
teks itu pada dasarnya poli semis, sehingga tidak mungkin mempunyai hanya satu makna.
Jadi maknanya tergantung pada pelbagai factor tersebut di atas” (Hoed, 2011:94).

Bagan guna menafsirkan teks dalam berbagai konteksnya yang terkait digambarkan sebagai
berikut :

Bagan Teks yang Polisemis (Sumber Ricoeur, 1982 dalam Hoed, 2011: 94).
Dalam gagasan Ricoeur tentang penafsiran teks tersebut dapat kita terapkan dalam
mengkaji fenomena social objek budaya material seni. Teks kita gantikan dengan gejala
fenomena objek material seni. Konetks yang harus kita perhatikan selanjutnya adalah
penulis, penulis dalam hal ini adalah seniman pembuat karya seni. Lingkungan di dalam
hal ini adalah masyarakat pendukung yang hidup dan menghidupi objek material seni
tersebut, masyarakat etnis setempat dan lingkungan geografis tempat tinggal
masyarakatnya. Teks lain dalam hal ini adalah teori-teori yang ada berkaitan dengan
fenomena social objek kebudayaan seni yang sedang diteliti, serta sumber bacaan tentang
objek budaya seni tersebut. Pembaca dalam hal ini adalah peneliti itu sendiri serta
komunitas para seniman yang mangalami objek seni, serta para seniman yang tinggal di
daerah setempat.
36
Proses pemahaman hermeneutika teks dari Paul Ricoeur diterapkan dalam fenomena objek
material seni bila digambarkan dalam bagan menjadi sebagai
berikut ini:

Penelitian makna teks menjadi penelitian fenomena objek material seni, konteks yang
harus diperhatikan guna ketajaman analisis fenomena seni tersebut adalah praktek
berkesenian masyarakat setempat dan lingkup masyarakat sekitarnya sesuai dengan wilayah
penelitiannya, seniman pembuat karya seni, lingkungan alam, social dan budayanya,
wawasan kebudayaan material sejenis lain di luar area cakupan penelitiannya, interaksi
dialektik antara peneliti, penonton, aktor seniman/pemain serta masyarakat pendukung
fenomena objek seni tersebut. Berbagai konteks permasalahan guna mengurai suatu
fenomena social budaya objek material seni inilah yang memungkinkan pemahaman dan
hasil interpretasi yang lebih baik dan ketajaman melakukan konteks berbagai aspek inilah
yang membuahkan hasil penelitian yang holistik dan mendalam.

Hermeneutik Semiotika Sosial yang dimaksudkan adalah penelitian fenomena objek


kebudayaan seni dianggap sebagai teks dengan demikian maka cara mengurai dan
memaknai fenomena budaya dengan menggunakan teori-teori dan metode hermeneutika,
mengalihkan hermeneutic teks menjadi hermeneutic social. Pemaknaan tanda-tanda,
simobol, ikon, indek yang ditemui di wilayah penelitiannya, yakni objek kebudayaan
material seni dalam masyarakatnya, dengan menggunakan teori-teori dan metode semiotik.
Proses penelitian fenomena budaya objek material seni dalam masyarakatnya dengan
hermeneutik semiotika sosial menjadi seperti berikut ini:

37
Fenomena objek material seni dengan seluruh konteks lingkungan hermeneutiknya
dianggap sebagai wilayah tanda-tanda yang akan diteliti, sehingga seluruh aspek yang
mengitari yaitu: praktek permainan, seniman pembuat karya, lingkungan sosial- budaya-
alam, objek seni sejenis, masyarakat pemilik budaya merupakan fenomena tanda-tanda.
Objek material seni dan lingkup hermeneutiknya merupakan fenomena tanda, sehingga
segala teori dan metode dalam semiotik dapat diterapkan untuk mengurai makna tanda-
tanda objek seni dan lingkup hermeneutiknya dengan penajaman sesuai dengan focus dan
permasalahan penelitian.

Kesimpulan

Hermeunetika merupakan ilmu tentang penafsiran, suatu proses tindakan


interpretasi guna memahami ke akar permasalahan, guna proses memahami tersebut
seseorang atau peneliti harus berada “di sana”, di wilayah lokasi penelitian-nya. Semula
hermeneutika sebagai metode guna memaknai teks karya sastra, selanjutnya dikembangkan
hermeneutika sebagai metode memaknai objek material seni dalam masyarakat. Makna seni
dalam masyarakat, tidak cukup mampu diurai dengan pendekatan kawntitatif paradigma
positivisme, dengan sekedar angket dan pemasukan data angka ke dalam rumus-rumus yang
dianggap sesuai. Berbagi kelemahan paradigma positivisme sulit guna mencapai

38
pemahaman (verstehen) untuk mewujudkan diskripsi fenomena objek seni masyarakat
secara tebal dan mendalam seperti istilah yang digunakan Cliford Geertz yaitu thicks and
depth description.

Fenomena objek material seni masyarakat dan konteks lingkaran hermeneutikanya


merupakan tanda-tanda dalam masyarakat yang dapat dibaca oleh peneliti, untuk itu dengan
pemahaman ini maka seluruh teori-teori dan metode semiotic digunakan untuk
mengungkap makna yang terselubung yang menyatu dengan masyarakat tersebut yang
mencakup makna estetik dan makna etika fenomena objek material seni tersebut, sehinga
dengan perpaduan hermeneutik dan semiotik mampu mengurai dan mengungkap makna
secara tebal dan mendalam dari objek material seni dalam masyarakat pemilik budaya
tersebut.

Daftar Pustaka

Foucault, Michel. (1973). The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock


Publications.

------------. (1976). Arkeologi Pengetahuan. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir.


Yogyakarta: IRCiSoD.

Graham, Gordon. 1997. Philosophy of The Arts An Introduction to Aesthetic. New


York: Routledge.

Guba, Egon G. dan Yvona S.Lincoln. 1994 ” Competing Paradigms in Qualitative


Research” dalam Norman K.Denzin dan Yvanna S. Lincoln: Handbook of
Qualitative Research. California: SAGE Publication.

Gusmao, Martinho G. da Silva. 2013. Hans Georg Gadamer: Penggagas Filsafat


Hermeneutik Modern yang Mangagungkan Tradisi. Yogyakarta: Kanisius.

Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu.
_______ 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas Bambu.

Poespowardojo, Soerjanto dan Alexander Seran. 2015. Filsafat Ilmu Pengetahuan .


Jakarta:Penerbit Buku Kompas.
Reimer, Bennet. 1970. A. Philosophy of Music Education. New Jersey: Prentice
Hall, Englewood Cliffs.

39
Hardiman, F.Budi, 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius

Kali, Ampy. 2013. Diskursus Seksualitas Michel Foucault. Maumere: Ledalero.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Filsafat Ilmu Metodologi Posmodern. Bogor:


AkaDemiA.

Savage, Roger W.H. 2010. Hermeneutics and Music Criticism. New York:
Routledge.

Simatupang, Lono. 2013. Pagelaran Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya.


Yogyakarta: Jalasutra.

Sony Kartika, Dharsono. 2007. Kritik Seni. Bandung: Penerbit Rekayasa Sain

Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.


Tolstoy, Leo. 1979.” What is Art ?” dalam Art and Philosophy, W.E Kennick. Hal
34-45. New York: St Martin‟s Press.

40
Implementasi Teoritis Konteks Pendidikan “Bidang Seni Budaya”
dengan Kebudayaan Tangible dan Intangible

Abstrak

Tulisan ini membahas kajian keilmuan yang disebut sebagai “seni budaya” yang akan
dirunut secara terminologi dan mengungkapkan jejaring konteks keilmuan bidang studi seni
dalam kaitannya dengan kebudayaan tangible dan intangible. Seni adalah aktivitas manusia
yang menghasilkan keindahan dan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Budaya atau sering
disebut culture, atau kebudayaan, memiliki tiga paradigma teoritik yaitu kebudayaan sebagai
symbol, kebudayaan sebagai sistem pengetahuan (cognitive) dan kebudayaan sebagai benda
material. Secara bentuk kebudayaan terdiri dari dua aspek yaitu kebudayaan bentuk intangible
(abstrak) dan bentuk tangible (materi).Teori kebudayaan yang diacu sebagai paradigma
menentukan langkah selanjutnya dalam kajian dan penelitian, untuk itu perlu penguasaan teori
dan metodologi yang sesuai guna kajian fenomena seni.

Kata kunci: culture, cognitive, simbol, tangible, intangible.

Abstract
This paper discusses the scientific study of the so-called "cultural arts" that will be
traced in the context of networking terminology and reveal the scientific field of study of art in
relation to tangible and intangible culture Art is a human activity that produces beauty and fun
shapes. Budaya is often called culture, or Kebudayaan, has three theoretical paradigms of
culture as a symbol, the culture as a system of knowledge (cognitive) and Culture as material
things. In the form of culture consists of two aspects: the intangible cultural form (abstract)
and the form of tangible (material). Cultural theory referred to as a paradigm that will
determines in studies and research, it is necessary to mastering of the theory and methodology
appropriate to the phenomenon of art.

Key word: culture, cognitive, symbol, tangible, intangible.

41
Pendahuluan

Pada kurikulum 2013 dan sebelumnya yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), materi pelajaran musik, tari dan seni rupa-kerajinan dimasukkan dalam bidang
pelajaran seni budaya. Guru yang mengajar pelajaran-pelajaran tersebut juga disebut sebagai
guru seni budaya, demikian pula para assesor pendidikan latihan guru professional (PLPG)
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) juga disebut sebagai
assessor seni budaya.

Namun sebenarnya terjadi pemahaman yang tidak tepat atau sangat menyederhanakan
kajian dan terminologi seni budaya, seni budaya disamakan dengan kesenian selanjutnya terjadi
penggeneralisasian arti bahwa guru lulusan sarjana musik disebut sebagai guru seni budaya
demikian pula untuk guru seni tari dan seni rupa-kerajinan. Penamaan tiga bidang studi musik,
tari dan seni rupa dalam kurikulum menjadi seni budaya bisa terjadi hanya sekedar nama dan
pengelompokan, pen-comot-an nama saja, nama yang muncul tiba-tiba. Setidaknya selama ini
belum ada uraian keilmuan dalam pengantar kurikulum sehingga 3 bidang studi itu menjadi
bidang seni budaya. Sementara sebagian masyarakat bahkan menganggap kebudayaan itu sama
dengan kesenian, maka sering dalam pertunjukan kesenian tradisional mereka menyebut
sebagai orang-orang yang nguri-uri kabudayan. Pandangan sempit arti kebudayaan juga
disampaikan Fadli Zon yang dilanjutkan pendapat St. Sularto, disitir dalam tulisan Kompas
kolom Pendidikan & Kebudayaan sebagai berikut:
“ … Fadli menuturkan, kondisi itu tak lepas karena kebudayaan dipandang
sempit sebagai isu pinggiran. “ Kebudayaan hanya dianggap sebagai tari-tarian,
keris dan lainnya”, ucapnya. Kebudayaan yang tak disentuh seperti etika dan
kesantunan, ditinggalkan dan diabaikan dalam pergaulan. Untuk itu, Sularto
mengatakan, penting sekali mengadakan dialog kebudayaan. Tujuannya untuk
menyadarkan semua pihak bahwa kebudayaan memiliki peranan yang sangat
penting bagi peradaban suatu bangsa“ (Kompas 19 September 2013:12).

Pentingnya terminology arti kata untuk kesesuaian teori yang mendasarinya guna
penerapan keilmuwan yang sesuai dan tepat juga diungkap Radhar Panca Dahana sebagai
berikut:
“… Pada umumnya seniman dan cendekiawan di atas tahu istilah yang
sesungguhnya bagian dari bahasa ilmu/akademik itu, dari media massa atau buku-
buku yang tak pernah menjelaskan azbabun nuzul dari terma atau istilah itu.

42
Mereka menjumputnya begitu saja, memadankannya dengan kata atau terma lain
yang, seperti pada kata “arkeologi panggung” dan “ideologisasi tradisi”,
memanfaatkan atau mengaplikasikannya secara sembrono untuk sembarang kasus,
hanya untuk terlihat ngilmiah “cerdas” atau nginternasional” (Kompas, 17
September 2013:7).

Tulisan ini akan membahas kajian keilmuan yang disebut sebagai “seni budaya” yang
akan dirunut secara terminologi dan mengungkapkan jejaring konteks istilah tersebut dengan
keilmuan bidang studi seni/mata pelajaran musik, tari dan seni rupa dalam konteks kebudayaan
tangible dan intangible. Melalui kajian tulisan ini diharapkan muncul pemahaman secara
komprehensif bidang seni budaya yang selanjutnya bisa merupakan landasan keilmuan dan
dasar-dasar teoritik guna implementasi keilmuan melalui penelitian maupun kemampuan
memilih metodologinya.

Pembahasan

Sebelum mengungkap jaringan keilmuan yang lebih kompleks keterkaitan istilah seni
budaya maka perlu mengupas terlebih dahulu terminologi istilah seni dan budaya agar
keduanya menjadi jelas dan keterkaitan antara seni dan budaya.

Arti Seni
Seni menurut Herbert Read dalam Dharsono diungkap sebagai berikut:
“ Seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan bentuk-bentuk yang
menyenangkan. Bentuk yang menyenangkan dalam arti bentuk yang dapat membingkai
perasaan keindahan dan perasaan keindahan itu dapat terpuaskan apabila dapat menangkap
harmoni atau satu kesatuan dari bentuk yang disajikan” (Read 1959:1, Dharsono, 2007:7).

Leo Tolstoy dalam penulisannya tentang apakah seni itu antara lain mengungkap
sebagai berikut: “ Art is activity that produces beauty”.. pada bagian lain dinyatakan pula: “
The activity of art is based on the fact that a man receiving trough his sense of hearing or sight
another man‟s expression of feeling, is capable of experiencing the emotion which moved the
man who expressed it” (Tolstoy, 1979: 36). Seni adalah aktivitas manusia yang menghasilkan
keindahan, aktivitas seni didasarkan pada fakta bahwa manusia menerima melalui

43
pengertiannya mendengarkan atau melihat ekspresi orang lain, sekaligus mampu mengalami
emosi/rasa dari orang yang mengekspresikannya.
Budaya

Kata Budaya dari kata Culture (Inggris) arti awal bahasa kuno latin colere yang
memiliki pengertian arti mendiami, mengolah/menanami, melindungi,
menghormati/menyembah. Kebudayaan (culture) memiliki arti yang sangat kompleks. A.
Krober dan C. Kluckhon (dalam Hubertus Muda) mengumpulkan sebanyak 160 definisi
kebudayaan. Dalam bukunya berjudul Culture, A Critical Review of Concept and Definitions
tahun 1952. Edward B.Tylor (1871) mengungkapkan arti kebudayaan sebagai berikut:
“Kebudayaan adalah keseluruhan yang merangkum pengetahuan, kepercayaan, kesenian, dan
adat kebiasaan yang diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat” (Muda, 1992:9).
Salah satu arti kebudayaan yang sering digunakan dalam kajian budaya adalah arti kebudayaan
menurut C. Geertz, yang mengungkapkan teori tentang arti kebudayaan sebagai berikut: “ The
culture concept …… it denote an historically transmitted pattern of meaning embodied in
symbols, a system of in herited conceptions expressed in symbolic forms by means of which
men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitudes to ward life”
(Geertz, 1973:89). Definisi Gertz ini membuka cakrawala kita bagaimana kita mampu
mengkaji kebudayan suatu masyarakat dengan teori ini. Teori ini lebih menekankan bahwa
kebudayaan merupakan pola-pola arti yang dikemas dalam betuk-bentuk simbol dan melalui
symbol itu manusia berperilaku dan mempertahankan hidup. Bila Geertz mengungkap sebagai
sistem symbol maka Umberto Eco dalam Sunardi memaparkan sebagai sistem tanda dan
komunikasi: “ Culture is signification and communication that humanity and society exist only
when communicative and significative relationships are established” (Sunardi, 2004:68).

Kajian kata kunci (keyword) tentang kebudayaan ditulis oleh Raymon William (1985)
dalam bukunya “Culture, Keyword A. Vocabularry of culture and Society”. Tiga arti penting
kata kebudayaan menurut Wiliam sebagai berikut:
“But we go beyond the physical reference, we have to recognize three broad
active categories of usage. The sources of two of these we havealready discussed:
(i) the independent and abstract noun which describe a general process of
intellectual, spiritual and aesthetic development, .. (ii) the independent noun,
whether used generally or specifically, which indicates a particular way of life,

44
whether of apeople, a period, a group, or humanity in general, from Herder and
Klemm. But we have also to recognize iii) the independent and abstract noun which
describe the works and practices of intellectual and especially artistic activity. This
seems often now the most widespread use culture is music, literature, painting and
sculpture, theatre, and film” (Wiliam, 1985: 90) .

Terjemahan bebas : “Tapi kita melampaui referensi fisik, kita harus mengakui tiga
kategori aktif yang luas dari penggunaan. Sumber dua ini telah kita bahas: (i) kata
benda abstrak yang independen dan menggambarkan proses umum perkembangan
intelektual, spiritual dan estetika,; (ii) kata benda independen, apakah digunakan
secara umum atau khusus, yang menunjukkan cara hidup tertentu, apakah suatu
kaum, periode, kelompok, atau kemanusiaan secara umum, dari Herder dan Klemm.
Tapi kita harus juga mengakui: iii) kata benda abstrak yang independen dan
menjelaskan karya dan praktik aktivitas intelektual dan terutama artistik. Hal ini
tampaknya sering sekarang budaya penggunaan paling luas adalah musik, sastra,
lukisan dan patung, teater, dan film”.

Pengertian kata kunci pertama adalah kata benda abstrak menggambarkan proses
perkembangan intelektual, spiritual dan estetika. Kata kunci kedua menyatakan kata benda
independen yang menunjukkan cara hidup tertentu. Sedangkan kata kunci ketiga adalah kata
benda abstrak yang independen dan menjelaskan karya dan praktik aktivitas intelektual dan
terutama artistik.

William H. Sewell dalam artikelnya tentang konsep-konsep kebudayaan memberikan


dua arti dasar yang dinyatakan sebagai berikut: “In one meaning, culture is a theoretically
defined category or aspect of social life that must be abstracted out from complex reality of
human existence. …. In its second meaning, culture stands for a concrete and bounded world
of beliefs and practices. … “ (Sewell, 2005: 79). Arti dasar yang pertama adalah kategori
teoritis dari kehidupan sosial yang harus diabstraksikan dari realitas kompleks eksistensi
manusia. Arti dasar yang kedua adalah kebudayaan merupakan rangkuman dan dunia kongkrit
atas kepercayaan/beliefs dan tindakan praktik kehidupan.

Pada era peradaban industri - kapitalis sekarang ini di mana manusia tidak lagi hanya
mencari kebutuhan pokok namun juga diciptakan kebutuhan imaginer, virtual, realitas semu
(hyper realitas), kebutuhan palsu (false needs) maka Stuart Hall dalam Tsekeris, 2008
mendasarkan arti kebudayaan pada makna dan nilai-nilai : “ Culture as both the meanings and
values which arise amongst distinctive social grups and classes, on the basis of their given

45
historical conditions and relationships, through which they „handle‟ and respond to the
conditions of existence; and the lived tradition and practices trough which those understanding
are expressed and in which they are embodied “ (Tsekeris, 2008: 24). (Kebudayaan sebagai
keduanya baik makna-makna maupun nilai-nilai yang timbul diantara kelompok dan kelas
sosial, yang berdasar pada hubungan dan kondisi sejarahnya melalui itu mereka merespon dan
memperlakukan kondisi keberadaannya dan tradisi yang hidup dan praktik melaluinya
pengertian diekspresikan dan diwujudkan).

Materi merupakan budaya manusia karena dengan obyek materi tersebut manusia
mengalami perjumpaan, berinteraksi dengan materi tersebut, Ian Woodward menyatakan
sebagai berikut: “ Object are commonly spoken of as material culture. The term material
culture emphasis how apparently inanimate things within the environment act on people, and
are acted upon by people, for the purposes of carrying out social fungtions, regulating social
relations and giving symbolic meaning to human activity ” (Ian, 2007:4). Kebudayaan material
menekankan bagaimana benda-benda mati tampak dalam tindakan orang, diperlakukan orang
untuk kegunaan fungsi sosial, mengatur relasi sosial dan memberikan makna simbolis pada
aktivitas manusia.

Dari berbagai arti kebudayaan menurut para tokoh-tokoh yang telah dipaparkan
terdahulu maka kita bisa mengambil intisari gagasan arti kebudayaan menjadi tiga kelompok
besar, ketiga kelompok besar itu adalah :
(1) kebudayaan dianggap sebagai sistem symbol, tanda: (C.Feertz, Stuart Hall, Raymond
Wiliam, Umberto Eco, Sewell)
(2) kebudayaan dianggap sebagai sistem pengetahuan: (Raymond Wiliams, E.B.Taylor,
baca juga Kuncaraningrat, Sewell)
(3) kebudayaan sebagai sistem hasil karya material benda: (E.B.Taylor, Raymond
Williams, Sewell, Ian Woodward)

Kebudayaan Intangible dan Tangible

Arti intangible menurut Webster‟s New World College Dictionary dituliskan sebagai
berikut: “Intangible : adj, 1.that can not be touched, 2.that represent value but has either no

46
intrinsic value or no material being/ (stock and bonds are intangible properties, good will is an
intangible assets), 3.taht cannot be easily defined, formulated or grasped; vague. N. something
intangible” (Webster‟s New World College Dictionary, 1996: 701). Kebudayaan intangible
berarti kebudayaan yang bukan berujud material, tak dapat diraba secara fisik termasuk
didalamnya sistem pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung dalam sistem tersebut.

Angklung telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (Intangible, Cultural
Heritage of Humanity) oleh Organisasi pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
(UNESCO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan November 2010. (Kampas, 20
Januari 2011). Selain angklung UNESCO juga telah menetapkan warisan budaya Batik dan
Wayang sebagai intangible cultural heritage of human. Intangible dimaksudkan sebagai
kekayaan kebudayaan tak benda, kekayaan intelektual yang dimiliki oleh bangsa.

Arti Tangible menurut Webster‟s New World College Dictionary dituliskan sebagai
berikut: “Tangible: adj, 1.that can be touched or felt by touched: having actual form or
substance, 2.corporeal and able to be appraised for value (tangible assets) 3.that can be
undertood, definite, objective, N. property that can be appraised for value, assets having real
substance, material things” (Webster‟s New World College Dictionary, 1996: 1367).
Kebudayaan tangible adalah kebudayaan berupa materi, obyek subtansi yang tampak nyata
yang dapat disentuh dan dirasakan, ada wujud subtansi benda material. Semua benda material
budaya termasuk dalam kategori ini. Benda-benda arkeologi, artefak, naskah tulisan, dokumen,
foto, benda-benda seni dan segala benda budaya yang ada wujud subtansi materialnya.

Hubungan Teori Kebudayaan dengan Kabudayaan Intangible dan Tangible.

Kebudayaan Intangible

Kebudayaan dianggap, dipandang dari sisi lebih abstrak karena berupa sistem, sistem
tanda, sistem pengetahuan, seni dalam aspek intelektualnya, kepercayaan, tata perilaku hidup,
cara pandang, cara berfikir semua ini masuk ranah cakupan budaya intangible karena bukan
merupakan materi yang tampak secara kasat mata dan mudah disentuh secara fisik. Sistem
bahasa, wacana sosial, pengetahuan masyarakat tantang upacara-upacara tradisi maupun

47
keagamaan, aturan-aturan perilaku bermasyarakat, konsep-konsep sosial, tata krama, budi
pekerti, konsep-konsep seni dan keindahan seni termasuk dalam kebudayaan intangible ini.

Teori kebudayaan guna dasar menganalisa secara tepat sesuai dengan permasalahan
budaya intangible yang akan dikaji maka disesuaikan dengan teori yang telah diungkapkan.
Bila mengkaji sistem symbol dalam masyarakat maka menggunakan acuannya C. Geertz dan
yang sejenis, sistem tanda dalam komunikasi maka memakai teori Umberto Eco dan yang
sejenis. Sedangkan mencari sistem pengetahuan masyarakat menggunakan teori Raymond
Wiliam, Good Enough. Tokoh-tokoh ini hanya sekedar contoh disamping tokoh-tokoh lain
yang separadigma dalam memandang kebudayaan masih banyak lagi, namun setidaknya ada
tiga bagian besar pengelompokan tersebut. Fokus analisa kajian kebudayaan akan semakin
tajam bila menggunakan teori paradigma kebudayaan yang sesuai, analisa symbol dan tanda
mengacu pada tokoh-tokohnya, demikian pula kesesuaian untuk tokoh-tokoh cognitive dan
ideasional. Kasus kajian mulai dari symbol, makna, semiotika, wacana, dapat merupakan
kajian-kajian intangible, selain menggunakan paradigma teori kebudayaan yang sesuai aspek
metodologinyapun harus diambil sesuai focus sintakmatisnya, kajian yang bersifat kualitatif
mulai dari pra strukturalis, strukturalis, post strukturalis, analisis wacana (critical-discourse
analysis), hermeunitika, hingga teori kritis sekolah Frankfurt.

Kebudayaan Tangible

Materi hasil karya manusia yang tampak nyata secara fisik, obyek kelihatan secara
kasat mata dalam arena tertentu merupakan kebudayaan tangible. Hasil seni kerajinan, lukisan,
patung, dokumen sastra, warisan peninggalan material, dokumen-partitur musik, peralatan
musik/tari termasuk di dalam kebudayaan tangible ini. Kebudayaan materi tangible selain
dipelajari bentuknya yang mencakup ukuran benda itu, warna benda itu, materi bahan untuk
membuat benda itu, komposisi benda itu, juga dipelajari hubungan benda itu dengan manusia
tatkala benda itu digunakan dalam interaksi sosial masyarakat. Ian Woodward mengungkapkan
sebagi berikut : “ Material culture is no longer the sole concern of museum scholars and
archeologist-resercher from a wide range of fields have now colonized study of object. ….
Material culture studies can provide a useful vehicle for synthesis of macro and micro or
structural and interpretative approach in the social sciences “ (Woodward, 2007:4). Obyek

48
menjadi tidak sekedar dipelajari oleh akademisi museum ataupun para arkeolog namun
berkembang menjadi studi kebudayaan materi karena menyangkut berbagai aspek produksi
obyek konsumsi yang menjadi budaya personal, perilaku manusia karena obyek itu, maupun
obyek yang mereproduksi struktur sosial.

Kekuatan obyek tangible dalam interaksi sosial-masyarakat menurut Ian ada 3 hal
penting seperti diuraikan berikut ini: “ This section emphasis the varied capacities of objects to
do cultural and social work. In particular, the following case studies demonstrate the diverse
capacities of objects to afford meaning, perform relation of power, and construct selfhood. The
three sections show how objects can be (i) use as markers of value, (ii) used as markers of
identity and (iii) encapsulation of networks of cultural and political power” (Idem: hal 6).
Tiga hal itu adalah (1) benda digunakan sebagai tanda-tanda nilai, (2) benda digunakan sebagai
tanda identitas, (3) benda sebagai pembungkus jaringan budaya dan kekuasaan politik.

Benda material termasuk benda-benda seni ketika dilihat dalam konteks budaya
masyarakat dan sosialnya maka benda tersebut menjadi aktif, benda itu menjadi actant
(meminjam istilah Ian, 2007) yang mampu bergerak secara sosial, obyek memiliki variasi
makna simbol bagi manusia. Bila artefak dan benda-benda seni dipandang demikian maka
kajian analisa kebudayaan terhadap benda budaya tangible tersebut menjadi kompleks dan
pisau analisis membedah maknanya pun menjadi bervariasi atau kombinasi mulai dari bentuk
fisik yang melibatkan ilmu matematis, fisika, pengetahuan dan kajian interaksi makna simbolis
dari etnografi-strukturalis hingga teori-teori post modern.

Alur Kajian Pendidikan Seni Budaya dengan Teori Kebudayaan

Setelah kita membahas kajian teoritik seni dan budaya maka kita dapat mensintesakan
bahwa seni merupakan salah satu cakupan aspek budaya. Seni adalah bagian dari kebudayaan
secara keseluruhan, analisa terhadap kajian seni perlu merujuk pada teori kebudayaan yang
dipakai. Seni dalam kehidupan masyarakat sosial dapat mencakup dua aspek yaitu aspek
kebudayaan tangible dan aspek intangible. Aspek seni intangible dapat menggunakan teori-
teori symbol, tanda, semiotika, ideasional dan cognitive. Sementara aspek seni tangible dapat

49
mulai dari benda materialnya hingga menuju aspek simbolisnya sehingga kajiannya mulai dari
fisik hingga menuju abstrak melalui sistem symbol dan makna.

Bidang seni budaya seperti telah dipaparkan sebelumnya ternyata cakupan


keilmuwannya sangat luas namun sekaligus dapat juga mendalam bila seni dipelajari sangat
kontektual sesuai dengan rangkaian sintakmatik maupun paradigmatic berdasarkan teori
kebudayaan yang sesuai. Namun demikian paparan ini hanyalah menambah wawasan
hubungan antara seni dan kebudayaan dan cakupan keilmuwan seni budaya. Tulisan ini bagi
para pengkaji seni bisa sebagai tarikan awal untuk memperdalam antara seni dalam konteks
budaya serta pemaknaannya dalam kehidupan sosial. Sedangkan bagi guru terminologi seni dan
budaya yang diupayakan secara komprehensif ini dapat sebagai acuan guna menjelaskan
fenomena seni yang terjadi dalam masyarakat dan wawasan pengantar sebelum masuk pada
pelajaran seni yang menjadi bidangnya baik tari, musik maupun rupa dan kerajinan.
Bagan Alur Kajian Konteks Teori Kebudayaan dengan Seni

Pada bagan alur yang dipaparkan tampak bahwa teori-teori kebudayaan yang meliputi
teori symbol, tanda, cognitive dan materi dikuasai masing karakternya selanjutnya paradigma
teori kebudayaan tersebut dipilih untuk menganalisa fenomena seni yang ada dalam
masyarakat. Melalui proses metodologi yang sesuai dan tepat bisa melalui etnografi,
strukturalisme, post strukturalisme, fenomenologi, hermeunetika, semiotika, perhitungan fisik
kwantitatif, analisis wacana kritis hingga teori-teori post modern maka akan dihasilkan arti
sistem perilaku sosial manusia/masyarakat sesuai dengan fokus fenomena yang dipilih. Alur

50
kesesuaian metode yang dipilih bisa bervariasi, namun secara garis besar bisa digunakan alur
penggunaan metode seperti terpampang berikut ini.

Bagan Alur Pilihan Teori Budaya untuk Seni Intangible-Tangible dengan Metode

Pilihan metode yang tepat menjadi lebih rumit sebab harus melihat focus kasus yang
yang menjadi permasalahan dan ingin diteliti. Metode juga bisa merupakan penggabungan
misalnya kita menggunakan teori symbol, awal menggunakan etnografi selanjutnya data
etnografi tadi dianalisis wacana (critical/discourse analysis) atau dibuat strukturnya sehingga
menggunakan strukturalisma. Bila kita mengambil teori sistem pengetahuan tentang fenomena
musik kemudian dikonstruksi strukturnya, maka bisa dicari jaringan semiotikanya. Demikian
pula yang mengawali pengkajian penelitian dari kebudayaan materi, data kwantitatif
selanjutnya dilihat strukturnya bila jaringan struktur ketemu akan tampak rangkaian bagian-
bagiannya selanjutnya dianalisis dengan semiotika akhirnya ditemukan makna sosialnya.

Pijakan penelitian seni bisa dimulai dari benda materi menuju kepada arti-arti symbol
yang tadinya tidak tampak langsung atau sebaliknya penelitian seni dimulai dari sistem
cognitive - wacana menuju ekspresi, ekspresi dikonstruksi dan tampaklah meaning/arti yang
dicari. Secara sekilas saja, hanya sebagai contoh kita ambil fenomena gamelan sekaten. Guna
penelitian, kajian gamelan sekaten kita ambil teori simbol oleh Geertz yang disebutkan bahwa
kebudayaan merupakan pola-pola simbol yang memiliki arti dan digunakan oleh manusia untuk
menanggapi dunia dan mempertahankan hidup.

51
Tahapan berikutnya adalah mempertanyakan apakah gamelan sekaten itu merupakan
symbol? Lalu symbol apa? Gamelan juga merupakan alat musik yang dimainkan? Dalam
penelitian tidak serta merta symbol-symbol itu tertangkap dengan kasat mata dalam
masyarakat, namun harus dicari di balik fenomena gamelan itu (beyond). Mengapa puluhan
ribu orang menonton saat gamelan sekaten keluar dari keraton dan dimainkan?

Guna menjawab persoalan symbol yang berkaitan dengan gamelan sekaten bisa melalui
dua cara metode yang kita pakai, juga bisa metode lain, namun kita ambil contoh yang pertama
dengan metode strukturalisme (model Saussure dan Levi Straus). Metode strukturalisme yang
diungkapkan Peter K. Manning dan Betsy sebagai berikut:
“ … Structuralism, a formal mode of analysis derived from Saussurian
linguistic, sees social reality as constructed largely by language, and language
forms as the material form which social recheard is fashioned. ….. Structures
exist as the organizing centers of social action; persons are very sense not only the
creations of such structures, but manifestations of elements and rules created by
social structures “ ( Manning, Betsy, 1994: 466).

Terjemahan bebas:
“ Strukturalisme, model formal analisis berasal dari (ahli) linguistic Saussur, melihat
realitas sosial sebagai bahasa . … Eksistensi struktur sebagai pusat organisasi
tindakan sosial; person/orang tidak hanya ciptaan struktur, tetapi perwujudan dari
ciptaan aturan-aturan dan unsur-unsur struktur sosial “

Pengamatan mulai dari melakukan data peralatan musik yang dipakai: ada 8 jenis,
bagaimana pengelompokan alat musiknya, bagaimana setting panggung saat dimainkan,
bagaimana penataan pemainnya. Data-data inilah yang akhirnya bisa kita abstraksikan menjadi
struktur organisasi pentas gamelan, dari format struktur akan ditemukan sistem dan fungsi
dalam pertunjukan gamelan. Salah satu temuan misalnya ternyata para pengrawitnya
menggunakan seragam yang berbeda, ternyata para pemain memiliki pangkat yang berbeda ada
lurik, jas hitam, dan jas putih. Strukutr pakaian yang berbeda memiliki hak dan kewajiban
berbeda bahwa bonang hanya boleh dimainkan oleh tingkat harus Bupati (Kanjeng Raden
Tumenggung), Demung dimainkan oleh Lurah, dan Jejer hanya duduk di depan menjaga alat.
Kajian terhadap struktur pementasan gamelan ternyata menemukan pula struktur Abdi Dalem,
pegawai Keraton Yogyakarta. Ada 11 jenjang kepangkatan pegawai keraton: (1) Magang, (2)
Jajar, (3) Bekel Enem, (4.) Bekel Sepuh), (5) Lurah, (6) Wedhono, (7) Riyo Bupati Anom, (8)
Bupati Anom, (9) Bupati Sepuh, (10) Bupati Kliwon, (11) Bupati Nayoko (Pradoko, 1995: 39).

52
Contoh kedua menggunakan discourse analysis. Chris Barker menjelaskan analisa
wacana yang diungkapkan Foucault sebagai berikut:
“ … For Foucault, discourse unites both language and practice. Discourse
constructs defines and produces the objects of knowledge in an intelligible way
while excluding other forms as reasoning as unintelligible. The concept of discourse
in the hands of Foucault involves the production of knowledge through language.
That is, discourse gives meaning to material objects and social practices “ (Barker,
2008: 90)

Terjemahan bebas:
“ Bagi Foucault, wacana tergabung antara bahasa dan praktek (tindakan). Wacana
mengkonstruksi dan memproduksi obyek pengetahuan dengan cara mudah
dimengerti sementara mngucilkan bentuk rasional yang sulit dimengerti. Konsep
wacana menurut Foucault mencakup produksi pengetahuan melalui bahasa. Wacana
memberikan arti obyek material dan praktek sosial”.

Gamelan Sekaten ditinjau dengan pendekatan wacana (discourse analysis). Dalam


Garebeg Sekaten muncul istilah, manunggaling kawulo lan Gusti, Moho Agung, Sangkan
paraning dumadi, Kyai, udhik-udhik, ngala berkah, awet enom, kasekten, tentrem, lancar
rejeki, abdi dalem, samir, kasunyatan. Ungkapan-ungkapan dalam fenomena sekaten ini semua
didalami dan dalam suasana apa istilah itu muncul, bagaimana masyarakat yang hadir
berperilaku dengan istilah-istilah itu. Salah satu temuan makna yang didapat antara lain adalah
kehadiran sekaten adalah konsep kehadiran raja kepada rakyatnya (Manunggaling Kawulo
Gusti). Gamelan merupakan representasi raja yang hadir untuk masyarakat, adanya pertemuan
dengan raja memiliki dampak berkah bagi rakyatnya. Arena Garebeg sekaten tersebut sekaligus
juga sarana memperkokoh kerajaan serta mempertahankan kolektivitas sosial (Pradoko,
1995:104).

Kesimpulan

Sejalan dengan peradaban kemajuan manusia, terminology dan paradigma teori-teori


kebudayaan semakin kompleks. Pada awalnya kebudayaan hanya dianggap hasil-hasil karya
fisik material manusia namun sekarang meliputi dari hal yang kongkrit (tangible) hingga yang
bersifat abstrak (intangible). Seni yang merupakan bagian dari kebudayaan juga memiliki aspek
tangible maupun aspek intangible. Pemilihan teori kebudayaan yang sesuai akan mampu
menjelaskan fenomena seni dalam masyarakat secara lebih jelas dan tepat. Saat pengkaji sudah

53
memilih paradigma kebudayaan simbol maka sejak awal melihat fenomena seni sampai dengan
proses teori-teori dan metodologinya mendasarkan pada aspek symbol walau digabungkan
dengan metode lain namun roh pencariannya tetap fokus pada simbol demikian pula dengan
paradigma teori kebudayaan yang lain.

Alur cakupan kata seni budaya ternyata sangat kompleks berkaitan dengan terminology,
dasar-dasar teori dalam melihat paradigma kebudayaan (culture). Sebagai pendidik dan
pengkaji seni budaya, sangat perlu dasar-dasar terminologi dan teori budaya tangible dan
intangible, untuk selanjutnya mendalaminya sehingga mampu menjawab fenomena seni yang
ada dalam masyarakat, setidaknya apakah yang dimaksud dengan “seni budaya” itu bisa
dijawab secara komprehensif.
Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies Theory and Practice. California: SAGE
Publication Inc.

Geertz, Cliford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Inc.

Kompas. 2011. “Pengakuan Warisan Budaya Bisa Dicabut” Jakarta: Kompas, tgl 20-1-2011.

_______2013. “Bangsa Abai Budaya Akan Runtuh”. Jakarta: Kompas, tgl 19


September 2013.

Manning, Peter K., Betsy Cullum. 1994. “Narative, Content, and Semiotic
Analysys”. Dalam Handbook of Qualitative Research. (Norman K.D &
Yvonna, Ed.) California: SAGE Publication Inc.

Muda, Hubertus SVD. 1992. Inkulturasi . Ende: Pustaka Candradita.

Panca Dahana, Radhar. 2013. Kompas “ Pendidikan Pecundang “. Kompas tgl 17


September 2013

Pradoko, Susilo. 1995. Fungsi serta Makna Simbolik Gamelan Sekaten dalam
Upacara Garebeg di Yogyakarta. Jakarta: Thesis S2 Program Pascasarjana
UI.

Renfref, Colin and Paul Bahn. 1996. “Art and Representation” Archeology: Theories
Methods And Practice. New York: RR.Donneley and Sons Company.

Sewell, William H. 2005. “The Concept (s) of Culture”. Practicing History. New

54
Directions in Historical Writing after the Linguistic Turn. New York:
Routlege.

Sony Kartika, Dharsono. 2007. Kritik Seni. Bandung: Penerbit Rekayasa Sain

Sunardi, St. 2012. Vodka dan Birahi Seorang “Nabi”. Yogyakarta: Jalasutra.

_______. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Tolstoy, Leo. 1979.” What is Art ?” dalam Art and Philosophy, W.E Kennick. Hal
34-45. New York: St Martin‟s Press.

Tsekeris, Charalambos. 2008. “ Sociological Issues in Culture and Critical


Theorizing” dalam Humanity & Social Sciences Journal 3 (1): 18-25,
IDOSI Publication.

Webster‟s New World College Dictionary. 1996 . Claveland: Simon & Schuster, Inc.
Third Edition.

William Raymon. 1985. “Culture”, Keywords A Vocabulary of Culture and Society.


New York: Oxford University Press

Woodward, Ian.2007. “The Material as Culture: Definitions, Perspectives,


Approaches”. Understanding Material Culture. Los Angeles: Sage Publication, Hal 3 –
16.

55
Teori-teori Realitas Sosial Dalam Kajian Musik dan Seni

Abstract

In social research rise several serious critic that positivism un fit to elaborate the
reality of social construction. The reality of social construction can not be seen just like exact
sciences, but must be seen us contextual according to the cultural of its society. The theories to
interpretate social reality are the sociology of knowledge, hermeneutic, cultural relativism, and
emic paradigm. Music is a part of culture, so we can apply its theories to interpretate, to
elaborate and to search the meaning of music‟s value and musical phenomenon.

A. Pendahuluan

Dalam dunia penelitian sosial muncul perdebatan dalam mendekati realitas sosial. Satu
sisi penelitian sosial didekati dengan ilmu eksak, tradisi ilmu alam yang kuat, kuantifikasi data,
pengolahan rumus dan menafsirkan kenyataan sosial dalam masyarakat. Tokoh pendekatan ini
antara lain: Aguste Comte, mengurai masalah sosial seperti halnya ilmu-ilmu alam dengan
tradisi scientific. Di sisi lain muncul teori bahwa kenyataan sosial merupakan kondisi yang
sangat kompleks, menafsirkan kenyataan sosial harus melihat aspek kontekstual yang melekat
dengan masyarakat yang diteliti, maka masyarakat tidak dapat disamakan dengan benda dan
dibendakan, tokohnya dalam hal ini antara lain Karl Mannheim, Witgenstein, Schleiermacher.

Dalam tulisan ini akan melihat sisi pandang kedua yaitu teori-teori sosial dalam
menafsirkan makna kenyataan sosial dengan melihat keterkaitan konteks sosio-historis
masyarakat yang diteliti. Teori-teori sosial dalam konteks masyarakatnya yang diungkapkan
berikut ini selanjutnya diterapkan dalam memaknai dan menafsirkan kajian musik dan seni.

B. Pemikiran Tentang Penafsiran Realitas Sosial


1. Sosiologi Pengetahuan
Sosiologi pengetahuan dicipta oleh Max Scheler pada dasawarsa 1920-an di Jerman.
Sosiologi pengetahuan menekuni hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di
mana pemikiran itu timbul (Berger, 1966: 5). Selanjutnya tokoh sosiologi pengetahuan berikut
adalah Karl Mannheim (1893-1947). Prinsip dasar yang utama dari sosiologi pengetahuan Karl
Mannheim adalah, bahwa tidak ada cara berfikir yang dapat dipahami jika asal-usul sosialnya

56
belum diklarifikasikan, ide-ide harus dipahami dalam hubungannya dengan masyarakat yang
memproduk dan menyatakannya dalam kehidupan yang mereka mainkan (Baum, 1977: 8).
Sosiologi pengetahuan mempelajari kenyataan sosial berdasarkan penadangan bahwa
kenyataan merupakan kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang kita akui sebagai
memiliki keberadaan yang tidak tergantung pada kita sendiri, sementara itu fenomen-fenomen
itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik. Pengetahuan masyarakat berbeda antar satu
dengan yang lain karena memiliki karakteristik yang khusus serta tradisi historis yang
membentuknya. Sedangkan pengetahuan yang dimilikinya, ide-ide dan ideologinya benar-benar
riil adanya. Tugas dari sosiologi pengetahuan adalah mengungkap apa yang dianggap sebagai
pengetahuan dalam masyarakat dan bagaimana pengetahuan tersebut dikembangkan, dialihkan
dan dipelihara dalam berbagai situasi sosial dalam masyarakat tersebut.

2. Hermeneutik
Hermeneutika berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang berarti mengungkapkan
pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata. Hermeneutik adalah teori tentang bekerjanya
pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoeur, 2009:57). Hermeneutika adalah teknik atau seni
penafsiran teks, untuk memahami makna yang tersembunyi di baliknya (Piliang, 2010:16).
Ilmu hermeneutik ini dalam sejarahnya sering dipakai untuk penelitian teks-teks kuno,
khususnya teks-teks kitab suci. Hermeneutik dipakai untuk menafsirkan, memahami dan
memaknai isi teks kitab suci dan teks-teks kuno.
Dalam ilmu sosial yang dianggap teks adalah kejadian-kejadian fenomena kultural.
Fenomena kultural dapat dipahami dengan meletakkan teks pada konteksnya. Ada jaringan
makna antara teks sosial dengan konteksnya. Hardiman melukiskan cakrawala jaringan
pemahaman sebagai berikut:

“ Kita mengetahui suatu benda dalam kaitannya dengan benda-benda lainnya yang
merupakan latar belakang dari benda itu. Sebatang pensil dipahami dalam konteksnya dengan
benda-benda lain di sekitarnya misalnya: buku, mistar, pena. Semua itu dilatarbelakangi oleh
meja. Meja berada dalam konteks yang lebih luas lagi yaitu dalam kaitannya dengan kursi,
almari. Semua itu benda dalam konteks kamar. Rumah dalam konteks kampung, begitu
seterusnya. Kalau cakrawala diperluas terus kita akan sampai pada suatu batas akhir, suatu
cakrawala total yang disebut dunia. … Dengan kata lain manusia memahami kenyataannya
sebagai suatu dunia. Perbedaan sudut pemahaman menghasilkan cakrawala yang berbeda, dan
cakrawala yang berbeda menghasilkan dunia yang berbeda “ (Hardiman, 2003:45).

57
3. Relativisme Budaya

Kebudayaan dalam masyarakat memiliki estetika dan etika sendiri-sendiri sesuai


dengan tradisi yang mereka lakukan. James W.V. Zanden menuliskan sebagai berikut:

“ We cannot grasp the behavior of other peoples if we interpret what they say and do in
the light of our values, beliefs, and motives. Instead we need to examine their behavior as
insider, seing it within the framework of their values, beliefs and motives. This approach,
termed cultural relativism, suspends judgment and views the behavior of peole from the
perspective of their own culture” (Zanden, 1988:69).

Dalam situs tentang relativisme budaya tertulis sebagai berikut: “Cultural Relativisme: Truth is
Relative. Cultural relativism is the position that all points of view we equally valid and that all
truth is relative to the individual and his or her environment. All ethical, religious, political and
aesthetic belief are truth that are relative to the cultural iden tity of the individual. Relativism
can include moral relativism (ethics are relative to the social construct), situational relativism
(right and wrong depend on the particular situation), and cognitive relativism (truth is relative
and has no objective standart) “ (http://www cultural-relativism.com).

Relativime budaya berpandangan bahwa semua kebenaran budaya itu relative,


tergantung dari sisi mana orang itu memandang. Kebenaran itu harus dilihat dari sisi historis,
dialektik di mana orang/masyarakat itu hidup dengan konteks budayanya, dengan segala
pranata-pranatanya, institusi dan way of life jalan pikiran masyarakat tersebut. Dalam menilai
kebenaran tidak bias dengan model pranata, nilai-nilai dan kepercayaan kita. Apa yang
dianggap baik, benar bernilai, berkeindahan belum tentu demikian bagi kelompok lingkungan
masyarakat lain. Hal inilah yang harus kita waspadai dalam memaknai, menilai dan
menafsirkan kebudayaan lain.

4. Paradigma Emik

Kata emik berasal dari kata fonemik ilmu tentang bunyi yang membedakan makna.
Suara yang dihasilkan manusia bisa bermacam-macam dan jutaan jumlahnya, tetapi dalam
penggunaannya hanya sedikit yang bermakna. Fonemik menekankan pendalaman tentang
bunyi-bunyi bahasa yang mengandung makna bagi manusia. Definisi emik menurut James Lett
sebagai berikut:

“ Emic construct are account, descriptions, and analysis expressed in terms of the
conceptual, schemes and categories regarded as meaningful and appropriate by the native
members of the culture whose beliefs and behaviors are being studied” (1987:30) .

58
Dalam pendekatan emik peneliti tidak membuat ukuran-ukuran maupun kriteria-kriteria
sendiri dalam mengamati fenomena kebudayaan. Pendekatan ini berusaha menangkap bahasa
maupun kebudayaan masyarakat itu dengan ukuran dan kriteria pemilik bahasa ataupun
kebudayaan masyarakat yang diteliti. Sudut pandang emik adalah sudut pandang insider.
Seorang peneliti bila menemukan data yang relevan, data itu akan selalu dihubungkan dengan
konteks jaringan peristiwa-peristiwa yang lain dalam kebudayaan yang diteliti. Makna data
yang ditemukan sesuai dengan makna pemilik kebudayaan itu sendiri. Tujuan pendekatan emik
adalah mencari makna sesuai dengan terminology masyarakat pemilik kebudayaan (Pradoko,
1996:172).

C. Penerapan Teori Sosial Dalam Kajian Musik dan Seni

Aliran referensialisme menyatakan bahwa nilai karya musik itu berada di luar
karya musik itu sendiri. Nilai karya musik sangat melekat dengan konteks kultur dimana musik
itu hidup, dihidupi dan berada dalam masyarakatnya. Reimer menyatakan sebagai berikut:

… “ According to this view, the meaning and value of awork of art exist outside the
work it self. To find an art work meaning, you must go to the ideas, emotions, attitudes, events,
which the works refer you in the world outside the art work “ (Reimer, 1989:17).

Fungsi karya seni bagi aliran referensialis adalah untuk menangkap bahwa karya seni
berguna bagi masyarakat lingkungannya, bermanfaat bila dilihat dari sisi masyarakat
pendukung pengguna karya seni tersebut, maka makna dan nilai suatu karya seni berada di luar
karya seni itu sendiri. Dalam musik suara serta syair berada dalam konteks masyarakatnya,
maka mengungkap karya musik berarti menangkap referen yang ditunjukkan dalam karya
musik tersebut, pengalaman non musikal begitu penting untuk menangkap fenomena musik
secara holistik.

Musik dunia sebegitu banyak jenis dan variannya, kita tidak mampu menghitung
apalagi mengapresiasi atau memainkan, kita hanya mampu mengapresiasi dan memainkan
beberapa jenis musik saja. Ketika melakukan penelitian tentang gamelan sekaten, penulis
menjumpai seorang pengunjung yang mengungkapkan sebagai berikut: “ Wah ini musik orang
sabar.. nih…. ?! Orang Yogya ini sabar-sabar, kalau saya dah nggak sabar nonton begini.. ,

59
yook saya dah mulai nggak tahan”. Sementara masyarakat pendukungnya tampak antusias,
merasakan keindahannya, nyaman, tentram, damai dan senang berdekatan dengan gamelan
sekaten sambil merasakan alunan bunyinya.

Ada relativitas unsur-unsur aestetik dan juga etik dalam kajian musik, definisi dalam
teori musik barat bahwa musik memiliki tiga unsur yaitu irama, melodi dan harmoni perlu
diubah. Dalam musik gamelan estetikanya berbeda dengan estetika musik barat, tidak ada
model perpaduan akor misalnya akor C, Am, G7 dan sebagainya. Memiliki tangga nada
tersendiri serta permainan struktur bunyi ritmik yang bervariasi melalui masing-masing peran
perangkat gamelan tersebut. Musik Gejok Lesung yang digemari oleh masyarakat
pendukungnya juga tidak memiliki harmoni akor model musik barat, kecuali memang
dipadukan dengan musik barat. Slamet Abdul Syukur bersama murid-muridnya membuat
komposisi dengan memukul bebatuan stalagmite dan stalagtit juga disebut sebagai musik.

Dalam seminar dan lokakarya radio musik etnik Irwansyah Harahap menceritakan
sebagai berikut:

“ Ada seorang tokoh musik sedang memasang peralatan-peralatan rekaman di tepi


pantai. Penduduk setempat yang diajak kemudian bertanya; katanya mau merekam musik,
mana musiknya kok tidak ada ? Tokoh musik tersebut menjawab: Musiknya ya ini, coba
dengarkan suara-suara gemuruhnya ombak, angin yang bertiup, dan gemerciknya lemparan air,
ini adalah musik alam, musik dari Tuhan “.

Aliran semacam ini juga dikategorikan sebagai aliran musik Congcrete, setiap benda, materi
dari lingkungan kita, bisa menjadi materi musik. Dieter Mack menuliskan sebgai berikut: “
Musik Congcrete yang dimaksud oleh pencipta adalah bahwa bukan alat musik menjadi sumber
bunyi namun setiap bunyi yang berada di lingkungan kita bias menjadi materi dasar dalam arti
objek temuan (object trouve)” (Mack, 1975:58).

Dalam musik-musik etnis dan karya-karya musik, musik tidak harus memiliki kesatuan
tiga unsur melodi, irama dan harmoni (progresi akor gaya harmoni barat). Musik yang tidak
memiliki harmoni juga diungkapkan oleh Suhardjo Parto sebagai berikut : “ ……. 1) Ketiadaan
ide tentang nada yang pasti, 2) tiadanya harmoni, 3) tiadanya ritme yang teratur, 4) teknik vocal

60
yang khas, 5) sistem komposisi yang menggunakan sel-sel melodi yang masing-masing terdiri
dari beberapa nada ….. “ (Parto, 1989:47).

Axiologi musik etnik memiliki nilai baik maupun buruk tersendiri, Harahap
menuliskan sebagai berikut: “ Musik hanya bisa dipahami berdasarkan konteks kultural di
mana musik itu berada. Musik tidak bisa diberi nilai baik atau buruk, karena masing-masing
masyarakat memiliki kaidah estetis maupun etis tersendiri terhadap musiknya ….. “ (Harahap,
2000:3).

Susan Langer menyatakan bahwa musik merupakan simbol-simbol yang dapat


digunakan sebagai komunikasi untuk mengekspresikan keinginan manusia:

“ Music is significant form, and its significance is that of symbol, a highly articulated,
sensous object, which by virtue of its dynamic structure can express the forms of vital
experience which language is peculiarly un fit to convey feeling, life, motion and emotion
constitute its import “ (Langer, 1957:32).

Makna musik yang diekspresikan melalui lambang-lambang bunyi suara dan syair, tidak secara
cepat mudah kelihatan, bukan secara wadag atau leterleg mudah mengartikan malalui
wujudnya, semakin berseni semakin ekspresi ungkapannya tersamar, tidak serta merta tampak
langsung. Untuk itu maka dalam mengkaji makna seni harus dilihat secara kontekstual dan
historis serta kondisi lingkungan masyarakat saat karya itu dibuat perlu mendapatkan perhatian
agar memperoleh makna interpretasi yang tepat.

Kesimpulan

Dalam dunia musik dan seni, muncul teori-teori post positivisme dimana kondisi seni
dan sosial masyarakatnya tidak bisa disamakan dengan kondisi ilmu fisik, alam dengan
perlakuan yang diatur dan dikuantifikasikan. Kompleksitas manusia dengan budaya
masyarakatnya tidak dapat dibendakan, mereka merupakan subyek-subyek yang otonom
dengan konteks masyarakatnya, mereka memiliki keunikan-keunikan tersendiri sesuai dengan
realitas sosial masyarakat dan lingkungannya. Berbagai paradigm dalam melihat realitas sosial
itu adalah: (1) Sosiologi pengetahuan ide-ide, ideology berbeda dari masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lain. (2) Ilmu Hermeneutik yaitu ilmu yang dipergunakan untuk

61
mengkaji teks dengan melihat berbagai konteks yang ada di balik dan di dalamnya. (3)
Relativisme budaya, nilai budaya yang satu berbeda dengan nilai-nilai estetika dan etika
budaya yang lain, kita tidak bisa menilai bahwa budaya lain itu buruk semata-mata karena kita
mengacu kepada norma-norma budaya etnis kita sendiri. (4) Paradigma emik di mana kita
menilai dan memaknai seni budaya melalui makna masyarakat setempat, menilai estetika dan
etika berdasarkan kepada masyarakat pemilik kebudayaan yang kita teliti tersebut.

Daftar Pustaka

Baum, Gregory. 1997. Agama dalam Bayang-bayang Relativisme. Terjemahan


Ahmad Murtajib C. dkk. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Berger, Arthur Asa. 2000. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.


Terjemahan: M.Dwi Maryanto. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bertens K. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Charon, Joel M. 1992. Sosiology A Conceptual Approach. London: Simon &


Schuster, Inc.

Hardiman, Budi F.2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius.

Harahap, Irwansyah. 2000. Etnomusikologi. Diktat Pelatihan Produksi Siaran Musik


Etnik di Radio.

Kennick, W.E.1979. Art and Philosophy. New York: Martin‟s Pree. Inc.

Langer, Susanne K. 1957. Problems of Art: ten philosophical lectures. New York:
Scribner‟s.

Mack, Dieter. 1995. Sejarah Musik IV. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

Parto, F.X.Suhardjo. 1989. “ Musik Etnisitas dan Abad XX” Dalam : Musik Seni
Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Piliang, Yasraf Amir. 2010. Semiotika dan Hiper Semiotika. Bandung: Matahari.

Pradoko, Susilo. 1996. “Paradigma Emik dan Etik dalam Penelitian Etnomusikologi”
Dalam: Diksi. Yogyakarta: FBS IKIP, halaman 170 – 177.

62
Reimer, Bennett. 1989. A Philosophy of Music Education. New Jersey: Prentice-
Hall. Inc.

Ricoeur, Paul. 2009. Hermeneutika Ilmu Sosial. Terjemahan: M.Syukri. Yogyakarta:


Kreasi Wacana.

Zanden, James W.V. 1988. The Social Experience. New York: Random House Inc.

Internet: http://www cultural-relativism.com

63
PARADIGMA EMIK DAN ETIK
DALAM PENELITIAN ETNOMUSIKOLOGI

Sejak tahun 1954 muncul istilah emik dan etik yang ditulis oleh Kenneth Pike. Di satu
pihak, dua istilah pendekatan ini selalu menjadi pertimbangan dalam metodologi penelitian
kualitatif bidang bahasa atau kebudayaan suatu masyarakat tertentu. Di lain pihak,
pendekatan emik dan etik juga menjadi pertentangan tersendiri di antara para ahli pendekatan
emik ataupun etik. Dalam tulisan ini akan dibahas ciri-ciri pendekatan emik dan etik serta
definisinya agar lebih jelas dalam memilih pendekatan tersebut dalam penelitian
etnomusikologi.

Dalam penelitian kebudayaan masyarakat tertentu perlu disadari bahwa ada skema
konseptual, kategori-kategori, kriteria serta paradigma .yang sesuai dengan masyarakat
setempat pemilik kebudayaan dimaksud. Pertimbangan ini yang disebut dengan
pendekatan emik (insider). Sedangkan pendekatan etik adalah pendekatan yang
menekankan kriteria, ukuran serta penggunaan paradigma dari paradigma peneliti.
Pandangan ini juga beranggapan bahwa teori-teori, kriteria, dan kategorisasi dalam
kebudayaan universal dapat diterapkan pada penelitian bahasa atau kebudayaan masyarakat
tertentu (ukuran outrider). Dari pemahaman dan pendalaman atas kedua sudut pandang
pendekatan tersebut, kita dapat memilih dan menerapkannya dalam penelitian
etnomusikologi.

Dalam penelitian kebudayaan (culture) masyarakat tertentu peneliti sering


dihadapkan pada persoalan paradigma yang harus dipilih agar dapat merumuskan
permasalahan kebudayaan secara tepat. Sejak kecil seorang peneliti telah memiliki tradisi
pengetahuan tersendiri yang berupa bahasa, norma-norma, pranata, adat-istiadat, sistem
religi, kesenian, sistem pengetahuan dan sistem organisasi kemasyarakatan yang telah
terinternalisasi dalam diri. Apabila hal itu kurang disadari akan membawa pengaruh besar
terhadap hasil interpretasi, menginterpretasikan dan mengukur dengan ukuran, norma-
norma, dari budaya peneliti sendiri.
Adanya cara pandang yang berbeda antara masyarakat si pemilik kebudayaan
dengan cara pandang si peneliti ini menimbulkan permasalahan tersendiri dalam

64
penelitian dengan metode kualitatif. Oleh karena itu, persoalan emik dan etik yang muncul
dari tradisi ilmu antropologi menjadi sangat relevan untuk dibahas dalam penelitian
kualitatif (Moleong, 1994:53).

Perbedaan antara Pendekatan Emik dan Etik

Kata emik dan etik sebenarnya berasal dari ilmu bahasa, yaitu dari kata fonemik dan
fonetik. Fonetik merupakan ilmu yang mencoba mengidentifikasikan bunyi yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia. Dalam mengidentifikasi digunakan ilmu fisika atau teori bunyi
dalam ilmu fisika yang mencakup masalah bagaimana bunyi diproduksi, bunyi diterima,
serta penotasian fonetik. Fonemik merupakan ilmu bunyi-bunyi yang membedakan makna.
Suara yang dihasilkan manusiat bermacam-macam bisa jutaan jumlahnya, tetapi dalam
pengunaannya hanya sedikit bunyi yang bermakna, malahan ada varian bunyi yang tidak
pernah digunakan dalam komunikasi. Dua kata yang berkaitan dengan ilmu yang
dipelajari dalam bidang bahasa tersebut dapat dijelaskan bahwa fonetik lebih
berdasarkan pada standar perhitungan ilmiah (frekuensi, gelombang, sumber bunyi dalam
ilmu fisika), sedangkan fonemik menekankan bunyi-bunyi bahasa, tanda-tanda dan simbol
yang mengandung makna bagi manusia. Dari istilah asal kata akan diuraikan paradigma
etik dan emik dalam suatu penelitian budaya khususnya musik etnik.

A. Pendekatan Etik

Seseorang yang menggunakan pendekatan etik terhadap data, maka ia


melakukan generalisasi pernyataan tentang data. Dalam hal ini, orang itu a)
mengelompokkan secara sistematis seluruh data yang dapat diperbandingkan, seluruh
kebudayaan dunia ke dalam sistem tunggal, b) menyediakan seperangkat kriteria
untuk mengklasifikasikan setiap unsur data, c) mengorganisasikan data yang
telah diklasifikasikan ke dalam tipe-tipe, dan d) mempelajari, menemukan, dan menguraikan
setiap data baru yang ditemukan ke dalam kerangka sistem yang telah dibuatnya sebelum
mempelajari kebudayaan dari data yang ditemukan (Moleong; 1994:53).

Dalam pendekatan etik si peneliti telah membuat kriteria-kriteria berdasarkan


teori-teori yang sudah berlaku secara universal, dan dapat diterapkan pada setiap

65
kebudayaan dalam masyarakat. Ia akan memasukkan data ke dalam kategori-kategori yang
telah dibuat sebelumnya selanjutnya mengambil kesimpulan atas dasar perhitungan si peneliti
sendiri. Sudut pandang etik adalah sudut pandang outsider yang apabila ditemukan data dalam
peristiwa budaya, data itu akan dikaitkannya dengan kebudayaan yang lain daripada
dikaitkan dengan urutan peristiwa dalam kebudayaan masyarakat setempat. Tuju an
pendekatan etik, dengan demikian, lebih ditekankan pada pengamatan pola tingkah laku
seperti yang didefinisikan oleh si peneliti.

B. Pendekatan Emik

Pendekatan Emik merupakan esensi yang sahih untuk satu bahasa atau kebudayaan pada waktu
tertentu. Pendekatan ini merupakan suatu usaha untuk mengungkapkan dan menguraikan pola
suatu bahasa atau kebudayaan tertentu dari cara unsur-unsur bahasa atau kebudayaan itu berkaitan
satu dengan yang lainnya dalam melakukan fungsi sesuai dengan pola tersebut (Pike,
1954:8; Moleong, 1994:53).

Dalam pendekatan emik peneliti tidak membuat ukuran-ukuran maupun kriteria-kriteria sendiri
dalam mengamati fenomena kebudayaan, tetapi berusaha menangkap bahasa ataupun
kebudayaan masyarakat itu dengan ukuran dan kriteria pemilik bahasa ataupun kebudayaan
masyarakat tertentu yang diteliti. Pengertian makna kebudayaan diambil dari masyarakat
yang memiliki kebudayaan itu sendiri.

Untuk meniadakan penerapan sudut pandang emik dan etik dalam penelitian, akan lebih
jelas bila keduanya diformulasikan dan diberi tekanan dalam pendefinisiannya. Menurut
Lett (1987:130) emik adalah sebagai berikut. "Emic construct are account, descriptions, and
analysis expressed in terms of the conceptual schemes and categories regarded as
meaningful and appropriate by the native members of the culture whose beliefs and
behaviors are being studied".

(Konstruksi emik adalah perhitungan, deski ipsi dan analisa-analisa yang mengekspresikan
istilah-istilah skema konseptual dan kategori-kategori yang dipandang sangat berarti dan
sesuai dengan anggota asli pemilik kebudayaan yang memiliki kepercayaan dan
tingkah laku yang sedang dipelajari).

66
Sedangkan, etik menurut Lett (1987:131) adalah sebagai berikut,

"Etic constructs are account, descriptions, and analysis expressed in terms of the conceptual
schemes and yategories regarded as meaningful and appropriate by the community of
scientific observers"

(Konstruksi etik adalah perhitungan, deskripsi, dan analisis-analisis istilah-istilah, skema-


skema konseptual dan kategori-kategori yang dipandang sangat berarti dan sesuai dengan
komunitas pengamat-pengamat ilmiah).

Pada bagian lain Lett menegaskan bahwa: ",..in other words, any and all etic constructs must be
precise, accurate, logical, comprehensive, replicablc, falsifiable, and observer independent".
Validasi etik adalah dari analisis empiris dan logis serta kebebasan ukuran-ukuran pengamat.

D. Emik dan Etik dalam Penelitian Etnomusikologi

Studi Emomusikologi adalah studi tentang musik di luar musik Barat dan Folk Musik. Nettl
menyatakan bahwa: "Ethnomusicology as the science that deals with thre music of peoples
outside of Western civilization" (1956:1) Awal mula obyek studi etnomusikologi adalah
berasal dari para tokoh-tokoh seperti Curt Sach, Jaap Kunst, Schneider, Rhodes yang
memunculkan obyek kajian musik di luar kebiasaan musik tradisi barat. Maka Curt Sachs
menyebut kajiannya sebagai Comparative Musicology, studi perbandingan musik antara musik
tradisi barat dengan musik -musik etnis bukan Eropa.

Jaap Kunst menuliskan sebagai berikut:

"The study-object of ethnomusicology, or, as it originally was called: Comparative


;musicology, is the traditional music and musical instruments of all cultural strata of
mankind, from the so called primitive peoples to the civilized nations. Our science,
therefore, investigates all tribal and folk music and every kind of non-Western art music.
Besides, it studies as well the sosiological aspects of music, as the phenomena of musical
acculturation, i.e. the hybriding influence of alien musical elements. Western art-and popular
music do not belong to its field" (Kunst: 1959:1).
Mantle Hood menguraikan kajian etnomusikologi sebagai berikut:

"Etnomusicology is field of knowledge, having as its object the investigation of the art of
music as a physical, psycologycal, aesthetic, and cultural phenomenon" (Mantle Hood,
1957). Sedangkan Alan P. Merriam mendifinisikan: ”..... etnornusikologi as the study o f
music in culture" (Merriam, 1960:6).

67
Dari berbagai definisi di atas kita tahu bahwa yang menjadi obyek kajian dalam etnomusikologi
unsur-unsur permasalahan: musik-musik dari berbagai strata budaya manusia; suku-
suku/masyarakat pemilik musik tersebut; musik dalam konteks budaya masyarakatnya;
musik dari aspek sosiologi, fenomena akulturasi musik, unsur pengaruh musik asing.

Kajian dalam etnomusikologi tidak bisa lepas dengan kelompok masyarakat


tertentu atau etnis pemilik musik yang akan kita teliti. Mereka menciptakan musiknya
sendiri yang dapat merupakan bahasa untuk mengekspresikan keinginan-keinginan,
ungkapan-ungkapan sosial kondisi masyarakatnya atau musik dalam konteks ugkapan
ritual mereka. Karena obyek kajiannya yang sangat berhubungan erat dengan konteks
masyarakat pemilik musiknya maka penelitian dalam etnomusikologi lebih banyak
menggunakan pendekatan emik. Struktur dan konteks musik kita lihat dari perhitungan,
deskripsi dan analisa-analisa yang mengekspresikan istilah-istilah skema konseptual dan
kategori-kategori yang dipandang sangat berarti dan sesuai dengan anggota asli pemilik
musik, kebudayaan yang memiliki kepercayaan dan tingkah laku yang sedang dipelajari.
Dengan menggunakan konteks emik maka kita lebih mudah menangkap dalam peranan dan fungsi
musik bagi masyarakatnya. Haviland memberikan contoh nyanyian Nigeria sebagai berikut:

"Ijangbon 1'ora, Ijangbon l'ora, Erni r'asho Oshomalo, Ijangbon 1'ora. (la membeli kesulitan, la
membeli kesulitan, la yang membeli - kain oshomalo, la membeli kesulitan). Beberapa tahun
yang lalu, orang-orang Oshomalo adalah pedagang kain di desa-desa Egba, yang menjual dengan
kredit, tetapi kemudian mengganggu, menaktit-nakuti dan bahkan memuku.i para pelariggan
mereka agar membayar sebelum hari yang ditentukan" (Haviland 1988: 238).

Bila kita hanya melihat kalimatnya, maka kita masih belum tahu maksudnya karena
teksnya yang hanya berarti membeli kesulitan. Namun setelah kita menangkap konteks
situasi budaya di "baliknya" kita menjadi mengerti apa yang dimaksud dan yang
terkandung dalam nyanyian tersebut dalam konteks masyarakatnya.

Netll memberikan contoh seorang tokoh musik yang mengomentari bahwa musik
elektronik adalah bukan musik. Dia lupa bahwa sebenarnya dia mengukur sesuai dengan
ukuran kriteria tradisi pengomentar itu sendiri.

.... Perhaps lie felt that music, something which this culture defines as pleasant and which one is

68
expected to like, is understood if it is simply enjoyed. In this society it really works that way; people
often listen to Japanese; Javanese, Indian music, making comments about it that would be totally
un acceptable to an Asian musicion, but satisfied that understand it becouse thy enjoyed it (Netll,
1983: 44).

Musik di luar tradisi musik Barat, atau tradisi si peneliti juga dapat dirasa indah, bagus,
berguna, adhiluhung sejauh kita dapat membuka diri melihat dari sisi pandang pemilik
kebudayaan itu sendiri (emik). Netll memberikan contoh-contoh pcrtanyaan antara lain
sebagai berikut:

"What kinds of music are there? What is singing used for? How is music evaluated? Is
tilere good and bad music? Where did the people's music come from? How do people
learn song? Use or perpose of the type of music.When may it be performed? Who
may and who may not perform this music?...." (Netll, 1964: 73)
Merriam memberikan rambu-rambu area perhatian dalam mempelajari musik etnis adalah
sebagai berikut:

1) Istruments; 2) words of songs; 3) native typology and clasification of music; 4) role and
status of musicians; 5)function of music in relation to other aspects of culture; 6) music as
creative activity (Merriam, 1960:10).

Permasalahan penelitian-penelitian etnomusikologi dengan sendirinya sangat


menekankan penggunaan paradigma emik karena kita akan meneliti musik yang
dimainkan, digunakan pada etnis tertentu ukuran-ukuran yang dipakai untuk
mengungkap musik mereka dengan sendirinya juga ukuran dan kriteria dari sudut pandang
mereka.

Namun permasalahan penelitian etnomusikologi dapat pula menggunakan pendekatan etik


bila kita menerapkan teknologi-teknologi baru dalam mengkaji musik etnis, instrumen
penelitian sudah kita buat dan kriteriapun dari sudut pandang kita.

Salah satu contoh kalau kita ingin meneliti penggunaan dari tonalitas, sistem tangga nada dan
laras dalam musik-musik etnis kita dapat mengggunakan sistem analisa frekwensi. Nada-
nada yang dapat ditimbulkan dari instrumen musik etnis itu kita bunyikan kemudian
kita ukur frekwensinya dengan alat-alat elektronik dan alat-alat pengukur frekwensi
getaran yang sering kita pergunakan dalam laboratorium fisika. Temuan ini kemudian

69
juga dapat kita pergunakan untuk quasi instrumen etnis dengan memprogramnya melalui
Midi Computer.

Dalam hal proses analisa frekwensi dan proses komputerisasi masyarakat setempat tidak
perlu tahu dan ikut berperan dalam validasi basil penelitiannya, karena teknologi dan
perangkat instrumennya si penelitilah yang lebih menguasai, dalam hal inilah kita betul-
betul menggunakan kerangka berfikir pendekatan etik.

Kesimpulan

Dalam penelitian etnomusikologi kita dapat m engggunakan baik pendekatan emik


ataupun pendekatan etik. Pendekatan emik mendasarkan pada ukuran-ukuran, kriteria dan
paradigma dari sisi masyarakat pemilik musik, kebudayaan. Sedangkan pendekatan etik
menekankan pada ukuran, kriteria dan paradigma dari sisi si peneliti. Bila
permasalahan penelitian ingin mengungkapkan jenis musik yang dipakai, struktur dan
fungsi musik yang dipakai serta musik dalam konteks peranannya dalam kebudayaan
setempat maka kita lebih tepat dengan menggunakan sudut pandang emik. Tetapi bila
permasalahan penelitian itu lebih banyak mengandung unsur-unsur intervensi teknologi dan
penerapan teknologi yang tidak dimiliki oleh native, masyarakat etnis setempat maka sudut
pandang etik yang akan kita pergunakan dalam menganalisa, memvalidasi serta
menyimpulkan penelitian kita.

70
Daftar Pustaka

Haviland, Wiliam A. 1988. Antropologi. Terjemahan Soekidjo. Jakarta: Penerbit


Erlangga

Hood, Mantle. 1957. “ Training and Research Methods in Ethnomusicology”.


Ethnomusicology Newsletter No.11:28.

Kunst, Jaap. 1959. Ethomusicology. Amsterdam: Martinus Nijhoff.

Lett, James W. 1987. The Human Enterprise: A Critical Introduction to


Anthropological Theory. Colorado: Westview Press, 1987.

Merriam, Alan P. 1960. “ Ethnomusicology: discussion and definition of the field”.


Ethnomusicology: 4: 107-14

_______ 1964. The Anthropology of Music. Indiana: Northwestern University Press

Moleong, Lexy J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: P.T. Remaja


Rosdakarya

Netll, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. London: The Free
Press Of Glencoe.

_______ 1983. The Study of Ethnomusicology. Chicago: University of Illionis Press.

Pike, Kenneth L. 1954. Language in Relation to Unified Theory of the Structure of


Human Behavior. Ann Arbor, Mich: Braum-Brumfield.

71
ETNOMUSIKOLOGI DAN BIDANG KAJIANNYA

A. Definisi Etnomusikologi

Nettl (1956:1) menuliskan sebagai berikut: "Ethnomusicology as the science that deals
with the music of peoples outside of Western civilization" Schneider (1957) menyebutkan bahwa
awalnya merupakan ilmu perbandingan musik: “primary aim (of ethnomusicology is the
comparative study of all the characteristics, normal or otherwise, of non European Music".
Semula etnomusikologi disebut Comparative Musikology, karena mempelajari musik dari
masyarakat di luar kebudayaannya sendiri (Eropa), sehingga musik di luar Eropa tersebut dapat
dijadikan sebagai perbandingan.

Dalam kenyataannya sering hasil kajiannya tidak selalu memperbandingkan antara budaya
musik Barat dengan budaya musik di luar Barat. Untuk itu maka Jaap Kunst (1959:1) memunculkan
istilah ethnomusicology yang dipakai hingga sekarang.
The study-object of ethnomusicology, or, as it originally was called: comparative
musicology, is the traditional music and musical instrumens of all cultural strata of
mankind, from the so called primitive peoples , to the civilizedd nations. Our science,
therefore, investigates all triball and folk music and every kind of non wastern art music.
Besides, it studies as well the sosiological aspects of music, as the phenomena of musical
acullturation, i. e. the hybridzing influence of alien .musical instruments. Western art and
popular music
do not belong to its filed. Mantle Hood (1957; 2) menguraikan kajian etnomusikologi
sebagai berikut: "[Ethno] musicology is field of knowledge, having as its object the
investigation of the art of music as a physical, psychologycal, aesthetic, and cultural
phenomenon" .
Sedangkan Allan P. Merriam (1960) mendefinisikan: "....ethno-rnusikologi as the study of
music in culture" .

Dari berbagai definisi etnomusikologi yang telah diuraikan tersebut dapat kita sarikan
bahwa etnomusikologi adalah lahan kajian studi tentang musik milik kebudayan suku (etnis) tertentu
baik dari aspek phisik atau materi musiknya itu sendiri maupun konteks budaya masyarakat yang
merniliki musik tersebut.

72
B. Fokus Materi Kajian Studi Etnomusikologi

Etnomusikologi di Indonesia seperti yang dikatakan oleh Suka Hardjana adalah ilmu
yang masih termasuk baru di Indonesia (Kompas, 27 Januari 1991). Sebagai hal baru
maknanya masih kabur, apa yang menjadi pusat kajiannya serta tujuan dan sasaran obyek ilmu
tersebut masih dalam proses pemantapan (Parto, 1996:1).

Di sisi lain kondisi penduduk di Indonesia yang sangat multi etnik (ada lebih dari 425
etnik di Indonesia) demikian pula ada begitu banyak musik etnik yang mereka miliki bersama
dengan konteks budaya mereka. Philip Yampolsky merencanakan menerbitkan 20 album
CD berupa musik-musik: Banyuwangi, Nias, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat,
Pesisir Utara Jawa, musik Gambang Kromong, Gendang Karo, Gondang Toba, Tanjidor, Rebab
Pariaman, Ajeng, Saluang, Dendang Puah. Sebanyak 400 albumpun bahkan belum cukup
untuk membuat rekaman berbagai kekayaan jenis musik Indonesia (Kompas, 2 Agustus 1997).
Untuk meneliti atau mempelajari musik etnis perlu teori atau metodologi tersendiri,
karena musik etnis memiliki kekhasan, sementara Indonesia masih kurang etnomusikolog untuk
menekuni dan mengkaji fenomena musik etnis di Indonesia (Kedaulatan Rakyat, 26 September
1993).

Sebelum menguraikan tentang materi-materi kajian dalam studi etnomusikologi, maka


perlu terlebih dahulu mendalami tentang definisi dari Etnomusikologi. Dengan mendalami
difinisi yang telah dibuat oleh para penemu serta para ahli etnomusikologi maka kita dapat
menangkap tujuan studi mereka serta dapat menangkap materi-materi yang menjadi obyek
studi mereka.

C. Materi Kajian Etnomusikologi

Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan tampak bahwa kajian studi


etnomusikologi mempelaiari aspek phisik musik dan konteks sosial budaya
masyarakat tertentu (etnis, suku) yang memiliki musik itu. Dari titik tolak ini maka ada dua
permasalahan kajian utama dalam etnomusikologi yaitu: pertama tentang kajian musik dilihat

73
dari aspek phisik, body musiknya sebagaimana yang didefinisikan Mantle Hood, yaitu lahan
penelitian dari aspek phisik musik etnis itu sendiri dan yang kedua adalah aspek sosial budaya,
yaitu studi musik dalam kebudayaan.

1. Aspek Phisik Musik

Aspek phisik musik yang dimaksud adalah mempelajari, mendalami, mengkaji serta
meneliti dari sisi materi musiknya itu sendiri. Dari mulai mempelajari hal-ikhwal tentang
instrumen musiknya, suara-suara musik yang dihasilkan, unsur-unsur musiknya hingga pada
komposisinya.

Dari sisi aspek musik itu sendiri, kita dapat mengkaji tentang hal -hal yang
merupakan sifat-sifat dasar dan proses-proses terjadinya musik secara teknik. Dalam hal
ini kita dapat mengkaji dan mendeskripsikan tentang ciri -ciri yang mendasari musik
yang sedang dikaji yang dapat meliputi: nada, wilayah melodi, Qaris melodi (contour),
interval, ornamentasi, tempo, rythm, tangga nada dan koleksi model nyanyian. Kita juga dapat
mengkaji tentang instrumen musik yang digunakan, cara mengklasifikasikan instrumen musik
menjadi klasifikasi ideofon, membranofon, aerophon, chordofon, teknik pembuatan instrument
musik, teknik permainan, komposisi atau analisa tentang struktur (structure) musik: serta
gayanya (style).

2. Kontek Sosial Budaya

Musik itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pencintanya, masyarakat yang
berhubungan dengan musik tersebut, demikian juga proses terjadinya kehidupan bermusik
tidak terlepas dari lingkungan masyarakatnya. Mereka menciptakan musiknya sendiri
yang dapat merupakan bahasa untuk mengekspresikan keinginan-keinginan,
pengungkapan kondisi sosial dalam masyarakatnya atau musik sebagai sarana ungkapan
ritual mereka. Pada butir ini maka kita akan melihat musik dalarn konteks tingkah laku
manusia.

74
Dalam pengkajian ini kita dapat menelaah:
a. Fungsi Musik Bagi Masyarakat Pendukungnya
Musik Bering memiliki hubungan fungsional dengan totalitas kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakatnya. Musik dapat dikaji melalui peranannya dalam upacara yang profan
maupun sakral. Kajian fungsi musik dalam upacara profan adalah musik yang
dipergunakan untuk acara hiburan di mana peran musik tersebut lebih menekankan unsur
keduniawian. Sedangkan upacara sakral lebih ditekankan pada unsur religi, hubungannya
dengan Tuhan, arwah nenek moyang, dewa-dewa maupun roh-roh yang dianggap memiliki
kekuatan gaib tergantung pada cara pandang masyarakatnya, suku atau etnis tertentu
yang menjadi lahan studi kita.

Dalam mengkaji fungsi musik bagi masyarakat pendukungnya kita dapat menganalisa
musik yang dipandang sebagai sistem simbol dan bahasa. Musik dikaji malalui studi
musik sebagai sistem tanda-tanda, simbol. Kajian ini masih relatif baru dengan
memunculkan pembahasan tentang semiotika musik. Model kajian ini telah dilakukan oleh
Blacking (1971) Natiez (1974), dan Field (1974). Tentang semiotika musik ini, Beneviste
(1969:429) menyatakan sebagai berikut: the semioticc of music raises the question
whether sound can be studied as sign, position as message and music as semiotic
system....".

Musik dapat pula dipandang sebagai bahasa dan ekspresi manusia:

“Music is significant form, and its significance is that symbol, a higly art iculate,
--
sensous object, which by virtue of its dinamic structure can expresss the form of vital
experience which language is peculiarly unfit to convey" (Langer, 1953:32).

Musik juga merupakan simbol-simbol untuk mewujudkan kehidupan emosional:

A Musical work is therefore a presentational symbol. But if it a symbol it must poses a


structure analogous to the structure of the phenomenon it symbolises it must share a
common logical form –with its object. And the way in which a musical work can resemble some
segment of emotional life is by it possesing the same temporal structure as that segment.
The dinamic structure the mode of development, of a mus i c al w work and the for min which
emotion isexper•zen ce d can resemble each other in their patterns of motion and rest, of
tention and release, of agreement and disagreement, preparation, ullfilrnent, excitation,
sudden change etc. Music is a presentation o symbol of emotional life (Budd, 1985: 109).

75
b. Peranan Musik

Pengkajian juga dapat dilihat dari status para pemain musik baik kedudukannya
dalam permainan musik maupun kaitannya dengan status sosial para pemain itu.
Masalah-masalah proses regenerasi para pemain maupun proses trainingnya akan
memperdalam kita untuk mengetahui tentang para pemusik dalam hubunga nnya dengan
konteks status sosial dari budaya masyarakatnya.

Musik dalam konteks sosial budaya menurut Netll (1964; 270) dapat dikaji melalui tiga
area: "Music as something to be understood through culture and cultural values; music as
an aid to understanding culture and cultural values; and rnusicc in its relationship to other
comunicatory phenomena in culture, such as dance, language, and poetry" .

Dalam penelitian di lapangan (field work) kedua materi utama yang telah disebutkan
terdahulu perlu diketahui agar kita dapat menangkap fenomena musik yang terjadi dalam
suatu masyarakat tersebut. Untuk itu Netll (1964; 9) menuliskan sebagai berikut: " In
the mater of emphasis, most etnornusicologists agree hat the structure of music and its
cultural context are equally to he studied, and that both must be known in order for an
investigation to be really adequate" .

D. Kesimpulan

Etnomusikologi merupakan ilmu yang relatif masih baru di Indonesia maka arah serta batas-
batas fokus yang menjadi lahan kajiannya masih sering mencari-cari.

Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan oleh para penemu serta tokoh-tokoh
etnomusikologi dan beberapa sumber kajian dalam etnomusikologi, maka fokus materi
pengkajian studi etnomusikologi menganalisa tentang materi-materi musik itu sendiri yang
dapat berupa kajian tentang instrumen musiknya, unsur-unsur musik, struktur komposisi
musiknya maupun teknik memainkan instrumennya. Lahan kajiannya dikhususkan pada musik-
musik suku-suku ataupun etnis yang biasanya memiliki daerah geografis tertentu dimana
mereka tinggal dan menetap hidup.

Dengan nama etnomusikologi maka kajiannya tidak bisa lepas dari konteks etnis atau suku itu
sendiri. Kajian berikutnya adalah konteks musik itu dengan kondisi sosial budaya

76
masyarakat (etnis, suku) yang memiliki budaya musik tersebut. Kajian ini dapat berupa
penelitian fungsi dan peran musik tersebut dalam masvarakat yang memiliki budaya musik
tersebut, makna-makna musik yang diekspresikan dalam konteks upacara yang
diselenggarakan maupun unsur-unsur kepentingan sosial dengan adanya musik yang
diciptakan dan diselenggarakan oleh budaya masyarakat, suku tertentu tersebut.

Daftar Pustaka

Budd, Malcolm. 1985. Music and The Emotion. London: Routledge & Kegan Paul
Plc.

Hardjana, Suka. 1991. Harian Umum Kompas, hal. 4.


Haviland, William A. 1985. Antropologi. Terjemahan Soekatijo. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

Hood, Mantle, 1957. “Training and Recearch Methods in Ethnomusicology”,


Ethnomusicology Newsletter No. 11:28.

Kurnst, Jaap, 1959. Ethnomusicology. Amsterdam: Martinus Nijhoff.

Langer, Susanne K. 1953. Feeling and Form. New York: Scribner‟s.

Merriam, Alan P. 1964. The Antropology of Music. Indiana: Nort University Press.

Netll, Bruno, 1964. Theory and method in Ethnomusicology. London: The Free
Press of Glencoe.
___________ 1983. The Study of Ethnomusicology. Chicago: University of Illionis
Press.

Parto. F.X. Suharjo. 1996. “Ethnomusicology di Indonesia: Struktur dan Arah


Geraknya”. Dalam: Musik Seni Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 1-6.

Schneider, Marius. 1957. Primitif Music. London: Oxford University Press.

Sudjito. A.P. 1993. Harian Umum Kedaulatan Rakyat, hal. 6.

Sunarto, Ed. 1996. Musik Seni Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Supanggah, Ed. 1995. Etnomusikologi. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Tejo, H. Sujiwo. 1997. Harian Umum Kompas, hal. 24.

77
PENERAPAN PARADIGMA STRUKTURALISME LEVI-STRAUS
DALAM MENGANALISA FENOMENA SENI PERTUNJUKAN

Oleh: Susilo Pradoko

Pendahuluan

Negara kita ini terdiri lebih dari 600 suku , merupakan negara yang bermulti etnik, multi
keragaman budaya. Kondisi ini menimbulkan pula multi ragam kesenian etnik. Komunikasi seni
antar suku pemilik kebudayaan sangat perlu dipahami agar terjadi saling pemahaman dan
toleransi bersikap dalam memandang seni milik budaya suku-suku yang lain, bahkan
pemahaman seni limas suku negara lain.
Kajian tentang seni khususnya penelitian untuk mempelajari musik etnis perlu teori atau
metodologi tersendiri, karena musik etnis memiliki kekhasan sementara Indonesia masih kurang
etnomusikolog untuk menekuni dan mengkaji fenomena etnis di Indonesia (KR,26 September
93; Pradoko,1997:1). Sementara kekayaan seni khususnya musik etnik sangat banyak
jenisnya, sebanyak 400 albumpun bahkan belum cukup untuk membuat rekaman berbagai
kekayaan jenis musik Indonesia (Tejo, 97: 24).
Strukturalisme Levi-Strauss merupakan salah satu paradigma dalam antropologi yang
memudahkan kita untuk menangkap berbagai fenomena budaya yang terjadi diekspresikan
oleh berbagai suku pemilik kebudayaan masing-masing termasuk seni di dalamnya.
Teori Struturalisme Levi-Strauss dapat membantu menangkap fenomena seni yang
diekspresikan masyarakat, suku pemilik kebudayaan itu. Dalam menganalisa seni
pertunjukan tidak cukup kita hanya melaporkan kronologi pementasan itu, tapi yang lebih
penting dari itu adalah kita dapat mengungkapkan makna kultural pertunjukan itu. Makna
yang diungkap dapat meliputi makna yang terlihat di permukaan maupun lebih dari itu juga
maka yang sebenarnya ada di balik pertunjukan/seni tersebut.

Dalam tulisan ini akan mengungkapkan penggunaan paradigma strukturalisme Levi-Straus


untuk mengkaji bidang seni pertunjukan. Penerapan paradigma ini akan lebih dicontohkan pada
bidang musik, namun demikian dengan menganalogkan model pemikirannya maka dapat pula
dengan mudah diterapkan pada seni yang lain: drama, tari maupun seni rupa.

78
Strukturalismenya Levi ini lebih menggunakan analisa dan logika-logika dalam
bahasa, pemikirannya dalam menganalisa budaya dipengaruhi oleh linguistik. Sinergi antara
bahasa dan budaya khususnya seni dapat membantu cara pandang dalam penelitian seni.

Pembahasan

Tokoh Levi-Strauss

Claude Levi-Strauss adalah ahli seorang antropologi berkebangsaan Perancis.


Semula Levi-Strauss lebih mendalami bidang filsafat dan hukum bahkan menyelesaikan studi
di bidang hukum. Minatnya pada bidang antropologi bermula tatkala ia menjadi pengajar
sosiologi di Universitas Sao Paulo, Brasil. Selanjutnya kegriatan Levi lebih banyak pada
penelitian-penelitian tentang masyarakat dan berbagai etnis dalam bidang antropologi.
Pertemuannya dengan ahli bahasa Roman Jakobson menjadikan teori strukturalnya semakin
matang selanjutnya menulis disertasi doktornya berjudul: "Les Structures elementaires de la
parEnte" (The Elementary Structures of Kinship), pada tahun 1943.

Strukturalisme Levi dan Bahasa

Levi-Strauss memandang bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan dalam arti


diakronis, artinya bahasa mendahului kebudayaan karena melalui bahasalah manusia
mengetahui budaya masyarakatnya. Selain itu berpandangan pula bahwa bahasa merupakan
kondisi bagi kebudayaan, karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada
dasarnya adalah material yang sama jenisnya dengan material yang membentuk
kebudayaan itu sendiri (Ahunsa-Putra, 2001:25).

Penelitian kebudayaan dapat didekati dengan menelaah bahasa, melalui bahasa kita dapat
mengenal kebudayaan masyarakat setempat. Bahasa menjadi alat untuk melihat relasi-relasi
logis, oposisi, korelasi, analisa keterkaitan hubungan satu dengan yang lain. Kita hanya
mengenal satu kata salju untuk menggambarkan bekuan es yang luas. Sedangkan orang-orang
eskimo memiliki 20 kata untuk menggambarkan berbagai jenis salju. Dari bahasa kita dapat
mempelajari konteks kebudayaan mereka, mengapa mereka sampai bisa membedakan
sebanyak 20 kata untuk menggambarkan salju.

Susunan kata dalam bahasa yang membentuk kalimat terdapat hubungan sintagmatik

79
dan paradigmatik. Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan yang dimilikinya
dengan kata-kata yang dapat berada di depan atau dibelakangnya dalam sebuah kalimat.
Sedangkan hubungan paradigmatik adalah berhubungan dengan makna kata berkait dengan
pilihan kata tersebut, sehingga dengan pemilihan kata tersebut menimbulkan makna asosiatif
tertentu.

Levi-Strauss juga mengambil model analisis linguistik struktural yang dikembangkan


Ferdinad de Saussure. Saussure berpendapat bahwa bahasa memiliki dua aspek yaitu langue
dan parole. Langue merupakan aspek sosial, dimiliki bersama dalam bahasa sedangkan parole
merupakan ujaran-ujaran dialek sifatnya lebih individu. Perbedaan langue dan parole ini dapat
diterapkan dalam sistem simbol komunikasi lainnya, entah itu mitos, musik ataupun bentuk
kesenian lainnya (Ahimsa-Putra, 1999:7).

Strukturalisme Levi juga mengadopsi pemikiran Jakobson tentang fonem (phoneme),


fonem merupakan unsur bahasa terkecil yang membedakan makna, walaupun fonem itu sendiri
tidak bermakna. Dalam memahami tatanan (order ) yang ada di balik fenomena budaya yang
begitu variatif maka model analisis fonem sangat membantu untuk mengungkapkan makna.
Ahimsa-Putra (200:55) memberikan contoh sebagai berikut:

"Misalnya saja kata kutuk dan kuthuk dalam bahasa Jawa. Perbedaan kata ini
terletak hanya pada fonem /t/ dan /th/, yang dalam artikulasinya hanya berbeda pada
cara menempatkan organ lidah di ujung langit-langit mulut. Walaupuu: demikian,
perbedaan makna yang ditimbulkan sangat jauh. Kutuk adalah satu jenis ikan
yang hidup di sungai, sedangkan kuthuk adalah anak ayam."

Dalam menganalisa fenomena budaya, struktur dibedakan menjadi dua macam yaitu
struktur lahir atau struktur luar (surface structure) dan struktur batin atau struktur dalam (deep
structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat kita buat atau bangun
berdasar atas ciri-ciri empiris dari relasi tersebut, sedang struktur dalam adalah susunan
tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil kita buat, namun
tidak selalu tampak pada sisi empiris dari fenomena yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat
disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil
diketemukan atau dibangun. Struktur dalam inilah yang digunakan peneliti untuk memahami
berbagai fenomena budaya yang sedang dipelajarinya (Ahimsa-Putra, 2001).

80
Penerapan Strukturalisme Levi dalam Seni Pertunjukan

Seni pertunjukan adalah bahasa komunikasi juga, seniman ingin mengkomunikasikan


pesan kepada penonton, pendukung budaya. Musik merupakan bahasa komunikasi dengan
medium suara, tari dengan medium gerak, seni lain dengan medium rupa.

Struktur musik dapat dibandingkan dengan struktur bahasa: huruf sama dengan not dalam
musik; kata sama dengan motif dalam musik; frase sama dengan frase dalam musik, dan
kalimat sama dengan kalimat dalam musik. Suatu artikel dalam bahasa tulis ada pendahuluan,
pembahasan, dan penutup; sepadan dengan model ini dalam sebuah lagu terdapat pula intro,
song/lagu kemudian coda; struktur ini bisa semakin kompleks di sana-sini dengan munculnya
pengantar-pengantar seperti interlude dalam musik.

Dalam seni pertunjukan penyampaian kepada penonton sering diwujudkan dalam


lambang-lambang. Tugas peneliti adalah mengungkap makna dari lambang-lambang itu.
Strukturalisme gaya Levi-Straus dapat kita gunakan sebagai pisau untuk membedah fenomena
yang tardapat dalam pertunjukan itu.

Dalam bahasa ada rantai sintagmatik dan rantai paradigmatik, merupakan rantai urutan
secara horisontal dan sekaligus makna asosiasi yang ditimbulkannya (secara vertikal). Lagu
dolanan anak-anak Koning-koning dapat diurai dalam rantai sintagmatik dan paradigmatik.
Sebagian syair lagunya sebagai berikut:

Koning-koning kawula kae lara kae lara


Ngenteni si kodhok langking
Ndok siji kapipilan, ndok loro kacomberan
Doyak-doyak tawon goni Ni cengkir cendono
Kiwa mbang cepoko, sisih mbang telasih.
Terjemahan;

Koning-koning rakyat itu sakit, mereka sakit


Menantikan si katak hitam
Satu telor diambil, dua telur dirusaknya.
Buru-burulah si lebah madu

81
Bunga cempaka disisi kiri, sebelah kanan bunga telasih
Rantai sintagmatik: Koning-koning, rakyat itu sedang sakit, mereka menantikan si katak
hitam. Urutan kata itu adalah urutan sintagmatik (horisontal) yang mengandung arti karena
berhubungan dengan relasi kata sebelah kanan atau kirinya. Rantai paradigmatik (vertikal)
didapat dari adanya asosiasi pemilihan kata misalnya mereka menantikan katak hitam,
mengapa pengarang tidak memilih katak hijau yang lebih menarik dari sisi bayangan pendengar
lagu/pembacanya.

Analisa tersebut baru mencoba membuat struktur luar, struktur lahir yaitu struktur yang
secara empiris memang terdengar dan tertulis/diceritakan. Selanjutnya adalah mencoba
membuat model struktur dalam, dengan menghubungkan syair tersebut dengan relasi kejadian-
kejadian yang ada di masyarakatnya, mengapa muncul nyanyian seperti itu; apa konteksnya
dengan kehidupan masyarakat yang terjadi.

Secara kasar struktur pemaknaan dalam adalah sebagai berikut:

Hai para raja atau bangsawan (koning dalam bahasa belanda berarti raja) lihatlah
rakyatmu yang pada menderita. Mereka itu hanya mengharapkan datangnya seekor katak
hitam, katak buruk yang tidak ada manfaatnya dan nggak enak dimakan seperti layaknya
katak hijau, namun apa hasilnya? Anak yang semata wayangpun kamu ambil dan telah banyak
anak-anak kami lainnya yang kamu rusak, atau kamu lecehkan. Kamu datang beramai-
ramai bagaikan lebah yang hanya ingin menghisap madu. Kamu janjikan dan berikan madu di
tangan kirimu dan di sisi lain kau berikan kesengsaraan (bunga telasih adalah simbol kematian
bagi masyarakat Jawa) (Supanggah, 1996:8).

Dalam permainan gamelan sekaten walaupun terdengar satu suara wujud hasil musik
yang dimainkan akan tampak sebetulnya model sintagmatik dan paradigmatk. Model
sintagmatik yaitu melodi yang dipakai yaitu alur gendhing, balungan yang dipakai. Model
paradigmatik adalah timbulnya jalinan kontrapung dan jalinan harmoni beberapa nada yang
berbunyi serentak secara vertikal.

Dalam susunan permainan alat, disusun Bonang paling depan diikuti dibelakangnya adalah
demung, saron dan peking; selanjutnya di samping kiri dan kanan adalah Gong dan Bedug.
Bonang ternyata menjadi leader dalam bermain gamelan sekaten, sedangkan yang lain

82
mengikutinya sesuai kehendak pemain bonang termasuk saat tanda dihentikan permainannya
oleh Bonang.

Apa yang tampaknya hanya permainan musik ansambel ini dapat diurai menjadi strukur
luar yaitu struktur penyusunan alat, struktur perpaduan bunyi musiknya, struktur peran para
pemainnya dalam bermain gamelan. Ketika konteks para pemainnya dipelajari ternyata
memang pemegang bonanglah yang pangkatnya paling tinggi. Rupanya tidak berhenti di
situ, para penambuh gamelan sekaten semuanya memiliki nama jabatan. Pangkat paling
tinggi adalah tingkat Bupati dan yang paling terakhir berpangkat jajar dan magang, semua
struktur jenjang kepangkatan pemain gamelan ini ada sebanyak 11 jenjang. Dan struktur
pemain gamelan ini ternyata ditemukan pula struktur kepangkatan dalam kraton. Hubungan
kontekstual, relasi, saling keterkaitan inilah yang akhirnya dapat ditemukan model struktur
dalam. Gagasan ini sejalan dengan pandangan Netell ( 1954:270) :".... Music as something to be
understood through culture and culture value; music is an aid to understanding culture and
culture values; ... .".

Dalam menganalisa struktur luar dan dalam akan muncul transformasi (perubahan-
perubahan) yang kait-mengait semakin menguatkan hubungan antar struktur. Dalam perspektif
faktual, kebudayaan pada dasarnya adalah rangkaian transformasi dari struktur-struktur
tertentu yang ada di baliknya seperti halnya struktur pada not balok yang dapat dialihkan ke
gerak-gerak jari tangan di atas piano, dan dapat beralih ke nada-nada yang indah, dan
kemudian dapat beralih lagi ke pita dan ke nada suara lagi. Di sini seolah-olah telah terjadi
penerjemahan dari sistem kode tulis musik ke sistem kode gerak tangan, ke sistem kode
nada, dan akhirnya ke sistem kode suara (Ahimsa-Putra, 2001:65).

Kesimpulan

Strukturalisme Levi-Strauss mendasarkan teorinya pada logika-logika dalam bahasa.


Ada beberapa model pengertian dalam bahasa yang digunakan untuk menganalisa fenomena
budaya. Langue dan parole: Langue kaidah kaidah dalam tataran yang lebih luas, aspek
sosial sedangkan parole adalah ciri-ciri yang sifatnya lebih kecil, individual.

Rantai sintagmatik dan Paradigmatik: Rantai sintagmatik adalah rangkaian secara


horisontal sedangkan paradignatik berhubungan dengan kesan pernikiran, asosiatif (secara

83
vertikal). Dalam melihat kebudayaan, sub kebudayaan dikaji secara horisontal dan vertikal.
Rantai horisonral dan vertikal menghasilkan struktur dasar maupun struktur dalam. Dalam
struktur itu terjadi transformasi-transformasi yang mengakibatkan perubahan-perubahan bentuk
dalam struktur yang sedang dikaji.

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Sri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra .
Yogyakarta: Galang Press

________, 1999. Strukturalisme Levi-Strauss untuk Arkeologi Semiotik dalam

Humaniora Nomor 12 September-Desember. Hal 1- 13. Yogyakarta: Fakultas Sastra


UGM.

Netll, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. London: The Free Press of
Glencoe.

Noth, Winfried (Ed.) 1990. Hand Book of Semiotics. Bloomington: Indiana University
Press.

Panca Dahana, Radhar, 200L Ideologi Politik dan TeaterModern Indonesia. Magelang:
Indonesiatera.

Pradoko, Susilo. 1997. Fokus Materi Kajian Studi Etnomusikologi. Pidato Ilmiah Dewan
Dosen Sendratasik UNY.

___________ , 1966. Paradigrna Emik dan Etik dalam Penelitian Etnomusikologi.


dalam Diksi. Edisi :12 Th IV. Yogyakarta: FPBS IKIP Yogyakarta.

_____________, 1996. Fungsi serta Makna Simbolik Gamelan Sekaten dalam


Upacara Garebeg di Yogyakarta. Tesis S2 Universitas Indonesia.

Sujito, A.P. 1993. Harian Umum Kedaulatan Rakyat, hal 6.

Supanggah, Rahayu. 1996. Seni Tradisi, bagaimana ia berbicara ? Makalah penataran


peneliti madya STSI Surakarta.

Tejo, H.Sujiwo. 1997. Harian Umum Kompas, halaman: 24.

84
Sunan Kalijaga Merupakan Agen Bertindak dalam Konteks
Strukturasi Model Anthony Giddens

Konsep Dasar Teori Strukturasi

Struktur suatu masyarakat bagi Giddens tidaklah tetap, sudah ada dalam benak manusia
secara unconscius seperti teori yang diungkapkan Levi Strauss. Sturktur mengalami suatu
reproduksi sebagai aktivitas tindakan dari agen yang kemudian memunculkan transmutasi
struktur. Struktur yang mengalami reproduksi karena tindakan agen secara terus-menerus
sirkular berkesinambungan inilah yang oleh Anthony Giddens bukan dinyatakan sebagai teori
struktur sosial tetapi disebutkan sebagai Teori Strukturasi. Giddens menuliskan sebagai berikut:
“ For Giddens, structure teaches agents who help to form the structure, in a circular proses
that Giddens terms “structuration”. (Giddens, 1984:121).

Agen (Agency) bagi Giddens adalah seseorang yang mampu bertindak sekaligus mampu
merefleksikan atas tindakannya dan mampu menyebarkan gagasannya. Pola gerakan agen
setiap hari secara rutin menjadi kegiatan hari demi hari mulai dari motivasi tindakan,
rasionalisasi tindakan dan merefleksikan tindakan.

Tindakan (Action) dalam model teori strukturasi adalah bersifat aktif dan terus-menerus,
Giddens menyatakan sebagai berikut:” Action is continuous process, a flow, in which the
reflexive monitoring which the individual maintains is fundamental to the control of the body
that actors ordinarily sustain through their day-to-day lives” (Giddens, 1984:127).

Kasus Sunan Kalijaga Pembaharu Tindakan Model Strukturasi

Tulisan ini mencoba menganalisa model penyebaran Islam di Tanah Jawa khususnya
dengan model teori Stukturasi Anthony Giddens. Kasus yang akan dikaji mengambil setting
kejadian seputar upacara Garebeg-Sekaten, pada masa kerajaan Demak awal. Sejak zaman
kuno, Hindu-Budha selalu ada upacara kerajaan yang disebut Rojowedo, upacara kebijaksanaan
raja, upacara keselamatan kerajaan bersama seluruh rakyatnya. Namun segala tradisi upacara,
sesaji yang bernuansa Hindu dilarang diadakan oleh pemerintah Raden Patah. Raden Patah

85
adalah Raja Demak pertama yang beragama Islam setelah mengalahkan Majapahit dibawah
kekuasaan Raja Brawijaya V yang beragama Hindu.

Setelah bertahun-tahun memerintah, tidak ada perkembangan agama Islam yang


memadai di wilayah bekas kerajaan Majapahit yang Hindu tersebut. Selanjutnya R. Patah
mengumpulkan para ulama Islam di antaranya para Wali. Selanjutnya salah satu Wali yaitu
Sunan Kalijaga mengusulkan agar upacara keselamatan kerajaan yang beragama Hindu itu
diperkenankan diadakan lagi namun diberi muatan secara Islam. Raden Mas Sajid menuliskan
sebagai berikut:
“ Naliko semanten para wali sami kalempakaken ing Masjid Demak perlu musawarah
bab anggenipun sami badhe mencaraken agami Islam. Warni-warni usulan para wali, miturut
pemanggihipun oiyambak-piyambak. Ing wekasan putusaning rembag ingkang dipun sarujuki
pemanggihipun Kanjeng Sunan Kalijaga Inggih puniko: (1) Karamean wau kangge mengeti
dinten wiyosipun Kanjeng Nabi Muhamad, … (2) Karemean puniko mangen dateng in Masjid
Ageng dangunipun seminggu, ….. (3) Ing sajawining masjid, inggih puniko alun-alun dipun
wonteni tetingalan ….. Wayang kulit ingkang isi carios bab kawrus Islam, kadosto carios
Dewo Ruci …. Joged Topeng engkang isi carios Islam… Terbangan Kentrung lan sanesipun “ (
Sajid, 1984:1).

Terjemahan:
“ Pada zaman dahulu, para wali dikumpulkan di Masjid Demak guna musyawarah
tentang mengembangkan agama Islam. Banyak usulan para wali menurut pendapatnya sendiri-
sendiri. Pada akhirnya putusan pembicaraan yang disetujui adalah pendapat Kanjeng Sunan
Kalijaga yaitu: (1) Keramean upacara untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhamad… (2)
Keramaian diselenggarakan di Masjid Agung selama seminggu …. (3) Di luar Masjid Agung,
yaitu alun-alun (lapangan) diadakan pertunjukan. …. Wayang Kulit dengan isi cerita tentang
pengetahuan Islam seperti cerita Dewa Ruci …… Joged Topeng dengan isi cerita Islam…
Terbangan Kentrung dan sebagainya”.

Pada kisah telah diceritakan dapat dianalisa bahwa Sunan Kalijaga merupakan Agen
model Anthony Giddens, dia mengkomunikasikan gagasan, ada motivasi tindakan selanjutnya
upacara dilakukan sesuai saran sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga juga mengusulkan perayaan
selama seminggu berturut-turut, ini sesuai dengan konsep Giddens action day-to-day.

Sunan Kalijaga sangatlah cerdas dalam strategi mengembangkan agama Islam di Jawa.
Rakyat yang bersedih dan sering mengadakan makar sebab dihilangkannya upacara-upacara
Hindu. Salah satunya yang penting adalah Upacara Maheso Lawung, Upacara kerajaan
persembahan korban guna keselamatan Raja beserta Rakyatnya turut dihilangkan. Sunan

86
Kalijaga memiliki usul kepada Raden Patah agar upacara diadakan kembali tetapi dengan
muatan Islam. Upacara Kerajaan pada saat kelahiran Kanjeng Nabi Muhamad. Ini salah satu
bukti pemikiran Giddens bahwa srtuktur yang dirubah sama sekali dalam masyarakat maka
tidak akan berjalan.

Saat upacara keramaian Sunan Kalijaga masih tetap menggunakan format-format


Hindu-Budha. Wayang kulit yang merupakan tradisi Hindu-Budha selama ratusan tahun
dihidupkan kembali. Gamelan upacara yang sengaja ukurannya sangat besar-besar yang
digunakan dalam kerajaan Majapahit Hindu secara turun temurun digunakan juga oleh Sunan
Kalijaga. Demikian pula tanda-tanda upacara kerajaan jaman Majapahit dengan memasang
Janur kuning, umbul-umbul warna merah putih yang disebut gulo klopo dan warna hijau
kuning yang disebut pare anom dan segala atribut upacara kerajaan Hindu digunakan. Inilah
taktik agen Sunan Kalijaga, struktur baku ratusan tahun yang ada di rakyatnya masih
digunakan, namun diberi warna sedikit yaitu warna Islami.

Rakyat pada saat itu sangat memperoleh kelegaan sebab dalam benaknya, upacara
Hindu dihidupkan kembali dimana sebelumnya semua yang berkaitan dengan atribut Hindu-
Budha dilarang oleh Pemerintahan Raden Patah Awal. Rakyat berbondong-bondong
menghadiri upacara kerajaan versi Sunan Kalijaga tersebut. Rakyat melihat pertunjukan
wayang kulit, merasakan begitu senang sebab gamelan yang tidak pernah dibunyikan itu
dibunyikan kembali, rakyat berbondong-bondong menyaksikan upacara kerajaan tersebut.

Gamelan Sekaten yang terdiri dari dua perangkat yang dinamai Kyai Guntur Madu dan
Kyai Nogo Wilogo diletakkan di sebelah selatan dan sebelah utara Masjid Agung. Sementara di
Depan Masjid Agung dibangun ruangan untuk berdakwah Islam selama perayaan Sekaten
berlangsung.

Rakyat yang datang berbondong-bondong pada upacara kerajaan versi Sunan Kalijaga
tersebut setelah melalui dakwah-dakwah dan pertunjukan dengan mutan Islam tersebut
sebagian tertarik dan mau masuk agama Islam. Setelah mengucapkan kalimat syahadat
kemudian mereka yang mau masuk Islam dikhitankan, maka sampai sekarang anak yang

87
dikhitankan disebut juga diislamkan. Namun banyak juga rakyat yang datang dalam upacara
itu kecewa karena ternyata bukan upacara tradisi Hindu-Budha murni. Mereka yang masih kuat
menjalankan agama Hindu-Budhanya merasa tertipu dengan adanya upacara sekaten tersebut,
mereka pulang sambil bersungut-sungut. Sajid mengambarkan sebagai berikut: “Kacarios
naliko samanten wonten saweneh tiyang ingkang sami mirengaken sesorah bab agami Islam.
Tetiyang ingkang tasih puguh manahipun dhateng agami Budha sami rumaos kecelik, sami
wangsul grundelan” ( Sajid, 1984:8).

Agen tidak berhenti pada tindakan hari demi hari saja, menurut Giddens agen juga
merefleksikan diri tentang apa akibat dari tindakkannya, selanjutnya akan bertindak lagi untuk
beradaptasi dan menyesuaikan reaksi tindakan yang dilakukan. Ternyata melalui tindakan
Sunan Kalijaga yang didukung oleh para wali songo dan Raden Patah ini membuahkan hasil, di
mana sebelumnya dirasakan bahwa agama Islam berjalan di tempat, kurang diterima oleh
rakyatnya yang mayoritas memiliki tradisi Hindu-Budha. Walaupun tidak seluruh rakyat yang
hadir dalam upacara itu seluruhnya masuk Islam namun setidaknya ada penambahan jumlah
rakyatnya yang masuk Islam. Hasil refleksi itu membuat para wali dan penguasa berkeinginan
secara terus-menerus mengadakan upacara kerajaan yang dinamakan Garebeg Sekaten dan
dituangkan dalam bentuk undang-undang, hal inilah yang oleh Giddens disebut sebagai proses
legitimasi. Bunyi undang-undangnya dimuat dalam riwayat sekaten sebagai berikut:
“Pada waktu itu lalu ada undang-undang Negara bahwa cara demikian (sekaten)
diadakan setiap tahun dijatuhkan pada tanggal lima sampai tanggal duabelas (bulan) Maulud,
tujuh hari lamanya. Kemauan Sang Raja sedemikian itu diterapkan dengan tatanan
(perhitungan waktu) Budha hari tujuh pekan (pasaran) lima bulan duabelas, lagi pula
disesuaikan dengan tatanan Budha lainnya” (Soelarto, 1993:15).

Tampaknya lengkap sudah antara Teori Strukturasi Anthony Giddens guna menganalisa
agen yang bernama Kanjeng Sunan Kalijaga melalui gagasannya berupa Upacara Sekaten
dengan segala format dan bentuknya masih Hindu-Budha namun diberi nafas Islam. Pada kasus
ini Giddens benar bahwa struktur tidaklah kaku dan tetap seperti aliran strukturalisme model
Levi Strauss. Ternyata pula struktur tidak berubah secara revolusi namun melalui proses
perputaran antara agen dan tindakan yang secara terus-menerus mampu mereproduksi tindakan
yang sesuai melalui refleksi dan akhirnya baru ada transmutasi struktur, struktur sosial model
inilah yang dimaksud Giddens dengan Teorinya tentang Strukturasi.

88
Daftar Pustaka

Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of


Structuration. California: University of California Press.

Pradoko, Susilo. 1995. Fungsi serta Makna Simbolik Gamelan Sekaten dalam
Upacara Garebeg di Yogyakarta. Jakarta: Thesis S2 Program Studi
Antropologi Universitas Indonesia.

Sajid,R.M. 1984. Sejarah Sekaten . Solo: Rekso Pustoko Mangkunegaran.

Soelarto, B. 1993. Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius

Sutiyono. 2013. “Gamelan, Ritual dan Simbol Upacara Sekaten Yogyakarta” dalam
Imaji (hal.66-78). Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni UNY.

89
Landasan Filosofi Postmodern dalam Inovasi Pembelajaran Seni *)

A. Pendahuluan

Program pendidikan tanpa pondasi filosofi yang kuat hanya akan mengakibatkan carut-
marutnya dunia pendidikan seperti saat ini. Hal seperti ini mudahnya seperti orang yang bekerja
keras berhari-hari namun tanpa perencanaan dan konsep terlebih dahulu sehingga yang
didapatkan hanyalah kelelahan. Pendidikan menjadi bongkar pasang dari tahun ke tahun,
periode ke periode dan kurikulum ke kurikulum yang berakibat kerugian tenaga sia-sia tanpa
arah yang jelas dan merugikan puluhan juta anak didik.
Hasil uji tingkat internasional bidang penalaran yang diselenggarakan oleh Trends in
International Mathemathics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International
Student Assesment (PISSA) siswa kita dikategorikan sebagai tak cukup bernalar (Iwan Pranoto,
Kompas 20 Feb. 2013). Posisi capaian skor Indonesia berjarak 11 negara, jauh di bawah
Malaysia, tergolong terendah hanya di atas Marocco dan Ghana (TIMSS and PIRLS
Achievement 2011). Sementara tingkat tataran menghafal termasuk pada tataran tinggi, ini
menunjukkan bahwa model pembelajaran sekaligus sistem evaluasi pembelajarannya
mengakibatkan murid menjadi ahli menghafal namun kurang dalam bernalar.
Tatanan aliran masyarakat sudah menunju perubahan dari masyarakat modern menjadi
masyarakat postmodern untuk itu perlu didasari landasan pencerahan filosofis paradigma
postmodern khususnya dalam bidang seni agar tidak salah arah dalam meramu dan menentukan
kebijakan pembelajaran. Paradigma postmodern dengan salah satu alirannya teori kritis
memungkinkan “Aku”, “Subyek”, “Kesadaran” menjadi kesadaran subyek yang cair selalu
menuju proses “becoming”. “Aku” bukanlah aku yang pasif, aku yang mati tetapi menjadi aku
yang mampu bernalar, proses menjadi, hidup, memiliki keunikan dan setiap kultur memiliki
aturan permainan sendiri (language game), yang akhirnya menjadi kesadaran adanya multi
kultur.
Demikian pula dalam bidang kebijakan pembelajaran, menurut Freire manusia sejati
adalah menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau obyek. Panggilan manusia sejati
adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas

90
atau mungkin yang menindasnya. Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan
penjinakan sosial-budaya (Freire, 2004: viii & xiii).
Dalam tulisan ini akan memaparkan perubahan yang terjadi dari paradigma filosofi
modern menjadi paradigm filosofi postmodern. Selanjutnya dikaji pula dengan paradigma
postmoden dan teori kritis untuk diadopsi dalam dunia seni. Terapan teoritik postmodern dalam
pembuatan konsep inovasi pemebelajaran seni sesuai dengan landasan filosofi dan karakteristik
anak didik dalam konteks multi cultural.

B. Pembahasan
1. Pandangan Modern vs Postmodern
Salah satu ciri aliran dominan yang mendominasi pemikiran sejak abad pertengahan
hingga akhir abad 19 adalah filosofi positivisme berikut ini ciri-ciri aliran posistivisme.
Positivisme bertujuan untuk menjadikan ilmu pengetahuan memiliki fondasi yang kuat dan
terpercaya.

Ajaran dasar positivisme antra lain:


1). Dalam alam terdapat hukum-hukum yang diketahui
2). Penyebab adanya benda-benda dalam alam tidak dapat diketahui
3). Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak
mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal.
4). Hanya hubungan antar fakta-fakta saja yang dapat diketahui
5). Perkembangan intelektual merupakan sebab utama perubahan social
(Osborme, 2001:134-135; Lubis, 2012: 6).
Prosedur penelitian empiris-eksperimental dalam ilmu sosiologi Comte dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1). Observasi : meneliti dan mencari hubungan antar fakta-fakta, lalu meninjaunya
dari hukum statika dan dinamika, dari observasi dapat dirumuskan hipotesa yang
akan dibuktikan melalui penelitian.
2). Eksperimen: fenomena sosial dengan cara tertentu diintervensi cara tertentu
sehingga dengan demikian dapat dijelaskan sebab akibat fenomena masyarakat
dan dapat pemahaman tantang bagaimana masyarakat yang normal.

91
3). Perbandingan: misalnya dalam biologi dikenal anatomi komparatif. Dalam
sosiologi studi komparatif bisa dilakukan antara dua periode dalam masyarakat
tertentu (sosiologi historis) (Lubis, 2012:7).

C. Kritik terhadap Positivisme


Pengetahuan alam disebut sebagai Naturwissenschaften sedangkan ilmu humaniora
disebut sebagai Geistewissenschaften. Sebagaimana dikemukakan Schleiermacher, Dilthey,
Gadamer, maupun Habermas, ilmu pengethuan alam berhubungan dengan ilmu pengetahuan
alam yang seragam, fenomena yang statis dan terkontrol maka metode kuantitatif empiris
dianggap tepat diterapkan untuk menjelaskan fonomena alam dan menemukan hukum-hukum
alam.
Sementara pada ilmu pengetahuan termasuk pada Geistewissenschaften. Maksudnya
ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia, fenomena manusia dipandang memiliki
keunikan, kesadaran, makna dan tujuan hidup, tidak statis, memiliki kebebasan memilih untuk
bertindak, sulit dikontrol dan mudah dipengaruhi lingkungan sosial budaya (Lubis, 2004: 56).
Kritik Internal

Kritik internal berupa dekonstruksi/penolakan terhadap asumsi-asumsi paradigma


positivisme seperti:
1) Penekanan pada generalisasi dan universalitas teori, sehingga akibatnya ilmu
mengabaikan konteks sosial budaya padahal teori sosial budaya tidak bisa
dilepaskan dari konteksnya.
2) Positivisme mengabaikan makna dan tujuan penelitian, sementara penelitian
tentang tingkah laku manusia tidak dapat dipahami tanpa mengacu pada
makna, tujuan, motivasi.
3) Positivisme menekankan teori agung (grand theories, grand narrative) sehingga
mengabaikan konteks local.
4) Paradigma positivisme menekankan pencarian hukum alam (nomotetis);
sementara ilmu sosial budaya lebih bersifat ideografis (pencarian
keunikan/kekhasan suatu peristiwa).
5) Positivisme hanya menekankan konteks kebenaran (context of justification)
sehingga mengabaikan konteks penemuan (context of discovery).

92
Kritik Eksternal
Kritik eksternal paradigma bukan hanya berkaitan dengan kualifikasi pendekatan ilmiah
akan tetapi berupa penyesuaian asumsi-asumsi yang membimbing penelitian bersama
kelompok ilmuwan tertentu.
1) Ketergantungan fakta pada teori (the theory-ladenes of fact). Bila positivisme menganggap
fakta bisa dipahami secara obyektif tanpa dipengaruhi paradigma atau teori, maka filsuf
ilme pengetahuan baru (pascapositivisme) menyatakan bahwa teori dan fakta saling
tergantung. Fakta hanya menjadi fakta dalam kerangka teori tertentu; fakta hanya berbicara
didiskripsikan berdasarkan paradigma/kerangka teori tertentu.
2) Kritik terhadap metode induksi (dari Hume dan Proper) yang disebut juga dengan (the
underdetermination of Theory). Proper menolak prinsip verifikasi sebagai kriteria untuk
menentukan antara ilmu dan non ilmu lalu menggantikan dengan falsifikasi (Lubis, 2004:
58 -59).

2. Seni Postmodern
Usaha untuk mendiskripsikan postmodren hanya satu gaya atau periode tidaklah sesuai.
Sebab tidak hanya satu point gagasan saja sementara aliran modern masih tetap ada bersama.
Maka aliran postmodern tidak berarti anti modern. Postmodern tidak menolak karya-karya
modern namun mengkritik aliran modern. Aliran paradigma modern memiliki pondasi yang
kuat dalam ilmu pengetahuan alam (naturwissenschaften) berhubungan dengan fonomena alam
yang seragam, fenomena yang statis dan terkontrol maka metode empiris kuantitatif dianggap
tepat diterapkan untuk menjelaskan fenomena alam dan menemukan hukum-hukum alam,
sehingga memunculkan universal scientific dengan basik penelitian terutama positivistik
kemudian strruktural dan fungsional.
Sementara pengetahuan budaya manusia, humaniora khususnya seni masuk dalam ranah
Geisteswissenschaften, ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia (humaniora),
fenomena manusia dipandang memiliki keunikan, kesadaran, makna dan tujuan hidup, tidak
statis, memiliki kebebasan memilih untuk bertindak, sulit dikontrol dan mudah dipengaruhi
lingkungan sosial budaya. Manusia bukanlah benda atau diperlakukan sebagai benda sehingga
tak ada dialektik antara subyek dan obyek karena membendakan manusia.

93
Penggunaan media pembelajaran dalam seni, serta penggunan multi media mau tidak
mau berhubungan dengan rupa, dan istilah-istilah dalam seni rupa sering pula diadopsi untuk
kesenian lain; untuk itu dalam tulisan ini mengambil kasus dari aliran seni rupa.

Seni Modern
Kebanyakan diskripsi tentang seni modern bermasa waktu dari abad pertengahan hingga
akhir abad 19, dengan perkembangan seni lukis impresionis dan post impresionis di Perancis.
Hal ini sering dikatakan sebagai awal periode seni eksperimental yang besar dengan tujuan
mengubah representasi lama menjadi representasi ekspresi dalam bentuk abstrak. Aliran
impressionisme menggerakkan seni lampau yang bergaya realistik menjadi ekspresi bentuk
abstrak, selain itu pada periode ini berpandangan seni untuk tujuan seni. Glenn Ward
mengungkapkan sebagai berikut:
„This is often described as beginning of a great experimental period in art, a period in
which art pursued new goal and broke free from all tradition of representation. In this
simplified view of events, the impressionists triggered of a break from the past in which art
learned to turn away from realistic style of representation and move towards more abstract
form of expression.” (Ward, 2006: 38) pada alinea berikutnya disebutkan sebagai berikut: “ …
- towards a position of highly self-concious art for art sake”( Ward, 2006: 38).

Pada periode modern ini muncul aliran: Eksperimen, Inovasi, Individualisme, Progres,
Kemurnian, Originalitas.

Aturan Aliran Pandangan Modern Seni Rupa


Seniman aliran modern mendedikasikan dirinya untuk seni, seni ada di luar kehidupan
sehari-hari. Seni bersifat otonomi independen dan mengatur diri, seni untuk pencarian seni.
Gleen Ward menjelaskan pandangan Clement Greenberg sebagai berikut:
Clement Greenberg mengkritik seni ini pada 1930 dan pertengahan 1960. Antara abad 17 dan
pertengahan abad 19 bentuk seni dominan adalah sastra, bentuk seni mengimitasi sastra.

Saran Greenberg:
1. Meninggalkan model bayangan dan perspektif
2. Memperjelas garis kuas

94
3. Menggunakan warna terang
4. Menekankan garis
5. Menggunakan bentuk geometrik
6. Menggunakan semua komposisi
7. Sederhanakan bentuk.

Seni Avant-Garde dan Masa Kini


 Greenberg mengajurkan bahwa untuk masuk dalam ruang seni kita harus menghidarkan
dari muatan sosial, politik dan moral sebab akan menghalangi persepsi seni sebagai seni.
 Greenberg berpendapat bahwa seni budaya tinggi dan seni masa kini adalah dua hal yang
terpisah jadi tidak dapat dicampur, percampuran merupakan malapetaka artistik.

Ringkasan
Aliran modern Greenberg adalah formalisme: makna dan keindahan seni pada seni itu sendiri
(arti dan keindahan seni terletak pada komponen-komponen seni itu sendiri).
Arti aliran Formalisme bila dalam seni musik oleh Reimer dijelaskan sebagai berikut:
“The absolutist says that to find the meaning in a work of art, you must go to
the work itself and attend to the internal qualities which make the work a created
thing.In music, you would go to the sounds themselves-melody, rhytme, harmpny,
tone color, texture, dynamic, form and attend to what those sound do “ (Reimer,
1989: 16)

Kritik Terhadap Aliran Modern

 Sejarah teorinya selektif


 Seni melakukan hal sama seperti lomba
 Hanya membandingkan 2 kebudayaan
 Kerja seni adalah kerja akademik.

95
Bentuk seni Postmodern dingkapakan oleh Glenn Ward sebagai berikut:

 Usaha menarik penggemar yang lebih luas


 Berfikir ulang hubungan seni dan budaya pop,mempertimbangkan perbedaan antara karya
seni dan barang-barang konsumsi.
 Menentang ide modern bahwa seni mendifinisikan diri, menjadi didifinisikan interpretasi
tindakan sosial
 Mengemukakan bahwa semua produksi budaya terlibat dalam hubungan sosial yang
komplek
 Mengkritik aspek budaya „dari jarak antara‟
 Bahasa dalam media masa bukan yang paling baik
 Berada ditengah antara modern dan budaya pop
 Merujuk, perwujudan dunia melalui wacana yg mereka lakukan (Ward, 2006:
53-54).

Aliran-aliran seni postmodern yang dirangkum oleh Glenn Ward adalah sebagai berikut:
Neo-Geo : Penggabungan keindahan abstrak minimalis dengan budaya pop dan
komoditi.
Simulation : Dipengaruhi oleh pandangan Baudrilard, mereproduksi karya artis
lain.
Trans-Avant-Garde: Menggunakan materi tradisional, menerima materi subyek dan
unsur dekorasi.
New Expressionisme: Kasar, cepat, banyak hiasan mereferensi budaya dan tampak
gaya primitive.
Electicisme : Kombinasi yang sesuai gaya budaya tinggi dan rendah (Glenn Ward,
2006: 40-41).

96
3. Filosofi Postmodern dalam Inovasi Pembelajaran Seni

Filosofi postmodern berintikan pada pengetahuan budaya manusia, humaniora


termasuk seni masuk dalam ranah Geisteswissenschaften, ilmu pengetahuan yang berhubungan
dengan manusia (humaniora), fenomena manusia dipandang memiliki keunikan, kesadaran,
makna, dan tujuan hidup, tidak statis, memiliki kebebasan memilih untuk bertindak, sulit
dikontrol dan mudah dipengaruhi lingkungan sosial budaya. Manusia bukanlah benda atau
diperlakukan sebagai benda sehingga tak ada dialektik antara subyek dan obyek karena
membendakan manusia.
Gagasan perlakuan sebagai manusia bukan benda mendudukkan pendidikan pada
memanusiakan manusia sehingga kita juga bisa menarik dalam terapan lebih khusus yaitu
mendudukkan murid sebagai subyek pendidikan bukan sebagai obyek pendidikan. Pandangan
murid sebagai subyek akan berdampak guru juga sebagai subyek sehingga yang menjadi obyek
adalah materi pembelajarannya sehingga kita mengadopsi konsep “ada”, “subyek”,
“kesadaran”, mengada dan proses menjadi, becoming. Apapun perlakuan kita terhadap murid
dia adalah subyek, sehingga menuju pada pembelajaran yang membebaskan bukan penindasan
pembelajaran.
Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berfikir, pada saat
bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya, begitu juga guru,
keduanya saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Jika seseorang telah mampu
mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itupun mulai masuk ke dalam proses
pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang
yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu sistem kesadaran,
sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa
(perlu) sadar apa yang dikatakannya itu dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat
tersebut (Freire, 2004: xviii).

C. Kesimpulan
Dalam kajian ilmu pengetahuan aliran postmodern memiliki kerangka filosofis
tersendiri dimana ilmu humaniora berbeda dengan ilmu alam, untuk itu memperlakukan ilmu
humaniora termasuk seni haruslah mengerti secara epistemologi karakter dalam imu humaniora
tersebut sehingga apa yang akan ditarik guna kebijakan penelitian, penerapan pembelajaran

97
maupun inovasi pembelajaran (seni) bagi anak didik sesuai dengan kerangka perfikir yang
pluralis, humanistis, membangkitkan kesadaran kritis dan pendidikan yang memerdekakan
anak didik sesuai dengan cabang besar ilmu sosial – kemasyarakatan dengan berbagai varian
metodologinya yang terangkum dalam ilmu-ilmu Geisteswissenschaften.

Daftar Pustaka
Freire, Paulo. 2004. The Politic of Education: Culture, Power and Liberation. Terj.
Agung Prihantoro & Fuad A. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hodder, Ian. 2000.”Theoretical Archaeology: A Reactionary view” dalam Yulian


Thomas (Ed). Interpretive Archaeology. London: Leicester University
Press. 33-55

________, 2004. “The Social in Archaelogical Theory: An Historical and


Contemporary Perspective” dalam Lynn Maskell dan Robert W Preucel.
(Ed) Companion to Soscial Archaeology. Oxford: Blackwell Publishing.
Hal. 23 – 42.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Filsafat Ilmu – Metodologi Posmodernis Bogor:


AkaDemiA

________. 2006. Dekonstruksi Epitemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori


Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia
Satu.

________, 2012. Bahan Bacaan Program Doktor Mata Kuliah Filsafat dan
Metodologi Pengetahuan. Jakarta: FIB UI

Noerhadi, Toeti Heraty. 2013 Aku dalam Budaya: Telaah Teori & Metodologi
Filsafat Budaya.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Reimer, Bennet. 1989. A Philosophy of Music Education. New Jersey: Prentice Hall
Inc.

Ward, Glenn. 2003. Teach Yourself Postmodernism. Chicago: Contemporary Books.

98
Paradigma Humanisme Postmodern dalam Karya Seni,
Implikasinya dalam Pendidikan Seni

Pendahuluan

Postmodern merupakan pandangan filosofis yang muncul setelah zaman modern dan
proses masih berlangsung bersamaan dengan zaman modern. Era modern muncul pada masa
revolusi industri sekitar tahun 1875 hingga sekarang ini. Masyarakat modern percaya dan
melandaskan pada: berfikiran maju, optimis, universal rasional, pengetahuan absolute dan
berteknologi, industry berbasis teknologi dalam memproduksi kebutuhan hidup. Paradigma era
industri dan teknologi serta kehendak menciptakan pola universal scientific mengakibatkan
berbagai ekses dalam kehidupan manusia secara seutuhnya, alasan inilah yang kemudian
memunculkan pandangan postmodern.

Pemikiran postmodern memiliki berbagai perspektif dalam mengurai kelemahan dari


pandangan modern universal. Kompleksitas kelemahan budaya modern itu mencakup:
kecemasan hubungan budaya antar masyarakat dan bentuk politik, keraguan penerapan
universal rasio dan kebenaran, permasalahan antar secular dan religious. Wheale Nigel
mengungkapkan permasalahan pertentangan antar modern, pencerahan dan pandangan
postmodern sebagai berikut:
“ Anxiety about the relation of cultural elites to common experiences, and the kinds of
contribution made by intellectual minorities to the civil values and political forme of the
majority. .. Doubts about the universal applicability of particular conceptions of reason and
right, along side the practical application of just such values.., Debate over the relative values
ascribed to European and non-European culture… Continuing argument between secularist
and peole maintaining religious fith…. “ (Wheale, 1995: 7).

Tulisan ini akan membahas paradigma pemikiran filosofi postmodern bagi manusia
selanjutnya dampaknya dalam karya seni serta implikasinya dalam pendidikan seni khusunya
nilai-nilai paradigm yang terkandung di dalamnya yang berbeda antara ketegori modern
universal dengan partikularisme multi cultural.

Pembahasan

99
Abad modern dimulai pada abad 18 meluas ke seluruh Eropa 19 dan berlangsung terus
hingga kini meluas mendunia. Pada abad modern ini sering disebut sebagai periode pencerahan,
termasuk di dalamnya pencerahan akan pemahaman tahyul dan mitos diganti dengan pemikiran
rasional. Glenn Ward melukiskan pandangan Modern bertumpu pada ciri pandangan sebagai
berikut:
“ … , but it is often associated with faith in : progress, optimism, rationality, the sarch
for absolute knowledge in science, technology, society and politic, the ide that gaining
knowledge of the true self was the only foundation for all other knowledge. In debate about
postmodernism, these kinds of value are often called Enlightenment Ideals. In other words, they
associated with the Age of Reason (or Enlightnment), which originated in seventeenth and
eighteenth century in Europe, and which quickly influenced all Western though” (Ward, 2003:
10).

Ambisi pencerahan secara universal mendunia dengan model cara-cara para digma yang
sama dalam pola tatanan dan berfikir ini dipandang sebagai penjajahan secara universal, Negara
di luar Barat dan Eropa dapat dianggap sebagai Negara yang digolongkan memiliki nilai
budaya di bawah maju (under developed) namun herannya sering diterjemahkan dengan kata
Negara berkembang. Nigel Wheale mengungkapkan sebagai berikut:
“ In part it was the universalism of the Enlightenment‟s ambitions whichwas so
compelling, because it proposed a universal form of reason together with an aspiration to
universal right. But in other forms this supreme confidence could also appear as triumphalism
or absolutism. Therefore another characteristic of the period was the self concius definition of
Europe as the most advanced region of the world, with a related tendency to disparage others
cultures as under-developed and therefore implicitly ripe for exploitation “ (Wheale, 1995: 6).

Ukuran nilai baik dan buruk, benar dan salah sering menggunakan ukuran Negara Eroba dan
Barat, sementara sebenarnya kondisi, situasi, masyarakat dan materi keilmuannya berbeda
antara Negara-negara Barat dan Negara di luar Barat. Selanjutnya pada abad 20 modernitas
dibawah pengaruh kekuasaan Amerika, atau sering disebut sebagai Amerikanisasi seluruh
dunia. “ In the course of the twentieth century, modernity has been in creasingly described as
an irresistible process of the Americanization of the entire world, as United Stete displaced
Europe as the most powerful region “ (Wheale, 1995:8).

Kebanyakan deskripsi tentang seni modern bermasa waktu dari abad pertengahan
hingga akhir abad 19, dengan perkembangan seni lukis impresionis dan post impresionis di
Perancis.Hal ini sering dikatakan sebagai awal periode seni eksperimental yang besar dengan

100
tujuan mengubah representasi lama menjadi representasi ekspresi dalam bentuk abstrak. Aliran
Impressionisme menggerakkan seni lampau yang bergaya realistik menjadi ekspresi bentuk
abstrak , selain itu pada periode ini berpandangan seni untuk tujuan seni. Glenn Ward
mengungkapkan sebagai berikut:
„This is often described as beginning of a great experimental period in art, a period in
which art pursued new goal and broke free from all tradition of representation. In this
simplified view of events, the impressionists triggered of a break from the past in which art
learned to turn away from realistic style of representation and move towards more abstract
form of expression.” (Ward, 2006: 38) pada alinea berikutnya disebutkan sebagai berikut: “ …
- towards a position of highly self-concious art for art sake”( Ward, 2006: 38).

Aliran seni pada masa modern menurut Glenn Ward memiliki cirri sebagai berikut: “ They are
the ideas of: exaperimentation, innovation, individualism, progress, purity, originality.
Modernism in art can be broadly defined as heafy investment in these ideas” (Ward,2003: 39).

Seni pada masa modern juga sering diikuti dengan aturan-aturan yang baku untuk
menghasilkan karya seni Green Beerk, tokoh seni lukis memunculkan aturan sebagai berikut: “
Abandonning shaded modelling and perspective, emphasizing brush strokes, using hars
colours rathe than subtle tonal changes, stressing line (line is abstrack because it doesn‟t occur
in nature), using geometrical forms, using all over compositions, simplifying forms” (Ward,
2003: 44).
Era postmodern juga berkembang hadirnya tanda dan citra sebagai pengganti obyek, Denzin
mengutip pandangan Baudrillard sebagai berikut:
“ Boudrillard assets that the modern situation was defined by the power of simulacrum that the
power of image and signs which have come to stand for the objects (commodities) that make up
the everyday life world of the capitalism” ( Denzin, 1986: 195)

Usaha untuk mendeskripsikan posmoden hanya satu gaya atau periode tidaklah sesuai.
Sebab tidak hanya satu point gagasan saja sementara aliran modern masih tetap ada bersama.
Maka alirann postmodern tidak berarti anti modern. Postmodern tidak menolak karya-Karya
modern namun mengkritik aliran Modern. Aliran paradigm modern memiliki pondasi yang kuat
dalam ilmu pengetahuan alam (naturwissenschaften) berhubungan dengan fonomena alam yang
seragam, fenomena yang statis dan terkontrol maka metode empiris kuantitatif dianggap tepat
diterapkan untuk menjelaskan fenomena alam dan menemukan hukum-hukum alam, sehingga
memunculkan universal scientific dengan basic penelitian terutama positivistic kemudian

101
strruktural dan fungsional. Sementara pengetahuan budaya manusia, humaniora khususnya seni
masuk dalam ranah Geisteswissenschaften, ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan
manusia (humaniora), fenomena manusia dipandang memiliki keunikan, kesadaran, makna dan
tujuan hidup, tidak statis, memiliki kebebasan memilih untuk bertindak, sulit dikontrol dan
mudah dipengaruhi lingkungan social budaya.Manusia bukanlah benda atau diperlakukan
sebagai benda sehingga tak ada dialektik antara subyek dan obyek karena membendakan
manusia.
Salah satu ciri aliran dominan yang mendominasi pemikiran sejak abad pertengahan
hingga akhir abad 19 adalah filosofi positivisme berikut ini cirri-ciri aliran posistivisme
Positivisme bertujuan untuk menjadikan ilmu pengetahuan memiliki fundasi yang kuat dan
terpercaya. Ajaran dasar positivisme antra lain:
“1) Dalam alam terdapat hukum-hukum yang diketahui; 2) Penyebab adanya benda-benda
dalam alam tidak dapat diketahui; 3) Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat
dikembalikan pada fakta tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal; 4) Hanya hubungan
antar fakta-fakta saja yang dapat diketahui; 5) Perkembangan intelektual
merupakan sebab utama perubahan sosial” (Osborme, 2001:134-135; Lubis, 2012:6) Prosedure
penelitian empiris-eksperimental dalam ilmu sosiologi Comte dapat dirumuskan sebagai
berikut:
“1) Observasi: meneliti dan mencari hubungan antar fakta-fakta, lalu meninjaunya dari
hukum statika dan dinamika, dari observasi dapat dirumuskan hipotesa yang akan dibuktikan
melalui penelitian; 2) Eksperimen: fenomena sosial dengan cara tertentu diintervensi cara
tertentu sehingga dengan demikian dapat dijelaskan sebab akibat fenomena masyarakat dan
dapat pemahaman tantang bagaimana masyarakat yang normal; 3) Perbandingan: misalnya
dalam biologi dikenal anatomi komparatif. Dalam sosiologi studi komparatif bisa dilakukan
antara dua periode dalam masyarakat tertentu (sosiologi historis)“ (Lubis, 2012:7).

Postmodern menekankan pada budaya manusia, humaniora khususnya seni dalam ranah
Geisteswissenschaften, ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia (humaniora),
fenomena manusia dipandang memiliki keunikan, kesadaran manusiawi. Postmodern
memunculkan pandangan antara lain: (1) teori sosial budaya tidak bisa lepas konteks
masyarakatnya, (2) konteks lokal berpengaruh pada nilai-nilai, (3) Acuan pada keunikan

102
budaya. Karya seni memiliki subyek yang mandiri, subyek dialektik sesuai dengan situasi
kemasyarakatannya, nilai-nilai seni sesuai dengan masyarakat setempat, memiliki keunikan
tersendiri tidak bisa menjadi aturan estetika dan nilai universal. Implikasi dalam pendidikan
seni adalah mengacu pada nilai-nilai estetika permainan bahasanya sendiri (language game).
Implikasi dalam pendidikan seni: penilaian seni tidaklah berlaku sama secara universal, dalam
masyarakat multi kultur, masing-masing seni memiliki keindahannya sendiri sesuai kriteria
estetikanya sendiri-sendiri.

Bentuk seni Postmodern memiliki karakter pemikiran sebagai berikut:

“ Aim to appeal to a wider audience; re-thing the relationship between art and popular culture,
and reconsider the supposed differences between works of art and other consumer goods; are
against modernism‟s idea that art defines itself, and see the artness of objects and images as
defined by social acts of interpretation; propose that all cultural production is involved in
complex social relations. Artists are very much inside society. Whereas the critical
vs.conservative debate assumes that artist have to be in position out side of popular culture and
comodification in order to offer a substantial critique of them, postmodernism suggest that such
a position my be neither possible nor desirable.; criticize aspect of culture from within. For
example, rather than reject the language of the masss media for something better, a post
modern artist would present the work that uses those languages ironically, or under erasure.;
do not define themselves by rejecting either modernism or popular culture, but exist as
unsteady territory between the two…… “ (Ward, 2003: 54).

Pada era modern Negara-negara maju (development countries) menerapkan dominasi


kekuasaan melalui pengetahuan, melalui yang disebut sebagai kekuasaan lunak, soft power .
Hoed menjelaskan sebagai berikut:
“Di sini terlihat bahwa kekuatan lunak berada dalam struktur “ kuasa “ (power
struckture) dan sekaligus ditinjau dari kacamata semitoik sejumlah unsur budaya negara yang
memiliki kuasa merupakan tanda simbolik yang disepakati dan patut ditiru oleh sebagian besar
bangsa Negara yang dikuasai. Ketika tanda simbolik itu menguasai kita, terjadilah struktur
mental yang menguasai diri kita atau suatu bangsa” ( Hoed, 2011: 286).

Demikian aturan yang disebut sebagai pencerahan bagi dunia ke tiga diberlakukan dengan
sistem budaya modern dengan aturan-aturan budaya negara dominan. Pandangan modern inilah
yang disatu sisi dapat dianggap memajukan pengetahuan namun di sisi lain adalah sebenarnya
penggiringan ke pada satu pola pengetahuan dan kebudayaan yaitu kebudayaan Negara
dominan dalam hal ini terutama Negara Barat yang memiliki faham kapitalisme. Kebudayaan
lain menjadi tertindas dan tidak lagi dihiraukan perkembangannya atau bahkan menjadi mati.

103
Dalam bidang seni, sudah merasuk pula soft power modern. Bangsa memikirkan bahwa
seni yang tertinggi adalah seni model Barat, ukuran baik dan buruk, indah dan tidak indah
dengan sendirinya ditentukan oleh kebudayaan dominan dalam hal ini faham budaya modern
Barat. Sementara telah dikemukakan terdahulu bahwa Seni, dalam hal ini seni budaya Bangsa
Indonesia memiliki keindahan tersendiri, memiliki language game sendiri. Tata-bahasa seninya,
gramatika seninya, rangkaian sintagmatik dan paradigmatic seninya berbeda dengan seni
budaya barat; termasuk di dalamnya adalah baik-buruk serta ukuran keindahannya. Setiap
bangsa memiliki seni budayanya sendiri serta memiliki aturan-aturan permainan sendiri,
terlebih bangsa Indonesia yang memiliki lebih dari 640 suku dan memiliki kekayaannya
sendiri. Seni-seni unggul bangsa sebut saja Karawitan, Kroncong, Batik, Tari Jawa, Bali dan
sebagainya harus tidak boleh terlibas oleh paradigm modern namun mereka harus eksis
berdampingan dengan seni modern. Dalam criteria keindahan ini bisa mengacu pada gasgasan
Zanden tentang kekayaan paradigm insider:
“ We cannot grasp the behavior of other peoples if we interpret what they say and do in the
light of our value, beliefs and motives. Instead of we need to examine their behavior as insider, seeing it
within the framework of their values, beliefs and motives. This approach, termed cultural relativism,
suspend judgement and views the behavior of people from the perspective of their own culture”
(Zanden, 1988: 69)

Hal ini lah yang salah satu kritik yang memunculkan paradigm Postmodern mengkritisi
paradigma filosofi dan praktek soft power melalui universal scientific.

Dalam dunia pendidikan seni, seni milik bangsa Indonesia haruslah dikembangkan
untuk maju dan didorong bahkan syukur menjadi soft power bagi Negara-negara lain. Salah
satu Negara yang mengadopsi gagasan modern namun mengkritisinya dan tidak mau kesenian
tradisinya hilang adalah Negara Jepang, meraka masih memiliki Tarian Kabuki, Musik Tradisi,
Eksistensi pakaian tradisi, Seni Origami, Seni Ikebana. Setelah pengembangan Seni budaya
sendiri yang tidak kalah penting adalah penilaiannya seni budaya itu. Kriteria etika dan estetika
ada pada konteks budaya itu sendiri. Ukuran criteria dalam menilai estetikadan etika bukan
dengan paradigma universal scientific barat. Ukuran keindahan permainan gamelan tidaklah
tepat disandingkan dengan ukuran keindahan permainan orchestra keduanya memiliki kriteria
ukuran estetika yang berbeda; Ukuran keindahan seni Batik tidak lah tepat disandingkan
dengan ukuran kriteria pilihan warna seni lukis modern. Hal ini perlu disadari karena

104
berimplikasi pada pendidikan seni budaya nusantara di sekolah baik pendidikan dasar maupun
menengah.

Kesimpulan

Gerakan pandangan modern dimulai pada sekitar abad 18 – 19, mulai tahun 1875 dan
masih berlangsung hingga sekarang. Zaman modern ditandai dengan munculnya revolusi
industri serta berkembangnya pandangan ilmiah rasional yang menentang pandangan tahyul
masyarakat. Paradigma filosofinya menekankan pandangan universal scientific di mana pola-
pola hukum ilmiah berlaku sama. Negara-negara pelopor Industri mengembangkan filosofi
modern ke seluruh Negara lain sehingga memunculkan dikotomi antara Development Countries
dan Under Development Country. Budaya dan filosofi modern merambah ke seluruh dunia dan
inilah sebenarnya juga merupakan Soft-Power bagi Negara-negara Barat. Aliran Postmodern
melihat celah kekurangan, akibat buruk dari pemikiran modern sehingga memunculkan
language game bahwa Negara lain adalah merupakan masyarakat multi kultur yang memiliki
aturan sendiri criteria etika dan estetikanya, sehingga dalam karya seni sering menyimpang dari
aturan-aturan baku yang telah dibuat pada periode modern. Dunia pendidikan seni perlu
menyadari paradigma postmodern dan aplikasinya dalam dunia pendidikan seni budaya
nusantara maupun unsur-unsur criteria penilaian etika dan estetikanya sesuai dengan konteks
masyarakatnya dan wilayah negaranya dalam hal in Indonesia.

105
Daftar Pustaka

Denzin, Normak K. 1986. “ Postmodern Social Theory” Sociological Theory. Vol.4


No.2. Publ. By American Sosciological Asosiation. Diunduh dari:
http://www.jstor.org/stable 201888

Hoed, Benny H. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas
Bambu.

Jencks, Charles Ed. 1992. The Postmodern Reader. New York: St.Martin‟s Press..

Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Filsafat Ilmu – Metodologi Posmodernis Bogor:


AkaDemiA
________. 2006. Dekonstruksi Epitemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori
Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia
Satu.

Pradoko, Susilo. 2013. Landasan Filosofi Postmodern dalam Inovasi Pembelajaran


Seni. Makalah: Seminar Nasional Inovasi Pembelajaran Seni, FBS UNJ 4
Juni 2013.

Ward, Glenn. 2003. Teach Yourself Postmodernism. Chicago: Contemporary Books.

Wheale, Nigel. 1995. Postmodern Arts. Canada: Routledge.

Zanden, James W.V. 1988 The Social Experience. New York: Random House Inc.

106
Pembelajaran Kritis Dekonstruksi Derida, Kajian Pemahaman Teks dan Syair lagu

A. Pendahuluan
Pemikiran Dekonstruksi di cetuskan oleh Jacques Derida (1930-2004). Derida
menggagas bahwa strukturalisme yang berlandasan pada logosentrisme tidaklah tepat dalam
mengungkap suatu kenyataan. Strukturalisme selalu lebih menekankan bahwa sesuatu struktur
berlaku secara umum. Salah satu tujuan pendidikan nasional di dalam kurikulum adalah siswa
maupun mahasiswa memiliki pemikiran yang kritis dan kreatif. Latar belakang filosofis pada
sub item b untuk kurikulum 13 juga menekankan sebagai berikut : “Proses pendidikan adalah
suatu proses yang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk mengembangkan potensi
dirinya menjadi kemampuan berfikir rasional dan cemerlang dalam akademik …” (Peraturan
Menteri No.70 Tahun 2013, halman 8). Pemikiran kritis haruslah diasuh dan diasah bagi siswa
semenjak sekolah dasar hingga mahasiswa di perguruan tinggi sehingga menjadikan pemikiran
kritis sebagai habitus yang memajukan bangsa.
Penulisan ini memaparkan cara-cara memberi pencerahan guna berfikir rasional, kritis,
kreatif terhadap segala literasi yang dibaca agar tulisan tersebut mampu dimanfaatkan secara
demokratis dalam masyaraka Indonesia yang multi kultiral. Proses kecerdasan berfikir rasional
kritis dan kreatif menjadikan manusia merdeka, memampukan mereka mengurai dan
memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan dan hidup bersama dalam masyarakat
secara demokratis. Pedagogi kritis merupakan sarana-sarana guna mengadakan pembelajaran
yang memiliki konten berfikir kritis dan terbuka secara rasional, dalam interaksinya
memerdekakan siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasan dan argumentasinya. Salah satu
landasan filosofis untuk dapat berfikir secara kritis dan demokratis adalah gagasan Jacques
Derida tentang dekonstruksi. Tulisan ini memaparkan pertama gagasan utama pemikiran
dekonstruksi selanjutnya gasagan pemikiran dekonstruksi tersebut sebagai landasan berfikir
kritis. Landasan berfikir kritis ini diterapkan dalam pembelajaran pedagogi kritis melalui kasus-
kasus iklan dan lagu. Latihan berfikir kritis dalam teks-teks iklan dan lagu menghasilkan
pencerahan model berfikir nggliwar, lain dari pemikiran pada umumnya, namun pemikiran-
pemikiran semacam itulah yang kemudian membelalakkan mata untuk menyadari ada

107
kesalahan pada teks sebelumnya dipelajari, ada kebenaran-kebenaran secara demokratis melalui
argument-argumentasi dalam berfikir nggliwar tersebut.

B. Pembahasan
Kata dekonstruksi bila dilihat dari kata kerja dalam bahasa inggris dari kata deconstruct
. Kata deconstruct dalam kamus Macmilan English Dictionary berarti: “to examine a piece of
writing in order to show that it can be understood in different way by each person who reeds
it” (Macmilan, 2006: 361). Dekonstruksi berarati kajian suatu bagian tulisan untuk menunjukan
bahwa tulisan tersebut dapat dimengerti dengan cara yang lain bagi orang yang membacanhya.
Mendekonstruksi berarti mengambil, mengubah, agar dapat menemukan dan menunjukan
asumsi-asumsi yang ada di belakang sebuah teks (Barker, 2014: 69). Kajian dekonstruksi
berarti merupakan cara membaca secara kritis sehingga mampu menangkap makna dengan cara
yang berbeda bagi orang yang membacanya dan sekaligus mampu menunjukan asumsi-asumsi
yang ada di belakang sebuah teks tersebut.
Pemikiran Dekonstruksi di cetuskan oleh Jacques Deriada (1930-2004). Derida
menggagas bahwa strukturalisme yang berlandasan pada logosentrisme tidaklah tepat dalam
mengungkap suatu kenyataan. Strukturalisme selalu lebih menekankan bahwa sesuatu struktur
berlaku secara umum. Aliran strukturalisme menyatakan adanya oposisi biner dalam dunia ini,
ada laki-laki-pereempuan, baik-buruk, Indah-jelek, benar-salah. Bagi Derida pengkategorian
semacam itu sudah menghadirkan pemikiran subyek, subyek sudah memilih kata mana yang
didahulukan, kata yang didahulukan sudah merupakan konstruksi untuk merendahkan kata
kedua dengan berbagai konsep pemikiran di baliknya (Hardiman, 2015: 279).
Makna dalam tulisan bagi Derida selalu terjadi penundaan dan perbedaan. Makna akan
tergantung pada penanda-penanda yang lain. Contoh : Meja memperoleh identitasnya melalui
perbedaan dengan kursi, rokok, kopi dan juga buku. Setiap kata akan selamanya tertunda oleh
hubungan perbedaan antar penanda yang terus bergeser. Empat hal tujuan dekonstruksi dalam
buku berjudul: “ Membongkar Rezim Kepastian Pemikiran Kritis Post-Strukturalis” karya
Haryatmoko dituliskan sebagai berikut:
(1) Dekonstruksi menawarkan cara untuk mengidentifikasi kontradiksi dalam politik teks
sehingga membantu untuk memperoleh kesadaran lebih tinggi akan adanya bentuk-bentuk

108
inkonsistensi dalam teks. Pemilihan kata, penyusunan kalimat cara memilih representasi atau
kecenderungan ideologis secara sadar atau tidak sudah memberikan warna tertentu pada teks.
(2) Dekonstruksi akan memperlakukan teks , konteks dan tradisi sebagai sarana yang mampu
membuka kemungkinan baru untuk perubahan melalui hubungan yang tidak mungkin. Tradisi
justru tidak membatasi cara penafsiran baru, memungkinkan kreatifitas karena tradisi membuka
kemungkinan baru dengan menyingkap lintasan teks. (3) Dekonstruksi membantu
meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan melihat cara-cara bagaimana pengalaman
ditentukan oleh ideology yang tidak kita sadari karena ideology sudah dibangun atau menyatu
di dalam bahasa. Maka dekonstruksi mau mencairkan ideology yang sudah membeku di dalam
bahasa. (4) Dekonstruksi dianggap berhasil bila mampu mengubah teks, membuat asing bagi
para pembaca yang sudah menganggap diri familiar, membuat mata terbelalak ketika disingkap
makna yang terpinggirkan (Haryatmoko, 2016: 134-135).
Kajian dekonstruksi berarti merupakan cara membaca secara kritis sehingga mampu
menangkap makna dengan cara yang berbeda bagi orang yang membacanya dan sekaligus
mampu menunjukan asumsi-asumsi yang ada di belakang sebuah teks tersebut. Cara kritis
mendekonstruksi teks dengan mencermati pilihan kata dari pengarang yang dapat merupakan
representasi ideologis pengarang. Selanjutnya memperlakukan teks dengan konteksnya
sehingga menemukan interpretasi makna penafsiran baru melalui uraian logika yang baru.
Ideologi yang sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari, dicerna secara kritis sehingga
mencairkan ide-gagasan dasar ideologi yang mentradisi dalam masyarakatnya. Pencernaan
secara kritis ideology yang mentradisi dalam masyarakat melalui bahasa memungkinkan
kesadaran baru ada yang keliru dalam pola pikir pengargumentasian ideologi yang mentradisi
tersebut.
Berfikir kritis adalah tentang cara berfikir menghindari pendapat bodoh, adalah tentang
mempertanyakan semua asumsi tentang apa yang benar, adalah untuk melihat argument-
argumen sebagai debat terbuka. Berfikir kritis menginferensikan secara hati-hati dan menarik
kesimpulan yang sesuai dan adalah kesanggupan seseorang untuk membedakan antara aktif,
gigih dan pertimbangan yang hati-hati dari suatu kepercayaan atau bentuk seharusnya dari
pengetahuan dalam terang dasar yang mendukung asumsi itu dan kesimpulan lebih lanjut yang
bersesuaian ( Rahimi dan Mina Asadi Sajed, 2014: 43). Proses berfikir secara kritis yang telah
diungkapkan tersebut merupakan dasar filosofis dalam pembelajaran pedagogi kritis.

109
Pedagogi kritis memampukan murid dan konsekwensinya membebaskan pengetahuan
yang menindas di antara masyarakat dan membuat suara mereka di dengar oleh dunia.
Pedagogi kritis memiliki tujuan untuk memberi tahu setiap individu tentang kemunduran
politik, budaya ekonomi, lingkungan dan sosial dan meminta murid untuk mendapatkan,
menemukannya dan berfikir untuk memperoleh jalan keluar dan menangani masalah dan
merubah situasi agar setiap orang diuntungkannya.
Ada empat dimensi untuk karakter berfikir guna mendasari kegiatan pembelajaran
pedagigi kritis yaitu: Seseorang seharusnya cinta berfikir dan tertarik dalam membuat
perubahan dan menyenangi kontemplasi; Seseorang hendaknya menjadi pencari kebenaran itu
sendiri, bukan hal lain tetapi kebenaran; seseorang hendaknya kerja keras secara sistematis
logika informasi yang ia peroleh dengan mengikuti pendekatan secara hati-hati dalam
refleksinya; Seseorang yang pendapatnya bias tak dapat mengikuti kebenaran, jadi seseorang
hendaknya selalu mengingat berfikir terbuka dan fleksibel sepanjang waktu ( Rahimi dan Mina
Asadi Sajed, 2014: 44).
Proses penerapan pembelajaran pedagogi kritis dalam dunia sastra dan bahasa dilakukan
melalui literasi kritis, belajar membaca teks, tulisan, wacana dalam bahasa secara kritis. Literasi
kritis sebagai bagian dari perangkat alat budaya kita, dengan maksud untuk refleksi dan
bertindak ikut serta dalam menguji dunia social kita. (Ciardielo): Literasi kritis adalah
seperangkat praktek dan kompetensi warga dan kompetensi warga yang membantu pelajar
mengembangkan suatu kesadaran kritis bahwa teks menunjukan/ merepresentasikan poin
tertentu sementara sering mendiamkan/mengabaikan yang lain. (Shannon:) Literasi kritis
adalah literasi yang membawa kebebasan untuk mengeksplor dan bertindak untuk masa
terdahulu, kini dan yang akan datang. Literasi kritis dalam paper ini dimaksudkan dalam
perspektif sosiologis. Literasi kritis tidak sekedar suatu alat; literasi kritis menjadi suatu bentuk
modal budaya yang menyediakan bagi kita kesadaran kesejarahan kita (Gregory and Mary Ann
Chahil, 2009:7-8).
Penerapan pedagogi kritis melalui cara berfikir kritis dengan mendasarkan pada filosofi
pemikiran Derrida dapat dilakukan semenjak anak usia sekolah dasar. Peran bacaan-bacaan
literasi kritis adalah mempermasalahkan isu-isu kekuasaan, dominasi, mendiamkan suara-suara,
dan bukan keberadaan teksnya, mungkin dilengkapi pula dengan penelitian untuk mengerti
kompleksitas problem dan isu. Dalam studi anak usia 3 – 5 th, Vasques, menggunakan aktivitas

110
mendesain ulang pengepakan snack popular untuk mendiskusikan bagaimana bahasa bekerja
pada konsumen, untuk mendekonstruksi penggunaan bahasa dalam teks, untuk mengkonsep
ulang kegunaan bahasa dan untuk memeriksa ideology dari teks sehari-hari (Gregory and Mary
Ann Chahil, 2009:10). Contoh 2 bungkus makanan dan minuman:
Iklan dalam minuman the botol bisa dijadikan contoh cara anak belajar berfikir kritis
melalui literasi kritis akan teks-teks yang tertulis di iklan minuman ini. Anak diminta untuk
menganalisa apakah benar tulisan iklan itu ? Apa komentar tentang tulisan minuman itu ?
Bagaimana seandainya kata-kata the botol diganti dengan minuman yang lain ? Minuman apa
yang tepat menurut kesenangan kalian ? Kata-kata pertanyaan semacam ini dapat membantu
untuk merangsang berfikir bahwa ada alternative lain yang juga sangat bagus. Analisa tentang
teks minuman ini menjadi pembelajaran critical thingking, berfikir secara kritis menjadikan
dasar pemikiran dekonstruksi Derrida. Kajian dekonstruksi teks iklan the botol ini berarti
merupakan cara membaca secara kritis sehingga mampu menangkap makna dengan cara yang
berbeda bagi orang yang membacanya dan sekaligus mampu menunjukan asumsi-asumsi yang
ada di belakang sebuah teks tersebut. Asumsi-asumsi di balik teks iklan itu dapat tertangkap
misalnya supaya semua orang minum the botol. Semua orang minum the botol berarti
perusahaannya akan mendapatkan banyak keuntungan karena barang produk minumannya laris
manis terjual.

Produk makanan misalnya produk makanan Taro dan Chiki dengan model cara yang sama,
anak-anak diminta untuk mengkritisi tulisan teks yang ada pada iklan makanan tersebut.

111
Pada tingkat mahasiswa diberikan latihan literasi pada era post strukturalisme,
pemikiran berdasarkan teori kritis. Paradigma pemikiran yang melihat teks secara lebih tajam
lagi dan memberikan makna baru secara kritis atas penafsiran tersebut. Teks dipahami dan
penataan disusun ulang dengan sudut pandang yang berbeda. Dalam musik misalnya
menganalisis teks syair lagu dengan sudut pandang yang lain sehingga memiliki makna berbeda
dengan makna yang diserap oleh kebanyakan orang/kalayak (Pradoko, 2017: 9-10). Analisa
hermeneutik ini diterapkan pada konstruksi artikel media massa, syair lagu. Hasil analisia ini
akan menemukan pemikiran lain, dari perspektif yang lain pula sehingga memungkinkan
temuan yang kaya makna dan membangkitkan kesadaran hidup bersama secara multi kultural.
Salah satu contoh cara berfikir kritis melalui filosofis dekonstruksi Derrida misalnya belajar
dari analisa secara kritis lagu Indonesia Pusaka yang dilantunkan oleh Gus Mustofa Bisri
dengan iringan Piano oleh Jaya Suprana. Pada awal menyanyikan Mustofa Bisri menyanyikan
persis teks syair lagu Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki. Selanjutnya secara kritis Mustofa
Bisri menyanyikan lagi Indonesia Pusaka dengan membaca konteks Indonesia secara kini
dengan wacana kesejarahan dan kondisi sosial politik kekinian. Hasilnya adalah mengkritisi
diri mempertanyakan konteks Indonesia saat kini, beberapa hal sudah tidak sesuai dengan
konteks dalam lagu Indonesia Pusaka. In merupakan pembelajaran secara refleksif untuk
merenungkan kondisi Indonesia kini dan oto kritik ini guna membangun Indonesia masa depan
yang lebih baik. Berikut ini kritik diri dan rekonstruksi lagu versi H.Mustofa Bisri.

Syair lagu teks asli karya Ismail Marzuki:


Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Tetap dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda

112
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata.

Syair rekonstruksi lagu berdasarkan pemikiran kritis wacana kondisi Indonesia saat ini versi
K.H. Mustofa Bisri:
Indonesia air mata kita
Bahagia menjadi nestapa
Indonesia kini tiba-tiba
Slalu dihina-hina bangsa
Di sana banyak orang lupa
Dibuai kepentingan dunia
Tempat bertarung berebut kuasa
Sampai entah kapan akhirnya.

Mustofa Bisri mampu melihat dalam konteks lain apa yang dipaparkan dalam syair lagu
Indonesia Pusaka. Rakyat Indonesia belum juga memperoleh kesejahteraan sesuai yang
dicitakan saat proklamasi, maka menjadi Indonesia Airmata Kita. Ada sisi bukti-bukti lain
sehingga Indonesia masih diliputi dengan air mata. Indonesia bahkan pada era perpolitikan
yang baru lalu dinterpretasikan sebagai dihina-hina bangsa lain. Kasus perebutan hak pulau
yang kemudian Indonesia dinyatakan kalah dari Malaysia, kasus budaya maupun akuisisi lagu.
Kasus koropsi yang melanda para pejabat eksekutif dan legislative. Refleksi diri secara
pemikiran kritis dari Mustofa Bisri merupakan rekonstruksi dari hasil dekonstruksi lagu
Indonesia Pusaka karya Ismail Marzuki dalam konteks wacana kekinian.

C. Kesimpulan

Kajian dekonstruksi berarti merupakan cara membaca secara kritis sehingga mampu
menangkap makna dengan cara yang berbeda bagi orang yang membacanya dan sekaligus
mampu menunjukan asumsi-asumsi yang ada di belakang sebuah teks tersebut. Cara kritis
mendekonstruksi teks dengan mencermati pilihan kata dari pengarang yang dapat merupakan
representasi ideologis pengarang. Selanjutnya memperlakukan teks dengan konteksnya
sehingga menemukan interpretasi makna penafsiran baru melalui uraian logika yang baru.
Ideologi yang sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari, dicerna secara kritis sehingga
mencairkan ide-gagasan dasar ideologi yang mentradisi dalam masyarakatnya. Pencernaan

113
secara kritis ideology yang mentradisi dalam masyarakat melalui bahasa memungkinkan
kesadaran baru.
Berfikir kritis adalah tentang cara berfikir menghindari pendapat bodoh,
mempertanyakan semua asumsi tentang apa yang benar untuk melihat serta menganalisa latar
argument-argumen asumsi sebagai debat terbuka. Berfikir kritis menginferensikan secara hati-
hati dan menarik kesimpulan yang sesuai dan pertimbangan yang hati-hati terhadap
kepercayaan atau pengetahuan sebagai upaya untuk merunutkan dalam dasar-dasar argumentasi
yang mendukung asumsi itu dan kesimpulan lebih lanjut yang bersesuaian.
Pedagogi kritis memampukan murid dan konsekwensinya membebaskan pengetahuan
yang menindas di antara masyarakat dan membuat suara mereka di dengar oleh dunia.
Pedagogi kritis memiliki tujuan untuk memberi tahu setiap individu tentang kemunduran
politik, budaya ekonomi, lingkungan dan sosial dan meminta murid untuk mendapatkan,
menemukannya dan berfikir untuk memperoleh jalan keluar dan menangani masalah dan
merubah situasi agar setiap orang diuntungkannya.
Berfikir secara kritis dengan cara medekonstruksi wacana, teks bahasa melalui latihan-
latihan pedagogi kritis merupakan proses memanusiakan manusia. Manusia semenjak usia
sekolah dimampukan untuk latihan-latihan berfikir sekaligus berfikir secara terbuka dan kreatif
guna melihat suatu persoalan. Pedagogi literasi kritis semacam ini membuat siswa semakin
dimerdekakan dengan terbiasa menerima rasionalitas-rasionalitas dan cara pandang yang lain
dalam memecahkan suatu persoalan. Pemikiran-pemikiran hasil pendidikan literasi kritis
semacam ini menjadikan siswa memiliki habitus open minded, terbuka pemikirannya akan
masukan-masukan lain, dasar-dasar argumentasi yang lain dan yang ternyata bagus juga dan
sangat benar pula mana kala manusia menjadi terbuka dengan pemikiran-pemikiran lain
sekaligus paradigma-paradigma yang dikenakannya.

114
Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

Gregory, Anne M. and Mary Ann Cahil. 2009. “Constructing Critical Literacy: Self-reflexive
ways for curriculum and pedagogy”. Critical Literacy: Theories and Practices Vol.3
Idaho: Boise State University, USA.

Hardiman, F. Budi. 2015. Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermarcher samapai


Derrida. Yohyakarta: Penerbit Kanisius.

Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian Pemikiran Kritis Post-Strukturalis.


Yogyakarta: Penerbit P.T.Kanisius.
Pradoko, A.M.Susilo. 2017. Paradigma-paradigma Kualitatif untuk Penelitian Seni, Humaniora
dan Budaya. Yogyakarta: Charissa Publisher.

Rohman, Saifur. 2014. Dekonstruuksi Desain Penelitian dan Analisis. Yogyakarta: Penerbit
Ombak

Macmillan Dictionarry English, 2006. Macmilan English Dictionary for Advanced Leaners
International Student Edition. London: Macmillan Publishers
Rahimi, Ali and Mina Asadi Sajed. 2014. The Interplay between Critical Pedagogy and
Critical
Thingking: Theoritical ties and practicalities.Elsevier: Social and Behavioral Sciences.
WWW.sciencedirect.com

115
Arkeologi Pengetahuan Michel Foucault Sebagai Metode
Pembongkar Kajian Wacana Seni

Arkeologi Pengetahuan

Kata Archaic dalam bahasa Inggris berarti kuno atau lama maka archaeology adalah
ilmu tentang masyarakat dan kebudayaan material masa lalu, studi kebudayaan masa lalu
melalui peninggalan material yang masih ada (Flatman, 2011:8). Kamus Inggris Indonesia
menyebut sebagai ilmu purbakala (Echols dan Hassan Shadily, 2010:36). Istilah arkeologi yang
dipergunakan oleh Michel Foucault dalam bukunya The Archaeology of Knowledge atau dalam
bahasa Perancis L‟Archeology du Savoir bukan merujuk pada ilmu tentang objek material
masyarakat dan kebudayaan masa lalu. Istilah ini digunakan Foucault hanya untuk menunjukan
proses penggalian/ekskavasi, penggaliannya bukan pula penggalian objek kebudayaan material
masyarakat lampau namun penggalian terhadap ilmu pengetahuan, maka Michel Foucault
memilih perpaduan kata arkeologi pengetahuan. Penggalian ilmu pengetahuan melalui jejak-
jejak masa lampau, penggalian jejak dimaksudkan untuk mengungkap latar belakang wacana
masa lampau maupun wacana yang sudah beredar dalam masyarakat.

Ilmu sejarah konvensional bersifat kontinyu, seolah terjadi berkesinambungan dari


generasi menuju generasi berikutnya, ada urutan secara linear berdasarkan tahun demi tahun
urutan kejadian. Michel Foucault berpendapat bahwa sejarah bukanlah merupakan suatu
kejadian berkesinambungan secara kontinyu namun sejarah semestinya digali dan dilihat
sebagai patahan-patahan, selaan-selaan, pergerakan dan pengubah bentukan sehingga
membentuk unit-unit yang perlu dianalisis. Penataan kembali berdasarkan informasi dokumen,
menyusun kembali dengan melacak hal-hal yang tersembunyi di masa lalu tempat peristiwa
yang disaksikan dokumen tersebut terjadi.

Tugas sejarah adalah mencoba mengorganisir dokumen, memilah, membagi-bagi,


menyusun dan menatanya menjadi level-level tertentu membentuk serialnya, mencari mana
yang relevan dan mana yang tidak, menemukan elemen-elemen penting yang dimilikinya,
menjelaskan kesatuan yang ada di dalamnya dan mencoba menemukan relasi-relasi yang
terdapat dalam dokumen tersebut (Foucault, 2012: 22).

116
Arkeologi (dalam pengertian ilmu) yang selama ini mempelajari objek benda-benda
jejak peninggalan masyarakat masa lalu, kebudayaan materi atau dalam bahasa inggris
mempelajari material culture, disamping itu juga mampelajari kehidupan budaya masyarakat
masa lalu tersebut. Materi hasil karya manusia yang tampak nyata secara fisik, objek kelihatan
secara kasat mata dalam arena tertentu merupakan kebudayaan tangible. Hasil seni kerajinan,
lukisan, patung, dokumen sastra, prasasti, warisan peninggalan material, dokumen-partitur
musik, peralatan musik/tari termasuk di dalam kebudayaan tangible ini. Kebudayaan materi
tangible selain dipelajari bentuknya yang mencakup ukuran benda itu, warna benda itu, materi
bahan untuk membuat benda itu, komposisi benda itu, juga dipelajari hubungan benda itu
dengan manusia tatkala benda itu digunakan dalam interaksi sosial masyarakat. Ian Woodward
mengungkapkan sebagai berikut : “Material culture is no longer the sole concern of museum
scholars and archeologist-resercher from a wide range of fields have now colonized study of
object. …. Material culture studies can provide a useful vehicle for synthesis of macro and
micro or structural and interpretative approach in the social sciences“ (Woodward, 2007:4).
Objek menjadi tidak sekedar dipelajari oleh akademisi museum ataupun para arkeolog namun
berkembang menjadi studi kebudayaan materi karena menyangkut berbagai aspek produksi
objek konsumsi yang menjadi budaya personal, perilaku manusia karena objek itu, maupun
objek yang mereproduksi struktur sosial.

Michel Foucault menyatakan gagasan baru di mana arkeologi tidak hanya berperan
dalam ekskavasi kebudayaan material masa lalu saja namun menggali pula asal-usul pemikiran
dan landasan pemikiran di balik sumber arsip yang tersedia sehingga mampu menguraikan
pengetahuan masa yang telah berlalu menjadi unit-unit analisa hingga akhirnya menemukan
bagian-bagian landasan pemikiran yang menjadikan patahan-patahan selaan terhadap kejadian
sejarah, dan membentuk transformasi, maka Foucault menyatakan bahwa sejarah merupakan
kronologi yang bersifat diskontinyu. Michel Foucault dalam bukunya The Archaeology of
Knowledge menuliskan sebagai berikut:
“There was a time when archaeology, as a discipline devoted to silent
monuments, inert traces, objects without context, and things left by the past,
aspired to the condition of history, and attained meaning only through the
restitution of a historical discourse; it might be said, to play on words of little that
in our time history aspires to the condition of archaeology, to the intrinsic
description of monument” (Foucault, 1972:7).

117
Terjemahan:

“Inilah saatnya ketika arkeologi, sebagai sebuah disiplin yang bersentuhan


dengan monument-monumen diam, jejak-jejak tak berdaya, objek-objek tanpa
konteks, dan barang-barang yang ditinggalkan masa lalu, berkeinginan untuk
kondisi sejarah, dan memperoleh makna hanya melalui pemulihan dari
wacana/diskursus sejarah; dengan kata lain, pada waktu kita kini sejarah
berkeinginan untuk kondisi seperti yang dialami (ilmu) arkeologi, yakni
mendeskripsikan secara intrinsik monument “ (Foucault, 1972:7).

Ilmu sejarah menurut Foucault dipelajari seperti mempelajari ilmu arkeologi yakni
melalui jejak kebudayaan material dan arsip-arsip yang ada dan dibentuk kembali melalui
analisa wacana, dengan cara demikian maka arkeologi pengetahuan dibalik kejadian sejarah
dapat diungkapkan. Sistem wacana merupakan proses cara menghasilkan episteme, episteme
merupakan sebuah proses panjang penentuan pengetahuan dan disiplin berfikir manusia oleh
rezim wacana dan kebenaran. Episteme itu bukanlah bentuk pengetahuan atau tipe rasionalitas,
melainkan relasi total yang dapat ditemukan dalam masing-masing periode antara ilmu
pengetahuan ketika menganalisis pada level wacana. Wacana tidak hanya sebatas kumpulan
ujaran yang menyusun sebuah tema. Tidak pula sebagai seperangkat ujaran dengan latar
belakang tertentu, tetapi wacana merupakan kumpulan ujaran atau kalimat beraturan yang dapat
membahasakan sebuah kebenaran (Kali, 2013:2).

Wacana

Perubahan sistem pola pikir masyarakat dipengaruhi oleh wacana yang berkembang
atau dikembangkan oleh struktur ideologi dominan ataupun relasi dengan struktur masyarakat
sub dominan. Wacana yang dikembangkan dalam masyarakat mampu mempengaruhi nilai
benda budaya sehingga menjadi sangat dihargai, direndahkan maupun dipertukarkan. Arti
benda material bukan semata-mata bebas namun dibentuk melalui wacana atas pengaruh
kekuasaan. Ian Hodder dalam menjelaskan “Social” mengutip pendapat Foucault sebagai
berikut:
“Dalam bentuk lain post structuralisme dipengaruhi oleh Foucault (1979),
fokusnya adalah pada bentuk kuasa yang mempertahankan bentuk-bentuk tertentu
pengetahuan dan regim kebenaran, Foucault secara radikal menentang aktor subjek
yang dipandang sebagai tertangkap dalam jaring kekuasaan/pengetahuan. Makna

118
teks atau budaya material terletak dalam wacana. Dengan wacana maksud saya,
bentuk pengetahuan tertentu yang secara historis dihasilkan dalam hubungan
tertentu kekuasaan. Dengan demikian pengetahuan dan makna selalu berada dan
selalu sosial. Arti bukan sekedar arti. Arti itu selalu bagi sesuatu dan seseorang”
(Hodder, 2004:30). .

Wacana pengetahuan terjadi akibat berbagai moda kekuasaan termasuk di dalamnya seni
pertunjukan dapat ditelusuri melalui studi sejarah masa lalu yang dititik beratkan pada objek
serta artikel-artikel yang tersisa pada masa lalu adalah merupakan monumen diam. Kata arkeo
berasal dari bahasa Yunani arche, yang berarti permulaan dan mengandung arti pula jejak yang
ditinggalkan kebudayaan dalam sejarah. Gagasan Foucault, kata arche juga membuat kita
berfikir pada saat sekarang sebagai lapisan atas dari jenis penggalian arkeologi. Seseorang
menggali melalui sejarah untuk mengerti kehadiran kini, dan mengerti bagaimana kita saat ini
(Farrel, 2005:64). Wacana mengkonstruksi definisi dan produk objek pengetahuan dengan cara
yang dimengerti sementara mengeluarkan bentuk lain penalaran yang sulit dimengerti. Konsep
wacana di tangan Foucault melibatkan produksi pengetahuan melalui bahasa. Artinya, wacana
memberi makna pada objek materi dan praktik sosial (Barker, 2008:90).
Keilmuan dibangun dengan konteks kekuasaan sehingga kelompok dominan menjadi
penentu arah proses kebenaran keilmuan. Salah satu jasa Foucault adalah bahwa penelitian-
penelitiannya mampu membuat orang memikirkan ulang landasan-landasan keilmuan sosial-
kemanusiaan. Salah satu hasil penelitiannya ia tuangkan dalam The Order of Things: An
Archaeology of the Human Sciences. Melalui penelitian ini, Foucault membuat banyak orang
tidak terlalu optimis lagi dengan ilmu. Wacana kolonial/post-kolonial sebagaimana dirintis oleh
Edward Said, untuk pertama kalinya dalam sejarah, “omongan” orang Barat tentang Timur
dipersoalkan oleh Edward Said secara sistematis (Sunardi, 2012:224).

Wacana merupakan produk pengetahuan, sebagai suatu bentuk pengetahuan yang


mengatur dan meregulasi cara praktik sosial-kemasyarakatan dibicarakan, pengetahuan tidaklah
bebas murni sebagai pengetahuan namun ada pengaruh kekuasaan (Rabinow, 2002:9). Wacana
yang dipahami Foucault sebagai penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran
tentang orang, pengetahuan, dan sistem abstrrak pemikiran manusia, menurut Foucault tidak
lepas dari relasi kuasa. Wacana selalu bersumber dari pihak yang memiliki kekuasaan dan dari
mereka yang memiliki pemikiran kreatif. Hal ini memungkinkan mereka untuk membangkitkan

119
relasi kekuasaan dan pengetahuan dalam suatu sistem sosial, dan kemudian dengan berpijak
pada tautan relasi tersebut mereka mampu memproduksi wacana yang kebenarannya bisa
diakui dan bertahan pada suatu rentang historis tertentu (Kali, 2013:3). Relasi antara produk
pengetahuan yang mengatur dan meregulasi masyarakat dengan kekuasaan tidak dengan mudah
tampak namun perlu kajian analisis peristiwa serta pernyataan-pernyataan yang muncul,
dilanjutkan dengan menganalisis secara kritis sebab-akibat mengapa pernyataan semacam itu
dimunculkan.
Teknis Analisa Wacana

Genealogi Foucault adalah semacam sejarah yang melukiskan pembentukan macam-


macam pengetahuan, wacana, objek-objeknya. Sejarah ini tidak memburu makna berdasarkan
kontinuitas kausal yang mengarah kepada suatu telos. Genealogi justru merupakan pemutusan
(rupture) kontinuitas sejarah, yang oleh Gadamer disebut wirkungsgeschicte (sejarah efektif).
Sejarah bagi Foucault adalah sejarah tanpa subjek historis yaitu sejarahwan atau masyarakat
pengingatnya, pemutusan, penghapusan subjek itu sendiri karena subjektivitas hanya
menggiring pada dominasi (Hardiman, 2003:186; Kali, 2013:39). Genealogi sebagai pencarian
asal-usul, silsilah pengetahuan, genealogi berupaya menggali kedalaman episteme dan berusaha
sedapat mungkin meletakkan dasar kebenaran pada masing-masing episteme di setiap masa
(Kali, 2013:39).

Arkeologi pengetahuan Foucault merupakan buku yang menjelaskan bagaimana cara


mengurai sejarah melalui segala arsip dan jejak masa lalu. Arsip jejak masa lalu di analisa
melalui sistem wacana, sistem wacana bagi Foucault selalu ada pengaruh kekuasaan. Agar
mampu menganalisa secara jernih maka analisa dilakukan tanpa pelibatan unsur subjek
masyarakat pengingatnya. Teknis analisa dengan melakukan genealogi, yaitu melakukan
penelusuran dan pemilah-milahan asal-usul dasar pemikiran yang melandasinya melalui unit-
unit analisa wacana yang ditemukan melalui berbagai penelusuran arsip tersebut, dengan
demikian terbentuklah sejarah yang bersifat diskontinyu karena ada selaan-selaan episteme
tersendiri yang dapat membentuk transformasi tersendiri pada masing-masing periode secara
mendalam.

120
Terapan Analisis Wacana Genealogi Foucauldian

Pengungkapan sejarah secara kontinyuitas, seolah kejadian sambung-menyambung dari


tahun ke tahun berikutnya, seolah ada satu tujuan yaitu masa paling terakhir. Sejarah dibaca
secara kontinyu itu misalnya diceritakan bahwa pada zaman klasik awal tahun 900 Masehi
muncul kerajaan besar Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra yang berpusat di Sumatra,
sedangkan di Jawa muncul wangsa Sanjaya. Pada tahun 900 M sampai dengan tahun 1250 M
Kerajaan di Jawa Tengah menghilang digantikan dengan kerajaan baru di Jawa Timur, di
Sumatera kerajaan Sriwijaya digantikan oleh kerajaan Melayu dan kerajaan-kerajaan kecil.
Pada tahun 1250 sampai tahun 1500 M Kerajaan Singasari mempersatukan sebagian besar
kerajaan di Jawa Timur, selanjutnya Singasari digantikan oleh Majapahit yang menjadi
kerajaan terbesar di dalam sejarah Indonesia Kuno, bekas wilayah kerajaan Sriwijaya termasuk
kekuasaan Majapahit. Pada tahun 1500 M hingga tahun 1600 M, kerajaan-kerajaan baru
muncul di pantai utara Jawa seperti Demak, Banten dan Cirebon, kerajaan Majapahit
menghilang sekitar tahun 1527, selanjutnya muncul kembali kerajaan kuat di Jawa Tengah
yaitu kerajaan Mataram.

Sejarah dalam arkeologi pengetahuan dianalisa melalui penelusuran sistem wacana


sehingga memunculkan episteme dalam berbagai selaan-selaan periode secara lebih mendalam.
Sebegitu banyak aspek dalam kajian sejarah terlebih kronologi dari tahun 900 M hingga tahun
1500 M. Pada contoh terapan dalam tulisan ini akan mengambil contoh objek kajiannya adalah
kebudayaan material berupa Relief Ramayana di Candi Prambanan dari tahun 856 Masehi
hingga tahun 1996 atau abad IX hingga abad XX.

Wacan menurut Foucault dipengaruhi oleh kuasa, untuk itu dalam uraian ini tahun 856
hingga tahun 1998 dibagi menjadi empat periode pengaruh kuasa yaitu masa Hindu-Budha
tahun 856 M hingga tahun 1478, masa Islam tahun 1478 hingga tahun 1817 (saat Raffles
menemukan Candi Prambanan), masa Kolonial pada tahun 1817 hingga tahun 1945 dan masa
Kemerdekaan, tahun 1945 hingga tahun 1998 (tahun Presiden Soeharto mundur dari Presiden
R.I.), dalam hal ini masa kemerdekaaan sewaktu Presiden Soekarno dan dilanjutkan Presiden
Soeharto.

121
Masa Pengaruh Kuasa Hindu (856 M – 1478 M)

Pada masa Hindu, wacana Ramayana diambil dari Kisah Epos Ramayana
Rajagopalachari dan Ramayana Jawa Kuno oleh Poerbatjaraka, petikan kalimat-kalimatnya
tidak dikutip dalam tulisan ini sebab ruang yang terbatas, pada ulasan ini akan diambil inti sari
wacana yang disampaikan dalam Kisah Epos Ramayana tersebut. Pada relief awal epos
Ramayana digambarkan Dasarata mengadakan korban persembahan kepada Dewa. Ia adalah
seorang raja yang berbudi luhur, baik hati serta memperhatikan rakyatnya sehingga
kerajaaannya tenteram, damai, dan bahagia seluruh rakyatnya. Dasarata memiliki putra Rama
yang merupakan titisan Dewa Wisnu. Tokoh Rama memiliki sifat-sifat yang patut dicontoh
bagi manusia, ia seorang yang sangat bertanggung jawab dalam tata kehidupannya. Seorang
yang luhur dan baik budi, walaupun seorang putra mahkota namun dia merelakan tahta
kerajaan dan bersedia menjalankan sumpah ayahnya untuk melakukan pengasingan di hutan,
contoh seorang pemimpin yang tidak memikirkan materi duniawi namun lebih pada tanggung
jawab moral dan kegigihannya menjalankan keteladanan spiritual.

Sinta merupakan contoh seorang wanita yang menjaga kesetiaannya serta kesuciannya
untuk berteguh menantikan suaminya walaupun mengalami berbagai godaan dan rayuan serta
janji Rahwana. Lesmana merupakan contoh bagi manusia untuk mengasihi saudara tuanya
secara total dengan segenap pengabdian dan dedikasinya hanya untuk memperjuangkan
dharmanya kepada kakaknya Rama. Tokoh Hanoman sebagai contoh bagi manusia untuk
mengabdikan diri kepada tuannya secara total, sebagai pengabdi Negara, apapun tugas yang
diberikan selalu dilaksanakan sebaik mungkin sebab dengan demikian dia memiliki dharma
yang baik bagi majikan sekaligus pengabdian bagi Negara.

Tokoh antagonis sebagai pelajaran bagi masyarakat pendukungnya bahwa perbuatan-


perbuatan keserakahan, perbuatan tidak beretika akan membuahkan mala petaka baginya.
Rahwana merupakan tokoh yang serakah, sudah diberi kekuatan oleh Dewa namun malah
kekuatannya untuk menggangu jagad raya dunia sehingga kehidupan dewa-dewa maupun
manusia terganggu, namun kemurkaan Rahwana akhirnya dapat dikalahkan. Kombakarna
merupakan tokoh pendukung antagonis, seorang yang baik dan taat kepada Negara dan

122
kakaknya, namun akhirnya meninggal, hal ini memberikan pelajaran bahwa bila kebijakan
Negara salah yang menanggung mala petaka juga para pembesar dan rakyatnya.

Tujuan kisah Ramayana adalah kelahiran kembali yang lebih baik dalam siklus karma
(kompensasi moral) dan samsara (transmigrasi), atau pada akhirnya pembebasan (moksa) dari
khayalan eksistensi individu. Kebebasan ini dianggap untuk menemani realisasi kebenaran
spiritual diri seseorang (atman) sebagai Brahman, realitas tertinggi (Hindery, 1976:2).
Pengabdian kepada Dewa, persembahan kepada para Dewa serta perilaku-perilaku yang baik di
dunia ini akan memberikan moksa, keadaan indah menyatu bersama Sang Dewa tertinggi di
Nirwana. Inilah epik Ramayana yang mengajarkan nilai-nilai moral bagi pengikutnya serta
nilai-nilai religi yang seharusnya dikerjakan kepada Dewa, sesama, lingkungan alam, maupun
terhadap Negara.

Pada masa Hindu ini para tokoh-tokoh dalam cerita Ramayana merupakan contoh
teladan kepada pemeluknya untuk berbuat baik sesuai teladan para tokoh-tokoh itu. Pada masa
ini belum ada perubahan makna yang signifikan dalam sistem sekunder, masih pada sistem
primer denotative ajaran kepribadian para tokohnya. Tokoh Dasarata merupakan contoh
seorang raja yang baik, memperhatikan rakyatnya serta setia dalam berdoa kepada sang
dewanya. Tokoh Rama, seorang yang pemaaf, membela dunia, rela berkorban untuk kebaikan
dunia. Tokoh Hanoman adalah contoh seorang, mahluk (sebab dia kera) yang selalu berbakti
kepada Negara dan rela mengorbankan nyawa demi memperjuangkan kebaikan. Tokoh Sinta,
selalu mempertahankan kesucian seorang wanita, seorang yang setia kepada suami. Tokoh
Lesmana, rela berkorban untuk saudara tuanya sebab tahu kakaknya menjalankan hal-hal yang
baik dan benar. Tokoh Wibisana, adalah seorang yang mengerti kebaikan dan membela siapa
yang benar. Tokoh Rahwana adalah tokoh simbol keserakahan duniawi dan kesewenang-
wenangan atas kekuasaannya. Tokoh Kombakarna adalah contoh seorang yang membela
Negara walaupun Negaranya dalam kaadaan bersalah dan Kombakarna menyadari hal itu.

Makna kisah epik Ramayana secara denotatif merupakan perwujudan alur cerita yang
berjalin membentuk cerita kepahlawanan. Makna cerita konotatif merupakan ajaran bagi
pemeluknya serta bagi umat manusia untuk dapat mencontoh peran-peran yang baik guna
diterapkan dalam hidup manusia. Para tokoh-tokoh dalam Ramayana menjadi contoh seseorang

123
untuk berperilaku yang baik, merupakan contoh pendidikan karakter untuk berperilaku baik
bagi pemeluk agama Hindu pada waktu itu sehingga akhirnya orang mampu mencapai moksa di
Nirwana. Penghayatan akan kisah Ramayana, mampu membangkitkan semangat orang untuk
betul-betul mewujudkan ajaran budi pekerti luhur yang sangat baik untuk dilakukan dalam
kehidupan realitas sehari-hari.

Masa Pengaruh Kuasa Islam

Tokoh Rama dalam periode Hindu adalah titisan dewa Wisnu, sementara Wisnu adalah
salah satu wujud Siwa, jadi Rama adalah salah satu wujud Dewa Siwa juga. Pada periode
pengaruh kuasa Islam maka Wisnu ini menjadi bukan salah satu wujud Siwa namun merupakan
anak keturunan Adam, dengan demikian Rama adalah sungguh-sungguh manusia karena
keturunan Adam. J.J. Ras dalam Babad Tanah Djawi De prozaversie van Ngabehi Kertapradja
menuliskan tentang sejarah para raja di Jawa sebagai berikut:
“Poenika sedjarahipoen para ratoe ing tanah Djawi, wiwit saking nabi
Adam, apepoetra Sis. Esis apepoetra Noertjahja. Noertjahja apepoetra Noerasa.
Noerasa apepoetra sanghyang Wening, Sanghyang Wening apepoetra sangyang
Toenggal. Sanghyang Toenggal apepoetra betara Goeroe. Betara Goeroe apepoetra
gangsal, anama batara Sambo, betara Brama, betara Maha-Dewa, batara Wisnoe,
dewi Sri. Batara Wisnoe waoe djumeneng ratoe wonten ing poelo Djawi,
adjedjoeloek prabu Set. Batara Goeroe waoe kagoengan sengkeran poetry ajoe ing
negari Mendang. Karsanipoen, bade kainggahaken ing swarga sarta kadamel
garwa. Anoeten betara Wisnoe panoedjoe saweg pepara, kapentjoet ningali poetry
ing Medang waoe, mboten soemerep bilih sampoen kasengker dating ingkang rama;
ladjeng kapendet garwa. Poenika sanget ndadosaken doekanipoen betara Goeroe.
Sanghyang Narada ladjeng kaoetoes ndawahakaen dedoeka dating batara Wisnoe,
sarta ngloengsoer keratonipoen. Batara Wisnoe noenten kesah saking ing nagari,
atapa dateng wana, wonten sangandap ing oewit wringin djedjer pitoe. Ingkang
garwa poetry ing Mendang waoe dipoentilar” (Ras, 1987:7).

Terjemahan:

“Ini sejarahnya para raja di tanah Jawa, mulai dari Nabi Adam, berputera
Sis. Sis berputera Nurcahyo. Nurcahyo berputera Nuroso. Nurroso berputera
sanghyang wening, Sanghyang Wening berputera sanghyang tunggal. Sanghyang
Tunggal berputra betara Guru. Betara Guru berputera lima dengan nama betara
Sumbo, betara Bromo, betara Maha-Dewa, betara Wisnu, dewi Sri. Betara Wisnu
menjadi rajandi Pulau Jawa, dengan julukan Prabu Set. Betara Guru tadi memiliki
simpanan putrid cantik di negeri Medang. Kehendaknya akan ditinggikan ke surga

124
dan dijadikan istrinya. Kemudian betara Wisnu sedang bepergian, jatuh cinta
melihat putri di Medang itu, tidak tahu kalau sudah diincar ayahnya, lalu
diperisteri. Hal ini sangat membuat kemarahan betara Guru. Sanghyang Narada lalu
disuruh marah kepada betara Wisnu, serta melengserkan kerajaannya. Betara Wisnu
kemudian pergi dari Negeri, bertapa di hutan, di bawah pohon beringin berjajar
tujuh. Isterinya putri di Medang itu ditinggalkan” (Ras, 1987:7).

Dalam babad ini, Wisnu (yang dalam kisah Ramayana menjelma/inkarnasi berujud
Rama) diceritakan sebagai anak dari betara Guru sedangkan betara Guru adalah keturunan ke
enam dari nabi Adam. Betara Guru memiliki simpanan yang dicintai yaitu putri cantik dari
Mendang. Wisnu sebagai anak betara Guru tidak tahu lalu putri Mendang tersebut diperistri.
Betara Guru marah dan meminta Sanghyang Narada untuk menasehati dan melengserkan
sebagai raja. Batara Wisnu akhirnya pergi dari kerajaannya dan bertapa di bawah pohon
beringin berjajar tujuh, istrinya putri Mendang ditinggalkan. Pada kisah babad ini posisi Wisnu
adalah anak keturunan nabi Adam. Ia pergi bertapa di hutan, di pohon beringin berjajar tujuh
karena kesalahannya terhadap ayahnya Betara Guru.
Stutterheim menyatakan bahwa cerita Rama ada pengaruh Islam dalam Serat Kanda,
Willem Stutterheim menuliskan sebagai berikut:
“Yet another factor has contributed to the fact that the whole has a confuse
look: the influence of Islam. In the thrird canto, we learn that the names of Guru‟s
(Siva‟s) children are: Brama, Cakra Kusuma, Visnu, Basuki, Yamadipati,
Gunakumara, and Sewah. In itself this family is remarkable enough, but we
completely lose the groung from under our feet when we read that Guru is the Child
of Nurasa, The son of Nurcahyo, the son of Sis, the son of Nabi Adam. Luckily the
interpolation can clearly seen to be Mohammedan. It has been attempted to give the
Hind gods an Islamic genealogy. Ashort of flag flurrering above the actual crate.
After Noah‟s flood, whereby these Hindu gods are saved by devil Mani Maya, the
story continues almost completetly with figures from the Hindu pantheon and the
Islamic influence is restrivted to certain figures not connected with each other, for
instance, Nabi Adam in the case of Rahvana. But as far as Rama Legend is
concerned, the Islamic influence is without any importance” (Stutterheim, 1989:71).

Terjemahan ;

“Namun faktor lain telah memberikan kontribusi terhadap fakta bahwa


secara keseluruhan tampak membingungkan: pengaruh Islam. Dalam Pupuh ketiga,
kita belajar bahwa nama anak-anak Guru (Siva) adalah: Brama, Cakra Kusuma,
Visnu, Basuki, Yamadipati, Gunakumara, dan Sewah. Dalam diri keluarga ini cukup
mengagumkan, tapi kami benar-benar kehilangan dasar pijakan ketika kita membaca
bahwa Guru adalah Anak Nur Roso, anak Nur Cahyo, anak Sis, anak Nabi Adam.

125
Untungnya penyisipan dapat tampak jelas menjadi Mohamadan. Usaha untuk
memberikan para dewa Hindu menjadi silsilah Islam cara singkat mengibarkan
bendera di atas peti yang sebenarnya. Setelah banjir Nuh, dimana dewa-dewa Hindu
diselamatkan oleh iblis Mani Maya, cerita berlanjut hampir secara lengkap dengan
tokoh-tokoh dari dewa Hindu dan pengaruh Islam dibatasi pada tokoh-tokoh tertentu
tidak berhubungan satu sama lain, misalnya, Adam, dalam kasus Rahvana. Tapi
sejauh perhatian Legenda Rama terkini, pengaruh Islam tanpa penting” (Stutterheim,
1989:71).

Mitologi Rama dalam masa pengaruh Islam diciptakan untuk mempengaruhi wacana
kuasa pemerintahan Jawa. Stutterheim dalam Disertasinya mengungkapkan sebagai berikut:
“ … the Rama Legend occurs on the Serat Kanda as a historical episode or
perhaps better as historical elements. The work begin with the story of Nabi Adam
in Mekah, with the story of his son Abil and Kabil, with the story of Satan Idajil who
also calls Manik Maya and the direct descendants of Nabi Adam. After that there
follows a strange mixture of Islam and Hindu figures such as Nabi Nuh (Noah),
Devi Uma, San Hyan Bayu (Vayu). After the Great Flood from which the Satan
Idajil manages to escape by slipping into Noah‟s Arc. Then follow the birth of Visnu
and Basuki (Vasuki) which introduces a detailed mythology and thereby the Islamic
figuresrecede into background. This mythology is then the bridge to the genealogy
of the mythical Javanese relers” (Stutterheim, 1989: 52).

Terjemahan :

“… Rama Legenda terjadi pada Serat Kanda sebagai episode sejarah atau
mungkin lebih baik sebagai elemen sejarah. Pekerjaan dimulai dengan kisah Nabi
Adam di Mekah, dengan kisah anaknya Abil dan Kabil, dengan kisah Setan Idajil
yang juga menyebut Manik Maya dan keturunan langsung dari Nabi Adam. Setelah
itu ada berikut campuran aneh Islam dan tokoh-tokoh Hindu seperti Nabi Nuh
(Noah), Devi Uma, San Hyan Bayu (Vayu). Setelah Banjir Besar dari mana Setan
Idajil berhasil melarikan diri dengan menyelipkan ke perahu Nuh. Kemudian berikut
kelahiran Visnu dan Basuki (Vasuki) yang memperkenalkan mitologi secara rinci
dan dengan demikian tokoh Islam mundur menjadi latar belakang. Mitologi ini
menjadi jembatan ke silsilah para penguasa Jawa yang bersifat mitos” (Stutterheim,
1989:52)

Tokoh Rama dalam periode Hindu adalah titisan dewa Wisnu, sementara Wisnu adalah
salah satu wujud Siwa, jadi Rama adalah salah satu wujud Dewa Siwa juga. Pada periode
pengaruh kuasa Islam maka Wisnu bukan salah satu wujud Siwa namun merupakan anak
keturunan Adam, dengan demikian Rama adalah seorang manusia yang menjadi raja, maka
disebut pula kisah Sri Rama, Sri berarti Raja. Rama adalah manusia biasa keturunan Nabi

126
Adam, oleh sebab itu tidak perlu disembah maupun dipuja sebab yang disembah dan
dimuliakan adalah Allah.

C.A. van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan membagi tahapan


kebudayaan menjadi tiga tahap yaitu tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap fungsional.
Tahap ontologis ialah sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan
mitis, melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia mulai
menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan
mengenai segala sesuatu menurut perinciannya/ilmu-ilmu (van Peursen, 1988:18).
Pemikiran tahapan ontologis menurut van Peursen ini bersesuaian dengan paradigma
pemikiran masa Islam. Pemikiran masa ini menjadi lebih jelas memisahkan antara subjek
(manusia) dengan kungkungan kekuasaan alam, di sini berjumpa dengan suatu agama yang
mengharamkan patung-patung dan yang berhasil mengembangkan suatu ontologi yang maju
sekali, baik dalam bidang teologi maupun dalam bidang filsafat, lengkap dengan bukti-bukti
mengenai adanya Tuhan. Allah ialah Tuhan yang bersemayam di luar dan di atas jangkauan
manusia dan alam, Ialah yang serba transenden (van Peursen, 1988:60).
Masa Pengaruh Kuasa Kolonial (1817 M – 1945 M)

Pada masa Kolonial, awal abad ke-19 hingga akhir abad ke-19 merupakan masa
berkembangnya pemikiran rasionalitas ilmiah dengan menggunakan pemikiran rasionalitas
fisika dan ilmu pengetahuan alam. Orang yang rasional mengikuti ilmu pengetahuan, hingga
muncul ajaran Positivisme Logis, yang menyatakan bahwa semua pernyataan yang tidak
bersifat matematis atau dapat diperlihatkan secara empiris maka tidak bersifat rasional (Suseno,
2005:17). Pada masa ini, bila meminjam model tahapan kebudayaannya C.A. van Peuren adalah
pada tahapan kebudayaan Ontologi, manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang
dulu dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai hakekat
segala sesuatu (ontologi) dan mengenai segala sesuatu menurut perinciannya (van Peursen,
1988:18).

Pemikiran-pemikiran rasionalitas ilmiah itulah yang mendasari pada masa Kolonial ini
Candi Siwa Prambanan menjadi objek penelitian, para peneliti ingin mengungkap seluk beluk
candi tersebut secara ilmiah, untuk itu pada masa ini melakukan penelitian arkeologis dengan

127
metode-metode ilmiah yang saat itu bertepatan dengan perkembangan ilmu arkeologi di
Belanda dan di Eropa pada umumnya. Para peneliti tidak terimbas dengan cerita-cerita mitos
baik zaman Hindu maupun zaman Islam, pemikiran rasional inilah yang membuat para peneliti
tidak ragu-ragu memperlakukan candi, bahwa candi tidak lagi dianggap tempat angker maupun
arca-arca sebagai dewa-dewi. Reruntuhan Candi Prambanan dianggap sebagai objek penelitian,
sedangkan peneliti adalah sebagai subjeknya, maka ada pemisahan antara dirinya sebagai
subjek dan alam lingkungannya sebagai objek materi penelitian rasionalitas ilmiah; subjek
tidak lagi terkungkung oleh kekuasaan alam sebagaimana dengan tahapan mitos yang
merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya (van Peursen, 1988:18).

Pada masa ini relief Ramayana sudah dijadikan objek penelitian disertasi di Universitas
Leiden pada tahun 1924. Penelitian dilakukan oleh Willem Stutterheim dengan judul Rama –
Legenden Und Rama – Reliefs in Indonesien, pada tahun 1989 diterjemahkan dalam bahasa
Inggris oleh C.D. Paliwal dan R.P. Jain dengan judul Rama – Legends and Rama – Reliefs in
Indonesia. Sebelum diteliti oleh Stutterheim relief Rama Prambanan ini telah diteliti oleh
J.P.H. Vogel, metode Vogel dengan melihat teks klasik Walmiki kemudian membandingkan
dengan sejumlah teks yang berbeda serta melihat persepadanan antara teks-teks dan relief
Rama Candi Prambanan. Tulisan Vogel ini diterbitkan pada tahun 1921 dengan judul “Het
eerste Rama relief van Prambanan“ dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-,en Volkenkunde 77
(1921): 202-215 (Jordaan, 2009:183).

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1896 memberikan arca-arca Buddha Borobudur
dan beberapa relief dari Candi Prambanan kepada Raja Siam, Chulangkorn II, Jordaan
menuliskan sebagai berikut:
“…sang raja diperbolehkan memindahkan ke Siam tidak kurang dari delapan
kereta lembu jantan yang diisi penuh dengan arca dan relief. Diantaranya ada
sejumlah arca Buddha unik dari Borobudur dan beberapa relief dari Prambanan”
(Jordaan, 2009:20).

Pada waktu pemugaran Candi Prambanan, berkat jasa diplomasi P.V. van Stein dan
George Coedes maka relief Candi Prambanan tersebut dikembalikan pada tahun 1926,
Bloembergen menuliskan sebagai berikut:

128
“ Prince Damrong as becomes clear from his official report, agreed with the return of
three relief of the Prambanan complex, depicting fragments of Ramayana story ( which he
referred to as Ramakien, the Siamese derivation of the Ramayana), in exchange for three
alternative antiquities, proposed by the Netherlands Indies‟ Archaeological Service”
(Bloembergen, 2013: 903).

Terjemahan:

“Pangeran Damrong setelah menjadi jelas dari laporan pegawainya, setuju dengan
kembalinya tiga relief kompleks Prambanan, yang menggambarkan fragmen dari cerita
Ramayana (yang ia disebut sebagai Ramakien, derivasi Siam Ramayana), dalam pertukaran
untuk tiga barang antik alternatif, diusulkan oleh Hindia Belanda 'Layanan Arkeologi “
(Bloembergen, 2013:903).

Relief Ramayana pada masa ini selain menjadi objek penelitian secara rasional empiris
juga dipergunakan sebagai benda kenang-kenangan, gift, sarana diplomasi antar Negara.
Masa Kemerdekaan

Candi Prambanan menunjukan kemampuan yang luar biasa, kemampuan yang tinggi
yang dicapai leluhur dan merupakan monumen bangsa guna kemajuan untuk masa yang akan
datang. Marieke Bloembergen mendiskripsikan pidato Bung Karno sebagai berikut:
“ After speeches by Soekmono (…). Van Romondt and Yamin, P)resident
Soekarno had the final word. He presented the Siwa temple emphatically as a
national monument. Prambanan like Borobudur and other sites around
Yogyakarta, had stiired deep admiration in him- allegedly the age of 9 – for the
great skill and achievements of his Indeonesian ancestors an even then he was
filled with feelings of national pride. In the new era of independence, these
monuments should be an inspiration to Indonesians to rise from their modest
present, and build up an equally magnificent Indonesian Future” (Bloembergen M
dan Martijn E, 2011: 410).

Terjemahan:

“ Setelah pembicara Soekmono, Van Romondt dan Yamin, President


Soekarno memberikan kata kunci akhir. Ia mengungkapkan Candi Siwa
menakjubkan sebagai monument nasional. Prambanan seperti Borobudur dan situs
lainnya di sekitar Yogyakarta, telah membangkitkan kekaguman yang mendalam
dalam dirinya-diduga usia abad 9 - untuk keahlian keterampilan dan prestasi nenek
moyang Indonesia bahkan kemudian dipenuhi dengan perasaan kebanggaan

129
nasional. Dalam era baru kemerdekaan, monumen ini harus menjadi inspirasi bagi
Indonesia untuk bangkit dari sekarang yang sederhana, dan membangun sebuah
masa depan Indonesia sama megah” (Bloembergen M dan Martijn E, 2011: 410).

Moertjipto dan Bambang Prasetyo dalam buku Borobudur, Pawon dan Mendut
menuliskan sebagai berikut:

“Dalam Undang-Undang RI No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,


Bab VI pasal 19 ayat1, dikatakan bahwa benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan”
(Moertjipto, Bambang Prasetyo, 1995: 5).

Marzuki Usman saat memberikan makalah Seminar Sehari Candi Sebagai Warisan Seni dan
Budaya Indonesia di Yogyakarta menuliskan sebagai berikut:
“Pemanfaatan candi sebagaimana diisyaratkan dalam Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1992, antara lain juga dapat dimanfaatkan bagi kepentingan
pariwisata. Dari sekian banyak candi, baru beberapa buah saja yang dimanfaatkan
bagi kepentingan pariwisata, sehingga baru sebagian kecil masyarakat yang dapat
menikmati hasil kunjungan wisata di daerah“ (Usman, 1998: 17).

Upaya memajukan wisata lewat “Ballet” Ramayana diungkapkan Marsono sebagai


berikut:
“Sudah sejak tahun 1960-an disadari oleh pemerintah bahwa dengan meningkatnya
kepariwisataan akan dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat sekaligus akan
dapat meningkatkan pemasukan devisa bagi negara. Atas dasar pertimbangan itu
maka lewat sidang pertama MPRS yang kemudian dituangkan dalam GBHN dan
Garisgaris Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap I,
ditetapkanlah bahwa proyek Tourisme (Pariwisata) dalam urutan kedelapan yang
akan dapat menghasilkan dana di samping proyek-proyek yang lain, ….. .Salah satu
proyek yang ditetapkan sebagai proyek unggulan adalah “Pentas Balet Ramayana”
dengan latar belakang Candi Prambanan. Pemilihan proyek itu terutama didasarkan
atas empat pertimbangan, yaitu: relief Ramayana dipahatkan pada Candi Brahma dan
Siwa dan kawasan Jawa Tengah serta Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sejarah
kebudayaan yang panjang sejak zaman kuna” (Marsono, 2003: 15).

Sejak tahun 1960-an disadari oleh pemerintah bahwa dengan meningkatnya


kepariwisataan akan dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat sekaligus akan dapat
meningkatkan pemasukan devisa bagi Negara, sejak saat itu relief Ramayana berubah bentuk,
dirancang menjadi perpaduan tari, musik, drama serta rupa, menjadi Sendratari Ramayana yang
130
ditampilkan di Candi Prambanan baik bagi wisatawan manca Negara maupun wisatawan
domestik. Sendratari Ramayana dirancang untuk menambah pendapatan dalam konteks
lingkungan wisata candi, pementasan pertama kali Sendratari Ramayana menurut Bapak
Karsono Saputro (seorang penari Ramayana tahun 1961 hingga tahun 1971) dimulai pada tahun
1961 dengan pemrakarsa Jati Kusumo yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri
Perhubungan (wawancara dengan Bapak Karsono, 21 November 2014).

Ramayana bagi para pengrajin seni dibuat lukisannya dalam batu, selanjutnya diperjual
belikan untuk relief hiasan tembok rumah, dibuat cuplikan lukisan lalu dibuat pigura menjadi
benda gift, ada pula yang dicetak di kaos dan diperdagangkan. Tokoh-tokoh dalam kisah epik
Ramayana dipakai sebagai nama institusi, lembaga bisnis.

Ramayana adalah kisah yang memuat ajaran-ajaran perilaku yang perlu dicontoh dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, berperilaku dengan menyamakan
antara kata dan konsekwensi perbuatan, ini semua adalah muatan kisah yang merupakan kitab
suci agama Hindu bagi para penganutnya hingga masa Kemerdekaan ini.

Rangkuman Arkeologi Pengetahuan Relief Ramayana Prambanan Masa Pengaruh


Kuasa Hindu hingga Pengaruh Kekuasaan Kemerdekaan

Perangkuman berikut ini akan disebut sebagai arkeologi pemikiran, dengan maksud ada
kronologi proses landasan pemikiran yang berbeda-beda pada masing-masing zamannya, ada
pemisahan-pemisahan, ada selaan-selaan hingga tampak sejarah dari tahun 856 Masehi hingga
tahun 1998 Masehi terjadi diskontinyuitas dan transformasi sesuai wacana dengan landasan
pemikiran yang berbeda-beda akibat pengaruh kuasa seperti yang diteorikan Michel Foucault
tentang wacana kuasa dan arkeologi pengetahuannya. Selengkapnya proses rangkuman
arkeologi pemikiran tampak pada bagan berikut ini:

131
Arkeologi Pengetahuan 856 M – 1988 M
Arkeologi Pemikiran Relief Ramayana Candi Prambanan
Masa Hindu: Masa Islam: Masa Kolonial: Masa Kemerdekaan:
(856M-1478M) (1478M-1817M) (1817 M-1945M) (1945 M- 1988 M)
Pada masa Hindu, Pada masa Islam, Pada masa Sejak tahun
pengabdian serta kisah Rama adalah Kolonial, awal 1960-an disadari oleh
pemujaan kepada kisah seorang raja abad ke-19 hingga pemerintah untuk
Dewa, persembahan putera Betara Guru. akhir abad ke-19 pariwisata guna
kepada para Dewa Rama adalah merupakan masa pemasukan pendapatan
serta perilaku- manusia biasa berkembangnya dan devisa Negara,
perilaku yang baik keturunan Nabi pemikiran sejak saat itu Relief
di dunia ini akan Adam, oleh sebab rasionalitas ilmiah Ramayana berubah
memberikan moksa, itu tidak perlu dengan bentuk menjadi
keadaan indah disembah maupun menggunakan petunjukan Sendratari
menyatu bersama dipuja sebab yang pemikiran Ramayana. Undang-
Sang Dewa tertinggi disembah dan rasionalitas fisika Undang R.I.No.5.
di Nirwana. Inilah dimuliakan adalah dan ilmu Tentang Cagar Budaya
Epik Ramayana Allah. Semua inti pengetahuan alam. antara lain untuk
yang mengajarkan kisahnya sama Relief Ramayana kepentingan Pariwisata.
nilai-nilai moral dengan kisah pada masa ini Ramayana bagi para
bagi pengikutnya Ramayana pada selain menjadi pengrajin seni dibuat
serta nilai-nilai religi masa Hindu objek penelitian lukisan dalam batu,
yang seharusnya demikian pula secara rasional diperjual belikan untuk
dikerjakan kepada makna tuntunan empiris juga relief hiasan tembok
Dewa, sesama, budi pekerti bagi dipergunakan rumah, dibuat lukisan
lingkungan alam, manusia, hanya sebagai benda dengan pigura menjadi
maupun terhadap tokoh Rama bukan kenang-kenangan, benda gift wisata, ada
Negara. titisan Dewa Siwa gift, sarana pula yang dicetak di
namun seorang diplomasi antar kaos dan
manusia, seorang Negara. diperdagangkan.Tokoh-
raja keturunan Nabi tokoh dalam kisah epik
Adam Ramayana dipakai
sebagai nama institusi,
lembaga bisnis. Selain
itu juga tetap merupakan
ajaran nilai-nilai luhur
bagi masyarakat.

Penutup, Arkeologi Pengetahuan Micel Foucault merupakan gagasan yang jenius guna
mengambangkan ilmu pengetahuan. Episteme, sistem pengetahuan mampu ditelusuri dengan
gagasannya bahwa sejarah itu bagi Foucault merupakan kejadian yang terfragmentasi secra
diskontinyu merupakan ambang, pemutusan, selaan, pindah, perubahan bentuk, meminjam
istilah-istilah Michel Foucault menjadi threshold, rupture, break, mutation, transformation
(Foucault, 1972:5). Landasan pemikiran pada masing-masing periode pengaruh kuasa

132
memandang objek kebudayaan material berupa Relief Ramayana berbeda-beda, terjadi episteme
sistem pemikiran yang dapat ditelusuri secara mendalam pada masing-masing setiap selaan.
Temuan arkeologi pemikiran selaan-selaan dalam fragmentasinya membuat kasanah
pengetahuan semakin kaya dan mampu dipergunakan manusia guna memperluas cakrawala
pengetahuan dengan landasan-landasan pemikiran yang berbeda. Secara analogi, walau kajian
dalam tulisan ini mengambil contoh arkeologi dalam Seni Relief Ramayana, namun model
arkeologi pemikiran Foucault ini dapat pula diterapkan pada seni yang lain, baik kajian Drama,
Tari, Musik maupun Rupa bahkan untuk kajian budaya tangible dan intangible, sejauh
kajiannya menyangkut unsur proses sejarah perubahan waktu.

133
Daftar Pustaka

Adrisijanti, Inajati dan Andi Putranto, (Ed.). 2009. Membangun Kembali


Prambanan.Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Ali, Mohamad Daud. 2006. Pendidikan Agama Islam Jakarta: P.T. Raja Grafindo
Persada.

Anom, I.G.N. Ed. 1993. Candi Wahana Pelestarian dan Pemanfaatannya


Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Birgawi, Imam. 2014. Buku Saku Iman dan Islam Terjemahan: A. Syamsu Rizal.
Jakarta: Zaman.

Casparis, J.G. de. 1956. Selected Inscriptions From The 7th to The 9th Century
A.D. Bandung: Masa Baru.

Chandra, Lokesh, 1989. “ Preface” dalam buku Rama-Legends and Rama-


Reliefs in Indonesia .New Delhi: Abhinav Publication. Hal. vii – ix.

Crapo, Richley H. 2002. Cultural Anthropology Understanding Ourselves &


Others. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Djafar, Hasan. 2012. Masa Akhir Majapahit. Depok: Komunitas Bambu.

Foucault, Michel. 1973. The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock


Publications.

------------. 1976. Arkeologi Pengetahuan. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir.


Yogyakarta: IRCiSoD.

_______ . 1977. Power/Knowledge Wacana Kuasa/Pengetahuan Michel


Foucault.Terjemahan Yudi Santosa. Jogjakarta: Bentang Budaya.

_______.1978. The Will to Knowledge The History of Sexuality Volume I.


London: Penguin Books.

Hapsari Tomoidjojo, Cin. 2012. Jawa-Islam-Cina. Politik Identitas dalam Jawa


Safar Cina Sajadah. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Hodder, Ian and Scoott Hutson. 2003. Reading The Past Current Approaches to
Interpretation in Archaeology. Edinburgh: Cambridge University Press.

Hodder, Ian. 2004. “The “Social” in Archaeology Theory: An Historical and

134
Contemporary Perspective” dalam Lyn Meskel dan Robert W. Preucel: A Companion to
Social Archaeology. Oxford: Blackwell Publishing.

Ijzerman, J.W. 2009. “ Perigi-perigi Candi Prambanan” dalam Jordaan:


Memuji Prambanan. Jakarta: Yayasan Obor. Hal. 161-182.

Jordaan, Roy. E. 1993. Imagine Buddha in Prambanan Reconsidering The


Buddhist Background of The Roro Jonggrang Temple Complex. Leiden:
Vakgroep
Talen en Culturen van Zuidoost-Asie en Oceanie.

_______ 2009. Memuji Prambanan. Jakarta: Yayasan Obor – KITLV Jakarta.

Kaelan. 1957. Tjandi Lara Djonggrang Petunjuk Singkat. Jogjakarta: Djawatan


Kebudayaan Kem. P.P. dan K.

Kali, Ampy. 2013. Diskursus Seksualitas Michel Foucault. Flores: Ledalero.

Krom, N.J. 1996. “Arca-arca Prambanan” dalam Roy Jordaan. Memuji


Prambanan. Jakarta: Yayasan Obor – KITLV Jakarta.
Halaman 200 -207.

Marsono. 2003. Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya Jawa sebagai Aset Wisata
Pidato Pengukuhan Guru Besar FIB UGM Tgl 12 Mei 2003. Yogyakarta: UGM.

Moertjipto, Bambang Prasetyo. 1991. Mengenal Candi Siwa Prambanan dari


Dekat. Yogyakarta: Kanisius

_______ 1992. The Siwa Temple of Prambanan . Yogyakarta: Kanisius.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. 2010. Ramayana Djawa Kuna Teks dan Terjemahan


Sarga I – XII. Jakarta: Perpustakaan Nasional.

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah


Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Preucel, Robert W. 2010. Arhaeological Semiotics. Malden: Wiley-Blackwell


Publishing Ltd.

Rabinow, Paul. 2002. Aesthetic, Method, and Epistemplogy: Essential Works of


Foucault 1954-1984. Terjemahan Arief (Pengetahuan dan Metode
Karya-karya Penting Foucault). Yogyakarta: Jalasutra.

Raffles, Thomas Stamford. 2014. The History of Java. Terjemahan Eko


Pasetyaningrum dkk. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

135
Ranggasutrasna, Ngabei, dkk. 2008. Centhini Tambangraras-Amongraga.
Jakarta: Balai Pustaka.

Ras, J.J. 1987. Babad Tanah Jawi De prozaversie van Kertapradja. Dordrecht:
Foris Publications Holland.

Resink, G.J. 1073. From The Old Mahabarata- to The New Ramayana – Order
Leiden: Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde 131(1975), no:2/3.
Hlm.214-235.

Ricklefs,M.C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Rush, James R. 2013. Jawa Tempo Doeloe 650 Tahun Bertemu Dunia Barat
1330- 1985. Jakarta: Komunitas Bambu.

Sajid,R.M. 1984. Sejarah Sekaten . Solo: Rekso Pustoko Mangku Negaran.

Sedyawati, Edi. 1985. Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singasari: Sebuah
Tinjauan Sejarah Kesenian. Disertasi Arkeologi S3 FIB UI, Depok.

_______ Ketua Tim Penyusun. Seni Pertunjukan. Jakarta: Jayakarta


Agung Offset.

________ 2006. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah .


Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Sunardi, St. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Sunjayadi, Achmad. 2007. Vereeniging Toeristen Verkeer Batavia (1908-1942)


Awal Turisme Modern di Hindia Belanda. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI.

Soekmono. 2005. Candi Fungsi dan Pengertiannya. Jakarta: Jendela Pustaka.

Sudibjo Z.H. (Alih Aksara) . 1980. Babad Tanah Jawi . Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Stutterheim, Willem.1989 Rama-Legends and Rama-Reliefs in Indonesia. New


Delhi: Indira Gandhi National Centre for the Arts.

Usman, Marzuki. 1998. “Konsep Seni Budaya dalam Kerangka Pariwisata


Indonesia” dalam Seminar Sehari Candi Sebagai Warisan Seni dan
Budaya Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Cempaka Kencana.

Van Peursen, C.A. 1988. Strategi Kebudayaan Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

136
Vogel, J.PH. 2009. “Relief Rama Prambanan yang Pertama”. Dalam Jordaan:
Memuji Prambanan Jakarta: Yayasan Obor, hlm. 183-199.

Woodward, Ian.2007. “The Material as Culture: Definitions, Perspectives,


Approaches”. Understanding Material Culture. Los Angeles: Sage
Publication, hlm 3-16.

Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan.


Yogyakarta: LKiS.

Jurnal :

Bloembergen Marieke dan Martijn Eickhoff. 2011.” Conserving The Past


Mobilizing The Indonesian Future: Archaeological Sites, Regime Change
and Heritage Politics in Indonesia”. Budragen tot de Taal Land- en
Volkenkunde.Vol 167 No.4. Amsterdam: KITLV, Royal Netherlands
Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.

_______ 2013. Exchange and the Protection of Java‟s Antiquities:


Transnational Approach to the Problem of Heritage in Colonial Java
The Journal of Asian Studies/Volume 72/Issue 04/November 2013, pp
893-916. Diunduh tgl 27 Maret 2014 melalui :
http://journals.cambridge.org/JAS.

Hindery, Roderick. 1976. “ Hindu Ethics in Ramayana” dalam The Journal of


Religious Ethics diunduh melalui : http://www.jstor.org.

137
Semiotika Roland Barthes Guna Pengembangan
Penelitian Pendidikan Musik dan Seni.

Pendahuluan

Penelitian keilmuan bidang pendidikan seni khususnya dan bidang pendidikan


cenderung stagnan, jalan di tempat. Keilmuwan yang dibangun menjadi stagnan dikarenakan
penelitian-penelitian yang dibangun sebagian besar mengambil kasus proses belajar mengajar
di kelas. Nur Syahid mengutip pendapat senada dari Muchtar Buchori dan H.A.R. Tilaar
menyatakan bahwa ilmu pendidikan bersifat tertutup sebab hanya persoalan didaktis- metodis,
kurang partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan (https:// kuliah 2020.wordpress.com).
Penelitian tindakan kelas (PTK) menjadi syarat kewajiban guru dalam pendidikan latihan
profesi guru dan kewajiban melakukan PTK bagi guru yang akan mengusulkan kienaikan
pangkatnya, terjadi penyeragaman instrumental terjadi rasionalitas instrumental seluruh
Indonesia.

Metode penelitian materi keprofesionalannya hampir tidak pernah dikembangkan.


Inilah salah satu hal yang membuat dunia pendidikan dan pendidikan seni tidak mampu maju
guna mengupas kandungan materi pembelajaran apalagi menerapkan permasalahan secara
kontektual social kemasyarakatan. Penelitian pendidik semestinya tidak terbatas pada interaksi
dalam kelas, tetapi dikembangkan pula kajian kedalaman materi seni serta konteks dan
aplikasinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, sesuai dengan tingkat cakupan standar
materi sekolah dasar maupun menengah. Metode penelitian untuk memperdalam kajian materi
keprofesionalan guru sebenarnya amat banyak jenisnya, dalam tulisan ini hanya akan dikupas
salah satu metode yang sedang berkembang yaitu semiotika.

Pembahasan

Data judul penelitian thesis dan disertasi pendidikan mayoritas masih berorientasi pada
pembelajaran di kelas: Hubungan motivasi ….. dengan prestasi belajar …..; Penerapan model
pembelajaran ……; penerapan metode pembelajaran (A; B;C …) dalam mata pelajaran …..
Penelitian penelitian PTK yang mengembangkann interaksi belajar mengajar di kelas.

138
Pengalaman keilmiahan yang dibuat sama seluruh Indonesia dengan pembelajaran scientific
satu sisi mengingatkan perilaku ilmiah para guru namun di sisi lain mengandung banyak
kelemahan di antaranya penyeragaman instrumental dalam dunia ilmiah sedangkan cara-cara
penelitian lebih komplek dari hal tersebut. Sebaliknya menjadi kurang produktif manakala
materi bidang studi ada yang meneliti maka kita tidak perlu meneliti dan mengobservasi lagi
namun memanfaatkan observasi hasil penelitian para pakar maupun orang sebelumnya berkait
dengan materi yang dipelajari.

Penelitian-penelitian pedagogis ini memang dapat mengembangkan pembelajaran di


kelas namun penelitian tingkat magister dan doktor yang semacam ini tidak akan mampu
menyelesaikan kasus-kasus dunia pendidikan di dalam konteks problem social kemasyarakatan
yang dihadapi secara riil berkaitan dengan benturan dunia pendidikan di luar kelas. Pengalaman
penelitian semacam ini kurang mampu manakala ada persoalan makro dalam dunia pendidikan
yang sudah berkaitan dengan aspek filosofi pendidikan bangsa, program jangka 20 tahun
mendatang guna memajukan anak-anak didik bangsa, analisa kompleksitas social-masyarakat
berkaitan dengan persoalan kemiskinan masyarakat, kekerasan masyarakat, benturan ideology,
benturan mentalitas instant dan korup. Persoalan semacam ini akan tidak mampu dihadapi bila
hanya terlatih dalam penelitian intaraksi guru murid di kelas, apa lagi bila membuat produk
kebijakan keilmuan bidang pendidikan yang berimplikasi pada seluruh persoalan besar bangsa
Indonesia yang multi dimensional berbagai aspek (mental, filosofi, etnis, ideology, karakter,
kekerasan social, kemiskinan sosial, budaya).

Tulisan ini tidak akan cukup membahas persoalan yang telah diungkap tersebut namun
setidaknya merupakan ajakan untuk memulai berfikir pada persoalan-persoalan pendidikan di
luar interaksi pembelajaran dalam kelas. Dalam tulisan ini memberikan paradigma
pengembangan penelitian kemampuan bidang materi bukan kemampuan bidang pedagogis.
Kemampuan pengembangan penelitian bidang materi aspek teori dan metodologisnya juga
sangat banyak dan komplek, untuk itu dalam tulisan ini hanya akan menguraikan
pengembangan penelitian bidang materi melalui metode semiotika. Semiotika yang merupakan
ilmu yang membahas tentang tanda juga masih terlalu luas sebab ada beberapa tokoh pemikir
semiotika sperti: Ferdinand de Saussure, Charles Sanders Peirce, Hjelmslev, Umberto Eco dan

139
Roland Barthes. Dalam tulisan ini secara khusus akan menguraikan semiotika mitos dari
Roland Barthes dan menguraika proses pemaknaan secara denotative maupun konotatif.

Roland Barthes mengembangkan gagasan dari Ferdinand de Saussure yang menyatakan


bahwa tanda terdiri dari dua muka yang tidak dapat dipisahkan. Signé terdiri dari significant
dan signifié atau dalam kosa kata bahasa Inggris sign terdiri dari signifier dan signified. Dalam
bahasa Indonesia diistilahkan dengan penanda dan petanda. Penanda dan petanda menjadi satu
kesatuan semisal coin uang seribu rupiah, ada gambar angklung dan di sebaliknya ada angka
1000, angklung dapat dipandang sebagai penanda dan petandanya merupakan uang dengan
nilai Rp.1000,- rupiah; keduanya menyatu, tidak bisa digergaji dipisah menjadi dua dan
menjadi logam bergambar angklung dan satu lagi logam pisahan bergambar tulisan 1000.

Barthes menggunakan teori significant-signifie yang dikembangkan menjadi teori


tentang metabahasa dan konotasi. Istilah significant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi
isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu
sehingga terbentuk tanda (sign). Ini suatu konsep structural seperti yang dikemukakan de
Saussure . Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda menjadi lebih mungkin berkembang
karena R ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes E dapat berkembang membentuk
tanda baru sehingga ada lebih dari satu penanda dengan C yang sama. Gejala ini disebut
sebagai metabahasa atau kesinoniman (Hoed, 2014:57).

Proses adanya relasi dalam semiotika ini, menurut Roland Barthes mengakibatkan
perkembangan makna, makna menjadi sangat kompleks. Ada makna denotatif, yaitu
merupakan makna awal, makna pertama hubungan E dan C. Proses relasi manusia
memunculkan dua kemungkinan makna tingkat sistem sekunder yaitu makna konotasi dan
makna meta bahasa. Makna konotasi terjadi bila proses E-R-C pada sistem primer menjadi C
pada sistem sekunder. Makna meta bahasa terjadi bila proses E-R-C pada sistem primer
menjadi E pada sistem sekunder (Barthes, 1957, Sunardi, 2004:71-74, Hoed, 2014:178-179).
Gambar skema konotasi dan denotasi sebagai berikut diambil dari penjelasan Benny H. Hoed
dan St. Sunardi dengan ditambahkan sendiri kode tanda panah agar proses pada sistem
sekundernya lebih jelas. Pada sistem sekunder konotasi yang berkembang adalah Content-nya
atau isinya; sedangkan pada sistem sekunder metabahasa yang berkembang adalah Expressi-

140
nya. Sistem konotasi memiliki formula (EC) R C sedangkan metabahasa dengan formula E R
(EC) (Sunardi, 2004: 72).

Bagan konotasi dan metabahasa sistem sekunder.

Semiotika Roland Barthes dapat menggambarkan secara jelas bahwa objek tanda yang
sama dapat dimaknai secara berbeda, mengalami perubahan dari makna denotasi berkembang
menjadi makna konotasi serta makna metabahasa atau sinonim. Tanda pada sistem primer
adalah tanda dasar yang diserap saat pertama kalinya atau makna denotasi. Pengembangan pada
sistem sekunder dapat berkembang menjadi dua model yaitu perkembangan terhadap tanda
ekspresinya (E) disebut sebagai pengembangan matabahasa, pengembangan terhadap isinya
(C) disebut sebagai pengembangan konotasi (Hoed, 2014:97). Barthes dalam bukunya
Mythologies mengungkapkan dua tingkat pertandaan yaitu tingkat bahasa dan tingkat mitos
atau ideologi. Pada tingkat bahasa kesatuan antara penanda dan petanda membentuk tanda.
Selanjutnya tingkat mitos tanda pada tingkat pertama tadi membentuk menjadi penanda baru,
yang melalui kesatuannya dengan petanda baru membentuk tanda (Piliang, 2012:336).

Benny H. Hoed memberikan contoh sistem primer dan sistem sekunder dalam semiotika
model Roland Barthes sebagai berikut:

“ … kata (baca: ekspresi) Mercy (E) yang maknanya (C) dalam sistem primer adalah
kependekan dari Mercedes Benz, merek sebuah mobil buatan Jerman. Dalam proses
selanjutnya makna primer itu (C) berkembang menjadi „mobil mewah‟, „mobil orang kaya‟,
mobil „konglomerat‟ atau „symbol status sosial ekonomi yang tinggi‟ (sistem sekunder).
Pengembangan makna (C) seperti itu oleh Barthes disebut konotasi “ (Hoed, 2011:85).

Benny H. Hoed menggambarkan contoh sistem primer dan sistem sekunder makna konotasi
untuk mobil Mercy pada bagan 3, sebagai berikut:

141
Pada bagan 4 berikut ini Benny H. Hoed mencontohkan perkembangan makna sistem tanda
pada tingkat sekunder yang disebut sebagai metabahasa atau sinonim; pada contoh ini
perubahan terjadi pada Ekspresi bukan pada Contennya. Orang yang dapat menggunakan ilmu
gaib untuk tujuan tertentu diberi nama dukun (Ekspresi E1), pada tingkat sekunder Ekspresinya
saja yang berkembang menjadi para normal, orang pinter.

142
Sistem sekunder yang merupakan perluasan dari ekspresi (E) dan isi (C) dapat berlangsung
berkali-kali yang sejajar dengan teori semiosis berlanjut dari Charles Sanders Peirce (Hoed,
2011:160).

Barthes mengembangkan pula semiotika sistem mitos guna mengkaji fenomena


kebudayaan, ciri mitos dan fungsinya untuk memahami lingkungan alam dan diri manusia
inilah yang coba diteorisasikan oleh Roland Barthes dengan menggunakan semiotik (Sunardi,
2004:89). Mitos sebagai kritik ideologis atas budaya massa dan sekaligus menganalisis secara
semiotik cara kerja mekanik bahasa budaya massa dituliskan oleh Barthes dalam bukunya
berjudul Mythologies (Sunardi, 2004:85).

Mitos yang dimaksudkan Roland Barthes bukanlah mitos seperti cerita yang panjang-
panjang seperti dalam mitologi Yunani misalnya Pahlawan Hercules, Theseus atau Perang
Troya, Mithos Barthes bukanlah cerita tentang dewa-dewi yang dianggap pernah ada dan diakui
kebenarannya oleh masyarakat pendukungnya dan merupakan kisah cerita dengan narasi yang
panjang. Mitos Roland Barthes merupakan a type of speech, suatu tipe wicara (jenis tindak
tutur) yang disajikan dengan sebuah wacana (Barthes, 2013:152) Wacana-wacana yang
dimunculkan membuahkan mitos, manakala mitos diterima maka perilaku masyarakat
mengikuti wacana mitos tersebut, untuk itulah maka mitos Roland Barthes sering diungkapkan
sebagai mitis sebab bentuk mitosnya berbeda namun sifat-sifat mitosnya merasuki melalui apa
yang diwacanakan. Mitos tak menyembunyikan dan tak memamerkan apapun: ia hanya
mendistorsi; ia hanyalah sebuah pembelokan (Barthes, 2013:186). Perubahan-perubahan yang
terjadi pada sistem pemaknaan sekunder akan mengungkap pembelokan-pembelokan tersebut
akibat sistem mitis yang bekerja dalam masyarakat pendukungnya.

Mitos merupakan suatu proses suatu sistem penandaan, sebagai sistem semiotik mitos
dapat diuraikan sebagai tiga unsur yaitu signifier, signified dan sign pada sistem tingkat pertama
atau sistem primer. Pada sistem sekunder R. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk ketiga
unsur itu yaitu, form, concept dan signification (Sunardi, 2004:85). Barthes membuat skema
sistem mitos seperti digambarkan dalam bagan 24 berikut ini:

143
Bagan 24: Skema sistem Mitos (Sumber: Sunardi, 2004:315).

Sistem primer yang mencakup signifier, signified dan sign diambil sepenuhnya menjadi bentuk
baru pada sistem sekunder menjadi form, concept dan signification. Kalau sistem pertama
(primer) adalah sistem linguistik, sistem kedua adalah sistem mitis yang mempunyai
keunikannya. Sistem kedua (sekunder) memang mengambil model sistem pertama, akan tetapi
tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem primer berlaku pada sistem sekunder (Sunardi,
2004:89).

Terapan semiotika Roland Barthes dalam bidang seni sangatlah luas objek materi yang
dapat dikaji. Dalam tulisan ini hanya diberikan sedikit contoh lontaran pembuka guna terapan
analisis seni dengan menggunakan semiotikan Roland Barthes. Salah satu contoh misalnya
fenomena Gong pada gamelan upacara sekaten di Yogyakarta maupun Surakarta. Agar lebih
ringkas dan jelas maka digambarkan dalam bagan berikut ini tentang makna denotasi dan
konotasinya.

144
Gong dalam permainan musik gamelan sekaten dibunyikan sebagi penuntun irama dan
penegas bagian-bagian wilet, inilah yang merupakan makna denotasi, atau disebut juga makna
dalam sistem primer, makna dalam sistem linguistic. Pada sistem sekunder menjadi makna
dengan isi /content (C2) makna yang berkembang bukansebagai penuntun irama gamelan
sekaten namun berkembang menjadi tempat masyarakat memohon kesehatan, memohon rejeki,
mohon restu atas kesuksesan pekerjaan, mohon kesejahteraan hidup.

Contoh lain misalnya kita mencerna ulang apakah memang musik angklung dihargai
oleh masyarakatnya sendiri di Indonesia ? Walaupun music angklung sudah dikategorikan
masuk alat musik intangible UNESCO pada bulan November tahun 2010. Pertama kita
menganalisis secara struktur kepingan uang logam coin Rp 1000,- rupiah. Pada kepingan
tersebut digambarkan alat music angklung, bila mamang serius menghargai dan
mengembangkan musik intangible UNESCO tersebut setidaknya kita buat kepingan uang
logam senilai satu juta rupiah, sehingga bila mendapat gambar uang angklung berarti kita
mendapatkan rezeki uang satu juta rupiah. Bila kita menggabungkan antara teori semiotika
Roland Barthes dengan perpaduan panganalisaan dekonstruksinya Derida maka yang terjadi
masyarakat tidak menghargai instrument music angklung sebab music angklung adalah music
ecek-ecek, music pinggir jalan, music para pengamen yang cukup dihargai recehan logam
seribu rupiah, bila digambarkan dalam bagan menjadi seperti berikut ini:

145
Secara analogi terapan semiotika Barthes ini dapat dipergunakan untuk menganalisa
alat-alat musik, lebih-lebih peralatan musik yang memiliki fenomena budaya dalam
masyarakatnya. Kita ambil saja salah satu alat music Nias semisal Fo‟ere. Alat music ini
pertama dilihat struktur bentuknya dan atribut-atributnya (model, ukuran, gaya, teknik
pembuatan, teknik memainkan). Cari data tertulis dari alat tersebut, asal-usul, segala hal ihwal
tentang alat tersebut, hubungkan dengan konteks yang akan ditelaah, diteliti, rangkaikan
dengan semiotika Roland Barthes. Proses ini akan menemukan makna denotasi, makna
konotasi pada sistem primer dan sekunder selanjutnya ditemukan sistem mitos yang mendasari
proses perubahan makna tersebut. Alinea ini bisa menjadi salah satu contoh lahan menganalisa
alat music Fo‟ere dengan semiotika sistem mitos Roland Barthes.

Dalam semiotika selain mengembangkan sistem matebahasa dan sistem konotasi,


Barthes menguatkan teorinya dengan analisa sistem mitos yang berlaku dalam masyarakatnya,
sistem mitos ini tidak hanya cerita-cerita panjang masa kuno namun juga ucapan-ucapan
pendek, narasi pendek dalam kehidupan modern yang sering dipergunakan dalam tindak tutur
para politisi, pejabat maupun bahasa iklan. Dalam makalah ini dicontohlan semiotika sistem
mitos dari Roland Barthes guna menganalisa benda seni Relief Ramayana Candi Prambanan.
Agar mudah paparannya serta meringkas narasi uraian tulisan ini maka gambarkan dalam
bagan berikut ini:

146
Pada paparan bagan di atas digambarkan proses perubahan makna pada sistem sekunder Relief
Ramayana mulai dari masa pengaruh kuasa Hindu, Islam, Kolonial dan masa Kemerdekaan
dengan analisis semiotic dan gagasan sistem mitos yang bekerja dan diterima mjasyarakat
pendukungnya dari Roland Barthes.

Relief Ramayana pada sistem linguistik masa pengaruh kuasa Hindu, Ramayana
(signifier) berarti Kisah Epos Ramayana (signified), signifier dan signified menyatu menjadi
sign, sign-nya adalah Ramayana. Pada sistem mitos pengaruh kuasa Hindu, Ramayana diambil
alih sepenuhnya menurut Barthes dengan istilah form, form-nya adalah Ramayana, form
memunculkan concept dengan bekerjanya sistem mitos, dalam hal ini concept-nya adalah
ajaran dharma, ajaran etika dan norma-norma perilaku hidup. Kesatuan antara form dan
concept terwujud signification, dalam hal ini signification-nya adalah Kitab Suci Ramayana.

147
Pada masa pengaruh kuasa Islam signification-nya menjadi Kisah Sri Rama. Pada masa
pengaruh kuasa Kolonial signification-nya menjadi Relief Eksotis. Pada masa Kemerdekaan
form-nya adalah Ramayana, concept-nya adalah pertunjukan Ramayana untuk pariwisata,
kerajinan seni, gift, ajaran etika dan moral kepahlawanan, signification-nya menjadi Sendratari
Ramayana, Ramayana Prambanan.

Kesimpulan

Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Firdinand de Saussure mengemukakan bahwa


tanda terdiri dari penanda dan petanda yang keduanya merupakan satu kesatuan. Roland
Barthes membuat perkembangan dengan adanya sistem primer yang merupakan sistem
linguistik dan sistem sekunder dengan sistim mitos. Roland Barthes membeberkan adanya
makna denotasi pada sistem primer dan makna konotasi pada sistem sekunder. Metabahasa
adalah perubahan nama sinonim sehubungan dengan relasi tipe wicara yang dibangun dan
diterima masayarakat pendukungnya, perubahan ini terdapat pada sisi Ekspresi (E). Konotasi
adalah perubahan makana setelahadanya relasi tipe wicara dengan sistem mitos yang diterima
masyarakatnya sehingga mengakibatkan perunahan makna pada sisi isi atau Content (C).

Teori Semiotika Roland Barthes maupun metode semiotika melalui proses semiosis
pemaknaan sistem sekunder dan sistem primer mampu memperdalam kajian materi-matei
bidang studi seni baik seni tari, musik , drama dan rupa. Analisa semiotic ini perlu mendapat
perhatian serta penelitian lebih lanjut guna penerapan dan pengembangan dibidang keilmuan
materi seni itu sendiri, sehingga penelitian-penelitian dunia pendidikan bukan hanya bertumpu
pada penelitian paedagogis mengurai interaksi pembelajaran di kelas saja.

148
DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. (1981). Elemnts of Semiology. English Translation: Jonathan.


New York: Hill and Wang.

_______ (2007). Petualangan Semiologi. Terjemahan: Stephanus Aswar


Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

_______ (2013). Mitologi Terjemahan: Nurhadi, A.Sihabul Milah.


Yogyakarta: Kreasi Wacana

Hoed, Benny H. (2010). “Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan
Hermeneutik” dalam Semiotika Budaya . Christomy T. dan Untung Yuwono Ed.,
Jakarta: PPKB FIB UI.

_______ (2014). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas


Bambu.

Piliang, Yasraf Amir. (2012). Semiotika dan Hiper Semiotika Bandung:


Matahari.

Rajagopalachari, C. (2012). Kitab Epos Ramayana. Terjemahan:Yudhi Murtanto.


Yogyakarta: IRCiSoD.

Sajid,R.M. (1984). Sejarah Sekaten . Solo: Rekso Pustoko Mangku Negaran.

Sunardi, St. (2004). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik

Stutterheim, Willem.(1989) Rama-Legends and Rama-Reliefs in Indonesia. New


Delhi: Indira Gandhi National Centre for the Arts.

Vogel, J.PH. (2009). “Relief Rama Prambanan yang Pertama”. Dalam Jordaan:
Memuji Prambanan Jakarta: Yayasan Obor, hlm. 183-199.

Bloembergen Marieke dan Martijn Eickhoff. (2011).” Conserving The Past


Mobilizing The Indonesian Future: Archaeological Sites, Regime Change
and Heritage Politics in Indonesia”. Budragen tot de Taal Land- en
Volkenkunde.Vol 167 No.4. Amsterdam: KITLV, Royal Netherlands
Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies.

Hindery, Roderick. (1976). “ Hindu Ethics in Ramayana” dalam The Journal of


Religious Ethics diunduh melalui : http://www.jstor.org.

149
Interpretasi dan Evaluasi Kajian Makna Seni Budaya Nusantara

A. Kebudayaan (Culture)

Kebudayaan (culture) memiliki arti yang sangat kompleks. A. Krober dan C.


Kluckhon (dalam Hubertus Muda) mengumpulkan sebanyak 160 definisi kebudayaan. Dalam
bukunya berjudul Culture, A Critical Review of Concept and Definitions tahun 1952. Edward
B. Tylor (1871) mengungkapkan arti kebudayaan sebagai berikut: “Kebudayaan adalah
keseluruhan yang merangkum pengetahuan, kepercayaan, kesenian, dan adat kebiasaan yang
diperlukan manusia sebagai anggota masyarakat” (Muda, 1992:9). Kajian kata kunci (keyword)
tentang kebudayaan ditulis oleh Raymon William (1985) dalam bukunya: Culture, Keyword
A. Vocabularry of culture and Society.

Tiga arti penting kata kebudayaan menurut William sebagai berikut:

“But we go beyond the physical reference, we have to recognize three broad active
categories of usage. The sources of two of these we havealready discussed: (i) the independent
and abstract noun which describe a general process of intellectual, spiritual and aesthetic
development, .. (ii) the independent noun, whether used generally or specifically, which
indicates a particular way of life, whether of apeople, a period, a group, or humanity in
general, from Herder and Klemm. But we have also to recognize iii) the independent and
abstract noun which describe the works and practices of intellectual and especially artistic
activity. This seems often now the most widespread use culture is music, literature, painting
and sculpture, theatre, and film” (Wiliam, 1985: 90).

(Tapi kita melampaui referensi fisik, kita harus mengakui tiga kategori aktif yang luas
dari penggunaan. Sumber dua ini telah kita bahas: (i) kata benda abstrak yang independen dan
menggambarkan proses umum perkembangan intelektual, spiritual dan estetika; (ii) kata
benda independen, apakah digunakan secara umum atau khusus, yang menunjukkan cara hidup
tertentu, apakah suatu kaum, periode, kelompok, atau kemanusiaan secara umum, dari Herder
dan Klemm. Tapi kita harus juga mengakui: iii) kata benda abstrak yang independen dan
menjelaskan karya dan praktik aktivitas intelektual dan terutama artistik. Hal ini tampaknya
sering sekarang budaya penggunaan paling luas adalah musik, sastra, lukisan dan patung,
teater, dan film).

Pengertian kata kunci pertama adalah kata benda abstrak menggambarkan proses
perkembangan intelektual, spiritual dan estetika. Kata kunci kedua menyatakan kata benda
independen yang menunjukan cara hidup tertentu. Sedangkan kata kunci ketiga adalah kata

150
benda abstrak yang independen dan menjelaskan karya dan praktik aktivitas intelektual dan
terutama artistik.

Salah satu arti kebudayaan yang sering digunakan dalam kajian budaya adalah arti
kebudayaan menurut C. Geertz, yang mengungkapkan teori tentang arti kebudayaan sebagai
berikut: “ The culture concept …… it denote an historically transmitted pattern of meaning
embodied in symbols, a system of in herited conceptions expressed in symbolic forms by means
of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitudes to
ward life”( Geertz, 1973:89). Definisi Gertz ini membuka cakrawala kita bagaimana kita
mampu mengkaji kebudayan suatu masyarakat dengan teori ini. Teori ini lebih menekankan
bahwa kebudayaan merupakan pola-pola arti yang dikemas dalam bentuk symbol dan melalui
symbol itu manusia berperilaku dan mempertahankan hidup.

B. Aliran Penginterpretasian Makna Karya Seni

1. Aliran Referensialisme
Sudut pandang referensialisme melihat bahwa arti karya seni terdapat di luar karya itu
sendiri.:

“ According to this view, the meaning and values of a work of art exist out
side of the work it self. To find an art work‟s meaning, you must go to the ideas,
emotions, attitudes, events, which the art work refers you to the world out side the
art work. The functioan of the art work is to remain you of, or tell you about, or help
you understand, or make you experience, samething which is extra-artistic, that is
some thing which is out side the crated thing and the artistic qualities which make it
a created thing…. Every work of art is inflenced by a variety of circumstances
impinging on the choices the artist made in creating it. Some this stem of the artist-
his or her personal or professional history, present life situation, characteristic
interest, internalized influences, from ather atist and so on. Other circumstances
stem from the culture within which the artist work, the general beliefe system about
the arts, important past and present political events, the existing social structure
within which the artist plays a part and so on” (Reimer, 1989: 17).

Cara melihat referensialis dalam memaknai karya seni dengan melihat lingkungan
dimana seni itu diciptakan, mempertimbangkan lingkungan budayanya, lingkungan
religinya, kejadian saat karya itu diciptakan, melihat suasana politik saat pembuatan karya

151
seni, melihat latar belakang senimannya, pergaulannya dan sebagainya sesuai dengan
konteks lingkungan yang mempengaruhinya.

2. Aliran Formalisme

Sudut pandang formalisme menyatakan bahwa seni hanya berarti bagi seni itu
sendiri, nilai maknanya dilihat dari struktur musik itu sendiri. The meaning in a work art
ennet, menuliskan pandangan formalism sebagai berikut: “

“ The absolutist says that to find the meaning in a work of art, you must go
to the work itself and attend to the internal qualities which make the work a created
thing.In music, you would go to the sounds themselves-melody, rhytme, harmpny,
tone color, texture, dynamic, form and attend to what those sound do “ (Reimer,
1989: 16).

3. Aliran Ekspresionisme

Sudut pandang Ekspresionisme menyatakan sebagai berikut:

“Absolute expressionism insist that meaning and value are internal; they are
functions of the artistic qualities them selves and how they are organized. But the
artistic/cultural influences surrounding a work of art may indeed to be strongly involved in
the experience the work gives , because they become part of the internal experience for
those aware of these influences” (Repmer, 1989: 27).

Ekspresinisme memandang bahwa di dalam kesenian makna dan nilai-nilai itu


bersifat internal tidak terpisahkan karena merupakan fungsi artistk dan kualitas itu sendiri
dan bagaimana kesenian itu diorganisasikan, dibentuk.

C. Rambu-rambu Evaluasi Seni (Musik) Nusantara

Seni musik nusantara adalah seni musik yang ada di seluruh wilayah nusantara
dari Sabang hingga Meraoke. Selain seluruh nusantara memiliki beribu pulau juga sekaligus
memiliki lebih dari 640 suku yang tinggal di seluruh wilayah nusantara. Seni musik yang hidup
dan berkembang dari ratusan suku masyarakat Indonesia itulah yang merupakan musik
nusantara.

152
Musik yang hidup, dihidupi serta berkembang milik masyarakat tertentu, milik suku
inilah yang menurut Jaap Kunst sebagai wilayah Etnomusikologi, yaitu ilmu musik milik etnis
masyarakatnya (Kunst, 1959). Dalam etnomusikologi ada perspektif tersendiri dalam
memandang musik etnis yaitu: (1) Musik hanya bisa dipahami berdasarkan konteks kultural di
mana musik itu berada (selanjutnya dituliskan perspektif 1). (2) Kriteria Baik dan Buruk sesuai
kaidah estetis dan etis masyarakatnya (selanjutnya dituliskan perspektif 2) (Harahap dkk,
2000: 3).

Musik nusantara adalah musik-musik etnis yang berada di seantero nusantara maka
perspektif yang digunakan dalam menilai dan mengkaji khususnya makna musik nusantara
bagi masyarakatnya akan sangat tepat bila diletakkan pada proporsi dalam perspektif 1.
Apabila kajian makna simbolik misalnya tidak diletakkan pada perspektif 1 maka akan
menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan makna dan dapat menimbulkan penilaian buruk
bagi masyarakatnya. Kesalahan tafsir misalnya penghakiman isi syair musik, sebagai
masyarakat yang tidak mau maju, atau bodoh gara-gara mendengarkan salah satu musik etnis
yang isi syairnya berarti jangan membeli baju, jangan membeli baju Oshamalo, membeli baju
sama dengan sengsara, sama dengan kesulitan. Setelah dilihat menurut perspektif 1 ternyata
bermakna nasehat agar tidak membeli baju dari orang Oshamalo karena mereka rentenir dan
pembuat sengsara masyarakat yang menciptakan lagu tersebut.

Makna lugas dari suatu syair lagu juga kadang bukan dalam arti sebenarnya bila dilihat dengan
perspektif 1. Rahayu Supanggah memberikan contoh lagu dolanan anak Jawa dengan judul
Koning-koning sebagai berikut:

“ Koning-koning kawula kae lara kae lara. Ngenteni si Khodhok langking. Ndok siji kapipilan,
ndok loro kacomberan Doyak-doyak tawon goni …… Arti bebas sebagai berikut: Koning,
koning (kuning), itulah saya rakyat yang pada sakit. Menantikan sikatak hitam. Satu telor
diambil, dua telor dirusaknya. Doyak-doyak (beramai-ramailah) si lebah madu. ……. Arti
tafsir pemaknaan sesuai dengan konteks kultural dan hitorisnya sebenarnya sebagai berikut:
Hai para raja atau bangsawan (koning dalam bahasa belanda berarti raja), lihatlah para
rakyatmu yang pada menderita. Mereka itu hanya mengharapkan datangnya seekor katak
hitam, katak buruk yang tidak ada manfaatnya dan nggak enak dimakan seperti layaknya katak
hijau, namun apa hasilnya? Anak yang semata wayangpun (telor digunakan sebagai simbul
benih keturunan) kamu (bangsawan) ambil, dan telah banyak anak-anak kami lainnya yang

153
kamu rusak, atau kamu lecehkan. Kamu datang beramai-ramai bagaikan lebah yang hanya
ingin menghisap madu… (Supanggah, 1996: 8).

Penafsiran, pemaknaan serta memahami fungsi musik bagi masyarakatnya bila tanpa
pemahaman (versteken) konteks kultural di mana musik itu berada maka akan sangat mungkin
terjadi kesalahan penafsiran makna, apalagi bila penafsirannya berdasarkan cara pandang kita
sendiri, pengalaman budaya kita sendiri. James Zanden menuliskan sebagai berikut:

“ We cannot grasp the behavior of other peoples if we interpret what they say and do in
the light of our value, beliefs and motives. Instead of we need to examine their behavior as
insider, seeing it within the framework of their values, beliefs and motives. This approach,
termed cultural relativism, suspend judgement and views the behavior of people from the
perspective of their own culture” (Zanden, 1988: 69)

Kriteria baik-buruk musik etnik sesuai dengan kaidah etis dan estetis masyarakat
pendukungnya. Ukuran dan nilai-nilai keindahan musik berbeda dari masyarakat satu dengan
masyarakat yang lain termasuk berbagai jenis musik yang ada dalam masyarakat tersebut.
Musik gamelan sekaten pada masyarakat lingkungan Keraton sekalipun dapat dianggap bukan
musik yang estetis bila ukuran yang dipakai adalah standar musik barat di mana ada unsur
harmoni yang memiliki berbagai jenis akor tingkat satu hingga tingkat tujuh baik dalam tangga
nada mayor maupun minor (Pradoko, 2008: 3). Mengapa seseorang mengatakan musik sekaten
bukan musik ? Jawabannya adalah karena musik gamelan sekaten tersebut tidak ada akornya,
tidak ada jenis-jenis akord C, A minor, D minor, G dan seterusnya, sehingga disimpulkan
sebagai musik yang buruk karena harmoninya tidak ada/tidak memenuhi kriteria akor dan
sebagainya. Perdebatan sejenis tentang musik dan bukan musik ini sering terjadi dalam
masyarakat, mengukur estetika dan etika musik melalui perspektif budaya lain adalah tidak
tepat.

Aturan-aturan serta estetika musik seriosa termasuk teknik-teknik vokal akan berbeda
dengan aturan, etika serta teknik vokal dalam penyanyi sinden, atau penyanyi keroncong atau
penyanyi campur sari maupun penyanyi musik lain yang terkait dengan jenis musik etniknya
serta kebiasaan budaya masyarakatnya. Sangat berbahaya jika kita menilai penyanyi sinden
dengan krtiteria secara teknik vokal seriosa, para penyanyi sinden karakter cempreng menjadi
salah satu ciri karakternya sebab hal ini berhubungan dengan nuansa suara gamelan. Sebaliknya
dalam menyanyikan lagu-lagu seriosa lebih dituntut dengan teknik suara yang lebih bulat, tak

154
boleh cempreng demikian pula untuk para penyanyi paduan suara tidak boleh cempreng .
Untuk lebih jelasnya bagaimana suara cempreng yang dimaksud bisa didengarkan ketika kita
mendengarkan suara gamelan kemudian muncul suara pesindennya atau para pesindennya. Hal
yang berbeda bila kita mendengarkan para penyanyi tungal seriosa maupun festival paduan
suara dengan latar musik barat.

D. Kesimpulan

Pemahaman yang komprehensif tentang arti kebudayaan mampu memberikan referensi


untuk mengkaji seni melalui terminology kebudayaan sebab seni merupakan bagian dari
kebudayaan. Kajian aspek kebudayaan meliputi 3 hal yaitu aspek sistem pengetahuan, aspek
sistem symbol, dan aspek budaya material, melalui wujud hasil budaya.

Penginterpretasian makna seni mencakup 3 model pula yaitu aliran Referensialis, aliran
Formalis serta aliran Ekspresionis. Ketiga aliran itu memiliki cara berargumentasi sendiri-
sendiri, bagi kita adalah perlu melihat kasusnya dalam mengkaji benda seni yang akan
diinterpretasikan maknanya.

Ukuran nilai estetika dan etika seni budaya nusantara memiliki paradigma sendiri-
sendiri maka teknik mengevaluasi seninyapun berbeda-beda sesuai ukuran masyarakat di mana
seni itu berada, sesuai masyarakat pendukungnya.

155
Daftar Pustaka

Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Tim). 2005. Paradigma Baru Pendidikan


Tinggi Seni di Indonesia. Jakarta: Dikti.

Geertz, Cliford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Inc.

Harahap, Irwansyah. 2000. Etnomusikologi. Diktat Pelatihan Produksi Siaran Musik


Etnik di Radio

Haviland, William A. 1985. Antropologi. Terjemahan Soekadijo. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Kunst, Jaap. 1959. Ethnomusicology. Amsterdam: Martinus Nijhoff

Muda Hubertus SVD. 1992. Inkulturasi . Ende: Pustaka Candradita.

Parto, Suhardjo. 1989. “Musik Etnisitas dan Abad XX” Dalam: Musik Seni Barat.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Pradoko, Susilo. 1995. “Paradigma Emic dan Etic dalam Penelitian Enomusikologi”
Diksi. Yogyakarta: FBS UNY, hal.170 – 177.

Reimer, Bennet.1989. A.Philosophy of Music Education. New Jersey: Prentice Hall.

Supanggah, Rahayu. 1996. Seni Tradisi, bagaimana ia berbicara ? Makalah


disampaikan pada penataran peneliti madya. Surakarta: STSI Surakarta.

William Raymon. 1985. “Culture”, Keywords A Vocabulary of Culture and Society.


New York: Oxford University Press

156
Rambu-rambu Paradigma Evaluasi Pembelajaran Seni Musik Nusantara

A. Perspektif dalam Kajian Seni Musik Nusantara

Seni musik Nusantara adalah seni musik yang ada di seluruh wilayah nusantara dari
Sabang hingga Meraoke. Selain seluruh Nusantara memiliki beribu pulau juga sekaligus
memiliki lebih dari 640 suku yang tinggal di seluruh wilayah Nusantara. Seni musik yang
hidup dan berkembang dari ratusan suku masyarakat Indonesia itulah yang merupakan musik
Nusantara.

Musik yang hidup, dihidupi serta berkembang milik masyarakat tertentu, milik suku
inilah yang menurut Jaap Kunst sebagai wilayah Etnomusikologi, yaitu ilmu musik milik etnis
masyarakatnya (Kunst, 1959). Dalam etnomusikologi ada perspektif tersendiri dalam
memandang musik etnis yaitu: (1) Musik hanya bisa dipahami berdasarkan konteks kultural di
mana musik itu berada (selanjutnya dituliskan perspektif 1). (2) Kriteria Baik dan Buruk sesuai
kaidah estetis dan etis masyarakatnya (selanjutnya dituliskan perspektif 2) (Harahap dkk,
2000:3).

Musik Nusantara adalah musik-musik etnis yang berada di seantero Nusantara maka
perspektif yang digunakan dalam menilai dan mengkaji khususnya makna musik Nusantara
bagi masyarakatnya akan sangat tepat bila diletakkan pada proporsi dalam perspektif 1.
Apabila kajian makna simbolik misalnya tidak diletakkan pada perspektif 1 maka akan
menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan makna dan dapat menimbulkan penilaian buruk
bagi masyarakatnya. Kesalahan tafsir misalnya penghakiman isi syair musik, sebagai
masyarakat yang tidak mau maju, atau bodoh gara-gara mendengarkan salah satu musik etnis
yang isi syairnya berarti jangan membeli baju, jangan membeli baju Oshamalo, membeli baju
sama dengan sengsara, sama dengan kesulitan. Setelah dilihat menurut perspektif 1 ternyata
bermakna nasehat agar tidak membeli baju dari orang Oshamalo karena mereka rentenir dan
pembuat sengsara masyarakat yang menciptakan lagu tersebut.

157
Makna lugas dari suatu syair lagu juga kadang bukan dalam arti sebenarnya bila dilihat dengan
perspektif 1. Rahayu Supanggah memberikan contoh lagu dolanan anak Jawa dengan judul
Koning-koning sebagai berikut:

“ Koning-koning kawula kae lara kae lara. Ngenteni si Khodhok langking. Ndok siji kapipilan,
ndok loro kacomberan Doyak-doyak tawon goni …… Arti bebas sebagai berikut: Koning,
koning (kuning), itulah saya rakyat yang pada sakit. Menantikan sikatak hitam. Satu telor
diambil, dua telor dirusaknya. Doyak-doyak (beramai-ramailah) si lebah madu. ……. Arti
tafsir pemaknaan sesuai dengan konteks kultural dan hitorisnya sebenarnya sebagai berikut:
Hai para raja atau bangsawan (koning dalam bahasa belanda berarti raja), lihatlah para
rakyatmu yang pada menderita. Mereka itu hanya mengharapkan datangnya seekor katak
hitam, katak buruk yang tidak ada manfaatnyadan nggak enak dimakan seperti layaknya katak
hijau, namun apa hasilnya ? Anak yang semata wayangpun (telor digunakan sebagai simbul
benih keturunan) kamu (bangsawan) ambil, dan telah banyak anak-anak kami lainnya yang
kamu rusak, ayau kamu lecehkan. Kamu datang beramai-ramai bagaikan lebah yang hanya
ingin menghisap madu. … (Supanggah, 1996: 8).

Penafsiran, pemaknaan serta memahami fungsi musik bagi masyarakatnya bila tanpa
pemahaman (versteken) konteks kultural di mana musik itu berada maka akan sangat mungkin
terjadi kesalahan penafsiran makna, apalagi bila penafsirannya berdasarkan cara pandang kita
sendiri, pengalaman budaya kita sendiri. James Zanden menuliskan sebagai berikut:

“We cannot grasp the behavior of other peoples if we interpret what they say and do in
the light of our value, beliefs and motives. Instead of we need to examine their behavior as
insider, seeing it within the framework of their values, beliefs and motives. This approach,
termed cultural relativism, suspend judgement and views the behavior of people from the
perspective of their own culture” (Zanden, 1988: 69).

Kriteria baik-buruk musik etnik sesuai dengan kaidah etis dan estetis masyarakat
pendukungnya. Ukuran dan nilai-nilai keindahan musik berbeda dari masyarakat satu dengan
masyarakat yang lain termasuk berbagai jenis musik yang ada dalam masyarakat tersebut.
Musik gamelan sekaten pada masyarakat lingkungan Keraton sekalipun dapat dianggap bukan
musik yang estetis bila ukuran yang dipakai adalah standar musik barat di mana ada unsur
harmoni yang memiliki berbagai jenis akor tingkat satu hingga tingkat tujuh baik dalam tangga
nada mayor maupun minor. Mengapa seseorang mengatakan musik sekaten bukan musik?

158
Jawabannya adalah karena musik gamelan sekaten tersebut tidak ada akornya, tidak ada jenis-
jenis akord C, A minor, D minor , G dan seterusnya, sehingga disimpulkan sebagai musik yang
buruk karena harmoninya tidak ada/tidak memenuhi kriteria akor dan sebagainya. Perdebatan
sejenis tentang musik dan bukan musik ini sering terjadi dalam masyarakat, mengukur estetika
dan etika musik melalui perspektif budaya lain adalah tidak tepat.

Aturan-aturan serta estetikanya musik seriosa juga termasuk teknik-teknik vokalnya


akan berbeda dengan aturan, etika serta teknik vokal dalam penyanyi sinden, atau penyanyi
keroncong atau penyanyi campur sari maupun penyanyi musik lain yang terkait dengan jenis
musik etniknya serta kebiasaan budaya masyarakatnya. Sangat berbahaya jika kita menilai
penyanyi sinden dengan krtiteria secara teknik vokal seriosa, para penyanyi sinden karakter
cempreng menjadi salah satu ciri karakternya sebab hal ini berhubungan dengan nuansa suara
gamelan. Sebaliknya dalam menyanyikan lagu-lagu seriosa lebih dituntut dengan teknik suara
yang lebih bulat, tak boleh cempreng demikian pula untuk para penyanyi paduan suara tidak
boleh cempreng. Untuk lebih jelasnya bagaimana suara cempreng yang dimaksud bisa
didengarkan ketika kita mendengarkan suara gamelan kemudian muncul suara pesindennya
atau para pesindennya. Hal yang berbeda bila kita mendengarkan para penyanyi tungal seriosa
maupun festival paduan suara dengan latar musik barat.

B. Penerapan Perspektif 1, 2 dalam Evaluasi Pembelajaran Seni Musik


Nusantara

1. Karakter Melodi

Karakter melodi musik nusantara berbeda antar jenis musik yang satu dengan jenis
musik yang lain. Salah satu karakter khusus adalah pada jenis tangga nada yang dipakai, aspek
ini sangat penting sebab dapat berdampak pada pilihan nada-nada melodi bahkan pada
perpaduan nada-nadanya serta peralatan musik yang digunakan. Ada berbagai tangga nada
yang dipakai dalam musik nusantara antara lain pelog, slendro, jenis pentatonik lain dengan
nada-nada khusus serta tangga nada diatonik.

Tangga nada pelog model ketepatan frekwensi pada gamelan berbeda-beda antar
gemelan satu dengan yang lain namun bila dimiripkan atau sering diistilahkan dengan quasi
dengan suara nada-nada diatonis maka suara deretan nada-nadanya adalah nada 3 (mi), 4 (fa), 5

159
(sol), 7 (si) , 1 (do). Sedangkan tangga nada Jawa Barat, Sunda disebut dengan da, mi, na, ti,
la, da untuk urutan dari suara tinggi bersuara quasi c, b, g, f, e. dengan model tangga nada ini
maka ukuran ketepatan melodinyapun menggunakan nada-nada ini, jadi tidak ada bunyi nada 2
(re) maupun 6 (la). Contoh lagu yang tergolong tangga nada ini misalnya: Lagu Janger (Bali),
Suwe Ora Jamu (Jawa Tengah), Gambang Suling (Jawa), Jenang Gula (Jawa), Hayu Batur
(Sunda).

Tangga nada slendro bila di-quasi-kan memiliki deretan nada-nada sebagai berikut: 1
(do), 2 (re), 3 (mi) , 5 (sol), 6 (la), tangga nada ini tidak memiliki nada 4 (fa) dan 7 (si), jadi
baik dalam permainan musik maupun dalam pengontrolan pitch penyanyi tanpa muncul nada 4
dan 7. Contoh lagu yang tergolong tangga nada ini misalnya: Tanduk Majeng (Madura),
Gambang Semarang ( Jawa Tengah), Ondel-ondel (Jakarta), Gado-gado (Jakarta).

Tangga nada untuk daerah-daerah tertentu agak berbeda misalnya Batak Toba, susunan
nadanya kurang lebih seperti c, d, e, f, g. Sedangkan Batak Karo nadanya kurang lebih seperti
e, f, a, b, c. Masyarakat melayu Sumatera Timur menggunakan 7 nada (heptatonik), nadanya
kurang lebih seperti c, des, e, f, g, a, bes. Sedangkan masyarakat Bugis Sulawesi memiliki pula
heptatonis dengan susunan nada seperti a, b, c, d, e, fis, gis namun tidak tepat seperti itu karena
memiliki penalaan frekwensi tersendiri (Harahap, 2005:79).

Selain memperhatikan contoh pitch yang sesuai tangga nadanya masing-masing sesuai
karakter daerahnya juga perlu mempertimbangkan jenis musiknya. Salah satu contoh jenis
musik keroncong misalnya, keindahan lagunya bukan pada ketepatan bidikan nada-nadanya
tetapi keindahannya justru saat penyanyi mampu memberikan tambahan nada-nada yang lain,
selain nada yang dituliskan dalan notasi lagu. Para penyanyi keroncong harus bisa memberikan
teknik cengkok, tambahan nada-nada untuk menghias lagu; gregel, tambahan nada dengan
durasi not yang lebih sedikit dengan nada disekitarnya; Ngandul, melodinya justru dilambatkan
dari iringan musik namun akhirnya dapat ditepatkan. Karakter khusus pembawaan keroncong
ini tidak didapat dalam musik popular mupun musik seriosa, maka menilai musik keroncong
harus dengan aturan-aturan dan estetika yang terdapat dalam musik keroncong dan sebaliknya.

2. Karakter Harmoni

160
Setiap tangga nada musik yang dipakai oleh masyarakat pemusiknya berpengaruh pada
harmoni serta aransemen musiknya. Deretan nada-nada dalam tangga nada itulah yang
menentukan harmoninya, karena distribusi paduan nada sebenarnya diambil dari nada-nada
yang ada dalam tangga nada yang dipakai. Kesalahan perspektif tangga nada berakibat ketidak
cocokan dalam menilai maupun memainkan serta membuat harmoninya.

Sering terjadi kesalahan pada penerapan harmoni akor ini, tangga nadanya penta tonik
namun jenis akornya menggunakan model diatonik sehingga iringan musik menjadi kurang
tepat. Sebagai pendidik bila mengajarkan hal seperti ini maka kita mengajarkan hal yang
keliru, karena mengajarkan hal yang keliru maka evaluasi pembelajarannyapun ikut salah. Agar
lebih jelas maka mari kita lihat contoh kasus lagu Suwe Ora Jamu (Jawa Tengah) antara melodi
dengan iringannya, harmonisasinya. Lagu Suwe Ora Jamu ini diberi harmonisasi akor I (C) dan
akor IV (F) versi harmoni diatonis sehingga nada-nada harmoninya menjadi tidak tepat, kurang
cocok didengarkan sesuai kategori pelog gamelan Jawa. Kita lihat berikut ini contoh lagu dan
iringannya:

Saat melodi birama ke dua diiringi dengan akor I (C) maka masih tepat, cocok sebab isi akor C
adalah nada-nada do, mi dan sol hal ini masih sesuai dengan kategori quasi pelog yang
memiliki nada-nada mi, fa, sol, si, do, masih sesuai dengan pelog sebab ada nadanya (nada-
nada yang diberi garis bawah). Namun pada akor IV (F) tidak tepat sebab akor F berisi nada-
nada fa, la, do, sementara quasi pelog tidak memiliki nada la (6). Guna mengatasi hal ini serta
agar karakter lagu masih tetap dalam koridor tangga nada pelog maka dipilih perpaduan nada-
nada sol, si dan fa atau kita dapat mengiringi dengan akor G7 namun nada re (2) tidak kita

161
bunyikan. Sehingga iringannya tampak sebagai berikut:

(unsur nada do, mi, sol pelog) (unsur nada sol, si, fa pelog)

Paradigma pelog bila tetap digunakan maka walaupun dengan alat musik keyboard maka
suasana pelog jawa akan tetap terbentuk.

Lagu-lagu yang menggunakan jenis tangga nada slendro isi quasi nada-nadanya adalah
do, re, mi, sol, la. Demikian pula cara memberikan harmonisasi nada-nadanya menggunakan
paradigma tangga nada slendro jadi kita tidak tepat bila menambahkan nada si dan fa untuk
iringan/harmonisasi lagu slendro. Berikut kita lihat contoh kasus lagu Tanduk Majang
(Madura).

Pada saat memberi harmonisasi dengan memilih akor IV (F) tidak tepat sebab unsur akor f
nadanya berbunyi fa, la, do, sementara nada slendro tidak memiliki nada fa. Demikian pula saat
memilih, mengiringi dengan akor V (G) tidak tepat sebab akor G memiliki nada-nada sol, si
dan re sementara nada slendro tak memiliki suara nada si, maka iringan/harmonisasinya
sebaiknya menggunakan nada-nada milik anggota slendro saja.

162
Akor nada: (do, mi, sol masih milik t.n. slendro ) (re, sol, la juga slendro)

Sebagai pendidik bila mengajarkan lagu slendro maka akor yang diajarkan untuk mengiringi
bukan dengan paradigma harmoni diatonik t.n. mayor ( i, ii, iii, iv, v, vi, vii) maupun t.n. minor
harmonis (i, ii, iii, iv, v, vi,vii) namun harmoni laras slendro, setidaknya menggunakan nada-
nada dalam t.n slendro.

Dalam kurikulum KTSP ada materi kompetensi standar mengaransir lagu sederhana.
Agar aransemennya menjadi nuansa musik nusantara, etnik maka harmoni yang dipilihpun
bukan model diatonis namun memilih nada-nada pentatonisnya atau nada-nada yang ada dalam
t.n yang digunakan dalam musik nusantara tersebut. Contoh aransemen sederhana dengan 2
suara untuk lagu pelog dan slendro:

Lagu Suwe Ora Jamu , tangga nada quasi pelog:

Dalam aransemen dua suara ini tidak digunakan nada re (d) dan la (6); biasanya bila dengan
perspektif diatonis maka suara duanya menjadi urutan nada-nada ini: do re, mi mi , do re mi
…, do re re mi do re… dst.

Lagu Tanduk Majang, tangga nada quasi slendro:

163
Dalam aransemen dua suara ini tidak menggunakan nada fa (f) dan si (b), bila dengan diatoni
mayor aransemen suara dua jadi: do remi, mifa,mifa, fa mi do si, aransemen ini tidak tepat
dengan suasana nada-nada slendro.

3. Karakter Ritme

Karakter ritmis musik daerah nusantara banyak yang menggunakan model polifoni,
melodi ritmik yang sama, hampir sama saling susul menyusul; penggunaan nada-nada yang
lebih kecil dan variasi ritmiknya; menggunakan nada-nada loncatan 1/16-an, lagu-lagu Batak,
Kalimantan.

Polifoni:

Lagu Suwe Ora Jamu.

Dengan nada- nada yang hanya lima maka dengan model polifoni, saling susul menyusul antar
melodinya suara satu, dua dan seterusnya maka suasana etniknya menjadi meriah.

164
Variasi ritmik dengan nilai not yang berbeda namun bisa dengan nada yang sama maupun
berbeda namun masih dalam tangga nada yang digunakan:

C. Kesimpulan

Rambu-rambu fungsi, peranan dan nilai-nilai etika serta estetika musik Nusantara harus
dilihat dalam konteks bagi kegunaan masyarakat pendukungnya itu sendiri. Nilai-nilai estetika
musik Nusantara terletak pada perspektif pemilik budaya musik itu sendiri bukan dengan
kriteria budaya yang berbeda. Perspektif dalam etomusikologi ini bila tidak diterapkan sebagai
pola gagasan maka sebagai pendidik akan keliru dalam memaknai seni tradisi nusantara dan
sekaligus pula keliru dalam penerapan pembelajarannya seterusnya berakibat pada kekeliruan
dalam memberikan evaluasi tehadap musik tradisi Nusantara.

165
Daftar Pustaka

Harahap, Irwansyah, Jabatin Bangun dan Ester Siagian 2000. Ethnomusikologi


Diktat Pelatihan Radio Musik Etnik.
_______________. 2005. Alat Musik Dawai . Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni
Nusantara

Kunst, Jaap. 1959. Ethnomusicology. Amsterdam: Martinus Nijhoff

Parto, F.X Suardjo 1989. “Musik Etnisitas dan Abad XX” Dalam: Musik Seni Barat
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradoko, Susilo 1996. “Paradigma Emik dan Etik dalam Penelitian Etnomusikologi.”
Dalam Diksi.Yogyakarta: FBS IKIP Yogyakarta.

____________ . 2004. ” Teori-teori Realitas Sosial dalam Kajian Musik”.Dalam


Imaji Yogyakarta: FBS UNY

Siagian, Esther L. 2005. Gong. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara

Supanggah, Rahayu. 1996. Seni Tradisi bagaimana ia berbicara ? Makalah:


Penataran Peneliti Madya. Surakarta STSI Surakarta.

Widyawan, Paul. 1976. Ondel-ondel. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.

Zanden, James W.V. 1988 The Social Experience. New York: Random House Inc.

166
Gamelan Sekaten Merupakan Fenomena Penuh Makna dan Multi Perspektif
Suatu Kajian Kebudayaan Materi

Materi merupakan budaya manusia karena dengan obyek materi tersebut manusia
mengalami perjumpaan, berinteraksi dengan materi tersebut, Ian Woodward menyatakan
sebagai berikut: “ Object are commonly spoken of as material culture. The term material
culture emphasis how apparently inanimate things within the environment act on people, and
are acted upon by people, for the purposes of carrying out social fungtions, regulating social
relations and giving symbolic meaning to human activity.” (Woodward, 2007:4).

Terjemahan:
“Obyek biasanya dibicarakan sebagai kebudayaan material. Istilah kebudayaan material
menekankan bagaimana benda-benda mati di antara tindakan lingkungan orang-orang, dan
diperlakukan orang-orang, bertujuan untuk membawa fungsi sosial, mengatur hubungan-
hubungan sosial dan memberikan arti simbolis pada aktivitas manusia” (Woodward, 2007:4).
Kebudayaan material menurut Woodward tersebut berarti bahwa benda-benda mati obyek
budaya tersebut mampu bermakna dan selanjutnya berinteraksi secara sosial dengan
masyarakat pendukungnya sebagai sarana simbolis dalam berbagai keperluan memenuhi fungsi
sosial.

Kebudayaan materi tangible selain dipelajari bentuknya yang mencakup ukuran benda
itu, warna benda itu, materi bahan untuk membuat benda itu, komposisi benda itu, juga
dipelajari hubungan benda itu dengan manusia tatkala benda itu digunakan dalam interaksi
sosial masyarakat. Woodward Ian mengungkapkan sebagi berikut : “ Material culture is no
longer the sole concern of museum scholars and archeologist-resercher from a wide range of
fields have now colonized study of object. …. Material culture studies can provide a useful
vehicle for synthesis of macro and micro or structural and interpretative approach in the social
sciences“ (Idem). Obyek menjadi tidak sekedar dipelajari oleh akademisi museum ataupun
para arkeolog namun berkembang menjadi studi kebudayaan materi karena menyangkut
berbagai aspek produksi obyek konsumsi yang menjadi budaya personal, perilaku manusia
karena obyek itu, maupun obyek yang mereproduksi struktur sosial (Woodward, 2007:4).

167
Kekuatan obyek tangible dalam interaksi sosial-masyarakat menurut Ian ada 3 hal
penting seperti diurikan berikut ini: “This section emphasis the varied capacities of objects to
do cultural and social work. In particular, the following case studies demonstrate the diverse
capacities of objects to afford meaning, perform relation of power, and construct selfhood. The
three sections show how objects can be (i) use as markers of value, (ii) used as markers of
identity and (iii) encapsulation of networks of cultural and political power” (Idem: hal 6).
Tiga hal itu adalah (1) benda digunakan sebagai tanda-tanda nilai, (2) benda digunakan sebagai
tanda identitas, (3) benda sebagai pembungkus jaringan budaya dan kekuasaan politik.

Benda material termasuk benda-benda seni ketika dilihat dalam konteks budaya
masyarakat dan sosialnya maka benda tersebut menjadi aktif, benda itu menjadi actant
(meminjam istilah Ian, 2007) yang mampu bergerak secara sosial, obyek memiliki variasi
makna simbol bagi manusia. Bila artefak dan benda-benda seni dipandang demikian maka
kajian analisa kebudayaan terhadap benda budaya tangible tersebut menjadi kompleks dan
pisau analisis membedah maknanya pun menjadi bervariasi atau kombinasi mulai dari bentuk
fisik yang melibatkan ilmu matematis, fisika, pengetahuan dan kajian dan kajian interaksi
makna simbolis dari etnografi-strukturalis hingga post modern.

Dalam esay ini secara khusus akan mengurai kebudayaan material yang berujud
gamelan sekaten yang ada di Keraton Yogyakarta. Gamelan sekaten ini sudah berumur 535
tahun, namun masih dimainkan terus hingga sekarang pada saat upacara Garebeg-Sekaten.
Gamelan sekaten dimainkan dalam upacara sekaten sejak jaman Demak pada tahun 1478 di
bawah kekuasaan Raden Patah, upacara tersebut diteruskan hingga sekarang ini di lingkungan
Keraton Yogyakarta (Pradoko, 1995: 4, Sajid, 1984:4, Sutiyono, 2013:67). Dalam tulisan ini
akan diuraikan sejarah sangat ringkas munculnya gamelan sekaten selanjutnya akan dijabarkan
berbagai fungsi gamelan tersebut bagi masyarakat pendukungnya. Kemanfaatan benda
material yang berujud gamelan sekaten yang begitu kompleks dan banyak inilah yang
mumengkinkan benda material ini tetap “hidup” hingga sekarang.

Sejarah Sangat Ringkas


Prabu Brawijaya V adalah raja Majapahit terakhir sekaligus merupakan akhir dari
pemerintahan Hindu-Budha. Raden Patah berhasil mengalahkan Majapahit dan bertahta di

168
Kerajaan Demak. Pada tahun 1442, setelah beberapa tahun R.Patah memerintah, maka
dirasakan tidak ada perkembangan Islam dalam kerajaannya. Selanjutnya dikumpulkanlah para
wali untuk membicarakan kemajuan pengajaran Islam kepada rakyatnya. Sunan Kalijaga
memberikan usulan agar upacara kerajaan diselenggarakan lagi serta adat memainkan gamelan
Hindu diperbolehkan dimainkan kembali. Namun upacara kerajaan dikaitkan dengan kelahiran
Nabi Muhamad yang dilaksanakan selama satu minggu.

Pada saat pertama kali gamelan sekaten dibunyikan di halaman masjid agung
masyarakat berbondong-bondong melihat karena masyarakat senang dengan dihidupkannya
gamelan tradisi Hindu kembali setelah sekian lama upacara maupun tradisi gamelan Hindu
dilarang oleh Pemerintahan Raden Patah. Sejak itulah pemaknaan gamelan menjadi semakin
kompleks dan sangat fungsional menurut cara pandang masing-masing sehingga hingga kini
tradisi sekaten masih berlangsung dan dihadiri oleh puluhan ribu penonton.

Berbagai Fungsi Gamelan Sekaten


Fungsi Bagi Kerajaan
Upacara Sekaten adalah bermula dari upacara kerajaan Garebeg, ginarebeg dhening
kawula berarti diiringi bersama-sama dengan rakyat. Upacara kerajaan dalam rangka
menyatunya raja dengan rakyatnya atau sering disebut dengan istilah manunggaling kawula lan
Gusti. Gusti di sini diartikan baik sebagai raja maupun Allah, sebab raja merupakan wakil
Allah di Dunia ini. Upacara sekaten diselenggarakan waktu upacara kerajaan ini, maka disebut
Garebeg-Sekaten.

Upacara yang demikian inilah yang mampu memunculkan 4 sub sistem sesuai teori
The Structure of Social Action (1937) karya Talcot Parsons seperti yang dirangkum dalam
Compbell, 1981:225. Empat sub sistem itu adalah (1) pencapaian tujuan dalam hal ini tujuan
kerajaan, (2) adaptasi yaitu cara masyarakat kerajaan melakukan adaptasi, (3) Integrasi, upaya
kesatuan antara raja dan rakyatnya, saat kehadiran raja di tengah-tengah rakyatnya. Pada saat
upacara itu raja membagikan udhik-udhik berupa beras kuning, rempah-rempah dan uang
logam. (4) pemeliharaan pola, melalui upacara itu maka kerajaan memiliki otoritas untuk
mengatur warganya serta sebagai sarana memonitor, mengawasi warganya untuk selalu taat
kepada rajanya.

169
Gamelan sekaten diusung para abdi dalem, (pegawai dan tentara kerajaan) bersama
Raja
Ke luar dari Keraton menuju Mesjid Agung Yogyakarta bersamaan dengan itu selama prosesi
perjalanan raja memberikan udhik-udhik, gamelan yang terdiri dari 2 perangkat itu selanjutnya
di letakkan di pagongan depan Mesjid Agung , satu sebelah selatan dan satu sebelah utara.
Gamelan sekaten inilah yang selalu dihormati pula sebab merupakan representasi kehadiran
raja (Pradoko,1995:73).

Fungsi gamelan sekaten bagi kerajaan yang telah diungkapkan selain sesuai dengan
teori struktur tindakan sosialnya Parsons juga sesuai dengan teori yang diungkapkan Ian
Hodder dalam melihat kebudayaan material yang menyatakan sebagai berikut:
“ … In the first the aim has been to account for the ways in which material symboling
can provide adaptive advantage to social groups. … In the second the ideological component
of symbols it identified within relation of power and domination … In terms of underlying
codes. Although here too the tendency has been on emphasizing multiple meanings contested
within active social contexts … “ (Hodder, 1998 :396)

Fungsi Bagi Abdi Dalem


Para abdi dalem pada saat upacara merupakan pengungkapan representasi diri sebagai
warga terhormat, masuk dalam jajaran keraton. Abdi dalem dalam masyarakat Yogyakarta
sangat dihargai karena memiliki tuah, dianggap sebagai golongan bangsawan, apa yang
diucapkannya dianggap memiliki korelasi berkah karena dia merupakan abdi raja. Secara
khusus juga bagi para pemain gamelan karena saat itu mereka menunjukan kepandaiannya,
kebijaksanaannya dalam tata-cara bermain gamelan, pada zaman dahulu para pemain gamelan
harus melakukan puasa terlebih dahulu sebelum bermain gamelan sekaten.

Pada saat pementasan berarti pula sebagai tambahan rejeki sebab pada saat itu selain
mendapat gaji dari keratin juga mendapat tambahan uang dan berkah. Tambahan uang didapat
dari pemberian masyarakat saat datang melihat gamelan sekaten. Sebagaian masyarakat datang
mendekati pemain Gong gamelan sekaten lalu memberi sesaji bunga, kemenyan dan uang.

170
Fungsi Bagi Masyarakat Pengunjung
Masyarakat pengunjung
(1) Masyarakat pengunjung yang mendapatkan udhik-udhik percaya bahwa uang logam
atau rempah-rempah yang didapat bakan mendatangkan banyak rejeki dengan menyimpannya
ditempat yang diinginkan. (2) Masyarakat pengunjung percaya bahwa dengan melihat dan
mendengarkan gamelan sekaten menjadikan mereka awet muda. (3) Masayarakat pengunjung
yang mendapatkan puing-puing batu bata yang disepak oleh Raja pada saat ke luar dekat
Masjid Agung, percaya bahwa puing tersebut mendatangkan rejeki dan kesuburan lahan dan
tanah pertaniannya atupun rumahnya. (4) Pembelian alat-alat pertanian seperti pecut, topi
petani, alat pertanian lain juga mendatangkan kesuburan, pecut untuk peternakan. (5) Kain
gombal yang dipakai untuk membersihkan gamelan diminta para pengunjung untuk dioleskan
di badan yang bermanfaat untuk kesehatan badan demikian minyak lampu jlupak beserta kapas
yang dipakai saat penampilan gamelan sekaten bila dioleskan di badan membuat sehat dan awet
muda. (6) Pemberian sesaji berupa bunga, kemeyan dan uang kepada gamelan sekaten
(Kanjeng Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu) akan membuat pemberi sesaji
dikabulkan apa yang menjadi keinginannya.

Fungsi Bagi Masyarakat Sekitar Keraton


Masyarakat sekitar keraton Yogyakarta memanfaatkan event sekaten dengan adanya
pasar malam, walaupun gamelan sekaten hanya ditampilkan selama satu minggu namun pasar
malam diselenggarakan selama satu bulan. Selama satu bulan tersebut dimanfaatkan untuk
berjualan berbagai macam barang, hal inilah yang bisa menambah keuntungan ekonomi rakyat.
Seminggu selama gamelan sekaten ditampilkan masyarakat sekitar juga berjualan nasi
kuning, telor rebus warna kecoklatan serta tembakau, sirih, gambir untuk nginang. Masyarakat
percaya bila makan nasi kuning atau nginang sambil mendengarkan gamelan sekaten maka
akan menjadi awet muda.

Fungsi Bagi Para Ulama

Pada zaman dahulu saat masyarakat berbondong-bondong datang , kemudian bagi yang
tertarik mengikuti agama Islam maka diminta mengucapkan kalimat syahadat kemudian

171
dikhitankan. R.M.Sajid melukiskan anak-anak yang mau masuk Islam sebagai berikut : “ Para
ingkang sampun purun angrasuk agami Islam, lajeng kapurih ngalmpahi sunat (tetak),
minongko tandha menawi sampun sunat agami Islam, lare-lare wau sami dipun sukani
sandhang-pengangge sapengadeg ” (Sajid, 1984: 8)
Hingga saat ini di depan Masjid Agung ada ruangan yang digunakan untuk kotbah.
Kotbahnya berisi tuntunan akan ajaran Islam serta meluruskan pandangan-pandangan yang
keliru dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kotbah di Masjid Agung
selama parayaan sekaten selain untuk propaganda juga untuk meluruskan ajaran-ajaran Islam
serta ketaatan dalam menjalankan syariat Islam.

Daftar Pustaka

Pradoko, Susilo. 1995. Fungsi serta Makna Simbolik Gamelan Sekaten dalam
Upacara Garebeg di Yogyakarta. Jakarta: Thesis S2 Program Studi
Antropologi Universitas Indonesia.

Sajid,R.M. 1984. Sejarah Sekaten . Solo: Rekso Pustoko Mangkunegaran.

Soelarto, B. 1993. Garebeg di Kesultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius

Sutiyono. 2013. “Gamelan, Ritual dan Simbol Upacara Sekaten Yogyakarta” dalam Imaji
(hal.66-78). Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni UNY.

Hodder, Ian. 2004. The “Social” in Archaeology Theory: An Historical and Contemporary

Perspective dalam Lyn Meskel dan Robert W Preucel: A Companion to Social

Archaeology. Oxford: Blackwell Publishing.

_______ 1998 The Interpretation of Document and Material Culture.

Woodward, Ian.2007. “The Material as Culture: Definitions, Perspectives,


Approaches”. Understanding Material Culture. Los Angeles: Sage
Publication, Hal 3 – 16.

172
Fenomena Kesenian Angklung Sebagai Bentuk Pertemuan Nilai-nilai Budaya
Timur Menuju Barat; Lokal Menuju Global *)

A. Pendahuluan

Angklung telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia (Intangible,
Cultural Heritage of Humanity) oleh Organisasi pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan (UNESCO) Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bulan November 2010.
Sementara itu Duta Besar Indonesia untuk UNESCO menyatakan bahwa dalam waktu empat
tahun bila Indonesia tidak bisa melestarikan serta mengembangkannya maka pengakuan
warisan budaya tak benda tersebut bisa dicabut (Kompas, 20 Januari 2011).

Tenaga ahli yang memiliki kemampuan melakukan metode penelitian ilmiah tentang
etnomusikologi angklung masih sedikit. Hal itu dikhawatirkan akan mempengaruhi
pengembangan angklung dan statusnya sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia.
Husein Hendriyana, Kepala Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STSI Bandung.
menyatakan sebagai berikut: “ Para pakar atau orang yang paham tentang angklung mungkin
banyak. Tetapi yang mengerti metodologi penelitian ilmiah yang terstruktur saya rasa belum
ada. Hal itu sangat ironis mengingat Indonesia merupakan negara asal angklung” (Kompas, 9
Februari 2011: 12).

Angklung telah ditetapkan pula sebagai alat pendidikan musik sejak tanggal 23 Agustus
1968. melalui Keputusan Menteri Kebudayaan No.082/1968 tentang penetapan angklung
sebagai alat pendidikan musik namun sampai saat ini pengembangan maupun penerapannya di
sekolah-sekolah masih sangat minim. Perhatian dunia perguruan tinggi seni khususnya
memang masih sangat kurang hal ini disebabkan pula masih sangat jarang Perguruan Tinggi
yang memberikan materi mata kuliah angklung sehingga aspek metodologis dan praksisnya
dalam pertunjukan musik kurang berkembang..

Angklung adalah alat musik jenis ideophone yang dibuat dari bambu. Ada dua model
angklung dari sisi teknik membunyikannya yaitu angklung yang dipukul dan angklung yang
caramembunyikannya dengan digoyangkan dengan tangan. Anklung yang cara
membunyikannya dengan dipukul seperti marimba maupun xylophone bila dalam musik barat.

173
Angklung yang cara membunyikannya digoyang dengan tangan terdiri dari dua ,tiga bahkan
empat tabung yang dibingkai dalam satu kerangka bambu yang disebut ancak.

Angklung tradisional terdapat di berbagai daerah (Jawa,Madura,Bali, Sumatera,


Kalimantan) di Indonesia, misalnya angklung banyuwangi, angklung ini termasuk kombinasi
antara angklung yang dipukul seperti gambang, xylophone dan angkung yang digoyangkan
tangan. Namun angklung yang saat ini banyak dikenal adalah angklung yang digoyangkan
dengan tangan berawal dari ide kreatif Bapak Daeng Soetigna pada tahun 1938 dengan sistem
tangga nada diatonic sedangkan angklung tradisional menggunakan sistem tangga nada
pentatonic.. Perubahan Angklung tradisional pentatonic dengan segala fungsinya bagi
masyarakat menjadi angklung diatonic modern inilah yang berdampak pada pengembangan
musical dan perspektif budaya.

B. Pembahasan

1. Nilai-nilai Budaya Timur menuju Nilai Budaya Barat

a. Materi dan Aransemen


1) Musik Angklung Tradisional
Musik angklung tradisional menggunakan tangga nada pentatonic slendro maupun
pelok. Tangga nada slendro bila dikuasikan dengan tangga nada barat bunyinya seperti nada-
nada: c,d,e,g,a (do,re,mi, sol dan la) tangga nada seperti ini banyak di gunakan di wilayah Asia.
Sedangkan tangga nada pelog bunyinya seperti: e, f,g b,c (mi, fa,sol,si). Masing-masing daerah
menggunakan nada-dasar sendiri-sendiri, tidak sama antar daerah yang satu dengan yang lain.
Jaap Kunst menuliskan nada-nada angklung Banyuwangi sebagai berikut:

“The tunning of this instrument is-or, at any rate, tends to slendro, as is evident from the
intervals of specimen in the musichological archives at Batavia, which originates from
Banyuwangi: 298 350 414 457 544 596
I 279 II 290 III 172 IV 301 V 158 I (Kun, 1933: 198).
Sedangkan pada halaman lain angklung slendro juga di daerah Tasikmalaya diungkapkan
sebagai berikut: Scale of an angklung set from Tasikmalaya:
174 1961 217 247½ 280 355 392 447 504
I II III IV V VI VII VIII IX” (Kun,1933: 362)
Dalam tangga nada diatonic Barat pitchnya tidak sama persis namun suara yang terdengar
nada-nada angklung tersebut mirip dengan nada-nada ini:

174
261½ 293½ 329½ 392 440 523
c‟ d‟ e‟ g‟ a‟ c”

Aransemen dalam musik tradisi masih sangat sederhana, aransemen musik dalam
permainan hanya membunyikan nada-nada yang sama tetapi dengan instrument yang bersuara
lebih rendah (alat-alat basnya) atau lebih tinggi satu oktaf. Variasi ritmik yang diperbanyak
antar angklung yang satu dengan yang lain, misalnya ada yang mebunyikan pada beatnya, per
satu ketukan ada yang membunyikan setiap setengah ketukan atau bahkan sepermepat ketukan
sehingga musiknya menjadi meriah walaupun kekayaan nadanya kurang karena hanya meliputi
lima nada pelog atau slendro.

2) Musik Angklung Diatonik


Angklung ini disebut Angklung diatonic karena nada-nadanya disesuaikan dengan skala
nada diatonic yaitu do, re, mi, fa, sol, la, si do, jadi tidak berskala nada Pentatonik (da-mi-na-ti-
la-da) seperti pada angklung tradisional. Angklung Diatonik ini biasa juga disebut Angklung
Padaeng karena Daeng Soetigna yang pertama kali membuat dan memperkembangkannya.
Daeng Soetigna, seorang guru HIS pada zaman colonial Belanda di Kabupaten Kuningan Jawa
Barat yang telah mengangkat derajat angklung di tengah masyarakat. Pada tahun 1938,
dengan dibantu Bapak Jaya yang terbiasa membuat angklung daerah (Angklung Sunda), Pak
Daeng telah berhasil membuat 1 set angklung Diatonik Angklung Diatonik dikembangkan oleh
Daeng Soetigna pada tahun 1938. Angklung di daerah sunda dan di beberapa di tanah air
sebelumnya penalaannya menggunakan tangga nada pentatonic. Angklung diatonic yang telah
dibuat ini kemudian digunakan oleh Bapak Daeng untuk mengajar anak-anak Pramuka. Sejak
saat itulah maka angklung model diatonik berkembang sampai sekarang (Winitasasmita,
1978:14).

Angklung diatonic terdiri dari tiga bagian besar yaitu: (1) Angklung Melodi, (2)
Angklung Akompanyemen. Angklung Melodi terdiri dari dua tabung, tabung pertama
merupakan nada pokok dan tabung kedua merupakan nada satu oktaf lebih tinggi. Semua
tuning sistemnya menggunakan standar musik Barat internasional yaitu frekwensi a= 440‟.
Jelajah Angklung melodi ini berkisar mulai dari nada C oktaf besar hingga c‟‟‟ biasanya
masing-masing angklung diberi nomer kode angka. Angklung Akompanyemen berfungsi untuk

175
mengiringi maka setiap angklungnya memiliki tiga tabung yang merupakan nada-nada akor,
misalnya angklung akompanyemen C memiliki tiga tabung dengan nada-nada: c, e dan g;
demikian seteursnya akor-akor yang lain, merupakan perpaduan anggota akor dalam satu ancak
angklung.
Aransemen musik angklung diatonic bisa sangat kompleks karena memiliki nada-nada
kromatik dan range wilayah yang sangat luas sehingga memungkinkan model aransemen
tinggkat sederhana hanya satu garis melodi dengan iringan akompanyemen samapai dengan
model harmoni orkesttra, penulis sejak tahun 1992 menggabungkan angklung diatonic dengan
symphonic orchestra karena memiliki model aturan yang sama.

Contoh Aransemen sederhana:


Do = C Bungaku Lagu:C.Simanjuntak
6/8 Arr. Susilo Pradoko
Akomp. C F C Am G C
Melodi: 5 5 . 3 1 6 5 . . 3 . 3 2 . 3 1 . 2 3 . . 00 5
Wak tu me nying sing fa jar, pa gi su nyi se nyap

Contoh Aransemen yang agak kompleks dengan model harmoni Barat:

Contoh Aransemen yang lebih kompleks memadukan dengan musik Orchestra:

176
Kebyar-Kebyar

177
b. Nilai Filosofis: Tradisional, Modern, Postmodern

1) Nilai-nilai Filosofis Budaya Tradisional

Dalam permainan musik tradisional ada adat istiadat ritual yang menyatu permainannya
untuk kesuksesan bersama atau ritual religi yang didukung sehingga muncul nilai-nilai:
mengolah kepekaan rasa (roso pangroso), permainan tidak berdasarkan hitungan tetapi lebih
komunikasi musical antar instrument satu dengan yang lain; muncul kebersamaan, individu
tidak boleh menonjol melatih menguasai ego dan pengendalian diri, “aku”, “diri” melebur
(manunggal roso) menyatu dalam komunitas musik menuju keharmonisan alam untuk institusi
maupun untuk yang Maha Agung maka biasanya tidak ada pengarang maupun pembuat
aransemen maupun pelatih yang ditonjolkan , muncul rasa solidaritas dan gotong- royong antar
anggota musik.

2) Nilai-nilai Filosofis Budaya Modern

Sejak penggunaan tangga nada diatonic barat, cirri-ciri budaya modern dapat tampak
jelas dalam fenomena permainan angklung ini. Budaya modern memiliki ciri berlaku universal,
universal sciens, teori-teori universal, berlaku seluruh dunia termasuk untuk ilmu-ilmu sosial
seperti halnya ilmu alam. Akhyar Yusup Lobis menuliskan sebagai berikut:

178
“Pengetahuan alam disebut sebagai Naturwissenschaften sedangakan ilmu humaniora
disebut sebagai Geistewissenschaften. Sebagaimana dikemukakan Schleiermacher, Dilthey,
Gadamer, maupun Habermas, ilmu pengethuan alam berhubungan dengan ilmu pengetahuan
alam yang seragam, fenomena yang statis dan terkontrol maka metode kuantitatif empiris
dianggap tepat diterapkan untuk menjelaskan fonomena alam dan menemukan hukum-hukum
alam. …..” (Lubis, 2004: 56).

Ciri modern juga mengagungkan rasionalitas, pengetahuan bebas nilai, pengethuan absolute
Glenn Ward mengungkapkan sebagai berikut :
“ … The exact character of this age, as well as the precise dates of its beginning and
end, has been described in defferent ways by historians, but it is often associated with faith in:
*progres * optimism * rationality * the search obsulute knowledge in science, technology,
society, and politics * the idea that gaining knowledge of the true self was the only foundation
for all other knowledge. “ (Ward, 2003 : 9).
Pada masa modern ini memandang seni untuk seni itu sendiri bukan untuk religious,
politik,sosial atau yang lainnya. Seni memiliki aturan-aturan ilmiah yang ketat untuk
menghasilkan karya-karya standar yang baik. Gelnn Ward menuliskan sebagai berikut:
“ Modernism similarly believes that art is essentially independent and self-governings.
Although this idea of the autonomy of art has been expressed in many different ways, one of the
most common is to perpose that works of art are intrinsically different from all other sorts of
object. They are governed, if it all, by rules and interest not found else where, and they provoke
special kinds of response in their audience. Art does not have to justify itself economically,
politically, morally, or in terms of it use. It is free from social convention. It is just art “ Ward,
2003: 43)

Dari ciri-ciri filosofi modern dan seni modern tampak bahwa kesenian angklung setelah
dengan sistem diatonik menjadi angklung modern yaitu: hukum berlaku universal, individu
menonjol, bebas dari nilai-nilai aturan religi, sangat kuantitatif dengan perhitungan yang lebih
rijid.
 Hukum universal: hukum universal berlaku tatkala penalaan menjadi standar seluruh
dunia semua instrument menjadi satu hukum yaitu dasar penalaan yang sama (a‟=440)
dengan penalaan ini maka semua instrument yang tergabung memiliki jelajah range
oktaf yang semua frekwansi nadanya standar bila angklung oktaf di bawahnya (a harus
220) dan di bawahnya lagi (A harus 110) bila frekwnsinya kurang maka tidak boleh
dimainkan sebab akan tidak in pitch atau dianggap fales. Model ini membuat angklung
dapat digabungkan dengan instrument barat lain bahkan seluruh instrument orchestra.

179
 Individu Menonjol: “aku”, “diri” tidak malu-malu lagi ditonjolkan sebab memang pada
dasarnya setiap orang memegang angklung yang harus dibunyikan pada saatnya, bila
dia lupa maka bisa terjadi nada melodinya hilang satu atau dua, juga hilang susunan
akornya. Selain itu periode ini tidak malu lagi menyebut pengarang lagu angklung,
pengaransemen, pelatih dan sebagainya, ada penonjolan diri.
 Penghitungan Kuantitatif: Semua dihitung dengan cermat mulai dari penomoran nada-
nada angklungnya, angklung mana saja yang harus dipakai, ada berapa anak/anggota
yang akan memainkan apakah cukup semua nada-nada dalam aransemen dimainkan
oleh anggotanya, seseorang diserahi tugas memegang/memainkan angklung nomer
berapa saja.
 Seni angklung untuk angklung: Pada periode ini tidak ada lagi ikatan dengan nilai-nilai
religi tetapi lebih mengutamakan keindahan komposisi dan aransemen musiknya. (l‟art
pour l‟art), Teknik komposisi dan aransemen mengikuti aturan-aturan baku dalam
bentuk melodi dan harmoni, aturan-aturan ilmu harmoni barat menjadi acuan dalam
mengaransemen angklung, termasuk budaya tulis dalam notasi balok maupun angka.

Nilai Postmodern muncul ketika angklung dimainkan bersama orchestra dan karawitan
menjadi satu muncul dialog dalam kolaborasi terpadunya model kepekaan rasa,roso pangroso,
manunggal roso untuk instrument karawitan dan model scientific, matematis, logis penuh
perhitungan matang pada model angklung diatonic dan Orchestra dengan pendistribusian nada-
nada dalam berbagai instrument dan pengorganisasian musical melalui distribusi nada hinga
akhirnya muncul perpaduan antara natural science dan social science.

2. Sacre menuju Profan

Upacara Sacral

Angklung tradisional dipergunakan untuk peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut


hajat dan kehidupan orang banyak, seperti pada pesta-pesta keluarga atau upacara-upacara
pesta panen, turun bumi, seren taun dimana seluruh lapisan masyarakat ada dalam suasana suka
cita, senantiasa dilengkapi dengan cara menyanyi, menari dan iringan musik bamboo dan
angklung (Winitasasmita, 1978: 11). Di daerah Banten, Baduy, Sukabumi, Cirebon dan lain-
lain, angklung memiliki fungsi utama sebagai sarana ritualseperti upacara ngaseuk pare,
180
nginebkeun pare, ngampihken pare, seren taun, nadran, ngunjung ka Gunung Jati, helaran dan
lain-lain. Dalam fungsi sebagai sarana ritual tersebut angklung dimainkan untuk menghormati
Dewi Sri (Suhada, 2009:8).

Upacara Profan

Semenjak angklung ditala menjadi diatonik kepentingan angklung tidak lagi dalam
upacara panen dan penyembahan Dewi di Sawah tetapi lebih sebgai musik hiburan. Musik
lebih banyak dipakai dalam selingan acara-acara formal, maupun untuk hiburan saat makan dan
menjamu tamu. Angklung pernah dipergunakan saat Konferensi Asia Afrika, Ulang Tahun
Kemerdekaan RI. Saat ini juga banyak dipergunakan untuk menghibur tamu-tamu wisatawan
asing maupun domestic baik menikmati musiknya maupun diajak memainkan langsung seluruh
para wisatawan karena memang angklung ini dapat dimainkan secara masal bahkan ribuan
secara bersamaan sejauh angklungnya ada, hal ini yang dilakukan di Saung Angklung Udjo,
Bandung.

3. Lokal Menuju Global


Angklung Lokal
Angklung tradisional dimiliki hampir seluruh wilayah di Indonesia hal ini karena materi
bahan angklung yang terbuat dari bambu. Pohon bambu ada di hampir seluruh wilayah
Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bambu merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia
terdapat 60 jenis bambu di Indonesia ini. Bambu sering dimanfaatkan menjadi berbagai alat
untuk kebutuhan hidup mulai dari rumah tinggal, peralatan dapur hingga kebutuhan sosial dan
seni bahkan untuk dimakan, bambu yang masih muda.

Angklung ada di berbagai daerah di Indonesia seperti yang dipaparkan Jaap Kunst
berikut ini:
” In recent times, however, it is still reported as having been seen in the territory of
Banyumas, Cirebon, Brebes, Purbalingga, Wanasaba, Bagelen, Yogya, Solo; in the regencies
Panaraga, Trenggalek, Tulungagung, Majakerta, Sidaarja, Grisee, Surabaya, and
Purbalingga; as well as in Madura, Bali, South Sumatra and S.W.Borneo, ... ” (Kunst, 1948:
361).

Angklung Mengglobal

181
Sejak diperkenalkan angklung diatonic oleh Pak Daeng Angklung menuju dunia Global.
Angklung telah menjelajah dunia di luar Indonesia. Sejak tahun 1971, pemerintah Indonesia
menjadikan Angklung sebagai sarana dalam program diplomasi budaya. Angklung sejak saat
itu menyebar luas ke berbagai negara. Di Korea Selatan, hingga kini tercatat lebih dari
8.000 sekolah memainkan Angklung. Di Argentina, Angklung telah menjadi mata pelajaran
intrakurikuler yang menarik bagi siswa, demikian pula di Skotlandia. Sejak tahun 2002,
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia telah memberikan kesempatan bagi siswa-siswi
dari mancanegara untuk belajar dan mengenali Angklung di Indonesia. Kini Angklung tidak
hanya menjadi alat musik kebanggan Indonesia, tetapi menjadi media untuk meningkatkan rasa
persabatan antar bangsa di dunia ( ayerkorido.wordpress.com/).

Selain itu Bapak Daeng Soetigna telah mempelopori untuk memperkenalkan angklung
ke seluruh dunia, sesuai ungkapannya saat pementasan angklung di Bali Room Hotel Indonesia
di depan Perwakilan Asing pada tahun 1968:
“ It cannot be denied that angklung which was originally found only in a few region in
West Java , namely Banten, Tasikmalaya, Garut, has become popular troughout the Indonesian
archipelago. Its fame has in addition spread abroad; to Singapore, Malaysia, Thailand,
Philipines, Australia, New Zaeland and other countries. Its popularity is growing in the united
state where it is known for instance in New York, thanks to the American musician Owen Engel,
and also known at Miss Masson‟s School in Princeton, New Jersey, and at the State University
of Missouri, in St.Louis. … Today I wish to didicate the angklung via Minister of Education to
U.N.E.S.C.O. in the belief that music is a universal language, and that it is popular art
troughout the world “ (Syamsuddin dan Winitasasmita, 1986 : 73-74)

C. Kesimpulan

Musik angklung merupakan pengembangan pengaruh budaya Timur, Indonesia dengan


budaya Barat khususnya pada pemikiran Modern. Angklung tradisional yang bertangga nada
pelog, slendro melalui pemikiran „local genius‟,Pak Daeng Soetigna mampu berkembang dari
instrument tradisi menuju kancah instrument modern setelah dibau tangga nada diatonic,
bahkan merambah postmodern karena daya plastisnya materi bambu itu sendiri.Percampuran
nilai-nilai tradisi Timur berolah rasa: gotong royong, roso pangroso, mistis menuju nilai-nilai
tradisi Barat, metematis, rasional, terstruktur ketat. Angklung sebagai musik local di berbagai
daerah di Indonesia menuju Global melalui pementasan diberbagai Negara, pengukuhan dari
Unesco sebagai warisan budaya tak benda Indonesia, melalui dunia maya serta dunia
pariwisata.

182
Daftar Pustaka

http/www. ayerkorido.wordpress.com, diunduh tgl 25 mei 2013

Kusmargono, C. 1999. Mari Belajar Angklung. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi

Kunst, Jaap. 1948. Music in Java. The Hague, Netherlands: Martinus Nijhoff

Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Filsafat Ilmu – Metodologi Posmodernis Bogor:


AkaDemiA

Noerhadi, Toeti Heraty. 2013 Aku dalam Budaya: Telaah Teori & Metodologi
Filsafat Budaya.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Suwondo, Bambang, dkk. 1978. Ensiklopedia Musik Indonesia . Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Syamsuddin, Helius dan Hidayat Winisasmita. 1986. Daeng Soetigna Bapak


Angklung Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Suhada, Asep dan Tim.2009. Panduan Praktis Melatih Angklung. Bandung: Saung
Angklung Udjo

Ward, Glenn. 2009. Teach Your Self Postmodernism. Chicago: Contemporary


Books.

Winitasasmita, Moch.Hidayat dan Budiman. 1978. Angklung Petunjuk Praktis


Jakarta: Balai Pustaka

183
Lingkaran Pemikiran Postmodern
Kritik atas Paradigma Modern

A. Pendahuluan
Postmodern merupakan perpaduan dua kata post yang berarti setelah dan modern berarti
saat ini, penyesuaian saat ini atau up to date. Penggabungan dua kata tersebut memberikan arti
setelah masa kini. Kemunculan postmodern merupakan upaya kritik yang terjadi atas
kekecewaan yang terjadi pada era modern yang ternyata berakibat buruk pada beberapa aspek
kehidupan manusia, gagasan modernisasi ternyata juga menimbulkan banyak permasalahan
atas aspek kehidupan moral, aspek rasa kemanusiaan, aspek lingkungan serta aspek keindahan.
Kelemahan-kelemahan paradigma modern serta pola berfikir masyarakat modern yang
menciptakan narasi-narasi besar seperti: kemajuan ekonomi, fondasional ukuran ilmiah,
penggunaan teknologi industri, pekerja dengan ban berjalan, seni budaya tinggi semacam ini
yang di satu sisi membuahkan kemajuan namun di sisi lain berakibat keterpurukan
pengekangan manusia dan kesalahan paradigma pemikiran yang tidak disadari oleh para
pemikir era modern.

Pada tulisan ini akan dipaparkan terlebih dahulu pemikiran-pemikiran modern dan
kelemahannya. Kelemahan tersebut memunculkan lingkaran kritis atas teori-teori yang muncul
pada era modern. Para filosof dan seniman pada kelompok pemikiran ini digolongkan sebagai
pemikir-pemikir postmodern, teori-teori dan paradigma yang menunjukkan dan memberi solusi
atas kelemahan-kelemahan paradigm pada era modern.

B. Pembahasan
Era Modern
Era Modern merupakan periode setelah abad pertengahan, merupakan abad pencerahan
dan berkembangnya pemikiran yang mengutamakan akal budi meninggalkan keterkekangan
terhadap rasionalitas agama, meninggalkan budaya mitos dan takhayul. Pencerahan adalah
nama yang diberikan pada gerakan yang terbentang dari abad ke-17 sampai ke-18, di mana
rasio menjadi pimpinan tertinggi, dan perang diadakan melawan takhayul (O‟Donnel, 2009:11).
Institusi modern menurut A. Gidden dalam Buku Cultural Studies Theory and Practice karya
Chris Barker dituliskan sebagai berikut:

184
“Modernity is a historical period following the Midle Ages. It is a post-traditional order
marked by change, innovation and dynamism. The institutions of modernity can be seen, at
least in account of Giddens (1990), to consist of: Industrialism (the transformation of nature:
development of the created environment); Surveilance (control of information and social
supervision); Capitalism (capital accumulation within competitive labour and product
markets); Military power (control of the means of violence trough industrialization of war)“
(Barker, 2008:178).

Pada masa modern ini masyarakat meninggalkan tatanan institusi tradisional, ditandai dengan
inovasi dan dinamisasi perkembangan dunia. Masyarakat modern memiliki ciri industrialisasi,
transformasi terhadap lingkungan alam; pengawasan terhadap informasi dan supervisi akan
dunia sosial, akumulasi modal dengan pemanfaatan pekerja dan pasar-pasar produksi dengan
munculnya kapitalisme; penguasaan kekuatan militer dengan industrialisasi (peralatan) perang.

Salah satu ciri aliran dominan era pencerahan yang mendominasi pemikiran sejak abad
pertengahan hingga akhir abad 19 adalah filosofi positivisme. Positivisme bertujuan untuk
menjadikan ilmu pengetahuan memiliki fondasi yang kuat dan terpercaya. Ajaran dasar
positivisme antra lain: (1) dalam alam terdapat hukum-hukum yang diketahui; (2) penyebab
adanya benda-benda dalam alam tidak dapat diketahui; (3) setiap pernyataan yang secara
prinsip tidak dapat dikembalikan pada fakta tidak mempunyai arti nyata dan tidak masuk akal;
(4) hanya hubungan antar fakta-fakta saja yang dapat diketahui; (5) perkembangan intelektual
merupakan sebab utama perubahan social (Lubis, 2012:6).

Kondisi pemikiran dominan yang mengunggulkan pencerahan akal dari tradisi religius,
pemikiran kapitalisme pemodal menguasai kehidupan ekonomi, pemikiran pencarian dasar-
dasar kebenaran serta cara memperoleh kebenaran dengan pemikiran positivisme logis
membuahkan berbagai konsekwensi buruk dalam kehidupan masyarakat modern. Konsekwensi
buruk itu diantaranya, pertama, pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi
subjek dan objek, yang mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan
alam semena-mena. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivistis dan positivistis
akhirnya menjadikan manusia objek juga, masyarakat direkayasa bagai mesin. Ketiga, dalam
ilmu positif-empiris sebagai standar kebenaran tertinggi, nilai-nilai moral religius terabaikan
yang berakibat meningkatnya kekerasan, keterasingan dan yang sejenis. Keempat, materialisme
ontologisme, materi menjadi kenyataan mendasar hidup menjadi keinginan tak habis-habisnya

185
untuk memiliki dan mengontrol hal material. Kelima, militerisme kekuasaan dengan
memaksakan secara militer. Keenam, bangkitnya tribalisme, mentalitas mengunggulkan suku
atau kelompok sendiri (Sugiharto, 1996:29-30).

Kebanyakan diskripsi tentang seni modern bermasa waktu dari abad pertengahan hingga
akhir abad 19, dengan perkembangan seni lukis impresionis dan post impresionis di Perancis.
Hal ini sering dikatakan sebagai awal periode seni eksperimental yang besar dengan tujuan
mengubah representasi lama menjadi representasi ekspresi dalam bentuk abstrak. Aliran
impressionisme menggerakkan seni lampau yang bergaya realistik menjadi ekspresi bentuk
abstrak, selain itu pada periode ini berpandangan seni untuk tujuan seni. Glenn Ward
mengungkapkan sebagai berikut:
„This is often described as beginning of a great experimental period in art, a period in
which art pursued new goal and broke free from all tradition of representation. In this
simplified view of events, the impressionists triggered of a break from the past in which art
learned to turn away from realistic style of representation and move towards more abstract
form of expression.” (Ward, 2006: 38) pada alinea berikutnya disebutkan sebagai berikut: “ …
- towards a position of highly self-concious art for art sake”(Ward, 2006: 38).

Seniman aliran modern mendedikasikan dirinya untuk seni, meninggalkan seni tradisi,
seni ada di luar kehidupan sehari-hari. Seni bersifat otonomi independen dan mengatur diri,
seni untuk pencarian seni, dalam bahasa perancis l‟art pour l‟art.
Pada periode awal abad ke-19, dengan pemikiran universal scientific-nya, keindahan-keindahan
senipun diatur dengan aturan-aturan yang jelas kriteria-kriteria yang dikategorikan sebagai seni
tinggi. Dalam musik barat khususnya, ketat dengan peraturan harmoni akor serta progresi-
progresinya, bahkan juga aturan dalam struktur karya-karya komposisi. Dalam bidang seni rupa
dan arsitektur dituliskan oleh Kevin O‟Donnel sebagai berikut:
“Dunia seni menyaksikan kelahiran gerakan baru kubisme, dadaisme, surealisme, dan
futurism. Tidak ada lagi artis yang memotret realitas yang meniru dan memotret, jumlah
gambar meledak, orang mengabaikan aturan perspektif, dan warna digunakan dengan
mengabaikan jenis dan pencahayaannya. Gerakkan baru dalam arsitektur itu minimalis,
melucuti dekorasi sampai ke dasarnya, mencari desain secara geometris dan harmonis, dan
gaya universal yang melewati batas Negara “ (O‟Donnel, 2009:14).

186
Aliran seni pada masa modern menurut Glenn Ward memiliki ciri sebagai berikut: “They are
the ideas of: exaperimentation, innovation, individualism, progress, purity, originality.
Modernism in art can be broadly defined as heafy investment in these ideas” (Ward, 2003:39).
Seni pada masa modern juga sering diikuti dengan aturan-aturan yang baku untuk
menghasilkan karya seni Green Beerk, tokoh seni lukis memunculkan aturan sebagai berikut:
“Abandonning shaded modelling and perspective, emphasizing brush strokes, using
hars colours rathe than subtle tonal changes, stressing line (line is abstrack because it doesn‟t
occur in nature), using geometrical forms, using all over compositions, simplifying forms”
(Ward, 2003:44).

Saran aturan dalam seni rupa pada era ini sebagai berikut: meninggalkan model bayangan dan
perspektif, memperjelas garis kuas, menggunakan warna terang, menekankan garis,
menggunakan bentuk geometrik, menggunakan semua komposisi
dan menyederhanakan bentuk (Ward, 2003:44).

Era Postmodern

Postmodern tidak menolak karya-karya modern namun mengkritik aliran Modern.


Aliran paradigma modern memiliki fondasi yang kuat dalam ilmu pengetahuan alam
(naturwissenschaften) berhubungan dengan fonomena alam yang seragam, fenomena yang
statis dan terkontrol maka metode empiris kuantitatif dianggap tepat diterapkan untuk
menjelaskan fenomena alam dan menemukan hukum-hukum alam, sehingga memunculkan
universal scientific dengan basic penelitian terutama positivistik kemudian strruktural dan
fungsional. Sementara pengetahuan budaya manusia, humaniora khususnya seni masuk dalam
ranah Geisteswissenschaften, ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia
(humaniora), fenomena manusia dipandang memiliki keunikan, kesadaran, makna dan tujuan
hidup, tidak statis, memiliki kebebasan memilih untuk bertindak, sulit dikontrol dan mudah
dipengaruhi lingkungan sosial budaya. Menurut W.Dilthey dalam Soerjanto Poespowardojo
dan Alexander Seran dituliskan sebagai berikut:

“ Ilmu pengetahuan alam adalah kelompok ilmu-ilmu eksakta yang menerapkan metode
erklaren (to explain). Sebaliknya ilmu-ilmu budaya atau humaniora adalah ilmu-ilmu non
eksakta yang biasanya menggunakan metode verstehen (to understand). Yang membedakan
ilmu non eksakta dari ilmu eksakta bukan karena objek material yang diteliti, melainkan karena
objek formalnya, yakni pembedaan cara pandang dalam mendeskripsikan kenyataan “
(Poespowardojo dan Alexander Seran, 2015:170).

187
Manusia bukanlah benda atau diperlakukan sebagai benda sehingga tak ada dialektik antara
subyek dan obyek karena membendakan manusia, objektivisasi berdampak kurangnya
penghargaan atas asas etika dan estetika yang dimiliki masyarakat setempat.

Postmodern menekankan pada budaya manusia, humaniora khususnya seni dalam ranah
Geisteswissenschaften, ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia (humaniora),
fenomena manusia dipandang memiliki keunikan, kesadaran manusiawi. Postmodern
memunculkan pandangan antara lain: (1) teori sosial budaya tidak bisa lepas konteks
masyarakatnya, (2) konteks lokal berpengaruh pada nilai-nilai, (3) Acuan pada keunikan
budaya. Karya seni memiliki subyek yang mandiri, subyek dialektik sesuai dengan situasi
kemasyarakatannya, nilai-nilai seni sesuai dengan masyarakat setempat, memiliki keunikan
tersendiri tidak bisa menjadi aturan estetika dan nilai universal. Implikasi dalam pendidikan
seni adalah mengacu pada nilai-nilai estetika permainan bahasanya sendiri (language game).
Implikasi dalam pendidikan seni: penilaian seni tidaklah berlaku sama secara universal, dalam
masyarakat multi kultur, masing-masing seni memiliki keindahannya sendiri sesuai kriteria
estetikanya sendiri-sendiri.
Bentuk seni Postmodern memiliki karakter pemikiran sebagai berikut:

“Aim to appeal to a wider audience; re-thing the relationship between art and popular culture,
and reconsider the supposed differences between works of art and other consumer goods; are
against modernism‟s idea that art defines itself, and see the artness of objects and images as
defined by social acts of interpretation; propose that all cultural production is involved in
complex social relations. Artists are very much inside society. Whereas the critical
vs.conservative debate assumes that artist have to be in position out side of popular culture and
comodification in order to offer a substantial critique of them, postmodernism suggest that such
a position my be neither possible nor desirable.; criticize aspect of culture from within. For
example, rather than reject the language of the masss media for something better, a post
modern artist would present the work that uses those languages ironically, or under erasure.;
do not define themselves by rejecting either modernism or popular culture, but exist as
unsteady territory between the two…… “ (Ward, 2003: 53-54).

Pemikiran karya seni postmodern sebagai berikut: usaha menarik penggemar yang lebih luas;
berfikir ulang hubungan seni dan budaya pop, mempertimbangkan perbedaan antara karya seni
dan barang-barang konsumsi; menentang ide modern bahwa seni mendifinisikan diri, menjadi
didifinisikan interpretasi tindakan sosial; mengemukakan bahwa semua produksi budaya
terlibat dalam hubungan sosial yang komplek, mengkritik aspek budaya „dari jarak antara‟;

188
bahasa dalam media masa bukan yang paling baik; berada di tengah antara modern dan budaya
pop; merujuk, perwujudan dunia melalui wacana yang mereka lakukan (Ward, 2006:53-54).

Pada era modern negara-negara maju (development countries) menerapkan dominasi


kekuasaan melalui pengetahuan, melalui yang disebut sebagai kekuasaan lunak, soft power.
Hoed menjelaskan sebagai berikut:

“Di sini terlihat bahwa kekuatan lunak berada dalam struktur “kuasa“ (power strukture)
dan sekaligus ditinjau dari kacamata semiotik sejumlah unsur budaya negara yang memiliki
kuasa merupakan tanda simbolik yang disepakati dan patut ditiru oleh sebagian besar bangsa
Negara yang dikuasai. Ketika tanda simbolik itu menguasai kita, terjadilah struktur mental yang
menguasai diri kita atau suatu bangsa” ( Hoed, 2011:286).

Demikian aturan yang disebut sebagai pencerahan bagi dunia ke tiga diberlakukan dengan
sistem budaya modern dengan aturan-aturan budaya negara dominan. Pandangan modern inilah
yang disatu sisi dapat dianggap memajukan pengetahuan namun di sisi lain adalah sebenarnya
penggiringan ke pada satu pola pengetahuan dan kebudayaan yaitu kebudayaan Negara
dominan dalam hal ini terutama Negara Barat yang memiliki faham kapitalisme. Kebudayaan
lain menjadi tertindas dan tidak lagi dihiraukan perkembangannya atau bahkan menjadi mati.

Dalam bidang seni, sudah merasuk pula soft power modern. Bangsa memikirkan bahwa
seni yang tertinggi adalah seni model Barat, ukuran baik dan buruk, indah dan tidak indah
dengan sendirinya ditentukan oleh kebudayaan dominan dalam hal ini faham budaya modern
Barat. Sementara telah dikemukakan terdahulu bahwa seni, dalam hal ini seni budaya Bangsa
Indonesia memiliki keindahan tersendiri, memiliki language game sendiri. Tata-bahasa seninya,
gramatika seninya, rangkaian sintagmatik dan paradigmatik seninya berbeda dengan seni
budaya barat; termasuk di dalamnya adalah baik-buruk serta ukuran keindahannya. Setiap
bangsa memiliki seni budayanya sendiri serta memiliki aturan-aturan permainan sendiri,
terlebih bangsa Indonesia yang memiliki lebih dari 640 suku dan memiliki kekayaannya
sendiri. Seni-seni unggul bangsa sebut saja Karawitan, Kroncong, Batik, Tari Jawa, Bali dan
sebagainya harus tidak boleh terlibas oleh paradigma modern namun mereka harus eksis
berdampingan dengan seni modern. Dalam kriteria keindahan ini bisa mengacu pada gagasan
Zanden tentang kekayaan paradigma insider:

189
“We cannot grasp the behavior of other peoples if we interpret what they say and do in
the light of our value, beliefs and motives. Instead of we need to examine their behavior as
insider, seeing it within the framework of their values, beliefs and motives. This approach,
termed cultural relativism, suspend judgement and views the behavior of people from the
perspective of their own culture” (Zanden, 1988:69)

Kita tidak bisa memaknai karya masyarakat lain sebagaimana bahasa kita, perilaku kita,
kepercayaan dan motivasi kita sendiri. Namun kita perlu memaknai melalui perilaku sudut
pandang masyarakat setempat, budaya setempat dan segala aspek historis dan temporal yang
mengikutinya. Postmodern mengkritisi paradigma filosofi dan praktik soft power melalui
universal scientific.
Kesimpulan
Pada era modern mengandung kelemahan pemikiran yang mendewakan rasionalitas
empiris mengalahkan pada permasalahan religius maupun estetika, selain itu mengabaikan
permasalahan sosio-budaya, wilayah geografis masyarakat lokal/setempat, mengabaikan
dialektik melalui pandangan emik setempat. Ukuran estetika lebih menekankan pada aspek
universal, universal dalam hal ini adalah universal menurut ukuran barat hingga mengabaikan
kriteria-kriteria ukuran timur. Dalam bidang seni terdapat rambu-rambu kriteria seni tinggi dan
seni rendah yang baku menurut acuan-acuan yang telah dibuat melalui para pakar komunitas
seniman, sehingga seni menjadi perwujudan keteraturan akademik. Pemikiran kapitalisme
merambah diberbagai bidang yang menimbulkan keinginan kebutuhan berlebihan pada bidang
material yang mengakibatkan keserakahan manusia untuk menguasai barang-barang produksi
dan konsumsi. Terjadi objektivisasi baik terhadap alam maupun manusia, memperlakukan
manusia juga sebagai benda guna keperluan industri dan penerapan teknologi.
Postmodern menekankan pada budaya manusia, humaniora khususnya seni dalam ranah
Geisteswissenschaften, ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia (humaniora),
fenomena manusia dipandang memiliki keunikan, kesadaran manusiawi. Postmodern
memunculkan pandangan antara lain: (1) teori sosial budaya tidak bisa lepas konteks
masyarakatnya, (2) konteks lokal berpengaruh pada nilai-nilai, (3) Acuan pada keunikan
budaya. Karya seni memiliki subyek yang mandiri, subyek dialektik sesuai dengan situasi
kemasyarakatannya, nilai-nilai seni sesuai dengan masyarakat setempat, memiliki keunikan
tersendiri tidak bisa menjadi aturan estetika dan nilai universal.

190
Lingkaran kritik atas teori-teori postmodern perlu digali lebih dalam guna kemajuan
mutu paradigma pemikiran. Pendalaman terhadap teori-teori pemikiran postmodern guna
pemecahan permasalahan-permasalahan: subjek-objek; standar rasionalitas instrumental dalam
positivisme logis yang kurang tepat dalam pemaknaan dilektik fenomena seni budaya
masyarakat; kehausan penguasaan materialisme; pengaturan melalui kecanggihan militerisme.
Pengabaian terhadap teori-teori postmodern akan berakibat pula mandeknya paradigma
keilmuwan baik dalam dunia pendidikan seni maupun dalam bidang seni murni.

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies Theory and Practice. California: SAGE
Publication Ltd.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2004. Filsafat Ilmu – Metodologi Posmodernis Bogor:


AkaDemiA

________. 2006. Dekonstruksi Epitemologi Modern: Dari Posmodernisme, Teori


Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia
Satu.

________, 2012. Bahan Bacaan Program Doktor Mata Kuliah Filsafat dan
Metodologi Pengetahuan. Jakarta: FIB UI

O‟Donnel, Kevin. 2009. Postmodernisme. Terjemahan: Jan Riberu. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius.

Poespowardojo, Soerjanto dan Alexander Seran. 2015. Filsafat Ilmu Pengetahuan


Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Sugiharto, I.Bambang. 1996. Postmodern Tantangan bagi Filsafat . Yogyakarta:


Kanisius.

Reimer, Bennet. 1989. A Philosophy of Music Education. New Jersey: Prentice Hall
Inc.

Ward, Glenn. 2003. Teach Yourself Postmodernism. Chicago: Contemporary Books.

Zanden, James W.V. 1988 The Social Experience. New York: Random House Inc.

191
Involusi Penelitian Kependidikan Guru dan LPTK

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengubah peringatan Hari Guru dari
tanggal 25 November menjadi tanggal 30 Desemnber (Kompas 10 Desember 2015). Perubahan
hari guru menjadi semakin bermanfaat bagi bangsa, bila disertai perubahan paradigm budaya
akademik guru yang pada akhirnya bermuara bagi kemajuan keilmuwan dunia pendidikan.
Perubahan paradigma budaya akademik secara khusus merupakan tugas kemandirian guru itu
sendiri dan institusi penghasil guru, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Kata
involusi, menjadi sangat terkenal di dunia ilmu-ilmu social setelah Cliford Geertz menulis buku
berjudul Argricultural Involution (1963). Buku ini pada intinya memaparkan para petani Jawa
tidak berkembang karena terbelit sistem penjajahan Belanda, para pekerja semakin banyak
tetapi tidak mengembangkan pendapatan per kapita mereka, mereka tetaplah miskin. Kata
involutum dari bahasa latin berarti membebat, membalut, menyelubungi (K. Prent, dkk., 1969).
Penelitian dunia pendidikan saat ini terjadi involusi, tampak berkembang, tampak
semakin banyak penelitian namun dari sisi keilmuwan tidak secara signifikan mengembangkan
mutu akademisnya, seperti berlari di tempat. Kemajuan keilmuwan bidang pendidikan masih
tertinggal dengan keilmuwan bidang lain sebut saja misalnya dunia filsafat kontemporer,
antropologi - sosiologi, ekonomi, kedokteran, teknologi-informasi.
Involusi muncul setidaknya ada dua problema pokok yaitu yang pertama munculnya
wacana bahwa perguruan tinggi ilmu kependidikan menjadi kewajiban mengembangkan
model-model interaksi belajar, cara mendidik di kelas. Wacana ini mengikat sehingga tidak
mengembangkan penelitian materi bidang studi. Penelitian-penelitian dari tingkat pendidikan
S1 hingga S3 penelitiannya mengambil permasalahan pada sistem pembelajaran di kelas, model
penelitian aneka metode diterapkan di kelas untuk mengingkatkan prestasi belajar anak.
Penelitian yang dilakukan di seputar t-test untuk membedakan metode pembelajaran, atau
korelasi. Ada sementara teman menyatakan bahwa perbedaan mutu penelitian antara S1 ,S2
dan S3 adalah perbedaan jumlah variabelnya, bila S1 cukup satu variabel, S2 dua atau tiga
sedangkan S3 tiga atau lebih variable penelitiannya. Persoalan mutu penelitian S1, S2, S3
bukan masalah kedalaman mutu hasil penelitian yang mampu menghasilkan teori atau
pembaharuan suatu teori, namun persoalan jumlah variable. Penelitian yang dilakukan pada
ranah persoalan didaktis metodis, kurang penelitian yang berkait dengan antropo-sosiologi

192
masyarakat pada masa kekinian. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) menjadi syarat dalam
kenaikan pangkat bagi para guru, seperti menabukan metode-metode dari keilmuwan murni
dengan dalih kependidikan. Model penelitian yang menekankan format positivisme, bila format
sudah diikuti, dianggap sesuai prosedur dan valid, inilah kesalahan rasionalitas instrumental.
Rasional bukan berdasarkan alur pemikiran, proses pemecahan masalah melalui cara-cara dan
metode yang sesuai dan tepat dengan permasalahan namun terpola pada logika urutan format
penelitian yang sering dibakukan. Ketaatannya pada model paradigm positivisme ini menjebak
tidak bisa membedakan mana penelitian kwantitatif, mana penelitian kualitatif bagi mahasiswa
calon guru. Metode pendekatan scientific dalam kurikulum 2013 bahkan dengan
menyederhanakan metode penelitian dengan 6 langkah yaitu: mengamati, menanya, menalar,
analogi, hubungan fenomena, mencoba yang bakal diterapkan se-Indonesia. Pendekatan
semacam ini satu sisi memudahkan guru untuk mentrasfer ilmu namun bila guru tidak dibekali
metodologi penelitian lain, maka melemahkan keilmuwannya. Semestinya tidak diberlakukan
lagi universal scientific seperti era paradigm modern namun model penelitian rhizoma dan
model penelitian lain pada era postmodern.
Problema kedua adalah persoalan metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan
adalah buku-buku metode penelitian kependidikan yang notabene adalah persoalan metode
penelitian kwantitatif, sementara berbagai metode penelitian kurang didalami terutama metode-
metode penelitian ilmu-ilmu murni. Metode penelitian sosial, humaniora, filsafat, antropos
tidak pernah secara intens didalami sebut saja misalnya: hermenutika, semiotika,
strukturalisme, post-strukturalisme, strukturasi, analisis wacana, arkeologi pengetahuan
(archaeology of knowledge) , critical theory, etnografi dan yang sejenis.
Kekuatan mendalami metodologi penelitian ilmu-ilmu murni bukannya melemahkan
dunia kependidikan, namun dengan belajar metodologi semacam itu justru akan memperkuat
variasi keilmuwan bidang studi para guru di lapangan. Seorang guru seni yang mendalami
metode penelitian antropologi, etnomusikologi akan mampu menambahkan materi seni
nusantara hasil dari kajiannya sesuai dengan daerah dimana dia harus mengajar. Para guru yang
tinggal dan mengajar di pinggiran pantai semestinya diberi bekal dasar penelitian keilmuwan
murni tentang biologi dan kelautan sehingga mampu menjelaskan keilmuwan yang bermakna
dan berguna bagi murid-muridnya, demikian pula untuk para guru daerah-daerah lingkungan
lain, sesuai kondisi geografis dan sosio-antropologisnya. Solusi dari ketertinggalan penguasaan

193
metode penelitian ilmu-ilmu murni adalah dengan memberi pelatihan metode penelitian ilmu
murni bagi para guru, sedangkan bagi LPTK memberikan metodologi penelitian ilmu murni
sesuai bidang studinya bagi para mahasiswanya. Materi-materi bidang studi dengan demikian
turut bertkembang guna keperluan pembelajaran di tingkat menengah terlebih dahulu
disesuaikan dengan tingkat dengan materi jenjang SD, SMP, SMA serta konteks keilmuwan
kekinian. Materi bidang studi yang dikembangkan ini pada akhirnya menambah referensi
keilmuwan bidang studi tingkat menengah dan sekaligus menaikkan mutu buku pelajaran yang
sampai saat ini masih menjadi bahan belajar utama para murid di Indonesia yang masih
kesulitan internet, perpustakaan, guru dengan buku pelajaran di tangan menjadi sumber ilmu
(Anwar, Kompas 11 Januari 2016). Kemampuan semacam ini juga sangat bermanfaat bagi
mahasiswa calon pemimpin bangsa bidang kependidikan, manakala harus membuat kebijakan.
Wawasan keilmuwannya tidak hanya di seputar metodologis di kelas saja, sehingga keputusan-
keputusan kebijakan pendidikan berdasarkan keilmuwan terkini, analisis penelitian masyarakat,
kondisi geografis dan lingkungan budayanya.

Daftar Pustaka

Anwar, Kompas 11 Januari 2016

Geertz, Cliford. 1963. Argricultural Involution. California: University of California Press

Kompas 10 Desember 2015

Prent, K. , Adisubrata dan Poerwadarminta. 1969. Kamus Latin Indonesia.


Semarang: Penerbitan Jajasan Kanisius.

194
Proses Semiotika Perubahan Makna Relief Ramayana Prambanan

Abstrak

Artikel ini merupakan cuplikan dari hasil penelitian tentang Perubahan Makna Candi Siwa Prambanan
Sejak Abad ke-9 hingga Abad ke-20. Perubahan makna dalam tulisan ini membatasi diri pada masa pengaruh
kuasa Hindu. Pisau analisis untuk mengkaji perubahan makna dengan menggunakan semiotika Roland Barthes.
Semiotika Roland Barthes menggunakan semiotika sistem mitos.Perubahan makna kajian semiotik bagi Roland
Barthes melalui proses sistem makna tingkat primer dan berlanjut dengan sistem makna tingkat sekunder. Hasil
penelitian perubahan makana sebagai berikut: Relief Ramayana berisi kisah epik Ramayana yang menceritakan
kisah kepahlawanan di mulai dari kelahiran Rama hingga kemenangan Rama atas Rahwana yang telah menculik
istrinya , Dewi Sinta. Pada sistem primer yang sekaligus juga menjadi makna denotasi, yang merupakan penanda
(signifier) adalah rangkaian pahatan-pahatan batu Ramayana selanjutnya menjadi petanda (signified), cerita kisah
epik Ramayana. Penanda dan petanda menyatu menjadi bentuk tanda (sign) disebut sebagai Relief Ramayana.
Pada sistem sekunder, makna konotasi, signifier diistilahkan dengan form oleh Barthes yaitu tetap Relief
Ramayana, selama proses sistem mitos berlangsung signified pada sistem sekunder oleh Barthes diistilahkan
menjadi Concept dan pada sistem sekunder ini kisah epik Ramayana menjadi ajaran dharma, norma-norma,
pranata dan etika perbuatan baik bagi manusia.
Abstract

This article is an excerpt from the results of research on Changes Meaning of Shiva temple Prambanan Since the
9th century until the 20th century. Changes meaning in this article confine themselves to the influence of Hindu
power. The method to assess changes meaning by using semiotics of Roland Barthes. Semiotics Roland Barthes
uses myth semiotic. Roland Barthes semiotic studies through the primary level and continuing with the system of
secondary level of meaning. The changing of meaning research results as follows: Relief Ramayana contains the
story of the Ramayana epic that tells the story of heroism in the beginning from birth until the victory of Rama
Rama over Ravana who had abducted his wife, Dewi Sinta. In the primary system who will also be the meaning of
denotation, which is a marker (signifier) is a series of stone sculptures Ramayana subsequently be signified, the
story of the Ramayana epic story. Signifier and signified coalesce into the form of a sign is called the Ramayana
Relief. In the secondary system, connotations, signifier termed a form by Barthes is still Relief Ramayana, as long
as the system processes the myth takes place signified the secondary system by Barthes termed become Concept
and in the secondary system is the epic story of Ramayana into the doctrine of dharma, norms, institutions and
good deeds for human ethics.

195
A. PENDAHULUAN

Masyarakat dan kebudayaan selalu berada dalam perubahan, tidak pernah berhenti
walaupun kadang-kadang seperti ada stagnasi. Sebetulnya ada perubahan yang
berlangsung sangat lambat. Kadang-kadang perubahan berlangsung sangat cepat
seolah-olah melompat, membuat lonjakan yang mendadak (Jacob, 1998:12). Sejalan
dengan kebudayaan masyarakat yang telah diuraikan, kebudayaan material berupa
candi, arca, dan relief juga mengalami perubahan.
Fenomena menarik muncul dalam kebudayaan material berupa Candi. Candi
Prambanan pada masa Hindu-Buddha abad VIII berfungsi sebagai kuil, tempat
ibadah, maupun tempat rohani Hindu. Dalam proses perkembangan zaman, candi
berubah menjadi tempat pariwisata bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Relief pada masa Hindu-Buddha bermakna ungkapan cerita dan berkaitan dengan
ajaran nilai-nilai moral. Relief yang dipahatkan pada candi biasanya mengandung arti
atau melukiskan suatu peristiwa atau cerita tertentu (Soekmono, 1981:87, Munandar,
2012:17). Kisah relief Ramayana bermakna sebagai ajaran-ajaran religious-moral
bagi agama Hindu. Tujuan kisah Ramayana adalah ajaran kelahiran kembali yang
lebih baik dalam siklus karma (kompensasi moral) dan samsara (transmigrasi), atau
pada akhirnya pembebasan bukan empatlistik (moksa) dari khayalan eksistensi
individu. Kebebasan ini dianggap untuk menemani realisasi kebenaran spiritual diri
seseorang (atman) sebagai Brahman (realitas tertinggi). Upaya sebelum meninggal
dunia adalah melakukan perilaku sosial, mereformasi diri dalam etika, melaksanakan
pengabdian (bhakti) ke berbagai dewa. (Hindery, 1976:2).
Pemaparan representasi relief Ramayana itu mampu berfungsi sebagai jalan
kontemplasi moral yang dihayati. Sementara relief yang sama pada zaman setelah
kemerdekaan menginspirasi seni pertunjukan seni, drama, dan tari (sendratari)
Ramayana yang sangat terkenal itu. Relief juga dibuat tiruannya dari bambu, keramik,
maupun poster dan diperjualbelikan dengan harga yang relatif murah sebagai oleh-
oleh wisata. Proses waktu mampu membuat pemaknaan terhadap Relief Ramayana
dapat berubah. Perubahan makna Relief Ramayana diungkap dengan proses
semiotika. Robert W. Preucel dalam bukunya Archaeological Semiotics

196
mengungkapkan bahwa dalam karya-karya Foucault: The Order of Things, The
Arcaeology of Knowledge dan Discipline and Punish, Michel Foucault menggunakan
kata Archaeologi dalam cara yang berbeda. Kata ini ia gunakan untuk
menggambarkan suatu metode analisis yang sesuai untuk ilmu pengetahuan
humanistik. Analisis ini mengkaji praktik wacana yang diasosiasikan dengan
perkembangan tingkatan-tingkatan sejarah ilmu pengetahuan dan
metodenya/episteme. Praktik wacana ini merujuk pada saling keterhubungan yang
kompleks dan tersembunyi di antara, pranata, teknik, grup sosial, dan mode-mode
persepsi (Preucel, 2010:1). Arkeologi dalam terminologi Foucault untuk menganalisis
ilmu pengetahuan humanistik melalui analisis wacana terhadap semiotika dari ide,
kata, gambar, bunyi dan objek, dalam hal penelitian ini adalah Candi. Robert W.
Preucel mengungkapkan arti semiotik sebagai berikut:
“Semiotik merupakan lahan kajian, multi disipliner dalam
cakupan dan dalam skop internasional, mengembangkan studi kecakapan
manusia untuk memproduksi dan mengerti tanda-tanda. Apakah tanda
itu? Tanda adalah semacam suatu ide, kata, gambar, bunyi, dan objek
yang kompleks berimplikasi dalam: komunikasi. Semiotik meneliti sistem
tanda dan mode representasi yang digunakan manusia untuk
menyampaikan emosi, ide, dan pengalaman hidup ” (Preucel, 2010:5).

Tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat, sedangkan


ilmu yang mengkaji tanda adalah Semiotika. Semiotika semula muncul dalam
ilmu bahasa, namun Roland Barthes berpendapat bahwa tidak hanya digunakan
untuk bidang bahasa saja:
“Tujuan penelitian semiologi adalah untuk menyusun fungsi dari sistem
penandaan selain bahasa dalam kesesuaian dengan tipikal proses dari
beberapa aktivitas strukturalis, yang membuat suatu simulasi dari objek di
bawah pengamatan” (Roland Barthes dalam Sunardi, 2004:37).
Dalam artikel ini hanya akan melihat perubahan makna dalam satu masa periode
pengaruh kuasa yaitu masa Hindu.
B. KAJIAN TEORI

197
Semiotik adalah ilmu tentang tanda. Preucel mengungkapkan arti semiotik sebagai
berikut:
“Semiotics can be as the field, multidisciplinary in coverage and
international in scope, develop to the study of the innate capacity of
human to produce and understand signs. What are sign ? Sign are such
things as ideas, word, images, sound and objects that are multiply
implicated in: the communicative . Semiotics thus investigates signs
systems and the modes of representation that humans use to convey their
emotions, ideas, and life experiences “ (Preucel, 2010: 5).

Terjemahan:

“ Semiotik dapat sebagai lahan kajian, multidisipliner dalam


cakupan dan dalam skop internasional, mengembangkan studi kapasitas
asli manusia untuk memproduksi dan mengerti tanda-tanda. Apakah
tanda itu? Tanda adalah semacam suatu ide, kata, gambar, bunyi, dan
obyek yang kompleks berimplikasi dalam: komunikasi. Semiotik meneliti
sistem tanda dan mode representasi digunakan manusia untuk
menyampaikan emosi, ide, dan pengalaman hidup” (Preucel, 2010: 5).
Tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat, sedangkan
ilmu yang mengkaji tanda adalah Semiotika. Benny H. Hoed dalam bukunya
Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya menuliskan sebagai berikut:
“ Semiotika adalah “ilmu” yang mengkaji tanda dalam kehidupan
manusia. Karena manusia memiliki kemampuan untuk memberikan makna pada
berbagai gejala sosial budaya dan alamiah, maka sayapun berkesimpulan
bahwa tanda adalah bagian dari kebudayaan manusia. Dengan demikian
semiotik adalah “ilmu” yang dapat digunakan untuk mengkaji tanda dalam
kehidupan manusia “ (Hoed, 2011: xix).

Semiotika semula muncul dalam ilmu bahasa, namun Barthes berpendapat


bahwa tidak hanya digunakan untuk bidang bahasa saja:

“ The aim of semiological research is to reconstitute the


functioning of the system of signification other than language in
accordance with the process typical of any structuralist activity, which is
to build a simulacrum of the objects under observation” (Roland Barthes
dalam Sunardi, 2004: 37).

198
Terjemahan:
“Tujuan penelitian semiologi adalah untuk menyusun fungsi dari
sistem penandaan selain bahasa dalam kesesuaian dengan tipikal proses
dari beberapa aktivitas strukturalis, yang membuat suatu simulasi dari
obyek di bawah pengamatan“ (Roland Barthes dalam Sunardi, 2004: 37).

C. METODE

Pengungkapan makna dalam penelitian ini menggunakan semiotika. Arti


Semiotik menurut Robert W. Preucel sebagai berikut:

“Semiotik merupakan lahan kajian, multi disipliner dalam cakupan dan


dalam skop internasional, mengembangkan studi kecakapan manusia untuk
memproduksi dan mengerti tanda-tanda. Apakah tanda itu? Tanda adalah semacam
suatu ide, kata, gambar, bunyi, dan objek yang kompleks berimplikasi dalam:
komunikasi. Semiotik meneliti sistem tanda dan mode representasi yang digunakan
manusia untuk menyampaikan emosi, ide, dan pengalaman hidup ” (Preucel,
2010:5).
Tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat, sedangkan
ilmu yang mengkaji tanda adalah Semiotika. Semiotika semula muncul dalam
ilmu bahasa, namun Roland Barthes berpendapat bahwa tidak hanya digunakan
untuk bidang bahasa saja:
“Tujuan penelitian semiologi adalah untuk menyusun fungsi dari
sistem penandaan selain bahasa dalam kesesuaian dengan tipikal proses
dari beberapa aktivitas strukturalis, yang membuat suatu simulasi dari
objek di bawah pengamatan” (Roland Barthes dalam Sunardi, 2004:37).

Semiotika dalam penelitian ini menggunakan semiotika mitos dari Roland Barthes.
Pengertian mitos yang dikemukakan Roland Barthes didekati secara berbeda,
meskipun mempunyai akar kata yang sama yang berarti ujaran. Mitos bagi Roland
Barthes adalah suatu sistem komunikasi karena mitos menyampaikan pesan, mitos
adalah suatu bentuk dan bukan obyek atau konsep, mitos tidak ditentukan oleh
materinya melainkan oleh pesan yang disampaikan. Mitos tidak selalu bersifat verbal
melainkan dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan non
verbal. Contoh: dalam bentuk film, lukisan, patung, fotografi, iklan ataupun komik.
Semua dapat digunakan untuk menyampaikan pesan (Zaimar, 2013:19).

199
Ciri mitos dan fungsinya untuk memahami lingkungan alam dan diri manusia inilah
yang coba diteorisasikan oleh Roland Barthes dengan menggunakan semiotik
(Sunardi, 2004:89). Mitos sebagai kritik ideologis atas budaya massa dan sekaligus
menganalisis secara semiotik cara kerja mekanik bahasa budaya massa dituliskan
oleh Barthes dalam bukunya berjudul Mythologies (Sunardi, 2004:85).
Mitos yang dimaksudkan Roland Barthes bukanlah mitos seperti cerita yang
panjang-panjang seperti dalam mitologi Yunani misalnya Pahlawan Hercules,
Theseus atau Perang Troya, Mithos Barthes bukanlah cerita tentang dewa-dewi yang
dianggap pernah ada dan diakui kebenarannya oleh masyarakat pendukungnya dan
merupakan kisah cerita dengan narasi yang panjang. Mitos Roland Barthes
merupakan a type of speech, suatu tipe wicara (jenis tindak tutur) yang disajikan
dengan sebuah wacana (Barthes, 2013:152) Wacana-wacana yang dimunculkan
membuahkan mitos, manakala mitos diterima maka perilaku masyarakat mengikuti
wacana mitos tersebut, untuk itulah maka mitos Roland Barthes sering diungkapkan
sebagai mitis sebab bentuk mitosnya berbeda namun sifat-sifat mitosnya merasuki
melalui apa yang diwacanakan. Mitos tak menyembunyikan dan tak memamerkan
apapun: ia hanya mendistorsi; ia hanyalah sebuah pembelokan (Barthes, 2013:186).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem pemaknaan sekunder akan
mengungkap pembelokan-pembelokan tersebut akibat sistem mitis yang bekerja
dalam masyarakat pendukungnya.
Mitos merupakan suatu proses suatu sistem penandaan, sebagai sistem
semiotik mitos dapat diuraikan sebagai tiga unsur yaitu signifier, signified dan sign
pada sistem tingkat pertama atau sistem primer. Pada sistem sekunder R. Barthes
menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsur itu yaitu, form, concept dan
signification (Sunardi, 2004:85). Barthes membuat skema sistem mitos seperti
digambarkan dalam bagan 24 berikut ini:

200
Bagan 24: Skema sistem Mitos (Sumber: Sunardi, 2004:315).

Sistem primer yang mencakup signifier, signified dan sign diambil


sepenuhnya menjadi bentuk baru pada sistem sekunder menjadi form, concept dan
signification. Kalau sistem pertama (primer) adalah sistem linguistik, sistem kedua
adalah sistem mitis yang mempunyai keunikannya. Sistem kedua (sekunder) memang
mengambil model sistem pertama, akan tetapi tidak semua prinsip yang berlaku pada
sistem primer berlaku pada sistem sekunder (Sunardi, 2004:89).

D. PEMBAHASAN

Pada relief awal epos Ramayana digambarkan Dasarata mengadakan korban


persembahan kepada Dewa. Ia adalah seorang raja yang berbudi luhur, baik hati serta
memperhatikan rakyatnya sehingga kerajaaannya tenteram, damai, dan bahagia
seluruh rakyatnya. Dasarata memiliki putra Rama yang merupakan titisan Dewa
Wisnu. Tokoh Rama memiliki sifat-sifat yang patut dicontoh bagi menusia, ia
seorang yang sangat bertanggung jawab dalam tata kehidupannya. Seorang yang
luhur dan baik budi, walaupun seorang putra mahkota namun dia merelakan tahta
kerajaan dan bersedia menjalankan sumpah ayahnya untuk melakukan pengasingan
di hutan, contoh seorang pemimpin yang tidak memikirkan materi duniawi namun
lebih pada tanggung jawab moral dan kegigihannya menjalankan keteladanan
spiritual.

Sinta merupakan contoh seorang wanita yang menjaga kesetiaannya serta


kesuciannya untuk berteguh menantikan suaminya walaupun mengalami berbagai

201
godaan dan rayuan serta janji Rahwana. Lesmana merupakan contoh bagi manusia
untuk mengasihi saudara tuanya secara total dengan segenap pengabdian dan
dedikasinya hanya untuk memperjuangkan dharmanya kepada kakaknya Rama.
Tokoh Hanoman sebagai contoh bagi manusia untuk mengabdikan diri kepada
tuannya secara total, sebagai pengabdi Negara, apapapun tugas yang diberikan selalu
dilaksanakan sebaik mungkin sebab dengan demikian dia memiliki dharma yang
baik bagi majikan sekaligus pengabdian bagi Negara.

Tokoh antagonis sebagai pelajaran bagi masyarakat pendukungnya bahwa


perbuatan-perbuatan keserakahan, perbuatan tidak beretika akan membuahkan mala
petaka baginya. Rahwana merupakan tokoh yang serakah, sudah diberi kekuatan
oleh Dewa namun malah kekuatannya untuk menggangu jagad raya dunia sehingga
kehidupan dewa-dewa maupun manusia terganggu, namun kemurkaan Rahwana
akhirnya dapat dikalahkan. Kombakarna merupakan tokoh pendukung antagonis,
seorang yang baik dan taat kepada Negara dan kakaknya, namun akhirnya
meninggal, hal ini memberikan pelajaran bahwa bila kebijakan Negara salah yang
menanggung mala petaka juga para pembesar dan rakyatnya.

Tujuan kisah Ramayana adalah kelahiran kembali yang lebih baik dalam
siklus karma (kompensasi moral) dan samsara (transmigrasi), atau pada akhirnya
pembebasan bukan dualistik (moksa) dari khayalan eksistensi individu. Kebebasan
ini dianggap untuk menemani realisasi kebenaran spiritual diri seseorang (atman)
menuju sebagai Brahman (realitas tertinggi). Hanya yang satu perilaku sebelum
terakhir dan nilai sosial, reformasi etika dan pengabdian bhakti (Hindery, 1976:2).
Pengabdian kepada Dewa, persembahan kepada para Dewa serta perilaku-perilaku
yang baik di dunia ini akan memberikan moksa, keadaan indah menyatu bersama
Sang Dewa tertinggi di Nirwana. Inilah epik Ramayana yang mengajarkan nilai-nilai
moral bagi pengikutnya serta nilai-nilai religi yang seharusnya dikerjakan kepada
Dewa, sesama, lingkungan alam, maupun terhadap Negara.

Pada masa Hindu ini para tokoh-tokoh dalam cerita Ramayana merupakan
contoh teladan kepada pemeluknya untuk berbuat baik sesuai teladan para tokoh-
202
tokoh itu. Pada masa ini belum ada perubahan makna yang signifikan dalam sistem
sekunder, masih merujuk pada ajaran kepribadian para tokohnya. Tokoh Dasarata
merupakan contoh seorang raja yang baik, memperhatikan rakyatnya serta setia
dalam berdoa kepada sang dewanya. Tokoh Rama, seorang yang pemaaf, membela
dunia, rela berkorban untuk kebaikan dunia. Tokoh Hanoman adalah contoh seorang,
mahluk (sebab dia kera) yang selalu berbakti kepada Negara dan rela mengorbankan
nyawa demi memperjuangkan kebaikan. Tokoh Sinta, selalu mempertahankan
kesucian seorang wanita, seorang yang setia kepada suami. Tokoh Lesmana, rela
berkorban untuk saudara tuanya sebab tahu kakaknya menjalankan hal-hal yang baik
dan benar. Tokoh Wibisana, adalah seorang yang mengerti kebaikan dan membela
siapa yang benar. Tokoh Rahwana adalah tokoh simbol keserakahan duniawi dan
kesewenang-wenangan atas kekuasaannya. Tokoh Kombakarna adalah contoh
seorang yang membela Negara walaupun Negaranya dalam kaadaan bersalah dan
Kombakarna menyadari hal itu. Secara ringkas tokoh-tokoh ini ditulis dalam bagan
berikut: Tokoh-tokoh Ramayana dan makna kepribadiannya.

Bagan: Tokoh-tokoh Ramayana dan makna kepribadiannya.

Makna kisah epik Ramayana secara denotatif merupakan perwujudan alur


cerita yang berjalin membentuk cerita kepahlawanan. Makna cerita konotatif
203
merupakan ajaran bagi pemeluknya serta bagi umat manusia untuk dapat mencontoh
peran-peran yang baik guna diterapkan dalam hidup manusia. Makna konotatif
sebagai ajaran bagi manusia dipaparkan dalam bagan berikut ini.

Bagan: Makna tokoh Ramayana pada sistem sekunder.


Para tokoh dalam Ramayana menjadi contoh seseorang untuk berperilaku yang
baik, merupakan contoh pendidikan karakter untuk berperilaku baik bagi pemeluk
agama Hindu pada waktu itu sehingga akhirnya orang mampu mencapai moksa di
Nirwana. Penghayatan akan kisah Ramayana, mampu membangkitkan semangat
orang untuk betul-betul mewujudkan ajaran budi pekerti luhur yang sangat baik untuk
dilakukan dalam kehidupan realitas sehari-hari.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Relief Ramayana pada sistem primer atau disebut juga sistem


linguistik/bahasa, memiliki wujud relief pahatan pada dinding Candi Siwa
dilanjutkan dengan relief pahatan pada dinding Candi Brahma, mulai dari adegan

204
Raja Dasarata mempersembahkan korban dalam upacara ritual sebagai dharma
hinggga adegan Kusa dan Lawa dinobatkan menjadi raja di Ayodya pada dinding
Candi Brahma. Ekspresi relief pahatan pada dinding Candi Siwa hingga Candi
Brahma inilah yang merupakan signifier pada sistem linguistik. Signifier memiliki
makna yang merupakan isi dari signified, isi signified-nya adalah kisah
kepahlawanan Rama yang merupakan reinkarnasi dari Dewa Wisnu. Signifier dan
signified menyatu menjadi sign (tanda), yang merupakan sign-nya adalah Relief
Ramayana. Pada sistem mitos, sign Relief Ramayana menjadi form dilanjutkan
dengan berkerjanya sistem mitos sehingga menumbuhkan isi, concept-nya dalam
adalah ajaran tentang dharma, ajaran tentang norma dan etika menuju pencapaian
moksa. Form dan concept merupakan satu kesatuan yang menjadi signification,
significatioannya dalam hal ini adalah kitab suci-Ramayana, lebih jelasnya proses
sistem linguistik dan sistem mitos dipaparkan dalam bagan berikut ini.

Bagan : Skema Sistem Mitos Relief Ramayana

205
D. DAFTAR PUSTAKA

Barthes, Roland. (1981). Elemnts of Semiology. English Translation: Jonathan.


New York: Hill and Wang.

_______ (2007). Petualangan Semiologi. Terjemahan: Stephanus Aswar


Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

_______ (2013). Mitologi Terjemahan: Nurhadi, A.Sihabul Milah.


Yogyakarta: Kreasi Wacana

Casparis, J.G. de. (1956). Selected Inscriptions From The 7th to The 9th Century
A.D. Bandung: Masa Baru.

Crapo, Richley H. (2002). Cultural Anthropology Understanding Ourselves &


Others. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

Foucault, Michel. (1973). The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock


Publications.

------------. (1976). Arkeologi Pengetahuan. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir.


Yogyakarta: IRCiSoD.

Hamilton, Edith. (2011). Mitologi Yunani. Terjemahan: Rachmatullah. Depok:


ONCOR Semesta Ilmu.

Haryono, Timbul. (2006). Sejarah Seni Pertunjukan dalam Perspektif


Arkeologi. Yogyakarta: Makalah Diskusi Sejarah dengan tema Sejarah
Seni Pertunjukan dan Pembangunan Bangsa, diselenggarakan oleh Balai
Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional .

Hoed, Benny H. (2010). “Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan
Hermeneutik” dalam Semiotika Budaya . Christomy T. dan Untung Yuwono
Ed., Jakarta: PPKB FIB UI.

_______ (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas


Bambu.

Ijzerman, J.W. (2009). “ Perigi-perigi Candi Prambanan” dalam Jordaan:


Memuji Prambanan. Jakarta: Yayasan Obor. Hal. 161-182.

Jordaan, Roy. E. (1993). Imagine Buddha in Prambanan Reconsidering The


Buddhist Background of The Roro Jonggrang Temple Complex. Leiden:
Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Asie en Oceanie.

206
_______ (2009). Memuji Prambanan. Jakarta: Yayasan Obor – KITLV Jakarta.

Krom, N.J. (1996). “Arca-arca Prambanan” dalam Roy Jordaan. Memuji


Prambanan. Jakarta: Yayasan Obor – KITLV Jakarta. Halaman 200 -207.

Piliang, Yasraf Amir. (2012). Semiotika dan Hiper Semiotika Bandung: Matahari.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. (2010). Ramayana Djawa Kuna Teks dan Terjemahan


Sarga I – XII. Jakarta: Perpustakaan Nasional.

Preucel, Robert W. (2010). Arhaeological Semiotics. Malden: Wiley-Blackwell


Publishing Ltd.

Rajagopalachari, C. (2012). Kitab Epos Ramayana. Terjemahan:Yudhi


Murtanto. Yogyakarta: IRCiSoD.

Ras, J.J. (1987). Babad Tanah Jawi De prozaversie van Kertapradja.


Dordrecht: Foris Publications Holland.

Resink, G.J. (1073). From The Old Mahabarata- to The New Ramayana –
Order Leiden: Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde 131(1975),
no:2/3. Hlm.214-235.

Sony Kartika, Dharsono. (2007). Kritik Seni. Bandung: Penerbit Rekayasa Sain.

Sunardi, St. (2012). Vodka dan Birahi Seorang “Nabi”. Yogyakarta: Jalasutra.

_______. (2004). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Stutterheim, Willem.(1989) Rama-Legends and Rama-Reliefs in Indonesia. New


Delhi: Indira Gandhi National Centre for the Arts.

Vogel, J.PH. (2009). “Relief Rama Prambanan yang Pertama”. Dalam Jordaan:
Memuji Prambanan Jakarta: Yayasan Obor, hlm. 183-199.

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri. (2014). Semiotika dalam Analisis Karya


Sastra.
Depok: Komodo Books.

Jurnal :

Hindery, Roderick. (1976). “ Hindu Ethics in Ramayana” dalam The Journal


of Religious Ethics diunduh melalui : http://www.jstor.org.

207
Semiotika Guna Penelitian Objek Kebudayaan Material Seni

A. Pendahuluan

Kebudayaan material adalah benda hasil olahan budaya manusia, benda ini
memiliki peran tertentu bagi bagi kebutuhan manusia. Ian Woodward menjelaskan
sebagai berikut:
“ The term „material culture‟ emphasizes how apparently inanimate things
within the environment act on people, and are acted upon by people, for the perposes
of carrying out social fungtions, regulating social relations and giving symbolic
meaning to human activity “ (Woodward, 2007: 3).

Kebudayaan material menekankan bagaimana benda tak berjiwa di antara


lingkungan bertindak atas manusia, dan diberlakukan manusia untuk tujuan fungsi
social, mengatur relasi sosial dan memberikan arti simbolis pada aktivitas manusia.
Terminologi Ian Wodward menjelaskan bahwa objek, kebudayaan materi
memberikan arti simbolis bagi manusia. Arti simbolis sangat berkaitan dengan ilmu
tentang tanda, atau disebut sebagai semiotika. Objek kebudayaan material maka
memiliki tanda-tanda yang akan mampu menggerakan manusia dan benda tersebut
diaktifkan dan dihidupi oleh manusia, sebab tanda-tanda tersebut mngikat manusia.
Paparan dalam tulisan ini akan mengungkapkan terlebih dahulu penjabaran
tentang kebudayaan material, meliputi ciri-ciri kebudayaan material dan cakupan-
cakupannya dalam konteks hubungan bagi kebutuhan hidup manusia. Selanjutnya
akan memaparkan bagaimana kebudayaan material tersebut diurai melalui analisa
semiotik sehingga menjadi salah satu model pendekatan penelitian seni terhadap
kebudayaan material.

B. Pembahasan
Uraian untuk memecahkan permasalahan penelitian semiotika dalam objek
kebudayaan material seni ini, akan dibagi menjadi empat bagian yaitu pertama
menguraikan kebudayaan material seni dan yang kedua uraian tentang semiotika itu
sendiri, dalam tulisan ini semiotika dibatasi pada pemunculan semiotika hingga
pemikiran semiotika sistem mitos dari Roland Barthes, sedangkan semiotika
208
trikotomi dari Charles Sander Peirce tidak dikupas dalam tulisan ini. Bagian ketiga
memaparkan terapan dari semiotika Roland Barthes guna penelitian objek
kebudayaan material seni. Bagian keempat merupakan bahan-bahan latihan kajian
analisis semiotika mitos objek kebudayaan material seni hingga objek barang
komoditi masa kini.

1. Kebudayaan Material Seni

Kebudayaan material sering dihubungkan dengan benda, objek, barang-


barang, artefak, komoditas dan sekarang ini sering disebut pula sebagai aktan yaitu
suatu barang yang berfungsi menjiwai gerakan manusia. Benda memiliki eksistensi
material dan kongkrit tetapi benda tidak berjiwa membutuhkan aktor sehingga benda
tersebut memiliki imajinasi jiwa dan aktifitas fisik. Objek adalah komponen budaya
material yang dapat dipersepsikan melalui sentuhan atau penglihatan. Artefak
biasanya dianggap sebagai benda simbolik dalam aktifitas social masyarakat.
Barang-barang (goods) adalah objek yang diproduksi berdasarkan relasi kebutuhan
pasar ditandai dengan nilai dalam sistem pertukaran, dalam konsep barang-barang
produksi kapitalis. Komoditi adalah ekspresi teknis yang berhubungan dengan
konsep barang-barang, masuk dalam kelompok barang-barang dagangan. Aktan
adalah terminologi akhir-akhir ini peristilahan dari sosiologi ilmiah yang merujuk
pada entitas baik manusia maupun benda yang memiliki kemampuan untuk bertindak
secara sosial. (Woodward, 2007: 15).
Objek kebudayaan material memiliki empat peranan penting dalam
kehidupan manusia yaitu sebagai (1) penanda nilai, (2) penanda identitas, (3) serta
wujud jaringan kekuasaan (4) sebagai wadah mitos. Objek kebudayaan material
diberi nilai-nilai yang disepakati dan berlaku bagi masyarakatnya. Objek kebudayaan
material menjadi identitas suatu masyarakat tertentu. Objek kebudayaan material
sebagi simbol hadirnya relasi kuasa melalui objek tersebut. Objek, budaya material
diberi pesan mitos melalui isi narasi atau cerita dimana proses terbentuknya ada
pengaruh kekuasaan. Perwujudan cerita mitos tersebut digetok-tularkan, disebar
luaskan melalui sistem wacana/kuasa. Wacana-wacana yang dimunculkan

209
membentuk paradigma pemikiran, paradigma pemikiran inilah yang akhirnya
mengubah perilaku masyarakatnya untuk menanggapi objek budaya material
tersebut. Objek kebudayaan material dengan demikian merupakan penanda nilai,
penanda identitas, wujud jaringan kekuasaan serta wadah pesan mitos yang menjadi
acuan perilaku bagi masyarakat pendukungnya (Pradoko, 2015: 205-206).
Seni menurut Herbert Read seperti yang dikutip Sony Kartika dalam bukunya
Kritik Seni diungkap sebagai berikut:

“Seni merupakan usaha manusia untuk menciptakan bentuk-bentuk yang


menyenangkan. Bentuk yang menyenangkan dalam arti bentuk yang dapat
membingkai perasaan keindahan dan perasaan keindahan itu dapat terpuaskan
apabila dapat menangkap harmoni atau satu kesatuan dari bentuk yang disajikan”
(Read 1959:1, Dharsono, 2007:7).

Leo Tolstoy dalam penulisannya tentang apakah seni itu antara lain
mengungkap sebagai berikut:

“ Art is activity that produces beauty”.. pada bagian lain dinyatakan pula: “
The activity of art is based on the fact that a man receiving trough his sense of
hearing or sight another man‟s expression of feeling, is capable of experiencing the
emotion which moved the man who expressed it” (Tolstoy, 1979:36).

Objek kebudayaan material seni adalah barang-barang, benda-benda


peninggalan budaya, objek benda yang mampu menjadi aktan sehingga mampu
bertindak secara social, semua barang, benda, objek yang dibuat manusia tersebut
dijiwai dengan budi daya manusia guna mewujudkan keindahan. Objek kebudayaan
material seni dengan demikian bisa berwujud bangunan, arca, patung, relief, artefak,
buku karya sastra, lukisan, perpaduan tulisan-gambar-ilustrasi, alat-alat/instrumen
musik, alat-alat tari/kostum, teks/naskah/score musik, drama, tari, video musik,
drama, tari, objek benda-benda karya seni kerajinan, termasuk objek barang-barang
komoditi konsumen masa kini seperti: busana, perhiasan, hand phone, laptop, mobil
yang diberi sentuhan keindahan dalam objek material tersebut.

2. Semiotika Sistem Mitos Roland Barthes

210
Ferdinand de Saussure melihat tanda terdiri dari signifiant (bahasa Perancis)
dan signifiė (bahasa Perancis) dalam bahasa Inggris menjadi signifier dan signified.
Barthes menggunakan teori significant-signifie yang dikembangkan menjadi teori
tentang metabahasa dan konotasi. Istilah significant menjadi ekspresi (E) dan signifie
menjadi isi (C). Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi
(R) tertentu sehingga terbentuk tanda (sign). Ini suatu konsep structural seperti yang
dikemukakan de Saussure . Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda menjadi
lebih mungkin berkembang karena R ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut
Barthes E dapat berkembang membentuk tanda baru sehingga ada lebih dari satu
penanda dengan C yang sama. Gejala ini disebut sebagai metabahasa atau
kesinoniman (Hoed, 2014:57).
Proses adanya relasi dalam semiotika ini, menurut Roland Barthes
mengakibatkan perkembangan makna, makna menjadi sangat kompleks. Ada makna
denotatif, yaitu merupakan makna awal, makna pertama hubungan E dan C. Proses
relasi manusia memunculkan dua kemungkinan makna tingkat sistem sekunder yaitu
makna konotasi dan makna meta bahasa. Makna konotasi terjadi bila proses E-R-C
pada sistem primer menjadi C pada sistem sekunder. Makna meta bahasa terjadi bila
proses E-R-C pada sistem primer menjadi E pada sistem sekunder (Barthes, 1957,
Sunardi, 2004:71-74, Hoed, 2014:178-179). Gambar skema konotasi dan denotasi
sebagai berikut diambil dari penjelasan Benny H. Hoed dan St. Sunardi dengan
ditambahkan sendiri kode tanda panah agar proses pada sistem sekundernya lebih
jelas. Pada sistem sekunder konotasi yang berkembang adalah Content-nya atau
isinya; sedangkan pada sistem sekunder metabahasa yang berkembang adalah
Expressi-nya. Sistem konotasi memiliki formula (EC) R C sedangkan metabahasa
dengan formula E R (EC) (Sunardi, 2004: 72).

Bagan konotasi dan metabahasa sistem sekunder.


211
Barthes mengembangkan pula semiotika sistem mitos guna mengkaji fenomena
kebudayaan, ciri mitos dan fungsinya untuk memahami lingkungan alam dan diri
manusia inilah yang coba diteorisasikan oleh Roland Barthes dengan menggunakan
semiotik (Sunardi, 2004:89). Mitos sebagai kritik ideologis atas budaya massa dan
sekaligus menganalisis secara semiotik cara kerja mekanik bahasa budaya massa
dituliskan oleh Barthes dalam bukunya berjudul Mythologies (Sunardi, 2004:85).
Mitos yang dimaksudkan Roland Barthes bukanlah mitos seperti cerita yang
panjang-panjang seperti dalam mitologi Yunani misalnya Pahlawan Hercules,
Theseus atau Perang Troya, Mithos Barthes bukanlah cerita tentang dewa-dewi yang
dianggap pernah ada dan diakui kebenarannya oleh masyarakat pendukungnya dan
merupakan kisah cerita dengan narasi yang panjang. Mitos Roland Barthes
merupakan a type of speech, suatu tipe wicara (jenis tindak tutur) yang disajikan
dengan sebuah wacana (Barthes, 2013:152) Wacana-wacana yang dimunculkan
membuahkan mitos, manakala mitos diterima maka perilaku masyarakat mengikuti
wacana mitos tersebut, untuk itulah maka mitos Roland Barthes sering diungkapkan
sebagai mitis sebab bentuk mitosnya berbeda namun sifat-sifat mitosnya merasuki
melalui apa yang diwacanakan. Mitos tak menyembunyikan dan tak memamerkan
apapun: ia hanya mendistorsi; ia hanyalah sebuah pembelokan (Barthes, 2013:186).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem pemaknaan sekunder akan
mengungkap pembelokan-pembelokan tersebut akibat sistem mitis yang bekerja
dalam masyarakat pendukungnya.
Mitos merupakan suatu proses suatu sistem penandaan, sebagai sistem
semiotik mitos dapat diuraikan sebagai tiga unsur yaitu signifier, signified dan sign
pada sistem tingkat pertama atau sistem primer. Pada sistem sekunder R. Barthes
menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsur itu yaitu, form, concept dan
signification (Sunardi, 2004:85). Barthes membuat skema sistem mitos seperti
digambarkan dalam bagan 24 berikut ini:

212
Bagan 24: Skema sistem Mitos (Sumber: Sunardi, 2004:315).

Sistem primer yang mencakup signifier, signified dan sign diambil sepenuhnya
menjadi bentuk baru pada sistem sekunder menjadi form, concept dan signification.
Kalau sistem pertama (primer) adalah sistem linguistik, sistem kedua adalah sistem
mitis yang mempunyai keunikannya. Sistem kedua (sekunder) memang mengambil
model sistem pertama, akan tetapi tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem
primer berlaku pada sistem sekunder (Sunardi, 2004:89).
Adanya sistem mitos, yang merupakan ungkapan-ungkapan, cerita singkat
panjang, narasi-narasi kesemuanya sebenarnya merupakan pesan-pesan yang
disampaikan melalui sistem wacana. Wacana merupakan produk pengetahuan,
sebagai suatu bentuk pengetahuan yang mengatur dan meregulasi cara praktik sosial-
kemasyarakatan dibicarakan, pengetahuan tidaklah bebas murni sebagai pengetahuan
namun ada pengaruh kekuasaan (Rabinow, 2002:9). Wacana yang dipahami Foucault
sebagai penjelasan, pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang,
pengetahuan, dan sistem abstrak pemikiran manusia, menurut Foucault tidak lepas
dari relasi kuasa. Wacana selalu bersumber dari pihak yang memiliki kekuasaan dan
dari mereka yang memiliki pemikiran kreatif. Hal ini memungkinkan mereka untuk
membangkitkan relasi kekuasaan dan pengetahuan dalam suatu sistem sosial, dan
kemudian dengan berpijak pada tautan relasi tersebut mereka mampu memproduksi
wacana yang kebenarannya bisa diakui dan bertahan pada suatu rentang historis
tertentu (Kali, 2013:3). Relasi antara produk pengetahuan yang mengatur dan
meregulasi masyarakat dengan kekuasaan tidak dengan mudah tampak namun perlu
kajian analisis peristiwa serta pernyataan-pernyataan yang muncul, dilanjutkan

213
dengan menganalisis secara kritis sebab-akibat mengapa pernyataan semacam itu
dimunculkan.
Roland Barthes mengungkapkan adanya sistem pemaknaan primer dan
sekunder dengan memberi contoh caver gambar pada majalah Paris Match. Pada
sistem primer makna secara denotasi adalah seorang serdadu algir sedang memberi
hormat pada bendera Negara Perancis, Tricolour. Makna pada sistem sekunder
fenomena gambar tersebut adalah bahwa Negara Perancis yang besar, demokratis,
penyayang, penuh persaudaraan ternyata menjajah Bangsa Algeria (Barker, 2008 ).

(Penghormatan pada Tricolour)


Objek kebudayaan material terlebih bidang seni selalu memiliki makna denotasi dan
konotasi, sebab seni leterleg, wadhag bukanlah seni yang sifatnya tinggi namun
dianggap sebagai seni yang dasar.

3. Terapan Semiotika guna Penelitian Objek Material Seni.

Salah satu wujud kebudayaan material misalnya Gamelan Sekaten. Fenomena


Gamelan Sekaten menjadi fokus penelitian kebudayaan material dengan
menggunakan pisau analisis semiotika sitim mitos dari Roland Barthes. Agar lebih
mudah proses mengurai dan memperoleh versteken mengunakan sistem semiotika
Barthes maka dibuat bagan analisis semiotika mitos gamelan sekaten sebagai
berikut:

214
( Bagan analisis semiotika mitos gamelan sekaten)
Gong merupakan alat musik paling besar yang terbuat dari logam di antara
seperangkat peralatan musik gamelan sekaten, dalam sistem permainan gamelan
adalah sebagai penentu irama, pemberi aksen kuat dan memberikan acuan pola
bentuk gendhing. Inilah yang merupakan makna secara denotasi, selanjutnya gong
tersebut dalam masyarakat pendukungnya terdapat sistem mitos di mana Gong
merupakan gagasan representasi kebesaran, keagungan, representasi pengganti
raja.Gong mendapat nama Kyai yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur Madu.
Gong yang dipersonkan menjadi representasi kehadiran raja, sementara raja sendiri
merupakan wakil Allah di dunia ini maka permohonan atas Gong Kyai Nogowilogo
dan Kyai Guntur Madu juga akan mendapat kesejahteraan, keselamatan, anugerah
sesuai dengan permintaanya, kemenangan (pada waktu Kapten Taks terbunuh maka
dibunykan pula saat itu gamelan sekaten). Selengkapnya penjelasan ini diringkas
dalam bagan semiotika sistem mitos Gaong Gamelan Sekaten berikut ini:

215
(Bagan semiotika sistem mitos Gong Gamelan Sekaten)
Pada sistem primer makna denotasi, gong (signifier) adalah (signified)alat
musik terbuat dari logam yang berwujud paling besar dan berfungsi sebagai penentu
irama, penentu bentuk lagu dan penegasan bentuk gendhing . Pada sistem sekunder,
sistem primer (gong) diambil alih sepenuhnya sehingga seutuhnya wujudnya tetap
gong, pada sistem sekunder ini Barthes member nama Form bukan Sign untuk
membedakan dengan yang pertama. Gong (Form) berarti representasi kehadiran
Maha Agung, Dewa Agung, Raja, Kyai Agung yang mampu memberi perantara
mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, rejeki, kesehatan (concept). Form dan
Concept-nya menyatu melalui sistem mitos yang diterima oleh masyarakat
pendukungnya sehingga menjadi Kyai Nogo Wilogo maupun Kyai Guntur Madu
yang terletak di kedua Pagongan sebelah utara dan selatan.
Objek kebudayaan material seni tidak hanya gamelan, namun barang dan
benda apa saja seperti yang telah dipaparkan terdahulu, untuk lebih jelasnya berikut
ini dipaparkan analisis semiotika mitos arca durga, namun karena terbatasnya tempat
uraian ini maka hanya dimunculkan bagan sistem semiotika sistem mitos sistem
sekunder metabahasa serta keterangan secara garis besar saja, selanjutnya
diinterpretasi dan dinarasikan secara imajinatif pembaca.

216
(Bagan semiotika sistem mitos meta bahasa Arca Durga)
Keterangan: Pada bagan tersebut ditampilkan sistem primer Arca Durga,
selanjutnya bagian sistem sekunder terjadi perubahan makna matabahasa dimulai
sejak jaman masa pengaruh Hindu, masa pengaruh Islam, masa Kolonial dan masa
Kemerdekaan. Metabahasa terjadi karena berlakunya sistem mitos melalui proses
sistem pengetahuan/wacana, seperti halnya uraian terdahulu kebudayaan material
Gong Sekaten menjadi mitos Maha Agung guna memohon berkah, kesejahteraan
dst. (content konotasi), Kyai Nogo Wilogo sebagai perubahan metabahasa. Ada dua
sisi penting pisau analisis dalam bagan tersebut yaitu analisis semiotika sistem mitos
dan analisa wacana yang memunculkan sistem mitos tersebut.

4. Bahan Analisis Semiotika Sistem Mitos Objek Kebudayaan Material

Pada bagian latihan ini ada objek kebudayaan material yang dilengkapi
dengan narasi sumber tulisannya namun juga ada yang tidak ada. Bahan yang
dilengkapi degan narasi akan lebih mudah untuk mencari makna denotasi serta
konotasinya, melalui sistem sekunder dan sistem primer dengan analisis wacana
yang memunculkan mitos sehinga bersesuaian dengan sistem semiotik , tanda-tanda
yang diekspresikannya.

217
Relief Upacara Korban Raja Dasarata, Cuplikan Relief Ramayana Prambanan.
Relief:

Rangkaian Foto I : Adegan upacara ritual, adegan Dewa Wisnu, adegan permohonan
para dewa kepada Dewa Wisnu, adegan Istana Dasarata (Foto Pradoko, 2014).

Narasi:

Pada saat raja Dasarata yang berbudi luhur mengadakan ritual dan upacara
korban sebagai dharma, di kayangan para Dewa mengadakan pertemuan ihwal
permohonan para dewa agar Dewa Wisnu berkenan turun ke dunia dan membunuh
Rahwana yang selalu sewenang-wenang, angkara murka, membuat kesengsaraan
serta bertindak semena-mena terhadap perempuan (Poerbatjaraka, 1952:29,
Rajagopalachari, 1958:26).
Pada saat Dasarata mempersembahkan korban ritual upacara dharmanya,
para dewa berkenan dan memberikan semangkuk payas. Dewa berpesan agar
memberikan payas kepada para istrinya. Dengan hati girang tak terperi, Dasarata
menerima mangkuk itu dan membagikannya kepada ketiga istrinya, yakni Dewi
Kausalya, Sumitra dan Kaikeyi. Ia berikan sebagian kepada Dewi Kausalya,
sebagian yang lain kepada Sumitra. Separuh sisa bagian Sumitra diberikan kepada
Kaikeyi dan sisanya dihabiskan Sumitra. Dewi Kausalya kemudian mengandung dan
melahirkan titisan Dewa Wisnu, yaitu Rama yang selanjutnya memiliki misi untuk
membunuh Rahwana. Kaikeyi melahirkan Bharata dan Sumitra melahirkan Lesmana
dan Satruguna, karena meminum minuman Dewata dua kali (Poerbatjaraka, 1952:50-
51, Rajagopalachari, 1958:27).

218
Aspek Analisis:
Sistem primer; sistem sekunder;signifier; signified; sign; form, concept,
signification; analisis mitos melalui sistem wacana/pengetahuan yang muncul;
materi relief, ide gagasan yang muncul; nilai-nilai yang ada; nilai religius; nilai
social; nilai-nilai acuan perilaku; nilai-nilai budi pekerti; aspek nilai kebaikan; aspek
nilai-nilai kejahatan; makna denotasi; makna konotasi. Dua bagian analisis utama
yaitu aspek semiotik berkaitan dengan tanda dan aspek semantik yang berkaitan
dengan pemaknaan melalui narasi dan wacana yang muncul.

Terapan Analisis Semiotika Mobil:


Mercy

Narasi:
……………………… Waktu dan konteks narasi saat muncul.. ?
Analisis Semiotika Mitos:Sitem primer; sistem sekunder; konotasi; metabahasa
denotasi; sistem pengetahuan/wacana dalam masyarakat yang muncul, dasar
pemikiran semiotika sistem mitos.

219
Semiotika Suzuki Karimun Wagon
Wujud Mobil:

Narasi:

KARIMUN WAGON R, produk Kendaraan Bermotor Roda Empat Hemat Energi &
Harga Terjangkau (KBH2), or Low Cost Green Car (LCGC) yang diperkenalkan
oleh PT. Suzuki Indomobil Sales (SIS) menjadi jawaban bagi masyarakat modern
Indonesia dengan memiliki unsur SUPER (Spacious, Useful, Practical, Efficient,
Reasonable). Dengan perpaduan harapan dan kebutuhan akan kendaraan yang dapat
menyelaraskan antara kebutuhan transportasi yang multiguna, gaya hidup dengan
kepedulian lingkungan hidup itulah yang dikembangkan dengan oleh Suzuki yang
mengerti akan kebutuhan masyarakat Indonesia yang selaras dengan brand promise
dari Karimun Wagon R, yaitu ”Lebih dari cukup”. (sumber: Suzukikaltim.com;
Suzuki.co.id, diunduh tgl 29 juli 2015)
Analisis Sistem Semiotika Mitos: Sistem primer; sistem sekunder; sign; signifier;
signified; form; concept: sistem mitos, pengetahuan yang muncul; signification.

220
Analisis Semiotika Tari:

Analisis Semiotika Produk Kosmetic:

Semiotika sistem mitos-nya R. Barthes ? …………..

Analisis Semiotika Produk Makanan


KitKat:

Produk makanan ini pada tahun 2005 sangat laris di Jepang. KitKat, ungkapan dalam
bahasa Jepang Kitto Katsu yang berarti semoga beruntung. Marianne Rosner
Klimchuk dan Sandra A.Krasovec menuliskan sebagai berikut:

221
“ Suatu laporan pada bulan Agustus 2005 edisi berita dunia BBC menyatakan terjadi
lonjakan penjualan cokelat batang Kit Kat produksi Nestle di Jepang karena nama
cokelat batang itu mirip dengan ungkapan dalam bahasa Jepang Kitto Katsu yang
berarti semoga beruntung. Orang tua dan siswa sekolah suka membeli KitKat
sebagai „jimat keberuntungan‟ pada saat ujian “ (Kimchuk dan Sandra A.K.,
2006:48).

Bagaimanakah denotasi gambar ilustrasinya ? Bagaimanakah analisis semiotika


mitos Roland Barthes pada kasus desain kemasan ini ? Apa pengaruhnya dalam
masyarakat ?

C. Kesimpulan

Objek kebudayaan material seni adalah komponen material yang dapat


dipersepsikan melalui sentuhan atau penglihatan hasil budi daya manusia untuk
mencapai keindahan dan memenuhi kebutuhan hidup. Artefak biasanya dianggap
sebagai benda simbolik dalam aktifitas social masyarakat. Barang-barang (goods)
adalah objek yang diproduksi berdasarkan relasi kebutuhan pasar ditandai dengan
nilai dalam sistem pertukaran. Aktan adalah terminologi akhir-akhir ini peristilahan
dari sosiologi ilmiah yang merujuk pada entitas baik manusia maupun benda yang
memiliki kemampuan untuk bertindak secara sosial. Objek kebudayaan material
memiliki empat peranan penting dalam kehidupan manusia yaitu sebagai (1) penanda
nilai, (2) penanda identitas, (3) serta wujud jaringan kekuasaan (4) sebagai wadah
mitos. Objek kebudayaan material diberi nilai-nilai yang disepakati dan berlaku bagi
masyarakatnya, objek kebudayaan material seni di dalamnya mengadung ide,
gagasan serta nilai-nilai yang sesuai dengan konteks masyarakatnya.

Penelitian objek kebudayaan material seni menggunakan semiotika Roland


Barthes melakukan tahapan-tahapan utama yaitu yang pertama melihat struktur
seluruh tanda-tanda yang tampak dalam kajian benda material tersebut. Secara
cermat memastikan segala aspek benda material utama sesuai fokus penelitian dapat
tertangkap dan diungkapkan makna denotasinya sesuai dengan proses pemikiran
sistem primer. Langkah kedua adalah mengkaji pesan-pesan budaya material
tersebut malalui pesan-pesan teks, dokumen, karya sastra, literatur sesuai peristiwa
222
dan konteksnya dan menemukan sistem pengetahuan/wacana masyarakatnya yang
memunculkan mitos-mitos yang diterima oleh masyarakatnya. Langkah ketiga
adalah pencarian makna sistem sekunder dengan menelusuri form dan concept-nya
dan didapatkan sign baru, signification. Akhirnya menemukan makna sistem
sekunder yang dapat berupa metabahasa, di mana perubahan yang terjadi adalah
pada bagian ekspression dan makna sistem sekunder perubahan yang terjadi pada
bagian isi atau content-nya.

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies Theory and Practice. California: SAGE
Publication Inc.

Barthes, Roland. (1981). Elemnts of Semiology. English Translation: Jonathan.


New York: Hill and Wang.

_______ (2007). Petualangan Semiologi. Terjemahan: Stephanus Aswar


Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

_______ (2013). Mitologi Terjemahan: Nurhadi, A.Sihabul Milah.


Yogyakarta: Kreasi Wacana

Foucault, Michel. (1973). The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock


Publications.

------------. (1976). Arkeologi Pengetahuan. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir.


Yogyakarta: IRCiSoD.

Graham, Gordon. 1997. Philosophy of The Arts An Introduction to Aesthetic. New


York: Routledge.

Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu.
_______ 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas Bambu.

Kali, Ampy. 2013. Diskursus Seksualitas Michel Foucault. Maumere: Ledalero.

Klimchuk, Marianne Rosner dan Sandra A. Krasovic. 2006. Desain Kemasan


Perencanaan Merek Produk yang Berhasil Muai dari Konsep sampai
Penjualan.Terjemahan: Bob Sabran. Jakarta: Penerbit Erlangga.

223
Pradoko, Susilo. 2015. Perubahan Pemaknaan Candi Siwa Prambanan Sejak Abad
Ke-9 hingga Abad Ke-20: Kajian Arkeologi Pengetahuan. Disertasi S3
Universitas Indonesia, Depok.

_______ 2014. “ Gemelan Sekaten Fenomena Penuh Makna dan Multi Perspektif:
Kajian Kebudayaan Materi”, Sembada, Jurnal Kebudayaan
Kabupaten Sleman.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. 2010. Ramayana Djawa Kuna Teks dan Terjemahan


Sarga I – XII. Jakarta: Perpustakaan Nasional.

Rabinow, Paul. 2002. Aesthetic, Method, and Epistemplogy: Essential Works of


Foucault 1954-1984. Terjemahan Arief (Pengetahuan dan Metode
Karya-karya Penting Foucault). Yogyakarta: Jalasutra.

Rajagopalachari, C. 2012. Kitab Epos Ramayana. Terjemahan:Yudhi Murtanto.


Yogyakarta: IRCiSoD.

Sony Kartika, Dharsono. 2007. Kritik Seni. Bandung: Penerbit Rekayasa Sain

Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Tolstoy, Leo. 1979.” What is Art ?” dalam Art and Philosophy, W.E Kennick. Hal
34-45. New York: St Martin‟s Press.

Woodward, Ian.2007. “The Material as Culture: Definitions, Perspectives,


Approaches”. Understanding Material Culture. Los Angeles: Sage
Publication, Hal 3 – 16.

224
Metode Penelitian Kajian Mithos

A. Pola Pemikiran Mitos Masa Lalu dan Mitos Masa Kini


Mithos adalah cerita dari suatu masyarakat tertentu perilaku manusia dalam
menanggapi hidupnya di daerah geografis tempat tinggalnya. Cerita mythos ini
dituturkan secara turun temurun dan dianggap sebagai kebenaran. Mithos periode
Modern dan Pasca Modern berbeda cara penyampaiannya kepada masyarakatnya.
Pada masa sebelum era modern yaitu sekitar abad 9 SM hingga abad 20 Masehi
cerita mythos pada era ini dibuat panjang-panjang menjadi cerita tentang Dewa dan
Dewi, maupun cerita rakyat, dongeng yang bila dinuliskan dalam suatu naskah bisa
sekitar 2 sampai 10 halaman lebih. Mithos pada periode Pasca Modern yaitu sekitar
abad 20 hingga saat ini bila dituliskan dalam suatu naskah lebih pendek, mythos
masa kini bisa hanya satu kalimat, bisa hanya dengan narasi 3 sampai 10 kata lebih,
mythos bisa hanya terdiri dari satu kata subyek, satu kata predikat dan satu kata
objek.
Mitos berasal dari bahasa Yunani Mutos berarti cerita, cerita buatan yang tidak
mempunyai kebenaran historis namun cerita buatan ini tetapi dibutuhkan agar
manusia memahami lingkungan dan dirinya (Sunardi, 2004: 89). Mitos menurut
Sunardi tidak mempunyai kebenaran historis, namun menurut Danandjaya cerita
mitos dianggap pernah terjadi bagi masyarakat pendukungnya. Mitos adalah cerita
prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang
empunya cerita, mitos ditokohi oleh para dewa atau setengah dewa (Danandjaya,
1991:50). Mitos adalah penjelasan terhadap fenomena alam; misalnya tentang
bagaimana segala sesuatu di alam semesta: manusia, binatang, pohon, bunga,
matahari, bulan, badai, letusan, gempa bumi. Mitos adalah ilmu pengetahuan yang
paling awal, hasil usaha pertama manusia yang mencoba menjelaskan apa yang
mereka saksikan di sekitar mereka, namun ada banyak juga mitos yang tidak
menjelaskan apa-apa (Hamilton, 2011: x-xi).
Mithos pada periode masa sejarah hingga periode modern memiliki cerita
panjang, misalnya tentang kehidupan dewa-dewi Yunani, cerita tentang roh-roh
nenek moyang, cerita tentang terjadinya suatu alam, cerita tentang kejadian alam

225
geografis dalam kaitan dengan kehidupan sehari-hari. Mithos masa kini dengan teks
narasi yang lebih pendek, mythos adalah salah satu bentuk wicara untuk
menyampaikan sesuatu (Sunardi, 2004: 86 - 87Barthes, 2004 153).
Mithos dapat dipandang sebagai ilmu tentang tanda, semiology atau
semiotika. Tanda wujud komunikasi manusia antar manusia guna menjelaskan
pesan-pesan dan pengetahuan dapat berupa tulisan, gambar, cerita, narasi,
dongeng, mitos, bahasa lisan, bahasa tubuh, filem, iklan, mountase visual. Wujud-
wujud komunikasi demikian disebut sebagai lautan tanda-tanda yang bisa jalin
menjalin menjadi suatu rangkain yang merupakan sistem penandaan atau disebut
sebagai signification. Rangkaian histori sistem penandaan ini dapat memunculkan
perubahan-perubahan makna terhadap tanda tersebut, untuk itulah maka
memunculkan makna awal yang disebut sebagai makna denotasi dan makna-makna
perkembangan yang disebut makna konotasi. Mitos yang berupa cerita yang
panjang-panjang maupun cerita yang pendek-pendek mampu menimbulkan
pemaknaan yang berbeda secara historis. Pada tulisan perikop ini dikupas cara
penelitian terhadap mitos, cara pada era lama yaitu pada era modern dengan cara
strukturalisme. Penelitian mitos diungkap pula dengan cara pada era pasca modern
yaitu dengan penelitian semiotika mitos dari Roland Barthes.

B. Model Penelitian Dunia Mitos dalam Masyarakat


1. Penelitian Mitos dengan Model Strukturalisme Levi Straus
Claude Levi-Strauss adalah ahli seorang antropologi berkebangsaan
Perancis. Semula Levi-Strauss lebih mendalami bidang filsafat dan hukum bahkan
menyelesaikan studi di bidang hukum. Minatnya pada bidang antropologi
bermula tatkala ia menjadi pengajar sosiologi di Universitas Sao Paulo, Brasil.
Selanjutnya kegriatan Levi lebih banyak pada penelitian-penelitian tentang
masyarakat dan berbagai etnis dalam bidang antropologi. Pertemuannya dengan
ahli bahasa Roman Jakobson menjadikan teori strukturalnya semakin matang
selanjutnya menulis disertasi doktornya berjudul: "Les Structures elementaires de la

226
parEnte" (The Elementary Structures of Kinship), pada tahun 1943.
Levi-Strauss memandang bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan dalam
arti diakronis, artinya bahasa mendahului kebudayaan karena melalui bahasalah
manusia mengetahui budaya masyarakatnya. Selain itu berpandangan pula bahwa
bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan, karena material yang digunakan untuk
membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama jenisnya dengan
material yang membentuk kebudayaan itu sendiri (Ahunsa-Putra, 2001:25).
Susunan kata dalam bahasa yang membentuk kalimat terdapat hubungan
sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan sintagmatik sebuah kata adalah hubungan
yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada di depan atau
dibelakangnya dalam sebuah kalimat. Sedangkan hubungan paradigmatik adalah
berhubungan dengan makna kata berkait dengan pilihan kata tersebut, sehingga
dengan pemilihan kata tersebut menimbulkan makna asosiatif tertentu.
Penelitian mitos dengan memilih model strukturalisme dengan demikian yang
pertama dilakukan adalah mengkaji struktur narasi dongeng yang diungkapkan dalam
cerita tersebut. Inilah yang dinamakan sebagai pencarian atas struktur sintagmatik.
Pencarian struktur sintagmatik ini melihat kalimat-kalimat yang diungkapkan dan
menyusun dan merangkai model-model kalimatnya. Tingkat berikutnya adalah
mencari makna paradigmatik dari rangkaian cerita tersebut baik secara sebagian-
sebagaian maupun konteks kesimpulan secara keseluruhan.
Proses penelitian menggunakan strukturalisme, langkah penelitian yang
dilakukan pertama mkali adalah memilah-milah para tokoh-tokoh dalam adegan cerita
mitos yang sedang dikaji. Dalam cerita ada tokoh-tokoh protagonis, tokoh-tokoh yang
berperan kepribadian baik dan para tokoh-tokoh yang berkepribadian buruk atau
antagonis. Selain itu memilah-milah pula tokoh-tokoh pendukung protagonis, dan par
tokoh pendukung antagonis. Selain manusia yang berperan terdapat pula alam
lingkungan yang tercipta yang mendukung protagonis dan antagonis. Struktur dari
cerita mitos ini diurai keseluruhan hingga tampak kategori-kategori serta kelompok
tokohnya dan lingkungan alam yang mendukung. Setelah ditemukan formasi struktur
cerita, didata pula pula kata-kata sehingga membentuk kalimat dialog. Kalimat dialog

227
antar tokoh ini kemudian dideskripsikan makna leterleg, makna lugas dalam istilah
kamus. Rangkaian dialog para tokoh dalam susunan kalimat inilah yang disebut
sebagai langkah mengurai secara sintakmatik.

Langkah kedua dalam penelitian strukturalisme adalah mengungkapkan sisi


paqradigmatik, langkah ini mencari makna lain di luar makna lugas. Pencarian makna
lain di luar makna lugas ini dengan cara melihat kontekstual lingkungan saat kalimat
tersebut dipilih sebagai kata-kata dialog. Penelusran pada saat cerita dongeng di buat,
kontekstual suasana masyarakat seperti apa pada seputaran dongeng itu muncul.
Dengan melihat secara kontekstual kondisi lingkungan alam, sosial, politik dan
ekonomi maka memudahkan untuk pencarian aspek paradigmatik, yaitu pencarian
makna yang tersurat, makna asosiasi dari lontaran kalimat yang menjadi dialog
tersebut.
Cerita-cerita mitos melalui struktur sintagmatik selanjutnya mengungkap
makna paradigmatik ini mampu mengungkap fungsi kegunaan cerita mitos itu dalam
masyarakat pendukung kebudayaannya. Cerita-cerita mitos dongeng ”Bawang Putih
dan Bawang Merah”, atau dongeng ”Joko Kendil” juga cerita ” Putri Salju”
merupakan ungkapan sistem proyeksi angan-angan terpendam kalangan rakyat jelata
miskin untuk dapat hidup senang melalui pernikahan dengan para keluarga
bangsawan, atau orang kaya raya (Danandjaja, 1988:150). Penelusuran cerita mitos
sebagai alur sintagmatik dan para digmatik dalam model sistem struktural Levi Straus
akan memunginkan ditemukan fungsi mitos yang lain yaitu sebagai alat pedagogik,
sebagai alat pengesahan kebudayaan, dan sebagai alat pemaksa berlakunya norma
masyarakat dan pengendalian masyarakat (Danandjaja, 1988: 150-151).
Penelitian model strukturalisme Levi Straus yang telah dipaparkan merupakan
penelitian-penelitian pada periode modern di mana masyarakatnya memiliki pola
filosofi kesenangan terhadap struktur baku. Struktur baku tersebut kemudian menjadi
sistem baku yang berlaku secara umum, di mana saja, keilmuwan menjadi bersifat
unified scientific. Pada masa pasca modern muncul aliran poststrukturalisme, dimana
berpandangan bahwa struktur tidak bisa serta merta berlaku bagi masyarakat di

228
manapun mereka berada namun ada perbedaan-perbedaan sehingga tidak mungkin
menjadi keilmuwan unified scientific. Pada paparan tulisan berikut ini merupakan
uraian tentang analisa kajian mitos masa kini. Analisa kajian mitos model Roland
Barthes berikut ini dapat dikatagorikan sebagai analisis pasca moderen, aliran
poststrukturalisme, analisa semiotika di mana struktur pola pikir masyarakat itu
ternyata berubah, bukan merupakan struktur yang tetap layaknya ilmu-ilmu alam.

2. Penelitian Mitos dengan Model Semiotika Roland Barthes

Mitos yang dimaksudkan Roland Barthes bukanlah mitos seperti cerita yang
panjang-panjang seperti dalam mitologi Yunani misalnya Pahlawan Hercules,
Theseus atau Perang Troya, Mithos Barthes bukanlah cerita tentang dewa-dewi yang
dianggap pernah ada dan diakui kebenarannya oleh masyarakat pendukungnya dan
merupakan kisah cerita dengan narasi yang panjang. Mitos Roland Barthes
merupakan a type of speech, suatu tipe wicara (jenis tindak tutur) yang disajikan
dengan sebuah wacana (Barthes, 2013:152) Wacana-wacana yang dimunculkan
membuahkan mitos, manakala mitos diterima maka perilaku masyarakat mengikuti
wacana mitos tersebut, untuk itulah maka mitos Roland Barthes sering diungkapkan
sebagai mitis sebab bentuk mitosnya berbeda namun sifat-sifat mitosnya merasuki
melalui apa yang diwacanakan. Mitos tak menyembunyikan dan tak memamerkan
apapun: ia hanya mendistorsi; ia hanyalah sebuah pembelokan (Barthes, 2013:186).
Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem pemaknaan sekunder akan
mengungkap pembelokan-pembelokan tersebut akibat sistem mitis yang bekerja
dalam masyarakat pendukungnya.
Wacana merupakan produk pengetahuan, sebagai suatu bentuk pengetahuan
yang mengatur dan meregulasi cara praktik sosial-kemasyarakatan dibicarakan,
pengetahuan tidaklah bebas murni sebagai pengetahuan namun ada pengaruh
kekuasaan (Rabinow, 2002:9). Wacana yang dipahami Foucault sebagai penjelasan,
pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan, dan
sistem abstrak pemikiran manusia, menurut Foucault tidak lepas dari relasi kuasa.

229
Wacana selalu bersumber dari pihak yang memiliki kekuasaan dan dari mereka yang
memiliki pemikiran kreatif. Hal ini memungkinkan mereka untuk membangkitkan
relasi kekuasaan dan pengetahuan dalam suatu sistem sosial, dan kemudian dengan
berpijak pada tautan relasi tersebut mereka mampu memproduksi wacana yang
kebenarannya bisa diakui dan bertahan pada suatu rentang historis tertentu (Kali,
2013:3).
Mitos merupakan suatu proses suatu sistem penandaan, sebagai sistem
semiotik mitos dapat diuraikan sebagai tiga unsur yaitu signifier, signified dan sign
pada sistem tingkat pertama atau sistem primer. Pada sistem sekunder R. Barthes
menggunakan istilah berbeda untuk ketiga unsur itu yaitu, form, concept dan
signification (Sunardi, 2004:85). Barthes membuat skema sistem mitos seperti
digambarkan dalam bagan 24 berikut ini:

Bagan 24: Skema sistem Mitos (Sumber: Sunardi, 2004:315).

Sistem primer yang mencakup signifier, signified dan sign diambil sepenuhnya
menjadi bentuk baru pada sistem sekunder menjadi form, concept dan signification.
Kalau sistem pertama (primer) adalah sistem linguistik, sistem kedua adalah sistem
mitis yang mempunyai keunikannya. Sistem kedua (sekunder) memang mengambil
model sistem pertama, akan tetapi tidak semua prinsip yang berlaku pada sistem
primer berlaku pada sistem sekunder (Sunardi, 2004:89).
Penelitian menggunakan sistem mitos Roland Barthes dalam paparan ini
disampaikan perubahan fungsi mitos pada periode Hindu dan pada masa
kemerdekaan. Keduanya proses penelitian melihat pada denotasi sistem primer dan

230
denotasi pada tingkat sistem sekunder. Pada penelitian ini diterapkan contoh untuk
penelitian Epos Cerita dalam Relief Ramayana. Relief Ramayana pada sistem primer
atau disebut juga sistem linguistik/bahasa, memiliki wujud relief pahatan pada
dinding Candi Siwa dilanjutkan dengan relief pahatan pada dinding Candi Brahma,
mulai dari adegan Raja Dasarata mempersembahkan korban dalam upacara ritual
sebagai dharma hinggga adegan Kusa dan Lawa dinobatkan menjadi raja di Ayodya
pada dinding Candi Brahma. Ekspresi relief pahatan pada dinding Candi Siwa hingga
Candi Brahma inilah yang merupakan signifier pada sistem linguistik. Signifier
memiliki makna yang merupakan isi dari signified, isi signified-nya adalah kisah
kepahlawanan Rama yang merupakan reinkarnasi dari Dewa Wisnu. Signifier dan
signified menyatu menjadi sign (tanda), yang merupakan sign-nya adalah Relief
Ramayana. Pada sistem mitos, sign Relief Ramayana menjadi form dilanjutkan
dengan berkerjanya sistem mitos sehingga menumbuhkan isi, concept-nya dalam
adalah ajaran tentang dharma, ajaran tentang norma dan etika menuju pencapaian
moksa (Pradoko, 2015: 100). Form dan concept merupakan satu kesatuan yang
menjadi signification, significatioannya dalam hal ini adalah kitab suci-Ramayana,
lebih jelasnya proses sistem linguistik dan sistem mitos dipaparkan dalam bagan
berikut ini.

Bagan : Skema Sistem Mitos Relief Ramayana

Pahatan relief Ramayana yang terdapat di dinding Candi Prambanan merupakan


signifier. Kisah tersebut petanda, signified sebagai kisah epic Ramayana. Signifier
dan signified bergabung menjadi satu sebagai sign dalam hal ini disebut Relief
Ramayan. Pada sistem makna kedua, sign tadi diistilahkan form oleh Roland Barthes

231
bentuk yang sama yaitu Relief Ramayana dalam proses histori diisi dengan konsep
cerita-cerita sehingga menjadi terisi formulasi tentang konsep ajaran dharma dalam
agama Hindu dan terdapat pula di dalamnya norma-norma dan etika.
Proses penanaman sistem mitos dalam masyarakat ini akan lebih jelas lagi
manakala kita melihat lebih jauh dengan materi yang sama yaitu relief Candi
Prambanan namun dilihat dalam kaca mata perspektif pada era Kemerdekaan. Pada
tahun 1960-an disadari oleh pemerintah bahwa dengan meningkatnya kepariwisataan
akan dapat meningkatkan sosial ekonomi masyarakat sekaligus akan dapat
meningkatkan pemasukan devisa bagi Negara. Atas dasar pertimbangan itu maka
lewat sidang pertama MPRS yang kemudian dituangkan dalam GBHN dan Garis-
garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahap I. Salah satu
proyek yang ditetapkan sebagai proyek unggulan adalah “Pentas Balet Ramayana”
dengan latar belakang Candi Prambanan (Marsono, 2003:15). Sejak saat itu relief
Ramayana berubah bentuk, dirancang menjadi perpaduan tari, musik, drama serta
rupa, menjadi Sendratari Ramayana yang ditampilkan di Candi Prambanan baik bagi
wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik. Sendratari Ramayana
dirancang untuk menambah pendapatan dalam konteks lingkungan wisata candi,
pementasan pertama kali Sendratari Ramayana menurut Bapak Karsono H. Saputro
dimulai pada tahun 1961 dengan pemrakarsa Jati Kusumo yang pada saat itu
menjabat sebagai Menteri Perhubungan (wawancara dengan Bapak Karsono, 21
November 2014). Gagasan epik Ramayana menjadi sebuah pertunjukan balet atau
sendratari kisah Ramayana semenjak saat itu maka dilaksanakan pementasan
Sendratari Ramayana di Panggung Terbuka Prambanan berlatar belakang Candi
Prambanan. Saat ini pementasan Sendratari Ramayana memiliki dua panggung di
lingkungan kompleks wisata Candi Prambanan. Panggung terbuka dengan kapasitas
penonton 2500 orang. Saat musim penghujan, pementasan dilakukan di Panggung
Tertutup Trimurti dengan kapasitas penonton 350 orang. Pertunjukan ini telah
dikenal baik wisatawan dalam negeri hingga wisatawan mancanegara bahkan
dilaksanakan pula Festival Pementasan Ramayana yang diikuti oleh peserta
pementasan dari Luar Negeri (Pradoko,2015: 149)

232
Dalam Undang-Undang RI No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,
Bab VI pasal 19 ayat1, dikatakan bahwa benda cagar budaya dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan (Moertjipto, Bambang Prasetyo, 1995: 5). Pemanfaatan candi antara
dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata, dari gagasan ini muncul ekonomi kreatif
untuk menumbuhkan kerajinan seni. Relief Rama menjadi hiasan rumah dan hotel-
hotel. Relief Ramayana menjadi barang kerajinan seni yang diperjual belikan dalam
bentuk lukisan yang berpigura dan gambar kaos. Ramayana adalah kisah yang
memuat ajaran-ajaran perilaku yang perlu dicontoh dalam kehidupan sehari-hari.
Nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, berperilaku dengan menyamakan antara kata
dan konsekwensi perbuatan, ini semua adalah muatan kisah yang merupakan kitab
suci agama Hindu. Setelah melalui proses ratusan tahun Ramayana tidak
diasosiasikan seperti ajaran mula-mula itu namun berkembang ke dalam berbagai
bidang kehidupan, berikut ini bagan yang memaparkan perubahan makna dari zaman
Hindu ke zaman Kemerdekaan.

Bagan: Sistem sekunder Ramayana masa Kemerdekaan.

Pada masa Kemerdekaan ini relief Ramayana memiliki makna yang banyak.
Relief Ramayana menginspirasi pertunjukan Sendratari Ramayana, serta benda gift
seni kerajinan, sebagai sarana menarik wisatawan dan menambah devisa Negara.
Para tokoh-tokoh dalam epik Ramayana menjadi nama ikonik nama-nama jasa
233
travel, toko swalayan, dan nama-nama institusi bisnis yang lain. Relief Ramayana
juga masih tetap bermakna sebagai sumber kitab suci bagi umat yang beragama
Hindu.

C. Kesimpulan
Mitos masa lalu merupakan cerita yang panjang narasinya misalnya mitos
tentang Theseus, Hercules, terjadinya gunung tangkuban perahu, cerita “Yung Mbu
Yeh”, “Bawang Putih, Bawang Merah”, “Putri Salju”, “ Joko Kendil”, cerita-cerita
tentang para Dewa-Dewi Yunani. Mitos masa kini lebih singkat-singkat bahkan
hanya terdiri dari 3 kata misalnya: “putih itu cantik”, “jer basuki mowo beo” , “
kembali pada kehidupan natural”. Mitos-mitos yang pendek sekarang ini menjadi
lahan bagi dunia industry kapitalis untuk memaksa konsumennya menghayati mitos
yang diungkapkan, ketika mitos diterima para masa konsumennya maka terjadilah
daya permintaan yang luar biasa terhadap produk yang dibuat dunia industry kaum
kapital.
Mitos sebagai penanda proyektif masyarakat, sebagai alat pendidikan,
sebagai pengesahan budaya dan sebagai pemaksa imperative berlakunya norma-
norma masyarakat. TeMetode penelitian mitos dalam uraian ini dapat menggunakan
metode strukturalisme Levi Straus atau menggunakan metode semiotika mitos dari
Roland Barthes.
Metode penelitian dengan menggunakan strukturalisme ala Levi Straus
dengan membuat struktur atas cerita mitos yang dikaji menjadi bagian-bagian
protagonis, antagonis, tokoh pendukung serta konstruksi lingkungan alam setting
kejadian cerita. Rangkain bentuk-bentuk sturktur sintagmatik yang dibuat kemudian
dicari makna paradigmatic atas struktur pola sintakmatik tersebut.
Metode penelitian tentang mitos dapat pula dilakukan dengan semiotika
model Roland Barthes. Mitos menurut Roland Barthes adalah sejenis wicara,
merupakan kemasan komunikasi. Mitos merupakan bagian dari ilmu tentang tanda-
tanda, ilmu tentang tanda tersebut memudahkan pengaburan atas arah logika
sehingga sering juga disebut semiotika adalah ilmu tanda untuk berbohong. Cerita

234
mitos yang diterima masyarakatnya akan serta merta dilakukan bagi masyarakat
pendukungnya, masyarakat tidak lagi secara kritis apakah cerita mitos tersebut
sebagai benar dalam perspektif yang lain juga.
Proses penelitian mitos model Roland Barthes melalui dua tahap yaitu sistem
primer berupa signifier, signified dan menjadi satu kesatuan yaitu sign. Sistem
berikut adalah mencari sistem sekunder di mana sign yang pertama serta merta
menjadi form, dalam proses historis bentuk form tadi diberi consept . Isi dari petanda
atau signified pada tataran primer berbeda dengan isi dari signified tataran kedua
yang oleh Roland Barthes disebut sebagai concept . Isi konsep baru pada tataran
kedua ini bila diterima oleh masyarakatnya maka menjadi pola pikir baru yang
dijalankan oleh masyarakatnya. Proses analisa mitos dengan semiotika pada tataran
pertama dan tataran kedua ini memungkinkan peneliti lebih jeli mengkategorikan
cerita mitos serta lebih jeli melihat ilmu semiotika yang mudah dipergunakan untuk
berbohong. Mitos putih itu cantik untuk produk kosmetik, mitos penghubung orang
untuk produk teknologi informasi atau mitos-mitos pendek yang lain. Pada
paparan terdahulu juga tampak perubahan melalui proses sistem primer dan sistem
sekunder di mana pada sistem primer relief Ramayana sebagai norma-norma
perilaku hidup yang baik bagi manusia. Pada sistem sekunder serta-merta relief
Ramayana menjadi gift pariwisata, menjadi gambar kaos wisata dan menjadi
Sendratari Ramayana yang dijual sebagai pertunjukan bagi para wisatawan domestic
dan manca Negara. Pada tataran ini juga tampak bahwa cerita-cerita mitos sangat
kuat pengaruh relasi kekuasaan, seperti ungkapan Michael Foucault:
pengethauan/kuasa, pengetahuan juga dibentuk adanya relasi kuasa. Inilah kajian
mitos secara proses ilmiah dengan metode diakronik, mengkaji proses sistem primer
dan sekunder secara historis dan relasi-relasi kuasa yang muncul manakala analisis-
analisis wacana concept itu dilakukan dalam penelitian.

235
Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Sri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya


Sastra . Yogyakarta: Galang Press

________, 1999. Strukturalisme Levi-Strauss untuk Arkeologi Semiotik dalam


Humaniora Nomor 12 September-Desember. Hal 1- 13. Yogyakarta:
Fakultas Sastra UGM.

Barthes, Roland. (1981). Elemnts of Semiology. English Translation: Jonathan.


New York: Hill and Wang.

_______ (2007). Petualangan Semiologi. Terjemahan: Stephanus Aswar


Herwinarko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

_______ (2013). Mitologi Terjemahan: Nurhadi, A.Sihabul Milah.


Yogyakarta: Kreasi Wacana

Foucault, Michel. (1973). The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock


Publications.

------------. (1976). Arkeologi Pengetahuan. Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir.


Yogyakarta: IRCiSoD.

Danandjaja, James. (1988). Antropologi Psikologi Teori, Metode dan Sejarah


Perkembangannya. Jakarta: Rajawali.

Graham, Gordon. 1997. Philosophy of The Arts An Introduction to Aesthetic. New


York: Routledge.

Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu.
_______ 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas Bambu.

Pradoko, A.M.Susilo. 2015. Perubahan Pemaknaan Candi Siwa Prambanan Sejak


Abad ke-9
hingga Abad ke-20: Kajian Arkeologi Pengetahuan. Depok: Disertasi,
Program Studi
Arkeologi UI

236
Permasalahan Fokus Penelitian, Pengolahan Data dan Penarikan Kesimpulan
Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif merupakan kegiatan penelitian yang memiliki tujuan


mengungkapkan makna berbagai fenomena materi kajian yang diteliti. Penelitian ini
sering disebut jenis penelitian interpretatif, disebut demikian karena jenis penelitian
ini berfokus untuk mengungkapkan makna objek materi kebudayaan dalam suatu
masyarakat. Fenomena objek materi dalam masyarakat tidak hanya dilihat objek
material secara fisik saja namun berusaha mengungkap makna di balik fenomena
permasalahan objek materi yang sedang diteliti tersebut.
Aspek objek material fisik saja yang diteliti bagi peneliti kualitatif masih
kurang memuaskan bagi para peneliti kualitatif. Istilah kualitatif menujuk pada
kualitas, sehingga untuk menjelaskan sesuatu benda atau alat tidak cukup hanya
diukur panjang, pendek, diameter dan bobot benda tersebut namun ada langkah lebih
lanjut yaitu dengan mengungkapkan konteks benda tersebut dalam kebudayaan
masyarakat, mengungkap apa makna benda tersebut bagi masyarakat, inilah yang
sering disebut sebagai mengungkapkan beyond di balik benda tersebut bagi pemilik
kebudayaan.
Penelitian kualitatif merupakan kegiatan penelitian yang memiliki tujuan
mengungkapkan makna berbagai fenomena materi kajian yang diteliti. Penelitian ini
sering disebut jenis penelitian interpretatif, disebut demikian karena jenis penelitian
ini berfokus untuk mengungkapkan makna objek materi kebudayaan dalam suatu
masyarakat. Fenomena objek materi dalam masyarakat tidak hanya dilihat objek
material secara fisik saja namun berusaha mengungkap makna di balik fenomena
permasalahan objek materi yang sedang diteliti tersebut.
Aspek objek material fisik saja yang diteliti bagi peneliti kualitatif masih
kurang memuaskan bagi para peneliti kualitatif. Istilah kualitatif menujuk pada
kualitas, sehingga untuk menjelaskan sesuatu benda atau alat tidak cukup hanya
diukur panjang, pendek, diameter dan bobot benda tersebut namun ada langkah lebih
lanjut yaitu dengan mengungkapkan konteks benda tersebut dalam kebudayaan
masyarakat, mengungkap apa makna benda tersebut bagi masyarakat, inilah yang

237
sering disebut sebagai mengungkapkan beyond di balik benda tersebut bagi pemilik
kebudayaan.
Dalam makalah ini dipaparkan tiga hal pokok yang menjadi biasanya menjadi
problem penelitian kualitatif para mahasiswa S1. Pertama, tentang inspirasi topik-
topik penelitian kualitatif, sering mahasiswa bertanya, saya mau penelitian apa
untuk model penelitian kualitatif. Model penelitian kualitatif adalah model penelitian
untuk mengungkap makna. Makna apapun juga yang ada dalam suatu masyarakat
yang berkaitan dengan disiplin keilmuwan yang sedang dipelajari dalam hal ini
misalnya seni atau lebih khusus lagi seni musik, rupa, tari. Problem kedua adalah
pengumpulan data kualitatif sekaligus pengolahan data kualitatif sehingga menjadi
data yang dapat dipertanggung jawabkan ketepatannya. Problem ketiga adalah
Penarikan kesimpulan pada penelitian kualitatif yang merupakan penelitian
interpretatif.
1. Topik-topik Penelitian Kualitatif
Dalam penelitian kualitatif tujuan utama peneliti adalah mengungkapkan
makna-makna yang terbalut dalam bentuk-bentuk objek fisik misalnya bunyi musik,
kegiatan musik, lagu-lagu, parttitur musik, naskah tulisan, tarian, lukisan, karya
sastra, kegiatan ritual, kegiatan upacara, pementasan musik. Kegiatan dan perilaku
budaya masyarakat sering dikemas dalam symbol-simbol, tugas peneliti adalah
mengungkapkan makna symbol-simbol tadi. Semua kegiatan masyarakat yang
mengandung tanda-tanda, symbol serta semua objek material seni merupakan lahan-
lahan untuk penelitian kualitatif bidang seni.
Objek material seni merupakan sumber inspiratif untuk penelitian seni.
Dalam seni musik misalnya: Kaset lagu, gamelan, peralatan musik, musik lesung,
musik sasando, musik bambu melulu, calong, tarling, ini semua merupakan aspek
tangible-nya. Aspek intangible-nya misalnya teknik kekaryaan seni itu sendiri, seni
ketika dipergunakan dalam upacara ritual, upacara-upacara sacral maupun non
sakral/profan di sana seni termasuk musik menyatu dalam upacaranya dan dalam
pola piker masyarakat pemilik kebudayaan.

238
Objek Seni dianggap sebagai symbol, mana kala seni dianggap sebagai
symbol maka model penelitian ini adalah mengungkapkan makna symbol-simbol
seni yang diekspresikan oleh masyarakat saat mereka memainkan, menampilkan,
mempertunjukan kesenian tersebut. Pada kajian perspektif ini maka ketika melihat
fenomena seni yang dicari adalah uangkapan-ungkapan apa yang ada di balik symbol
seni tersebut. Seni musik, tari dan rupa serta karya kerajinan yang dibuat oleh
masyarakatnya sebenarnya ingin mengungkapkan apa. Apakah merupakan norma-
norma, adat istiadat, institusi, cara manusia harus bergaul dan bermasyarakat di
lingkungan seni tersebut.
Objek seni dianggap sebagai sistem ideasional, sistem ide-ide dan gagasan,
ada pula yang menganggap fenomena seni sebagai sistem cognisi, sistem berfikir
yang menyatu dengan masyarakat pendukung seni tersebut. Kajian semacam ini
adalah melihat seni merupakan sistem gagasan dalam masyarakat. Melihat seni
musik misalnya bukan dilihat cara memainkan alat musiknya tetapi dilihat sisi pola
berfikir masyarakat. Seni tersebut proses pertunjukannya bagaimana, apa kaitan seni
tersebut dengan upacaranya, mengapa masyarakat setia pada fenomena pertunjukan
seni tersebut.

Topik Kajian Objek Material Seni

- Peralatan Musik
- Teknik Pembuatan Musik
- Penalaan Musik
- Bahan-bahan Pilihan Dalam Pembuatan Musik
- Teknik Memainkan Alat Musik
- Teknik Akustik Bunyi Musik

Topik Kajian Simbol-Simbol Seni


- Makna musik Sholawatan

239
- Musik Ndolalak
- Gamelan Sekaten
- Makna Lagu-lagu; Lir-ilir, misalnya.
- Musik sebagai tanda: Tanda pulang sekolah, istirahat dsb.
- Musik dalam upacara ritual
- Tanda-tanda bunyi yang dikemas dalam musik, gendhing, lagu.

Topik Kajian Sistem Ideasional, Kognisi


- Musik Gejog Lesung Bagi Masyarakat
- Musik Jatilan bagi Masyarakat Pendukungnya.
- Pola belajar masyarakat untuk mempelajari musik tradisi
- Anggapan masyarakat terhadap musik Sekaten, Ndolalak.
- Kriteria Indah dalam belajar musik Kroncong; musik dangdut, musik lain..
- Kaitan Musik dengan upacara ritualnya.
- Wacana-wacana yang terdapat dalam suatu fenomena seni
- Wacana yang terdapat dalam lagu serta aneka gagasan masyarakat terhadap
lagu, benda seni tersebut.

Problem Pengumpulan Data dan Pengolahannya.


Datum dan Pengumpulan Data
Dalam penelitian kualitatif upaya yang dikaji adalah upaya menafsirkan
sesuatu focus permasalahan maupun satu focus objek benda. Fokus ini bisa saja
hanya sebuah lagu, sebuah kaset yang terdiri dari beberapa lagu atau data temuan
saat melakukan kerja di lapangan penelitian. Materi penelitian kualitatif bisa hanya
tunggal atau materi datum, yang berarti tunggal sedangkan data berarti materi-
materi jamak. Dalam kasus memperdalam lagu yang berjudul Lir-Ilir maka tidak
diperlukan materi-materi lain, yang dicari adalah sebuah lagu tersebut dengan
iringan musiknya, lebih detailnya bisa lagu Lir-Ilir yang dinyanyikan dalam satu
kelompok musik.

240
Temuan-temuan materi sesuai focus penelitian juga bisa banyak bila kita
mencari makna lagu-lagu yang digunakan dalam upacara Sholawatan, upacara
ruatan, upacara bersih desa atau yang sejenis. Temuan data sesuai focus
penelitianseni dalam masyarakat bisa melalui: Dokumen tertrulis yang ada dalam
masyarakat tersebut; temuan berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk
setempat pemilik kebudayaan, temuan data saat pementasan seni penduduk yang
diteliti, temuan artikel-artikel jurnal yang ditulis berkaitan dengan permasalahan
yang sedang diteliti, temuan dokumen foto-foto yang dimiliki kelomok tersebut,
temuan tulisan dari buku-biuku sejarah, babad, serat-serat kuno sejauh sangat
relevan dengan permasalahan yang diteliti; Temuan berupa dokumen rekaman, foto
saat peneliti mengadakan perekaman pementasan maupun saat latihan; temuan data
dari dokumen yang dimiliki masyarakat penonton atau pendukung upacara dan
pementasan.

Pengolahan Data Kualitatif Jenis Sirkular


Prose pengumpulan data, pengolahan data, analisa data dan penarikan
kesimpulan dalam penelitian kualitatif menggunakan pola sirkular, melingkar-
lingkar, mengulang, membandingkan hingga menemukan jawaban yang sahih atas
apayang ditelitinya melalui bukti-bukti lapangan, dokumen, wawancara dan berbagai
sumber lain yang cukup kompleks sesuai focus penelitian yang dikajinya. Pola
sikrkular dalam penelitian kualitatif digambarkan berikut ini.

241
Pencarian Makna dari Sebuah Kasus Sangat Spesifik Berupa Materi
Tunggal/Datum.

Salah satu keuntungan penelitian kualitatif adalah memngambil focus kajian


sangat kecil namun kejiaannya dilakukan dengan teliti dan mendalam sehingga
dapat mengungkapkan tidak sekedar apa yang tampak secara empiris namun juga
mampu mengungkapkan hal-hal yang abstrak di balik nilai benda, focus kajian yang
ditelitinya. Salah satu contoh kajian penelitian misalnya kajian lagu Gossip Jalanan,
lagu dari Kelompok Band Slank, Lagu Berita Kawan dari Ebiet G. Ade, lagu ini
tealh diteliti Resta Sulastri untuk skripsi Jurusan Pendidikan Seni Musik FBS UNY,
September 2016. Sebuah Lagu karya-karya komponis terkenal juga dapat
merupakan kajian penelitian kualitatif misalnya Lagu Fur Elise, dari Beethoven,
Lagu Halleuyah dari Handel, bagian lagu opera Aida karya Verdi, atau salah satu
lagu-lagu karya Mozart.

242
Penelitian focus hanya satu lagu atau karya musik ini juga banyak jalan
menuju pengungkapan makna atau ciri struktur di balik lagu tersebut. Berikut ini
babarapa pendekatan guna menjadi pisau analisis untuk mengungkap struktur lagu,
ciri-ciri maupun maknanya. Belasan pisau analisis yang dapat digunakan untuk
penelitian dengan satu kasus lagu maupun suatu fenomena seni dalam masyarakat
antara lain: Strukturalisme, Poststrukturalisme, Strukturasi, Dekonstruksi, Etnografi,
Etnometodologi, Analisis Isi, Fenomenologi, Life Histori, Analisis Wacana,
Hermeneutika dan Semiotika.

Definisi Ringkas Motode-metode Jenis Kualitatif dan Contoh Kasus Penelitian


1. Penggunaan Aliran Strukturalisme
Strukturalisme adalah salah satu paradigm pemikiran yang digunakan dalam
penelitian masyarakat dan ilmu social-humniora. Penelitian mnegupayakan mencari
struktur social dan kait-mengait struktur masyarakat dengan peran serta fungsinya.
Dalam penelitian musik misalnya: Model Struktur Aransemen Musik Kyai Kanjeng,
dan yang sejenis. Penelitian ini berupaya mengungkap struktur (permasalahan apa
saja ) dalam masyarakat. Tidak terbatas pada kelompok masyarakat dapat pula
melihat struktur bektuk teks, syair, tulisan dan sebagainya.
2. Aliran Poststrukturalisme
Poststrukturalisme adalah aliran pemikiran yang menentang adanya struktur
yang tetap dan berlaku secara universal. Dalam bahasa misalnya tata bahasa ada
yang berlaku keseluruhan yang disebut langue namun juga ada parol-parol, atau
bahasa terapan pada masyarakat tertentu atau mudahnya disebut sebagai dialek suatu
masyarakat tertentu, bahasa Indonesia namun dengan dialek Banyumas misalnya.
Dalam penelitian musik misalnya kita mengungkap aliran-aliran musik
kontemporer, di mana kelompok muisk itu menggunakan format-format, alat musik,
dan harmoni yang berbeda dari harmoni standar yang berlaku secara universal.
3. Strukturasi
Paradigma tentang perubahan suatu masyarakat atau struktur social
dikarenakan pengaruh adanya agency, seseorang atau kelompok yang memiliki
gagasan dan terus menerus gagasan itu diterjemahkan dan mampu diterima dalam
243
masyarakat untuk merubah struktur yang sudah tetap. Dalam musik misalnya
penelitian peran Sunan Kalijaga dalam syiar Islam melalui kebudayaan material
tradisi agama Hindu dan Budha.
4. Aliran Dekonstruksi
Paradigma pemikiran dalam filsafat yang melihat teks secara lebih tajam lagi
dan memberikan makna baru dan kritis atas penafsiran teks tersebut. Teks dipahami
dan disusun ulang dengan sudut pandang pemikiran yang berbeda, paradigm ini
dicetuskan oleh Jacques Derrida. Dalam musik misalnyamenganalisis teks syair lagu
dengan sudut pandang yang lain sehingga isi syair menjadi bermakna
ganda/banyak/polisemi, berbeda dengan makna yang diserap oleh kebanyakan orang.
5. Etnografi
Penelitian dengan cara melakukan terjun langsung di masyarakat yang
diteliti. Etnis berarti suku, kelompok masyarakat tertentu dan grafi berarti tulisan,
maka etnografi berarti tulisan tentang suatu masyarakat etnik tertentu. Cara
melakukan penelitian dengan observasi partisipasi, mengamati langsung masyarakat
pemilik kebudayaan dengan melakukan wawancara, menghubungi informan-
informan, membawa buku catatan melakukan teknik field work, kerja di lapangan
dan dengan segera menuliskan setiap kejadian, data yang diperoleh sesuai dengan
fokus penelitiannya. Model penelitiannya sirkular, melingkar selalu cek dan
mengecek ulang atas data dan pengamataannya sehingga memperoleh interpretasi
yang tepat sesuai pandangan masyarakat yang diteliti. Bidang ilmu etnomusikologi
banyak menggunakan penelitian jenis ini. Penelitian model ini berasal dari tradisi
keilmuwan Antropologi.
6. Fenomenologi
Penelitian ini bermula dari fenomena yang ingin diteliti, dengan cara
mempertanyakan langsung kepada orang-orang yang mengalami peristiwa.
Fenomenologi adalah ilmu yang mempelajari proses kesadaran manusia untuk
melihat gejala/fenomena yang tampak di depan mata. Fenomena beserta kejadiannya
tidak hanya dilihat dari kulit luarnya saja, akan tetapi lebih mendalam adalah melihat
apa yang ada di “balik” yang tampak tersebut (Sutiyono, 2011:25).

244
7. Etnometodologi
Penelitian model ini, penelitian melakukan kerja lapangan untuk mengetahui
cara hidup kelompok masyarakat yang diteliti. Penelitian ini merupakan upaya untuk
mengungkapkan metode yang dipakai kelompok masyarakat etnik dalam
menanggapi hidup. Dalam bidang musik misalnya penelitian yang akan
mengungkapkan metode pembelajaran musik yang dilakukan oleh kelompok musik
tradisi.
8. Life History
Penelitian tentang riwayat hidup seseorang yang terkenal, dia memiliki
potensi keilmuwan terhadap bidang yang digeluti, ditangani. Dalam musik misalnya
life histori dari pakar musik kroncong yang membuat lagu Bengawan Solo, Gesang.
Riwayat hidup pesinden dan penyanyi pop lagu-lagu jawa, Waljinah. Penelitian
dengan melakukan in depth interview, wawancara mendalam tentang fokus
permasalahan yang diteliti. Penelitian menghasilkan deskripsi yang mendalam
tentang kehidupan seniman tersebut, fokus penelitian bisa mengenai masalah teknik
bernyanyi, teknik membuat lagu atau hal-hal lain. In depth-nya penelitian ini bisa
dibantu dengan mencari turning point, perubahan peralihan, motivasi mendalam
mengapa akhirnya seniman tersebut memilih jalan sebagai seniman.
9. Analisis Wacana
Penelitian analisis wacana atau dalam bahasa Inggrisnya disebut Discourse
Analysis, atau disebut juga dengan lebih tajam analisisnya dengan menyebutkan
sebagai Critical Discourse Analysis (CDA). Penelitian ini mengungkapkan makna
teks, mengungkapkan hal-hal yang terselubung dan memiliki tendensi tertentu dari
teks yang ditulis baik melalui buku-buku, karya sastra maupun media. Tokohnya
antara lain Fairclough, Michael Halliday dan Michael Foucault. Michael Foucault
menggagas tentang genealogi, dimana teks dipilah-pilah kemudian menjadi analisis
yang lebih tajam tentang makna yang diekspresikan dan keinginan apa/tersembunyi
dari teks naskah yang ditulis. Dalam musik misalnya dengan mengupas syair lagu
yang diungkapkan oleh musikus-musikus yang sering mengkritisi kehidupan social
semisal Iwan Fals, Slangk.

245
11.Semiotika
Semiotika merupakan ilmu tentang tanda, ilmu untuk mengungkapkan makna
tanda-tanda dalam kehidupan masyarakat. Robert W. Preucel mengungkapkan arti
semiotik sebagai berikut:
“Semiotik merupakan lahan kajian, multi disipliner dalam cakupan dan
dalam skop internasional, mengembangkan studi kecakapan manusia untuk
memproduksi dan mengerti tanda-tanda. Apakah tanda itu? Tanda adalah
semacam suatu ide, kata, gambar, bunyi, dan objek yang kompleks berimplikasi
dalam: komunikasi. Semiotik meneliti sistem tanda dan mode representasi yang
digunakan manusia untuk menyampaikan emosi, ide, dan pengalaman hidup ”
(Preucel, 2010:5).
Tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial masyarakat, sedangkan
ilmu yang mengkaji tanda adalah Semiotika. Semiotika semula muncul dalam
ilmu bahasa, namun Roland Barthes berpendapat bahwa tidak hanya digunakan
untuk bidang bahasa saja:
“Tujuan penelitian semiologi adalah untuk menyusun fungsi dari sistem
penandaan selain bahasa dalam kesesuaian dengan tipikal proses dari
beberapa aktivitas strukturalis, yang membuat suatu simulasi dari objek di
bawah pengamatan” (Roland Barthes dalam Sunardi, 2004:37).
Dalam musik misalnya penelitian tentang musik tertentu yang digunakan
dalam masyarakat dan diterima sebagai musik yang luar biasa. Tanda-tanda
musik tersebut serta makna-makna yang dalam di masyarakatnya inilah yang
diungkapkan. Pilihan insert musik atau musik iklan, jingle; penelitiannya
hingga mampu mengungkapkan antara bunyi musik yang dimunculkan, konteks
penguatan dalam iklannya serta konteks media masa dan komunikasi dengan
konsumen serta calon konsumen.
12. Hermeneutik
Hermeneutika merupakan ilmu untuk menafsirkan guna memahami sesuatu
yang sifatnya abstrak dan gelap menjadi lebih terang mampu menjelaskan persoalan

246
yang semula bersifat abstrak tersebut. F. Budi Hardiman menuliskan pengertian
hermeneutik sebagai berikut:
“ Kata hermeneutik atau hermeneutika adalah pengindonesiaan dari kata Inggris
hermeneutic. Kata terakhir ini berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang artinya
mengungkapkan pikiran-pikiran orang dalam kata-kata. Kata kerja itu juga berarti
menerjemahkan dan juga bertindak sebagai penafsir. Ketiga pengertian ini
sebenarnya mau mengungkapkan bahwa hermeneutic merupakan usaha untuk beralih
dari sesuatu yang relative gelap ke sesuatu yang lebih terang. Dalam pengertian
pertama hermeneuein dapat dipahami sebagai semacam peralihan dari sesuatu yang
sifatnya abstrak dan gelap, yaitu pikiran-pikiran, ke dalam bentuk ungkapan yang
jelas yaitu bentuk bahasa “ ( Hardiman, 2003: 37).
Hermeneutik merupakan ilmu tentang penafsiran, suatu proses tindakan
interpretasi guna memahami ke akar permasalahan, guna proses memahami tersebut
seseorang atau peneliti harus berada “di sana”, di wilayah lokasi penelitian-nya.
Namun perlu mendapat perhatian bahwa kata memahami di dalam konteks ini, bukan
dimaksudkan sebagai kata memahami dalam terminologi desain rancangan
pembelajaran, sehingga kata kerja ini termasuk dalam kategori “tidak operasional”.
Kata memahami di dalam konteks hermeneutic merupakan kata kerja yang
jabarannya sangat luas sehingga mampu mengurai segala aspek permasalahan dan
menjelaskan segala aspek yang masih kabur menjadi jelas.
Salah satu pisau analisis menggunakan hermeneutika dalam seni bisa
digunakan hermeneutikanya Paul Ricour, hermeneutikanya ini lebih mudah
diikuti alur pikirnya sebab menggunakan diagram yang dapat disesuaikan dengan
situasi objek musik. Dalam buku Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya karya
Benny H. Hoed dituliskan gagasan Paul Ricoeur (1982) sebagai berikut:
“ Teks harus dipahami dengan memahami kaitannya dengan penulis (pemroduksi
teks), lingkungannya (fisik, social budaya), dan dengan teks lain
(intertekstualitas). Maka teks juga harus dipahami dalam konteks dialog antara
pembaca dan teks yang dibacanya itu. Dengan demikian hal yang menonjol
dalam hermeneutic ialah bahwa pengertian bahwa teks itu pada dasarnya poli
semis, sehingga tidak mungkin mempunyai hanya satu makna. Jadi maknanya
tergantung pada pelbagai factor tersebut di atas” (Hoed, 2011:94).

247
Bagan guna menafsirkan teks dalam berbagai konteksnya yang terkait
digambarkan sebagai berikut :

Bagan Teks yang Polisemis (Sumber Ricoeur, 1982 dalam Hoed, 2011: 94).
Dalam gagasan Ricoeur tentang penafsiran teks tersebut dapat kita terapkan
dalam mengkaji fenomena social objek budaya material seni. Teks kita gantikan
dengan gejala fenomena objek material seni. Konetks yang harus kita perhatikan
selanjutnya adalah penulis, penulis dalam hal ini adalah seniman pembuat karya
seni. Lingkungan di dalam hal ini adalah masyarakat pendukung yang hidup dan
menghidupi objek material seni tersebut, masyarakat etnis setempat dan
lingkungan geografis tempat tinggal masyarakatnya. Teks lain dalam hal ini
adalah teori-teori yang ada berkaitan dengan fenomena social objek kebudayaan
seni yang sedang diteliti, serta sumber bacaan tentang objek budaya seni tersebut.
Pembaca dalam hal ini adalah peneliti itu sendiri serta komunitas para seniman
yang mangalami objek seni, serta para seniman yang tinggal di daerah setempat.
Proses pemahaman hermeneutika teks dari Paul Ricoeur diterapkan dalam
fenomena objek material seni bila digambarkan dalam bagan menjadi sebagai
berikut ini:

248
Penelitian makna teks, bisa pula hanya sebuah lagu, menjadi penelitian
fenomena objek material seni, konteks yang harus diperhatikan guna ketajaman
analisis fenomena seni tersebut adalah praktek berkesenian masyarakat setempat
dan lingkup masyarakat sekitarnya sesuai dengan wilayah penelitiannya, seniman
pembuat karya seni, lingkungan alam, social dan budayanya, wawasan
kebudayaan material sejenis lain di luar area cakupan penelitiannya, interaksi
dialektik antara peneliti, penonton, aktor seniman/pemain serta masyarakat
pendukung fenomena objek seni tersebut. Berbagai konteks permasalahan guna
mengurai suatu fenomena social budaya objek material seni inilah yang
memungkinkan pemahaman dan hasil interpretasi yang lebih baik dan ketajaman
melakukan konteks berbagai aspek inilah yang membuahkan hasil penelitian
yang holistik dan mendalam. \

13 Analisis Isi
Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-
inferensi yang dapat ditiru (replicable) dengan data yang sahih serta
memperhatikan konteksnya (Kripendorf, 1980: 15). Metode ini berasal dari
penelitian bahasa dan sastra, namun penelitian ini dapat diterapkan pula guna
mengkaji fenomena seni. Sebuah karya musik dapat dikaji dengan metode
penelitian ini, misalnya menilik dari karakteristik melodi dan harmoni dari
Komponis Periode Romantik, Franz List berjudul Libestraume; atau Kajian
media tentang sebuah lagu…, misalnya saja lagu berjudul Rupiah, karya Rhoma
Irama.

249
Proses Penarikan Kesimpulan dari Kerja Lapangan

Proses penarikan kesimpulan dalam penelitian kualitatif haruslah


memperhatikan dengan cermat proses argumentasi berdasarkan bukti-bukti
lapangan atau bukti-bukti dalam teks itu sendiri yang diurai dalam berbagai
perspektif, seperti halnya gagasan Paul Ricoeur dalam menguraikan guna
memperoleh interpretasi terhadap teks. Istilah trianggulasi dalam memperoleh
ketepatan hasil penelitian sebenarnya kurang tepat, sebab pada kenyataannya
dalam penelitian kualitatif diperlukan lebih dari tiga angel/sudut, tiga sudut
pandang. Ricadson dan St. Pierre, dalam tulisan berjudul Menulis Sebuah
Metode penelitian mengungkapkan sebagai berikut:
“ Saya menyatakan bahwa sosok imajiner utama validasi bagi teks-teks
postmodernis bukanlah sgitiga , sebuah benda yang kaku, tetap dan berdimensi
dua. Lebih tepatnya sosok imajiner utamanya adalah Kristal, yang
menggabungkan simetri dan subtansi dengan beragam bentuk, subtansi,
transmutasi, kemultidimensian dan sudut pendekatan tanpa batas” ( Ricardson
dan St.Pierre, 2011: 349).

Tampak pada bagan Paul Ricoeur yang kemudian diubah menjadi kasus objek
seni oleh penulis terungkap bahwa pembenturan guna mencapai makna
interpretative yang teruji meliputi aspek: seniman pembuat karya, lingkungan
sosial/budaya/alam/historis, objek kebudayaan material sejenis, praktek
berkeseniannya, penonton dan masyarakat pendukung. Kesimpulan yang tepat
manakala sudah dibenturka dari berbagai aspek tersebut dan menghasilkan
interpretasi yang teruji akibat pembenturan berbagai aspek tersebut. Kesimpulan
dari interpretasinya adalah bangunan argumentasi yang disusun berdasarkan
berbagai benturan-benturan berbagai aspek tersebut, maka Ricardson dan Pierre
mengistilahkan dengan bangunan Kristal sebab tidak hanya bangunan yang
berdimensi dua.
Sedangkan penarikan kesimpulan dari suatu interpretasi etnografi yang
mendalam melalui jenis sirkular hasil data yang didapat, diputarkan kembali
dengan berbagai sumber, dokumen, referensi buku, jurnal dan hasil wawancara
dengan informan dan key informan hingga mendapatkan kejernihan interpretasi

250
dan bukti-bukti yang kuat sehingga keruntutan argumentasi hasil interpretasi
terakhir sudah sangat tepat dan cermat sehingga amat sulit untuk mencari celah
kesalahannya. Kesimpulan dari hasil interpretasi akhir ini menjadi lebih jelas
dengan diagram Alur Penelitian Sirkular yang telah dipaparkan terdahulu.

251
Daftar Pustaka

Barthes, Roland. (1981). Elemnts of Semiology. English Translation: Jonathan.


New York: Hill and Wang.

Denzin, Norman K., Yvonna S.L. 1994. Handbook of Qualitatif Research.


California: SAGE Publications, Inc.

Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: C.V. Pustaka Setia.

Foucault, Michel. (1973). The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock


Publications.

Guba, Egon G. dan Yvona S.Lincoln. 1994 ” Competing Paradigms in Qualitative


Research” dalam Norman K.Denzin dan Yvanna S. Lincoln: Handbook of
Qualitative Research. California: SAGE Publication.

Hardiman, F.Budi. (2003). Melampaui Positivisme dan Modernitas.Yogyakarta:


Kanisius.

Hoed, Benny H. 2014. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu.
_______ 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas Bambu.

Jorgensen, Marianne W. dan Louise J.P. (2007). Analisis Wacana Teori & Metode.
Terjemahan: Imam Suyitno, Lilik S. dan Suwarna. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Poespowardojo, Soerjanto dan Alexander Seran. 2015. Filsafat Ilmu Pengetahuan .


Jakarta:Penerbit Buku Kompas.

Preucel, Robert W. (2010). Arhaeological Semiotics. Malden: Wiley-Blackwell


Publishing Ltd.

Richardson, Laurel, Elizabeth Adams St.Pierre. 2011 “ Menulis Sebuah Metode


Penelitian” dalam Norman K.Denzin dan Yvanna S. Lincoln: Handbook of
Qualitative Research. California: SAGE Publication.

Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

252
Acuan Rambu-rambu Propopsal Penelitian Kualitatif

Pembuatan proposal awal merupakan kesulitan tersendiri, peneliti biasanya


tidak menemukan ide untuk membuat penelitian jenis kualitatif. Penemuan ide
penelitian kualitatif dapat dilakukan dengan banyak membaca buku-buku referensi,
jurnal-jurnal ilmiah dan menangkap kejadian fenomena sosial yang berkaitan dengan
seni dalam masyarakat. Setelah melakukan perenungan melalui litaratur ilmiah,
hasil-hasil penelitian hunaniora dan seni serta diskusi wacana terkini dalam
masyarakat seni pertunjukan kemudian muncul ide penelitian yang berguna bagi
masyarakat dan dunia pengetahuan. Proses ide penelitian tersebut merupakan tema
besar, tema besar tersebut haruslah dikerucutkan menjadi pokok bahasan yang lebih
sempit serta operasional, inilah yang biasa disebut sebagai focus penelitian. Fokus
penelitian sudah menjadi lebih jelas objek permasalahan yang akan diungkapkan
melalui penelitian kualitatif. Setelah menemukan permasalahan penelitian serta focus
spesifik objek yang akan diteliti berikut ini diberikan rambu-rambu tahapan dalam
penelitian kualitatif dimulai dari latar belakang masalah hingga metode yang
berkesesuaian guna pemecahan focus masalah yang akan diteliti.

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah berisi tentang suatu kasus fenomena. Kasus
fenomena tersebut sanagat penting untuk diteliti. Pentingnya penelitian tersebut
setidaknya juga dikuatkan dengan referensi-referensi sumber yang menjadi alasan
sebegitu pentingnya penelitian yang akan dilakukan.
B. Fokus Masalah
Fokus masalah berisi pilihan pembatasan cakupan penelitian sehingga
penelitian yang akan dilakukan tidak meluas namun mengkaji fenomena
permasalahan secara spesifik.
C. Rumusan Pertanyaan Penelitian

253
Setelah menentukan wilayah focus yang diteliti selanjutnya merumuskan
beberapa pertanyaan penelitian yang sesuai dengan fukus yang dibidik tersebut,
biasanya rumusan pertanyaan penelitian sekitar 2 sampai 5 pertanyaan.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian berisi tentang manfaat hasil penelitian nantinya bagi
institusi, dan masyarakat maupun dunia akademik.
BAB II . KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka berisi tentang sumber-sumber pustaka yang menjelaskan
tentang problematika berdasarkan focus penelitian. Kajian pustaka juga memuat
referensi pisau analisis yang digunakan. Pisau analisis ini berupa teori-teori dalam
ilmu sosial, filsafat, humaniora maupun kajian budaya. Teori-teori sosial, humaniora,
filsafat ini biasanya dipilih satu teori maupun perpaduan beberapa teori untuk
mengupas permasalahan yang menjadi focus penelitian. Teori-teori ini sekaligus juga
merupakan landasan berfikir untuk memperkokoh dalam metode
penelitian.Penelitian tentang tanda misalnya, dapat menggunakan teori-teori
semiotika; penelitian tentang masyarakat dapat menggunakan teori strukturalisme
maupun strukturasi, teori sistem tindakan fungsional atau teori yang lain. Demikian
pemaparan kajian teori yang bersesuaian dengan permasalahan yang akan diteliti.
Pembabakan kajian teori sub-sub babnya menyesuaikan permasalahan focus
penelitian, dari mulai istilah konsep dalam topic penelitian hingga teori-teori yang
dipergunakan sebagai pisau analisis.
BAB III METODE PENELITIAN
Metode dalam penelitian kualitatif beragam, tergantung focus penelitian dan
permasalahannya. Etnografi merupakan salah satu metode guna mengungkap makna
kebudayaan suatu masyarakat. Berikut ini diuraikan secara sangat ringkas acuan
berbagai netode pendekatan dan pisau analisisnya guna mengungkapkan makna yang
ingin dicari dalam penelitian kualitatif.
A. Pilihan Metode Pendekatan
1. Metode Etnografi.

254
Etnografi berasal dari kata etno dan grafi, etno berarti etnis masyarakat
tertentu dan grafi berarti tulisan. Etnografi merupakan deskripsi suatu tulisan tentang
kelompok masyarakat tertentu. Tulisan ini dapat dibatasi dari berbagai aspek
misalnya seni pertunjukan, ritual, adat-istiadat dan sebagainya.
2. Penggunaan Teori Strukturalisme
Pola penelitian ini mencari struktur atas suatu bentuk objek kajian. Struktur
yang diungkap bisa struktur masyarakat, struktur lagu, struktur permainan musik,
struktur bahasa dan sebagainya. Proses penelitiannya dengan menelusuri dan
menemukan foramat struktur yang ada dalam masyarakat atau objek kasus tertentu.
3. Strukturasi
Strukturasi ini merupakan gagasan Anthony Gidens yang pada intinya
mengungkapkan bahwa ada agen yang mengadakan perubahan dalam suatu struktur
masyarakat yang sudah tertata. Tugas peneliti adalah mengungkapkan pola struktur
perubahan dan proses perubahan masyarakat yang diprakarsai oleh agen tersebut.
Pengungkapan tentang gagasan perubahan dan suka-duka mengadakan perubahan
hingga berhasil. Pemilihan dalam teori strukturasi dan sekaligus menjadi metode
penelitian ini menuntut adanya fenomena perubahan yang dilakukan oleh agen.
4. Dekonstruksi
Paradigma pemikiran dalam filsafat yang melihat teks secara lebih tajam lagi
dan memberikan makna baru dan kritis atas penafsiran teks tersebut. Teks dipahami
dan disusun ulang dengan sudut pandang pemikiran yang berbeda, paradigm ini
dicetuskan oleh Jacques Derrida. Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis ulang
makna teks atau syair lagu maupun kejadian yang dianggap teks selanjutnya
dibongkar teks tersebut dan dimaknai ulang.
5. Analisis Wacana
Penelitian ini mengungkapkan makna teks, mengungkapkan hal-hal yang
terselubung dan memiliki tendensi tertentu dari teks yang ditulis baik melalui buku-
buku, karya sastra maupun media. Persoalan pencarian pola berfikir masyarakat
dalam menanggapi budayanya. Seni pertunjukan maupun kebudayaan material juga
dapat diungkap melalui analisis wacana jenis ini.

255
6. Hermeneutik
Hermeneutik merupakan ilmu tentang penafsiran, suatu proses tindakan
interpretasi guna memahami ke akar permasalaha. Pengungkapan makna teks
maupun yang dianggap sebagai teks dapat menggunakan metode ini.
7. Semiotika
Semiotika merupakan ilmu tentang tanda, ilmu untuk mengungkapkan makna
tanda-tanda dalam kehidupan masyarakat. Manusia merupakan animal simbolikum,
mahluk yang penuh dengan symbol-simbol. Pengungkapan symbol ini dapat
dilakukan dengan pendekatan semiotika melalui semiotika dari Roland Barthes,
Pierce maupun tokoh lain. Pengungkapan symbol melalui proses pemaknaan dan
perubahan pemaknaan dalam suatu objek yang menjadi tanda maupun disimbulkan.
8. Arkeologi Pengetahuan Michel Foucault.
Teori besar Foucault ini juga mampu membedah, membuat analisis suatu
sejarah pemikiran dalam masayarakat. Penelitian ini menggunakan Genealogi
Foucauldian dengan cara menelusur sejarah dan mengungkapkan sekat-sekat
pemikiran di balik suatu kejadian sejarah. Setiap sekat-sekat dalam sejarah memiliki
alam dan alas an rasionalnya sendiri, tugas peneliti adalah mengungkapkan alam cara
berfikir pada masing-masing sekat sejarah tersebut.
9. Etnografi Pertunjukan
Etnografi pertunjukan dalam pendekatan ini bukan berarti melakukan
etnografi di tempat kejadian seni pertunjukan. Etnografi pertunjukan yang dimaksud
adalah setelah melakukan etnografi dalam setting masyarakat kemudian hasil
penelitiannya dibuat suatu pementasan pertunjukan. Dengan memperagakan data
empiris yang digali melalui praktek etnografi, para peneliti sebagai pemeran dan
audiens penelitian performatif semacam itu mendapatkan pemahaman yang lebih
akrab tentang kebudayaan suatu masyarakat Sebagai salah satu contoh misalnya
penelitian tentang anak jalanan, stelah penelitian tentang anak jalanan selanjutnya
peneliti mengadakan seni peretunjukan drama tentang anak jalanan (Alexander,2011:
445).

256
Masih terlalu banyak lagi yang bisa menjadi pisau analisis dari teori-teori
para filsuf, teori-teori tersebut selain merupakan uraian konsep-konsep guna
menjelaskan fenomena kejadian sosial juag sekaligus dapat merupakan langkah-
langkah prosedur guna mengungkapkan fenomena permasalahan dalam masyarakat,
maka selain berisi konsep-konsep uraian sekaligus juga dapat digunakan untuk
prosedur mengurai permasalahan dalam suatu focus penelitian.
B. Setting Penelitian
Setting penelitian adalah merupakan tempat, wadah dimana kita melakukan
penelitian. Setting ini bisa berupa suatu wilayah, daerah tertentu atau kelompok
lokasi masyarakat pemilik kebudayaan. Namun bila objek kajian berupa teks maka
settingnya berupa buku-buku, Babad maupun sumber dokumen lain. Setting juga
bisa berupa suatu kejadian seni, pertunjukan seni yang dianggap sebagi teks.
Manakala seni pertunjukan dianggap sebagi teks maka segala teori untuk pemaknaan
teks dapat dipergunakan sebagi pisau analisis sekaligus metode guna menguraikan
pemaknaan
C. Rancangan Pengumpulan Data
Pengumpulan data juga akan tergantung pada metode pendekatan yang
dipilih. Metode pendekatan yang dipilih tidak harus hanya satu saja, misalnya
etnografi saja. Dalam penelitian kualitatif dapat menggunakan berbagai pendekatan
dan metode guna mengungkap makna focus permasalahan yang diteliti.
Pengumpulan data etnografi dilakukan dengan terjun ke tempat setting penelitian
lapangan dan malakukan kerja lapangan seperti yang telah diuraikan sebelumnya
dengan metode sirkular. Pengumpulan data berupa teks dapat ditelusuri melalui,
babad, buku-buku babon, prasasti, naskah cerita, novel buku-buku sejarah dan segala
teks tulisan yang berkesesuaian dengan focus penelitian. Pengumpulan data juga
dapat dilakukan dengan mengamati seni pertunjukan, upacara ritual, kegiatan
fenomenal masyarakat. Apabila kejadian dalam suatu masyarakat dianggap sebagi
teks maka segala teori tentang pengumpulan data dan analisis teks dapat digunakan
untuk menganalisis.

257
Prosedur mengurai permasalahan secara teoritis yang kemudian menjadi
prosedur metode proses penelitian, akan lebih baik bila alur proses metode pencarian
pemaknaan yang diungkapkan ini dibuat dalam bentuk diagaram. Diagram tersebut
dapat menjelaskan semenjak masalah penelitian hingga pengungkapan makna yang
ditemukan setelah melalui alur pemaparan bagan metode penelitian tersebut.
Proposal hendaknya dibuat runtut dimulai dari latar belakang masalah, focus
masalah, pertanyaan penelitian, kajian pustaka dan metode penelitiannya. Alur yang
dipaparkan supaya berkesinambungan membentuk uraian dengan logika pemikiran
yang runtut mulai dari latar belakang masalah hingga metodenya.

Pustaka:
Alexander, Bryant Keith. 2011. “ Etnografi Pertunjukan “ dalam Handbook of
Qualitatif Research. California: SAGE Publications, Inc.

Barthes, Roland. (1981). Elemnts of Semiology. English Translation: Jonathan.


New York: Hill and Wang.

Denzin, Norman K., Yvonna S.L. 1994. Handbook of Qualitatif Research.


California: SAGE Publications, Inc.

Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: C.V. Pustaka Setia.

Foucault, Michel. (1973). The Archaeology of Knowledge. London: Tavistock


Publications.

Jorgensen, Marianne W. dan Louise J.P. (2007). Analisis Wacana Teori & Metode.
Terjemahan: Imam Suyitno, Lilik S. dan Suwarna. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

258

Anda mungkin juga menyukai