"The City Brand Hexagon" Pada Pembentukan: Konsep City Branding Sebuah Pendekatan Identitas Kota

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 9

Seminar Nasional Manajemen dan Bisnis ke-3

Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember

KONSEP CITY BRANDING SEBUAH PENDEKATAN


“THE CITY BRAND HEXAGON” PADA PEMBENTUKAN
IDENTITAS KOTA
Adhiimsyah Luthfi, Aldila Intaniar Widyaningrat
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember
[email protected]; [email protected]

Abstrak
Artikel ini merupakan sebuah aplikasi konsep city branding yang dikemukakan oleh Simon
Anholt dengan model pengukur city branding yang disebut dengan The City Brand Hexagon.
Konsep city branding sangat diperlukan suatu kota untuk membentuk sebuah identitas yang
berkesan positif baik untuk wisatawan maupun menarik investor. Beberapa penelitian
mengenai implementasi city branding baik di kota – kota besar seperti di benua Eropa (London,
Paris, Berlin, Roma, dan Madrid) telah dilakukan dan menghasilkan city branding yang berbeda
di tiap – tiap kota tersebut bergantung pada kebutuhan kota untuk mendapatkan keunggulan
kompetitif. Selain itu, beberapa penelitian city branding juga diterapkan di Indonesia, dengan
hasil yang berbeda pula. Hal tersebut diakarenakan harus ada keselerasan antara pemerintah,
masyarakat setempat, pelaku bisnis, wisatawan serta investor agar konsep city branding
berhasil menciptkan citra kota yang positif.
Kata kunci : citra kota, city branding, the city brand hexagon, Simon Anholt

Abstract
This article is a city branding concept application proposed by Simon Anholt with a city branding
measuring model called The City Brand Hexagon. The concept of city branding is very useful for
cities that give a positive impression for tourists and investors. Several studies on the
implementation of city branding in major cities such as Europe (London, Paris, Berlin, Rome and
Madrid) have been carried out and produced different city branding in each city. . In addition,
several city branding studies were also applied in Indonesia, with different results. These things
must be spread between the government, the local community, business people, tourists and
investors so that the concept of the city of branding can create a positive city image.
Kata Kunci: citra kota, city branding, city hexagon, Simon Anholt

PENDAHULUAN
Pada saat ini atmosfer persaingan bisnis tidak hanya terjadi pada produk ataupun
perusahaan, namun persaingan antar kota justru mengalami peningkatan tiap tahunnya
dan telah menjadi perhatian para ilmuwan. Persaingan antar kota, selalu terkait pada
pemasaran dan branding wilayah tersebut. Sebuah kota yang dapat menciptakan merek
kuat dengan pencerminan identitasnya, maka akan menarik konsumen potensial,
wisatawan, investor, ataupun penduduk, sehingga brand sendiri merupakan pembeda
yang jelas menjadi ujung tombak bagi daya saing suatu kota. Branding sebuah kota
memiliki tujuan untuk meningkatkan hubungan investasi bisnis, meningkatkan
keunggulan kompetitif pasar pariwisata, mempromosilan pembangunan ekonomi dan
sosial secara umum, dan mendorong masyarakat untuk mengidentifikasi tempat tinggal
mereka. Kota membutuhkan suatu identitas yang membedakan kota satu dengan kota
lainnya melalui sebuah brand dimana brand merupakan sebuah identitas berupa nama,
logo, tanda, desain, dan kombinasi seluruhnya. Cavia Fernandez et al. (2013)

315
Sinergitas Quadruple Helix: e-Business dan Fintech sebagai Daya Dorong Pertumbuhan
Ekonomi Lokal

menjelaskan branding tidak dipandang sebagai cara untuk mengelola suatu kota,
melainkan dipandang sebagai alat untuk menyampaikan citra positif yang bertujuan
untuk meningkatkan persepsi yang dimiliki oleh berbagai pemangku kepentingan,
dimana branding tidak dapat mengubah suatu kota tetapi dapat membantu
meningkatkan daya saing secara keseluruhan. City branding diharapkan dapat
membentuk citra positif dibenak wisatawan, karena akan mempengaruhi cara perilaku
wisatawan, sebelum, selama dan sesudah mengunjungi suatu destinasi. Suatu kota harus
mengemukakan merek yang kuat, sehingga dapat membentuk sebuah citra, hal ini
diperkuat oleh Kavaratzis dan Ashworth (2005) yang mengemukakan bahwa
membentuk city branding dapat mempengaruhi peta mental dengan kata lain bagaimana
pengunjung mempersepsikan sebuah kota dibenak mereka.

City branding menarik untuk diteliti dan dijadikan patokan dikenal atau tidaknya sebuah
kota karena city branding mempunyai peranan penting dalam pembentukan merek
sebuah kota sehingga lebih dikenal oleh masyarakat, dan menarik kunjungan wisatawan
maupun para investor (Gaggiotti, Low Kim Cheng, & Yunak, 2008; Clarizza et al., 2009;
Zhang &Zhao, 2009; Yuli, 2011; Hazime, 2011; Lily Purwianti, 2014; Fernandez, 2014;
Hidayat, 2014; Wibawanto, 2015; Lestari, 2016). Merek kota merupakan suatu bentuk
pemasaran mempromosikan citra positif dari suatu destinasi wisata demi
mempengaruhi keputusan wisatawan untuk berkunjung (Blain et al 2005; Roostika
2012). Tujuan dari pemberian merek suatu kota yaitu untuk meningkatkan daya saing
dan memberikan citra yang lebih spesifik yang mampu membedakan kota tersebut
dengan kota lain (Hall, 2002 in Huh 2006; Roostika 2012).

City branding merupakan salah satu konsep dari branding. Branding merupakan sebuah
konsep yang dibuat dengan tujuan mengembangkan suatu produk. Sedangkan city
branding merupakan strategi pemasaran kota dengan tujuan untuk memperkuat
hubungan dan membangun citra baik kota dengan pengunjung (Kavaratzis, 2004; Zhou
& Wang 2014).Adapun tujuan lain dari city branding menurut Cai (dalam Qu, Kim,& Im,
2011) yaitu untuk membangun sebuah citra positif suatu tempat dan untuk
membedakan tempat tersebut dengan pesaingnya. Strategi city branding dapat dianggap
sebagai salah satu tindakan strategis yang harus dikelola oleh pemerintah karena untuk
mempromosikan suatu tempat atau negara ke tingkat internasional (Hazime, 2011).
Pemasaran suatu tempat merupakan proses perencanaan dan perancangan dari suatu
kota dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari pengunjung kota atau biasa
disebut dengan target pasar (Guo & Liu, 2006; Zhou & Wang, 2014). Menurut Ashworth
(dalam Hazime 2011) suatu kota perlu menciptakan identitas yang menarik berbagai
pihak dalam menghadapi persaingan antar kota dalam rangka menarik sumber daya,
investasi atau wisatawan. Terbukti kota-kota seperti Manchester, Lyon, Detroit,
Shanghai, Dublin dan San Fransisco mampu menarik perusahaan yang telah ada dan
membuat investasi baik domestik atau asing, sehingga ada perbedaan antara kota-kota
tersebut dengan para pesaing (Kerr, 2006; Hazzime, 2011). Keberhasilan dari
penerapan strategi city branding dari kota-kota tersebut tidak terlepas dari peran
pemerintah, investor, pelaku industri pariwisata, maupun dari masyarakat lokal itu
sendiri.

316
Seminar Nasional Manajemen dan Bisnis ke-3
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember

Peran masyarakat setempat juga menunjukkan bahwa mereka memang sebuah dimensi
yang penting untuk pembentukan merek suatu tempat dan oleh karena itu penting
untuk dipertimbangkan dalam branding suatu kota (Freire 2008; Braun, Kavaratzis, &
Zenker, 2010). Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa orang-orang lokal banyak yang
digunakan dalam tujuan pembentukan merek suatu tempat. Orang lokal digunakan
sebagai isyarat untuk mengevaluasi merek suatu tempat dan sebagai faktor pembeda.
Menurut Braun (dalam Braun, Kavaratzis, & Zenker, 2010) terdapat empat peran warga
lokal dalam proses city branding yakni, pertama penduduk sebagai kelompok sasaran,
kedua penduduk sebagai bagian terpadu dari merek tempat, dimana mereka merupakan
bagian yang terintegrasi dari merek suatu tempat. Ketiga penduduk sebagai duta untuk
merek tempat, dimana penduduk secara tidak langsung turut serta membantu
menyebarkan informasi mengenai kotanya dari mulut ke mulut sehingga pemerintah
akan sangat terbantu dengan hal tersebut. Keempat yaitu penduduk sebagai warga
negara, dimana pelaksanaan merek suatu tempat memerlukan keseimbangan antara
merek kota dengan dukungan dari masyarakat setempat (Braun, 2009; Braun,
Kavaratzis, & Zenker, 2010). Sehingga apabila penduduk atau kelompok-kelompok
tertentu pergi meninggalkan kota maka proses pengembangan merek suatu kota juga
tidak akan berjalan dengan baik.

Persaingan sengit antara satu kota dengan kota yang lainnya, memotivasi pemerintah
kota untuk memanfaatkan metode pemasaran untuk promosi kota. Dalam pengertian ini
strategi branding suatu tempat dapat dianggap sebagai salah satu pelengkap dan
tindakan strategis yang harus pemerintah lakukan untuk memperkuat sektor produktif
dan untuk mempromosikan negara ke dunia internasional yang potensial (Hazime,
2011). Di Eropa, persaingan diantara kota-kota besar telah meningkat selama dekade
terakhir (Gelder, 2008; Hazime, 2011). Selain di Eropa, negara lain seperti Australia,
Kanada, Jepang, Inggris, Spanyol, Perancis, Italia, dan Selandia Baru telah berhasil
mempromosikan diri, dengan cara menunjukkan keaslian dan keragaman geografis
mereka untuk menciptakan suatu merek yang menarik dan mampu mentransmisikan
karakteristik penting dari budaya, masyarakat, dan sumber daya alam yang dimiliki
(Hazime, 2011). Mempromosikan tempat dengan menggunakan pendekatan pemasaran
merupakan metode tambahan untuk sektor publik yaitu untuk mengelola tempat dan
prinsip manajemen tempat itu sendiri (Ashworth & Voogd 1994; Zhou & Wang 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Konsep City Branding
Konsep city branding sendiri pertama kali diutarakan oleh Simon Anholt dalam bukunya
berjudul ”Brand New Justice” pada tahun 2003. Menurut Simon, city branding
merupakan sebuah gagasan tentang bagaimana mengaplikasikan sebuah identitas yang
biasanya digunakan untuk suatu produk, menjadi sebuah identitas tempat (place
branding) yang diinginkan oleh para pemangku kepentingan terkait dan menjadi nilai
lebih dalam pandangan seorang konsumen. Hal tersebut berbeda dengan city marketing
dimana sebuah kota dibentuk sesuai dan keinginan serta kebutuhan konsumen
(mengikuti arus keinginan konsumen). Oleh karena itu, adanya city branding tidak
hanya menguntungkan orang yang dating berkunjung ke kota itu saja, namun juga

317
Sinergitas Quadruple Helix: e-Business dan Fintech sebagai Daya Dorong Pertumbuhan
Ekonomi Lokal

berdampak positif bagi masyarakat yang bertempat tinggal di kota tersebut. Dampak
positif dapat dirasakan di semua sektor, mulai dari pelayanan publik, kesehatan hingga
ekonomi.

Kavaratzis (2004, 66-69) menyebutkan bahwa melihat city branding dalam konteks
komunikasi dari citra suatu kota melalui tiga tahapan komunikasi yaitu primer,
sekunder, dan tersier. Menurut Cardwell and Freire, 2004 dalam Knape dan Lundell
(2011) The term branding has a prime relevance as a strategy tool in marketing and
branding a destination is not different from branding goods and services, yaitu istilah
merek memiliki relevansi utama sebagai alat strategi pemasaran, dan tidak berbeda dari
merek barang dan jasa. Beberapa pemaparan tersebut, tentang pengertian city branding
dapat diambil kesimpulan bahwa city branding merupakan upaya untuk memberikan
merek kepada kota agar mudah dikenali dan dapat membentuk city image untuk
memasarkan daerah baik secara lokal maupun internasional.

Branding merupakan proses dimana upaya yang dibuat untuk mempengaruhi


bagaimana masyarakat menafsirkan dan membangun perasaan mereka sendiri tentang
sebuah merek (Chandler & Owen, 2002; Kavaratzis &Ashworth, 2007). City branding
menurut Padison (dalam Hidayat, 2014) sebagai sarana kompetitif untuk mencapai
keunggulan dalam rangka meningkatkan investasi dan pariwisata, pengembangan
masyarakat, memperkuat identitas lokal dan identifikasi masyarakat dengan kota
mereka serta menggerakkan semua aktifitas sosial untuk menghindari perpecahan.

Terdapat empat langkah proses strategi city branding menurut Andrea Insch (dalam
Lestari, 2016) :

1. Identity, proses mengidentifikasi asset, atribut dan identitas suatu kota.


2. Objective (menentukan tujuan), mendefinisikan secara jelas alasan utama city
branding
3. Communication, proses komunikasi baik secara online maupun offline dengan
semua pihak yang berkepentingan dengan sebuah kota.
4. Coherence, proses implementasiyang memastikan segala bentuk program
komunikasi dari suatu kota terintegrasi, konsisten dan menyampaikan pesan yang
sama.

Selain empat langkah yang telah dipaparkan sebelumnya, ada dua cara dalam
melakukan city branding menurut Sun (dalam Zhou & Wang 2014) yaitu dengan
membangun citra merek keseluruhan kota yang mengintegrasikan faktor politik,
ekonomi dan budaya. Cara lain yaitu dengan membangun layanan wisata sebagai
langkah mempromosikan pariwisata secara eksklusif.

The City Brand Hexagon by Simon Anholt


Kota sangat berbeda dengan sebuah negara, dimana biasanya suatu kota biasanya
sangat sulit untuk menemukan identitasnya sehingga dikenali oleh masyarakat luas.
Pada umumnya, beberapa kota tidak memiliki aspek politik, ekonomi atau budaya yang
kuat untuk membentuk suatu citra kota agar lebih terkenal, meskipun kota tersebut

318
Seminar Nasional Manajemen dan Bisnis ke-3
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember

merupakan ibukota suatu distrik atau provinsi. Masyarakat masih susah untuk
membedakan mana yang merupakan suatu program yang dibuat pemerintah agar kota
tersebut terkenal, ataukah karena kota tersebut memiliki keunikan sendiri karena ciri
khas nya baik secara demografi, geografi ataupun karena budaya lokal (Anholt,
2007:59).

Simon Anholt (2007, 59-61) menciptakan Branding Hexagon untuk mengukur


efektivitas city branding menggunakan, yang mana di dalamnya terdapat enam aspek
dalam pengukuran efektivitas city branding terdiri atas : 1. Presence (kehadiran) 2.
Potential (potensi) 3. Place (tempat) 4. People (orang) 5. Pulse (semangat) 6. Prerequisite
(prasyarat).

Gambar 1. The New Brand Management for Nations, Cities, and Regions”, 2007:60
Sumber : Simon Anholt ”Competitive Identity
1. Presence (kehadiran)
Presence menjelaskan terkait status dan kedudukan kota di mata dunia
internasional dan seberapa jauh kota tersebut diketahui oleh warga dunia. Anholt
melakukan survey terhadap 30 kota dan mengidentifikasi karakteristik khusus dari
kota tersebut serta menggali kontribusi penting di tingkat dunia dalam hal budaya,
sains atau jalannya pemerintahan selama kurun waktu 30 tahun terakhir.
2. Placel (tempat)
Place mengukur bagaimana persepsi mengenai aspek fisik dari setiap kota apakah
public merasa nyaman apabila melakukan perjalanan keliling kota, seberapa indah
penataan kota, serta bagaimana cuaca tersebut.
3. Potential (potensial)
Potential mengevaluasi kesempatan ekonomi dan pendidikan yang ditawarkan
kepada pengunjung, pengusaha, imigran, seperti apakah mudah mencari pekerjaan,
apakah tempat yang bagus untuk bisnis ataukah memiliki objek pariwisata yang
menarik, atau apakah merupakan tempat yang baik untuk mendapatkan kualifikasi
pendidikan yang tinggi.
4. People (orang)

319
Sinergitas Quadruple Helix: e-Business dan Fintech sebagai Daya Dorong Pertumbuhan
Ekonomi Lokal

People menilai apakah penduduk kota bersahabat dan memberikan kemudahan


dalam bertukar budaya, serta bahasa juga apakah hal tersebut menimbulkan rasa
aman saat ebrada di dalamnya.
5. Pulse (semangat)
Pulse menganalisa apakah kota tersebut memperlihatkan nuansa gaya hidup urban
sebagai bagian terpenting dari citra kota, serta apakah publik dapat dengan mudah
menemukan hal – hal yang menarik sebagai pengunjung maupun sebagai penduduk
kota tersebut untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
6. Prerequisite (prasyarat)
Prerequisite memaparkan potensi public terhadap dasar suatu kota, apakah suka
jika tinggal disana, apakah kota tersebut memberikan akomodasi yang disediakan,
serta kemudahan akses pemenuhan kebutuhan seperti infrastruktur dan lain – lain.

City Branding sebagai Identitas Kota


Penelitian mengenai city branding banyak dilakukan baik di kota – kota luar negeri
maupun di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Mar Gomez et al. (2018) dengan
judul ”City branding in European capitals : An analysis from the visitor perspective”
menyatakan bahwa tujuan penelitian tersebut untuk menganalisis aplikasi dari teori city
branding di lima kota besar di Eropa, yakni London, Paris, Berlin, Roma, dan Madrid.
Gomez menggunakan model terukur city branding yang dihubungkan dengan variabel
attitude towards the brand, brand image, dan brand equity dengan menggunakan alat
analisis PLS (partial least square). Hasil penelitian menyatakan bahwa berdasarkan City
Branding Index (CBI) yang merupakan model pengukuran, terdapat celah (gap) dari lima
ibu kota di benua Eropa dalam aspek – aspek yang membentuk city branding. Hal
tersebut dapat terjadi karena masing – masing kota menggunakan tools dan cara yang
berbeda untuk membangun keunggulan kompetitif suatu kota meskipun menggunakan
dimensi pengukuran yang sama.

Zaeri Febrianur (2016) melakukan penelitian berjudul ”Dampak City Branding Enjoy
Jakarta dan Your Singapore Terhadap Perkembangan Mice” menyatakan bahwa city
branding memerlukan komitmen yang kuat bagi para pemangku kepentingan, dalam hal
ini bukan saja pemerintah melalui badan terkait, namun juga dengan publik. Sebuah
branding yang sukses dapat mengubah sebuah kota menjadi sebuah tujuan utama bagi
orang – orang untuk bekerja, tinggal, dan berkunjung. Pada penelitian Zaeri
menunjukkan bahwa Singapura berusaha mewujudkan Your Singapore sebaik – baiknya
dengan persiapan yang matang dan terdokumentasi dengan baik. Bagian dari branding
negara Singapura adalah bagaimana membuat seseorang tidak lagi merasa asaing di
Singapura meskipun itu adalah kali pertama mereka berkunjung ke Singapura. Hal yang
berbeda terjadi pada brand Enjoy Jakarta, dimana walaupun branding ini masih tetap
ada hingga sekarang, namun tidak terlihat sinergi diantara pemangku kepentingan
dengan publik maupun pelaku bisnis. Perubahan yang terjadi hanyalah di bidang sarana
dan prasarana dimana sarana memang semakin lengkap, namun masyarakat ataupun
target market yang disasar tidak mendapat informasi terkini atas perubahan tersebut.

Ari Bawanti (2016) pada judul ”Analisis City Branding dalam Pengembangan Destinasi
Pariwisata Kabupaten Jayapura” menyatakan bahwa penerapan city branding yang

320
Seminar Nasional Manajemen dan Bisnis ke-3
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember

benar akan membentuk citra positif terhadap kota tersebut, sehingga tidak aka nada
perbedaan pola perilaku wisatawan selama dan setelah berkunjung dari kota tersebut.
Ari mengemukakan bahwa pelaksanaan city branding di Jayapura berhasil membuat
para wisatawan baik domestik mapun wisatawan asing selalu tertarik untuk berkunjung
kembali, karena wisata alam Jayapura yang beragam dan budaya masyarakat yang
memiliki keunikan tersendiri. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dyas
Larasati dkk (2016) dengan judul ”Potensi Wisata dalam Pembentukan City Branding
Kota Pekanbaru” menyatakan bahwa city branding merupakan strategi tepat untuk
mengenalkan suatu kota kepada masyarakat luas. Larasati dkk menunjukkan bahwa
strategi Pekanbaru mengacu pada kerangka kerja Branding kota sebagai pintu gerbang
budaya Melayu, dan melakukan stratgei antar stakeholders agar tercipta kerja sama yang
baik. Branding juga melibatkan warga lokal, pengusaha dan pebisnis dalam
mengembangkan dan mengantarkan brand. Selain itu, perlu pembentukan ruang publik
yang mewakili branding Kota Pekanbaru sebagai pintu gerbang budaya Melayu seperti
pembentukan taman terbuka untuk aktivitas kebudayaan.

KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa konsep city branding
dengan mengacu pada The City Brand Hexagon yang diciptakan Oleh Simon Anholt
(2003), merupakan strategi yang tepat agar kota memiliki identitas dan lebih dikenal
oleh masyarakat luas. Namun demikian, penggunaan (aplikasi) dari konsep city branding
harus diperhatikan karena terkait beberapa pihak penting dalam pembentukan identitas
suatu kota. City branding bukan hanya tugas dari pemerintah, namun pelaku bisnis,
warga lokal, tokoh masyarakat, dan juga pendatang saling terkait agar tercipta citra
yang positif terhadap kota tersebut. Hal tersebut nantinya akan menarik wisatawan
domestik maupun asing untuk berkunjung sehingga tidak akan membentuk suatu pola
perilaku pasa berkunjung yang negatif, serta menarik investor untuk dating dan
mengembangkan potensi kota tersebut.

KETERBATASAN
Artikel ini hanya memuat kumpulan aplikasi konsep city branding pada beberapa kota
secara tinjauan teori dan studi empiric dari beberapa penelitian terdahulu. Penulis
mengharapkan adanya pengembangan konsep city branding baik dari segi metode
analisis data dan pengembangan variabel – variabel yang dapat membentuk dan
mempengaruhi city branding suatu kota. Adapun penelitian selanjutnya dapat
menggunakan penelitian berbasis kuantitatif yang sumber data dapat diperoleh dari
penyebaran kuesioner terhadap beberapa responden sebagai sampel penelitian.

UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih terhadap berbagai pihak baik dari
narasumber dan akademisi yang membantu penulisan artikel ini, baik sumbangsih
berupa sumber data maupun ide dan gagasan sehingga tersusun sebuah artikel yang

321
Sinergitas Quadruple Helix: e-Business dan Fintech sebagai Daya Dorong Pertumbuhan
Ekonomi Lokal

menarik untuk dibaca dan diteliti lebih lanjut. Penulis juga menerima saran dan kritik
yang membangun demi kesempurnaan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anholt, Simon.2007. Competitive Identity : The New Brand Management Nations, Cities, and Regions.
USA.Palgrave Macmillan.

Braun, E., Kavaratzis, M., & Zenker, S. 2010. My City-My Brand: The Role of Residents in Place Branding.
Journal of Place Management and Development, 6(1), 1–13.

Bawanti, Ari. 2016. Analisis City Branding dalam Pengembangan Destinasi Pariwisata Kabupaten
Jayapura. Jurnal Media Wisata, Volume 14, Nomor, 1

Clarizza, A., Swandi, D. I. W., Si, M., Sutopo, A. R., Sn, S., Studi, P., … Siwalankerto, J. 2009. Perancangan
Destination Branding Wana Wisata Tanjung Papuma Kabupaten Jember Abstrak
Pendahuluan Metode Penelitian, 1–12.

Daniel, B., Fernández, B., & Meethan, K. (2014). The Relationship of City Branding and Tourist
Promotion : The Case of Plymouth ( UK ) and Malaga ( Spain ). Athens Journal of Tourism,
217–226.

Febrianur, Zaeri. 2016. Dampak City Branding Enjoy Jakarta dan Your Singapore Terhadap Perkembangan
Mice. eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, p. 1911-1206.

Fernandez-Cavia, Jose et al. 2013. Destination Brands and Website Evaluation : a Research Methodology.
Revista Latina de Comunicacion Social, Vol. 68, p. 622-638

Gaggiotti, H., Low Kim Cheng, P., & Yunak, O. (2008). City brand management (CBM): The case of
Kazakhstan. Place Branding and Public Diplomacy, 4(2), 115–123.

Gomez, Mar et al.. 2018. City Branding in Europian Capitals : An Analysis From The Visitor Prespective.
Journals of Destination Marketing and Management. 7(2018), 190 – 201.

Hazime, H. (2011). From city branding to e-brands in developing countries: an approach to Qatar and
Abu Dhabi. African Journal of Business Management, 5(12), 4731–4745.

Hidayat, N. (2014). City Branding Kabupaten Banyuwangi. Universitas Jember.

Kavaratzis, M. (2004). From city marketing to city branding: Towards a theoretical framework for
developing city brands. Place Branding. 1(1), 58-73.

Kavaratzis, M., & Ashworth, G. J. (2005). City branding: An effective assertion of identity or a transitory
marketing trick? Tijdschrift Voor Economische En Sociale Geografie, 96(5), 506–514.

Larasati, Dyas dan Nazaruddin, Muzayin. 2016. Potensi Wisata dalam Pembentukan City Branding Kota
Pekanbaru. Journal Komunikasi. Volume 10, nomor 2, hal. 99-116.

Lestari, R. B. (2016). Membangun Citra Sebuah Kota Dalam Persaingan Global Melalui City Branding, 5(2),
68–79.

Qu, H., Kim, L. H., & Im, H. H. (2011). A model of destination branding: Integrating the concepts of
the branding and destination image. Tourism Management, 32(3), 465– 476.

322
Seminar Nasional Manajemen dan Bisnis ke-3
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember

Roostika, R. (2012). Citra Merek Tujuan Wisata Dan Perilaku Wisatawan: Yogyakarta Sebagai Daerah
Tujuan Wisata, 1(21), 41–54.

Yuli, A. (2011). City Branding Sebagai Strategi Pengembangan Pariwisata Ditinjau Dari Aspek Hukum
Merek (Studi Kasus City Branding Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Daerah Tujuan Wisata
Unggulan Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI, 5(1), 50–68.

Zhang, L., & Zhao, S. X. (2009). City branding and the Olympic effect: A case study of Beijing. Cities, 26(5),
245–254.

Zhou, L., & Wang, T. (2014). Social media: A new vehicle for city marketing in china. Cities, 37(October
2016), 27–32.

323

Anda mungkin juga menyukai