Makalah
Makalah
Makalah
Diajukan sebagai
Tugas Mata Kuliah Pendidikan Bahasa Indonesia
Disusun oleh:
Annisa (2016011031)
Delsafina Wahyu Cahyani (2016011035)
Siti Maryani (2016011041)
Wahyu Putra Santoso (2016011063)
Bagus Prabowo Muchtar (2056011009)
Gustya Disha Suwandi (2056011013)
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena dengan izin-Nya lah kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa shalawat serta salam semoga
tetap tercurah kepada nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya. Terimakasih
juga kepada teman-teman yang membantu kami dalam menyelesaikan makalah
ini.
Makalah berjudul “Perbedaan Bentuk Perilaku Bullying Ditinjau dari Pola Asuh
Orang Tua” ini kami buat untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan dosen
mata perkuliahan Pendidikan Bahasa Indonesia. Semoga selain memenuhi tugas,
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan kami khususnya.
Demikianlah yang dapat kami tuliskan disini apabila terdapat kekurangan ataupun
kesalahan dalam makalah ini kami mengharap maklum karena kami sadari bahwa
pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran sangat kami
harapkan dalam upaya perbaikan. Terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Simpulan.....................................................................................................13
B. Saran ..........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan data yang diperoleh penyusun serta ditinjau dari latar
belakang, Penulis menentukan rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana perbedaan bentuk perilaku bullying ditinjau dari pola asuh
orang tua?
b. Bagaimana pola asuh orang tua yang benar terhadap anaknya?
c. Bagaimana respon para orang tua terhadap perilaku bullying tersebut?
d. Mengapa perilaku bullying masih terjadi di lingkungan remaja
khususnya di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan yang ingin penulis capai adalah:
a. Untuk mengetahui perbedaan bentuk perilaku bullying ditinjau dari pola
asuh orang tua.
b. Untuk mengetahui bagaimana pola asuh orang tua yang benar terhadap
anaknya.
c. Untuk mengetahui bagaimana respon orang tua terhadap perilaku
bullying.
d. Untuk mengetahui mengapa perilaku bullying masih terjadi di
lingkungan remaja khususnya di Indonesia.
2
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pemahaman mengenai perbedaan bentuk perilaku bullying
ditinjau dari pola asuh orang tua.
b. Sebagai sarana informasi kepada pembaca untuk mengetahui
bagaimana perbedaan bentuk perilaku bullying ditinjau dari pola asuh
orang tua.
c. Agar pembaca mengetahui bagaimana solusi untuk menghentikan atau
mencegah perilaku menyimpang tersebut.
E. Metodologi
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbedaan Bentuk Perilaku Bullying Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua
Pengertian Bullying
Tidak terdapat faktor tunggal yang menjadi pengaruh bagi seseorang untuk
melakukantindakan bullying. Adapun beberapa faktor yang dianggap menjadi
pengaruh, yaitu Pertama, keluarga. Kebanyakan dari para pelaku bullying
memiliki latar belakang keluarga yang kurang baik, seperti: seringnya
mendapat hukuman dari orang tua, keluarga yang tidak tidak harmonis, dan
seringnya terjadi pertengkaran diantara orang tua. Kedua, teman sebaya. Dalam
bergaul tentu saja banyak kegiatan yag dilakukan oleh seorang anak, apakah itu
kegiatan positif atau negative sekalipun. Sehingga akan sangat mudah bagi
seorang anak untuk meniru tindakan yang dilakukan oleh teman-temannya.
Bentuk-Bentuk Bullying
Ada beberapa bentuk perilaku yang terlihat pada tindakan bullying yaitu
memukul atau memanggil nama seseorang yang membuat orang tersebut
menjadi marah, tersakiti, atau merasa terganggu (Liness, 2008). Sementara itu,
terdapat lima bentuk bullying yang dilakukan pelaku terhadap korban.
Pertama, kontak fisik secara langsung yaitu dengan memukul, mendorong,
mengunci, menendang, menjambak, merusak barang korban, dan mengurung
korban dalam suatu ruangan, menjambak, merusak barang korban, dan
mengurung korban dalam suatu ruangan. Kedua, kontak verbal secara langsung
yaitu dengan mengancam, mempermalukan, merendahkan, memanggil dengan
julukan dan memaki. Ketiga, perilaku non verbal secara langsung yaitu dengan
menjulurkan lidah dan melihat korban dengan sinis. Keempat, non verbal tidak
langsung yaitu dengan mengucilkan, mendiamkan korban, mengabaikan.
Kelima, pelecehan seksual (Riauskina, et, al, dalam Wiyani, 2012).
Pola asuh adalah proses interaksi baik dalam bentuk komunikasi maupun
tindakan yang dilakukan oleh orang tua dalam menjaga, merawat, memenuhi
apa yang dibutuhkan oleh anak ketika bayi sampai dewasa, serta memberikan
kasih sayang, pemahaman terkait beberapa pendidikan yang mencakup
intelektual dan moral, mengajarkan rasa tanggung jawab atas segala tindakan
yang dilakukan (Brooks, 2011).
Pola asuh adalah proses interaksi yang terjalin antara orang tua dengan
anak termasuk pula dalam hal mengajarkan bagaimana cara bertingkah laku
yang baik sesuai norma yang berlaku, memberikan contoh perilaku yang baik
pada anak serta memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak (Dariyo,
2004, dalam Suparwi, 2013).
5
dalam dirinya, timbul rasa kecemasan apabila harus membandingkan dirinya
dengan orang lain, inisiatif yang dimiliki kurang dan tidak memiliki
kompetensi yang baik dalam hal berkomunikasi dengan orang lain.
Kedua, pengasuhan otoritatif adalah bentuk pengasuhan yang mana orang
tua memberikan sikap yang hangat kepada anak. Selain memberi batasan
aturan dalam bertindak kepada anak, orang tua juga memberikan kesempatan
pada anak untuk melakukan komunikasi secara verbal pada orang tua, disisi
lain orang tua juga melatih anak untuk dapat mandiri. Anak dengan pola asuh
otoritatif kerap kali terlihat bahagia, memiliki kontrol diri serta rasa percaya
diri yang baik, memiliki orientasi untuk berprestasi, cenderung
lebihmempertahankan hubungan persahabatan dengan teman sebayanya,
kooperatif terhadap orangyang lebih dewasa dan memiliki kemampuan yang
baik dalam mengatasi stres.
Ketiga, pengasuhan yang melalaikan adalah bentuk pola asuh dimana
orang tua cenderung memberikan kebebasan kepada anak tanpa memberikan
kontrol ataupun memantau anak. Sehingga anak dengan pola asuh yang
demikian cenderung tidak memiliki kontrol diri yang baik, memiliki harga diri
yang rendah dan suka melakukan pelanggaran.
Keempat, pengasuhan yang memanjakan atau biasa disebut permisif.
Pengasuhan permisif adala pola asuh dimana orang tua selalu mengetahui
segala tindakan yang dilakukan oleh anak akan tetapi orang tua memberi
kebebasan terhadap anak untuk melakukan apa pun yang diinginkan oleh anak.
Sehingga anak tidak pernah belajar untuk mengendalikan diri dan selalu
menginginkan agar kemauannya selalu terpenuhi. Dengan pengasuhan yang
demikianmembuat orang tua yakin bahwa anak dapat lebih mandiri.
Meninjau pola asuh otoriter dan pola asuh permisif, maka kedua pola asuh
tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada gaya
komunikasi yang berlaku pada kedua pola asuh tersebut (otoriter dan permisif).
Kedua pola asuh tersebut samasama memiliki komunikasi satu arah. Pada pola
asuh otoriter pemegang kuasa adalah orang tua sehingga apa pun yang
dikatakan dan diperintahkan oleh orang tua harus diikuti oleh anak tanpa
memberikan kesempatan pada anak untuk bertanya atau pun bermusyawarah.
Sedangkan pada pola asuh permisif pemegang kuasa adalah anak dan
orang tua selalu mengikuti serta memenuhi apa pun yang diinginkan oleh anak.
Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang cenderung mengekang dan
membatasi anak dengan berbagai banyak aturan. Sehingga remaja yang
menerima pola asuh tersebut sudah terbiasa dengan batasan-batasan yang
berlaku. Berbeda dengan pola asuh permisif yang cenderung membolehkan
anak melakukan segala tindakan yang diinginkan serta sedikitnya aturan yang
6
diterapkan oleh orang tua pada anak dan pemenuhan segala keinginan yang
diinginkan oleh anak. Sehingga remaja yang menerima pola asuh tersebut
cenderung kurang dapat mengendalikan diri.
Pelaku tindakan bullying lebih banyak dilakukan oleh remaja laki-laki
dibandingkan remaja perempuan baik dari remaja yang menerima pola asuh
otoriter maupun remaja yang menerima pola asuh permisif. Hal tersebut terjadi
karena pada rentan usia remaja 12-15 tahun merupakan masa pubertas, dimana
remaja laki-laki cenderung merasa lebih puas dengan kondisi tubuhnya
dibanding remaja perempuan, karena pada remaja laki-laki terjadi
bertambahnya otot. Sehingga remaja laki-laki cenderung memiliki keinginan
untuk menunjukkan kekuatan yang dimilikinya dengan melakukan tindakan
negatif pada teman yang dianggap lemah dihadapan teman sebaya, agar teman
sebayanya mengakui kehebatannya (Santrock, 2012 dalam Izzati, 2016).
Adapun bentuk bullying yang dilakukan oleh mayoritas remaja laki-laki
yang menerima pola asuh otoriter adalah pelecehan seksual, kontak fisik secara
langsung yang mencakup memukul, mendorong, mengurung korban dalam
suatu ruangan, menendang, menjambak dan merusak barang korban.
Sedangkan remaja laki-laki yang mendapat pola asuh permisif cenderung
melakukan bentuk bullying berupa perilaku non verbal secara langsung yang
mencakup melihat dengan tatapan sinis dan menjulurkan lidah, serta perilaku
non verbal tidak langsung meliputi mendiamkan korban, mengucilkan, dan
mengabaikan.
Dalam perilaku bullying tidak hanya terdapat korban, tetapi juga terdapat
pelaku dan saksi. Adapun dampak bullying, sebagaimana menurut Victorian
Departement of Education and Early Chilhood Development tidak hanya
dialami oleh korban bullying, akan tetapi dampak dari perilaku bullying juga
dialami oleh pelaku dan saksi. Berikut dampak dari perilaku bullying pada; (1)
pelaku, bullying yang terjadi pada tingkat SD (Sekolah Dasar) dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan pada jenjang pendidikan berikutnya; pelaku
cenderung berperilaku agresif dan terlibat dalam perkumpulangank serta
aktivitas kenakalan lainnya; pelaku rentan terlibat dalam kasus kriminal saat
menginjak usia remaja; (2) korban, memiliki masalah emosi, akademik,
cenderung memiliki harga diri yang rendah, lebih merasa tertekan, suka
menyendiri, cemas, merasa tidak aman, bullying menimbulkan berbagai
masalah yang berhubungan dengan sekolah seperti tidak suka terhadap sekolah,
membolos, dan drop out. Hal ini dirasakan oleh individu yang selalu menjadi
sasaran perilaku bullying atau hanya sesekali menjadi korban perilaku bullying.
(3) Saksi, mengalami perasaan yang tidak menyenangkan dan mengalami
tekanan psikologis yang berat, merasa terancam dan ketakutan akan menjadi
korban selanjutnya, dapat mengalami prestasi yang rendah di kelas karena
perhatian masih terfokus pada bagaimana cara menghindari menjadi target
bullying dari pada tugas akademik. Setyawan (2014), dalam Izzati (2016).
7
B. Pola Asuh Orang Tua yang Benar Terhadap Anaknya
Pola asuh orang tua merupakan cara sikap atau perilaku orang tua saat
berinteraksi dengan anak, termasuk cara penerapan aturan, mengajarkan
nilai/norma, memberikan perhatian dan kasih sayang serta menunjukkan sikap
dan perilaku baik sehingga dijadikan panutan bagi anaknya (Dariyo, 2004).
Pola asuh orang tua yang otoriter yaitu yang memaksakan kehendaknya
terhadap anak membuat anak melakukan banyak kenakalan remaja diantaranya
minum-minuman keras dan berkelahi daripada orang tua yang memiliki pola
asuh yang permisif dan demokratis. Hal ini bisa terjadi karena adanya rasa
ingin diakui sang anak oleh orang tuanya dan keinginan untuk bebas
melakukan sesuatu sesuai keinginannya dibanding orang tua yang selalu
memaksakan anaknya harus menjadi apa yang orang tua mereka inginkan.
Keluarga berperan utama dalam mempengaruhi anak-anak dalam
perkembangan dan sosialnya, diantaranya berkomunikasi, menyatakan
perasaan, belajar nilai -nilai. Saat anak memasuki sekolah, sekolah tidak hanya
mengembangkan ketrampilan kognitif, akan tetapi juga mempenga ruhi
emosional dan social (Willis, 2013).
(Georgiou dalam Nikivorou, Georgiou & Stavrinides, 2013) menyatakan
bahwa semakin tinggi pola asuh orangtua otoriter maka akan tinggi tingkat
perilaku bullying. Karena pola asuh orang tua yang otoriter tersebut. Salah satu
studi pada tahun 2015 dalam jurnal Child Abuse & Neglect, mendapati bahwa
orang tua yang menghukum dengan kekerasan fisik membuat anak terbiasa
dengan tindak kekerasan. Anak jadi ikut menunjukkan perilaku agresif ketika
mencoba beradaptasi di lingkungan sosialnya. Anak-Anak yang kerap
mendapatkan hukuman fisik melihat tindak kekerasan sebagai alat untuk
“mengontrol” orang lain. Dengan memiliki kendali atas situasi di
sekelilingnya, anak merasa lebih mudah menyesuaikan diri di lingkungan
pertemanannya.
Salah satu cara agar anak terhindar dari perilaku bullying atau menjadi
pelaku bullying adalah dengan cara berkomunikasi yang baik dengan dan
memberikan anak untuk berpendapat. Ketika sang anak melakukan kesalahan
hendaknya para orang tua tidak memberikan hukuman kepada anaknya baik
secara fisik maupun nonfisik tetapi meminta anaknya untuk bertanggung jawab
atas apa yang ia perbuat dan memperbaiki kesalahannya,dengan cara tersebut
bisa menjadikan anak lebih dewasa dan berpikir secara kritis. Memberikan
kebebasan bagi anak dalam melakukan sesuatu juga dapat membuat anak lebih
bebas dan tidak terkekang tetapi perlu adanya pengawasan supaya tidak
terlewat bebas dan ada batas-batas tertentu yang perlu disampaikan pada anak.
8
C. Respon Orang Tua Terhadap Perilaku Bullying
Prilaku bullying yang terjadi pada anak semestinya tidak hanya menjadi
masalah bagi anak tetapi juga masalah dan tanggumg jawab bagi orang tua,
baik itu orang tua dari anak yang menjadi korban, orang tua dari anak sebagai
pelaku, dan seluruh oramg tua yang tidak ingin anaknya terlibat dalam masalah
perundungan. Masih adanya orang tua yang merespon perundungan sebagai hal
yang wajar dan menganggapnya sebagai ujian sosial bagi anak seolah menjadi
petunjuk bahwa respon orang tua terhadap fenomena perundungan sangatlah
kurang.
Menurut seorang ahli psikologi Karina Istifari, respon yang seharusnya
diberikan orang tua pada anak korban perundungan dan anak pelaku
perundungan adalah berperan aktif memantau perkembangan anak, bagaimana
kondisinya perlu pendampingan ahli atau tidak. Sedangkan respon orang tua
dalam pencegahan kasus perundungan adalah sering berdiskusi dengan anak,
sering mendengarkan pendapatnya, mengajarkan anak berani berbicara,
memuji agar anak senantiasa merasa bahwa dirinya berharga, tidak
membandingkan anak dan mengajarkan anak berani mengakui kelemahan diri
sendiri tanpa menghalangi perubahan ke arah yang lebih baik (Fimela.com,
2020).
9
Tetapi, faktor orang tua dan keluarga bukan hanya satu-satunya penyebab
dari munculnya perilaku menyimpang ini, seperti yang kami bahas pada tema
permasalahan pada makalah ini. Ada banyak faktor lain yang juga bisa ikut
andil. Beberapa penyebab perilaku bullying masih terjadi, yaitu karena:
a. Pelaku Bullying
Pelaku bullying biasanya adalah kelompok dari anak-anak yang
merupakan tokoh popular di sekolahnya, jadi karena itu mereka merasa
superior karena merasa anak anak lain takut kepada meraka. Pelaku
bullying juga menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah atau di
sekitarnya, sering membuat onar, mencari-cari kesalahan orang lain,
pendendam, dan mereka lah yang menguasai kehidupan sosial di
sekolahnya. Disamping itu juga, pengaruh perbedaan kelas ekonomi
antar murid, ras atau etnisnya dipandang inferior sehingga layak dihina,
dan yang paling sering diincar adalah anak yang memiliki ciri fisik
berbeda dengan mayoritas anak lainnya, dan anak dengan ketidakcakapan
mental dan/atau fisik bisa mejadi penyebabnya. Gerak geriknya sering
kali dapat ditandai dengan sering berjalan di depan, sengaja menabrak,
berkata kasar, dan menyepelekan/melecehkan. Korban (victim) jika
diperlakukan seperti ini, akan merasa takut dan terpojok, apalagi
kebanyakan kelompok pembully akan lebih fokus mengincar individu
yang menurut mereka lemah. Karena ketakutan-ketakutan itu, teman-
teman disekitar korban (disekolah) tidak berani membela korban atau
melawan karena takut menjadi korban selanjutnya dari kelompok
bullying tersebut.
b. Sekolah
Karena kebanyakan perilaku bullying sering terjadi disekolah,
harusnya pihak sekolah lebih memperhatikannya. Ketika anak-anak
berinteraksi dalam sekolah dengan teman-temannya kadang kala terdorong
untuk melakukan tindakan yang melenceng. Beberapa anak melakukannya
mungkin hanya untuk bersenang-senang atau bisa juga dalam usaha
membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu,
meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
Pengaruh teman sebaya ini cukup dominan karena rata-rata dari para
remaja ini lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah bersama
teman-temannya. Hal ini yang kemudian menimbulkan kelompok-
kelompok (geng) teman sebaya. Oleh karena itu, salah satu faktor yang
sangat besar dari perilaku bullying pada remaja disebabkan oleh teman
sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara memberikan ide
baik secara aktif maupun pasif bahwa bullying tidak akan berdampak apa-
apa dan merupakan suatu hal yang wajar dilakukan. Kelompok teman
10
sebaya yang memiliki masalah di sekolah akan memengaruhi teman
sebaya yang lain dan kemudian akan menimbulkan perilaku menyimpang.
Faktor lingkungan sosial disekolah juga bisa menyebabkan tindakan
bullying. Misalnya, perbedaan kelas sosial ekonomi antar murid yaitu
kemiskinan, sehingga tidak heran jika di lingkungan sekolah sering terjadi
pemalakan antar siswanya.
Tetapi, nyatanya pihak sekolah malah sering mengabaikan keberadaan
menyimpang ini. Mereka beranggapan perilaku ini adalah perilaku yang
wajar karena anak-anak masih belum dewasa, dan belum bisa
membedakan hal yang benar dan salah. Akibatnya, anak anak sebagai
pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka
untuk melakukan intimidasi terhadap anak lain. Bullying akan berkembang
pesat dalam lingkungan sekolah, jika pihak sekolah malah memberikan
sesuatu yang tidak membangun, sehingga tidak mengembangkan rasa
menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.
Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh LSM Plan International
dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis
awal bulan Maret 2015 lalu menunjukkan terdapat 84% anak di Indonesia
mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di
kawasan Asia yakni 70%. Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni
Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia. Survai diambil pada
Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9 ribu siswa usia 12-
17 tahun, guru, kepala sekolah, orang tua, perwakilan LSM.
Intinya, tindakan bullying masih akan terus terjadi jika tidak ada
penanganan khusus dari orang-orang berpengaruh disekitar pelaku pembully
maupun korban bullying (victim). Tindakan khusus yang dilakukan untuk
pelaku bullying misalnya memberikan hukuman yang membuat mereka takut
dan buat ia berjanji untuk tidak mengulanginya, tetapi jangan langsung
menghukumnya, sebaiknya tanyakan dulu mengapa ia berbuat seperti itu.
Sedangkan untuk korban bullying, bisa dilakukan pendekatan bertahap, lalu
ajarkan untuk melawan dan membuat pertahanan jika menurutnya tindakan
tersebut sudah diluar batas wajar.
Semua anak-anak bisa menjadi pelaku bullying, dan juga karena alasan
yang berbeda-beda, contohnya seperti kemampuan adaptasi yang buruk,
pemenuhan eksistensi diri yang kurang, harga diri yang rendah, adanya
pemenuhan kebutuhan yang tidak terpuaskan di aspek lain dalam
kehidupannya, hubungan keluarga yang kurang harmonis, bahkan bisa jadi si
pelaku ini juga merupakan korban bullying sebelumnya.
Karena lingkungan terdekat mereka adalah keluarga, sebaiknya para orang tua
bisa lebih memperhatikan perilaku anak-anaknya, baik itu diluar atau didalam
rumah. Orang tua berperan besar dalam menerapkan pola asuh dirumah,
11
sebaiknya juga membatasi melakukan perilaku buruk dirumah yang sekenanya
anak bisa meniru, karena pendidikan pertama yang didapat oleh anak adalah
dari orang tuanya.
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Terkait dengan masalah bullying yang dipengaruhi pola asuh orang tua,
kami menyarankan beberapa hal untuk diperhatikan, seperti ketika sang anak
melakukan kesalahan hendaknya para orang tua tidak memberikan hukuman
kepada anaknya baik secara fisik maupun nonfisik tetapi meminta anaknya
untuk bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat dan memperbaiki
kesalahannya, dengan cara tersebut bisa menjadikan anak lebih dewasa dan
berpikir secara kritis. Bagi remaja hendaknya berhati-hati dalam memilih
teman bergaul, karena pergaulan remaja memiliki kontribusi yang cukup besar
dalam pembentukan karakter dan perilaku.
DAFTAR PUSTAKA
Almahera, A. (2018). Analisis Bullying Pada Anak Usia Dini. Prosiding Seminar
dan Diskusi Nasional Pendidikan Dasar. University of Jakarta.
CNN Indonesia. (2019, 05, September). 41 Persen Siswa di Indonesia Pernah jadi
Korban Buliying. https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20191205133925-
284-454419/41-persen-siswa-di-indonesia-pernah-jadi-korban-bullying
(Terakhir diakses: 22/12/2020 pukul : 07.15 WIB)