Menjama Sholat Menurut 4 Madzab

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

MENJAMAK SHOLAT MENURUT 4 MADZAB

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Ibadah


Dosen Pengampu: Nurul Hakim, S. Th.I,M.Hum

Di Susun Oleh:
Almayra Itsnaini Fadhillahi Putri (2331011)
Dwi Putri Wilda Husniyah (2331002)

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSITUT AGAMA ISLAM NADLATUL ULAMA TUBAN
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq
hidayah-Nya , sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “MENJAMA’
SHOLAT MENURUT 4 MADZAB” untuk memenuhi tugas kuliah penghantar ilmu hukum .
kami berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan kepada pembaca. Serta pembaca
dapat mengetahui tentang menjama’ sholat menurut 4 madzab.

Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan makalah ini. Karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk melengkapi kekurangan
dan kesalahan dari makalah ini.

Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
penghantar ilmu hukum dan semua pihak yang terlibat.

Tuban, 26 Juni 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................4
1.3 Tujuan...................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
2.1 Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Syafi’I...............................................6
2.2 Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Hambali.............................................6
2.3 Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Maliki................................................8
2.4 Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Hanafi................................................9

BAB III PENUTUP...........................................................................................................11


3.1 Kesimpulan..........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................12

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salat menurut bahasa berarti doa. Sedangkan menurut istilah merupakan suatu
ibadah kepada Allah SWT yang berupa perkataan dan perbuatan yang di awali dengan
takbīrat al-iḥrām dan di akhiri dengan salam. Dalam menjalankan kewajiban salat, umat
Islam terikat pada waktu-waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Konsekuansi
logisnya, salat tidak bisa dilaksanakan pada sembarang waktu, tetapi pelaksanaannya
harus mengikuti dalil-dalil yang ada, baik dalil dari al-Qur’an atau hadis. Dalam al-
Qur’an, ketentuan waktu salat telah dicantumkan dalam Q.S Taha (20:130) yaitu:
‫َفا ْص ِبْر َع ٰل ى َم ا َيُقْو ُلْو َن َو َس ِّبْح ِبَحْمِد َر ِّبَك َقْبَل ُطُلْو ِع الَّش ْم ِس َو َقْبَل ُغ ُرْو ِبَهاۚ  َوِم ْن ٰا َنٓاِئ اَّلْيِل َفَس ِّبْح َو َا ْطَر ا َف الَّنَها‬
‫ِر َلَع َّلَك َتْر ٰض ى‬

Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenam, dan
bertasbihlah (pula) pada waktu tengah malam dan diujung siang hari, agar engkau merasa
tenang. (QS. Taha:130)
Shalat jama’ terdiri dari dua kata yaitu kata “ shalat “ dan kata “jama’“ ,kata ini
berasal dari bahasa arab yaitu “ jama’ “. Secara etimologi kata jama’ berarti “
mengumpulkan atau menghimpun “Dengan kata lain bahwa shalat jama’ merupakan
penggabungan atau pengumpulan dua shalat fardhu untuk dikerjakan dalam satu waktu.
Adapun definisi shalat jama’ menurut istilah yaitu seseorang yang shalat mengumpulkan
antara shalat Zhuhur dan Ashar secara jama’ taqdim
Secara bahasa, jamak berarti menggabungkan, menyatukan ataupun mengumpulkan.
Secara istilah, jamak adalah melakukan dua salat fardu, yaitu zuhur dan asar, atau magrib
dan isya secara berurutan pada salah satu waktunya Jamak salat yang di maksud adalah
melaksanakan dua salat fardu, yang dalam hal ini adalah zuhur dan asar, magrib dan isya
di salah satu waktunya dengan alasan kesibukan dan kesulitan atas rangakaian acara serta
riasan dalam acara resepsi perkawinan1

1.2 Rumusan Masalah


1
Zumna, Aqilla Aniqotuz Zahra. HUKUM MENJAMAK DAN MENGQADA SALAT BAGI PENGANTIN
WANITA PADA SAAT RESEPSI PERKAWINAN (Perspektif Mazhab Syafii dan Mazhab Zahiri). Diss. UIN Prof.
KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, 2022.

4
1. Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Syafi’i
2. Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Hambali
3. Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Maliki
4. Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Hanafi

1.3 Tujuan

1. Untuk Mengetahui Bagaimana Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Syafi’i


2. Untuk Mengetahui Bagaimana Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Hambali
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Maliki
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Hanafi

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Syafi’i

Melakukan Shalat jamak menurut Imam Syafi’i memperbolehkan dengan ketentuan


sama untuk bisa melaksanakan shalat qasar. Yang menjadi dasar pendapat ini adalah
terdapat hadis yang menceritakan ahwa Nabi Muhammad SAW pernah melakukan
shalat jamak bagijamak taqdim/jamak ta’khir. Dibolehkannya mnelakukan shalat jamak
apabila telah mencapai jarak kira-kira 81 km (2 marhalah). Beliau juga memperbolehkan
melakukan jamak apabila disaat hujan tetapi dengan memenuhi persyaratan yaitu jamak
taqdim.
Tidak diperbolehkan melakukan Sholat Jamak apabila melakukan perjalanan tetapi
tedapat unsur maksiat maka semua shalatnya dihukumi tidak sah. Hukum Qasarmenurut
Imam Syafi’i ialah Sunnah dan apabila musafir berkenan untuk menyempurnakan
shalatnya maka itu lebih baik atau lebih utama. Qasar bisa dilakukan apabila sudah
mencapai jarak kira-kira 88,656 km atau 16 farsakh. Apabila musafir yang berdomisili di
suatu tempat dan tidak berniat untuk muqim maka tetap diperbolehkan melakukan qasar
selama 4 hari 4 malam. Dan jika musafir berniat untuk muqim maka tetap diperbolehkan
selama 18 hari 18 malam.2
Mazhab al-Syafi’i boleh menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar dan antara shalat
Maghrib dan Isya’, taqdim (didahulukan) dan ta’khir (diakhirkan), disebabkan oleh halangan
safar dan hujan serta salju dalam kondisi tertentu, dan bagi mereka pelaksanaan jamak shalat
seharusnya tidak diperbolehkan dalam keadaan gelap, berangin, takut atau sakit.3
Menurut ulama mazhab Syafi`i, shalat jamak boleh dikerjakan dalam perjalanan, karena
hujan lebat, dan ketika mengerjakan manasik haji di Arafah dan Muzdalifah. Shalat jamak
karena dingin, musim salju, dan hujan lebat hanya boleh dengan jamak taqdim yang
dilakukan secara berjama`ah di mesjid yang jauh. Menurut ulama mazhab Syafi`i, untuk
melaksanakan jamak taqdim disyaratkan enam hal, yaitu:
(1) niat jamak taqdim;

2
Muslimah, Siti, and Sahal Abidin. "Studi Komparatif menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tentang Sholat
Jamak dan Qasar bagi Musafir." Academia: Jurnal Ilmu Sosial Humaniora 2.1 (2019): 1-18.
3
FAIZAL, WAN AMIRUL HASNAN BIN MOHD. HUKUM SHALAT JAMAK BAGI ORANG BERMUSAFIR
STUDI KOMPARATIF ANTARA IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM AL-SYAFI’I. Diss. UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU, 2023.

6
(2) shalat itu dilakukan secara berurutan sesuai dengan urutannya, seperti mendahulukan
Zuhur daripada Ashar;
(3) kedua shalat itu dilaksanakan tanpa tenggang waktu yang panjang;
(4) perjalanan yang dilakukan masih berlanjut ketika shalat yang kedua dimulai;
(5) waktu shalat pertama masih ada ketika shalat kedua dikerjakan;
(6) yakin bahwa shalat pertama yang dikerjakan adalah sah. Sedangkan syarat jamak
takhir ada dua hal, yaitu niat jamak takhir sebelum habisnya waktu shalat pertama dan
perjalanan masih berlanjut sampai selesainya shalat kedua.
Urutan dalam mengerjakan shalat jamak takhir tidaklah wajib. Seseorang boleh
mendahulukan Ashar dari Zuhur dalam jamak takhir, demikian juga mendahulukan Isya dari
Maghrib. Akan tetapi, ulama mazhab Syafi`i tetap mengatakan bahwa mengikuti urutan
waktu shalat hukumnya sunnah, bukan syarat sahnya shalat jamak takhir.

2.2 Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Hambali


Menurut ulama mazhab Hanbali, jamak taqdim dan takhir boleh dilakukan dalam tujuh hal
berikut:
(1) perjalanan menempuh jarak yang jauh yang menyebabkan seseorang boleh mengqashar
shalatnya;
(2) sakit yang membawa kesulitan bagi penderitanya untuk melaksanakan shalat pada
waktunya;
(3) orang yang menyusui anak karena sulit membersihkan diri dari najis anak setiap waktu
shalat;
(4) orang yang tak mampu bersuci dengan air atau bertayamum pada setiap shalat karena
mengalami kesulitan;
(5) orang yang tidak bisa mengetahui masuknya waktu shalat;
(6) wanita yang istihadhah (wanita yang mengeluarkan darah terus menerus dari
vaginanya karena penyakit);
(7) sering keluar mazi (lendir yang keluar mengawali keluarnya mani) juga seringnya
keluar mani, atau ada uzur, seperti orang khawatir terhadap keselamatan diri, harta, dan
kehormatan, atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk
melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya itu.

7
2.3 Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Maliki
Ulama mazhab Maliki mengatakan bahwa menjamak shalat dibolehkan karena enam hal,
yaitu:
(1) dalam perjalanan;
(2) hujan;
(3) sakit;
(4) wukuf di Arafah;
(5) berada di Muzdalifah;
(6) berada dalam keadaan yang sangat gelap.
Dalam kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq dijelaskan bahwa boleh untuk
menjamak shalat Zuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya`, baik taqdim maupun takhir, jika
berada dalam kondisi berikut ini:
a. Jama`ah haji yang sedang berada di Arafah dan Muzdalifah. Sepakat para ulama
bahwa ketika berada di Arafah hendaklah menjamak shalat Zuhur dan Ashar dengan jamak
taqdim, sedangkan ketika berada di Muzdalifah hendaklah menjamak shalat Maghrib dan
Isya dengan jamak takhir. Hal ini merupakan sunnah Rasulullah SAW.
b. Ketika dalam perjalanan (safar). Menjamak shalat baik taqdim maupun takhir bagi
musafir hukumnya boleh (jaiz) sebagaimana hadits yang diriwayatkan Mu`az bin Jabal.

c. Pada saat hujan lebat. Hal ini sesuai dengan hadits rasulullah SAW:

d. Disebabkan sakit atau uzur. Menurut ulama mazhab Hanbali kebolehan bagi orang
sakit untuk menjamak shalat karena kondisi sakit itu pada hakikatnya lebih dahsyat dari
pada kondisi hujan lebat. Kemudian yang termasuk kategori uzur diantaranya orang yang
menyusui anak karena sulit membersihkan diri dan pakaian dari najis air kencing anak
pada setiap waktu shalat, wanita yang istihadhah, sering keluar mazi (lendir yang keluar
mengawali keluarnya mani) juga seringnya keluar mani, atau sering keluar air kencing,

8
sehingga sulit untuk bersuci, juga orang yang khawatir terhadap keselamatan diri, harta,
dan kehormatan, atau juga pekerja berat yang apabila meninggalkan pekerjaannya untuk
melaksanakan shalat akan membawa mudharat pada dirinya dan pekerjaannya.
e. Karena ada keperluan (hajat) yang mendesak. Keperluan (hajat) yang dimaksud
adalah keperluan yang jika tidak dilakukan maka akan berakibat pada keadaan yang lebih
buruk. Menurut ulama mazhab Maliki, menjamak shalat dalam perjalanan dibolehkan
secara mutlak, baik perjalanan yang panjang (jauh) maupun dekat. Orang sakit boleh
melakukan jamak shalat apabila sulit melakukan shalat pada waktunya atau merasa
khawatir terhadap penyakitnya bertambah parah atau membuatnya hilang akal. Adapun
dalam keadaan hujan lebat, musim dingin/salju, atau hari yang sangat gelap, yang
dibolehkan hanya jamak taqdim. Untuk melakukan shalat jamak taqdim dalam perjalanan
menurut ulama mazhab Maliki disyaratkan dua hal, yakni tergelincir/condongnya matahari
ke arah Barat pertanda masuknya waktu Zuhur dan berniat berangkat sebelum waktu
ashar. Kemudian ulama mazhab Maliki menyatakan bahwa shalat jamak dilakukan dengan
satu kali azan dan iqamat bagi setiap shalat.

2.4 Menjama’ Sholat Menurut Madzab Imam Hanafi

Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan jamak shalat ini. Dalam hal ini Mazhab Abu
Hanifah tidak membolehkan menjamak shalat baik dalam perjalanan ataupun tidak, kecuali
dalam dua kasus yaitu pada hari Arafah dan pada saat malam Muzdalifah dan berbagai
kondisi tertentu.

Mazhab Abu Hanifah memperkuat pendapat dengan hadis dari Ibnu Mas’ud r.a. seperti
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Artinya: Telah menceritakan kepada kami ['Umar bin Hafsh bin Ghiyats] telah
menceritakan kepada kami [bapakku] telah menceritakan kepada kami [Al A'masy] berkata,

9
telah menceritakan kepada saya ['Umarah] dari ['Abdur Rahman] dari ['Abdullah] radliallahu
'anhu berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW melakukan shalat kecuali pada
waktunya, kecuali dua shalat saja, yaitu Baginda SAW pernah menjamak shalat Maghrib dan
Isya’, dan Baginda shalat Subuh pada hari itu sebelum waktunya.” (H.R. Bukhari)
Imam Hanafi dalam menghukumi Jamak ialah tidak diperbolehkan kecuali, ketika
melaksanakan haji yakni sedang di berada di Arafah dan saat bermalam di
Muzdhalifah. Selain kedua tempat tersebut tidak diperbolehkan untuk melaksanakan
sholat jamak meskipun sedang dalam perjalanan atau ketika berada di tempat
domisili.Berbeda dengan lagi ketika menghukumi shalat qasar,
Imam Hanafi menghukumniya fardhu ‘ain dan tidak boleh mengerjakan shalat dengan
sempurna ketika dalam perjalanan. Konsep Imam Hanafi berbeda dengan Imam yang lain,
bahwa Niat qasar tidak harus dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, bahkan
qasar tidak wajib diniati. Hal ini disebabkan karena musafir wajib menyengaja pada tujuan
tertentu. Dibolehkannya untuk melakukan qasar apabila tempat tujuan kira-kira 3
marhalah (121,5 km) dan status musafir tersebut akan terlepas apabila bermukim
selama 15 hari. Secara otomatis sholat yang dikerjakan wajib diqasar bukan
itmam(sempurna).
Apabila sudah mencapai 3 marhalah tetapi tidak mengqasar shalatnya, maka
aka nada beberapa perincian hukum salah satunya, shalatnya yang sempurna tidak sah.
Dan setelah dua raka’at tidak melakukan duduk dalam waktu yang cukup untuk
tasyahud dan sah sholatnya yang sempurna meskipun itu makruh. Dan apabila setelah dua
raka’at melakukan duduk dalam waktu yang cukup untuk tasyahud, maka dua raka’at yang
awal dihukumi shalat fardhu dan 2 raka’at yang kedua menjadi shalat sunnah mutlak (tidak
terikat dengan waktu).4

4
Muslimah, Siti, and Sahal Abidin. "Studi Komparatif menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tentang Sholat
Jamak dan Qasar bagi Musafir." Academia: Jurnal Ilmu Sosial Humaniora 2.1 (2019): 1-18.

10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi memiliki pandangan yang paling ketat mengenai jamak shalat. Mereka
berpendapat bahwa menjamak shalat hanya diperbolehkan bagi jamaah haji di Arafah dan
Muzdalifah. Selain itu, mereka tidak membolehkan jamak shalat dalam kondisi apapun,
termasuk saat bepergian atau dalam kesulitan.
2. Madzhab Maliki
Madzhab Maliki membolehkan jamak shalat dalam beberapa kondisi:
- Saat bepergian (safar)
- Saat hujan lebat
- Saat sakit berat
Mereka juga membolehkan jamak ta'khir bagi orang yang sibuk mencari nafkah, dengan
syarat tidak menjadikannya sebagai kebiasaan.
3. Madzhab Syafi'i
Madzhab Syafi'i membolehkan jamak shalat dalam kondisi:
- Saat bepergian (safar)
- Saat hujan lebat (untuk shalat berjamaah di masjid)
- Saat sakit atau uzur lainnya yang menyulitkan untuk melakukan shalat pada waktunya
4. Madzhab Hanbali
Madzhab Hanbali memiliki pandangan yang paling fleksibel. Mereka membolehkan jamak
shalat dalam kondisi:
- Saat bepergian (safar)
- Saat sakit
- Saat hujan, angin kencang, atau cuaca ekstrem lainnya
- Saat ada keperluan mendesak yang menyulitkan untuk melakukan shalat pada waktunya
Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara empat madzhab, mayoritas ulama
membolehkan praktik menjamak shalat dalam kondisi tertentu, terutama saat bepergian dan
menghadapi kesulitan. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dalam Islam untuk memudahkan
umatnya dalam beribadah.

11
DAFTAR PUSTAKA
Zumna, Aqilla Aniqotuz Zahra. HUKUM MENJAMAK DAN MENGQADA SALAT BAGI PENGANTIN
WANITA PADA SAAT RESEPSI PERKAWINAN (Perspektif Mazhab Syafii dan Mazhab Zahiri). Diss. UIN Prof.
KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, 2022.
Muslimah, Siti, and Sahal Abidin. "Studi Komparatif menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tentang
Sholat Jamak dan Qasar bagi Musafir." Academia: Jurnal Ilmu Sosial Humaniora 2.1 (2019): 1-18.
FAIZAL, WAN AMIRUL HASNAN BIN MOHD. HUKUM SHALAT JAMAK BAGI ORANG
BERMUSAFIR STUDI KOMPARATIF ANTARA IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM AL-SYAFI’I. Diss.
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU, 2023.
Muslimah, Siti, and Sahal Abidin. "Studi Komparatif menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i tentang
Sholat Jamak dan Qasar bagi Musafir." Academia: Jurnal Ilmu Sosial Humaniora 2.1 (2019): 1-18.

12

Anda mungkin juga menyukai