Relasi Kekuasaan Antara Bupati Dengan Kepala Desa Dan Kemiskinan Di Pedesaan Pandeglang (PDFDrive)
Relasi Kekuasaan Antara Bupati Dengan Kepala Desa Dan Kemiskinan Di Pedesaan Pandeglang (PDFDrive)
Relasi Kekuasaan Antara Bupati Dengan Kepala Desa Dan Kemiskinan Di Pedesaan Pandeglang (PDFDrive)
ASEP MUSLIM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Relasi Kekuasaan
Antara Bupati dengan Kepala Desa dan Kemiskinan di Pedesaan Pandeglang adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Asep Muslim
NIM I363110011
RINGKASAN
ASEP MUSLIM. Relasi Kekuasaan Antara Bupati dengan Kepala Desa dan
Kemiskinan Pedesaan Pandeglang. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING,
ARYA H. DHARMAWAN dan ENDRIATMO SOETARTO.
Kata kunci: relasi kekuasaan, bupati, kepala desa, konflik, kompromi, kemiskinan.
SUMMARY
ASEP MUSLIM. The Power Relations between The Regent and The Head of
Village and Pandeglangnese Rural Poverty. Supervised by LALA M.
KOLOPAKING, ARYA H. DHARMAWAN and ENDRIATMO SOETARTO.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RELASI KEKUASAAN ANTARA BUPATI DENGAN KEPALA DESA
DAN KEMISKINAN DI PEDESAAN PANDEGLANG
ASEP MUSLIM
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, M.A.
Anggota. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Signifikansi Penelitian 6
Penelitian Terdahulu 6
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 8
Tujuan Penelitian 18
Kebaruan (Novelty) 18
3. METODOLOGI PENELITIAN 43
Hipotesis Pengarah 43
Paradigma Penelitian 45
Strategi Penelitian: Memahami Relasi Kekuasaan Masyarakat Pedesaan 45
Metode Penelitian 47
Analisis Data 49
Lokasi Penelitian 51
Tahapan Penelitian 52
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pergeseran Tatanan Pemerintahan Desa 14
Tabel 2.1 Jenis-Jenis Sumber Kekuasaan 22
Tabel 2.2 Sumber dan Saluran Kekuasaan dikaitkan dengan
Pembentukan Elit Desa 23
Tabel 3.1 Status Desa Lokasi Penelitian 51
Tabel 4.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten
Pandeglang Tahun 1996-2013 57
Tabel 4.2 Pemilahan Golongan Penduduk Kecamatan Sobang 58
Tabel 4.3 Pergeseran Peran Sosial-Politik Ulama dan Jawara 67
Tabel 4.4 Dinamika Penguasa dalam Struktur Masyarakat Pedesaan
Pandeglang 69
Tabel 4.5 Sumber dan Saluran Kekuasaan Ulama dan Jawara 71
Tabel 4.6 Status Kemandirian dan Kemajuan Desa di Kabupaten
Pandeglang 73
Tabel 4.7 Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten Pandeglang
Tahun 2011-2014 74
Tabel 5.1 Dinamika Relasi Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa 80
Tabel 5.2 Struktur Belanja Daerah Kabupaten Pandeglang Tahun 2014 89
Tabel 6.1 Relasi Kekuasaan dalam Jaringan Kekuasaan Kepala Desa 108
Tabel 7.1 Pola Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa 140
Tabel 7.2 Piutang PBB Perdesaan pada Tiga Desa Lokasi Penelitian 144
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perbandingan Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substansial 37
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran 41
Gambar 3.1 Model Analisis 50
Gambar 4.1 Peta Pandeglang 55
Gambar 4.2 Struktur Kekuasaan Pesantren Salafiyah di Pandeglang 63
Gambar 4.3 Struktur Kekuasaan Ulama dan Jawara 72
Gambar 5.1 Hubungan Antara Relasi Kekuasaan, Politik Anggaran dan
Kemiskinan Pedesaan 92
Gambar 6.1 Model Aliran Sistem Politik David Easton 98
Gambar 6.2 Piramida Struktur Kekuasaan Masyarakat Pedesaan Pandeglang 99
Gambar 6.3 Dinamika Relasi Ulama dan Umaro berdasarkan Perspektif
Peranan Ulama dalam Pemerintahan 103
Gambar 6.4 Jaringan Kekuasaan Bupati 106
Gambar 6.5 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa 109
Gambar 6.6 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Politisi 110
Gambar 6.7 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Pengusaha 113
Gambar 6.8 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Kolot 115
Gambar 6.9 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Politik Desa 1 117
Gambar 6.10 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Politik Desa 1 119
Gambar 6.11 Pertarungan Jaringan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa 124
Gambar 8.1 Hubungan Ketergantungan Kekuasaan dan Relasi
Terbentuknya Pola Relasi Kekuasaan 150
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suatu kenyataan yang terbantahkan bahwa sebagian besar negara-negara di
dunia saat ini mengadopsi demokasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi itu
sendiri ditransformasikan Barat baik melalui proses kolonialisme maupun pengaruh
politik global. Pada saat demokrasi Barat ditransplantasikan ke dalam sistem
pemerintahan negara-negara non-Barat yang memiliki sejarah dan budaya yang
sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan penyesuaian diri dan mengalami
berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang
berbeda tersebut (Wignjosoebroto: 2002:485-493). Penyerapan nilai-nilai tersebut
dapat dipandang sebagai suatu pembiasan di satu sisi, tetapi dapat pula dipandang
sebagai keberagaman di sisi lain. Dikatakan sebagai pembiasan karena prinsip dasar
demokrasi Barat yang bersandar pada kesamaan (equality), keadilan (justice) dan
kebebasan (freedom)1 ternyata membentuk model demokrasi yang jauh dari ketiga
nilai tersebut. Sementara itu, dikatakan sebagai suatu keberagaman karena
demokrasi itu sendiri sangat menjunjung tinggi pluralisme. Dengan demikian, dalam
tafsiran yang berbeda hal ini membentuk model demokrasi yang berragam untuk
masing-masing level sistem sosial budayanya.
Keberagaman nilai-nilai kultur suatu bangsa berpengaruh besar terhadap
bentukan demokrasinya. Asia dengan kultur Timur yang khas membentuk suatu
demokrasi yang disebut oleh Neher (1994) sebagai Asian Style Democracy2. Pada
model demokrasi Asia, Neher menegaskan bahwa negara-negara Asia tidak
mengimplementasikan konsep demokrasi Barat (global) secara utuh yang
menekankan pada adanya pemilu secara kompetitif, partisipasi politik warga negara
dan kebebasan sipil.
Neher menjelaskan bahwa terdapat faktor kultural yang berpengaruh besar
terhadap pembentukan demokrasi. Karakteristik yang paling mendasar dari faktor
kultural ini adalah adanya patronase yang masih melekat dalam masyarakat Asia.
Adanya hubungan patronase yang sangat kuat ini kemudian membentuk loyalitas
personal yang “dimanfaatkan” oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membentuk
jaringan kekuasaannya yang kemudian di tataran lokal membentuk oligarkhi-
oligarkhi politik.
Loyalitas personal inilah yang menurut Neher mendasari patronase politik
terbentuk di Asia sebagaimana dapat ditelusuri dari loyalitas personal pengikutnya
terhadap tokoh Mao Tse Sung di China, Chiang Kai Shek di Taiwan, Kim Il Sung di
Korea Utara, Ho Chi Minh di Vietnam, Lee Kuan Yew di Singapura, Norodom
Sihanouk di Kamboja, Ferdinand Marcos di Philipina, serta Sukarno dan Suharto di
Indonesia.
Seturut dengan karakteristik demokrasi di kawasan Asia, negara-negara Asia
pun membentuk karakter negaranya masing-masing. Untuk hal ini, Indonesia
1
Idealisme demokrasi Barat dipilari oleh ketiga nilai tersebut sebagaimana dapat ditelusuri dari
gagasan demokrasi yang dijelaskan Dye (1996:7) bahwa demokrasi tercermin dari adanya partisipasi
rakyat, pemerintahan mayoritas, penghargaan martabat individu dan persamaan dalam pengembangan
kemampuan diri.
2
Neher (1994) menjelaskan karakteristik demokrasi Asia yang disebutnya sebagai Asian Style
Democracy itu memiliki beberapa indikator yaitu adanya patron-client communitarism, loyalitas
personal (personalism), respek terhadap otoritas dan hierarki, partai politik dominan dan adanya
negara yang kuat (strong state).
2
adalah bagian dari proses penelusuran identitas bangsa terhadap model sistem
pemerintahan yang paling ideal. Dengan demikian adanya politik dinasti dalam
pandangan kedua ini dapat dimaknai sebagai bentuk penyerahan kuasa rakyat
terhadap pengadopsian sistem pemerintahan yang paling sesuai dengan sistem
sosialnya (politik dinasti sebagai social order).
Pandangan-pandangan di atas pada dasarnya merupakan upaya untuk
mencari jawaban terhadap suatu anomali demokrasi. Anomali ini diindikasikan
dengan proses demokratisasi di satu sisi yang semakin mengglobal, sementara di sisi
lain berkembang pula model anti-demokrasi dalam politik lokal yang justru
menggunakan label demokrasi untuk menguatkan kesan anti-demokrasinya. Untuk
kasus Banten misalnya, adanya politik dinasti yang terbentuk melalui proses
demokratisasi formal merupakan hal yang dipandang sah secara administrasi dan
politik, tetapi keberadaannya dapat menyulut terjadinya kekuasaan mutlak pada satu
kelompok tertentu. Sementara itu kekuasaan mutlak itu sendiri sangat dihindari
dalam prinsip-prinsip demokrasi karena merupakan salah satu syarat potensial
terbentuknya pemerintahan otoritarian yang sangat berseberangan dengan
demokrasi. Dengan demikian, meskipun adanya politik dinasti ini sah secara proses
pembentukannya4, tetapi hasil akhirnya sangat berpotensi untuk semakin
menenggelamkan nilai-nilai demokrasi. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa
demokrasi di Banten pada prinsipnya tidak berkembang menuju ke arah demokrasi
yang ideal (demokrasi secara substansial) – utamanya berdasarkan prinsip keadilan
dan kesetaraan, tetapi justru semakin membias kepada model-model otoritarian.
Berkaitan dengan kedua pandangan di atas, peneliti sendiri tidak memihak
pada salah satu dari kedua pandangan tersebut. Dalam hal ini peneliti berasumsi
bahwa cara pandang keduanya dapat diterima, namun satu hal yang relatif diabaikan
dari kedua pandangan tersebut adalah faktor kultural. Dalam pandangan peneliti,
faktor kultural memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap terbentuknya
politik dinasti ini.
Terlepas dari perdebatan pandangan-pandangan tersebut, baik model Asian
Style Democracy, Demokrasi Pancasila berikut berragam model bentukannya dan
model demokrasi lokal termasuk demokrasi desa, ketiganya sangat berkaitan dengan
sistem sosial budaya yang membalutnya. Sebagaimana uraian di awal, hal ini
mengindikasikan kuatnya faktor kultural. Dengan demikian maka Asian Style
Democracy pada dasarnya dipengaruhi oleh kultur masyarakat Asia, Demokrasi
Pancasila yang merupakan pengaruh dari kristalisasi nilai-nilai budaya di Indonesia,
dan demokrasi lokal yang tentunya dipengaruhi oleh budaya lokal.
Berdasarkan pendekatan kultural tersebut, dari ketiga model demokrasi di
atas, terdapat karakteristik yang sama yang membentuk kekhasan ketiganya yaitu
melekatnya kultur patronase. Sebagaimana dijelaskan Neher, terdapat dua
4
Dikatakan sah karena dalam proses terpilihnya para penguasa politik lokal Banten dilakukan
berdasarkan kelembagaan demokrasi formal (pemilu yang sah secara administrasi dan politik).
Perkembangan demokrasi secara formal ini juga menunjukkan hal yang positif terutama berdasarkan
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terakhir (2014) yang dilansir BPS yang menunjukkan angka
tertinggi sejak tahun 2009, meskipun angka tersebut berfluktuasi setiap periodenya. Hal ini nampak
dari data IDI dimana Banten mengalami perkembangan cukup baik yaitu tahun 2009 sebesar 67,98;
2010 sebesar 60,60; 2011 sebesar 67,37; 2012 sebesar 65,29; 2013 sebesar 69,79 ; dan 2014 sebesar
75,50 (Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Banten Nomor 40/08/36/Th.IX tanggal 13 Agustus 2015).
IDI ini sendiri dinilai dari tiga aspek demokrasi yang meliputi kebebasan sipil, hak-hak politik dan
lembaga-lembaga demokrasi.
4
Beberapa tuntutan tersebut mengisyaratkan adanya konflik bupati dan kepala desa
yang dibalut urusan kesejahteraan dan administrasi kepegawaian.
Dalam tataran politik lokal yang lebih nyata, perseteruan politik terjadi
antara Bupati Pandeglang (EK, bupati inkumben pada saat pemilihan kepala daerah
tahun 2010) dengan salah seorang kepala desa (YS, Kepala Desa Kuluwut
Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pandeglang) yang juga menjadi salah satu kandidat
bupati. Meskipun pada akhirnya EK yang kembali terpilih, namun majunya seorang
kepala desa dalam pemilihan kepala daerah ini merupakan indikator kemajuan
demokratisasi di tingkat lokal. Dalam asumsi peneliti, keberanian seorang kepala
desa untuk tampil bersaing dalam arena politik lokal dapat dipandang sebagai
perwujudan pergeseran relasi kekuasaan antara bupati dan kepala desa dimana jika
pada masa sebelum era reformasi kepala desa tidak pernah dapat tampil dalam ruang
politik yang sama dengan bupati, namun setelah memasuki era reformasi
kesempatan tersebut menjadi terbuka, dalam aspek lain aksi kepala desa untuk
tampil dalam politik lokal dapat dipandang sebagai resistensi kepala desa terhadap
bupati.
Kultur patronase dan relasi kekuasaan yang mempengaruhi demokrasi lokal
merepresentasikan hasil dari sebuah model demokrasi lokal berdasarkan sistem
perwakilan (political representativeness) yang sah baik secara sistem politik maupun
sah secara perundang-undangan. Sementara itu pengaruh ulama dan jawara menjadi
sangat vital karena ternyata relasi kekuasaan yang terbangun secara struktural
(hubungan pemerintahan secara formal) tidak menjadi determinan utama dalam
membentuk relasi kekuasaan yang sesungguhnya. Demokrasi bergantung kepada
keputusan-keputusan informal (informal leader); para ulama dan jawara. Kondisi
model demokrasi ini memberikan peluang kepada menumpuknya kekuasaan
kelompok yang mampu membangun jaringan kekuasaan kepada ulama dan jawara
dengan memanfaatkan peluang era demokrasi. Hal inilah yang memupuk munculnya
beberapa klan penguasa atau dinas politik di Banten sebagaimana keluarga JB di
Lebak, TAS di Cilegon dan TCS untuk hampir seluruh wilayah Banten.
Masalah lain berkaitan dengan dampak demokrasi ini adalah pertanyaan
tentang apakah keberadaannya membawa kesejahteraan atau sebaliknya berdampak
kemunduran, keterbelakangan dan kemiskinan bagi masyarakatnya. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut perlu dikedepankan sehubungan dengan pilihan berdemokrasi
sebagai sistem pemerintahan sebuah bangsa merupakan keyakinan bahwa model
demokrasi ini akan membawa kemanfaatan. Dengan demikian model demokrasi
akan tetap dipertahankan jika memberikan kemanfaatan dan tentunya perlu ditinjau
kembali jika sebaliknya yaitu tidak memberikan kemajuan kepada bangsa ini.
Adanya politik dinasti di Banten sebagaimana dijelaskan di atas adalah salah
satu contoh dari demokrasi yang tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan
masyarakat. Dari aspek pembangunan ekonomi, keberadaan desa-desa di Banten
terutama di wilayah Selatan tidak pernah beranjak dari ketertinggalan8. Untuk dapat
memahami permasalahan tersebut, maka perlu melakukan kajian mendalam terkait
praktek berdemokrasi melalui analisis relasi kekuasaan dalam masyarakat Banten
8
Untuk kasus Kabupaten Pandeglang, dari 326 desa yang ada terdapat 140 desa (42,94%)
diantaranya yang berstatus sebagai desa tertinggal. Kabupaten Pandeglang sendiri termasuk satu dari
enam kabupaten di pulau Jawa yang masuk dalam kategori daerah tertinggal selain Kabupaten Lebak
untuk wilayah Provinsi Banten dan Kabupaten Bondowoso, Situbondo, Bangkalan dan Sampang
untuk wilayah Provinsi Jawa Timur (http://bantenterkini.com/kabupaten-lebak-dan-pandeglang-
masuk-kategori-daerah-tertinggal/ diakses tanggal 6 Juni 2016).
6
yang dalam penelitian ini mengambil unit analisis relasi kekuasaan antara bupati
dengan kepala desa di Pandeglang.
Signifikansi Penelitian
Penelitian relasi kekuasaan bupati dan kepala desa sangat relevan untuk
diteliti karena beberapa alasan. Pertama, penelitian ini merupakan upaya untuk
memahami secara lebih mendalam konsep kekuasaan masyarakat pedesaan.
Kedua, tinjauan pelaksanaan otonomi daerah selama ini kurang menyentuh
kekhasan lokal yang berragam sebagai suatu kenyataan Indonesia yang ber-Bhineka
Tunggal Ika. Pengesampingan tinjauan kekhasan lokal menjadikan negara lalai
dalam mempertimbangkan perbedaan keberagaman daerah terlebih desa, padahal
perbedaan inilah yang menjadikan demokrasi membias kepada kekhasan lokal yang
dimilikinya – terlepas dari pemahaman demokrasi prosedural ataupun demokrasi
substansial. Sensitivitas politik lokal sejatinya perlu dipertimbangkan sehingga
otonomi menyentuh sasarannya, serta nilai-nilai kearifan lokal tidak dilangkahi oleh
prinsip-prinsip demokrasi atau sebaliknya. Pada tataran ini tentunya yang
diharapkan adalah bagaimana demokrasi dan nilai-nilai kearifan lokal dapat
bersinergi dengan baik.
Ketiga, relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa sangat menentukan
dalam keberhasilan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karenanya harmonisasi
diantara keduanya perlu mendapatkan perhatian serius sehingga mendukung
terhadap upaya-upaya pembangunan masyarakat.
Keempat, penelitian ini merupakan upaya pemikiran kritis implikasi praktek
demokrasi terhadap terjebaknya kemiskinan masyarakat pedesaan.
Penelitian Terdahulu
Relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa tidak dapat dilepaskan dari
peran yang mainkan oleh ulama dan jawara. Oleh karenanya tinjauan penelitian
hubungan ulama dan jawara menjadi menjadi sangat penting dalam kaitannya
dengan relasi bupati dengan kepala desa ini. Dinamika peran ulama dan jawara
sangat menarik karena meskipun keduanya berada dalam ranah tradisi ternyata
perkembangan kebijakan politik menjadi faktor determinan terhadap relasi tersebut,
sehingga dalam hal ini tidak hanya faktor budaya yang memberikan pengaruhnya.
Oleh karenaya dalam melakukan kajian tentang ulama dan atau jawara tidak hanya
bisa ditinjau dari dimensi budaya semata, karena dalam banyak kondisi justru faktor
politiklah yang banyak mempengaruhinya. Fakta ini misalnya dapat ditelusuri dari
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Aziz (2002), Hamid (2010), Bandiyah
(2010) dan Alkhudri (2013).
Pembatasan konsep ulama dan jawara yang dibingkai oleh relasi kekuasaan
keduanya juga mewarnai penelitian-penelitian yang telah dilakukan semisal
Kartodirdjo (1984) yang mengintrodusir istilah “bandit sosial” yang dilekatkan
kepada jawara karena pengaruh politik kolonial Belanda dan Tihami (1992) yang
mengkonstruksi jawara sebagai santri (murid kyai). Istilah “bandit sosial” dan
jawara sebagai santri ini kemudian banyak melatarbelakangi usaha-usaha kajian
jawara sebagaimana yang dilakukan oleh Bandiyah (2010) yang mencoba
menelusuri transformasi jawara sebagai “bandit sosial” pada masa kolonial menjadi
pejabat politik pada masa kontemporer.
Naik turunnya relasi ulama dan jawara banyak dikaitkan dengan terjadinya
pergeseran peran sosial dari kedua tokoh informal ini, sehingga kesan pembalikkan
peran yang selama ini nampak dalam konstelasi politik lokal Banten dimana jawara
7
Dinamika relasi kekuasaan bupati dan kepala desa mengalami perubahan dari
masa ke masa sejalan dengan regulasi formal yang mengatur hubungan sistem
pemerintahan daerah. Diawali pada masa orde lama, desa diberikan posisi yang
cukup strategis misalnya dengan menempatkannya sebagai titik berat otonomi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah
yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Dalam ketentuan
peraturan ini, desa menjadi daerah tingkat ketiga di bawah provinsi dan kabupaten.
Meskipun ketentuan ini secara riil tidak terlaksana sebagian besar karena kondisi
peralihan kenegaraan, namun ketentuan ini merupakan salah satu penghargaan
kepada desa untuk mewujudkan otonominya.
Kondisinya kemudian menjadi terbalik dengan adanya kecenderungan
meminggirkan desa (dan daerah) ketika memasuki masa orde baru terutama setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Desa. Keterpinggiran desa ini pertama berkaitan dengan
adanya nuasa penyeragaman (uniformity) dalam bentuk dan susunan pemerintahan
daerah termasuk desa meskipun masih diakuinya bangunan pemerintahan
berdasarkan akar budayanya seperti nagari dan subak. Kedua, berkaitan dengan
terlalu besarnya kekhawatiran disintegrasi bangsa sebagaimana terindikasi dalam
prinsip otonominya yaitu “otonomi nyata dan bertanggung jawab”. Kata
“bertanggung jawab” inilah yang dalam banyak hal kemudian membatasi ruang
gerak otonomi. Hal ini kemudian berimbas kepada sangat kuatnya pola-pola
pengawasan pusat terhadap daerah dan desa yang pada akhirnya mempengaruhi
relasi kekuasaan diantara struktur pemerintahan tersebut. Akibat kedua kondisi
tersebut adalah bahwa pada masa ini otonomi daerah terkesan setengah hati, di satu
sisi diberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus daerahnya sendiri, di sisi
lain adanya upaya-upaya pusat untuk mengendalikan daerah secara berlebih-lebihan
melalui fungsi-fungsi pengawasannya baik pengawasan umum, preventif maupun
represif. Bahkan menurut Marbun (2005:95) menyatakan bahwa hubungan
pemerintahan daerah pada masa orde baru merupakan hubungan pengawasan, bukan
merupakan hubungan antara bawahan dengan atasan atau hubungan menjalankan
pemerintahan seperti halnya hubungan antara pemerintah di daerah yang bersifat
administratif atau pemerintah wilayah dengan pemerintah pusat.
Pada masa orde baru ini meskipun dikenal otonomi bertingkat (daerah
tingkat I untuk kabupaten/kotamadya dan daerah tingkat II untuk provinsi), namun
desa tidak lagi termasuk dalam kategori daerah tingkat III, tetapi sebagai suatu
wilayah hukum dengan pemerintahan terrendah langsung di bawah camat. Titik
berat otonomi pun kemudian bergeser kepada daerah tingkat II dengan alasan
sebagai struktur menengah yang berfungsi menjembatani struktur pemerintahan ke
atas kepada provinsi dan pusat, dan ke bawah kepada kecamatan dan desa/kelurahan.
Pada pola sistem pemerintahan daerah ini otomatis membuat desa berada pada posisi
yang paling tertekan dalam hubungan pengawasan kekuasaan (“pengawasan”) yang
sangat terkontrol.
Di era reformasi, seiring dengan semakin kencangnya arus demokrasi
mengakibatkan meningkatnya tuntutan perubahan sistem pemerintahan daerah yang
dianggap kurang demokratis sebagaimana yang diimplementasikan pada masa orde
baru. Kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dengan tiga prinsip utamaya yaitu pertama, otonomi luas, nyata dan
10
dalam hal ini kepanjangan tangan bupati dalam aspek administrasi juga
melaksanakan pengawasannya terhadap pelaksanaan pemerintahan desa (kepala
desa). Pada akhirnya kepala desa menghadapi tumpukan tugas-tugas akuntabilitas
kepada supra struktur (daerah melalui kecamatan), kepada mitra pemerintahan desa
(Bamusdes) dan kepada warganya, sementara kapasitas sumber daya kepala desa
dan jajarannya memiliki banyak keterbatasan terutama terkait dengan kemampuan
administrasinya.
Pada kondisi relasi kekuasaan yang mau tidak mau memagari kepala desa
dengan berragam kelembagaan pengawasan ini menjadikan ruang gerak kepala desa
semakin terbatas yang pada saat lain kemudian memunculkan perlawanan untuk
keluar dari kondisi ini. Perlawanan (resistensi sebagaimana diistilahkan Scott) dalam
berragam bentuknya di beberapa daerah bahkan kemudian dilakukan secara kolektif
yang beberapa diantaranya melalui Ikatan Kepala Desa (Ikades) seperti yang terjadi
di Kabupaten Pandeglang. Hal inilah yang mempertegas adanya konflik antara
pemerintahan daerah (bupati) dan pemerintahan desa (kepala desa).
Pada skenario lain, hubungan negara dan desa nampak pada gerakan yang
dilakukan oleh para kepala desa dan unsur perangkatnya dalam memperjuangkan
posisi desa sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Perjuangan ini berbuah
dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Isu-isu
politik pun mengiringi kelahiran undang-undang tersebut misalnya terkait dengan
besaran alokasi keuangan desa yang direncanakan rasionya 10% dari APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus,
yang berarti kisarannya diperkirakan kurang lebih 1 milyar rupiah (ukuran saat ini).
Isu lain juga menyangkut kemampuan aparatur desa untuk mengelola alokasi dana
tersebut yang dipandang beberapa pihak akan menimbulkan maladministrasi, yang
jelas-jelas anggapan ini meminggirkan desa dengan segala aspeknya.
Satu hal yang paling bermakna dari lahirnya undang-undang ini adalah
adanya penguatan otonomi dan demokrasi di tingkat desa. Dengan dinaikkannya
taraf urusan desa pada level undang-undang, berarti pula pengaturan desa menjadi
setara dengan pengaturan daerah meskipun tidak bisa dikatakan terlepas dari
pengaturan daerah. Dengan kata lain, secara politis desa semakin otonom. Dalam
kaitannya dengan hubungan desa dan supra desa, penguatan otonomi desa ini
otomatis akan berpengaruh terhadap relasi kekuasaan diantara dua struktur tersebut.
Terutama dari aspek ketergantungan keuangan, dengan adanya kemandirian
pengelolaan dana keuangan yang dimiliki, desa secara posisi politik akan tidak
banyak bergantung kepada pihak kabupaten. Dalam pandangan Emerson, ketika
pihak subordinat mendapatkan penguatan, maka ketergantungan terhadap
superordinat pun akan berkurang. Jika ini berlangsung sesuai skenario perundang-
undangan, maka otonomi desa relatif berjalan pada jalur rel yang diinginkan.
Signifikansi pergeseran dalam tata kelola desa yang mengarah kepada
penciptaan otonomi desa yang lebih luas lagi sangat memungkinkan segala unsur
yang ada dalam tata kelola desa memainkan perannya sehingga sangat
memungkinkan pula pergeseran relasi kekuasaan diantara aktor tata kelola desa baik
internal maupun dengan pihak di luar desa (terutama sekali lagi dengan supra desa).
Namun demikian relasi kekuasaan desa dan supra desa tidak berhenti pada semata
tata aturannya saja, faktor sosial budaya tentunya memberikan pengaruh penting
terhadap proses, struktur dan pola relasi berlangsungnya relasi kekuasaan. Dengan
bervariasinya sistem sosial budaya yang ada di Indonesia memberikan dampak
konstruksi relasi kekuasaan yang berragam pada banyak daerah di Indonesia. Contoh
12
baik dalam bidang militer maupun pemerintahan contohnya diwakili profil K.H.
Tubagus Achmad Chatib yang menjabat sebagai residen pertama Banten sekaligus
sebagai pimpinan militer pada saat itu. Pada masa kolonialisme pun sebenarnya
kekuatan jawara sangat ditentukan oleh pengaruh ulama terutama berdasarkan
keterikatan sebagai guru dan murid (Tihami:1992). Dominasi jawara dalam politik
Banten juga mengindikasikan adanya pengaruh yang cukup signifikan dari
perjalanan dua era politik yang dilaluinya yaitu pada masa orde baru dan era
reformasi itu sendiri. Artinya adalah terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara
kebijakan-kebijakan politik pada dua masa tersebut terhadap penguatan peran politik
jawara. Oleh karenanya dalam memahami dominasi jawara dalam politik lokal
Banten, sangat penting untuk menghubungkannya dengan dinamika konstelasi
politik yang terjadi pada setiap periodisasi pemerintahan.
Kondisi yang terjadi dalam politik lokal Banten juga mengisyaratkan bahwa
birokrasi ideal yang sangat memperhatikan prinsip-prinsip formalistis sama sekali
tidak bisa ditegakkan. Peranan informal leader jauh lebih mengakar dibandingkan
dengan kekuatan otoritas legal formal, sehingga struktur kekuasaan pun bergeser
kepada nilai-nilai kultural melalui dua sub kultur utamanya yaitu ulama dan jawara.
Prinsipnya adalah birokrasi tidak akan terbangun secara ideal dalam model
Weberian karena pengaruh kultur yang sangat kuat. Kaitannya dengan relasi bupati
dan kepala desa, maka akan sangat banyak ditentukan oleh karakterisitik kultural ini,
meskipun terdapat persinggungan dengan (dipengaruhi pula oleh) kebijakan politik
yang mengatur hubungan keduanya.
Pergeseran relasi kekuasaan desa dan supradesa atau dalam hal ini antara
bupati dan kepala desa bagaimanapun sangat berkaitan erat dengan perubahan yang
terjadi dalam peraturan perundang-undangannya. Dinamika pemerintahan lokal dan
desa ini secara langsung mempengaruhi hubungan yang terjadi antara desa dan supra
desa sebagaimana tergambar dalam Tabel 1.1.
Berdasarkan referensi peraturan perundang-undangan sebagaimana terurai
dalam Tabel 1.1, meskipun terjadi kecenderungan penguatan posisi desa, namun
demikian posisi desa dalam beberapa hal terutama secara politis selalu terpinggirkan
misalnya pada saat berlangsungnya pemilihan kepala negara yang didanai oleh
APBN dan pemilihan kepala daerah yang didanai oleh APBD, sementara itu
pemilihan kepala desa masih dibiayai sendiri diantara para calonnya10.
Keterpinggiran kepala desa sebagai pejabat politik pun, secara struktural maupun
fungsional pada akhirnya terpinggirkan oleh kepentingan pejabat politik di atasnya.
Masa depan posisi kepala desa kemudian akan sangat tergantung
pengimplementasian UU 6/2014 yang nilai-nilai otonominya jauh lebih menguatkan
desa terutama dari aspek keuangan dan pembangunan. Rencana alokasi anggaran
yang sangat besar sampai dengan kisaran satu milyar rupiah untuk setiap desa adalah
bukti menguatnya desa dari kedua aspek tersebut, meskipun sebenarnya pola-pola
administrasinya semakin menenggelamkan keotonomian desa itu sendiri. Nilai-nilai
lokal yang sejatinya mendapatkan perhatian tidak banyak disinggung dalam undang-
undang ini. Kekhawatiran terbesar dari lahirnya undang-undang ini adalah adanya
kecenderungan pola-pola penyeragaman yang mirip dengan apa yang terjadi pada
masa orde baru.
10
Kondisi ini kemudian dikoreksi dalam pasal 34 ayat 6 UU No. 6 Tahun 2014 yang menyebutkan
biaya pemilihan kepala desa dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota
14
11
Lala M. Kolopaking, Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Struktur Kelembagaan Otonomi Desa
dalam Satria dkk. (ed.), 2011:135-136.
16
klausul pasal larangan pemagaran politik kepala desa tersebut12, hal ini berbeda
dengan bupati, gubernur maupun presiden yang sama-sama dipilih secara langsung
oleh rakyat.
Pada masa orde baru dimana kepala desa terhegemoni secara kuat, maka
tidak ada kuasa kepala desa untuk melawan kepentingan politik bupati pada masa
itu, sehingga orientasi politiknya relatif sama. Tetapi ketika bupati kehilangan
kendali politiknya (dominasi hegemoni), artinya perbedaan orientasi politik dengan
kepala desa sangat mungkin terjadi, maka perbedaan orientasi politik pun sangat
mungkin terjadi. Dan ketika perbedaan politik itu tampil secara berhadap-hadapan
dalam arena politik, maka konflik tidak dapat dihindarkan. Pada kondisi ini,
demokratisasi lokal bergantung kepada kepentingan politiknya. Inti politikpun yaitu
kekuasaan menjadi alasan untuk saling mempertahankan kepentingan politiknya
tersebut, dalam kondisi seperti ini konflik politik mempengaruhi hubungan
struktural dan fungsional bupati dan kepala desa.
Dalam perspektif politik, pada akhirnya pernyataan klasik Lord Acton pun
berlaku dimana “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”
yaitu manusia yang mempunyai kekuasaan cenderrung untuk selalu
menyalahgunakan kekuasaannya terlebih kekuasaan yang tak terbatas (Budiardjo,
2005:52). Hal ini nampak dalam menyikapi pergeseran relasi kekuasaan pada era
reformasi ini, yaitu bupati “memanfaatkan” posisi struktur birokrasinya yang berada
pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepala desa. Posisi supra struktur
bupati dalam pemerintahan lokal menjadikan bupati memiliki kewenangan yang
lebih luas dibandingkan dengan kepala desa. Relasi kekuasan dengan kepala desa
nampak dalam penetapan anggaran pemerintahan dan pembangunan desa yang
terjadi di Kabupaten Pandeglang dimana pola pencairannya diatur sedemikian rupa
sehingga dalam beberapa kondisi kepala desa memiliki ketergantungan kekuasaan
(finansial) terhadap bupati.
Bupati (atau aparatnya) dapat melemahkan posisi kepala desa melalui pola
hubungan pengawasan dan administrasi. Posisi superordinat secara struktur formal
menempatkan bupati memiliki kewenangan kontrol terhadap desa, sebaliknya desa
hanya menjadi obyek kontrol tersebut tanpa adanya kesempatan yang lebih terbuka
untuk melakukan fungsi perimbangan kontrol terhadap bupati.
Dalam pengamatan peneliti, tidak hanya posisi struktur yang dimanfaatkan
oleh bupati, hampir seluruh segmen sosial-politik lokal yang potensial dimasuki oleh
bupati dalam mempertahankan kekuasaannya. Pada akhirnya dominasi bupati tidak
dapat tertandingi karena sebagian besar sumber-sumber dan saluran kekuasaan yang
ada dapat dikendalikan. Dominasi politik bupati ini pada akhirnya mengabaikan
kepentingan publik. Cita-cita demokrasi untuk menyejahterakan rakyat justru
terkooptasi oleh kepentingan individu dan politik bupati.
Berdasarkan uraian di atas, meskipun terjadi pergeseran relasi kekuasaan
diantara bupati dan kepala desa (dari terhegemoni menjadi independen, dari
terkontrol menjadi partisipatif, maupun dari model komando top-down menjadi
bottom-up), pada perkembangan terkini ternyata semakin memperbesar
kemungkinan terjadinya konflik. Artinya bahwa perubahan dalam aturan formal
yang memberikan keleluasaan kepala desa secara politik, dalam beberapa kondisi
akan berbenturan dengan kepentingan politik bupati. Relasi konfliktual antara bupati
dan kepala desa ini pada bagian akhirnya juga akan mengakibatkan pergeseran relasi
12
Lihat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daeran dan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
17
kepala desa dengan pihak-pihak lainnya seperti camat, BPD, masyarakat, sekretaris
desa dan aparatur desa lainnya.
Dalam penelitian ini, pergeseran yang terjadi dalam konstelasi politik-
pemerintahan di Pandeglang diakibatkan oleh dinamika regulasi formal yang
bersinergi dengan lingkungan sosial budaya yang membalut sistem politik lokalnya.
Wacana politik jawara dan dinasti politik semakin melengkapi relasi kekuasaan
bupati dan kepala desa yang tidak lepas oleh balutan karakteristik ke-Banten-an
tersebut. Ini bagian lain dari kondisi yang semakin memperuncing permasalahan
penata kelolaan pemerintahan di tingkat desa (rural governance) – meskipun di sisi
lain mempertajam kekhasan tata kelola desa itu sendiri.
Relasi kekuasaan bupati dan kepala desa pun dihadapkan pada dilema
permasalahan untuk mengedepankan demokratisasi lokal berdasarkan kepentingan
politik individual (dan juga kelompoknya) atau penatakelolaan desa berdasarkan
aturan formal (“negaranisasi” yang mengedepankan penyeragaman dan
pengendalian pemerintahan desa). Jika hanya mengedepankan kepentingan politik
atas nama demokratisasi, maka penatakelolaan desa berdasarkan aturan yang berlaku
“mungkin” akan terabaikan. Padahal fungsi pejabat pemerintahan sebagaimana
dikatakan Riggs yang dikutip Nordholt (1987:31) adalah melaksanakan ketentuan-
ketentuan dan peraturan-peraturan pemerintah. Sebaliknya jika penatakelolaan desa
mengacu kepada aturan yang berlaku, maka gerak demokratisasi lokal cenderung
terhambat karena perbenturan kepentingan politik dengan aturan yang berlaku tidak
dapat dihindarkan.
Pemahaman keberagaman dan kekhasan lokal pedesaan menjadi sangat
urgen untuk memahami bagaimana tata kelola desa berbasis kultural bersanding
dengan aturan formal. Pada bagian ini pula pemahaman tentang peranan elit desa
yang diperankan oleh ulama dan jawara menjadi sangat vital sehingga dapat
memahami secara mendalam bagaimana dalam memformulasikan tata kelola desa
perlu mempersandingkan aspek tradisional lokal dengan tata aturan formalnya.
Inilah sebenarnya yang melatarbelakangi adanya konsep shadow state atau dalam
istilah lain disebut juga informal governance yang sebagian besar berlangsung di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sistem sosial dan budaya
masyarakat pedesaan di Indonesia sangat memungkinkan tumbuh suburnya model
informal governance karena dalam masyarakat terdapat elit sebagai figur informal
leader yang pengaruh sosialnya kadangkala melebihi kuasa dan otoritas formal
leader selain faktor kultur patronase yang masih kuat. Persandingan atau pada
kondisi tertentu menjadi perpaduan antara informal governance dan formal
governance secara sinergis sudah teruji dapat memberikan kemanfaatan kepada
masyarakat dibandingkan dengan memaksakan untuk memberdayakan formal
governance dalam nilai dan standar yang tidak sesuai dengan kebijakan lokal. Inilah
makna terdalam bagaimana tata kelola desa yang bersandar pada perpaduan konsep
negara dan konsep adat. Untuk kasus ke-Banten-an, peran informal leader ini telah
secara apik dilakukan oleh ulama dan jawara yang menjadikan birokrasi dan politik
lokal Banten didominasi oleh nilai-nilai religi dan tradisi yang dibawa oleh kedua
pelaku informal leader (ulama dan jawara). Model demokrasi, tata kelola desa dan
relasi kekuasaan yang memberikan kuasa lebih kepada informal leader ini dalam
faktanya ternyata membuat Banten tidak semakin maju, kemiskinan masih dirasakan
oleh sebagian besar masyarakat pedesaaan. Ini menyulut pertanyaan apakah kiranya
realitas-realitas politik di Banten tersebut sebagai faktor penyebabnya atau terdapat
faktor lain yang lebih berpengaruh.
18
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan, maka tujuan penelitian
ini adalah:
1. Menjelaskan faktor sosial-kultural yang mempengaruhi relasi kekuasaan bupati
dengan kepala desa.
2. Menemukan pola-pola relasi kekuasaan bupati dan kepala desa yang terbentuk
dan pengaruhnya terhadap kemiskinan.
3. Menganalisis proses relasi kekuasan bupati dan kepala desa dan implikasinya
terhadap kemiskinan masyarakat pedesaan.
Kebaruan (Novelty)
Penelitian ini merupakan upaya kritis terhadap penatakelolaan desa dalam
kaitannya dengan relasi kekuasaan yang terjadi antara desa dan supra desa dan
implikasinya terhadap kesejahteraan atau kemiskinan di pedesaaan Pandeglang.
Untuk melengkapi analisis dalam penelitian ini, beberapa teori juga menjadi
rujukannya diantaranya teori-teori demokrasi, teori elit dan kepemimpinan lokal,
teori sumber dan saluran kekuasaan dan teori relasi kekuasaan. Berdasarkan
pendekatan penelitian terdahulu dan rujukan teori-teori tersebut, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam hal:
1. Mengangkat isu-isu relasi kekuasaan dalam membangun hubungan yang sinergis
antara antara bupati dan kepala desa.
2. Memformulasikan strategi penatakelolaan desa melalui pemahaman yang
mendalam terhadap nilai-nilai kultural.
Penelitian yang dilakukan mengungkap relasi kekuasaan yang terjalin antara
bupati dengan kepala desa. Posisi suprastruktur bupati dalam hierarki pemerintahan
formal tidak menjadi jaminan terhadap terbentuknya relasi kekuasaan dominan
bupati terhadap kepala desa, dalam hal ini pembentukan jaringan kekuasaan menjadi
faktor determinannya. Pola-pola relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa yang
terbentuk ternyata berdampak kepada tidak terangkatnya tingkat kesejahteraan
masyarakat pedesaan. Berdasarkan kedua kesimpulan tersebut, maka aspek kebaruan
dalam penelitian ini adalah bahwa relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa
tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat
pedesaan di Kabupaten Pandeglang.
19
Ulama dan jawara serta bupati dan kepala desa dalam kapasitasnya sebagai
elit tentunya perlu dipahami dari pendekatan teori elit, dan sebagai sebuah
konstruksi sosial ulama dan jawara perlu didekati oleh tinjauan sistem sosial lokal.
Oleh karenanya untuk memahami ulama dan jawara sebagai elit dikaitkan dengan
bupati dan kepala desa akan diuraikan dengan mengikutsertakan pendekatan-
pendekatan lokal Banten. Dengan begitu elit sebagai sebuah konstruksi sosial ini
dapat dipahami latar sosial-kulturalnya. Teori elit ini erat kaitannya dengan teori
demokrasi elitis yang mewarnai model demokrasi di Asia dan model demokrasi-
demokrasi lokal di Indonesia. Dengan demikian sebelum membahas teori elit,
sebelumnya perlu diuraikan tentang persandingan demokrasi elitis yang berkembang
di negara-negara Asia dan demokrasi partisipatif yang menjadi idealisme negara-
negara Barat.
partisipatif ditandai suatu masyarakat yang terbuka yaitu suatu keadaan dimana
pilihan manusia merupakan hal utama yang didasarkan atas dasar kebebasan,
persamaan dan partisipasi politik (Varma, 2010:218-225).
Penelusuran konsep demokrasi yang paling ideal tidak bisa bersandar kepada
satu keputusan bulat. Sebagaimana dijelaskan di awal sub judul ini bahwa akar
sosial-kultural sangat berpengaruh terhadap perwujudan demokrasi yang ada.
Masyarakat Asia yang sangat kuat kultur patronase-nya sebagaimana dikemukakan
Neher (1994) akan sangat sulit menerapkan model demokrasi partisipatif. Hal yang
berbeda dengan masyarakat Barat dimana akar sosial-budayanya memang bersandar
kepada nilai-nilai individualistik. Dengan demikian baik demokrasi elitis maupun
demokrasi partisipatif, keduanya merupakan pengaruh dari nilai-nilai sosial-kultural.
Oleh karenanya demokrasi yang paling ideal sebenarnya adalah demokrasi yang
menginternalisasikan nilai-nilai kultural.
Berdasarkan rujukan dua model demokrasi tersebut, maka demokrasi lokal di
Indonesia dapat dikategorikan sebagai demokrasi elitis. Hal ini tidak lepas dari
kuatnya kultur patronase dalam sebagian besar masyarakat di Indonesia dan adanya
personalism pada beberapa figur lokal sebagaimana pula karakteristik dalam Asian
Style Democracy (Neher, 1994) yang telah diuraikan dalam Bab 1.
Jenis Sumber
No. Contoh Sumber Kekuasaan
Kekuasaan
1. Fisik Senjata: senapan, rudal, bom.
2. Ekonomi Kekayaan, pendapatan, barang dan jasa, sumber
daya alam.
3. Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi religius, legitimasi,
kewenangan.
4. Personal Kharisma pribadi, daya tarik kepribadian,
popularitas.
5. Keahlian Informasi, pengetahuan, intelejensia, keahlian
teknis.
Sumber: Andrain (1992:132)
sumber kekuasaan kepada lima jenis yaitu berdasarkan fisik, ekonomi, normatif,
personal dan keahlian (lihat dalam Tabel 2.1).
Relatif berbeda dengan penjelasan Charles F. Andrain, Keith Faulks
(2010:27) menyatakan bahwa sumber-sumber kekuasaan dipilari oleh lima hal yaitu
kekuatan fisik, informasi, gagasan, bahasa dan teknologi. Jika dibandingkan dengan
pendapat Charles F. Andrain, hanya satu aspek yang relatif identik yaitu dalam hal
fisik atau kekuatan fisik. Namun demikian, pada prinsipnya dari kedua referensi
teori sumber kekuasaan tersebut dapat dipahami bahwa semakin banyak akumulasi
sumber kekuasaan yang dimiliki, maka semakin besar pemilikian kekuasaannya
meskipun dari aspek pengaruhnya memiliki derajat yang berbeda.
Untuk mempersandingan karakteristik pedesaan dilihat dari sumber-sumber
dan saluran kekuasaannya, peneliti mengambil hasil penelitian yang dilakukan
Iberamsjah di Desa Gede Pangrango Sukabumi yang peneliti pandang memiliki
kemiripan karakter sosial kulturnya dengan masyarakat Banten. Berdasarkan hasil
penelitiannya, Iberamsjah membagi tipe-tipe sumber dan saluran kekuasaan yang
dikaitkan dengan pembentukan elit desa sebagaimana tergambar dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Sumber dan Saluran Kekuasaan dikaitkan dengan Pembentukan Elit Desa
Konsep Ulama dan Jawara: Pertautan Antara Politik dan Urusan Keduniaan
Ulama sebagai sebuah konsep secara sederhana dapat dimaknai sebagai
seseorang yang memiliki wawasan yang tinggi tentang keilmuan agama Islam. Gelar
atau panggilan ulama untuk beberapa masyarakat sangat bervariasi tergantung
kekhasan lokalnya. Untuk Banten sendiri, penyebutan gelar ulama diantaranya
adalah wali, abuya, kyai dan ustadz. Sementara itu panggilan kehormatan kepada
seorang ulama diantaranya abah, ajengan dan mama13.
Namun demikian konsep ulama yang awalnya dipahami sebagai orang yang
berpengetahuan agama tersebut memperkenalkan pula konsep-konsep baru terutama
karena persentuhan atau pertautannya dengan urusan politik dan keduniaan. Untuk
itulah pada perkembangan saat ini istilah-istilah ulama semakin berragam
diantaranya istilah kyai politik dan kyai hikmah. Kyai politik adalah kyai yang terjun
dalam urusan-urusan politik dengan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
orientasi dan kepentingan suatu partai politik tertentu, sementara kyai hikmah dapat
dimaknai sebagai kyai yang memberikan pelayanan-pelayanan urusan keduniaan
dengan memberikan bantuan keilmuannya secara supranatural.
Kedua jenis ulama tersebutlah yang saat ini paling nampak mewarnai
kehidupan sosial-politik masyarakat, sehingga dalam kondisi tertentu kedua konsep
ulama ini seringkali justru “tercerabut” dari akar keulamaannya. Untuk itulah dalam
hal ini perlu dipersandingkan jenis ulama lain yang dipandang idealis atau dalam hal
ini sering disebut sebagai kyai kitab. Kyai kitab ini tidak terjun ke politik ataupun
tidak memberikan pelayanan-pelayanan kepentingan duniawi. Kyai jenis ini hanya
memberikan pembelajaran agama di pesantrennya.
Meskipun pemilahan kyai ini tidak dapat dibedakan secara kaku, artinya
dapat saja kyai politik juga kyai hikmah, namun yang jelas pemilahan ini terjadi
karena dua aspek penting dalam kehidupan kemasyarakatan yaitu urusan politik dan
keduniaan.
Urusan politik juga mewarnai konsep jawara. Jawara adalah konsep lokal
yang sangat populer untuk wilayah Banten, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya serta
Lampung. Konsep jawara secara umum dimaknai sebagai orang yang memiliki
kemampuan bela diri secara fisik. Dalam masyarakat kebanyakan, konsep jawara ini
mengalami derogasi sehingga peristilahan jawara selalu dikaitkan dengan hal-hal
yang negatif semisal kekerasan, prilaku kasar, pemaksaan fisik dan kejahatan.
Menurut Kartodirdjo (1984), penderogasian ini diawali oleh politik kolonial
Belanda untuk mencitrakan kaum jawara sebagai orang yang berprilaku jahat
dengan melabelisasinya sebagai “bandit sosial”. Untuk meyakinkan kesan buruk
jawara ini, pada mulanya Belanda membentuk sekelompok orang yang bertipikal
jawara terutama dari ciri-ciri penampilannya yang sering memakai baju hitam dan
peci hitam, memakai sarung dan membawa golok di pinggangnya, bergelang bahar
13
Panggilan abah, ajengan ataupun mama dalam bahasa lokal adalah panggilan kasih sayang dari
seorang anak kepada bapaknya. Abah dan mama itu sendiri berarti bapak, sementara ajengan adalah
orang yang diajeng (dihormati). Kadangkala dirangkaikan pula panggilannya sehingga menjadi abah-
ajengan atau mama-ajengan.
25
14
Dalam konsep Hudaeri (2002), tipikal jawara ini dicirikan oleh keberaniannya atau menunjukkan
keberanian untuk berprilaku kasar, keras dan sok jago. Jika konsep jawara dimaknai sebagai
seseorang yang memiliki kemampuan bela diri, kekebalan senjata tajam dan kemampuan supra
natural lainnya maka akan banyak tipe yang masuk ke dalam kategori jawara, termasuk diantaranya
adalah para kyai juga memiliki kemampuan-kemampuan tersebut dan jawara sendiri sebagian
diantaranya memperoleh kemampuan tersebut dari para ulama.
26
Ulama dan Jawara dalam Pertarungan Elmu Putih dan Elmu Hideung
Kemampuan supra natural yang dimiliki oleh ulama dan jawara adalah
kelebihan yang dimilikinya sehingga melalui kelebihan inilah ulama dan jawara
menempati posisi dan peran strategis dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat
Banten, keilmuan supra natural dikenal dalam dua kategori yaitu elmu putih (ilmu
putih) dan elmu hideung (ilmu hitam) atau sering pula disebut sebagai elmu ruyuk
atau elmu leuweung atau elmu rawayan. Elmu putih adalah ilmu yang berdasarkan
ajaran agama Islam, sementara elmu hideung adalah ilmu yang berdasarkan ajaran-
ajaran di luar agama Islam. Elmu hideung ini banyak dipengaruhi oleh keyakinan
masyarakat Banten sebelum datangnya Islam, biasanya untuk memperoleh
kemampuan supra natural berdasarkan elmu hideung ini seseorang diwajibkan untuk
merapalkan beberapa jangjawokan (semacam jampi-jampi) dalam bahasa lokal
(bahasa Sunda atau Jawa Banten, atau campuran keduanya). Namun demikian
kecenderungan sinkretisme lah yang lebih banyak muncul dari cara-cara kelompok
jawara memperoleh kesaktiannya – atau dalam hal ini percampuran elmu putih dan
elmu hideung. Sinkretisme disini adalah dengan memadukan percikan ayat-ayat Al
Qur’an pada sebagian jangjawokan tersebut, biasanya di awal perapalannya.
Contoh konkret sinkretisme dalam jangjawokan misalnya tertuang dalam
jangjawokan berikut ini: “Bismillahirohmanirohim maung pundung gajah ngapung,
datang nyembah kabeh ka awak ingsun……………….. (dan selanjutnya)”. Halil
seorang jawara dan praktisi debus15, mengatakan beberapa jangjawokan yang
dirapalkan dalam bahasa lokal sebenarnya adalah bagian dari rasa keyakinan kepada
Allah Tuhan Yang Maha Esa, namun pengucapannya tidak menggunakan bahasa
Arab, sehingga menurutnya pada prinsipnya pemerolehan kemampuan kekebalan
terhadap senjata tajam dan lain-lainnya yang sering dipertunjukkan dalam seni
debus adalah diawali oleh keyakinan mendalam terhadap kekuasaan Tuhan Allah,
Halil menegaskan jika kita ragu-ragu maka sebaiknya tidak melakukannya karena
ancamannya adalah jiwa kita sendiri. Contoh sinkretisme lainnya juga misalnya
dapat ditelusuri pada proses penggunaan kemenyan dalam beberapa ritual
kajawaraan seperti keceran. Penggunaan kemenyan tentunya dalam pandangan
ajaran Islam sangat tidak dibenarkan karena dianggap syrik (menyekutukan Tuhan).
Karena dipandang beberapa ritual sinkretisme dalam kelompok jawara ini
dapat menyesatkan umat, sebagian kalangan yang mewakili gerakan pemurnian
(purifikasi) ajaran Islam pun melakukan pergerakannya untuk menghilangkan unsur-
unsur yang mereka anggap sebagai bid’ah dan syrik dalam ritual kajawaraan,
demikian juga yang dilakukan oleh kelembagaan ulama (MUI/Majelis Ulama
Indonesia Banten) yang di tahun 2004 pernah mengeluarkan fatwa haram untuk
praktek-praktek debus karena dianggap mengandung unsur-unsur pra-Islam. Tentu
saja fatwa ini menyulut perlawanan dari kalangan jawara sebagai praktisi utama
kajawaraan dan seni debus.
Kondisi ini menyebabkan pula perseteruan di kalangan ulama yaitu antara
ulama reformis (pencetus gerakan purifikasi Islam), kyai hikmah dan kyai kitab
sebagaimana diuraikan dalam Ichwan (2012). Perseteruan ini disebabkan karena
diantara mereka sendiri terdapat perbedaan kepentingan mengenai praktek seni
debus ini. Jawara yang berdasarkan keilmuan yang diperolehnya sangat bergantung
15
Mengenai debus ini dapat ditelusuri dalam Bruinessen (1995) dimana sebagian besar pemerolehan
kemampuannya melalui wiridan, tawasul dan baiat yang sebagian besar merupakan ajaran Sufi
Rifaiyah.
27
kepada kyai hikmah, dalam situasi ini berlindung kepada kekuatan kyai hikmah16.
Kyai kitab sendiri relatif melakukan gerakan-gerakan puritan dengan cenderung
menjaga jarak baik kepada kyai hikmah, jawara maupun ulama semi formal dalam
kelembagaan MUI.
Ini sebenarnya menggambarkan secara riil bentuk-bentuk pertarungan yang
sesungguhnya – tidak hanya berbentuk kontestasi saja – antara elmu putih dan elmu
hideung dalam khasanah kajawaraan di Banten. Contoh konkret pertarungan ini
misalnya terjadi antara Buya Bustomi yang merepresentasikan elmu putih dan Jaro
Karis sebagai elmu hideung dimana keduanya sebagai tokoh yang paling disegani
melakukan pertarungan secara fisik yang mengakibatkan kekalahan di pihak elmu
hideung17. Dalam pendekatan historis juga menegaskan bagaimana awal berdirinya
kesultanan Banten dimulai dengan pertarungan antara Sultan Hasanudin dengan
Pucuk Umun di Gunung Karang Pandeglang – tepatnya di Kampung Tubuy yang
saat ini masuk wilayah Kecamatan Mandalawangi. Diceritakan pada saat itu Pucuk
Umun bersedia menyerahkan kekuasaan di wilayahnya jika Sultan Hasanudin
berhasil menaklukannya dalam pertarungan fisik dimana keduanya bertaruh
keilmuan melalui pertarungan ayam jago. Ayam jago Pucuk Umun bernama Jalak
Rarawe yang diciptakannya dari besi baja, berpamor air raksa dan berinti besi
berani, sedangkan ayam jago Sultan Hasanudin bernama Jalak Putih yang
merupakan penjelmaan jin yang berasal dari sorban putihnya. Keduanya pun
bertarung yang mengakibatkan kekalahan di pihak Pucuk Umun18.
Berdasarkan pendekatan historis di atas, dijelaskan bahwa pertama:
keberadaan elmu hideung sudah ada jauh sebelum Islam masuk Banten dan
mengawali sejarah pembentukan Kesultanan Banten sendiri. Kedua, pertarungan
elmu putih dan elmu hideung sudah berlangsung pada masa pra Islam, sehingga
sangat wajar jika perseteruan itu pun tetap terjadi hingga saat ini. Dan ketiga, relasi
kekuasaan di Banten sangat erat kaitannya dengan kemampuan bela diri dan
kesaktian yang pada akhirnya membentuk relasi penaklukan dan ketundukan. Relasi
ini nampak dalam ritual seba yang dilakukan masyarakat Baduy setiap tahun,
biasanya dilakukan setelah hari raya Kawalu – hari raya masyarakat Baduy. Seba itu
sendiri adalah bentuk ketundukan masyarakat Baduy terhadap kesultanan Banten
yang representasinya saat ini adalah Pemerintah Provinsi Banten, atau sebenarnya
juga bentuk ketundukan elmu hideung terhadap elmu putih.
16
Ketergantungan jawara kepada ulama (kyai hikmah) mengindikasikan model ketergantungan
kekuasaan yang dalam dimensi pertukaran dipandang keduanya sebenarnya memperoleh keuntungan
dari relasi tersebut. Dalam hal ini menurut Ichwan (2012), kyai hikmah membutuhkan jawara dalam
memberdayakan kekuasaan sosialnya terutama dari aspek ekonomi, sementara jawara tentu saja
sangat membutuhkan kyai hikmah untuk memperoleh kemampuan-kemampuan supra naturalnya. Hal
ini juga dapat dipandang sebagai hubungan guru dan murid yang mempertegas penelitian Tihami
(1992) tentang jawara sebagai santri.
17
Kejadian ini berlangsung sekitar tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an dan saat ini telah menjadi
forklor di masyarakat Banten khususnya Pandeglang. Sementara itu perlu dijelaskan disini bahwa
kedua tokoh ini baik Abuya Bustomi maupun Jaro Karis adalah tokoh yang sangat disegani di Banten
yang diyakini masyarakat memiliki kesaktian yang luar biasa.
18
Salah satu versi sejarah tentang keberadaan masyarakat Baduy di wilayah Lebak adalah karena
kejadian ini dimana setelah kekalahan Pucuk Umun kemudian anak buahnya melarikan diri ke
wilayah Lebak. Hal inilah yang kemudian mengintrodusir pula elmu hideung sebagai elmu rawayan.
Rawayan sendiri adalah panggilan lokal untuk masyarakat Baduy (lihat dalam Lubis (2003) dan
Falah (2006)).
28
pemerintahan sebagaimana hubungan patron dan klien. Kondisi ini sangat tepat
untuk dieksplorasi berdasarkan teori patron-klien19 Scott.
Teori patron-klien Scott menggambarkan ikatan antara pelindung (patron)
dan klien sebagai suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat dimana-mana di
kalangan petani Asia Tenggara yang dalam hal lainnya berkaitan dengan jarak sosial
dan seringkali moral, teristimewa apabila sang pelindung bukan warga desa.
Apakah ia seorang tuan tanah, seorang pejabat kecil atau pedagang, seorang patron
menurut definisinya adalah orang berada dalam posisi utuk membantu klien-
kliennya (Scott, 1994:41).
Scott selanjutnya menyatakan bahwa hubungan patron-klien merupakan
kasus khusus hubungan dua orang yang sebagian besar melibatkan hubungan
instrumental, dimana seseorang dengan status sosial ekonomi lebih tinggi (patron)
menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan dan atau
keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah yang pada gilirannya
membalas pemberian dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada
patron (Scott, 1994:7).
Teori patron-klien Scott adalah gambaran ketidakberdayaan klien terhadap
kuasa patronase sehingga hubungan tersebut menjadi “langgeng” karena
ketidakmampuan klien untuk mengubah kondisi yang ada yang kemudian justru
membentuk hubungan moral.
Menurut Saifuddin (2011:280), konsep patron-klien ini bekerja dengan baik
pada masyarakat tradisional yang berciri piramidal secara sosial-ekonomi.
Masyarakat Jawa yang memiliki latar belakang sejarah kerajaan merupakan contoh
yang dianalisis Wolf (penggagas pertama teori ini). Pada masyarakat dengan ciri ini
hubungan anggota masyarakat lapisan sosial ekonomi bawah dengan lapisan atas
tegas batas-batasnya, sehingga akses langsung dari lapisan bawah ke atas juga
terbatas kecuali melalui hubungan-hubungan personal, orang per orang, yang
melintasi batas-batas kedua lapisan tersebut. Persoalan muncul apabila kompleksitas
masyarakat meningkat. Status sosial tidak lagi semata-mata karena pewarisan sosial
(ascribed status) tetapi juga karena pencapaian prestasi (achieved status), sehingga
batas-batas lapisan tidak lagi seketat masa lalu. Kesempatan memperoleh pendidikan
berbagai jenjang tidak hanya dinikmati oleh lapisan atas masyarakat tetapi juga
lapisan bawah yang memiliki kemampuan. Yang kemudian terjadi adalah
tumbuhnya lebih banyak alternatif hubungan sosial yang mengakibatkan pola
patron-klien tradisional mengalami pelunturan. Hubungan patron-klien tidak lagi
satu-satunya hubungan vertikal, satu-satunya alternatif. Orang bahkan bisa
menembus batas lapisan sosial itu karena pencapaian prestasi sosialnya sendiri.
Banyak ahli sepakat bahwa pendidikan adalah salah satu faktor kunci yang
memungkinkan seseorang melintasi batas itu.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara patron-klien dan teori pertukaran,
berdasarkan paparan di atas, terdapat satu hal penting yang dapat digarisbawahi,
yaitu bahwa pada prinsipnya dalam pola hubungan patron-klien terdapat unsur
19
Berdasarkan penelusuran peristilahannya, “patron” berasal dari bahasa Spanyol yang secara
etimologis berarti “seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh”,
sedangkan klien berarti “bawahan” atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132).
Pola hubungan yang berlangsung antara patron dan klien merupakan hubungan kelompok atau
individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, ataupun penghasilan, sehingga
memposisikan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan
yang lebih tinggi (superior).
30
20
Bentuk “pengimbangan-kekuasaan” ini dalam konsep Marxian terwujud dalam bentuk resistensi.
32
(“perluasan jaringan”), atau mengurangi alternatif yang dapat dipakai untuk aktor
yang lebih berkuasa (melalui pembentukan koalisi).
Selanjutnya bahwa dalam kaitannya dengan penelitian relasi kekuasaan
bupati dan kepala desa ini, pernyataan Emerson tentang dinamika relasi sosial
berkembang di seputar kekuasaan, penggunaan kekuasaan, dan prosedur
penyeimbang-kekuasaan, dan sisanya pada konsep ketergantungan sangatlah tepat
untuk menggambarkan relasi kekuasaan yang berlangsung antara bupati dan kepala
desa yang dipandang di masa yang akan datang akan relatif mengikuti pola
ketergantungan. Sebagaimana dijelaskan di awal, hal ini terjadi karena keduanya
beraktivitas dalam urusan yang sama yaitu politik meskipun dengan level yang
berbeda. Justru karena perbedaan level politik inilah yang mengakibatkan keduanya
saling membutuhkan (saling berketergantungan).
Bagaimana konsep hegemoni, patron-klien dan ketergantungan berlangsung
dalam kajian penelitian ini?. Dapat dijelaskan bahwa secara historis perjalanan tata
kelola pemerintahan desa dan dan daerah di Indonesia tidak lepas dari ketiga konsep
tersebut. Gambaran hubungan hegemoni dan patron-klien sangat nampak pada masa
kolonial hingga orde baru dimana pola-pola tatanan pemerintahan selalu menginduk
kepada pola top-down dimana desa sebagai unit pemerintahan terkecil pada akhirnya
tidak pernah mampu mewujudkan otonominya.
Lahirnya era reformasi sebagai upaya mengoreksi total terhadap pola-pola
penyelenggaraan masa sebelumnya memberikan kesempatan untuk meningkatkan
posisi desa menjadi terbuka. Relasi kuasa pun berubah dimana setiap “penguasa
wilayah” (kepala desa, bupati dan gubernur) memiliki wilayah politik yang berbeda-
beda disesuaikan dengan tingkatan wilayah politiknya. Pada kondisi ini secara
keterwakilan politik, keterikatan kepala desa dengan rakyat pemilihnya jauh lebih
kuat karena faktor kedekatan baik secara geografis maupun sosiologis. Pada kondisi
ini, maka peran sosiologi politik kepala desa menjadi sangat signifikan sebagai
modal politik yang dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan posisi tawarnya
dengan bupati, hubungan hegemonik dan patron-klien pun tidak dominan lagi.
Hubungan desa dan supra desa pun bergeser menjadi saling ketergantungan, masing-
masing saling mendapat cost dan reward dalam relasi kekuasaannya.
Lalu bagaimana konsep resistensi dapat muncul dalam kondisi ini?.
Resistensi terjadi ketika posisi tawar kepala desa mengalami penguatan karena
lahirnya era reformasi, sementara kondisi konstelasi sosial-politik memungkinkan
eksistensi kepala desa untuk semakin memperkuat posisi politiknya. Pada kondisi
dimana kepala desa secara strategis dapat memerankan fungsi sosial-politiknya,
pada kondisi inilah resistensi muncul.
Dari aspek kesejarahan, pada masa kolonialisme hingga masa orde baru,
ketika kepala desa tersubordinasi oleh kekuatan bupati, sebenarnya terjadi skenario
perlawanan yang dilakukan oleh kepala desa. Bentuk-bentuk perlawanan atau
resistensi ini karena terlalu kuatnya dominasi hegemoni bupati, sehingga jarang
sekali muncul ke permukaan atau hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Inilah alur pikir yang digunakan oleh Scott untuk merangkai teori resistensinya21.
21
Resistensi adalah semacam bentuk penolakan warga desa yang tidak mau tunduk dan taat
melakukan perintah-perintah tertetu. Bentuk penolakan bisa bermacam-macam, misalnya menyobek
blangko pinjaman JPS, tidak menghadiri rapat tahunan Koperasi Unit Desa (KUD), menolak
menanam bibit padi “unggulan” yang disarnkan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) pertanian dari
tingkat kecamatan, menolak menggunakan komposisi pupuk buatan yang disarankan oleh PPL,
merobek bendera partai politik dan memasang bendera partai politik yang dianjurkan kepala desa”.
Dalam teori resistensi Scott, bentuk resistensi bisa dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni yang
33
termasuk ke dalam public transcript dan hidden transcript. Public transcript adalah bentuk yang
terselubung dari resistensi itu, misalnya terlihat dalam berbagai pertunjukan di atas pentas yang
diibaratkan pemain teater yang harus hidup di dua dunia, yakni dunia nyata sehari-hari dan dunia
“berpura-pura” di atas panggung. Sedangkan hidden transcript adalah bentuk resistensi yang
dilakukan tersembunyi atau lebih tepatnya di “belakang”: pelaku resistensi berpura-pura bersikap
baik di depan “lawannya” tetapi di “belakang” (atau ketika sedang berkumpul dengan temannya)
mereka membicarakan “lawannya” itu, misalnya dengan cara menggosip, memfitnah, mengumpat,
dan sebagainya.” (Wiratmoko, 2004:222).
34
pihak lainnya. Demikian pula relasi kekuasaan bupati dan kepala desa dimana dalam
realitas konkretnya adalah desa selalu dalam posisi tertekan terutama karena
pendekatan struktural yang menempatkan desa sebagai unit terkecil organisasi
kekuasaan dalam negara. Sementara itu, pengaruh kultural diantaranya patronase
yang mengikat hubungan masyarakat pedesaan juga mempengaruhinya, sehingga
semakin lengkaplah posisi tertekan desa, baik secara struktural maupun kultural.
Secara garis besar dapat dipahami bahwa relasi kekuasaan utama dalam
masyarakat pedesaan berlangsung secara patron-klien. Ini adalah kesimpulan awal
dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh Saxebol (2002), Kausar (2011) dan
Rustinsyah (2011). Sementara itu dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan yang
berlangsung pada wilayah tata kelola desa menunjukkan kondisi yang sama,
meskipun cenderung mengalami pergeseran sehubungan dengan faktor-faktor
regulasi formal berpengaruh secara struktur fungsional dan sistem politik yang
semakin demoktratis. Kesimpulan tersebut setidaknya dapat ditelusuri dari penelitian
yang dilakukan oleh Cahyono (2005), Dewi (2006), Akbar (2008) dan Nurdin
(2009).
Selain dari kecenderungan utama relasi patron-klien, masyarakat pedesaan
yang didominasi dalam hal ini oleh petani juga menunjukkan kecenderungan
resistensi yang cukup tinggi. Perlawanan petani Banten dalam penelitian Kartodirdjo
(1984) menunjukkan realitas ini sebagai sebuah gambaran dari kemampuan
perlawanan yang dilakukan oleh petani meskipun pada proses tersebut peran ulama
sangat besar terutama dalam membangkitkan class consciousness di kalangan para
petani. Pada saat ini proses resistensi tersebut tidak hanya menunjukkan cara-cara
secara hiden transcript, tetapi juga berlangsung secara terbuka.
Pada masa kini relasi-relasi konflik pedesaan justru menampakkan wujudnya
yang semakin konfliktual, pergeseran ini terjadi seiring dengan terjadinya
modernisasi birokrasi dan proses demokratisasi yang menggejala secara nasional dan
pada akhirnya mempengaruhi pula pola-pola relasi kekuasaan di masyarakat
pedesaan. Pengaruh modernisasi birokrasi dan proses demoktratisasi yang paling
terasa adalah adanya konflik diantara elit desa sebagaimana digambarkan oleh
Cahyono (2005). Menurut hasil penelitian Cahyono, terdapat tiga pola relasi
kekuasaan yang terbentuk antar elit desa yaitu pertama, relasi kolusi dan kolaborasi
yang dilakukan oleh kepala desa dalam “menjinakkan” elit desa lain terutama BPD.
Kedua, pola relasi konflik yang saling berhadapan secara antagonis satu sama lain.
Dan ketiga, pola relasi kompromi sehingga melahirkan perdamaian.
Model konflik elitis nampak dalam penelitian Cahyono tersebut dimana
konflik yang terjadi bukan antara elit dan warga tetapi diantara para elit semata.
Kecenderungan inilah yang terjadi sejak lahirnya era reformasi dan otonomi daerah,
sehingga penelitian-penelitian konflik pedesaan lebih cenderung berlangsung dalam
tataran elitis sebagaimana penelitian Nuraini (2010) yang menjelaskan pengaruh
perubahan peraturan perundang-undangan terhadap dinamika konflik yang terjadi
antara kepala desa dan BPD dan Hudayana (2011) yang menggambarkan kontestasi
glembuk22 diantara para elit desa.
Dari gambaran beberapa penelitian tersebut tinjauan teoritis di atas,
setidaknya ada tiga pola relasi kekuasaan utama dalam masyarakat pedesaan yaitu
relasi patronase (patron-klien), kompromi dan konflik. Ketiga pola relasi kekuasaan
tersebut tentunya sangat dipengaruhi pendekatan struktur dan kultural yang
membingkai hubungan kemasyarakatan di pedesaan. Untuk kasus Banten, dengan
22
Strategi politik secara persuasif dan negosiatif yang berguna untuk meraih kredibilitas warga.
35
sub kultur utamanya yaitu ulama dan jawara tentunya pola-pola kekuasaan ini sangat
banyak ditentukan oleh faktor kultural tersebut, sehingga pendekatan politik semata
tidak akan mampu mengurai secara mendalam relasi kekuasaan yang terbentuk.
Oleh karenanya pendekatan sosiologi politiklah yang akan memahami secara utuh
pola relasi kekuasan yang sesungguhnya.
Selain berpengaruh kepada relasi kekuasaan, faktor kultural atau sistem
budaya secara lebih luas membentuk struktur kekuasaan khas masyarakat pedesaan
yang didominasi informal leader23. Pada kasus Banten yang didominasi oleh aspek
religi dan tradisi, maka struktur kekuasaan didominasi oleh unsur-unsur yang
menguasai kedua aspek kultural tersebut , ulama dan jawaralah dalam hal ini yang
paling berperan penting dalam membentuk struktur kekuasaan lokal Banten.
Landasan struktur kekuasaan masyarakat Banten yang berbasis religi dan
tradisi ini mengindikasikan peranan informal leader yang amat besar dalam peri
kehidupan masyarakatnya. Oleh karenanya pengaruh informal leader jauh lebih
besar dibandingkan dengan formal leader secara individual maupun atas nama
organisasi kekuasaannya. Hal ini berbeda dengan gambaran struktur kekuasaan
dalam masyarakat modern sebagaimana dijelaskan Mills (1958)24. Dalam beberapa
kondisi, kekuasaan informal leader ini kemudian bersatu padu dengan kekuasaan
formal sehingga semakin memperkuat peran dan kedudukannya dalam masyarakat.
Hal ini terjadi misalnya ketika seorang jawara dalam suatu waktu menjadi jaro di
desanya.
Dinamika demokrasi desa pun sangat bergantung kepada proses politik di
tingkat lokal yang banyak dipengaruhi oleh informal leader. Oleh karenanya dapat
dikatakan bahwa terbentuknya demokrasi lokal di Banten adalah hasil dari peran
yang dimainkan oleh informal leader. Dengan demikian, otonomi desa sebagai
rangkaian yang tidak terpisahkan dari demokratisasi lokal, pada prinsipnya adalah
sebuah informal governance25.
Meskipun terdapat keterpaduan antara religi dan tradisi, atau dalam hal ini
tidak dapat dipisahkan diantara kedua unsur tersebut, namun sebenarnya struktur
kekuasaan puncaknya berada pada kepemimpinan religi yaitu para ulama.
23
Agama sebagai sistem budaya terurai dalam Geertz (1973:87-125).
24
Sebagai komparasi struktur kekuasaan ini salah satu rujukannya adalah gambaran C. Wright Mills
tentang masyarakat Amerika Serikat yang berbasis ekonomi, politik dan militer, sehingga elit-elit
dalam ketiga bidang tersebut lah yang menguasai struktur kekuasaannya (Mills,1958 dan
Poloma,1990:339). Ketiga basis kekuasaan tersebut berbeda jauh dengan basis kekuasaan dalam
masyarakat pedesaan yang berlandaskan pendekatan kultural.
25
Peters (2007:39) memberikan makna informal governance sebagai suatu proses pengambilan
keputusan formal yang melibatkan peran dari aktor-aktor di luar pemerintahan (non-governmental
actor). Fenomena informal governance ini, dalam kasus Banten dianalisis oleh Hidayat sebagai
shadow state (negara bayangan); konsep yang disitir dari William Reno. Shadow state biasanya akan
hadir, tumbuh dan berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintah formal,
yang disebabkan oleh ketidakberdayaannya dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi,
dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintah. Fenomena ini hampir terjadi di setiap
daerah ketika seseorang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, dan sosial yang besar dan
mampu mengintervensi pemerintah dengan berbagai cara sehingga melemahkan pemerintah yang
sah. Hal tersebut bisa dilihat dari tiga hal penting: yaitu dalam momentum pemilihan kepala daerah
(pilkada) langsung, pemekaran daerah, dan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Dengan
kata lain, proses transisi ditandai dengan minimnya perilaku demokratis (democratic behaviour), baik
pada tataran penyelenggara negara maupun kalangan masyarakat (civil society) (Hidayat, 2007:68;
Syarif Hidayat, Shadow State ……? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten dalam Nordholt,
2007:267).
36
Kepemimpinan ulama Banten sendiri sudah dimulai ketika masa kesultanan dimana
saat itu ulama memainkan peranan tidak hanya sebagai informal leader, tetapi juga
formal leader. Artinya jauh sebelum kondisi struktur kekuasaan yang terbentuk saat
ini, ulama sudah memainkan peranannya. Akar historis inilah yang menjadi fondasi
peran penting ulama dalam sistem sosial politik Banten. Namun ketiga pergeseran
peran terjadi terutama sebagai akibat dari perkembangan prinsip-prinsip administrasi
pemerintahan yang semakin tidak dipahami oleh kaum ulama, kemudian ulama lebih
berkonsentrasi memperkuat posisinya di luar jalur pemerintahan. Tetapi tetap saja
pengaruh kuat ulama masih sangat signifikan dalam menentukan proses
pemerintahan dan urusan-urusan formal lainnya.
Kerangka Pikir
Menurut Marx, masyarakat terbentuk karena konflik. Pemerintahan desa
yang syarat dengan kesenjangan diantara berragam strukturnya juga memiliki
potensi konflik tersebut. Penguasaan alat produksi sebagai potensi konflik yang
diusulkan Marx, kemudian dievaluasi oleh Dahrendorf dengan penekanannya pada
kontrol terhadap alat produksi tersebut. Keduanya sama-sama mempercayai adanya
dua kelas (struktur) yang memiliki perbedaan terhadap akses alat produksi. Dalam
pemerintahan daerah, kedua kelas tersebut adalah antara penguasa politik di tingkat
daerah dan penguasa politik di tingkat desa yang diwakilkan oleh bupati dan kepala
desa.
Pada kondisi dimana bupati mendominasi kepala desa yang mendorong
terbentuknya hegemoni, terciptalah model relasi kekuasaan yang patron-klien.
Tetapi ketika terjadi perubahan nilai-nilai dalam masyarakat terutama berkaitan
dengan perkembangan demokrasi, kondisi ini mendorong terjadinya resistensi baik
yang dilakukan secara hidden transcript maupun public transcript.
Resistensi yang dilakukan oleh kepala desa ini dipandang sebagai suatu
pergeseran relasi kekuasaan dimana yang tadinya terhegemoni oleh dominasi bupati
kemudian bergerak melakukan resistensi khususnya setelah beberapa ikatan yang
memungkinkan tindakan kolektif seperti melalui Ikades (Ikatan Kepala Desa).
Resistensi ini pada akhirnya mendorong terjadinya pergeseran relasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa baik antara kepala desa dan sekretaris desa,
antara kepala desa dan kelembagaan formal desa, kepala desa dan masyarakat, serta
kepala desa dengan struktur supra desa lainnya semisal camat dan unsur
aparaturnya.
Selain pola relasi kekuasaan yang patron-klien, seiring dengan perubahan
tatanan pemerintahan karena perubahan pengaturannya mengakibatkan berubah pula
relasi kekuasaannya yang relatif bersifat pertukaran ketergantungan. Ini terjadi
seiring dengan semakin meningkatnya posisi politik kepala desa. Kepentingan
politik kepala desa dan bupati pun relatif berimbang, saling membutuhkan.
Pertukaran pun terjadi dengan bersandar kepada saling ketergantungan
(interdependensi).
Pada kondisi lain dimana kuasa negara yang “masih” dominan terutama
secara hirarkikal menyebabkan otonomi desa menghadapi jalan terjal. Di satu sisi
otonomi desa dipandang sebagai keharusan dalam menghargai keragaman perbedaan
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, namun di lain sisi terdapat beberapa
kebijakan negara dengan kuasa hirarkikalnya tersebut yang cenderung membatasi
26
Tiga pertanyaan mendasar berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan adalah : 1) bagaimana orang
dapat memanfaatkan sumber daya yang ada dalam masyarakat, 2) bagaimana orang dapat ikut ambil
bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumber daya yang tersedia dan 3) bagaimana
kemampuan orang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
39
27
Data diperoleh melalui teknik wawancara dengan beberapa informan yang terdiri dari sekretaris
desa, sekretaris kecamatan dan camat di Kabupaten Pandeglang.
40
dan jejaring yang lebih besar dibanding bupati. Melalui kelebihan kemampuan
membentuk ikatan-ikatan dalam jaringan sosial, kepala desa berupaya
memaksimalkan keseimbangan kekuasaan dengan bupati. Untuk itulah dalam
penelitian ini jaringan sosial yang dikembangkan oleh kepala desa dengan tinjauan
ketergantungan kekuasaan Emerson akan menjadi alat analisis utama dalam
mengeksplorasi relasi kekuasaan yang terjadi antara bupati dan kepala desa.
Pada akhirnya relasi kekuasaan yang terbentuk terpolakan secara konflik dan
kompromi. Kedua pola relasi kekuasaan ini kemudian berpengaruh secara langsung
atau tidak terhadap stagnannya tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Kerangka pikir tersebut merupakan ilustrasi adanya ketergantungan kekuasaan
kepala desa terhadap bupati yang dipengaruhi oleh pertukaran jaringan yang pada
bagian akhirnya membentuk keseimbangan kekuasaan menuju relasi kekuasaan
yang relatif bersifat konfliktual dan juga kompromis tersebut. Bentuk-bentuk relasi
kekuasaan dalam kedua pola tersebut tidak memberikan kontribusi yang maksimal
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
43
3. METODOLOGI PENELITIAN
Hipotesis Pengarah
Hipotesis pengarah ini bukanlah tafsiran mutlak terhadap apa yang menjadi
landasan teoritis dan empiris dalam penelitian ini, oleh karenanya hal ini sangat
bersifat lentur dan terbuka terhadap berbagai perubahan dalam proses analisisnya.
Urgensi hipotesis pengarah terdapat pada signifikansinya untuk mengarahkan
analisis awal terhadap pertanyaan penelitian yang diajukan. Adapun hipotesis
pengarah ini terrangkum dalam uraian berikut ini:
44
kekuasaan yang banyak dipengaruhi oleh faktor ulama ini tidak memberikan
situasi yang positif terhadap pelaksanaan praktek berdemokrasi secara substansial
karena kekuatan pengaruhnya cenderung “dipolitisir” oleh pihak-pihak tertentu
untuk kepentingan politiknya. Pada beberapa kondisi, ulama relatif menarik diri
dari konstelasi politik lokal yang menyebabkan jawara semakin mengukuhkan
kekuatan politiknya. Pada kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan kepentingan
pemberdayaan masyarakat pedesaan termarginalkan yang membuatnya
terbelenggu dalam kemiskinan.
Paradigma Penelitian
Penelitian ini berupaya untuk memahami relasi kekuasaan dalam struktur
formal yang bersandar kepada tradisi dan religi. Sejatinya relasi kekuasaan dalam
struktur formal berlangsung secara legal-rasional, namun kenyataannya sandaran
tradisi dan religilah yang mendominasi relasi kekuasaan tersebut. Kondisi ini
mengindikasikan tidak berlakunya otoritas legal-rasional sekalipun dalam lingkup
birokrasi formal, padahal sejatinya dalam lingkungan birokrasi lah berlangsung
relasi yang legal-rasional tersebut. Kondisi inilah yang berlangsung dalam hubungan
antara bupati dan kepala desa dimana keduanya sebenarnya menduduki jabatan
formal dalam struktur birokrasi lokal, namun di luar statusnya sebagai bupati dan
kepala desa tersebut, pengaruh ulama dan jawara sebagai tokoh informal
mempengaruhi relasi kekuasaan keduanya.
Menyikapi kondisi di atas, maka peneliti berasumsi posisi supra struktur
tidak menjamin kepatuhan subordinat. Oleh karenanya peneliti menempatkan
paradigma penelitian kritis28 untuk dapat mengeksplorasi secara tepat makna dibalik
pembalikkan hubungan struktural tersebut. Paradigma ini merupakan kritisasi atas
materialisme Marx dan fokusnya yang tiada henti pada struktur ekonomi. Oleh
karenanya mazhab kritis menggeser perhatiannya dari “basis” ekonomi kepada
“suprastruktur” kultural.29 Dalam penelitian inilah prinsip tersebut dijelaskan yaitu
bahwa suprastrukturlah yang memegang kendali kuasa di lokus penelitian.
Meskipun basis ekonomi sebagaimana dalam pandangan materialisme Marx
tidak dapat dipersandingkan dengan kondisi bupati dan jawara yang hubungannya
dibangun berdasarkan relasi struktur formal, namun kritisasinya relatif serupa
dengan adanya penekanan pada pergeseran ke arah suprastruktur kultural yang
mengindikasikan peran informal leader yang diperankan ulama dan jawara. Dalam
hal ini pandangan mazhab kritis juga berlaku dalam kasus pergeseran relasi
kekuasaan bupati dan kepala desa yaitu dari formal leader ke informal leader atau
dari struktur birokasi formal ke arah struktur kultural.
28
Paradigma kritis ini menurut Guba dan Lincoln (Denzin, 2009) menegaskan sebuah ontologi yang
didasarkan pada realisme historis, sebuah epistemologi yang bersifat transaksional dan sebuah
metodologi yang bersifat dialogis dan dialektis.
29
Ritzer (2011b).
46
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis
dekriptif31. Untuk memahami secara mendalam fenomena yang terjadi dalam relasi
kekuasaan secara spesifik di lokus penelitian, maka studi kasus dipilih sebagai
metode penelitiannya. Untuk memahami studi kasus sebagai strategi penelitian,
maka terdapat tiga cara yang dilakukan yaitu: menyelidiki fenomena dimana konteks
kasus berlangsung, memahami batas-batas antara fenomena dan konteks yang tidak
tampak secara tegas, dan menggunakan multi sumber data pada kasus-kasus tertentu
(Yin, 1996:18; Bungin, 2010:20).
Signifikansi data dalam penelitian kualitatif tidak ditekankan kepada
pengukurannya, tetapi data yang dapat menjelaskan fenomena penelitian. Untuk
itulah pengambilan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui metode
utama pengumpulan data yaitu teknik wawancara mendalam (in depth interview)32
dan pengamatan terlibat (participatory observation) yang peneliti anggap paling
ampuh untuk menjelaskan pertanyaan penelitian yang diajukan. Sementara data
sekunder diperoleh melalui teknik studi literatur. Sebagai data utama dalam
31
Analisis deskriptif selain sebagai strategi analisis juga dikaitkan dengan pilihan studi kasus sebagai
strategi metodologinya. Dalam penelitian studi kasus ini, dikaitkan dengan rumusan pertanyaan
penelitiannya apakah “why” (mengapa), “how” (bagaimana) dan “what” (apa/apakah) maka
penelitian studi kasus dapat dikategorikan sebagai penelitian studi kasus eksplanatoris, deskriptif atau
eksploratoris (Bungin, 2010:27).
32
Karena wawancara mendalam tidak membatasi pada pedoman wawancara layaknya wawancara
terstruktur atau semi terstruktur, maka sebagai guidance, pertanyaan difokuskan kepada 5 (lima) isu
relasi kekuasaan yang meliputi urusan pengaturan, pemberdayaan, pembangunan dan pelayanan
publik serta politik sesuai strategi penelitian. Melalui kelima isu tersebutlah, pertanyaan
dikembangkankan sesuai dengan situasi wawancara.
48
penelitian ini adalah data primer tersebut, adapun data-data sekunder digunakan
sebagai data yang sifatnya melengkapi dan mengkonfirmasi data primer.
Wawancara mendalam dilakukan dengan pertimbangan penekanan kepada
lima aspek fokus kajian penelitian yaitu informasi-informasi yang menyangkut
pengaturan, pemberdayaan, pembangunan, pelayanan publik dan politik.
Berdasarkan kelima aspek inilah, informasi berkembang mengalir secara apa adanya
pada informasi-informasi yang peneliti tidak perkirakan sebelumnya. Melalui
proses reduksi data dalam tahap analisis, informasi-informasi ini dipilih dan dipilah
untuk dipergunakan atau disingkirkan sesuai dengan kepentingan analisis penelitian.
Teknik pengambilan informan dilakukan secara purposive melalui teknik key
person yaitu para informan dengan karakter spesifik yang dianggap menguasai
permasalahan terutama informan kunci bupati dan (para) kepala desa. Adapun
informan penelitian tersebut mewakili unsur:
1. Tokoh Ulama
Peneliti memilih Haji Maman Badarzaman sebagai informan dengan
pertimbangan selain sebagai Ketua DKM Masjid Agung Pandeglang dan aktif di
kelembagaan MUI Pandeglang, informan juga memiliki pengalaman sebagai
mantan anggota DPRD Kabupaten Pandeglang dan mantan birokrat. Informan
kedua yang mewakili tokoh ulama adalah Aki Fuad sebagai tokoh ulama yang
berpengaruh di Pandeglang.
2. Tokoh Jawara
Peneliti menentukan tokoh jawara Abah Anda dan Halil. Abah Anda adalah
sesepuh jawara di Pandeglang yang jaringan jawaranya tidak hanya melingkupi
wilayah Provinsi Banten tetapi juga wilayah Provinsi Lampung dan DKI Jakarta.
Selain Abah Anda peneliti mewawancarai Saudara Halil sebagai jawara dan
praktisi debus.
3. Bupati
Informan ini adalah Bupati Pandeglang saat penelitian dilakukan yaitu EK.
4. Kepala Desa
Informan kepala desa dalam penelitian ini adalah kepala desa di tiga lokasi kasus
penelitian yaitu kepala desa yang mewakili unsur kepala desa jawara kolot di
Desa Awilega yaitu AJ, kepala desa jawara pengusaha di Desa Campaka yaitu
AA dan kepala desa jawara politisi di Desa Citalahab yaitu AH. Selain kepala
desa dengan tipikal jawara, untuk kepentingan penelitian, peneliti juga
mengambil tokoh kepala desa bukan jawara sebagai informan yang ditentukan
secara purposive yaitu Kepala Desa Kawoyang dalam hal ini Masrudi.
5. Camat
Camat yang dipilih sebagai informan adalah utamanya camat di tiga lokasi desa
kasus yaitu Aep Saepudin selaku Camat Banjar, Abdjah selaku Camat Kaduhejo
dan Rahkamil selaku Camat Koroncong. Namun untuk memperdalam informasi,
maka ditetapkan pula camat diluar ketiga kecamatan tersebut yaitu Saudara Epi
selaku Camat Sumur dan Saudara Basyar selaku Camat Sindangresmi, hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa adanya rotasi menjadikan penggalian
informasi kepada camat yang relatif baru kurang mendalam, oleh karenanya
perlu untuk menggali informasi kepada camat lain utamanya camat yang
sebelumnya menduduki jabatan camat di tiga desa kasus.
6. Aparatur Kecamatan
Untuk mengkonfirmasi informasi dari informan camat, peneliti menelusurinya
dari Endin Suhaerudin selaku Sekretaris Kecamatan Banjar, Agung Kurniawan
49
Analisis Data
Untuk menjamin keabsahan data, reliabilitas data dilakukan dengan empat
standar yang diintrodusir Lincoln dan Guba yaitu prinsip kredibilitas, transferibilitas,
dependabilitas dan konfirmabilitas. Sementara validitas data dilakukan dengan
teknik triangulasi, dengan tekanannya pada triangulasi sumber. Adapun analisis data
dilakuan secara kualitatif melalui tahapan proses reduksi data, display data dan
pengambilan kesimpulan.
Rangkaian analisis tersebut diterapkan pada unit analisis relasi kekuasaan
bupati dan kepala desa. Relasi kekuasaan tersebut didekati dengan referensi teori
ketergantungan kekuasaan Emerson yang dipersandingkan dengan nilai-nilai sosial-
kultur yang membalut relasi tersebut. Dengan konsentrasi permasalahan pada tiga
desa terpilih yang mewakilkan desa dengan kepala desa jawara kolot, kepala desa
50
jawara pengusaha dan kepala desa jawara politisi, data difokuskan kepada lima
aspek yaitu pengaturan, pemberdayaan, pembangunan, pelayanan publik dan politik.
Analisis data tersebut merupakan proses yang saling terkait, untuk itulah
pada proses reduksi data pun sebenarnya merupakan proses pemaknaan juga, bahkan
menjadi dasar bagi proses penyajian dan pengambilan kesimpulan. Setelah data
terakumulasi, dalam proses reduksi dilakukan beberapa tahapan yang meliputi
perangkuman data (data summary), pengodean (coding), merumuskan tema-tema,
pengelompokan (clustering) dan penyajian cerita secara tertulis (Denzin, 2009:592)
sebagaimana Gambar 3.1. Interpretasi inti dari data penelitian dilakukan dalam
proses pengambilan kesimpulan yang dipedomani dengan tuntunan teori sebagai
persandingannya sehingga pengambilan kesimpulan tersebut terkontrol dan
terhindar dari subyektifitas peneliti.
Langkah-langkah analisis yang peneliti lakukan sebagaimana Gambar 3.1
adalah setelah data terkumpul, kemudian data direduksi berdasarkan kepentingan
penelitian dalam fokus lima aspek sebagaimana tersebut di atas dengan memberikan
kodifikasi A untuk pengaturan, D untuk pemberdayaan, B untuk pembangunan, L
untuk pelayanan publik dan P untuk politik. Selanjutnya dibuat catatan-catatan
reflektif atas data tersebut. Selanjutnya tahapan display data dilakukan dengan
menyajikannya dalam bentuk matriks. Adapun tahap pengambilan kesimpulan
dilakukan dalam dua tahapan yaitu kesimpulan awal yaitu pada saat beriringan
dengan proses penyusunan matriks atas catatan-catatan reflektif yang ada dan kedua
pada saat proses penarikan kesimpulan akhir untuk dijadikan laporan penelitian.
Dalam melakukan analisis data ini, disesuaikan dengan strategi penelitiannya
yaitu dalam hal ini untuk memahami relasi kekuasaan, maka peneliti menggunakan
Teknik Analisis Tema Kultural (Discovering Cultural Themes Analysis) sebagai
teknik analisisnya. Teknik analisis ini mencoba menghubung-hubungkan tema yang
dianalisis sehingga satu sama lain saling memiliki garis simpul yang pada akhirnya
menyerupai sarang laba-laba yang terstruktur (Bungin, 2010:98).
Teknik Analisis Tema Kultural mencoba mengumpulkan sekian banyak
tema, fokus budaya, etos budaya, nilai dan simbol-simbol budaya yang
terkonsentrasi pada domain-domain tertentu. Berdasarkan penelusuran tema-tema
kultural tersebut kemudian terpilah menjadi dua tema yaitu major themes dan minor
themes. Major themes adalah tema yang amat melekat dalam masyarakat tersebut
sehingga manifestasinya seakan hadir dalam setiap aktivitas masyarakat, sedangkan
51
minor themes adalah sebaliknya yaitu tema yang tidak selamanya muncul dalam
setiap aktivitas masyarakat.
Berkaitan dengan relasi kekuasaan bupati dan kepala desa sebagai unit
analisis dalam penelitian ini, maka major themes-nya berada pada seputar
superordinasi bupati secara struktural terhadap posisi subordinat kepala desa, dan
minor themes-nya adalah sebenarnya yang memperkaya dan memperdalam
penelitian ini yaitu tema-tema budaya sebagai tema yang tidak muncul dalam
pemahaman umum tentang relasi tersebut.
Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Sebagai sebuah wilayah administrasi pemerintahan di bawah Provinsi Banten,
Kabupaten Pandeglang juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan pendekatan
budaya dan historis Banten. Untuk itulah dalam melengkapi pembahasan
Pandeglang, perlu sekali untuk selalu mempersatukannya dengan kajian ke-Banten-
an baik sebagai entitas kelembagaan pemerintahan juga sebagai entitas sosial-
kultural.
Kasus penelitian berlangsung pada tiga desa yang dipilih secara purposive
yaitu Desa Campaka di Kecamatan Kaduhejo, Desa Awilega di Kecamatan
Koroncong dan Desa Citalahab di Kecamatan Banjar. Pertimbangan pemilihan
ketiga lokasi desa tersebut berdasarkan tipikal kepala desanya yang
merepresentasikan kepala desa jawara yang sangat mendukung terhadap
kepentingan penelitian.
Dari ketiga desa kasus tersebut juga tergambar kemiskinan yang menjerat
kehidupan pedesaan Pandeglang. Berdasarkan Data Potensi Desa 2014 yang
dikeluarkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,
ketiga desa tersebut termasuk kategori desa tertinggal sebagaimana tercantum dalam
Tabel 3.1 . Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga desa kasus sangat layak untuk
dijadikan kasus kemiskinan di pedesaan Pandeglang.
Dari ketiga desa kasus tersebut justru mengalami degradasi status yaitu Desa
Awilega dan Citalahab dimana sebelumnya tidak termasuk Desa Tertinggal (Data
Desa Tertinggal Tahun 2007 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Pandeglang), bahkan untuk Desa Awilega indeks kemajuannya jauh lebih rendah
dibandingkan dengan Desa Campaka yang tidak pernah beranjak dari status sebagai
desa tertinggal.
Selain ketiga lokasi desa kasus, peneliti juga menentukan secara purposive
Desa Kawoyang sebagai desa yang merepresentasikan kepala desa bukan jawara.
Selain unsur kesengajaan memilih Desa Kawoyang, pertimbangan yang paling
penting adalah gambaran Desa Kawoyang ini yang relatif masih sangat tradisional
52
Tahapan Penelitian
Pada prinsipnya penelitian sudah dilakukan sejak proses penyusunan
proposal penelitian dilakukan yaitu tepatnya sejak Awal Agustus 2013. Pasca
penyusunan proposal tersebut kemudian dilakukan pendalaman pemahaman tinjauan
teoritis. Proses yang panjang peneliti lakukan sehubungan dengan pilihan relevansi
teori yang digunakan yang pada akhirnya memposisikan peneliti untuk menempuh
langkah meninggalkan terlebih dahulu kontemplasi teoritis dengan sehingga
ditemukan formulasi tinjauannya, hingga akhirnya mulai bulan Oktober 2013
dilakukanlah pengumpulan data melalui teknik wawancara mendalam dan
pengamatan terlibat di lokasi penelitian.
Proses pengambilan data dilakukan secara terus-menerus hingga kurang
lebih satu tahun atau tepatnya bulan Oktober 2014 proses tersebut baru dapat
terselesaikan. Lamanya pengumpulan data berkaitan dengan terdapatnya informan
kunci yaitu Kepala Desa Awilega (AJ) yang sangat sukar dilakukan
pewawancaraannya sehubungan dengan kebiasaannya berada di luar desa hingga
tiga sampai dengan enam bulan lamanya, sehingga proses wawancara tersebut baru
dapat dilakukan pada pertengahan bulan September 2014. Selain itu pula protokoler
dalam proses birokrasi kadangkala menjebak peneliti untuk harus bersabar dan
berlama-lama dalam melakukan proses wawancara.
Kondisi lain juga mempengaruhi proses lamanya pengambilan data tersebut
yaitu menyangkut terjadinya proses dinamika politik diantaranya Pemilu 2014 dan
terbitnya regulasi tentang pemerintahan desa dan daerah yang secara langsung
mempengaruhi analisis penelitian ini. Proses dinamika politik (lokal dan nasional)
ini perlu dicermati karena berkontribusi besar terhadap pergeseran-pergeseran yang
terjadi dalam relasi kekuasaan bupati dan kepala desa di Pandeglang.
Setelah melalui proses panjang pengumpulan data tersebut, maka mulai
bulan November 2014 dilakukan pendalaman-pendalaman kajian penelitian ini
melalui konperensi dan diskusi ilmiah sekaligus proses penyusunan draft laporan
penelitian dilakukan.
53
33
Data diakses tanggal 11 Oktober 2014.
54
julukan lain untuk Pandeglang sebagai Kota Badak yaitu hanya sekitar 57 situs. Hal
ini mengindikasikan bahwa kehidupan santri sangat melekat dengan Pandeglang.
Karakteristik Pandeglang sebagai kota santri juga dapat terlihat dari
ramainya tempat-tempat yang dipandang membawa keberkahan yang dikunjungi
para santri dan umat muslim pada umumnya setiap malam Jum’at atau waktu-waktu
yang dianggap memberikan berkah di tempat-tempat maqom Syeh Maulana
Mansyur, Syeh Asnawi Caringin, Syeh Mohamad Sohib, Syeh Dalam Bagi, Syeh
Maulana Maghribi, Batu Qur’an dll.
Pada bab ini beberapa bahasan akan mengikutsertakan juga ulasan tentang
Banten yang secara sosiologi-politik tidak dapat dipisahkan dengan Pandeglang.
Latar belakang historis Pandeglang baik sebagai sebuah wilayah administrasi
pemerintahan maupun akar sosiologisnya yang tidak dapat dipisahkan dari Banten.
Oleh karenanya dalam satu kajian dapat saja penjelasan tentang Pandeglang pada
dasarnya serupa dengan penjelasan tentang Banten, meskipun dalam beberapa hal
terdapat beberapa kesenjangan terlebih setelah Banten menjadi sebuah provinsi
mandiri. Kesenjangan tersebut berkaitan dengan semakin memudarnya tipikal
masyarakat pedesaan Banten terutama untuk wilayah Utara Banten (Kota Tangerang
dan sekitarnya) yang lebih multi ras dan metropolis.
Sebenarnya jika tidak dibatasi jangkauan administrasi pemerintahan,
beberapa wilayah di luar provinsi Banten secara sosiologis juga merepresentasikan
karakter ke-Banten-an dalam hal ini wilayah Barat Bogor (wilayah sekitar Tenjo,
Jasinga dan Parung Panjang). Kondisi ini berkaitan dengan pengaruh masa
kesultanan Banten yang menjangkau wilayah tersebut dan faktor geografi yang
berbatasan langsung dengan Provinsi Banten (Kabupaten Lebak).
Secara umum, Banten memiliki dua sub kultur utama yang satu sama lain
tidak dapat dipisahkan yaitu ulama dan jawara. Hal ini pula berlangsung dalam
kehidupan kemasyarakatan di Pandeglang. Namun demikian, untuk kepentingan
penelitian, dengan tidak mengabaikan dimensi ke-Banten-an secara keseluruhan,
peneliti akan memfokuskan kajian di Pandeglang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Banten baik secara administrasi pemerintahan terlebih secara
sosiologi politik.
34
Melekatnya daerah “hitam” untuk Banten Selatan karena pandangan orang luar terhadap fenomena
mistik (supra natural) di wilayah ini yang faktanya untuk wilayah-wilayah tertentu memang masih
berlangsung. Menurut pengamatan peneliti selain karena faktor budaya, kehidupan masyarakat yang
sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sektor agraris juga memupuk ikatan yang kuat
terhadap alam (makro kosmos), sehingga ketergantungan terhadap alam ini memupuk ketergantungan
pada kekuatan yang maha dahsyat. Beberapa desa di Banten Selatan, terutama di daerah-daerah
terpencil masih didominasi kehidupan mistis misalnya untuk kasus Desa Kawoyang di Pandeglang
dimana di desa ini masih kuat peranan elit desa yang berkaitan dengan alam mistis seperti kuncen dan
pawang. Kuncen menjadi tokoh spiritual yang sering kali menjadi tempat bertanya masyarakat
berkaitan dengan hal-hal yang dianggap di luar nalar ataupun rangkaian-rangkaian adat. Sementara
pawang adalah tokoh yang dianggap memiliki kemampuan menaklukan atau menghubungkan
masyarakat dengan kekuasaan supra natural dari satu hewan tertentu. Para pawang dipercaya
memiliki hubungan dengan para raja/ratu hewan seperti pawang ular berarti memiliki hubungan
dengan ratu ular. Dalam pengamatan peneliti sendiri, pelekatan “hitam” tersebut sebenarnya terlalu
berlebihan karena sebenarnya keberadaan tokoh-tokoh spiritual adalah semata fungsinya dalam
menciptakan social order. Pelekatan wilayah hitam untuk Banten Selatan juga disinyalir adanya
beberapa kelompok masyarakat yang tidak memeluk Islam dalam hal ini adalah beberapa kelompok
masyarakat kaolotan di wilayah Lebak terutama suku Baduy atau sering pula disebut Kanekes atau
Rawayan.
57
berada wilayah Selatan dimana bagian terluasnya inilah yang faktanya kurang
“tersentuh” aspek-aspek pembangunan. Saat ini ibu kota Pandeglang cenderung
hanya menjadi kota perlintasan menuju wilayah Selatan Banten. Kondisi-kondisi
inilah yang di era otonomi daerah diantaranya yang menyulut pergerakan
pemekaran wilayah yang dituntut sekelompok masyarakat Selatan Baik baik untuk
Kabupaten Lebak yang dilakukan oleh masyarakat Cilangkahan (Malingping,
Bayah, Wanasalam dan sekitarnya), maupun masyarakat Cibaliung (Cibaliung,
Cimanggu, Sumur, Cigeulis dan sekitarnya) dan Caringin (Labuan, Patia,
Panimbang dan sekitarnya) untuk Kabupaten Pandeglang.
Indikator keterbelakangan wilayah Selatan Banten ini secara jelas dapat
ditelusuri dari label Kabupaten Pandeglang sebagai daerah tertinggal. Selain
keterbelakangan, kemiskinan juga menjadi salah satu masalah yang dimiliki
Kabupaten Pandeglang. Tabel 4.1 menggambarkan tingkat kemiskinan penduduk
Kabupaten Pandeglang dengan persentase kemiskinan tertingginya terjadi pada
tahun 1999-2000 atau tahun-tahun awal era otonomi daerah. Jika dikaitkan dengan
dimensi ekonomi, keterpurukan di awal era otonomi daerah merupakan salah satu
imbas dari krisis multidimensional di penghujung era orde baru. Namun jika
dikaitkan dengan konstelasi politik, maka hal ini dapat dianalisis sebagai bagian tak
terpisahkan dari proses demokratisasi (otonomi daerah) yang berlangsung dalam
tatara lokal. Jika analisis yang kedua yang dimajukan, maka hal ini dapat dimaknai
bahwa terdapat hubungan antara proses demokratisasi dan kemiskinan yang terjadi.
dengan ketinggian rata-rata di atas 1.000 M dpl dimana dua diantaranya adalah
gunung berapi aktif yaitu Gunung Karang dan Pulosari, sementara wilayah Selatan
dicirikan oleh wilayah laut. Kekhasan wilayah Selatan yang didominasi laut untuk
ini mempengaruhi unsur-unsur budaya nelayan yang lebih menonjol. Selain itu jalur
laut juga memungkinkan terjadinya proses migrasi masuk ke wilayah Selatan
Pandeglang, sehingga penduduk untuk beberapa kecamatan yang memiliki pesisir
seperti Labuan, Caringin, Panimbang dan Sumur sangat multi etnis dan multi kultur
diantaranya etnis Sunda, Jawa, Jawa Pantura dan Bugis. Penggunaan bahasa sehari-
hari yang digunakan pun mengikuti kekhasan multi kultur tersebut dimana dominasi
bahasanya adalah Sunda dan Jawa Pantura.
Selain kondisi alam pegunungan, Pandeglang juga kaya akan jalur sungai
dan pulau-pulau kecil yang mengitari wilayah utara dan selatannya. Setidaknya
terdapat dua puluh sungai besar yang ada dan belum termasuk sungai-sungai kecil
percabangannya. Sementara itu di wilayah laut juga terdapat pulau-pulau kecil yang
beberapa diantaranya dijadikan konservasi alam (flora dan fauna) seperti Pulau
Panaitan, Peucang dan Handeuleum serta terdapat juga yang dijadikan tempat wisata
seperti Pulau Umang.
Keberadaan etnis Jawa dan Jawa Pantura di wilayah Selatan Pandeglang
tidak hanya disebabkan oleh jalur laut sebagai persebarannya, namun karena
kebijakan kependudukan yang dilakukan oleh pemerintahan masa orde lama. Pada
tahun 1952, pemerintah melakukan kebijakan untuk memindahkan penduduk dari
wilayah-wilayah Pantura ke wilayah Pandeglang Selatan – sekarang menjadi
beberapa kecamatan diantaranya Sukaresmi, Panimbang dan Sobang. Kebijakan
migrasi penduduk ini dilakukan kembali pada tahun 1960-an atau pasca penumpasan
Gerakan 30 S PKI oleh orde baru. Migrasi penduduk yang kedua ini sangat khas
karena selain para penduduk biasa juga diantaranya adalah para penduduk eks PKI
(warga hukuman) dan eks militer. Keberadaan warga eks militer sendiri difungsikan
untuk memantau kegiatan warga eks PKI. Berkat keberadaan warga eks PKI inilah
sebenarnya yang paling berjasa membuka akses jalan darat ke wilayah-wilayah
Selatan Pandeglang dimana pada masa sebelumnya hanya bisa ditempuh melalui
jalur laut. Selain dari kedua gelombang migrasi tersebut, berdatangan pula kelompok
penduduk setelahnya yang sebagian besar karena inisiatif sendiri untuk mencari
penghidupan yang lebih baik. Dengan mengambil kasus di Kecamatan Sobang,
gambaran ketiga gelombang migrasi penduduk dibandingkan dengan keadaan
penduduk saat ini terurai dalam Tabel 4.2.
Jumlah (dalam
No. Golongan Penduduk
perkiraan)
1. Keluarga Migran Tahun 1952 dan generasi selanjutnya 45%
2. Keluarga Migran Tahun 1960-an dan generasi 40%
selanjutnya
3. Keluarga pendatang diluar kedua gelombang migrasi 15%
1952 dan 1960-an
Sumber: Muslim (2014)
maka wilayah Selatan jauh lebih berkembang karena sumber daya laut dan
pariwisata menjadi faktor penting tumbuh dan berkembangnya ekonomi di wilayah
ini. Inilah mungkin salah satu pertimbangan utama dari pemerintah pusat untuk
menjadikan wilayah Selatan Pandeglang sebagai salah satu kawasan ekonomi
khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2012
tentang Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung. Tanjung Lesung sendiri adalah
satu wilayah tanjung yang sangat potensial untuk dijadikan kawasan pariwisata
karena memiliki alam pantai dan laut yang sangat eksotis.
mendasari penegasan hubungan antara guru dan murid pada lingkungan pesantren
lebih dalam daripada sekedar pentransferan ilmu pengetahuan seperti halnya dalam
sekolah modern.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hubungan yang terbangun antara
kyai dan santri diibaratkan sebagai hubungan tuan dan pelayannya. Gambaran ini
jelas mengindikasikan hubungan dominasi yang kuat dari kyai terhadap santri. Santri
terhegemoni secara kuat dalam kuasa kyai berdasarkan superioritas kuasa
pengetahuannya. Meskipun digambarkan layaknya hubungan tuan dan pelayannya,
namun bentuk pengabdian santri tidaklah identik dengan perbudakan, tetapi hal ini
terjadi karena takjim (penghormatan yang sangat tinggi) dari seorang murid terhadap
gurunya.
Hegemoni santri oleh kyai ini tidak diciptakan oleh kyai, tetapi justru santri
yang membangunnya. Hal ini jelas berbeda dengan pola-pola hegemoni negara
sebagaimana digambarkan Gramsci atau hubungan patron-klien yang dijelaskan
Scott. Jika dalam hubungan negara dan rakyatnya, hegemoni tersebut dipelihara oleh
negara untuk melanggengkan kekuasaannya, sementara dalam hubungan kyai dan
santri yang melanggengkannya justru dari kelas subordinat (santri). Hal ini juga
berbeda dengan gambaran hubungan kuasa tengkulak terhadap para petani di
pedesaan yang relatif bersifat patron-klien dimana para tengkulaklah yang
memelihara hubungannya sehingga para petani merasa terlindungi dan tergantung
sangat kuat atas tengkulak. Untuk itulah memahami hubungan kyai dan santri tidak
hanya bisa dilihat dari konsep hegemoni Gramsci atau patron-klien Scott saja, tetapi
perlu secara lebih dalam dengan menggali balutan aspek-aspek budaya pesantren.
Berdasarkan proses pembentukan hubungannya pun berbeda dimana dalam
hubungan patron-klien pihak tengkulak yang mendatangi petani, atau negara yang
berinisiatif dalam hegemoni negara-rakyat, sementara dalam hubungan kyai dan
santri para santrilah yang awalnya mendatangi kyai dengan tujuan menuntut ilmu.
Dari aspek ini dapat dipandang bahwa yang membutuhkan adalah pihak santri,
bukan kyai. Kondisi ini jelas berbeda dengan konsep hegemoni negara-rakyat atau
dalam hubungan patronase tengkulak-petani.
Alasan pemeliharaan hubungan hegemoni oleh santri sekali lagi didasarkan
kepada harapan akan keberkahan35. Harapan keberkahan ini setidaknya nampak dari
keyakinan para santri bahwa “ciduhna kyai eta barokah keur santri” (ludahnya kyai
itu adalah berkah untuk santri). Namun sebenarnya tidak semua santri hanya
mengejar keberkahan yang diberikan oleh kyai. Dalam hal ini terdapat dua tipikal
santri yaitu pertama yang hanya menuntut ilmu keagamaan dan yang kedua adalah
santri yang tidak hanya mengkonsentrasikan dirinya dalam menuntut ilmu tetapi
juga mengejar keberkahan yang diberikan oleh kyai. Dalam kondisi tertentu,
berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, terdapat santri yang justru
hanya mengejar keberkahan kyai, sehingga aspek penguasaan ilmunya sebenarnya
sangat nihil.
Peristilahan khadam bagi santri yang dapat diartikan sebagai pelayan,
tameng, penjaga, atau pengawal santri mempertegas posisi subordinat santri dalam
hubungannya dengan kyai. Pada dasarnya peran penghambaan santri sebagai
35
Keberkahan dalam hal ini tidak hanya dipandang sebagai ganjaran ektrinsik belaka berbentuk
materi namun juga berwujud ganjaran intrinsic sebagaimana konsep pertukran Blau (Poloma,
1990:)82)
62
khadam-nya kyai ini adalah dengan tujuan untuk mencari keberkahan yang
diberikan oleh kyai selain sebagai bentuk penghargaan dari murid kepada gurunya.
Perlu dijelaskan disini tentang konsep keberkahan yang dimaksud oleh
peneliti. Keberkahan yang diterima oleh santri dari kyai berwujud penguasaan
keilmuan yang menggiringnya suatu saat nanti menjadi ahli agama atau ahli hikmah.
Perwujudan menjadi ahli agama (kyai besar) sangat erat kaitannya dengan keridhoan
dan keikhlasan kyai kepada santri tertentu yang dipandangnya dapat meneruskan
keilmuan agamanya. Dalam hal ini kyai sangat memahami karakter santri yang akan
dipilih menjadi penggantinya, sehingga dalam banyak kasus santri yang terpilih ini
biasanya dijadikan menantu kyai. Sementara itu perwujudan menjadi ahli hikmah
erat kaitannya dengan keridhoan kyai memberikan amalan-amalan (berbentuk
wiridan atau hizib) yang mengarahkan santrinya memiliki kemampuan supranatural
tertentu dimana suatu saat nanti membentuknya menjadi kyai hikmah.
Hubungan guru dan murid dalam kekhasan kehidupan pesantren ini membuat
struktur kekuasaan pesantren memiliki karakteristik spesifik yang berdasar kepada
hubungan tersebut. Kyai dalam hal ini sebagai pimpinan tertingginya menempati
struktur paling tinggi, bahkan menjadi pusat kekuasaan pengambilan keputusan
dalam hal apa saja. Pengambilan keputusan itu sendiri meskipun sering dibicarakan
secara musyawarah, namun pada prinsipnya kendali kekuasaan berada pada
keputusan komando dari kyai. Mengingat harapan akan keberkahan sebagaimana
diuraikan sebelumnya, maka keputusan satu komando ini berjalan secara efektif dan
efisien. Berdasarkan pengamatan penelitian, tidak ditemukan dalam pesantren
salafiyah yang memiliki lebih dari satu orang kyai. Oleh karena pucuk pimpinan
pesantren selalu berada pada satu orang kyai.
Selain kyai, struktur kekuasaan pesantren juga menempatkan istri kyai (nyai
atau nyi) pada posisi yang strategis. Walaupun tidak banyak terlibat dalam
pengambilan keputusan, namun petunjuk, arahan atau perintahnya menjadi rujukan
para santri terlebih para santri perempuan. Sering pula para santri perempuan
tersebut diperintahkannya untuk membantu urusan rumah tangga keluarga kyai
seperti memasak dan mengasuh anak. Para santripun menempatkan penghargaan
yang tinggi terhadap istri kyai, meskipun penghargaannya tidak setinggi terhadap
kyai itu sendiri.
Diantara para santri itu sendiri juga diangkat seorang pemimpin yang disebut
lurah kobong. Lurah kobong ini biasanya diangkat dari santri yang paling senior,
tetapi kemampuan penguasaan keilmuan keagamaan juga menjadi pertimbangan
utamanya. Pertimbangan kemampuan keagamaan menjadi penting karena ia juga
dilibatkan dalam pola pengajaran pesantren yaitu dalam memberikan pengarahan
dan pengajaran terutama bagi santri-santri muda.
Seorang lurah kobong memiliki kekuasaan yang besar karena ia menjadi
kepanjangan tangan kyai dalam menanamkan kedisiplinan para santri. Ketertiban
santri dalam beribadah, kebersihan lingkungan pesantren, penegakkan aturan-aturan
pesantren dan lain-lain yang berkaitan dengan kehidupan di kobong36 menjadi
tanggung jawab pengurusan lurah kobong. Karena posisinya yang cukup strategis,
para santri memberikan penghargaan yang cukup tinggi terhadap lurah kobong ini,
setiap perintah dan komandonya cukup efektif terlebih jika itu mengatasnamakan
kyai.
36
Kobong adalah sebutan lokal untuk bangunan pesantren salafiyah yang biasanya berbentuk
memanjang dengan jendela yang kecil.
63
Agama dan Adat Istiadat: Antara Loyalitas Religi, Kearifan Tradisi dan
Sinkretis
Adanya keyakinan melekat bagi sebagahagian kelompok masyarakat di
pedesaan Pandeglang bahwa jika tidak mengikuti atau menyumbangkan sesuatu
untuk prosesi keagamaan atau adat; maka sejumlah bencana akan menimpanya,
menjadikan masyrakat seolah berlomba untuk menyukseskan hajatan agama atau
adat tersebut. Hal ini mereka lakukan meskipun dengan berhutang, menggadaikan
barang atau bahkan menjual aset properti keluarga. Sehingga tidak aneh misalnya
jika dalam acara muludan sering dijumpai masyarakat yang menggadaikan atau
bahkan menjual harta kekayaan keluarganya untuk bisa mengikuti prosesi
seremonial ini. Perlakuan terhadap prosesi agama maupun adat itu dilakukan sebagai
wujud kecintaan terhadapagama dan adat.
Bagi masyarakat pedesaan di Pandeglang, agama dan adat adalah satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal inilah yang menjadikan acara-acara penting
dalam agama disatupadukan dengan prosesi adat semisal acara ngabubur suro yang
merupakan peringatan agama terhadap kejadian banjir bandang pada masa Nabi Nuh
(salah satu nabi dalam agama Islam) dirangkaikan dengan keyakinan bersedekah
melalui makanan bubur, belum lagi acara-acara seperti ngupat-ngaleupeut (membuat
sejenis makanan ketupat), mapais-masung (membuat kue lokal pais dan pasung).
Prosesi keagamaan yang dibalut dengan rangkaian penyediaan makanan tradisional
dimaknai sebagai wujud syukur atas limpahan berkah yang telah diberikan oleh
Yang Mahakuasa.
Prosesi kegamaan tersebut pada prinsipnya adalah cara mengingat kejadian-
kejadian penting dalam agama Islam, sehingga tradisi penyediaan makanan
tradisional dimaknai sebagai cara atau upaya untuk mengikat tali kekerabatan
(silaturahmi) antara keluarga atau diantara kelompok masyarakat dengan cara
bertukar makanan. Sehingga sudah menjadi kebiasaan jika antara anak dan orang tua
atau antara mertua dan menantu atau diantara sesama keluarga saling bertukar
mengirimkan makanan demi menjalin ikatan kekerabatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut pada prinsipnya adalah bagaimana upaya
masyarakat untuk memperkuat dan melestarikan ajaran-ajaran Islam dalam
kehidupan yang lebih nyata sekaligus bagian dari proses pendalaman tradisi kepada
65
generasi penerusnya. Namun demikian pada beberapa prosesi terutama prosesi adat,
nampak pula hal-hal yang mencirikan bentuk-bentu sinkretisme. Hal ini misalnya
adanya sasajen (sesajian) yang dipercaya akan memberikan berkah pada beberapa
acara baik acara pribadi maupun acara masyarakat tertentu seperti sedekah bumi.
Kegiatan semisal membakar kemenyan pun sering dilakukan seperti dalam prosesi
keceran. Pembakaran kemenyan ini dipercaya akan menghadirkan roh-roh orang
besar dan disucikan seperti untuk kalangan pegiat Cimande (jawara beraliran
Cimande) misalnya Abah Khaer, Abah Main ataupun Abah Ranggawulung.
Percampuran antara religi dan tradisi juga nampak dari beberapa ritual
keagamaan semacam nadom dan maca syech. Nadom adalah cerita-cerita ke-Islaman
yang didominasi oleh cerita nabi dan rasul. Nadom ini dibacakan selama satu malam
pada acara-acara hajatan masyarakat (acara pernikahan atau khitanan) atau acara
keagamaan. Sementara maca syech adalah ritual keagamaan menceritakan
kehidupan perjalanan Syech Abdul Qodir Jaelani, seorang tokoh sufi Islam yang
sangat disucikan oleh kalangan masyarakat Islam pedesaan Banten. Kedua ritual ini
dibacakan dengan menggunakan sejenis irama lagu tradisional yang disebut pupuh37.
Masyarakat meyakini bahwa dengan memperdengarkan kedua ritual ini, maka roh-
roh orang suci (nabi, para wali dan terutama Syech Abdul Qodir Jaelani) akan
memberkahinya.
Keberadaan petilasan-petilasan yang mengindikasikan sinkretisme juga
nampak pada peristilahan-peristilahanya seperti petilasan yang dianggap
peninggalan salah satu penyebar Islam di Pandeglang yaitu Sanghyang Sirah dan
Sanghyang Dampal. Berdasarkan kedua istilah tersebut nampak jelas masih adanya
pengaruh Hinduisme, namun demikian sebagian masyarakat meyakininya sebagai
penyebar Islam terutama untuk wilayah Banten Selatan.
Keyakinan-keyakinan dalam kehidupan keseharian masyarakat Pandeglang
juga masih didominasi oleh pengaruh Hindu-Budha, animisme dan dinamisme
semisal konsep budaya pamali38 dan sandekala39. Namun demikian beberapa ritual
yang dipandang jauh dari nilai-nilai ke-Islaman, seiring dengan semakin
menguatnya gerakan-gerakan pemurnian Islam secara global termasuk di Banten
utamanya di Pandeglang, menggerus pula tradisi-tradisi yang dipandang
“mengotori” nilai-nilai Islam. Salah satu ritual tradisional itu misalnya beluk40. Di
sisi lain, semakin modernnya masyarakat juga dipandang bagian yang penting
37
Pupuh adalah sejenis irama lagu dalam seni karawitan yang dikenal dalam adat Sunda ataupun
Jawa. Jenis pupuh diantaranya seperti sinom, kinanti, asmarandana dan dangdanggula. Setiap bagian
dalam nadom ataupun maca syech terdapat aturan untuk membacanya dengan jenis-jenis pupuh
tersebut.
38
Pamali adalah sejenis larangan-larangan dalam tradisi lokal seperti dilarang memakan jenis-jenis
atau bagian-bagian tertentu dari binatang seperti ikan Bogo (sejenis ikan Gabus) atau dilarang
memakan bagian belakang ayam untuk laki-laki yang belum menikah. Budaya pamali dituturkan
biasanya dengan tanpa alasan-alasan yang mendasarinya, namun diyakini masyarakat jika
melanggarnya maka akan terkena musibah tertentu sebagai bagian dari sanksi pelanggarannya.
39
Sandekala adalah larangan melakukan sesuatu pada kondisi, tempat atau waktu-waktu tertentu
misalnya bersiul di hutan ataupun melakukan kegiatan tepat jam 12 siang yang disebut waktu
tangange.
40
Beluk adalah lantunan kalimat dalam bahasa Sunda yang dulunya dipercaya memanggil roh-roh
nenek moyang. Beluk ini sering juga dilakukan pada malam-malam suci Islam seperti Idul Fitri dan
Idul Adha. Oleh karena kekhawatiran dari kalangan ulama terhadap kesempurnaan ajaran Islam,
maka lambat-laun beluk ini semakin terpinggirkan.
66
41
Peureuhan adalah semacam ujian memperkuat ketahanan fisik dengan cara diurut dan dipukul baik
dengan tangan kosong maupun alat keras lainnya (biasanya dengan menggunakan batang tebu) oleh
guru silat atau murid senior. Sementara ulinan adalah latihan untuk memperdalam permainan jurus.
Kegiatan-kegiatan pelatihan bela diri tersebut banyak dilakukan di malam Jum’at dan malam
Minggu, sementara untuk malam Sabtu adalah malam larangan melakukan latihan bela diri sekalipun
hanya ulinan.
67
Jalinan ulama dan jawara sebagai guru dan murid atau tuan dan pengawalnya
mulai berubah karena intervensi politik pada masa orde baru. Kebijakan
pemerintahan pada saat itu untuk menyeragamkan kelompok-kelompok sosial dalam
format politik korporatis yang dibalut strategi militer dan kekerasan menyebabkan
terpasungnya orientasi politik. Begitu pula halnya yang terjadi dengan ulama dan
jawara yang diorientasikan dalam satu wadah Satkar Ulama untuk kaum ulama dan
Satkar Jawara untuk para jawara. Meskipun peran sosialnya tidak jauh berbeda
dengan pada masa orde lama, ulama dan jawara pada masa ini cenderung digunakan
pemerintah sebagai alat politik dalam hal ini sebagai vote getter belaka. Di lain hal,
42
Istilah ini semata merupakan upaya derogasi jawara oleh Belanda, namun faktanya kondisi inilah
yang mengawali konseptualisasi jawara sebagai pelaku tindakan negatif yang selama ini menjadi
terkonstruksi dalam masyarakat.
68
di rangkulnya jawara oleh pemerintah ternyata menjadi pilar awal dominasi jawara
dalam politik lokal. Hal ini terjadi karena untuk merangkul jawara, pemerintah
memberikan kesempatan kepada kaum jawara untuk exist dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi dan pembangunan melalui diserahkannya berbagai macam proyek
pembangunan infrastruktur yang sangat marak pada masa itu. Hal ini semakin
memupuk peran politik jawara karena ikatan ekonomi, politik dan pemerintahan
sangat erat. Sementara itu, meskipun dirangkul pemerintah, tetapi hanya difungsikan
sebagai alat politik saja karena tidak mungkin melibatkan ulama secara aktif dalam
kegiatan ekonomi dengan cara memberikannya peluang-peluang proyek
pembangunan.
Pada masa era otonomi daerah, jalan untuk mendominasi politik lokal bagi
jawara semakin terbuka lebar karena seiring menguatnya nilai-nilai demokrasi
(lokal) menguat pula peran aktor-aktor didalamnya. Jawara yang sudah memiliki
kekuatan ekonomi semakin mudah menguasai sektor sosial-politik secara
keseluruhan. Semakin beragam pulalah peran sosial-politik jawara dari perannya
sebagai guru silat untuk jawara di level pedesaan sampai dengan pejabat politik di
level lokal dan nasional. Sementara itu, ulama tetap menjalankan perannya sebagai
pelaksana syiar/dakwah (kyai bale rombeng) dan sebagian ikut terlibat dalam politik
(kyai politik) sebagai vote getter. Tetapi perlu dicatat bahwa meskipun keterlibatan
politik ulama relatif kecil jika dibandingkan dengan jawara, namun pada prinsipnya
proses pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan di tingkat lokal sangat
bergantung kepada ulama terlebih hal-hal yang sensitif terhadap masalah religi dan
tradisi. Oleh karenanya secara struktur kekuasaan, meskipun peran politik ulama
dalam pengertian keterlibatannya secara aktif dalam politik lokal sangat minimalis
tetapi pengaruh sosial-politiknya masih mendominasi. Dengan demikian secara
struktur kekuasaan, posisi ulama (yang dalam penelitian ini peneliti posisikan dalam
kelas atas) tetap berada di atas jawara (sebagai kelas menengah) dengan catatan
bahwa jawara yang bisa bertransformasi menjadi pejabat politik dapat
diklasifikasikan sebagai kelas atas (kelas penguasa).
Pergeseran peran sosial-politik ulama dan jawara juga erat kaitannya dengan
dinamika pelaku penguasa yang terjadi dari setiap periodenya sehingga terdapat
semacam suksesi kepemimpinan politik diantara setiap periode pemerintahan.
Berdasarkan pertimbangan pergantian pelaku penguasa tersebut dikaitkan dengan
struktur kekuasaan yang ada dapat digambarkan dinamikanya sesuai Tabel 4.4.
Dalam Tabel 4.4 nampak bahwa terjadi pergantian posisi puncak struktur
kekuasaan (penguasa) yang dimulai oleh para tokoh ulama pada Masa Kesultanan
Banten. Pada masa ini, dalam konsep ulama-umaro tentunya kaum ulama
menempati struktur tertinggi karena menguasai pengambilan kebijakan di tingkat
kesultanan yang didukung oleh para bangsawan. Pada Masa Kolonialisme Belanda,
seiring dengan melemahnya kekuasaan kesultanan maka melemah pulalah pengaruh
kaum ulama yang pada akhirnya terpinggirkan ke pedesaan. Sementara puncak
struktur kekuasaan diambil oleh kaum kolonialis melalui para aparaturnya
(birokrasi). Pada Masa Awal Kemerdekaan, dengan tumbangnya kekuasaan
kolonialis memberikan kesempatan bagi kaum ulama untuk mereaktualisasikan
kepemimpinan politiknya sehingga tampillah para tokoh ulama menjadi tokoh
pemerintahan pada masa itu. Di Era Orde Baru dengan adanya obesitas birokrasi
sebagai wujud kekuasaan negara yang “berlebih-lebihan” menjadikan melemahnya
kelembagaan sosial termasuk kelembagaan ulama dan jawara. Strategi politik
korporatisasi Orde Baru pada saat itu semakin memperparah keadaan ini, sehingga
di satu sisi birokrasi semakin tidak tertandingi (dengan dukungan Golkar), di sisi
69
lain ulama semakin terpinggirkan secara politik. Kondisi ini berubah setelah
memasuki Era Otonomi Daerah yang memberikan celah meningkatnya fungsi
kelembagaan sosial termasuk dalam hal ini peran ulama. Hal ini menyebabkan
ulama kembali menempati posisi struktur kekuasaan namun karena tidak didukung
oleh kemampuan manajerial dan administrasi pemerintahan kontemporer, sehingga
berbeda dengan pada Masa Kesultanan Banten, ulama lebih memposisikan diri
sebagai penguasa tradisi yang mengontrol jalannya pemerintahan melalui power by
influence (kekuasaan sosial) yang dimilikinya.
Periodisasi Pemerintahan
Kelas Kesultanan Kolonialisme Awal Era Otonomi
Orde Baru Keterangan
Banten Belanda Kemerdekaan Daerah
Kelas Tokoh Ulama Birokrasi Tokoh Ulama Birokrasi Tokoh Ulama Proses penguasaan
Penguasa dan dan Birokrasi (Negara) dan oleh satu kelas yang
Bangsawan Bupati berlansung tidak
Kesultanan selamanya berjalan
berdasarkan prinsip
hegemoni tetapi juga
pada satu masa
berlangsung pula
dominasi-koersi
seperti yang terjadi
pada Masa
Kolonialisme.
Kelas Jawara dan Ulama, Jawara dan Jaro Ulama, Birokrasi, Kelas Menengah pada
Menengah Jaro Jawara dan Jaro Jawara dan Kepala Desa Era Otonomi Daerah
Kepala Desa dan Jawara secara lebih lengkap:
Birokrasi Lokal,
Politisi Lokal, Tokoh
Jawara, Kepala Desa,
Ustadz, Jawara
Broker, Birokrasi
Desa dan Elit Desa
(juragan petani,
pengusaha dan tokoh
pemuda)
Kelas Petani Petani Petani Petani Petani
Bawah Penggarap Penggarap dan Penggarap dan Penggarap Penggarap
dan Buruh Kasar Buruh Kasar dan dan
Buruh Kasar Buruh Kasar Buruh Kasar
Sumber: Data berbagai sumber yang diolah peneliti.
Pergeseran yang terjadi dalam peran sosial politik ulama dan jawara dapat
dimaknai sebagai berikut: pertama, kebijakan politik negara sangat berpengaruh
terhadap peran dan aktivitas sosial politik ulama dan jawara. Artinya adalah bahwa
terdapat beberapa kebijakan yang langsung atau tidak langsung ditujukan untuk
mempersempit atau memperluas gerakan ulama dan jawara. Misalnya adalah
kebijakan yang dilakukan kolonialis Belanda dengan mempolitisir jawara sebagai
bandit sosial jelas merupakan langkah pensterotipan kaum jawara yang pada
akhirnya menurunkan derajat sosialnya. Begitu pula halnya dengan yang terjadi pada
masa orde baru dimana pembentukan satkar ulama dan jawara tidak lebih dari upaya
dari pemerintah untuk mengontrol aktivitasnya. Kedua, hal ini mengindikasikan pula
70
43
Meskipun C. Wright Mills tidak mengatakan secara tegas mengenai sumber kekuasaan elit, tetapi
ia menyatakan bahwa “…...........the men of the elite are those at the head of the large economic,
political, and military organizations……….”, yang dapat dimaknai bahwa ekonomi, politik dan
militer sebagai sumber kekuasaan (Hartmann 2004:41).
71
kyai hikmah dan kyai politik yang pada akhirnya tidak memiliki santri (pesantren).
Untuk itulah kyai politik lebih banyak mencurahkan waktunya dalam urusan politik
juga kemasyarakatan, oleh karenanya saluran kekuasaan utamanya berfokus pada
partai politik dan organisasi kemasyarakatan.
Nampaknya ada simbiosis mutualistis antara sumber daya ekonomi jawara dengan
potensi sumber daya politik lokal. Oleh karena perbedaan sumber kekuasaan inilah
maka jawara politik relatif banyak bermain dalam supra struktur politik lokal,
sementara jawara broker terpinggirkan hanya mengurusi sektor-sektor informal dan
dalam beberapa hal kadangkala “dimanfaatkan” oleh aktor politik lokal termasuk
oleh jaringan jawara sebagai vote getter.
Struktur kekuasaan masyarakat Banten dalam kaitannya dengan ulama dan
jawara sangat ditentukan oleh tingkatan keulamaan dan kajawaraan-nya. Untuk
itulah, maka struktur kekuasaan yang terbentuk menggambarkan tingkatan ulama
dan tingkatan kajawaraan yang ada di masyarakat. Dalam hal ini, maka semakin
tinggi tingkat keulamaan semakin tinggi pula struktur yang dimilikinya. Gambaran
struktur kekuasaan dengan mempertimbangan terminologi ulama tersebut dijelaskan
dalam Gambar 4.3.
Dalam Gambar 4.3 tersebut dapat dijelaskan bahwa tidak selamanya jawara
berada pada posisi subordinat terhadap ulama. Dalam kondisi dimana pengaruh
sosial jawara lebih besar misalnya perbandingan antara jawara kolot dengan ustadz
atau juga antara jawara politik dengan ustadz, maka posisinya relatif lebih tinggi
jawara. Lain halnya jika diperbandingkan dengan jenis ulama lainnya yaitu kyai
hikmah, kyai politik, kyai bale rombeng ataupun abuya, maka jawara berada pada
posisi subordinat. Adapun kyai hikmah, kyai politik, jawara non politikdan jawara
politik digambarkan dalam satu lingkaran dengan maksud menjelaskan bahwa
diantara keempat unsur tersebut terjadi hubungan pertukaran sehingga diantara
unsur-unsur tersebut pada dasarnya berlangsung hubungan ketergantungan
kekuasaan satu sama lain.
73
44
Status kemajuan dan kemandirian desa ditetapkan berdasarkan Data Indeks Desa Membangun
sejumlah 75.754 Desa yang merujuk pada Data Potensi Desa Tahun 2014. Klasifikasi status dan
kemandirian desa berdasarkan Indeks Desa Membangun adalah (a) Desa Mandiri atau Desa Sembada
dengan indeks > 0,8155, (b) Desa Maju atau Desa Pra-Sembada dengan indeks > 0,7072 s.d. 0,8155,
(c) Desa Berkembang atau Desa Madya dengan indeks > 0,5989 s.d. 0,7072, (d) Desa Tertinggal atau
Desa Pra-Madya dengan indeks > 0,4907 s.d. 0,5989 dan (e) Desa Sangat Tertinggal atau Desa
Pratama dengan indeks ≤ 0,4907.
45
Sebagaimana Tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Tahun
2006-2010, Bappeda Kabupaten Pandeglang. Status desa hanya dipilah ke dalam dua kategori yaitu
desa tertinggal dan desa maju.
74
Sumberjaya (ibu kota Kecamatan Sumur) dan Desa Patia (ibu kota Kecamatan
Patia). Bahkan kondisi yang juga sangat ironis adalah ternyata dari 13 kelurahan
yang ada terdapat 1 diantaranya yang berstatus tertinggal yaitu Kelurahan Babakan
Kalanganyar yang justru berada di Kecamatan Pandeglang sebagai ibu kota
kabupaten.
Dari kedua rujukan status desa di Kabupaten Pandeglang, sangat jelas
mengindikasikan adanya penurunan derajat kesejahteraan masyarakat pedesaan
Pandeglang setidaknya dalam 7 tahun terakhir.
Seturut dengan kondisi ketidaksejahteraan masyarakat pedesaan Pandeglang,
dari aspek keuangan daerah mengindikasikan bahwa Derajat Otonomi Fiskal (DOF)
atau kemandirian keuangan daerah juga sangat rendah. DOF yang menggambarkan
ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat mengindikasikan bahwa Kabupaten
Pandeglang sangat bergantung kepada pendapatan yang bersumber dari bantuan
pusat sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 4.7.
Rata-
82.717.100.702 1.463.805.740.181 5,47 Sangat Kurang
rata
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pandeglang, 2015
46
Kategori dilakukan berdasarkan rasio perbandingan Pendapatan Asli Daerah Sendiri terhadap dana
bantuan pusat dengan kategori rasio 0% - 10% dalam kategori sangat kurang, 10,01% – 20% dalam
kategori kurang, 20,01% - 30% dalam kategori sedang, 30,01% - 40% dalam kategori cukup, 40,01%
- 50% dalam kategori baik dan > 50% dalam kategori sangat baik (Munir, 2004:24).
47
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah
Tertinggal Tahun 2015 – 2019. Penetapan daerah tertinggal dilakukan berdasarkan kriteria: a.
perekonomian masyarakat; b. sumber daya manusia; c. sarana dan prasarana; d kemampuan keuangan
daerah; e. aksesibilitas; dan f. karakteristik daerah.
75
membalut relasi tersebut. Pada akhirnya kedua pendekatan ini (sosiologi dan politik)
tidak dapat dilepaskan satu sama lain untuk memahami secara mendalam relasi desa
dan supra desa dari setiap periode pemerintahan yang pernah ada, saat ini dan masa-
masa yang akan datang.
Pada masa kolonialisme, desa diposisikan sebagai pendukung keberhasilan
program-program pemerintahan kolonialis berkaitan dengan pengerahan masa. Hal
ini terjadi karena sebagian besar penduduk terkonsentrasi di pedesaan. Perekrutan
besar-besaran penduduk desa dilakukan dengan satu tujuan memperkuat posisi
kolonial sebagaimana yang terjadi pada program pengerahan tenaga kerja paksa rodi
di era kolonialisme Belanda maupun romusha di era pendudukan Jepang.
Pada masa kolonialisme Belanda, peraturan perundang-undangan tentang
pemerintahan desa yang berlaku pertama kali adalah Inlandse Gemeente Ordonantie
(IGO) yang terbit tahun 1906. Dalam tinjauan sosiologi politik, kelahiran IGO ini
adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial dalam menyikapi tingkat
kemiskinan yang semakin merajalela terutama sehubungan dengan ledakan
penduduk Jawa dan Madura.
Dengan kondisi sosial yang sangat terpuruk tersebut, desa pun menjadi alat
eksploitasi pokok untuk meningkatkan kesejahteraan diantaranya dibentuknya unit-
unit ekonomi pemerintahan di desa seperti bank desa yang justru kehadirannya
semakin memperburuk ekonomi rakyat sehubungan dengan banyaknya korupsi.
Dalam aspek otonomi dan demokratisasi desa pun, kebijakan pemerintahan kolonial
untuk melakukan penggabungan desa jelas merusak tatanan kehidupan desa-desa
Jawa yang otonom dan semi demokratis.48
Maschab (2013:33) menjelaskan bahwa selain eksploitasi para penjajah
asing, desa-desa juga tetap harus memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada para
penguasa pribumi seperti membayar upeti, menghadap pada waktu yang ditentukan
untuk menunjukkan kesetiaan kepada penguasanya, wajib kerja dalam waktu
tertentu tanpa digaji dll. Dengan demikian, kedudukan desa semakin lemah dan
beban desa menjadi semakin berat karena harus tunduk dan melayani kepentingan
dua penguasa yang berbeda.
Penindasan ini kemudian menyulut terjadinya pemberontakan sebagai bentuk
ketidakpuasan penduduk. Di samping harus membayar sewa tanah dan berbagai
macam pungutan terhadap penguasa tanah, penduduk juga harus kerja rodi dan
masih juga tetap melakukan kewajiban tradisional lainnya kepada penguasa-
penguasa pribumi. Menurut Maschab (2013:34), ketika penduduk merasa bahwa
pemimpin-pemimpin tradisional tidak bisa membelanya, apalagi justru ikut
menyebabkan penderitaan mereka, maka mereka berpaling kepada tokoh lain
semisal ulama di Banten selain juga karena pengaruh dari anasir-anasir komunis
yang berkembang karena diawali ketidakpuasaan penduduk tersebut.
Sementara itu, akibat dari kebijakan peningkatan kesejahteraan pemerintahan
kolonial yang kapitalistik, maka hubungan yang terjadi antara residen (dan
controlleur) dan kepala desa pun bersifat kapitalis-feodalistik dimana pemerintah
kolonial dengan bertameng politik etis “memanfaatkan” tenaga kepala desa sebagai
48
Untuk tujuan efisiensi dan menciptakan struktur pemerintahan yang lebih rasional, pemerintah
kolonial melakukan penggabungan desa sehingga dari 30.500 desa yang ada di Jawa tahun 1897
menjadi hanya 18.584 desa di tahun 1927 (Triputro (2005) dan Ricklefs (2005)).
78
struktur feodal pedesaan untuk menekan rakyat. Rakyat tidak berdaya sehubungan
dengan paternalistik-feodalis yang dimiliki oleh para kepala desa.49
Pada masa awal kemerdekaan atau pada masa peralihan secara prinsip
penyelenggaraan pemerintahan desa tidak banyak mengalami perubahan
sebagaimana dengan yang terjadi pada masa kolonialisme. Pada masa ini, prinsip
demokratisasi desa dan keberagaman sangat ditonjolkan, hal ini nampak dalam
pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja.
Prinsip demokratisasi dan keberagaman adalah refleksi cita-cita bangsa sejak
awal perjuangan kemerdekaan, sehingga sangat wajar ketika kemerdekaan tersebut
tercapai, para founding father mengimplementasikannya dalam tatanan
pemerintahan. Namun demikian, seiring dengan tumbangnya masa orde lama yang
digantikan dengan kemunculan masa orde baru, maka UU 19/1965 pun tidak
dipergunakan lagi karena sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969
bahwa setiap undang-undang yang jiwa dan sistem pengaturannya dapat membawa
ke arah ketidakstabilan politik di desa-desa dinyatakan tidak berlaku termasuk
undang-undang ini. Sementara itu kesan hierarkhis sangat nampak dalam penerapan
desa sebagai daerah tingkat III, inilah yang menjelaskan bahwa hubungan pejabat
pemerintahan daerah tingkat II dan kepala desa pada masa itu berlangsung secara
hierarkhis tetapi demokratis.
Pada masa ini terutama di awal masanya yaitu ketika para bupati Pandeglang
diisi oleh kaum ulama, eksistensi pemerintahan desa kajaroan masih sangat kental.
Sehingga identitas ke-Banten-an dalam tata kelola desa masih melekat bahkan pasca
tergantikannya kepemimpinan ulama di tingkat lokal oleh para pejabat karir
birokrasi.
Dengan kebijakan otonomi yang dititikberatkan di desa, maka desa adalah
unsur perekat utama kesatuan bangsa. Beruntung sekali jiwa nasionalisme masih
kuat tertanam pada hati sanubari rakyatnya, sehingga setiap upaya Belanda untuk
kembali menguasai Indonesia direspon oleh pergerakan-pergerakan tidak hanya
unsur militer tetapi juga segenap rakyat. Bahkan ancaman disintegrasi bangsa tidak
hanya datang dari luar, dari dalam pun muncul letupan-letupan perpecahan seperti
yang dilakukan oleh Ce Mamat. Pada kondisi inilah peran strategis para jaro sangat
penting karena rakyat masih sangat tergantung kepada kepemimpinan tradisional.
Pertimbangan pemerintahan orde lama untuk menitik beratkan otonomi di
desa adalah apresiasi pusat terhadap signifikansi desa dalam pemerintahan nasional.
Sementara itu pendekatan ini peneliti pandang sebagai kecerdasan pemerintah pada
masa itu yang melihat potensi bangsa terletak pada masyarakat pedesaan karena
memang konsentrasi penduduk berada di pedesaan. Adapun bupati difungsikan
mengurusi kepentingan administrasi kabupaten yang kemudian dibantu pula oleh
kawedanaan untuk mempermudah koordinasi kewilayahan sehingga dibentuklah
empat kawedanaan yaitu Pandeglang, Menes, Caringin dan Cibaliung. Kondisi
geografis dan infra struktur transportasi adalah pertimbangan utama dibentuknya
empat kawedanaan tersebut. Melalui para wedana tersebutlah jalinan relasi
kekuasaan kepala desa dan bupati berlangsung. Artinya adalah hubungan bupati dan
kepala desa secara face to face terkendala oleh faktor geografis, dengan demikian
para wedana lah yang banyak mempertemukan kepentingan bupati dan kepala desa.
Pada masa orde baru, seiring dengan perubahan dalam konstelasi sosial
politik pada masa itu terutama dengan “kuningisasi” birokrasi (beraucratic polity)
49
Posisi tertekan kepala desa ini mengakibatkan tidak sedikit kepala desa yang melakukan usulan
pemberhentian dan terdapat juga yang bergabung dengan gerakan pemberontakan (Kartodirdjo,
1984:412).
79
50
“PENJABARAN” yang dimaksud disini adalah pen-Jawa Barat-an yaitu sindiran putera daerah
terhadap kebijakan pusat untuk mengisi posisi-posisi strategis kepemimpinan lokal misalnya posisi
bupati atau sekretaris daerah dari orang-orang yang didatangkan sebagian besar wilayah priangan
(Jawa Barat).
80
kepala desa dalam konstelasi sosial politik. Dalam kondisi ini, kepala desa
diuntungkan oleh penguasaan wilayah dan kedekatannya dengan warga. Kondisi ini
pulalah yang dapat dipandang memberikan kelebihan tertentu kepada kepala desa
yang selanjutnya sangat dibutuhkan oleh bupati dalam mempertahankan kekuasaan
politiknya. Kondisi inilah yang menciptakan jalinan hubungan kepala desa dan
bupati relatif bersifat dominasi-semi otonom, kondisi yang juga terjadi dalam
tatanan pemerintahan lokal di Pandeglang.
Pada perkembangan terkini, signifikansi relasi desa dan supra desa ditandai
oleh kelahiran dua perundangan-undangannya yaitu UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua undang-
undang tersebut memiliki dua kecenderungan yang paling menonjol yaitu pertama:
otonomi yang sangat besar dari desa dalam mengelola keuangannnya, dan kedua:
besarnya otonomi desa dari aspek keuangan ini diikuti oleh aspek-aspek pembatasan
administrasi semisal keharusan kepala desa untuk membuat akuntabilitas kepada
pihak BPD, masyarakat dan bupati atau juga adanya keharusan untuk membuat
akuntabilitas berbentuk LID (Lembaga Informasi Desa) yang dari persepektif
sumber daya desa dipandang sangat memberatkan. Uraian relasi kekuasaan bupati
dan kepala desa tergambar dalam Tabel 5.1.
Hubungan
Fungsi Bupati Fungsi Kepala Desa Relasi Kekuasaan
Periodisasi
Pemerintahan
Masa Kolonial Elit pemerintah Perangkat utama Eksploitasi-feodalistik
penjamin keberhasilan eksploitasi
kapitalis
Masa Awal Kemerdekaan Perantara menengah Pengikat keutuhan Hierarkis-demokratis
antara pusat dan desa bangsa (desa sebagai
titik berat otonomi)
Masa Orde Baru Penguasa birokrasi Pelaksana fungsi Dominasi-subordinatif
dan politik politik
Era Reformasi Penguasa politik lokal Penguasa politik desa Dominasi-semi
otonom
(masa pasca era reformasi) Penguasa politik lokal Penguasa politik desa Ketergantungan-
Pertukaran
Sumber: data penelitian yang diolah peneliti
Pada masa yang akan datang, berdasarkan pemikiran peneliti, seiring dengan
semakin kecilnya ketergantungan kepala desa kepada bupati, maka pola relasi
kekuasaan yang sangat mungkin terjadi adalah dalam bentuk ketergantungan-
pertukaran. Hal ini terjadi karena semakin otonomnya desa di masa yang akan
datang sepanjang UU Nomor 6/2014 masih menjadi dasar pelaksanaan aturannya,
maka semakin rendah pula ketergantungan keuangan desa kepada supra desa
(kabupaten). Kondisi pertukaran menjadi konsekuensi logis untuk dilakukan
mengingat keduanya sama-sama saling membutuhkan (berketergantunan satu sama
lain), tetapi pertukaran tersebut bukan terjadi sebagian besar dalam batasan politis.
Pertukarannya akan sangat tinggi jika ketergantungan politiknya juga tinggi, atau
sebaliknya.
81
kudu bae pan barang bawa mah, naon bae pamentana diturutkeun nu penting
proyek turun. Sugan kahareup mah bisa ngatur sorangan” (dahulu jika
menginginkan proyek turun tidak hanya harus membawa proposal saja, selalu saja
harus membawa sesuatu, apa saja permintaannya diberikan yang penting proyek
turun. Semoga saja ke depan bisa mengatur secara mandiri”.
Harapan dari AH tersebut sebenarnya penegasan optimismenya tentang
pengimplementasian otonomi desa secara riil sehingga ketergantungan keuangan
yang selama ini dihadapi oleh desa dapat dieliminir. Menurut pengakuannya, sangat
sulit jika rumusan musrenbangdes dapat diakomodir di tingkat musrenbangkab,
bahkan jangankan 50%-nya, untuk sampai 20%-nya saja sangat sukar.
Dampak yang paling penting dari pengejawantahan demokrasi dan otonomi
desa adalah desa yang semakin independen dan mandiri terhadap kepentingan
pemerintahan kabupaten. Dalam keterkaitannya dengan relasi kekuasaan bupati dan
kepala desa, hal ini menjadikan kepala desa yang semakin memiliki kesetaraan
posisi tawar terhadap kekuasaan bupati. Jika dulu segala sesuatu yang berkaitan
dengan proses pemerintahan dan pembangunan desa sangat bergantung kepada
“kebijaksanaan” kabupaten – karena aspek keuangan merupakan faktor penentu
berlangsungnya kedua proses itu, maka dengan memiliki sendiri sejumlah anggaran
keuangan secara mandiri membuat kepala desa tidak harus “menghamba” kepada
“kerelaan” bupati.
Semakin terlepasnya ketergantungan desa terhadap pemerintahan kabupaten
akan mempengaruhi relasi kekuasaan diantara keduanya, jika dulu bupati dapat
mempolitisir kondisi inferior keuangan desa dan kepala desa, maka setelah desa
memiliki kekuatan keuangan sendiri oleh karenanya kepala desa tidak akan mudah
diarahkan orientasi politiknya sesuai keinginan bupati. Pada kondisi inilah satu-
satunya rumusan yang dapat terjadi dalam relasi bupati dan kepala desa adalah
formulasi pertukaran atau dengan kata lain satu sama lain akan melakukan hubungan
jika dalam satu kondisi keduanya saling membutuhkan.
Satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukan oleh bupati untuk
membatasi kepala desa adalah kendali pengawasan yang menjadi
pertanggungjawabannya selaku struktur pemerintahan yang berada di atas desa.
sedikit pula ulama yang sebenarnya memilih bersikap apatis bahkan kontraposisi
terhadap kelembagaan MUI ini.
Pada bagian lain, keberadaan organisasi jawara lainnya seperti TTKKDH
(Tjimande Tarik Kolot Kebon Djeruk Hilir) sebagai organisasi perguruan silat yang
paling populer di Pandeglang tidak luput dari politik korporatis orde baru. Tidak
heran jika para tokoh organisasi ini sangat lekat dengan kepentingan politik
pemerintahan pada masa itu terutama berkaitan dengan target suara. Organisasi
TTKKDH sendiri sangat strategis karena anggotanya menjangkau kalangan muda,
tua, petani, guru, pejabat dan berragam unsur kemasyarakatan lainnya. Melalui
jaringan keanggotaan TTKKDH inilah Golkar memainkan strategi politiknya
sehingga kemudian pada masa ini TTKKDH dikooptasikan sebagai salah satu
organisasi kemasyarakatan di bawah naungan Golkar (subordinat Golkar).
Selain strategi politik korporatis tersebut, pada masa orde baru juga terdapat
upaya-upaya untuk menggiring ulama maupun jawara dalam orientasi politik golkar
yaitu dengan cara menempatkan ulama dan jawara dalam kelembagaan legislatif
(DPRD maupun DPRRI). Internalisasi ulama maupun jawara ini dapat dilakukan
karena pada saat itu terdapat dua fraksi yang dapat menampung keanggotaannya
yaitu fraksi utusan golongan dan fraksi utusan daerah.
Strategi-strategi politik orde baru ini berimplikasi terhadap menguatnya
peran politik ulama dan jawara, namun di sisi lain sebenarnya juga melemahkan
kekuasaan sosialnya. Pelemahan kekuasaan sosial berkaitan dengan adanya
pandangan dari sebagian besar masyarakat yang menganggap bahwa terjunnya
ulama dan jawara (khususnya ulama) sebagai suatu bentuk kemudharatan.
Politik Desa dalam Dinamika Politik Lokal: Quo Vadis Demokrasi Desa?
Desa adalah target suara, itulah kira-kira yang menjadi perhatian utama para
politisi lokal, hal ini sangat logis karena Pandeglang yang didominasi oleh
konstituen yang tinggal di pedesaan. Sebagai suatu target politik, maka segala upaya
dilakukan oleh para politisi tersebut untuk sebesar-besarnya meraup suara dari desa.
Pada akhirnya strategi-strategi politik dengan segala riaknya (positif maupun
negatif) dibawa ke wilayah pedesaan. Masyarakat desa pun menjadi sangat faham
tentang money politic (politik uang), jual beli suara, ataupun “politik dagang sapi”.
Desa menjadi sangat materialistis, beberapa kelompok masyarakat menggadaikan
keyakinan politiknya untuk sejumlah uang. Kemudian desa semakin politis, desa
semakin materialistis dan semakin kapitalis. Demokrasi Pancasila pun bergeser
sangat jauh kepada praktek-praktek demokrasi kapitalis sehingga relatif mereka
yang kuat secara ekonomilah yang kemudian bisa mengambil keuntungan politik
desa.
Mudah masuknya kekuatan ekonomi untuk “membius” orientasi politik
masyarakat pedesaan didukung oleh kondisi keterbatasan, ketertinggalan dan
keterbelakangan masyarakat desa baik secara ekonomi (miskin) maupun secara
politik. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat
desa untuk memahami sistem politik yang ideal. Kondisi-kondisi ini
menenggelamkan posisi politik masyarakat desa ke jurang yang paling dalam,
sehingga bukan saja termarginalkan secara politik namun juga hanya menjadi obyek
yang “dimanfaatkan”. Kondisi yang sangat berbeda dengan apa yang dirasakan dan
didapatkan oleh para elit desa. Hiruk pikuk dan geliat politik di tingkat lokal dalam
banyak hal menguntungkan kelompok masyarakat ini, terutama secara ekonomi.
85
Jual beli politik dengan menjanjikan sejumlah suara kepada calon anggota
legislatif ataupun calon kepala daerah adalah suatu fenomena yang biasa dilakukan
para elit dan politisi desa (atau lebih tepatnya disebut sebagai opportunis) yang
berwujud broker politik ini. Bahkan dinamika politik di tingkat desa lebih jelas
terlihat karena aktivitas-aktivitas politiknya memperhadapkan secara langsung
antara massa sebagai target suara dengan broker politik sebagai kepanjangan tangan
politisi. Malpraktek politik pun menjadi sangat familiar, dan ungkapan-ungkapan
seperti “wani pira” atau yang semacamnya yang bernuansakan politik (sebagai
tawar-menawar suara) sangat dikenal bahkan oleh anak-anak kecil pedesaan dan
kalangan ibu rumah tangga.
Dalam menyikapi perubahan cara pandang politik di pedesaan ini, rupanya
berkaitan dengan apa yang terjadi dalam konstelasi di tingkat supra desa. Kondisi
yang lebih memprihatinkan adalah bahwa hal ini mulai menulari proses politik di
tingkat desa semisal pemilihan kepala desa. Ketika sogok-menyogok suara menjadi
“budaya” jelas nilai-nilai demokrasi secara substansial menjadi hilang, demokrasi
menjadi suatu formalitas belaka dimana pada bagian akhirnya kepemimpinan publik
yang dihasilkan bukanlah pemimpin yang mewakili sosok ideal yang diharapkan.
Kenyataan ini jelas merupakan suatu degradasi demokrasi di tingkat desa.
Jika pada masa lalu pemilihan kepala desa sama sekali tidak bersentuhan dengan
politik uang, jual beli suara, black campaign dan berragam kecurangan politik
lainnya, maka sekarang nuansanya sudah jauh berubah sehingga masyarakat dalam
level grassroot pun sepertinya melazimkan kondisi ini. Di satu sisi, regulasi desa
semakin mengotonomkan, namun di sisi lain desa demokrasi desa semakin tergerus
oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat, kepentingan pribadi dan kepentingan
uang.
Dalam menyikapi kondisi ini, maka gambaran demokrasi desa yang sejatinya
berjalan beriringan dengan sistem adat yang ada, kenyataannya justru demokrasi
desa saat ini tidak lebih sama dengan demokrasi kapitalistik yaitu demokrasi yang
bersandar kepada kekuatan uang. Dengan demikian sebenarnya gambaran demokrasi
desa sama halnya dengan apa yang berlangsung di tingkat lokal dan nasional.
Semakin tergerusnya demokrasi tradisional desa nampak dari dua ciri
karakteristiknya yang semakin tenggelam yaitu dalam hal musyawarah-mufakat dan
gotong-royong. Dalam pengamatan peneliti, sikap gotong-royong yang dulu
menjiwai kehidupan desa sekarang sudah makin tergantikan oleh kepentingan
pilihan rasional masyarakat. Dulu ketika satu anggota masyarakat membutuhkan
bantuan semisal dalam proses pendirian bangunan rumah, dengan begitu mudahnya
segenap warga hadir secara ikhlas dan bergotong-royong bahu-membahu dalam
proses pembangunan tersebut hanya dengan mengundangnya melalui tabuhan
kentungan. Dulu ketika warga dihadapkan pada kesulitan ketiadaan fasilitas
pendidikan apakah madrasah ataupun sekolah, melalui musyawarah warga
bersepakat untuk membangun secara mandiri dan bergotong-royong dengan penuh
kebersamaan dalam proses pembangunannya. Saat ini hal-hal itu sangat sulit
dilakukan. Sebagaimana pengakuan dari AH, AA dan AJ terdapat kecenderungan
masyarakat untuk menyerahkan segala sesuatunya kepada pemerintah.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membuat
demokrasi desa semakin berhingar-bingar. Rayuan keuangan desa yang semakin
“menggunung” menjadikan beberapa orang berlomba-lomba menduduki kekuasaan
tertinggi di desa, sehingga posisi kepala desa dalam hal ini menjadi sesuatu yang
sangat diidamkan oleh beberapa kalangan. Dalam pandangan orang-orang tersebut
86
saat ini lebih menggiurkan menjadi kepala desa dibandingkan dengan menjadi
anggota dewan (DPRD)51. Termasuk apa yang dilontarkan oleh AH, “kahareup mah
jadi kepala desa teh ngeunah, boga duit sorangan, jadi teu ngantik punta-penta ka
luhur (ke depan itu jadi kepala desa enak, punya uang sendiri, jadi tidak perlu minta-
minta ke atas”. Ketika dikonfirmasi rencanyanya untuk kembali mencalonkan diri
menjadi kepala desa, AH secara tegas memang akan mencalonkan kembali dengan
bahasa diplomatis “sepanjang didukung oleh masyarakatnya. Sebagai elit Apdesi
memang AH termasuk tokoh kepala desa yang paling aktif menyuarakan lahirnya
undang-undang desa ini, ia bersama dengan beberapa rekan kepala desa yang lain
berulang kali melakukan demonstrasi penuntutan percepatan undang-undang ini.
Artinya adalah memang sejak dari awal AH termasuk yang berharap besar terjadinya
perubahan dalam tata pemerintahan desa terutama menyangkut anggaran
keuangannya.
Lalu apa dampak yang paling terasa mengiringi kelahiran undang-undang
desa ini? Karena tidak sedikit yang mengidam-idamkan jabatan kepala desa, maka
politik desa menjadi memanas. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara
dengan para camat dan kasi pemerintahan di tiga kecamatan terpilih sebagai kasus
penelitian, ketiga-tiganya menghadapi permasalahan yang sama yaitu adanya
pertarungan beberapa kelompok masyarakat yang menginginkan menjadi penjabat
kepala desa (pejabat sementara/Pjs kepala desa). Keberadaan Pjs ini terjadi karena
adanya kekosongan jabatan kepala desa sehubungan dengan rencana pelaksanaan
pemilihan kepala desa serentak yang direncanakan penyelenggaraannya di bulan
April 2015. Akibatnya adalah kekosongan jabatan di hampir seluruh desa di
Pandeglang, sementara itu kekosongan jabatan kepala desa ini perlu untuk segera
diisi sehingga tugas-tugas pemerintahan desa dapat dilanjutkan. Perebutan jabatan
kepala desa ini sendiri berkaitan dengan belum turunnya anggaran keuangan baik itu
Alokasi Dana Desa maupun fresh money dan beberapa alokasi anggaran lainnya
terutama untuk kwartal terakhir 2014 dan termasuk kwartal pertama 2015 karena
tentunya tidak akan ada kepala desa definitif hingga April 2015 sebelum
dilaksanakannya pemilihan kepala desa serentak.
Sementara itu terkait pengisian jabatan kepala desa ini sesuai dengan amanat
peraturan perundang-undangan yang berlaku terdapat dua kondisinya yakni
pertama: diisi oleh Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di lingkungan kecamatan
yang ditunjuk bupati melalui camat; dan kedua: diisi oleh PNSD yang dengan
musyawarah mufakat disepakati warga untuk diusulkan menjadi Pjs kepala desa.
Pertimbangan kondisi pertama berkaitan dengan kepentingan administrasi
pemerintahan, sementara kondisi kedua berkaitan dengan penyerapan aspirasi
masyarakat desa. Kondisi kedua inilah yang menyulut pertarungan kelompok
masyarakat untuk memperebutkan posisi kepala desa. Padahal hanya ada satu
kondisi yang memungkinkannya yaitu sepanjang orang yang disusulkannya tersebut
berstatus PNSD, artinya adalah yang bertarung memperebutkan posisi Pjs adalah
sebenarnya para aparat birokrasi lokal meskipun di belakang semua itu bisa saja
terjadi tawar-menawar atau dukung-mendukung politik dari berbagai kalangan
masyarakat. Akhirnya para aparat birokrasi lokal ini pun terjebak dalam pertarungan
politik desa yang sebenarnya.
Menurut pengakuan Agung (Kasi Pemerintahan Kecamatan Kaduhejo), ia
seperti dikejar-kejar oleh seluruh warga desa karena hampir setiap hari didatangi
51
Data tersebut hasil penelusuran wawancara dengan beberapa kelompok masyarakat desa baik di
level masyarakat biasa maupun elitnya terutama dikaitkan dengan pemilihan kepala desa secara
serentak tahun 2015.
87
politik kelompok tertentu, tetapi juga kepentingan personal para warganya. Prinsip
demokrasi pun bergeser kepada materi bukan tatanan sosial yang sejahterakan. Desa
semakin miskin terutama secara politik karena tanggung jawab para politisi dalam
pembangungan karakter bangsa tidak jelas, sementara di lain pihak para tokoh
informal berpengaruh relatif menarik diri dari situasi ini sebagaimana dilakukan oleh
para kyai kitab.
maupun upaya lainya dalam mempengaruhi kebijakan teknis dari struktur tersebut.
Hasil kegiatan pun membias karena “ditumpangi” oleh kepentingan-kepentingan
tersebut yang membuat sasaran anggaran tidak tersentuh. Hal ini baik langsung
maupun tidak langsung berdampak kepada pencapaian sasaran pembangunan atau
dalam skala yang lebih luas lagi adalah terabaikannya kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan.
Dalam analisis terhadap struktur APBD, kepentingan untuk mendahulukan
struktur dibanding fungsi ini sangat nampak pada rasio perbandingan antara Belanja
Pegawai dan Belanja Lain-lain (Pembangunan) sebagaimana tersaji pada Tabel 5.2.
Berdasarkan data tabel tersebut, 57,64% anggaran belanja daerah terserap untuk
belanja pegawai. Artinya adalah lebih dari separuh anggaran digunakan untuk
kepentingan aparatur, atau dalam hal ini adalah strukturnya, dan sisanya
dialokasikan untuk kegiatan pembangunan. Beban berat daerah dalam menanggung
kepentingan aparatur ini jelas membebani kemajuan pembangunan daerah.
kepentingan pembangunan desa tidak pernah secara optimal terserap dalam APBD
Kabupaten.
Terkait dengan perencanaan anggaran ini, menurut informan Ahmad
Suhaeruddin (Kabid Pemerintahan Desa) menyatakan bahwa “secara sistematis
harus dipahami bahwa terdapat kategori-kategori dalam aspek pembangunan desa
yaitu ada yang menjadi kewenangan kabupaten dan ada yang menjadi kewenangan
desa. Misalnya adalah untuk infrastruktur jalan, harus dipilih mana yang termasuk
jalan desa dan mana yang termasuk jalan kabupaten. Jadi harus ada pemeringkatan
kebutuhan yang dikaji oleh desa secara komprehensif”.
Kemampuan desa dalam melakukan pemeringkatan kebutuhan ini tidak
dapat dilakukan secara tepat karena ketidakmampuan kepala desa dan aparaturnya
dalam memilah dan memilih mana yang termasuk prioritas, kebutuhan dan yang
dipandang urgen. Sehingga pada proses akhirnya, dengan tidak jelasnya perencanaan
pembangunan desa pada tiga tekanan tersebut mengakibatkan disisihkannya
perencanaan pembangunan desa pada tingkat agenda kabupaten.
Satu temuan penelitian yang cukup mencengangkan dalam pembagian
kewenangan ini adalah bahwa seringkali penyerapan anggaran pembangunan yang
menjadi kewenangan kabupaten dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang
tidak formal. Menurut informan Ahmad Suhaeruddin menyatakan bahwa “pada
kondisi-kondisi tertentu memang terdapat anggaran pembangunan desa yang
menjadi kewenangan kabupaten diserap hanya dengan memberikan celah kepada
desa untuk melakukan pendekatan secara intensif kepada kabupaten”.
Hal tersebut mengindikasikan relasi kompromi harus dilakukan oleh pihak
desa untuk dapat menurunkan sejumlah anggaran pembangunan. Hal ini jelas tidak
sesuai dengan konsep-konsep pembangunan yang berdasar kepada model bottom-up
planning sebagaimana diakui oleh informan Ahmad Suhaeruddin bahwa “secara
teoritis memang perencanaan dilakukan secara bottom-up, tetapi dalam tataran
praktisnya tetap saja yang berlangsung adalah model top-down”.
Model perencanaan bottom-up yang dimaksudkan adalah bahwa perencanaan
pembangunan dilakukan dengan diawali musrenbangdes dibawa kepada
musrenbangkec dan musrenbangkab. Namun pada kenyataannya, karena desa tidak
mampu menginterpretasikan konsep (visi dan misi) pembangunan di tingkat
kabupaten, sehingga memang sejak dari awal musrenbangdes tidak terdapat
konektivitas antara konsep pembangunan kabupaten dengan konsep pembangunan
yang diusulkan desa. Oleh karenanya hal ini membuat kabupaten menyusun pagu
indikatif desa sebagai batasan penganggaran desa yang dimaksudkan untuk menjaga
konektivitas konsep pembangunan di tingkat kabuapaten. Dengan demikian
sebenarnya tetap saja yang berlangsung adalah model top-down terlebih fakta
temuan di atas yang semakin mengindikasikan pola-pola pembangunan model top-
down tersebut. Dengan demikian pula hal ini menegaskan bahwa keberhasilan
kepala desa dalam menyerap anggaran pembangunan yang ada di kabupaten sangat
ditentukan oleh pola-pola relasi kompromi terhadap pihak kabupaten (bupati). Jika
kepala desa mampu menjalin hubungan yang baik tidak menutup kemungkinan akan
banyak anggaran yang turun terhadap desanya.
Hal yang lebih penting lagi menurut informan Ahmad Suhaeruddin bahwa
“selama ini tidak pernah ada satu pemerintahan desa pun yang sudah menyusun
RPJMDes. Padahal RPJMDes ini adalah dokumen wajib dalam proses perencanaan
pembangunan desa”. Dengan demikian menjadi sangat jelas bahwa ketiadaan
RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) membuat kendali
pembangunan di desa pun tidak jelas yang berarti konsep pembangunan di desa
91
Ikhtisar
Untuk kasus Pandeglang, dinamika politik lokal sangat dipengaruhi oleh riak
politik di tingkat desa. Hal ini karena mayoritas masyarakatnya yang tinggal di
pedesaan. Pada kondisi masyarakat pedesaan yang sangat bergantung kepada tokoh
ulama dan jawara, maka dapat dipastikan bahwa keberhasilan suatu target politik
sangat ditentukan oleh peran kedua informal leader tersebut. Hal inilah yang
dipahami secara mendalam oleh rezim orde baru dengan mengkooptasi kaum ulama
dan jawara dalam politik korporatisnya.
93
Terjunnya ulama dalam arena politik ini pun sebenarnya menyulut pro kontra
di kalangan para ulama sendiri. Fakta memang menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa social power ulama yang menjadi aktor politik (kyai politik) mengalami
penurunan. Oleh karenanya sebagian besar kalangan pesantren salafiyah menjaga
jarak terhadap keterlibatan kaum ulama dalam politik. Bagi mereka sejatinya ulama
tetap berada pada ruang edukasi saja.
Perdebatan yang sama juga terjadi pada pilihan strategi dakwah ulama yaitu
apakah diperkenankan dengan cara-cara kekerasan atau tidak. Dalam hal inilah
dikedepankan dua pilihan antara konsep ulama ngajawara atau jawara nyantri
dengan kecenderungan bahwa pilihan yang ideal bagi masyarakat saat ini adalah
konsep jawara-nyantri. Adapun konsep ulama ngajawara itu sendiri dapat dipahami
sebagai cara berpolitik praktis ulama dalam menggulingkan paham-paham politik
yang mereka anggap tidak sesuai dengan syariat Islam. Hal ini mereka lakukan
karena menurut pandangan mereka negara seringkali absen dalam menyelesaikan
permasalahan sosial politik.
Di sisi lain, kebijakan-kebijakan yang terkait dengan tata kelola daerah dan
desa juga mempengaruhi dinamika relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa. Hal
inilah yang menyebabkan pola-pola relasi kekuasaan keduanya bekesesuaian dengan
periodisasi pemerintahan yang berlangsung. Kecenderungan yang paling nampak
saat ini bahwa seiring dengan penguatan posisi desa sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 adalah bahwa relasi kekuasaan bupati dengan
kepala desa akan berlangsung secara ketergantungan-pertukaran. Dalam pandangan
ini struktur kekuasaan ditentukan oleh bagaimana pola-pola pertukaran diantara
keduanya berlangsung. Dengan demikian struktur formal yang menempatkan bupati
berada di atas kepala desa bukan jaminan sehingga kekuasaan bupati lebih tinggi
daripada kepala desa karena hal ini sangat bergantung kepada pola pertukaran yang
ada.
Kepala desa juga diuntungkan oleh faktor kedekatan yang dibangunnya
dengan warganya meskipun kepala desa menanggung (menombok) segala
ketergantungan warga terhadapnya. Ikatan bathin kepala desa dengan warga ini
merupakan nilai lebih yang tidak dimiliki oleh bupati. Kelebihan ini menempatkan
kepala desa memiliki kesempatan membangun jaringan kekuasaannya melalui jalur-
jalur tradisi.
Namun ketentraman desa saat ini terusik seiring dengan perkembangan
demokratisasi prosedural yang materialistis. Masyarakat desa diperkenalkan kepada
cara-cara politik materialistis yang sangat jauh dari substansi demokrasi yang
sesungguhnya. Nilai-nilai dasar demokrasi desa semakin ditinggalkan. Hal ini
misalnya diindikasikan dari cara bermusyawarah dan bermufakat yang semakin
bergeser kepada cara-cara pemaksaan kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Kondisi-kondisi di atas dapat dikategorikan sebagai demokrasi yang lebih
menekankan pada prosedural yang dalam analisis Alfitri (2009) merupakan akar dari
terjadinya kesenjangan dan kemiskinan.
Dalam memaknai relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa terutama
sebelum era reformasi yang menempatkan kepala desa terdominasi secara struktural
pada akhirnya tidak hanya memarginalkan kepala desa dalam struktur kekuasaan
tetapi juga memarginalkan kepentingan masyarakat desa secara keseluruhan.
Akibatnya kesejahteraan masyarakat desa tidak pernah terangkat.
Sementara itu pergulatan kekuasaan dan cara-cara berdemokrasi yang
materialistis semakin menenggelamkan kepentingan desa. Isu-isu dukung
94
mendukung kekuasan yang ada selalu dalam rangka memperoleh suara dukungan
sebanyak-banyaknya dari rakyat, sehingga rakyat lebih cenderung menjadi obyek
politik target suara bukan bagaimana politik menampung suara rakyat untuk
diagendakan dalam proses politik dan pembangunan. Pada akhirnya rakyat tidak
pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang ditujukan untuk
meningkatkan taraf hidupnya. Rakyat relatif bersifat pasif terhadap segala keputusan
yang dihasilkan dari proses dukung mendukung kekuasaan tersebut.
Kondisi-kondisi yang meminggirkan kepentingan masyarakat pedesaan
tersebut semakin ironis dengan politik anggaran yang juga tidak memihak. Struktur
anggaran baik dalam pengaturan secara formal dalam APBD maupun
operasionalisasinya sangat tidak memihak kepentingan pembangunan desa.
Orientasi pembangunan hanya mengejar terpenuhinya kesejahteraan supra struktur
dan mengabaikan pembangunan desa, hal yang semakin menenggelamkan
kesempatan desa untuk meningkatkan kesejahteraannya.
95
mandiri. Namun asa desa untuk berotonomi berdasarkan undang-undang ini ternyata
masih jauh. Tidak banyak hal yang diatur oleh undang-undang ini tentang desa,
hanya sekitar 8 pasal saja (pasal 93 sampai dengan pasal 111). Ini mengindikasikan
kerdilnya urusan desa bagi negara. Sebenarnya dalam kaitannya dengan
pembentukan regulasi, orde baru dapat dikatakan lebih maju dengan memisahkan
urusan desa yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,
meskipun semangatnya berbeda dimana undang-undang tersebut relatif
menenggelamkan otonomi desa dengan model-model penyeragamannya. Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini lebih banyak mengkonsentrasikan pada tekanan
otonomi daerah dibandingkan dengan otonomi desa. Sehingga tetap saja belum
muncul political will dari negara untuk mengangkat derajat otonomi desa.
Pemarginalan kepentingan desa juga terjadi pada Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Pada undang-undang ini lebih banyak mengatur muatan pemilihan
kepala daerah. Bahkan semangat penyeragaman muncul kembali seiring dengan
adanya pengangkatan Sekdes PNS. Sama halnya dengan peraturan perundang-
undangan sebelumnya, semangat undang-undang ini hanya menekankan kepada
pelaksanaan otonomi daerah, urusan penyelenggaraan desa (otonomi desa) dianggap
bukan hal yang strategis, sehingga negara hanya mengaturnya melalui kelembagaan
eksekutif yaitu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005.
Asa pemberdayaan desa kembali menguap seiring dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 dengan isu pengiring yang mengemuka adalah
tentang “1 milyar 1 desa”. Isu kemandirian keuangan ini memantik semaraknya
perebutan kekuasaan di desa sehingga desa digiring kepada suasana yang tidak
harmonis. Desa semakin memanas karena banyak anggota masyarakatnya yang
“terpesona” oleh angka 1 milyar tersebut. Untuk meredamnya, supra desa
mengagendakan pelaksanaan pemilihan kepala desa secara serentak.
Dari aspek keuangan, kewenangan desa terangkat secara sangat signifikan
karena alokasi dana desa sangat memungkinkan desa mengatur rumah tangganya
sendiri secara optimal. Pemberdayaan masyarakat pun, dari aspek ini memiliki
peluang yang bagus karena penyerapan anggaran pemberdayaan masyarakat tidak
hanya mengandalkan dari alokasi dana desa tetapi terdapat pula bantuan-bantuan
langsung kepada masyarakat. Namun hal yang paling strategis dalam struktur relasi
desa dan supra desa adalah sebenarnya bagaimana agar posisi tawar desa semakin
kuat yang justru belum terangkat.
Kemandirian keuangan bukan merupakan jaminan akan memperkuat posisi
tawar desa karena posisi tawar erat kaitannya dengan pemetaan kekuasaan.
Sementara saat ini struktur kekuasaan dalam kaitannya dengan relasi desa dan supra
desa tidak menempatkan desa memiliki akses untuk memperkuat posisi tawarnya.
Desa tidak memiliki akses untuk menyuarakan kepentingannya karena tidak
memiliki kelembagaan perwakilan sebagaimana daerah di tingkat pusat dimana
daerah terwakilkan oleh kelembagaan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Konsep
yang sama sejatinya membentuk dewan perwakilan desa baik di tingkat daerah
(DPRD) maupun di tingkat pusat (DPR RI).
Saat ini yang berlangsung desa tertekan oleh kepentingan kekuasaan semata,
kepentingan desa tidak bisa terrangkat secara optimal karena desa tidak memiliki
wakilnya dalam kelembagaan legislatif. Sementara saluran kekuasaan melalui partai
politik tidak menjamin kepentingan desa dapat teragregasikan secara optimal.
Dengan demikian, kepentingan desa saat ini adalah bagaimana formula sistem
politik yang dapat memfasilitasi desa mengagendakan kepentingannya. Model-
model pengagendaan kepentingan desa melalui saluran formal semacam
97
52
Hal ini jelas menegaskan bahwa pendapat Blau (2000) tentang birokrasi sebagai ciri masyarakat
modern tidak berlaku dalam format birokrasi Banten.
102
tentang penaklukan Pucuk Umun oleh Sultan Hasanudin. Latar belakang sejarah ini
memberikan dua gambaran penting dalam relasi kekuasaan Banten masa kini yaitu
pertama: sejak dari awal Banten sudah dibalut oleh kisah penaklukan dan
ketundukan; dan. kedua, sejak dari awal Banten terpilah kepada dua kubu keilmuan
yaitu elmu hideung yang diturunkan Pucuk Umun dan elmu putih yang diwariskan
Sultan Hasanudin. Meskipun saat ini kekuatan jaringan diantara keduanya tidak
nampak, namun jaringan saguru saelmu justru makin menguat terutama ketika
jawara masuk ke arena politik.
Sebenarnya kedua kelompok keilmuan (elmu hideung dan elmu putih)
sampai dengan saat ini pun masih terpelihara, termasuk relasi konflik diantara
keduanya. Gambaran konflik antara Buya Bustomi dan Jaro Karis yang berujung
kepada pertarungan diantara keduanya. Hal ini pulalah yang diyakini oleh sebagian
besar masyarakat pesantren salafiyah tentang keyakinan akan adanya serangan
balasan dari kelompok elmu hideung atas kekalahan Pucuk Umun di masa lalu. Oleh
karenanya pewarisan keilmuan putih – sebagian besar berbentuk hizib – di kalangan
pesantren salafiyah, dalam pengamatan peneliti masih sangat nampak, selain
memang kepentingannya tidak selalu berdasarkan kepentingan bela diri terhadap
serangan elmu hideung melainkan juga urusan keduniaan yang lainnya.
Berdasarkan kepada latar sejarah tersebut, maka dapat dipahami bahwa relasi
ulama dan jawara tidak hanya berbasis guru dan murid sebagaimana gambaran kyai
dan santri tetapi juga relasi penaklukan dan penundukan yaitu pihak ulama dalam
hal ini yang menaklukan dan pihak jawara yang tunduk kepada kondisi penaklukan
tersebut. Relasi penaklukan dan ketundukan ini pula yang membalut hubungan
antara ulama dan jawara (baik jawara putih maupun jawara hideung) tentunya dalam
posisi dimana jawara tersubordinasi (terdominasi) oleh kekuasaan ulama. Untuk
itulah seringkali masyarakat yang sedang mengalami konflik dengan para jawara,
biasanya meminta bantuan pertolongan atau lindungan kepada kyai.
Posisi subordinat jawara terhadap ulama ini yang diyakini masyarakat
Pandeglang untuk tidak terlalu khawatir dengan gerakan-gerakan kekerasan, paksaan
atau sejenisnya yang dilakukan oleh jawara karena pada prinsipnya jawara tidak
akan mampu menandingi kemampuan supranatural ulama. Dalam kondisi ini ulama
merupakan tempat mengadu masyarakat terhadap prilaku-prilaku menyimpang
jawara. Sehingga relasi kekuasaan yang terbangun antara ulama dan umatpun bukan
saja berbasis keilmuan agama tetapi juga karena perlindungan kekuasaan.
Lalu bagaimana halnya relasi kekuasaan antara ulama dengan pemerintah.
Relasi bupati atau pemerintahan secara umum dengan ulama mengalami grafik turun
naik yang dikonstruksikan oleh konstelasi politik yang ada. Menjauh dan
mendekatnya (dalam analisis Coleman adalah menyatu dan memisahnya) hubungan
diantara keduanya berpengaruh pada tata kelola pmerintahan dan politik lokal yang
ada. Jika dikuantifikasikan dalam bentuk angka maka kualitas relasi yang paling
kuat terjadi pada masa kesultanan dimana ulama menjadi struktur puncak
pemerintahan sekaligus mengendalikan integrasi agama dan urusan pemerintahan
dalam kehidupan keseharian masyarakat. Untuk itulah berdasarkan Gambar 6.3
posisi relasi ulama dan pemerintahan pada masa kesultanan ditempatkan pada posisi
yang paling atas dimana hal ini tidak pernah terulang lagi pada periode-periode
berikutnya.
Pada masa Kesultanan Banten berlangsung model kepemimpinan
pemerintahannya terintegrasi dalam konsep ulama-umaro, sehingga ulama adalah
umaro dan umaro adalah ulama. Setelah proses “perampasan” kepemimpinan
ulama-umaro oleh kolonialis Belanda, kemudian model pemerintahan ulama-umaro
103
Gambar 6.3 Dinamika Relasi Ulama dan Umaro berdasarkan Perspektif Peranan
Ulama dalam Pemerintahan
Secara umum, peranan ulama sebagai umaro menjadi hilang sama sekali
sejak memasuki masa orde baru atau masa-masa akhir orde baru terutama setelah
pemerintah pusat menitikberatkan kepemimpinan pemerintahan kepada kaum
104
profesional yang banyak diisi oleh pejabat yang didatangkan dari Priangan53. Ulama
pada akhirnya menempatkan diri sebagai figur informal leader. Ulama menarik diri
dari keterlibatannya secara langsung dalam urusan-urusan pemerintahan, semakin
profesional birokrasi semakin menjauhkan peranannya dalam birokrasi tersebut.
Kondisi inilah yang menjadikan ulama secara politik (pengambilan-pengambilan
keputusan politik) pada masa orde baru sangatlah lemah. Justru karena kondisi yang
demikian sehingga negara (rezim yang berkuasa pada masa itu) mempolitisir
perannya untuk kepentingan-kepentingan kuasa status quo.
Tidak jarang physical enforcement dilakukan oleh pemerintahan orde baru
terhadap para ulama tersebut sebagaimana yang terjadi pada masa gerakan-gerakan
subversif terjadi seperti gerakan NII (Negara Islam Indonesia)54. Situasi ini sangat
terasa berlangsung pada permulaan pemerintahan orde baru (tahun 1970-an) ketika
sentimen keagamaan dan disintegrasi nasional sangat kental sebagai pengaruh dari
transisi dari orde lama ke orde baru. Physical enforcement yang diterima oleh
banyak kalangan ulama dikaitkan dengan proses pergerakan NII yang banyak
melibatkan ulama dan unsur-unsur Islam lainnya, sehingga langkah-langkah
pemerintah kadang kala tidak tepat sasaran dan cenderung membabi buta karena
memang prasangka dan saling tuduh dimunculkan oleh pihak-pihak tertentu dalam
rangka memanaskan situasi politik yang ada.
Tidak hanya pihak kesatuan militer, bupati melalui struktur perangkatnya55
juga melakukan upaya-upaya pembatasan gerakan subversif yang dianggap dapat
menyulut disintegrasi bangsa. Sebagian besar gerakan tersebut ditunggangi oleh
warna agama, oleh karenanya tidak heran jika ulama seringkali terkena dampaknya,
meskipun sasaran tembaknya adalah kelompok lain. Akibatnya pada kondisi tertentu
hubungan ulama dan umaro dalam kondisi memanas. Kyai kitab yang cenderung
menjaga jarak dengan pemerintahanlah yang paling banyak terkena dampak karena
sikap politiknya yang dalam pandangan pemerintah dianggap sebagai anti status
quo. Sikap-sikap politik tersebut diantaranya menolak bantuan atau sumbangan
pemerintah, penolakan terhadap pengarahan politik atau menolak terhadap program-
progam pemerintah.
Tidak jarang pemerintah melakukan upaya-upaya interogasi sampai dengan
penahanan terhadap kaum ulama karena sikap politiknya tersebut. Hal ini misalnya
dilakukan pemerintah terhadap K.H. Sulem karena menolak Program Keluarga
Berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk56. Sikap politik ini sebenarnya bukanlah berkaitan dengan gerakan
perlawanan dan anti statis quo, melainkan pandangan beberapa kaum ulama tentang
penggunaan alat kontrasepsi yang dapat dikategorikan sebagai tindakan haram. Oleh
karenanya mereka mengambil sikap menolak terhadap Program KB ini.
53
Pada tahun 1950-an sampai dengan 1960-an Pemerintah Pusat mengangkat bupati-bupati yang
sebagian besar berasal dari Priangan diantaranya Rd. Haroen Sastrakoesoema (1958-1959), M. Ebby
(1959-1961), Rd. Moch. Sjahra Sastrakoesoema (1961-1964), Rd. Akil Achjar Mansjoer (1964) dan
Rd. Sjamsoedin Natadisastra (1964-1968) (sumber: Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah
Kabupaten Pandeglang). Sejak masa inilah praktis ulama sama sekali tidak memiliki peranan formal
dalam birokrasi pemerintahan.
54
Isu NII yang sangat bernuansakan keagamaan menjadikan para ulama sebagai target sasaran politik
pemerintahan orde baru. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Abuya Dimyati yang pernah ditahan
karena kasus ini, padahal beliau tidak tersangkut gerakan tersebut (wawancara dengan Wahyudin,
mantan pamong desa).
55
Pada masa ini terdapat organisasi perangkat daerah yang membidangi urusan sosial politik yaitu
Kantor Sosial Politik.
56
Sebagaimana diceritakan Haji Maman Badarzaman.
105
Pada bagian lain, strategi politik orde baru untuk meraup target suara dari
kaum agama sebanyak-banyaknya juga menginternalisasikan kaum ulama yang
salah satunya melalui satkar ulama. Selain itu beberapa orang kyai pun diangkat
menjadi anggota DPRD berdasarkan bendera Golkar. Strategi ini dilakukan untuk
mengimbangi kekuatan ulama dalam basis politik PPP. Akibatnya secara politik
kaum ulama terpilah pada tiga golongan yaitu ulama Golkar, ulama PPP dan kyai
bale rombeng (kyai kitab) yang memutuskan tidak ikut terlibat dalam urusan politik.
Pasca tumbangnya pemerintahan orde baru, tidak hanya di tataran nasional,
geliat politik di level lokal pun menemukan bentuknya terutama dengan semakin
kencangnya arus demokratisasi dan otonomi daerah. Berkah demokrasi dan otonomi
daerah ini bagi ulama adalah kesempatannya untuk kembali menginternalisasikan
dan melembagakan nilai-nilai agama dalam kehidupan pemerintahan setelah pada
masa sebelumnya hal ini sangat sulit dilakukan karena kuatnya hegemoni negara.
Upaya-upaya ini nampak dari kebijakan-kebijakan pemerintahan lokal di
Pandeglang yang bernuansakan keagamaan seperti wajib diniyah awaliyah dan
berragam kebijakan lainnya sebagaimana terurai pada Bab 4. Meskipun ulama tidak
terlibat langsung dalam proses politik lokal, namun kekuatan pengaruhnya tidak
terbantahkan mengarahkan pemerintahan lokal pada garis-garis keagamaan yang
diinginkannya. Dapat dikatakan pada masa era otonomi daerah ini, dengan prinsip-
prinsip demokrasi yang semakin dihargai, ulama pun mampu menyuarakan
kepentingannya melalui jalur-jalur politik yang semakin demokratis tersebut. Inilah
buah demokratisasi di tingkat lokal bagi kaum ulama Pandeglang. Pada prinsipnya
hubungan bupati dan ulama pada masa kini dapat dipandang sebagai hubungan
pertukaran dimana ulama mendapatkan keuntungan dengan diartikulasikannya
kepentingan-kepentingan agama dalam agenda pemerintahan, sementara bupati
memperoleh dukungan politis dari kalangan ulama yang semakin memperkuat posisi
politiknya.
Hubungan pertukaran bupati dan ulama bahkan nampak sangat jelas jika
menilik adanya konsep lokal yang menyebut kyai tangkal manggah atau kyai amis
jambu atau kyai proposal57. Jenis ulama ini adalah ulama yang bekerjasama dengan
pihak bupati untuk memperlancar kepentingan keuangan fasilitas kelembagaannya
seperti pembangunan pesantren berikut kelengkapan fasilitasnya, sementara bupati
tentunya mendapatkan sejumlah keuntungan politik dengan “terjaminnya” kantong-
kantong politik dari kalangan ulama dan pesantren.
Berbeda dengan hubungannya terhadap kyai tangkal manggah, kyai politik
dan kyai hikmah yang relatif berlangsung secara transaksional. Dalam hubungannya
dengan kyai bale rombeng (kyai kitab) dan abuya, bupati menempatkan dirinya
sebagai pelayan (klien) dalam relasi patron-klien khas pedesaan Banten. Selain
melalui pengamatan, berdasarkan penelusuran data dari bagian protokoler bupati
diperoleh informasi bahwa bupati seringkali harus bersabar diri untuk hanya sekedar
dapat menjumpai seorang kyai. Informasi yang diperoleh dari Hendriana (Kasubag
Protokoler) yang menyatakan dalam beberapa kali bupati tidak bisa menjumpai
seorang kyai karena kyai tersebut tidak berkenan menemuinya, informan
57
Penyebutan kyai tangkal manggah (kyai pohon mangga) karena tepat di samping Pendopo
Kabupaten Pandeglang terdapat pohon mangga, sehingga jenis kyai ini diidentikan kyai yang sering
mendatangi pendopo dengan biasanya membawa proposal pengajuan pembangunan pesantren, masjid
atau kepentingan agama lainnya. Untuk itulah jenis kyai ini disebut pula kyai proposal. Dalam
penelitian ini kyai tangkal manggah ini pada prinsipnya adalah kyai politik.
106
menegaskan bahwa “atuh nungarana nepungan abuya mah, ulah tah bupati,
presiden geh kudu ngantri (yang namanya ingin menemui abuya itu, jangankan
bupati, presiden sekalipun harus antri”. Pernyataan informan tersebut sebenarnya
pernyataan umum yang artinya bahwa tidak hanya bupati yang posisinya sebagai
klien terhadap abuya, informan sebagai anggota masyarakat sendiri menempatkan
dirinya sebagai klien terhadap abuya. Artinya bahwa superordinasi abuya sangat
tinggi terhadap masyarakat secara keseluruhan.
Berdasarkan Gambar 6.5 dan Tabel 6.1, kekuatan jaringan yang dibangun
oleh kepala desa lebih kuat karena aspek ikatan sosial-kultural lebih mendalam
dibanding dengan faktor-faktor lainnya. Oleh karenanya dalam gambar tersebut
tidak digambarkan beberapa ikatan jaringan kekuasaan kepala desa dengan pihak
lain yang bukan berdasarkan pendekatan sosial-kultural misalnya dengan camat
yang sebenarnya juga bagian dari jaringan kekuasaan kepala desa terutama para
camat yang anti bupati. Sementara itu meskipun bupati memiliki dominasi otoritas
legal-rasional, namun ikatannya tidak mendalam sebagaimana relasi yang dibangun
oleh kepala desa. Ikatan jaringan kekuasaan bupati kurang mendalam karena
membangun jaringan kekuasaanya melalui pola-pola dominasi pemerintahan formal
58
Pambuka lawang dalam Bahasa Indonesia artinya adalah pembuka pintu. Maksudnya adalah
membawakan hadiah untuk tuan rumah.
110
59
IN adalah Anggota DPR RI dari PPP mewakili wilayah pemilihan Kabupaten Lebak dan
Pandeglang yang merupakan calon bupati yang kalah pada saat proses pemilihan bupati yang
dimenangkan bupati EK. Jaringan kekuasaan IN sangat kuat karena tidak hanya meliputi jaringan
ulama yang merupakan unsur utama pendukungnya, tetapi juga sebagian kalangan birokrat, kepala
desa, kaum ibu-ibu pengajian dll.
112
rendah ataupun dimutasikan pada jabatan-jabatan non strategis. Para birokrat korban
kekuasaan tersebut pun kemudian membentuk jaringan sendiri sebagai loyalis IN
termasuk juga membangun jaringannya dengan para kepala desa termasuk AH
(kepala desa jawara politisi). Dukung mendukung diantara kalangan birokratpun
sangat kentara karena masing-masing melibatkan diri dalam politik praktis terlebih
AH. Sementara itu jaringan kekuasaan IN sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan
dengan jaringan kekuasaan Bupati EK karena jaringan kekuasaan IN tidak hanya
merambah wilayah lokal dan regional tetapi juga secara nasional. Hal ini selain
karena IN sendiri adalah anggota DPR dan fungsionaris PPP, suami IN sendiri
memiliki jaringan yang lebih luas lagi.
Ikatan jaringan kepala desa politik terhadap jaringan kekuasaan IN inilah
yang membuat posisi tawarnya semakin besar sebagai strategi untuk melakukan
pengimbangan kekuasaan terhadap bupati. Semakin besar kekuatan jaringan
kekuasaan IN, maka semakin besar pula jaringan kekuasaan yang dibangun oleh
kepala desa jawara politisi. Dari waktu ke waktu jaringan kekuasaan kepala desa
jawara politisi semakin besar, kondisi ini berbalik dengan jaringan kekuasaan yang
dimiliki oleh bupati yang semakin kecil seiring dengan perjalanan waktu terutama
menjelang akhir masa kepemimpinannya.
Semakin membesarnya jaringan kekuasaan IN karena adanya peluang untuk
menduduki jabatan bupati untuk periode 2016-2021. Sehingga langkah-langkah
solid untuk memperkuat jaringannya sudah dilakukan sejak dari awal. Hal ini
berbeda dengan jaringan kekuasaan bupati yang semakin melemah karena bupati
sendiri menarik diri dari pertarungan kekuasaan yang berlangsung. Bahkan adanya
kecenderungan untuk berkonsolidasi dengan kekuasaan jaringan Rau60 yang
notabene pada mulanya adalah pendukung utama keberhasilan suksesi bupati EK
semakin memperkuat jaringan kekuasaan IN.
Kondisi ini membuat para pendukung bupati pun mulai beralih kepada
jaringan kekuasaan IN termasuk unsur birokratnya. Hal ini jelas mempengaruhi
kualitas pengaruh jaringan kekuasaan IN yang semakin meningkat, sehingga tidak
secara kuantitas saja. Dukungan jaringan Rau yang mulai beralih ke jaringan IN
semakin memperkuat jaringan kekuasaan IN ini. Posisi tawar kepala desa jawara
terhadap bupati pun semakin kuat. Semakin menguatnya posisi tawar ini
diindikasikan dari komentar-komentar kritis kepala desa jawara politisi terhadap
kepemimpinan bupati diantaranya “bupati nu kuari mah diatur ku pamajikanna, pan
nu dipilih mah EK lain pamajikanna (bupati yang sekarang itu diatur oleh istrinya,
padahal yang dipilih itu kan EK bukan istrinya”. Komentar miring tersebut muncul
dari kepala desa jawara politisi yang mengkritisi bupati karena pengambilan
keputusannya dipengaruhi oleh istrinya. Pada saat penelitian ini dilakukan, peran
besar istri dalam mempengaruhi pengambilan keputusan bupati memang merupakan
salah satu isu yang sedang hangat dibicarakan tidak hanya di kalangan pejabat lokal
tetapi juga masyarakat biasa.
Berdasarkan analisis Emerson ketika posisi tawar ini semakin kuat, maka
ketergantungan kekuasaan terhadap semakin lemah dan pada kondisi demikian relasi
kekuasaan akan semakin memisah karena tidak lagi terjadi intensitas pertukaran
yang tinggi. Inilah yang terjadi dalam relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa
jawara politisi sebagai akibat dari perubahan dalam struktur jaringan kekuasaan.
60
Rau adalah kependekan dari Pasar Rau yaitu Pasar Tradisional terbesar di wilayah Banten yang
berlokasi di Kota Serang. Pasar Rau ini dikembangkan oleh jaringan jawara TCS yang saat ini
mendominasi kekuasaan di Banten.
113
seperti halnya dengan kepala desa jawara pengusaha, ia pun tidak terlalu
mengefektifkan ikatannya dengan jaringan ini.
Pengimbangan kekuasaan yang dilakukan oleh kepala desa jawara kolot
terhadap bupati sebagian besar dilakukannya melalui aktivitas kajawaraan-nya
dalam sektor informal di wilayah Jakarta dan Lampung. Dalam hal ini berarti yang
mampu meningkatkan posisi tawarnya terhadap kuasa bupati pada karena aktivitas
kajawaraan-nya. Potensi strutkur pemerintahan bupati yang memposisikannya
menjadi superordinat atas kepala desa jawara kolot, tidak membuatnya bergantung
kepada kuasa bupati karena aktivitas kajawaraan yang dibangunnya mampu
meningkatkan kualitas kekuasaannya.
Beberapa aktor tidak berhubungan secara langsung semisal antara camat dan
politisi lokal karena tidak ada hubungan struktural atau apapun diantara keduanya.
Namun atas dasar kesamaan orientasi politik yang diarahkan oleh bupati, bisa saja
keduanya dipersatukan dalam kepentingan politik yang serupa. Artinya adalah
meskipun garis hubungan keduanya tidak tergambarkan, tetapi relasinya masih
sangat memungkinkan melalui jalur-jalur politik yang ada.
118
Dari aktor-aktor yang ada dalam gambar tersebut, terdapat enam aktor yang
terlibat langsung dalam percaturan politik di tingkat desa yaitu birokrasi desa, kepala
desa, jaringan ulama, jaringan jawara, elit desa dan politisi desa. Konflik-konflik
politik yang berujung kepada kekerasan fisik dan lain-lainnya akan sangat besar
peluangnya karena kedekatan hubungan dengan basis massa. Sedangkan sebenarnya
pada level supra struktur inilah yang mendapatkan keuntungan politisnya dari apa
yang terjadi dalam konstelasi politik desa.
Sementara itu, hubungan-hubungan yang terjadi dari masing-masing zona
pada prinsipnya adalah didominasi oleh kuasa bupati. Hubungan yang terjadi dalam
zona I relatif berlangsung secara struktural. Karena hubungan struktural itulah justru
memudahkan pelaksanaan komandonya. Tanpa melihat faktor X lainnya, posisi
birokrasi desa niscaya selalu berada di bawah birokrasi lokal. Pun demikian yang
terjadi pada zona II, kesan pemerintahan bertingkat yang sudah melembaga dalam
tatanan pemerintahan daerah bagaimanapun masih berlangsung, hal ini belum
diperparah oleh faktor budaya yang semakin menenggelamkan desa (kepala desa).
Sehingga selalu dalam kondisi demikian, bupati berada pada posisi superior atas
kepala desa.
Pada zona I dan II, kepala desa bertarung secara politik dengan camat dan
birokrasi lokal. Camat dalam hal ini sebagai kepala wilayah mendapatkan mandat
penuh dari bupati baik dalam hal otoritas delegatif maupun atributif untuk
mengkondisikan wilayah secara administrasi pemerintahan. Kewenangan inilah
yang menjadikan hubungan camat superordinat terhadap kepala desa.
Zona III adalah wilayah budaya dimana kepala desa dapat memaksimalkan
fungsi-fungsi politiknya baik hubungannya dengan jaringan ulama, jawara maupun
elit-elit desa. Pada wilayah inilah terjadi pertarungan politik yang sebenarnya. Pada
wilayah inilah kekuatan politik antara bupati, kepala desa serta pihak-pihak yang
bermain dalam politik lokal relatif berada dalam posisi yang seimbang.
Sementara itu pada area IV sebagai wilayah politik, hubungan-hubungan
antar aktor justru lebih cenderung berlangsung diantara struktur kepartaian. Pada
area IV ini kepala desa tidak dapat memainkan fungsi politiknya karena adanya
kebijakan politik yang melarang kepala desa dalam kapasitasnya sebagai pejabat
pemerintahan desa terjun ke dunia politik. Pembatasan aktivitas politik terhadap
kepala desa ini jelas mempersempit ruang gerak kepala desa. Lain halnya dengan
bupati, yang meski sama-sama sebagai pejabat publik namun masih diperkenankan
secara aktif terlibat dalam politik.
Selain berdasarkan pembagian atas empat zona, berdasarkan hierarki
hubungannya terpilah kepada tiga level yaitu level suprastruktur politik, level antara
dan level infrasruktur politik. Ketiga level ini tidak dimaknai berdasarkan hierarki
kewilayahannya atau struktur kewenangan, tetapi relatif berdasarkan mobilitasnya.
Pada level yang paling bawah (infrastruktur politik) terdapat birokrasi desa, kepala
desa, elit dan politisi desa yang di bagian inilah terjadi hubungan secara langsung
antara vote getter dan massa. Pada level ini pulalah sebenarnya keberhasilan politik
suprastruktur dipertaruhkan. Oleh karenanya sebenarnya penggiringan (mobilisasi)
orientasi politik sangat dipengaruhi bagaimana keempat aktor ini bermain. Namun
demikian justru faktor keberhasilannya sangat ditentukan oleh bagaimana keempat
faktor ini dapat dipengaruhi. Dalam kondisi inilah level antara yang diisi oleh camat,
jaringan ulama dan jaringan jawara memainkan peranannya. Jaringan ulama dan
jawara meskipun diposisikan pada level antara, sebenarnya mereka sangat cair,
ruang geraknya bisa masuk ke setiap level, justru karena pertimbangan inilah
keduanya peneliti tempatkan pada level antara. Berdasarkan pemetaan garis
119
kulturalnya (lihat Gambar 6.9 dan 6.10), jaringan ulama dan jawara mempunyai
hubungan yang paling banyak terhadap aktor-aktor lokal dengan menjangkau
seluruh zona yang ada. Berdasarkan pemetaan tersebut, ulama dan jawara dapat
mempengaruhi kebijakan yang diambil di zona administrasi publik, mempengaruhi
struktur pemerintahan, aktor utama dalam zona budaya dan memiliki peranan yang
strategis untuk mempengaruhi zona politik.
Sementara itu, camat yang juga bermain di level antara memiliki kelebihan
karena fungsinya sebagai penghubung antara kebijakan politik di tingkat supra dan
implementasinya dalam tataran infrastruktur. Camat adalah kepanjangan tangan
bupati terutama secara administrasi pemerintahan. Melalui fungsi-fungsi kontrol
administrasinya inilah camat dapat memaksimalkan tugas politik yang diembankan
kepadanya.
Berdasarkan penjelasan Gambar 6.9 di atas dapat dipahami bahwa kondisi
yang terjadi di desa-desa Pandeglang berada pada posisi subordinat terhadap kuasa
bupati. Pada kasus dimana kepala desa berlatar belakang sebagai jawara
sebagaimana tiga desa kasus yang dipilih, gambarannya akan sedikit mengalami
perubahan sebagaimana Gambar 6.10.
Pada Gambar 6.10 ini kepala desa terlibat dalam empat area sekaligus,
meskipun untuk area IV digambarkan secara berarsir yang menandakan
persinggungannya relatif kecil. Kecilnya persinggungan dengan politik karena
pembatasan negara kepada kepala desa untuk terjun secara langsung dalam politik
120
semisal larangan menjadi pengurus salah satu partai politik. Meskipun dalam
realitasnya tidak demikian dimana tidak sedikit kepala desa yang melaksanakan atau
juga bergantung kepada fungsi-fungsi politik tertentu sebagaimana kasus Desa
Citalahab. Pun demikian untuk kasus yang terjadi di Desa Awilega dan Desa
Campaka, dalam posisinya sebagai kepala desa yang dianggap memiliki pengaruh
besar terhadap orientasi politik warganya selalu menjadi bidikan kepentingan-
kepentingan politik untuk dijadikan vote getter. Oleh karenanya sangat mustahil,
memisahkan antara fungsi-fungsi kepala desa sebagai administrator dengan hal-hal
yang berkaitan dengan politik. Ketika seorang kepala desa memposisikan diri netral
terhadap politik, pada sisi lain kepentingan bupati beserta segenap aktor
subordinatnya mengarahkannya kepada politik tertentu. Jadi sangat mustahil untuk
memisahkan urusan administrasi dan urusan politik. Hal ini juga berlaku baik di
tingkat lokal dan nasional dimana selalu saja urusan administrasi pemerintahan
dicampuri oleh politik.
Dibandingkan dengan kepala desa murni (non jawara), kepala desa jawara
lebih memiliki bargaining position (posisi tawar) yang lebih baik dikaitkan dengan
relasinya kepada bupati. Terutama dari aspek zona budaya, kepala desa jawara
memiliki nilai lebih berkaitan dengan jaringan jawaranya. Secara langsung ataupun
tidak, jaringan jawara dapat menjadi alat kepala desa dalam mempengaruhi
kebijakan politik bupati, apalagi jika ia memiliki posisi struktur kekuasaan yang
bagus dalam jaringan jawara tersebut. Sehingga sifatnya tidak hanya mempengaruhi
jaringan, tetapi ia dapat mengendalikan jaringan tersebut. Hal ini memudahkannya
dalam melalukan relasinya dengan bupati apalagi jika bupati tersebut juga berada
dalam kendali jawara. Pada kondisi ini otomatis yang berlaku adalah hubungan
kajawaraan, bukan lagi hubungan formal pemerintahan, sehingga pengambilan
keputusan politiknya lebih bernuansakan kajawaraan dibandingkan dengan
kepentingan politik lainnya.
Apa yang terjadi ketika istri bupati ikut meramaikan arena politik dengan
mencalonkan salah satu anggota legislatif. Dengam memahami peta politik
sebagaimana terurai dalam Gambar 6.9 dan Gambar 6.10, dapat dipastikan tidak ada
kendala besar untuk menghadang laju kepentingan politiknya. Inilah yang terjadi di
Pandeglang dimana SEN sebagai istri bupati Pandeglang mencalonkan diri menjadi
salah satu calon legislatif DPRD Provinsi Banten dari Partai Golongan Karya.
Sebagaimana logika politik yang diuraikan sebelumnya, akhirnya SEN berhasil
menjadi anggota legislatif dengan mengantongi suara mayoritas yaitu 37.741 suara
dan merupakan suara terbanyak diantara 10 anggota legislatif DPRD Provinsi
Banten yang mewakili zona 9 Banten (zona Kabupaten Pandeglang)61. Jika hitung-
61
Berdasarkan kepartaiannya nama-nama anggota legislatif DPRD Provinsi Banten yang mewakili
Pandeglang adalah (http://www.radarbanten.com/read/berita/10/18827/Caleg-yang-Bakal-Duduk-di-
DPRD-Banten-Dapil-Pandeglang.html diakses tanggal 15 Oktober 2014):
1. Parta Golkar 104.783 (SEN 37.741, H. Fitron Nur Ikhsan, M.Sc 11.382)
2. PPP 71.047 (H. Yayat Supriatna HS., 17.898)
3. Partai Gerindra 68.625 (H. M. Kuswandi, SH. 14.863)
4. PDI Perjuangan 61.639 (Eri Suhaeri 17.525)
5. Partai Demokrat 60.318 (Yoyon Sujana, SE. 15.089)
6. PKB 53.305 (Ir. H. Thoni Fathoni Mukson 18.780)
7. Partai NasDem 46.001 (M. Redy, SE.,MM. 9.285)
8. PKS 37.681 (Drs. Saukotudin 8.916)
9. Partai Hanura 26.587 (Upiyadi Mouslekh, SH.,MH. 5.320).
121
62
Bandingkan dengan perolehan suara anggota legislatif yang mewakili zona Pandeglang dan Lebak
berdasarkan peringkat suara caleg di masing-masing parpol. 6 caleg yang melenggang ke Senayan
(http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2041649/melenggang-ke-senayan-2-anak-ratu-atut-dapat-
suara-terbanyak yang diakses tanggal 15 Oktober 2014) adalah:
1. Partai Golkar 168.120 suara (Andika Hazrumy dengan 61.505 suara)
2. PDIP 139.270 suara (Mochamad Hasbi Asyidiki Jayabaya 51.095 suara)
3. PPP 129.417 suara (IN 84.120 suara)
4. Partai Gerindra 119.656 suara (Anda 26.841 suara)
5. Partai Demokrat 107.747 suara (Vivi Sumantri Jayabaya 31.458 suara)
6. Partai Nasdem 103.015 suara (Tri Murny 36.571 suara).
122
Hal ini sebenarnya wajar terlebih jika melihat latar belakangnya sebagai loyalis PPP,
sementara SEN sendiri berada dibawah bendera Golkar dan untuk Pandeglang,
kedua partai tersebut pada pemilihan bupati sebelumnya merupakan “musuh besar”
bagi satu sama lainnya. Perlu dicatat bahwa sebelum bupati terpilih saat ini yang
berpartaikan Golkar, pada masa sebelumnya PPP-lah yang berhasil menempatkan
kadernya menjadi bupati. Padahal saat ini pengaruh PPP terutama dalam sosok IN
sangat kuat yang kemudian menghantarkannya kembali menjadi anggota DPR
dengan perolehan suara mayoritas. Dan perlu dicatat pula bahwa IN ini adalah calon
bupati yang dikalahkan oleh bupati EK (suami SEN) pada pemilihan bupati 2010.
Kecenderungan perseteruan politik Golkar dan PPP akan terjadi lagi pada suksesi
kepemimpinan bupati berikutnya di tahun 2016 jika terjadi percepatan atau di tahun
2018 jika terjadi penundaan – percepatan atau penundaan pemilihan kepala daerah
ini berkaitan dengan rencana pusat untuk menggelar pemilihan kepala desa secara
serentak – karena PPP kemungkinan mengandalkan kembali IN sebagai kandidat
bupatinya.
Sementara itu, secara pribadi kepala desa politisi menyatakan bahwa
kedekatannya kepada tokoh IN, menurutnya “pan geus kabuktian yen Pak Endeh
geus bisa ngabangun jalan ka kampung-kampung, beda jeung bupati nukiwari
euweuh buktina (kan sudah ada buktinya bahwa Pak Endeh (suami IN/mantan bupati
sebelumnya) sudah bisa membangun jalan ke kampung-kampung, beda dengan
bupati yang sekarang tidak ada buktinya)”. Oleh karenanya loyalitasnya tidak
terbatas atas nama partai (PPP) tetapi juga kepada sosok personal IN. Relasi
kekuasaan diantara keduanya pun berlangsung secara patron-klien.
Dalam kasus lain, baik kepala desa jawara pengusaha maupun kepala desa
jawara kolot relatif biasa-biasa saja menanggapi pencalegan SEN ini. Dalam bahasa
yang relatif sama dengan kepala desa jawara politik, keduanya menyerahkan
keputusan memilih kepada warganya. Kepala desa jawara pengusaha menyatakan
bahwa “Abah mah moal pipuluen, kumaha masyarakat bae (Bapak sih tidak akan
ikut-ikutan, bagaimana masyarakat saja)”. Sementara kepala desa jawara kolot
menanggapinya bahwa “akh eta mah hak rakyat, keun bae rek milih henteuna mah
(akh itu mah hak rakyat, biarkan saja mau memilih atau tidaknya)”. Namun sekedar
untuk memperkenalkan SEN ini sebagai caleg, keduanya juga menginformasikan
warga bahwa SEN dalam kapasitasnya sebagai isteri bupati mencalonkan diri dari
Partai Golkar. Langkah ini berbeda dengan yang dilakukan oleh kepala desa jawara
politisi dimana ia hanya berkenan mendukungnya secara pribadi. Artinya ia tidak
melakukan langkah apapun ketika SEN memintakan dukungan mengarahkan warga
desanya.
Dengan memahami apa yang dilakukan oleh ketiga kepala desa dalam
kaitannya dengan penggiringan suara dukungan ini, peneliti berpandangan bahwa
masih ada perasaan segan terhadap pimpinan mengatakan “tidak” kepada apa yang
menjadi kebijakannya. Aspek budaya yang menempatkan pimpinan sebagai patron
berpengaruh pada kondisi ini. Hal ini setidaknya terindikasi dari pernyataan kepala
desa jawara politis yang menyatakan “kukumaha oge Pak Bupati mah bapa urang
kabehan (bagaimana pun juga Pak Bupati itu bapak kita semua)”. Padahal secara
sepakat, dengan cara yang berbeda ketiganya memandang bupati belum melakukan
apapun untuk kemajuan Pandeglang, tetapi mereka menyepakati pula bahwa
meskipun belum melakukan apapun tetapi bupati sudah meminta yang lain-lain
semisal dukungan politik kepada isterinya ini. Menurut mereka ini jelas bukan
tipikal pimpinan yang baik.
123
63
Hasil wawancara kepada 5 orang kepala desa (yang dipilih secara purposive) yang tidak termasuk
ketiga informan utama dimana semuanya bernada mendukung IN. Pengamatan penelitian juga
menununjukkan dukungan rakyat pedesaan sangat tinggi kepada sosok IN. Jadi ceritanya akan lain
jika SEN manggung menjadi caleg DPR Pusat. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa SEN
mengkonsentrasikan sasaran politiknya ke level provinsi karena memahami kuatnya pengaruh IN di
tataran pedesaan. Tetapi SEN menjelaskan bahwa pilihannya untuk menjadi anggota legislatif DPRD
Provinsi Banten semata karena alasan domisili yang mengharuskannya tinggal di Jakarta jika ia
terpilih menjadi anggota DPR Pusat. Dan itu memberatkannya dalam kapasitasnya sebagai isteri
bupati.
124
besar sebagaimana diuraikan dalam Gambar 6.9. Terdapat lima struktur jaringan
yang dimanfaatkan bupati untuk memperkuat kepentingan pemenangan politiknya
melalui jalur komando (power by control), sementara kepala desa hanya mampu
membangun jaringan dengan dua struktur camat dan kepala desa yang anti bupati.
Dalam Gambar 6.10 tersebut secara konkret sebenarnya selain pertarungan politik
langsung antara bupati dan kepala desa juga terdapat kubu yang saling berhadap-
hadapan secara kepentingan politik yaitu antara camat dan kepala desa yang pro
bupati dengan camat dan kepala desa yang anti bupati. Camat dan kepala desa yang
anti bupati ini adalah mereka yang merupakan loyalis IN. Para loyalis IN merupakan
jaringan “abadi” kepala desa jawara politisi (AH). Dikatakan “abadi” karena
meskipun IN tidak menjadi bupati, tetapi pengaruh politiknya masih kuat kepada
jaringan politik di lingkungan birokrasi tersebut (para camat dan kepala desa).
Sebenarnya terdapat pula aparat birokrasi yang anti bupati (loyalis IN juga), tetapi
tidak bisa disebut sebagai struktur jaringan kepala desa politik (AH) karena
keterbatasan struktur kepala desa. Lain halnya dengan camat dan kepala desa loyalis
IN yang jalinan kekuatan jaringannya relatif terbangun secara terus-menerus karena
figur IN sendiri memelihara kekuatan jaringannya tersebut.
Sementara itu jaringan jawara, aparat pemerintahan desa, elit desa dan
jaringan ulama merupakan lahan pertarungan bupati dan kepala desa. Perebutan
pengaruh terjadi pada keempat struktur jaringan tersebut, dalam hal ini tentunya
bupati lebih diuntungkan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, karena bupati
memiliki mesin politik camat, melalui jalur komando bupati mampu “menekan”
posisi camat baik camat yang pro maupun yang loyalis IN. Meskipun
kemungkinannya untuk camat yang loyalis IN relatif tidak efektif namun
125
sebagaimana diungkapkan oleh Camat Epi Sutiasa bahwa “ngaranna geh kolot keur
boga hajat piraku teu mantuan (namanya juga orang tua sedang punya hajatan
masak sih tidak membantu)”. Pernyataan tersebut sangat jelas menempatkan bupati
secara kultural sebagai patron yang harus didukung.
Bupati juga diuntungkan secara posisi struktural dalam fungsi pengawasan
aparatur sehingga aktivitas camat, kepala desa dan unsur birokrat lain yang loyalis
IN terbatas ruang geraknya. Lain halnya dengan unsur birokrasi yang pro
terhadapnya, ia biarkan untuk bergerak bebas dalam memaksimalkan kekuatan
jaringannya. Persentuhannya dengan jaringan ulama dan jawara tidak ia bangun
sendiri secara langsung, melainkan melalui tangan keduanya yaitu para camat pro
terhadapnya yang relatif lebih menguasai wilayahnya sendiri.
Kepala desa jawara politisi sendiri tidak memaksimalkan ikatannya dengan
jaringan kekuasaan IN karena pada proses pencalegan istri bupati sendiri ia tidak
frontal berhadap-hadapan dengan kepentingan kekuasaan bupati. Ia lebih memilih
untuk meningkatkan suara IN yang levelnya berbeda dimana istri bupati
mencalonkan diri sebagai caleg DPRD Provinsi sementara IN mencalonkan diri
sebagai caleg DPR RI. Sebagaimana pengakuannya bahwa “ari ka Bu IN mah eta
mah kolot sorangan, jadi wajib sifatna kudu ngadukung nepi ka jadi (kalau dengan
Bu IN itu kan orang tua sendiri, jadi wajib sifatnya mendukung sampai dengan
jadi)”.
Keterpilihan SEN sebagai anggota legislatif sebenarnya banyak ditentukan
relasi patron-klien dalam jaringan kekuasaan bupati terutama dari unsur birokrasi
lokal. Ketunduk dan patuhan aparat birokrasi terhadap figur bupati mendukung
terhadap mobilisasi dan pengarahan suara kepada SEN. Dengan demikian
keunggulan dominasi bupati ditentukan oleh potensi struktur kekuasaan
pemerintahannya. Adapun posisi kepala desa yang tidak terlalu memiliki
kepentingan dalam pertarungan kekuasaan tersebut lebih memilih posisi secara
statis. Untuk kepala desa jawara politisi sendiri karena adanya ikatan PPP dan
jaringan kekuasaan IN, pertarungan tersebut dialihkan kepada upaya untuk
memenangi suara di tingkat pusat dalam hal ini pengarahan suara dukungan kepada
IN.
Ikhtisar
Dinamika struktur relasi kekuasaan desa dengan Supra Desa berkembang
mengiringi proses perubahan peraturan perundang-undangannya. Pada masa orde
baru ketika berlangsung hegemoni negara yang sangat kuat terhadap desa, desa
sebagaimana ilustrasi Antlov (2002) tidak lebih digambarkan sebagai pelayan supra
desa. Struktur itu lambat laun berubah meskipun tidak secara signifikan seiring
lahirnya era otonomi daerah, dan perkembangan terkini yang semakin menempatkan
kuasa desa adalah seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Lemahnya struktur desa atas supra desa itu juga mempengaruhi relasi
kekuasaan yang terjadi antara kepala desa dengan bupati. Pola-pola relasi kekuasaan
yang berlangsung dalam masyarakat secara umum juga mempengaruhi relasi bupati
dengan kepala desa sebagai faktor sosial-kultural. Oleh karenanya selain faktor
kebijakan politik (peraturan perundang-undangan), relasi-relasi kekuasaan khas
pedesaan Banten mempengaruhi pula relasi kekuasaan yang terbentuk termasuk
relasi kekuasan yang ada dalam jaringan kekuasaan.
Relasi kekuasaan yang ada dalam jaringan kekuasaan bupati berlangsung
sebagian besar dalam pola dominasi dan patron-klien. Ikatan jaringan yang
126
64
Dalam kasus ini adalah Kepala Desa Awilega.
129
65
Terkait dengan ketidakhadiran bupati atas undangan wargai ini, pernyataan yang berbeda
disampaikan oleh beberapa aparatur birokrat misalnya yang disampaikan oleh Camat Epi Sutiasa dan
Basyar. Menurut kedua informan, ketidakhadiran bupati disebabkan karena bupati tidak memiliki
dana operasional yang khusus untuk menghadiri undangan tersebut, sementara dana taktis sangat
dibutuhkan karena setiap menghadiri undangan tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan warga
atas dana bantuan bupati.
130
tacan kasentuh pembangunan jalanna, tapi khusus keur jalan utama desa mah
lumayan lah (memang diantara wilayah desa kami ada yang belum tersentuh
jalannya, tapi khusus untuk jalan utama itu lumayan baik)”. Tanggapan kepala desa
jawara pengusaha jelas mengindikasikan kepuasan atas kondisi infrastruktur jalan
yang ada. Berdasarkan pengamatan peneliti, berbeda dengan kondisi jalan disa di
Citalahab dan Awilega, memang kondisi jalan di Desa Campaka relatif lebih baik
meskipun jalan menuju ke arah pegunungan kondisinya masih belum layak.
Dari aspek kesejahteraan, ketika ditanyakan kepada tiga kepala desa kasus
dalam penelitian ini, ketiganya menyepakati bahwa bupati tidak memberikan
kesejahteraan berarti untuk para warganya. kepala desa jawara politisi menyatakan
“zaman ADN mah atuh ngeunaheun, loba bantuan keur warga, kiwarimah naon eta
bebenah-bebenah bae bari jeung teu puguh (zaman Pak ADN itu enak, banyak
bantuan untuk warga, sekarang itu apa bebenah-bebenah66 saja sembari tidak jelas).
Kepala desa jawara kolot juga menyatakan hal yang sama yaitu “pan
baheula mah jang nupaeh aya bantuanna, jang nukawin oge komo jang ustadz mah,
kiwari mah boro-boro (kan dulu mah untuk yang meninggal dunia ada bantuannya,
untuk yang menikah juga apalagi bantuan untuk ustadz, sekarang tidak ada apa-
apanya)”.
Kepala desa jawara pengusaha juga menyatakan hal yang sama “memang
kalau dibandingkan dengan zamanna Pak ADN, atuh jauh pisan (sangat jauh)”.
Lebih lanjut kepala desa jawara pengusaha menyatakan bahwa “nukarasa ku kami
bae salaku kepala desa, pan harita mah ngeunah urang loba kucuran dana ti Pemda
(yang dirasakan oleh kami selaku kepala desa, dulu itu enak karena banyak kucuran
dana bantuan dari Pemda)”.
Pernyataan-pernyataan dan tanggapan kepala desa tersebut mengindikasikan
bahwa kepala desa relatif tidak puas atas apa yang dilakukan oleh bupati bagi
pembangunan pedesaan. Pernyataan-pernyataan tersebut juga mengindikasikan sikap
kritis kepala desa terhadap bupati. Hal ini menunjukkan gambaran yang berbeda
dengan apa yang diilustrasikan Antlov dimana kepala desa pada masa orde baru
yang menempatkan kepala desa tidak lebih sebagai “pelayannya” bupati.
Sikap penolakan terhadap kebijakan bupati atau juga supra desa ditunjukkan
oleh kepala desa jawara pengusaha dengan tidak mengambil beberapa bantuan
pemerintah misalnya BLT karena dianggap tidak memberikan manfaat yang banyak
bagi kesejahteraan warganya. Justru dalam pandangan kepala desa jawara pengusaha
bantuan tersebut lebih banyak memberikan kerugiannya karena menurutnya hal ini
dapat memicu konflik diantara warga. Menurutnya, “daripada nyieun masalah,
mending ulah sama sakali (daripada membuat masalah, sebaiknya tidak usah
mendapatkan bantuan sekalian). Konflik tersebut menurut kepala desa jawara
pengusaha karena data penerima tidak sesuai dengan data riil di lapangan, dan ini
menurutnya sangat rawan memicu konflik horizontal diantara warga.
Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh para kepala desa relatif selalu
memperbandingkannya dengan kepemimpinan bupati sebelumnya (Pak ADN)
khususnya apa yang dilakukan kepala desa jawara politisi. Dalam analisis peneliti,
hal ini tidak semata karena ketidakpuasan kepala desa atas kepemimpinan bupati
tetapi terdapat ikatan antara kepala desa dengan jaringan kekuasaan Pak ADN
(jaringan kekuasaan IN). Dengan demikian sebenarnya keberanian untuk
menyatakan ketidakpuasan dan kekecewaan mendalam kepala desa adalah karena
66
Bebenah adalah jargon pembangunan yang dipropagandakan Bupati Pandeglang EK pada saat
sebelum dan setelah terpilih menjadi Bupati Pandeglang. Bebenah itu sendiri dalam Bahasa Indonesia
artinya adalah berbenah.
131
ikatannya dengan jaringan kekuasaan yang lebih besar. Hal ini dapat dimaknai
bahwa pengimbangan kekuasaan kepala desa dilakukan dengan membangun ikatan
jaringan dengan jaringan kekuasaan IN.
Hal yang paling nampak adalah apa yang dilakukan oleh kepala desa jawara
politisi. Secara terang-terangan ia mengemukakan bahwa “ti mimiti geh kuring mah
pan teu milih ka EK mah, geus apal meureun… (sejak dari awal juga saya kan tidak
memilih EK, pasti sudah tahu kan…)”. Sebagai loyalis IN, kepala desa jawara
politisi menempatkan EK sebagai lawan politiknya, sehingga setiap kebijakan bupati
saat ini dipandangnya sebagai kebijakan yang tidak populis.
Sikap para kepala desa yang relatif memandang rendah terhadap hasil
kepemimpinan bupati mengindikasikan bahwa terdapat keberanian dari kepala desa
untuk melawan supra strukturnya. Ini juga mengindikasikan bahwa: pertama, relasi
kekuasaan patron-klien yang mendominasi kehidupan pedesaan Pandeglang untuk
kondisi ini tidak terjadi. Kedua, bahwa potensi supra struktur bupati tidak menjadi
jaminan untuk bisa mendominasi kekuasaan kepala desa. Terakhir adalah bahwa hal
ini dapat dipandang sebagai kondisi yang mengindikasikan adanya penyeimbangan
kekuasaan kepala desa. Penyeimbangan kekuasaan kepala desa ini sebagian besar
dipengaruhi oleh kemampuan kepala desa dalam membangun jaringan
kekuasaannya. Dengan demikian jaringan kekuasaan menjadi faktor determinan
dalam proses penyeimbangan kekuasaan yang dilakukan oleh kepala desa sehingga
ketergantungan kekuasaannya terhadap bupati semakin rendah. Dalam analisis
Emerson, semakin rendahnya ketergantungan kekuasaan maka semakin rendah pula
pertukaran yang terjadi. Di sisi lain, ketika pertukaran semakin rendah, maka
kekuasaan ini akan semakin memisah yang menyebabkan relasi konflik akan lebih
mewarnainya dibandingkan dengan relasi kompromi.
beraktivitas dalam jaringan jawara Jakarta dan Lampung, selain merupakan cara-
cara pengimbangan kekuasaan juga terdapat kepentingan-kepentingan tertentu dari
kepala desa dalam ikatan itu utamanya dalam mempertahankan kekuasaannya.
Dengan demikian sebenarnya selalu ada kepentingan dalam relasi-relasi yang
dibangun oleh kepala desa baik dalam hubungannya dengan bupati maupun dalam
cara-cara pengimbangan kekuasaan terhadap kuasa bupati. Termasuk sebenarnya
cara berrelasi kekuasaan dalam bentuk konflik maupun kompromi.
Muara dari kepentingan-kepentingan tersebut adalah kekuasaan baik itu
upaya untuk mempertahankannya maupun upaya untuk memperbesar derajat
kekuasaan yang dimiliki. Misalnya adalah apa yang dilakukan oleh kepala desa
jawara pengusaha dalam menolak bantuan bupati atas nama pemerintah pusat, di
satu sisi dapat memicu konflik terhadap bupati, namun di sisi lain dapat
meningkatkan derajat kekuasaan kepala desanya karena warga semakin menaruh
apresiasi yang tinggi kepada kepala desa. Pemberian penghormatan kepada kepala
desa jawara pengusaha dari para warganya karena ia kemudian menalangi bantuan
sebagai penggantian bantuan pemerintah tersebut. Dalam hal ini kepala desa jawara
pengusaha menggunakan sumber kekuasaan ekonomi yang dimilikinya untuk
meningkatkan derajat kekuasaannya. Dalam makna lain bentuk penolakkannya
terhadap bantuan pemerintah berpengaruh meningkatkan kuasa kepala desa di satu
sisi, dan menurunkan derajat kuasa bupati di sisi lain karena warga akan
memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kepala desa di satu sisi dan menurunkan
apresiasi terhadap bupati di sisi lain.
Secara keseluruhan baik relasi konflik maupun kompromi, relasi yang terjadi
antara bupati dengan kepala desa selalu diwarnai kepentingan kekuasaan. Misalnya
adalah relasi konflik yang ditunjukkan kepala desa jawara politisi, meskipun
menjaga jarak bahkan memposisikan diri berseberangan dengan kuasa bupati,
namun kondisi opposisi yang dilakukannya semata untuk memperbesar
kekuasaannya pada jaringan lain (jarigan kekuasaan IN). Dalam hal ini adalah
bahwa meskipun kepala desa jawara politisi semakin jauh dari kekuasaan bupati,
tetapi derajat kuasanya semakin besar karena ikatan dengan jaringan kekuasaan IN
semakin kuat. Dengan demikian relasi konflik yang dibangunnya dengan bupati
justru semakin meningkatkan posisi tawarnya terhadap bupati. Hal ini jelas bahwa
kepentingan kekuasaan menjadi variabel determinan dalam relasi kekuasaan kepala
desa dengan bupati.
Kasus yang paling nampak dari adanya kepentingan kekuasaan bupati ini
adalah tentang pencalegan SEN sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Proses yang berujung kepada tujuan pemenangan SEN dilakukan oleh bupati dengan
menggiring mesin politik birokrasi. Secara administrasi dan politik, pelibatan
birokrasi dalam politik merupakan bentuk maladministrasi. Namun untuk tujuan
kekuasaan, bupati mengabaikan semuanya. Kekuasaan telah menutup “mata hati”
bupati untuk setinggi-tingginya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Dalam hal
ini rakyat bahkan dimobilisasi untuk tujuan kekuasaannya. Potensi struktur
kekuasaan yang dimilikinya digunakannya untuk membangun jaringan kekuasaan
dalam pola-pola relasi dominasi. Pada akhirnya pola-pola pembentukan kekuasaan
tersebut semakin meminggirkan partisipasi politik rakyat pedesaan yang semakin
tidak menyejahterakannya.
Dalam hal lain, kepala desa menghadapi permasalahan keterpinggirannya
dari struktur kekuasaan yang ada. Tidak dilibatkannya kepala desa secara optimal
dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat lokal menjadikannya sebagai
pihak yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam mempengaruhi kebijakan
133
lokal tersebut. Oleh karenanya dalam menghindari pola relasi dominasi bupati,
kepala desa membangun ikatan jaringan yang dapat meningkatkan posisi tawarnya
sebagaimana dijelaskan dalam bab 6. Apa yang dilakukan oleh kasus tiga kepala
desa menjelaskan bahwa pembentukan jaringan yang dilakukannya baik itu
merupakan upaya yang disengaja ataupun tidak berpengaruh terhadap peningkatan
posisi tawarnya. Artinya adalah sebenarnya kepentingan kekuasaanlah yang menjadi
faktor utama pembentukan jaringan tersebut. Dengan demikian baik bupati maupun
kepala desa sebenarnya sama-sama berkepentingan dengan kekuasaan. Bedanya
adalah bupati yang sangat diuntungkan dengan potensi strukturnya menggunakannya
untuk kepentingan pribadi dan golongannya (keluarga dll), sementara kepala desa
melakukannya untuk tujuan yang lebih mulia yaitu agar posisi tawarnya lebih
meningkat lagi sehingga mampu mengimbangi kekuasaan terhadap bupati yang pada
akhirnya mengurangi ketergantungan kekuasaannya.
(meskipun kami ini dipaksa melunasi PBB, tapi jika upahnya sesuai ya setuju saja”.
Yang dimaksud upah dalam pernyataan tersebut adalah insentif yang diberikan oleh
bupati.
Persetujuan kepala desa atas cara memagari desa untuk terlibat langsung
dalam urusan pemerintahan daerah67, merupakan pola kompromi atau kerja sama
yang baik. Tetapi dalam hal ini masyarakat sangat dirugikan oleh cara-cara
pemaksaan tata kelola pemerintahan yang terjadi. Hal ini karena proses pelunasan
seringkali tidak mengindahkan sistem dan prosedur yang ada. Tujuan pelunasan
semata-mata agar proses pencairan dana desa dapat direalisasikan sehingga apapun
caranya ditempuh dalam merealisasikan tujuan tersebut. Pada akhirnya pembayaran
secara masal dilakukan, misal target PBB desa A adalah 50 juta, kemudian kepala
desa menalangi uang sejumlah 50 juta dengan tidak memerinci obyek PBB yang
dibayarkannya. Pada akhirnya rakyat dirugikan karena tidak jelas siapa yang sudah
melunasi pembayaran PBB dan siapa yang belum melakukannya. Tidak menutup
kemungkinan warga berpenghasilan tinggi sudah ditalangi sementara warga yang
berpenghasilan rendah diabaikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, kerjasama dalam peningkatan PADS/PADes
ini meskipun berkontribusi positif terhadap peningkatan PADS/PADes yang pada
akhirnya meningkatkan pula kemandirian daerah dan desa, tetapi juga karena cara-
cara yang dilakukannya mengabaikan sistem dan prosedur yang ada pada akhirnya
rakyat kembali menanggung resiko dari relasi tersebut.
Pada kondisi yang kedua yaitu terkait dengan keharusan kepala desa
menyelesaikan peraturan desa tentang APBDes juga berlangsung relasi kompromi
yang secara prinsip menyalahi tata kelola administrasi yang ideal. Berdasarkan
temuan penelitian sebagaimana dikemukakan oleh informan Kasi Pemerintahan
Kecamatan Kaduhejo (Agung Kurniawan) bahwa “tidak hanya untuk Desa
Campaka, sebagian besar desa yang ada menitipkan penyusunannya kepada pihak
kecamatan”. Informan Kasubag Keuangan Kecamatan Koroncong (Suherman) juga
menyatakan persetujuannya “disini juga sama saja, dalam kaitannya dengan
APBDes itu kepala desa mau beresnya saja”. Begitu pula halnya pernyataan dari
Sekretaris Kecamatan Banjar (Endin Suhaerudin) yang mengemukakan bahwa
“relatif kepala desa dan perangkatnya belum mampu menyusun APBDes secara
baik”.
Pernyataan-pernyataan di atas mengindikasikan lemahnya kemampuan
kepala desa dalam menyusun APBDes secara mandiri. Berdasarkan pengamatan
penelitian, pada akhirnya para kepala desa menyerahkan urusan penyusunan
APBDes itu pada pihak kecamatan. Dalam hal ini maka penyusunannya hanyalah
bersifat formalitas belaka yang tidak menutup kemungkinan dilakukan secara copy-
paste (salin-menyalin) saja. Dampaknya adalah bahwa perencanaan pembangunan
desa tidak terformulasikan secara baik, kesan penyelenggaraan musrenbangdes pun
tidak lebih dari kegiatan formalitas saja.
Jika cara-cara tata kelola desa dilakukan seperti ini pastinya kepentingan
desa tidak akan mungkin teragendakan dengan baik, apakah dalam APBD ataupun
dalam APBDes. Dengan kondisi tersebut tentunya masyarakat akan banyak
dirugikan. Artinya adalah relasi kompromi dalam penyusunan APBDes ini tidak
mendukung terhadap peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat.
67
PBB adalah salah satu unsur pajak daerah yang menjadi kewenangan daerah sekaligus sumber
pendapatan asli daerah sendiri sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah.
135
semakin melemah yang pada akhirnya relasinya akan memisah. Dalam kondisi
demikian maka relasi konfliktual adalah suatu kondisi yang paling wajar.
meskipun tanpa memerinci kelayakan berdasarkan fakta di lapangan atau sesuai data
pemerintahan. Namun secara jelas pernyataan tersebut merupakan penerimaan atas
pola-pola kerjasama dalam proses pendistribusian bantuan pemerintah.
Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa: Relasi Kekuasaan yang tidak
Menyejahterakan
Relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa, baik relasi yang bersifat konflik
maupun kompromi, keduanya relatif menunjukkan adanya bentuk keseimbangan
kekuasaan kecuali untuk beberapa bentuk kompromi dengan pertukaran yang lebih
memposisikan bupati sebagai superordinat. Hal ini terlihat dalam bentuk kompromi
pencairan dana desa. Adanya pembatasan-pembatasan syarat pencairan
mengindikasikan dominasi bupati terhadap kepala desa. Namun dalam bentuk-
bentuk konflik justru kepala desa memiliki peningkatan kualitas kekuasaannya
sehingga ketergantungannya terhadap bupati melemah.
Dalam analisis Emerson, proses melemahnya ketergantungan kekuasaan
akan melemahkan pula pertukaran yang dilakukan. Hal ini karena semakin
tergantung kepala desa terhadap bupati, maka semakin tinggi pula jenis
pertukarannya. Kondisi ini hanya terjadi pada proses pencairan dana desa saja
dimana kepala desa sangat bergantung kepada kuasa bupati. Potensi struktur
kekuasaan bupati dalam hal ini sangat menentukan sehingga membuatnya mampu
mengontrol kepala desa.
Pola relasi konflik menunjukkan kondisi yang sangat berbeda. Penguatan
jaringan kekuasaan yang dilakukan oleh kepala desa mampu meningkatkan posisi
tawarnya sehingga relatif seimbang dengan kekuasaan bupati. Pada kondisi ini
secara lugas kepala desa memiliki keberanian untuk mengkritisi bupati. Dengan
demikian secara prinsip kemampuan mengurangi ketergantungan kekuasaan kepala
desa terhadap bupati sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam membangun
jaringan kekuasaan.
Dari jaringan kekuasaan yang dikembangkan oleh ketiga kasus kepala desa
sebagaimana digambarkan dalam Gambar 6.6, 6.7 dan 6.8 menunjukkan bahwa
ikatan yang selalu melekat pada ketiga bentuk jaringan kekuasaan itu adalah
ikatannya dengan jaringan ulama dan jaringan jawara meskipun tekanannya
berbeda-beda. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jaringan memiliki peran dan
kedudukan yang sangat strategis.
Berdasarakan uraian sebelumnya, relasi kekuasaan bupati dengan kepala
desa di Pandeglang pada prinsipnya berlangsung baik secara konflik maupun
kompromi. Secara konflik disebabkan karena proses pembangunan desa, perbedaan
kepentingan kekuasaan, penolakkan bantuan dan kurangnya koordinasi
pemerintahan. Secara kompromi berlangsung dalam bentuk pendistribusian bantuan,
pembangunan daerah, peningkatan PADS/PADes dan penyusunan APBDes. Pola
relasi kekuasaan tersebut secara detail tersaji dalam Tabel 7.1.
Relasi konflik yang pertama adalah dalam proses pembangunan desa yang
terjadi karena kekecewaan kepala desa atas lambatnya pembangunan desa
khususnya berkaitan dengan infra struktur jalan desa. Berdasarkan pengamatan
penelitian, fasilitas jalan desa untuk Desa Citalahab dan Desa Awilega pada saat
penelitian dilakukan memang kondisinya sangat parah. Inilah kiranya yang memicu
kekecewaan dari kepala desa tersebut. Faktor pemicunya adalah kinerja
kepemimpinan bupati yang tidak cepat dalam merespon tuntutan publik (kepala
desa) untuk segera memperbaiki kualitas infra struktur pedesaan.
140
Relasi konflik bupati dengan kepala desa semakin tinggi karena bupati relatif
diam dengan jawaban-jawaban normatifnya. Sementara kepala desa yang
berhadapan langsung dengan kondisi riil di lapangan juga merasa terbebani oleh
penderitaan masyarakatnya. Di satu sisi kepala desa semakin lantang, sementara
bupati bersikukuh tidak bersedia turun langsung untuk merespon tuntutan tersebut.
Relasi kekuasaan pun semakin memisah. Hal ini menyebabkan hubungan bupati
dengan kepala desa tidak bersinergi dengan baik, sehingga bukannya infra struktur
jalan tersebut diperbaiki tetapi justru semakin tidak tersentuh karena kedua pimpinan
publik semakin tidak bisa dipersatukan.
Hal ini menyebabkan rakyat semakin menderita karena kondisi jalan desa
yang tidak kunjung mendapatkan perbaikan. Padahan hanya dengan kondisi jalan
yang baiklah sehingga hasil pertanian dapat terangkut secara efektif dan efisien,
serta akses desa-kota semakin cepat. Sejatinya bupati bersedia untuk turun
menjelaskan secara langsung kepada publik atau berkomunikasi dengan pihak
kepala desa untuk membicarakan duduk perkara yang sebenarnya mengapa terdapat
keterlambatan dalam proses pembangunan infra struktur jalan pedesaan. Adapun
kepala desa juga bisa menjadi perantara tuntutan publik dan memberikan masukan-
141
masukan konstruktif sehingga infra struktur jalan bisa segera diperbaiki dengan
kualitas yang baik. Penjelasan bupati tersebut tidak hanya bisa didelegasikan kepada
camat, karena dalam pemahaman publik yang berjanji atas percepatan
pembangunan adalah bupati bukan camat dan publik juga kepala desa merasa
terpuaskan jika jawaban itu berasal langsung dari bupati.
Relasi konflik yang kedua adalah berkaitan dengan adanya perbedaan
kepentingan kekuasaan. Konflik tersebut terjadi antara bupati dengan kepala desa
jawara politisi. Sejak dari awal kepala desa jawara politisi memang memposisikan
berhadap-hadapan secara kepentingan kekuasaan dengan bupati. Kepala desa jawara
politisi ini adalah loyalis dan pendukung utama jaringan kekuasaan IN yang
merupakan lawan politik bupati.
Perbedaan kepentingan kekuasaan secara jelas membuat relasi keduanya
memisah. Bupati memupuk kekuasaannya dalam jaringan kekuasaan yang
dimiikinya, sementara itu kepala desa juga berupaya menandinginya dengan
meningkatkan kualitas dan derajat kekuasaannya melalui jaringan kekuasaan IN.
Kondisi ini membuat bupati dengan kepala desa tidak dapat bersinergi untuk
membangun peta kekuasaan yang secara bersama-sama dalam meningkatkan
pembangunan. Ini pulalah yang menyebabkan bupati dan kepala desa tidak bisa
duduk bersama merumuskan strategi pembangunan dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Akibatnya adalah kepala desa antipati terhadap kebijakan
bupati dan relatif memberikan stereotipe terhadap kepemimpinan bupati misalnya
ketika mengidentikkan keputusan bupati yang didominasi pengaruh istrinya
sebagaimana dijelaskan di atas. Hal ini secara tidak langsung menyinggung
sensitivitas pribadi yang dapat menyulut kepada konflik pribadi antara bupati
dengan kepala desa.
Jika konflik sudah bermuara kepada hal yang sifatnya pribadi dapat
dipastikan permasalahannya akan semakin rumit. Dampaknya bisa saja bupati
mengambil langkah-langkah yang tidak populis misalnya dengan mengabaikan
proses pembangunan di wilayah desa yang menjadi kewenangan kepala desa dalam
hal ini Desa Citalahab. Sehingga sangat wajar kemudian jika proses pembangunan
desa menjadi terhambat. Sebagaimana diuraikan dalam bab 3, indikasi ini sangat
jelas dengan masuknya kembali Desa Citalahab (juga Desa Awilega) sebagai Desa
Tertinggal pada Tahun 2014 yang padahal sebelumnya berdasarkan data Tahun 2007
tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Secara politik, analisisnya adalah adanya kepentingan kekuasaan
menyebabkan bupati mengabaikan proses pembangunan desa pada wilayah kepala
desa yang menjadi lawan politiknya. Langkah yang dilakukan oleh bupati tersebut
adalah dengan tujuan sehingga kepala desa tidak lagi mendapatkan kepercayaan
warganya. Tentunya analisis tersebut masih perlu diperdebatkan validitasnya, tetapi
tidak menutup kemungkinan bupati melakukannya dalam rangka menurunkan
derajat kekuasaan kepala desa. Indikatornya adalah tidak bersedianya bupati untuk
turun ke desa meski sudah diundang adalah bagian dari proses pengabaian itu.
Secara singkat bahwa perbedaan kepentingan kekuasaan membuat bupati dan
kepala desa lebih memperhatikan kepentingan kekuasaannya masing-masing.
Dengan demikian mereka relatif melupakan kepentingan rakyat sebagai pihak yang
paling wajib mereka layani. Kepentingan-kepentingan rakyat pun pada akhirnya
diabaikan dengan lebih mendahulukan kepentingan kekuasaannya masing-masing.
Inilah kiranya yang kemudian mengakibatkan kesejahteraan masyarakat tidak bisa
terangkat secara optimal.
142
maupun kepala desa bersinergi secara apik untuk mendistribusikannya secara cepat
dan tepat.
Bentuk relasi kompromi yang ketiga adalah kerja sama dalam peningkatan
PADS/PADes. Kerja sama ini intinya adalah dalam proses penarikan PBB Sektor
Pedesaan. Meskipun bentuk relasinya adalah kerja sama, namun hal-hal yang
prinsipnya adalah maladministrasi mewarnai pola kompromi tersebut. Bupati
mempersyaratkan pencairan dana desa dengan pelunasan PBB. Untuk memacu
motivasi pelunasan PBB, bupati mengiming-imingi kepala desa dengan sejumlah
insentif. Sehingga kepala desa dipacu untuk melunasi PBB karena dua hal yaitu
untuk pencairan dana desa dan mengejar insentif pelunasan PBB.
Akhirnya dengan segala cara kepala desa berupaya untuk melunasi PBB
tersebut sesuai target tahunannya. Berdasarkan pengamatan penelitian, kepala desa
pada akhirnya melakukan dengan dana talangan dari alokasi keuangan apa pun
sepanjang target pelunasan dapat dilakukan dengan tidak memerinci pembayaran
sesuai objek pajak masing-masing. Hal ini karena pembayaran dilaksanakan secara
gelondongan sesuai total nilai tagihannya. Pada akhirnya tidak terurai secara jelas
mana saja warga yang sudah memenuhi kewajibannya dan mana warga yang belum
melunasinya. Sehingga setiap tahun wajib pajak selalu bertambah piutangnya. Hal
ini karena terdapat beberapa data objek pajak yang sebenarnya tidak dibayarkan,
karena pembayaran tidak berdasarkan objeknya. Kemudian data piutang pajak
semakin besar yang membebani tidak hanya pihak pemerintah kabupaten maupun
desa, tetapi juga masyarakat desa orang perorang secara luas. Membengkaknya
piutang PBB ini tersaji dalam Tabel 7.2.
Tabel 7.2 Piutang PBB Perdesaan pada Tiga Desa Lokasi Penelitian
Berdasarkan Tabel 7.2, ketiga desa tersebut semakin terbebani oleh jumlah
data piutang PBB yang dari tahun ke tahun semakin besar jumlahnya meskipun
untuk Desa Campaka relatif mengalami penurunan yang menunjukkan adanya
perbaikan dalam tata kelola desanya. Data tersebut belum termasuk piutang PBB
sebelum tahun 2010 yang jika diakumulasikan tentunya akan lebih besar lagi.
Padahal berdasarkan keterangan dari Bidang Piutang Dinas Pendapatan Daerah,
bahwa piutang PBB yang belum terselesaikan diawali sejak tahun 1993. Artinya
adalah tidak menutup kemungkinan lebih dari 50% objek PBB di Kabupaten
Pandeglang menanggung piutang sejak tahun tersebut.
Dengan demikian akibat dari bupati dan kepala desa yang “menghalalkan”
segala cara dalam peningkatan PADS/PADes-nya, akhirnya masyarakat terbebani
beban pajak tersebut. Akibat yang lebih luasnya adalah proses ekonomi pedesaan
baik itu jual beli tanah, ijin usaha dan lain sebagainya tidak bisa direalisasikan
sepanjang piutang PBB belum diselesaikan. Proses ekonomi pedesaan menjadi
terhambat karena administrasi izin usaha secara resmi semisal pendirian pabrik
penggilingan padi, usaha dagang dan jenis usaha lainnya selalu mewajibkan
pelunasan pajaknya, sementara untuk melunasi pajak secara total membutuhkan
145
biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian masyarakat pedesaan akan terjebak
dalam kondisi keterpurukan diakibatkan oleh maladministrasi dalam proses relasi
kompromi antara bupati dengan kepala desa.
Bentuk relasi kompromi yang terakhir adalah relasi yang berlangsung dalam
proses penyusunan APBDes. APBDes adalah dokumen resmi penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja desa yang diformulasikan secara bersama-sama antara pihak
kepala desa dan Bamusdes. Namun dalam proses penyusunannya, berdasarkan
temuan penelitian ternyata berlangsung kompromi administrasi antara pihak kepala
desa dengan bupati melalui pihak kecamatan.
Pihak bupati dalam hal ini mewajibkan terselesaikannya APBDes sebagai
salah satu syarat pencairan dana desa. Dalam hal ini bupati berkepentingan untuk
menyelesaikan administrasi pemerintahan secara tepat, sementara tentunya kepala
desa berkepentingan untuk merealisasikan pencairan dana desa. Terjadilah
kompromi antara kepala desa dengan bupati dengan cara meminta bantuan kepada
pihak kecamatan untuk menyusun APBDes tersebut.
Pihak kecamatan kemudian membantu proses penyelesaian APBDes yang
pada prinsipnya sebetulnya yang harus lebih paham adalah kepala desa sendiri. Hal
ini menyebabkan kepentingan masyarakat tidak terformulasikan dengan baik karena
penyusunan APBDes semata dilakukan untuk kepentingan formalitas administratif
saja. Pada kondisi yang memarginalkan kepentingan rakyat ini jelas menutup
peluang untuk semaksimal mungkin terangkatnya kesejahteraan masyarakat
pedesaan.
Berdasarkan uraian di atas, mayoritas relasi kekuasaan yang berlangsung
antara bupati dengan kepala desa baik dalam pola konflik maupun kompromi
berpengaruh negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan
Pandeglang.
Ikhtisar
Dalam merespon beberapa kinerja kepala desa, bupati relatif menempatkan
semua permasalahan pada ruang lingkup normatif saja. Berdasarkan pernyataan-
pernyataan yang dikemukakannya, bupati berusaha memaksimalkan potensi
strukturnya. Dengan begitu bupati mampu mengontrol kepala desa sesuai aturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sementara respon kepala desa sangat bersifat kritis terutama yang berkaitan
dengan isu-isu pembangunan desa. Sehingga baik kepala desa jawara politisi,
pengusaha maupun jawara kolot, memberikan kritisi terhadap kinerja kepemimpinan
bupati meskipun dengan tekanan yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut, hal
ini mengindikasikan berlangsungnya pola relasi kekuasaan konflik. Sementara itu,
pola relasi juga tidak selamanya berlangsung dalam situasi konfliktual, karena
ternyata masih ada kepentingan dari keduanya untuk saling bekerjasama dengan
sama-sama mengambil keuntungan dari kerjasama tersebut. Oleh karenanya,
disamping pola relasi konflik, berkembang pula pola relasi kompromi.
Baik pola relasi konflik maupun kompromi sebenarnya merupakan buah dari
proses penguatan jaringan kekuasaan yang dibangun kepala desa sehinga membuat
posisi tawarnya semakin meningkat dan ketergantungannya terhadap bupati semakin
menurun. Meskipun akan sulit mengukur derajat keseimbangan kekuasaan antara
bupati dan kepala desa, namun pola-pola relasi kekuasaan konflik yang
dikembangkan oleh kepala desa mengindikasikan keberanian kepala desa tersebut.
Keberanian ini merupakan indikasi adanya peningkatan derajat kekuasaannya.
146
Pola relasi konflik ini berlangsung dalam hal kekecewaan kepala desa
terhadap stagnansi pembangunan desa, perbedaan kepentingan kekuasaan,
penolakkan bantuan pemerintah dan apatisme tata kelola desa. Sementara pola relasi
kompromi berlangsung dalam proses pembangunan daerah, pendistribusian bantuan,
peningkatan PADS/PADes dan penyusunan APBDes.
Bentuk-bentuk relasi kekuasaan tersebut pada akhirnya mempengaruhi
ketidakterangkatnya kesejahteraan masyarakat karena baik relasi kekuasaan yang
bersifat konfliktual maupun yang bersifat kompromi sebagian besar berdampak
kepada masyarakat sebagai obyek akhir yang menanggung resiko dari relasi
tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa relasi kekuasaan bupati dan
kepala desa di Pandeglang tidak memberikan kemanfaatan yang signifikan bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
147
Faktor Sosial Kultural dalam Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa
Penghargaan terhadap kaum ulama yang sangat tinggi dalam masyarakat
Banten secara umum dan Pandeglang secara khusus disebabkan karena
masyarakatnya yang sangat religius. Karena ulama dipandang sebagai orang yang
paham agama maka ulama pun dijadikan sebagai tempat bersandar dalam sebagian
besar aspek kehidupannya.
Di samping aspek religi, dalam masyarakat Pandeglang berkembang pula
tradisi kajawaraan yang sebenarnya mengikuti prinsip-prinsip religi. Pembentukan
kemampuan kajawaraan dipercaya masyarakat sebagai bagian dari keyakinan
mendalam terhadap ajaran agama, dalam hal ini maka tidak mungkin akan mampu
menjalankan tata-laku kajawaraan jika tidak dibekali oleh pengetahuan-pengetahuan
keagamaan. Kenyataan inilah yang juga termasuk melekangkan eksistensi jawara
dalam masyarakat Pandeglang.
Dengan memperhatikan peran dan kedudukan ulama dan jawara, maka
ikatan terhadap kedua unsur sub kultur tersebut merupakan faktor determinan dan
selalu ditemukan dalam jaringan kekuasaan baik yang dibangun oleh bupati maupun
oleh kepala desa. Sehingga kemampuan dalam meningkatkan derajat kekuasaan
bergantung kepada kemampuannya dalam memperkuat ikatan jaringan dengan
kedua unsur ini.
Disamping aspek tradisi-religi, faktor perkembangan demokrasi yang
semakin menguat dalam segenap aspek kehidupan terlebih dunia pemerintahan,
148
mempengaruhi pula relasi kekuasaan yang terjadi antara bupati dengan kepala desa.
Desa yang semakin otonom terutama secara finansial, memberikan penguatan posisi
tawarnya terhadap bupati. Dengan demikian faktor-faktor tersebut bersinergi dalam
meningkatkan kekuasaan kepala desa yang menjadikannya semakin tidak tergantung
kepada kuasa bupati.
Secara konkret, untuk meningkatkan kekuasaannya tersebut, kepala desa
membangun ikatan jaringan kekuasaan kepada pihak yang secara sruktur mampu
mengimbangi struktur superordinat bupati. Ikatan itu dilakukan kepada jaringan
ulama dan jawara yang secara struktur kekuasaan sebagaimana dalam Gambar 6.2
mampu mengimbangi struktur kekuasaan bupati. Untuk lebih meningkatkannya,
kepala desa juga membangun ikatan dengan kelompok-kelompok tertentu dalam hal
ini kepala desa jawara politisi menjalinnya dengan jaringan kekuasaan IN, kepala
desa pengusaha menjalinnya dengan kelompok pengusaha dan kepala desa jawara
kolot menjalinnya dengan unsur kajawaraan dalam lapangan usaha informal.
Kekuatan jaringan kekuasaan para kepala desa ini sendiri sebagaimana digambarkan
Gambar 6.5 s.d. Gambar 6.8 sangat ditentukan oleh ikatannya terhadap jaringan
ulama dan jawara. Dengan demikian jaringan ulama dan jawara senantiasa menjadi
rebutan aktor-aktor yang memupuk kekuasaannya melalui jaringan kekuasaan.
Faktor Determinan dalam Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa dan
Dampaknya terhadap Kemiskinan Masyarakat Pedesaan
Ketergantungan kekuasaan kepala desa terhadap bupati relatif dipengaruhi
oleh potensi struktur bupati yang menempatkannya superordinat terhadap kepala
desa. Perkembangan peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan
bupati dengan kepala desa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
berpengaruh besar terhadap superordinasi bupati tersebut.
Perkembangan terkini seiring dengan perubahan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagai faktor kebijakan politik dan perkembangan
149
demokrasi serta faktor sosial kultural lainnya (khususnya pengaruh dari informal
leader ulama dan jawara) berpengaruh secara beriringan dalam cara berrelasi antara
bupati dengan kepala desa. Ketergantungan kekuasaan kepala desa pun mengalami
pergeseran ke arah yang semakin seimbang karena pengaruh kedua faktor tersebut.
Dominasi bupati karena potensi strukturnya, diimbangi oleh kepala desa dengan
membangun jaringan kekuasaan yang membuat derajat kekuasaannya menjadi lebih
tinggi.
Berdasarkan bentuk-bentuk relasi kekuasaan yang terjadi antara bupati
dengan kepala desa diketahui terdapat beberapa faktor yang menyulutnya yaitu
(a) stagnansi pembangunan desa, (b) kepentingan kekuasaan, (c) proses
pembangunan daerah, (d) administrasi pencairan dana desa, dan (e) bantuan
pemerintah.
Stagnansi pembangunan desa menyulut relasi konfliktual, begitu pula halnya
dengan adanya perbedaan kepentingan kekuasaan. Sementara itu dalam hal proses
pembangunan daerah dan administrasi pencairan dana desa berlangsung secara
kompromi atau kerjasama. Namun halnya dengan bantuan pemerintah berlangsung
dalam dua pola yaitu secara konflik juga secara kompromi.
Pola-pola relasi kekuasaan tersebut, baik secara konflik maupun kompromi
keduanya menenggelamkan kepentingan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pola
relasi konflik menyebabkan bupati dan kepala desa lebih mengedepankan ego dan
kepentingan kekuasaannya. Sementara pola relasi kompromi juga banyak melanggar
rambu-rambu administrasinya, yang pada akhirnya justru membuat masyarakat yang
dirugikan. Dengan demikian pola-pola relasi kekuasaan tersebut, baik itu yang
bersifat konfliktual maupun kompromi selalu berujung kepada kerugian yang
ditanggung oleh masyarakat. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa relasi
kekuasaan bupati dengan kepala desa sangat tidak mendukung terhadap perwujudan
kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Implikasi Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini memberikan pengayaan dalam teori
pembentukan jaringan kekuasaan yang berdampak terhadap pola-pola relasi
kekuasan. Sementara dalam aspek praktisnya, penelitian ini memberikan sumbangan
pemikiran dalam format tata kelola desa dan daerah yang memberikan semaksimal
mungkin kesejahteraan bagi masyarakat pedesaan.
Implikasi Teoritis
Teoritisasi yang coba dibangun dalam penelitian ini adalah pengembangan
teori pertukaran yaitu dengan menghubungkan antara ketergantungan kekuasaan dan
proses pengimbangan kekuasaan yang dilakukan melalui pembentukan jaringan,
serta terbentuknya relasi kekuasaan sebagai hasil dari proses pengimbangan
kekuasaan tersebut. Rangkaian teoritisasi ini diilustrasikan dalam Gambar 8.1.
Pola relasi kekuasan konfliktual dan kompromis yang terbentuk antara bupati
dan kepala desa merupakan hasil dari proses pengimbangan kekuasaan yang
dilakukan oleh kepala desa. Pada mulanya potensi struktur bupati dalam struktur
pemerintahan membuatnya menjadi superordinat sehingga kepala desa memiliki
ketergantungan yang sangat tinggi.
150
Implikasi Kebijakan
Meskipun pola-pola relasi kekuasaan yang terbentuk antara bupati dengan
kepala desa di Kabupaten Pandeglang ini tidak berdampak terhadap terancamnya
tatanan sosial masyarakat pedesaan, namun dampaknya terhadap ketidaksejahteraan
merupakan hal krusial yang harus segera diperbaiki sehingga relasi yang ada
memberikan kontribusi positif. Dalam kaitannya dengan tata kelola pemerintahan
daerah dan desa, pola relasi yang terjadi antara bupati dan kepala desa baik yang
bersifat konfliktual maupun kompromis membentuk kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Harmonisasi tata kelola pemerintahan
Ketidakharmonisan yang terjadi antara bupati dengan kepala desa terjadi karena
kurangnya komunikasi yang berlangsung diantara keduanya. Hal ini terjadi
karena masing-masing menilai kebenaran pendiriannya. Sementara itu tidak ada
lembaga pemerintahan yang berdiri secara independen mampu mendamaikan
ketidakharmonisan tersebut, karena pihak kecamatan pun dalam posisi ini tetap
dianggap bagian dari kepentingan bupati.
2. Konektivitas perencanaan pembangunan desa dan daerah
Musrenbangdes sebagai wadah formal dalam menampung aspirasi masyarakat
pedesaan sejatinya menjadi formula yang konkret bukan dilaksanakan untuk
memenuhi adminstrasi saja. Demikian pula musrenbangkab yang sejatinya
menjadi format akhir yang menampung agenda kepentingan desa.
3. Sensitivitas kepentingan masyarakat desa
Posisi tawar masyarakat pedesaan sangat lemah karena tidak terdapat sub sistem
politik yang bisa mengartikulasikan kepentingannya. Berbeda dengan format
sistem politik di tingkat pusat dimana sistem bikameral dalam kelembagaan
legislatif DPR RI memberikan kesempatan daerah mengaspirasikan
kepentingannya melalui DPD. Hal ini berbeda dengan format dalam
kelembagaan DPRD Kabupaten yang tidak mewakilkan kepentingan desa. Hal
ini menyebabkan posisi tawar desa dan juga masyarakat pedesaan menjadi
lemah. Oleh karenanya pembentukan jaringan kekuasaan sebagaimana diuraikan
dalam bab 6 tidak lebih sebagai upaya dan strategi kepala desa untuk
meningkatkan posisi tawarnya.
4. Peningkatan kapasitas sumber daya aparatur desa
Adanya proses penyusunan APBDes yang dilakukan oleh pihak kecamatan
terjadi karena ketidakmampuan teknis pihak kepala desa dan aparaturnya dalam
hal tersebut. Dengan demikian upaya-upaya peningkatan kapasitas sumber daya
aparatur desa perlu senantiasa ditingkatkan sehingga ketergantungan terhadap
152
DAFTAR PUSTAKA
Abrori A. 2003 Peran Politik Jawara Banten dalam Proses Politik di Banten (Tesis).
Depok(ID): UI.
Akbar AAS. 2008. Konflik dan Kontestasi Aktor Intra Desa Buah Demokrasi Minus
Transformasi. Jurnal Swara Politika. Vol. 10 No. 3.
Alamsyah AR. 2009. Islam, Jawara & Demokrasi: Geliat Politik Banten Pasca-Orde
Baru. Jakarta(ID): Dian Rakyat.
Alfitri R. 2009. Demokrasi Indonesia: Mewujudkan Kesetaraan atau Melahirkan
Kesenjangan. Jurnal PPKn dan Hukum Vol. 4(1):1-12.
Alkhudri AT. 2013. Kepemimpinan Elit Lokal di Pedesaan pada Era Desentralisasi:
Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang (Tesis). Bogor(ID): IPB.
Andrain CF. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta(ID): Tiara
Wacana.
Antlov H. 2002. Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal.
Yogyakarta(ID): Lappera Pustaka Utama.
Arisnaldi. 2012. Implementasi Demokrasi Lokal di Bayang-Bayang. Jurnal
Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Vol. 25 No. 2.
Aziz, YMA. 2002. Elite dan Masyarakat Sipil dalam Gerakan Sosial Pembentukan
Provinsi Banten. Jurnal Paradigma Polistaat. Vol. 4. No. 7.
Badan Pusat Statistik. 2014. Penghitungan dan Indikator Kemiskinan Makro 2014.
Jakarta(ID): BPS.
Bandiyah. 2010. Evolusi Jawara di Banten (Studi Evolusi dari Bandit Menjadi
Pejabat). Jurnal Interaktif Universitas Brawijaya. 1(2):111-171.
Bates TR. 1975. Gramsci and the Theory of Hegemony. Journal of the History of
Ideas. 36 (2): 351-366.
Beilharz P. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof
Terkemuka. Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar.
Blau PM, Meyer MW. 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern. Jakarta(ID):
Prestasi Pustakaraya.
Bruinessen Mv. 1995. Shari`a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions
in the Sultanate of Banten. Archipel. (50): 165-200.
Budiardjo M. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka
Utama.
Bungin B (ed.). 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta(ID): PT.
RajaGrafindo Persada.
Burke P. 2001. Sejarah dan Teori Sosial, alih bahasa Mestika Zed, Jakarta (ID):
Yayasan Obor Indonesia.
Cahyono H. Konflik Elit Politik di Pedesaan: Relasi Antara Badan Perwakilan dan
Pemerintah Desa. Jurnal Penelitian Politik. Vol. 1 No. 1.
Chilcote RH. 2004. Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma.
Jakarta(ID): RajaGrafindo Persada.
Coleman JS. 2009. (terjemahan Iman Muttaqien, dkk). Dasar-Dasar Teori Sosial:
Referensi Bagi Reformasi, Restorasi dan Revolusi. Bandung(ID): Penerbit
Nusa Media.
Dahl R.A. 2001. Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Secara Singkat.
Jakarta(ID): Yayasan Obor Indonesia.
Darban AA. 2004. Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah. Humaniora. 16(1):27-34.
154
Dharmawan AH. 2006. Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan
Kemitraan. Bogor(ID): PSP3-LPPM IPB.
Denzin NK, Lincoln YS (ed.). 2009. (terjemahan Dariyatno, dkk.). Handbook of
Qualitative Research. Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar.
Dewi, KN. 2003. Peran Desa Adat dalam Otonomi Desa: Kasus di Desa Sesetan,
Bali. Jurnal Widyariset. Vol. 4.
Dewi, SF. 2006. Konflik dalam Pemerintahan Nagari: Penelitian di Nagari Padang
Sibusuk Kabupaten Sawahlunto Sijunjung Sumatera Barat. Jurnal
Demokrasi. Vol. 5 No. 1.
Dye T.R., Zeilgler H. 1996. The Irony of Democracy Uncommon Introduction to
American Politic. California(US). Wardsworth Publishing Company.
Emerson RM. 1962. Power-Dependence Relation. Jurnal American Sociological
Review. Vol. 27 No. 1.
Faulks K. 2010. (terjemahan Helmi Mahadi dan Shohifullah). Sosiologi Politik
Pengantar Kritis. Bandung (ID): Penerbit Nusa Media.
Geertz C. 1973. The Interpretation of Cultures: New York(US): Basic Books, Inc.
Publisher.
Hamid A. 2010. Memetakan Aktor Politik Lokal Banten Pasca Orde Baru: Studi
Kasus Kiai dan Jawara di Banten. Politika. 1(2):32-45.
_______. 2011. Pergeseran Peran Kyai alam Politik di Banten Era Orde Baru dan
Reformasi. Al Qalam. 28(2): 339-364.
Hanafi M.I. 2010. Hubungan Modal Sosial dengan Kemiskinan Masyarakat Nelayan
di Desa Panimbang Jaya Pandeglang. Bogor(ID): IPB.
Hartmann M. 2004. The Sociology of Elites. New York(US): Routledge.
Hicks AM, Janoski T , Schwartz MA. 2005. Introduction: Political Sociology in The
Millenium dalam Janoski T dkk (ed.). The Handbook of Political Sociology:
States, Civil Societies and Globalization. Cambridge(UK): Cambridge
University Press.
Hidayat S. 2007. Too Much Too Soon, Local State Elite’s Perspective on and The
Puzzle of Contemporary Indonesian Regional Autonomy Policy. Jakarta(ID):
PT Raja Grafindo Persada.
Hirawan Z. 2014. Efektivitas Musrenbang Dalam Penyusunan APBD Kabupaten
Subang. Jurnal Elektronik FISIP Untirta. 5(2):216-231.
Hudaeri M. 2002. Jawara di Banten: Peran, Kedudukan dan Jaringannya (Laporan
Penelitian). Serang(ID): STAIN SMHB.
Hudaya B. 2011. Glembuk Strategi Politik dalam Rekrutment Elit Penguasadi Desa
Pulungsari Yogyakarta. Jurnal Humaniora. Vol. 23 No. 1.
Ichwan MN. 2012.The Local Politics of Orthodoxy: The Majelis Ulama Indonesia in
the Post-New Order Banten. .Journal of Indonesian Islam. 6(1):166-194.
Jessop B. 2006. Developments in Marxist Theory dalam Nash K dan Scott A (ed.).
The Blackwell Companion to Political Sociology. Malden(US): Blackwell
Publishing.
Jones S. 2006. Antonio Gramsci. New York(US): Routledge.
Karomani. 2005. Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara
di Menes Banten Selatan. Jurnal Mediator. 6(2):228-235.
Kartodirdjo S. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta(ID): Pustaka Jaya.
Kausar, Zaman K. Analisis Hubungan Patron-Klien (Studi Kasus Hubungan Toke
dan Petani Sawit Pola Swadaya di Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten
Rokan Ulu. Jurnal Journal of Agricultural Economics (IJAE). Vol. 2 No. 2.
155
Lestari E.P. dan Arief R.S. 2014. Analisis Sebaran Kemiskinan di Kabupaten
Pandeglang. Jakarta(ID): UT.
Lubis NH. 2003. Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara.
Pustaka. Jakarta(ID): LP3ES.
Marbun B.N. 2005. Kamus Politik. Jakarta(ID): Pustaka Sinar Harapan.
Mann M. 1986. The Sources of Social Power (Volume I: A history of power from
the beginning to A.D. 1760). Cambridge(UK): Cambridge University Press.
Maschab M. 2013. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta(ID): PAU
UGM.
Miles MB, Huberman AM. 1994. Qualitative Data Analysis: An Expanded
Sourcebook. California(USA): Sage Publications.
Muslim A. 2014. Migrasi dan Pertumbuhan Desa: Kasus di Desa Kubangkondang
dan Desa Sobang Kabupaten Pandeglang. Jurnal Goverma. 2(1):100-120.
Munir HD. 2004. Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta(ID):
Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI).
Nasution IP. 1994. Kedudukan dan Peranan Tokoh Agama dalam Birokrasi
Kerajaan Islam Banten Abad 16-18 (Laporan Penelitian). Jakarta(ID): UI.
Neher CD. 1994. Asian Style Democracy. Jurnal Asian Survey. 34 (11): 949-961.
Nordholt NS. 1987. Ojo Dumeh: Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan.
Jakarta(ID): Pustaka Sinar Harapan.
Nordholt NS et al. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta (ID): KITLV Jakarta-
Yayasan Obor Indonesia.
Nuraini S. 2010. Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa. Jurnal Kybernan.
Vol. 1 No. 1.
Nurdin BV. 2009. Antara Negara dan Nagari: Kontestasi Elit Lokal dalam
Rekonstruksi Nagari di Minangkabau pada Masa Otonomi Daerah. Jurnal
Administratio. Vol. 3 No. 7.
Nurman. 2002. Konflik Antar Lembaga di Pedesaan (Penelitian di Kanagarian
Pianggu, Sumatera Barat). Jurnal Demokrasi. Vol. 1 No. 1.
Peters, BG. 2007. Forms of Informal Governance: Searching for Efficiency and
Democracy dalam Christiansen T dan Larsson T. (ed.). The role of
Committees in the Policy-Process of the European Union. Cheltenham (UK):
Edward Elgar.
Poloma MM. 1990. Sosiologi Kontemporer. Jakarta(ID): PT. RajaGrafindo Persada.
Pribadi Y. 2011. Strongmen and Religious Leaders in Java: Their Dynamic
Relationship in Search of Power. Al-Jamiah. 49(1):159-190.
Rasyid R. 2000. Makna Pemerintahan. Jakarta(ID): PT. Yarsif Watampone.
Ricklefs M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta(ID): Serambi.
Ritzer G, Smart B (ed). 2011a. (terjemahan Iman Muttaqien, dkk). Handbook Teori
Sosial. Bandung(ID): Nusa Media.
Ritzer G, Goodman DJ. 2011b. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-
Marxian. Bantul(ID): Kreasi Wacana.
Rustinsyah. 2011. Hubungan Patron-Klien di Kalangan Petani Desa Kebonrejo.
Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Vol. 24 No. 2.
Saifuddin AF. 2011. Catatan Reflektif Antropologi Sosialbudaya. Jakarta(ID):
Institut Antropologi Indonesia.
Satria A. Menuju Desa 2030. Yogyakarta(ID): Pohon Cahaya.
Saxebol T. 2002. The Madurese Ulama as Patrons: A case study of power relation in
an Indonesian Community (Disertasi). Oslo (NOR): Universitas Oslo.
156
Scott JC. 1972a. Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia.
Jurnal The American Political Science Review Vol. 66 No. 1 pp. 91-113.
Scott JC. 1972b. The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural
Southeast Asia. Jurnal Journal of Asian Studies Vol. 32 No. 1 pg. 5.
_______. 1992. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta(ID): Yayasan Obor.
_______. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Jakarta(ID): LP3ES.
Sholahudin D. 2000. Model Pengentasan Kemiskinan Bagi Pemuda Pedesaan
Melalui Sistem Orang tua Angkat (Studi Kasus Pemberdayaan ekonomi yang
diselenggarakan oleh Badan Pelaksana Dana Firdaus Mathla’ul Anwar di
Desa Sukajaya Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandeglang) (Tesis).
Bandung(ID): UPI.
Sidel JT. 1989. Beyond Patron-Client Relations: Warlordism and Local Politics in
Philipines. Jurnal Kasarinlan Vol. 4 No. 3.
Soetrisno L. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogyakarta(ID):
Kanisius.
Suhaedi. 2003. Tasbih dan Golok: Studi tentang Kharisma Kyai dan Jawara di
Banten. Jurnal Istiqro. 2(1):57-87.
Suhaedi HS. 2006. Jawara Banten: Kajian Sosial-Historis tentang Mobilitas Sosial
Jawara (Tesis). Depok(ID): UI.
Suharto. 2001. Banten Masa Revolusi, 1945-1949: Proses Integrasi Dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Disertasi). Depok(ID): UI.
Suharto E. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung(ID):
Refika Aditama.
Sumaryo G. 2013. Efektivitas Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan
(Tesis). Surakarta(ID): UNS.
Sunatra. 1997. Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam
Budaya Politik Lokal (Studi Kasus Kepemimpinan Informal Perdesaan di
Banten Selatan) (Disertasi). Bandung(ID): Unpad.
Surbakti R. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta(ID): PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Taufiqurokhman. 2015. Pandeglang dalam Implementasi Kebijakan Peningkatan
IPM: Sebuah Disertasi. Jakarta(ID): Universitas Moestopo Beragama.
Tihami MA. 1992. Kiyai dan Jawara di Banten: Studi tentang Agama, Magi dan
Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang (Tesis). Depok(ID): UI.
Triputro R.W. dan Supardal (ed.). 2005. Pembaharuan Otonomi Daerah. Yogyakarta
(ID): STPMD APMD Press.
Tono. 2009. Analisis Kemiskinan di Pedesaan dan Strategi Penanggulangannya:
Studi Kasus di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten (Tesis). Bogor(ID):
IPB.
Usman S. 2004. Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi. Yogyakarta(ID). Center
for Indonesian Research and Development [CIReD].
Varma S.P. 2010. Teori Politik Modern. Jakarta(ID): Raja Grafindo Persada.
Walker GQ. 1987. Initiative and Referendum: The People’s Law. Syndey(AU): The
Centre for Independent Studies.
Wignjosoebroto S. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.
Jakarta(ID): Elsam-Huma.
Wiratmoko NT. (ed.). 2004. Yang Pusat dan Yang Lokal: Antara Dominasi,
Resistensi, dan Akomodasi Politik di Tingkat Lokal. Salatiga(ID): Percik.
157
Yin RK. 1996. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta(ID): Rajawali Press.
Yulizar K. 2014. Efektivitas Musrenbang Nagari pada Perencanaan Sektor
Pembangunan Daerah di Sektor Pertanian (Studi Kasus: Musrenbang Nagari
Kambang di Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan) (Tesis).
Padang(ID): Unand.
158
LAMPIRAN
159
RIWAYAT HIDUP