Relasi Kekuasaan Antara Bupati Dengan Kepala Desa Dan Kemiskinan Di Pedesaan Pandeglang (PDFDrive)

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 184

RELASI KEKUASAAN ANTARA BUPATI DENGAN KEPALA DESA

DAN KEMISKINAN DI PEDESAAN PANDEGLANG

ASEP MUSLIM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Relasi Kekuasaan
Antara Bupati dengan Kepala Desa dan Kemiskinan di Pedesaan Pandeglang adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Asep Muslim
NIM I363110011
RINGKASAN

ASEP MUSLIM. Relasi Kekuasaan Antara Bupati dengan Kepala Desa dan
Kemiskinan Pedesaan Pandeglang. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING,
ARYA H. DHARMAWAN dan ENDRIATMO SOETARTO.

Perkembangan demokrasi lokal di Indonesia mengindikasikan adanya


semacam pembiasan dari nilai-nilai ideal demokrasi yang sesungguhnya. Salah satu
pembiasan tersebut diindikasikan adanya penumpukan kekuasaan pada kelompok
tertentu sebagaimana keberadaan dinasti politik yang menguasai arena kekuasaan
lokal di beberapa wilayah di Indonesia.
Dalam analisis Neher (1995), kecenderungan menumpuknya kekuasaan pada
suatu tokoh atau kelompok tertentu ini dijelaskan merupakan salah satu karakteristik
kultur masyarakat Asia yang masih kuat ikatan patronase-nya. Hal yang sama
kondisinya dengan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Ikatan patronase ini
menggambarkan relasi kekuasaan yang menempatkan patron sebagai pusat
kekuasaannya. Dengan demikian, untuk memahami model demokrasi lokal perlu
dianalisis dari pola-pola relasi kekuasaannya.
Dalam penelitian ini, relasi kekuasaan yang dipilih adalah antara bupati dan
kepala desa. Kedua struktur tersebut dipilih sebagai representasi struktur
pemerintahan yang dipilih secara langsung melalui proses politik. Adapun kepala
desa yang dipilih adalah kepala desa yang memiliki karakter kajawaraan sebagai
sub kultur khas masyarakat Banten.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menjelaskan faktor sosial-kultural yang
mempengaruhi relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa, (2) menemukan pola
relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa dan (3) menganalisis proses relasi
kekuasaan bupati dengan kepala desa dan implikasinya terhadap kemiskinan
masyarakat pedesaan.
Penelitian kualitatif dipilih sebagai metode penelitian dengan menggunakan
desain studi kasus. Tiga Desa yaitu Desa Citalahab, Desa Awilega dan Desa
Campaka sebagai kasus merepresentasikan kepala desa: jawara politisi, pengusaha
dan jawara kolot. Data dikumpulkan melalui teknik wawancara mendalam,
pengamatan terlibat dan studi literatur. Sumber data ditentukan secara purposive
yaitu tokoh ulama, tokoh jawara, bupati, kepala desa, camat, aparatur desa, aparatur
kecamatan, aparatur pemerintahan daerah dan masyarakat biasa.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa adanya pengaruh faktor sosial-kultural
utamanya peran dan kedudukan ulama dan jawara dalam mempengaruhi relasi
kekuasaan bupati dengan kepala desa. Ikatan jaringan kekuasaan yang dibentuk
terhadap jaringan ulama dan jawara sangat menentukan terhadap derajat kekuasaan
yang terbentuk sehingga baik dalam jaringan kekuasaan yang dibangun oleh kepala
desa jawara politisi, jawara pengusaha maupun jawara kolot, ketiganya melibatkan
unsur jaringan ulama dan jawara dalam jaringan kekuasaannya.
Penelitian juga menemukan dua bentuk pola relasi kekuasaan antara bupati
dengan kepala desa yaitu konflik dan kompromi. Pola konflik terbentuk karena
faktor kekecewaan atas stagnansi pembangunan desa, perbedaan kepentingan
kekuasaan, penolakkan bantuan dan apatisme dalam tata kelola desa. Sementara pola
kompromi terbentuk dalam hal proses pembangunan daerah, pendistribusian
bantuan, peningkatan PADS (Pendapatan Asli Daerah Sendiri)/PADes (Pendapatan
Asli Desa) dan penyusunan APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa).
Pola relasi kekuasaan di atas terbentuk sebagai proses yang diawali dari
adanya ketergantungan kekuasaan kepala desa terhadap bupati yang sangat tinggi.
Dalam kondisi ini bupati sangat diuntungkan oleh potensi strukturnya yang
memposisikannya sebagai superordinat terhadap kepala desa. Melalui proses
pengimbangan kekuasaan dengan pembentukan jaringan kekuasaan, pada akhirnya
kepala desa relatif mampu mengimbangi kekuasaannya. Hal ini berdampak kepada
pola relasi kekuasaan yang tidak lagi sangat tergantung terhadap bupati sehingga
menyulut adanya relasi konflik sekaligus kompromi.
Kedua bentuk pola relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa tersebut
berdampak terhadap semakin tersisihkannya kepentingan masyarakat pedesaan. Pola
relasi konflik membuat bupati dan kepala desa terjebak dalam ego kekuasaannya
masing-masing yang membuat keduanya tidak bisa menjalin komunikasi dan
koordinasi pemerintahan yang baik yang pada akhirnya mengabaikan kepentingan-
kepentingan masyarakat. Sementara pola kompromi dilakukan dengan bentuk-
bentuk pelanggaran administrasi yang pada akhirnya juga merugikan masyarakat
pedesaan. Kondisi pola relasi kekuasan ini menunjukkan bahwa relasi kekuasaan
yang terbentuk tidak memberikan manfaat terhadap pengentasan kemiskinan
masyarakat pedesaan di Kabupaten Pandeglang.

Kata kunci: relasi kekuasaan, bupati, kepala desa, konflik, kompromi, kemiskinan.
SUMMARY
ASEP MUSLIM. The Power Relations between The Regent and The Head of
Village and Pandeglangnese Rural Poverty. Supervised by LALA M.
KOLOPAKING, ARYA H. DHARMAWAN and ENDRIATMO SOETARTO.

The development of local democracy in Indonesia indicated a kind of


refraction from the values of the real democracy. The empirical fact showed that
democratization in local level construct the local strongmen that rule in economy,
social and local politics. This fact stimulates an absolute power construction in local
level as a kind of democratic refraction in the shape of political dynasty or political
oligarchy in several local areas, Banten is one of this concrete samples.
The existence of this political dynasty stimulates an accumulation of power
in specific group, so the balance of power is not appeared. In analysis of Neher
(1995), this trend of power accumulation in a figure specific person could be
described as one of the characteristic of the Asian cultural society that has strong
patronage relation. This condition is the same with the most of Indonesian society
especially Banten. This patronage relation is a description of power relation that
position patron as the centre of power. In order to understand the local democratic
model in Banten, it should be analysed by cultural approach in case of the power
relation patterns among all structures in Bantenese society.
In this research, the case of power relation is between the regent and the head
of village in Pandeglang. Those structures are chosen as representation of
government structure that directly elected by the political process. Meanwhile the
chosen head of villages are the head of village that has the character of kajawaraan
as one of the specific sub culture of Bantenese society.
The aim of this research are (1) to explain the social and cultural factors that
have influence in the power relation between the regent and the head of village, (2)
to explore the power relation patterns between the regent and the head of village and
(3) to analyse the impact of power relation to the Pandeglangnese rural poverty.
The research was executed qualitatively by the critic paradigm approach and
case study design. Three villages in Pandeglang namely Citalahab, Awilega and
Campaka Village were chosen as the research location that represented the head of
village that have characteristic of politician jawara, entrepreneur jawara and the old
jawara. Data were collected by in depth interview, participatory observation and
literature study. Data sources were determined purposively namely the figure of
ulama, figure of jawara, regent, head of villages, chief of sub district, village
apparatus, sub district apparatus, bureaucrat and common people.
The result of the research explained that there are the existence of the social
cultural factors influence especially the role of ulama and jawara that have influence
to the power relation between the regent and the head of village. The power network
that constructed to the network of ulama and jawara have determine to the
constructed power structure, so whether in the power network that constructed by
the jawara politician head of village, the jawara entrepreneur or the senior jawara,
all of them involved the network of ulama and jawara in their power network.
The research also found two kinds of power relation pattern between the
regent and the head of village namely conflict and compromise pattern. The conflict
pattern is constructed because of the disappointed factor to the stagnancy of the rural
development, the difference of power interest, the rejection of the government aid
and the apathy of the rural governance. Meanwhile the compromise pattern is
constructed in the process of local development, the distribution of government aid,
the increase of PADS (the local-self income)/PADes (the original village income)
and the arranging of APBDes (the budget of the village income and expenditure).
The power relation pattern above was constructed as the process that started
by the existence of power dependence of the head of village to the regent. In this
condition, the regent is a very beneficial side by the potential of his structure that
position him as the superordinate to the head of village. By the process of power
balancing in the construction of the power network, the head of village is relatively
able to counterbalance to the regent. It has implication to the power relation pattern
that make them were not depend on the regent anymore, so it creates a conflict
pattern and also a compromise one.
Those kinds of power relation pattern have the impact to eliminate the
interest of rural society. The conflict relation pattern makes the regent and the head
of village was trapped in their egoistic individual power that makes both of them
could not create a good communication and a governmental coordination that finally
it will neglect the public interest. Meanwhile the compromise pattern was executed
in the forms of maladministration process that also finally would inflict to the rural
society. The condition of the power relation pattern showed that the constructed
power relation did not give a beneficial contribution to the elimination of the rural
society poverty in Pandeglang regency.

Keywords: power relation, regent, head of village, conflict, compromise, poverty.


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
RELASI KEKUASAAN ANTARA BUPATI DENGAN KEPALA DESA
DAN KEMISKINAN DI PEDESAAN PANDEGLANG

ASEP MUSLIM

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A.


2. Dr. H.M. Subhi, MM

Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi:

1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A.


2. Dr. H.M. Subhi, MM
Judul Disertasi : Relasi Kekuasaan Antara Bupati dengan Kepala Desa dan
Kemiskinan di Pedesaan Pandeglang
Nama : Asep Muslim
NIM : I363110011

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S.


Ketua

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr. Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, M.A.
Anggota. Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Sosiologi Pedesaan

Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

Tanggal Ujian Tertutup : 18 Juli 2016 Tanggal Lulus:


Tanggal Sidang Promosi : 22 Agustus 2016
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penyusunan
disertasi ini dapat diselesaikan. Hanya karena kuasa-Nya lah sehingga peneliti diberi
kemampuan untuk menyelesaikan disertasi ini.
Penelitian ini sendiri tidak mungkin dapat terselesaikan seandainya tidak
mendapatkan dukungan dari berbagai pihak utamanya dari Bapak Dr. Ir. Lala M.
Kolopaking, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang dengan tanpa lelah
memberikan arahan dan bimbingannya kepada peneliti, Bapak Dr. Ir. Arya H.
Dharmawan, M.Sc.Agr yang tidak pernah henti-hentinya memotivasi peneliti baik
dalam kapasitasnya sebagai Anggota Komisi Pembimbing maupun Ketua Program
Studi Sosiologi Pedesaan dan Bapak Prof. Dr. Endriatmo Soetarto selaku Anggota
Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan-bimbingan bijaknya.
Semoga arahan dan bimbingannya menjadi amalan soleh yang dicatat sebagai nilai
ibadah Bapak-Bapak sekalian.
Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis haturkan kepada:
1. Bapak Rektor IPB.
2. Bapak Dekan Pascasarjana IPB.
3. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Sosiologi Pedesaan atas pencerahan
keilmuan yang diberikan.
4. Teman-teman mahasiswa pascasarjana Sosiologi Pedesaan khususnya kepada
sahabat seperjuangan Pak Mawardi, Pak Martua dan Ibu Jamilah.
5. Ibu Lia, Ibu Susi, Ibu Neni, Mba Anggra, Pak Haji, Pak Ahmad (PSP3) dan
segenap jajaran staf administrasi Fakultas Ekologi Manusia atas jalinan
kekeluargaan dan pelayanan administrasi yang diberikan.
6. Jajaran staf administrasi Sekolah Pascasarjana IPB atas bantuan kelancaran
administrasi yang diberikan.
7. Rekan-rekan di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pandeglang, Dinas
Pendapatan Daerah Kabupaten Pandeglang dan Unma Banten atas kebersamaan
dan maklumnya selama peneliti melaksanakan studi.
8. Mimih Cibuah, Apih dan Mimih Kadumanggu dan segenap keluarga atas
dukungan morilnya.
9. Istri tercinta Aida Sulistiawati, SE dan buah hati tersayang Najma Humaira dan
Jihan Asyifa Yugairu atas dukungan moril-spirituil yang senantiasa diberikan.
Peneliti menyadari bahwa pemahaman peneliti terkait dengan tema
penelitian relasi kekuasaan dalam disertasi ini masih sangat dangkal, oleh karenanya
peneliti memohon maaf atas ketidaksempurnaannya. Namun demikian peneliti
berharap semoga apa yang tertuang didalamnya memberikan kemanfaatan.

Bogor, September 2016


Asep Muslim
viii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi

1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Signifikansi Penelitian 6
Penelitian Terdahulu 6
Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 8
Tujuan Penelitian 18
Kebaruan (Novelty) 18

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 19


Demokrasi Elitis Versus Partisipatif: Pilihan Sistem Pemerintahan Yang
Menyejahterakan 19
Elit dan Kepemimpinan Lokal, serta Sumber dan Saluran Kekuasannya 20
Konsep Ulama dan Jawara: Pertautan Antara Politik dan Urusan Keduniaan 24
Ulama dan Jawara dalam Pertarungan Elmu Putih dan Elmu Hideung 26
Relasi Kekuasaan Masyarakat Pedesaan dan Kecenderungan
Pola Kekuasaan Ketergantungan 28
Kemiskinan Pedesaan: Demokratisasi Yang Tidak Menyejahterakan 36
Kerangka Pikir 38

3. METODOLOGI PENELITIAN 43
Hipotesis Pengarah 43
Paradigma Penelitian 45
Strategi Penelitian: Memahami Relasi Kekuasaan Masyarakat Pedesaan 45
Metode Penelitian 47
Analisis Data 49
Lokasi Penelitian 51
Tahapan Penelitian 52

4. KONDISI KEPENDUDUKAN, KEHIDUPAN KEAGAMAAN DAN


KEMISKINAN PEDESAAN PANDEGLANG 53
Kondisi Kependudukan dan Perkembangan Daerah 54
Kebijakan Pemerintah Lokal dalam Kehidupan Keagamaan:
Antara Kepentingan Politik dan Keagamaan 59
Struktur Kekuasaan Berbasis Pesantren 60
Agama dan Adat Istiadat: Antara Loyalitas Religi, Kearifan
Tradisi dan Sinkretis 64
Peran Sosial-Politik Ulama dan Jawara: Pergeseran dari
Pejabat Pemerintahan menjadi Vote Getter Politik dan dari
Pengawal menjadi Pejabat Politik 66
Gambaran Kemiskinan Pedesaan Pandeglang 73
ix

5. DINAMIKA RELASI KEKUASAAN BUPATI DENGAN KEPALA


DESA: PERKEMBANGAN DAN KONDISINYA SAAT INI 76
Dinamika dan Masa Depan Relasi Bupati dan Kepala Desa 76
Dampak Demokrasi dan Otonomi Desa 81
Negara, Ulama dan Jawara: Politik Korporatis 82
Desa sebagai Ujung Tombak dan Ujung Tombok Pemerintahan 83
Politik Desa dalam Dinamika Politik Lokal: Quo Vadis Demokrasi Desa? 84
Antara Relasi Kekuasaan, Politik Anggaran dan Kemiskinan Pedesaan 88
Ikhtisar 90

6. RELASI KEKUASAAN BUPATI DENGAN KEPALA DESA:


PERTARUNGAN JARINGAN KEKUASAAN 95
Struktur Relasi Desa dengan Supra Desa 95
Struktur Kekuasaan Khas Pedesaan Banten 97
Pola-Pola Relasi Kekuasaan Pedesaan Banten 101
Jaringan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa 106
Pertarungan Jaringan Kekuasaan: Kasus Pencalegan Istri Bupati 116
Ikhtisar 125

7. POLA RELASI KEKUASAAN BUPATI DENGAN KEPALA DESA:


RELASI KEKUASAAN YANG TIDAK MENYEJAHTERAKAN 127
Respon Bupati atas Peran Kepala Desa 127
Respon Kepala Desa atas Kepemimpinan Bupati 128
Kepentingan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa 131
Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa Jawara Politisi 133
Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa Jawara Pengusaha 136
Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa Jawara Kolot 137
Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa: Relasi Kekuasaan Yang
Tidak Menyejahterakan 139
Ikhtisar 145

8. KESIMPULAN: RELASI KEKUASAAN DAN KEMISKINAN


PEDESAAN 147
Faktor Sosial Kultural dalam Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala
Desa 147
Pola-Pola Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa 148
Faktor-Faktor Determinan dalam Relasi Kekuasaan Bupati dengan
Kepala Desa dan Dampaknya terhadap Kemiskinan
Masyarakat Pedesaan 148
Implikasi Penelitian 149
Implikasi Teoritis 149
Implikasi Kebijakan 151

DAFTAR PUSTAKA 153


LAMPIRAN 158
RIWAYAT HIDUP 167
x

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Pergeseran Tatanan Pemerintahan Desa 14
Tabel 2.1 Jenis-Jenis Sumber Kekuasaan 22
Tabel 2.2 Sumber dan Saluran Kekuasaan dikaitkan dengan
Pembentukan Elit Desa 23
Tabel 3.1 Status Desa Lokasi Penelitian 51
Tabel 4.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten
Pandeglang Tahun 1996-2013 57
Tabel 4.2 Pemilahan Golongan Penduduk Kecamatan Sobang 58
Tabel 4.3 Pergeseran Peran Sosial-Politik Ulama dan Jawara 67
Tabel 4.4 Dinamika Penguasa dalam Struktur Masyarakat Pedesaan
Pandeglang 69
Tabel 4.5 Sumber dan Saluran Kekuasaan Ulama dan Jawara 71
Tabel 4.6 Status Kemandirian dan Kemajuan Desa di Kabupaten
Pandeglang 73
Tabel 4.7 Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten Pandeglang
Tahun 2011-2014 74
Tabel 5.1 Dinamika Relasi Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa 80
Tabel 5.2 Struktur Belanja Daerah Kabupaten Pandeglang Tahun 2014 89
Tabel 6.1 Relasi Kekuasaan dalam Jaringan Kekuasaan Kepala Desa 108
Tabel 7.1 Pola Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa 140
Tabel 7.2 Piutang PBB Perdesaan pada Tiga Desa Lokasi Penelitian 144
xi

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Perbandingan Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substansial 37
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran 41
Gambar 3.1 Model Analisis 50
Gambar 4.1 Peta Pandeglang 55
Gambar 4.2 Struktur Kekuasaan Pesantren Salafiyah di Pandeglang 63
Gambar 4.3 Struktur Kekuasaan Ulama dan Jawara 72
Gambar 5.1 Hubungan Antara Relasi Kekuasaan, Politik Anggaran dan
Kemiskinan Pedesaan 92
Gambar 6.1 Model Aliran Sistem Politik David Easton 98
Gambar 6.2 Piramida Struktur Kekuasaan Masyarakat Pedesaan Pandeglang 99
Gambar 6.3 Dinamika Relasi Ulama dan Umaro berdasarkan Perspektif
Peranan Ulama dalam Pemerintahan 103
Gambar 6.4 Jaringan Kekuasaan Bupati 106
Gambar 6.5 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa 109
Gambar 6.6 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Politisi 110
Gambar 6.7 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Pengusaha 113
Gambar 6.8 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Kolot 115
Gambar 6.9 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Politik Desa 1 117
Gambar 6.10 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Politik Desa 1 119
Gambar 6.11 Pertarungan Jaringan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa 124
Gambar 8.1 Hubungan Ketergantungan Kekuasaan dan Relasi
Terbentuknya Pola Relasi Kekuasaan 150
1

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang
Suatu kenyataan yang terbantahkan bahwa sebagian besar negara-negara di
dunia saat ini mengadopsi demokasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi itu
sendiri ditransformasikan Barat baik melalui proses kolonialisme maupun pengaruh
politik global. Pada saat demokrasi Barat ditransplantasikan ke dalam sistem
pemerintahan negara-negara non-Barat yang memiliki sejarah dan budaya yang
sangat berbeda, demokrasi tersebut memerlukan penyesuaian diri dan mengalami
berbagai perubahan dalam penerapannya sesuai dengan lingkungan barunya yang
berbeda tersebut (Wignjosoebroto: 2002:485-493). Penyerapan nilai-nilai tersebut
dapat dipandang sebagai suatu pembiasan di satu sisi, tetapi dapat pula dipandang
sebagai keberagaman di sisi lain. Dikatakan sebagai pembiasan karena prinsip dasar
demokrasi Barat yang bersandar pada kesamaan (equality), keadilan (justice) dan
kebebasan (freedom)1 ternyata membentuk model demokrasi yang jauh dari ketiga
nilai tersebut. Sementara itu, dikatakan sebagai suatu keberagaman karena
demokrasi itu sendiri sangat menjunjung tinggi pluralisme. Dengan demikian, dalam
tafsiran yang berbeda hal ini membentuk model demokrasi yang berragam untuk
masing-masing level sistem sosial budayanya.
Keberagaman nilai-nilai kultur suatu bangsa berpengaruh besar terhadap
bentukan demokrasinya. Asia dengan kultur Timur yang khas membentuk suatu
demokrasi yang disebut oleh Neher (1994) sebagai Asian Style Democracy2. Pada
model demokrasi Asia, Neher menegaskan bahwa negara-negara Asia tidak
mengimplementasikan konsep demokrasi Barat (global) secara utuh yang
menekankan pada adanya pemilu secara kompetitif, partisipasi politik warga negara
dan kebebasan sipil.
Neher menjelaskan bahwa terdapat faktor kultural yang berpengaruh besar
terhadap pembentukan demokrasi. Karakteristik yang paling mendasar dari faktor
kultural ini adalah adanya patronase yang masih melekat dalam masyarakat Asia.
Adanya hubungan patronase yang sangat kuat ini kemudian membentuk loyalitas
personal yang “dimanfaatkan” oleh kelompok-kelompok tertentu untuk membentuk
jaringan kekuasaannya yang kemudian di tataran lokal membentuk oligarkhi-
oligarkhi politik.
Loyalitas personal inilah yang menurut Neher mendasari patronase politik
terbentuk di Asia sebagaimana dapat ditelusuri dari loyalitas personal pengikutnya
terhadap tokoh Mao Tse Sung di China, Chiang Kai Shek di Taiwan, Kim Il Sung di
Korea Utara, Ho Chi Minh di Vietnam, Lee Kuan Yew di Singapura, Norodom
Sihanouk di Kamboja, Ferdinand Marcos di Philipina, serta Sukarno dan Suharto di
Indonesia.
Seturut dengan karakteristik demokrasi di kawasan Asia, negara-negara Asia
pun membentuk karakter negaranya masing-masing. Untuk hal ini, Indonesia

1
Idealisme demokrasi Barat dipilari oleh ketiga nilai tersebut sebagaimana dapat ditelusuri dari
gagasan demokrasi yang dijelaskan Dye (1996:7) bahwa demokrasi tercermin dari adanya partisipasi
rakyat, pemerintahan mayoritas, penghargaan martabat individu dan persamaan dalam pengembangan
kemampuan diri.
2
Neher (1994) menjelaskan karakteristik demokrasi Asia yang disebutnya sebagai Asian Style
Democracy itu memiliki beberapa indikator yaitu adanya patron-client communitarism, loyalitas
personal (personalism), respek terhadap otoritas dan hierarki, partai politik dominan dan adanya
negara yang kuat (strong state).
2

menginternalisasikan prinsip dasar Pancasila sebagai konsep pembentukan


demokrasi kenegaraannya. Oleh karenanya istilah yang sering melekat dalam
penyebutan demokrasi di Indonesia adalah Demokrasi Pancasila3.
Secara politik, Demokrasi Pancasila diadopsi dalam rangka melaksanakan
sistem pemerintahan yang sesuai dengan karakter Bangsa Indonesia. Namun secara
sosiologis, sebenarnya terdapat dua karakteristik mendasar dari model demokrasi di
Indonesia yaitu demokrasi yang berdasarkan pengambilan keputusan secara
musyawarah dan mufakat. Musyawarah dan mufakat adalah demokrasi yang paling
hakiki dimiliki bangsa Indonesia dalam menyelesaikan seluruh permasalahan
kehidupan kebangsaannya. Sejatinya kedua nilai inilah yang dijunjung tinggi dan
menjadi pijakan dasar setiap pengambilan kebijakan di setiap level pemerintahan
dan kemasyarakatan.
Meskipun Demokrasi Pancasila dijadikan model sistem pemerintahan
(demokrasi formal) saat ini, namun dalam politik praktis berkaitan dengan sejarah
perkembangan pemerintahan di Indonesia ternyata setiap periode melahirkan model
demokrasi yang berbeda-beda. Pada masa orde lama, muncul istilah demokrasi
liberal (1950-1959) seiring dengan perubahan konstitusi UUDS 1950 yang secara
jelas mengadopsi prinsip kebebasan seluas-luasnya model Barat. Pada masa ini juga
melahirkan model Demokrasi Terpimpin dengan ciri utamanya yaitu dominasi
kekuasaan presiden yang relatif tidak sesuai dengan konsep ideal demokrasi yang
menempatkan rakyat sebagai pihak yang paling berdaulat.
Pelaksanaan demokrasi pada masa orde baru semakin membias dari nilai-
nilai demokrasi ideal. Hal ini diindikasikan dengan adanya dwifungsi ABRI,
pengerucutan orientasi politik, mobilisasi pemilihan umum, tidak adanya kebebasan
pers dan tidak adanya jaminan HAM. Lahirnya era reformasi juga ternyata tidak
memberikan jalan yang mudah bagi pelaksanaan Demokrasi Pancasila secara ideal.
Kenyataannya adalah bahwa otonomi daerah sebagai salah satu agenda reformasi
justru memberikan peluang lahirnya pembiasan demokrasi semakin menjadi-jadi
seperti model-model demonstrasi (political demand) yang dilakukan dengan
kekerasan dan oligarkhi politik. Satu fenomena yang paling mengemuka adalah
munculnya local strongman. Kemunculan penguasa lokal ini mengindikasikan suatu
pembiasan demokrasi yang sangat kentara karena salah satu tujuan utama dari
demokrasi itu sendiri adalah bagaimana kekuasaan mutlak (absolute power) dapat
dieliminasi sehingga tercipta keseimbangan kekuasaan (balance of power) diantara
berbagai pihak dalam sistem politik, sementara adanya “raja-raja kecil” tersebut
secara jelas menggambarkan bagaimana dominasi kekuasaan menuju kekuasaan
mutlak terbentuk dalam model demokrasi lokal. Secara konkret, gambaran
demokrasi lokal ini mengemuka pada konsep politik dinasti atau oligarkhi politik
keluarga. Untuk kasus Banten, politik dinasti ini misalnya dapat ditelusuri dari
dominasi politik keluarga Tubagus Chasan Sohib dan keluarga Mulyadi Jayabaya.
Terdapat perbedaan pandangan berkaitan dengan lahirnya model demokrasi
lokal ini. Pandangan pertama menyepakati bahwa lahirnya model demokrasi lokal
sebagai varian demokrasi yang khas ini tidak dapat diabaikan dari hubungannya
dengan perkembangan demokrasi, implementasi otonomi daerah dan penguatan civil
society. Sementara pandangan yang lain menyepakatinya secara bertolak belakang
dimana menganggap bahwa tidak ada keterkaitan diantara ketiga faktor tersebut.
Pandangan kedua berasumsi bahwa munculnya politik dinasti atau “raja-raja kecil”
3
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang
mengandung Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
dan keadilan social (Marbun, 2005:116).
3

adalah bagian dari proses penelusuran identitas bangsa terhadap model sistem
pemerintahan yang paling ideal. Dengan demikian adanya politik dinasti dalam
pandangan kedua ini dapat dimaknai sebagai bentuk penyerahan kuasa rakyat
terhadap pengadopsian sistem pemerintahan yang paling sesuai dengan sistem
sosialnya (politik dinasti sebagai social order).
Pandangan-pandangan di atas pada dasarnya merupakan upaya untuk
mencari jawaban terhadap suatu anomali demokrasi. Anomali ini diindikasikan
dengan proses demokratisasi di satu sisi yang semakin mengglobal, sementara di sisi
lain berkembang pula model anti-demokrasi dalam politik lokal yang justru
menggunakan label demokrasi untuk menguatkan kesan anti-demokrasinya. Untuk
kasus Banten misalnya, adanya politik dinasti yang terbentuk melalui proses
demokratisasi formal merupakan hal yang dipandang sah secara administrasi dan
politik, tetapi keberadaannya dapat menyulut terjadinya kekuasaan mutlak pada satu
kelompok tertentu. Sementara itu kekuasaan mutlak itu sendiri sangat dihindari
dalam prinsip-prinsip demokrasi karena merupakan salah satu syarat potensial
terbentuknya pemerintahan otoritarian yang sangat berseberangan dengan
demokrasi. Dengan demikian, meskipun adanya politik dinasti ini sah secara proses
pembentukannya4, tetapi hasil akhirnya sangat berpotensi untuk semakin
menenggelamkan nilai-nilai demokrasi. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa
demokrasi di Banten pada prinsipnya tidak berkembang menuju ke arah demokrasi
yang ideal (demokrasi secara substansial) – utamanya berdasarkan prinsip keadilan
dan kesetaraan, tetapi justru semakin membias kepada model-model otoritarian.
Berkaitan dengan kedua pandangan di atas, peneliti sendiri tidak memihak
pada salah satu dari kedua pandangan tersebut. Dalam hal ini peneliti berasumsi
bahwa cara pandang keduanya dapat diterima, namun satu hal yang relatif diabaikan
dari kedua pandangan tersebut adalah faktor kultural. Dalam pandangan peneliti,
faktor kultural memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap terbentuknya
politik dinasti ini.
Terlepas dari perdebatan pandangan-pandangan tersebut, baik model Asian
Style Democracy, Demokrasi Pancasila berikut berragam model bentukannya dan
model demokrasi lokal termasuk demokrasi desa, ketiganya sangat berkaitan dengan
sistem sosial budaya yang membalutnya. Sebagaimana uraian di awal, hal ini
mengindikasikan kuatnya faktor kultural. Dengan demikian maka Asian Style
Democracy pada dasarnya dipengaruhi oleh kultur masyarakat Asia, Demokrasi
Pancasila yang merupakan pengaruh dari kristalisasi nilai-nilai budaya di Indonesia,
dan demokrasi lokal yang tentunya dipengaruhi oleh budaya lokal.
Berdasarkan pendekatan kultural tersebut, dari ketiga model demokrasi di
atas, terdapat karakteristik yang sama yang membentuk kekhasan ketiganya yaitu
melekatnya kultur patronase. Sebagaimana dijelaskan Neher, terdapat dua

4
Dikatakan sah karena dalam proses terpilihnya para penguasa politik lokal Banten dilakukan
berdasarkan kelembagaan demokrasi formal (pemilu yang sah secara administrasi dan politik).
Perkembangan demokrasi secara formal ini juga menunjukkan hal yang positif terutama berdasarkan
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terakhir (2014) yang dilansir BPS yang menunjukkan angka
tertinggi sejak tahun 2009, meskipun angka tersebut berfluktuasi setiap periodenya. Hal ini nampak
dari data IDI dimana Banten mengalami perkembangan cukup baik yaitu tahun 2009 sebesar 67,98;
2010 sebesar 60,60; 2011 sebesar 67,37; 2012 sebesar 65,29; 2013 sebesar 69,79 ; dan 2014 sebesar
75,50 (Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Banten Nomor 40/08/36/Th.IX tanggal 13 Agustus 2015).
IDI ini sendiri dinilai dari tiga aspek demokrasi yang meliputi kebebasan sipil, hak-hak politik dan
lembaga-lembaga demokrasi.
4

karakteristik yang merepresentasikan patronase itu yaitu adanya patron-client


communitarism dan personalism. Dua karakteristik tersebut juga muncul dalam
bentukan model demokrasi nasional. Hal ini nampak dari model demokrasi
terpimpin pada masa Soekarno, hal yang juga identik dengan gaya kepemimpinan
Soeharto. Dalam tataran demokrasi lokal, patronase ini lebih kental lagi, sehingga
sosok “raja-raja kecil” pada prinsipnya menggambarkan kuatnya kultur patronase
dalam suatu wilayah. Hal ini dapat dimaknai bahwa substansi demokrasi semakin
lemah seiring dengan mengecilnya ruang lingkup wilayah geografisnya di satu sisi,
dan semakin kuatnya nilai-nilai tradisi dalam demokrasi di sisi lain. Dengan
demikian karakteristik demokrasi semakin bergeser ke arah anti demokrasi Barat
seiring dengan bergesernya ruang lingkup wilayah geografis dari mulai level benua
(Asia), bangsa dan lokal hingga pada tataran desa.
Untuk memahami kuatnya patronase ini, maka tidak dapat dilepaskan dari
analisis mengenai relasi kekuasaan. Analisis relasi kekuasaan diperlukan karena
patronase pada prinsipnya merupakan relasi yang tidak seimbang antara patron dan
klien. Semakin tidak seimbang, maka semakin tidak demokratis. Pada model
demokrasi yang sangat mengedepankan nilai-nilai kesetaraan (equality) secara
politik, maka secara jelas kultur patronase ini sangat tidak mendukung terhadap
terciptanya kesetaraan tersebut. Inilah rupanya yang membentuk demokrasi khas
Asia yang sangat paternalistik. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara
pola relasi kekuasaan dalam suatu masyarakat dengan model demokrasi yang
berlangsung dalam masyarakat tersebut.
Dalam perspektif lain, analisis terhadap bentukan sebuah demokrasi erat
kaitannya dengan analisis relasi kekuasaan yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal
ini karena demokrasi pada prinsipnya adalah sistem pemerintahan, dan substansi
sistem pemerintahan adalah hubungan antara yang diperintah dan yang memerintah,
dan hubungan tersebut pada prinsipnya adalah relasi kekuasaan. Dengan demikian
untuk dapat menganalisis sebuah model demokrasi erat kaitannya dengan pola relasi
kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat tersebut.
Dalam kaitannya dengan analisis dinasti politik Banten, berdasarkan
kerangka pikir di atas dapat dimaknai bahwa terbentuknya dinasti politik tersebut
adalah karena faktor kultur patronase Banten dan pola relasi kekuasaan patron-klien
yang sangat kuat terutama terhadap dua tokoh informal ulama dan jawara. Dengan
demikian, terbentuknya model demokrasi lokal Banten sangat ditentukan oleh
kuatnya ketergantungan paternalistik masyarakat terhadap kedua tokoh ini.
Kecenderungan relasi kekuasaan patronase membentuk model demokrasi
lokal di Banten, dalam fakta empiris ditemukan pula adanya cara-cara berdemokrasi
(praktek demokrasi) yang relatif berbeda dengan model patronase tersebut. Hal ini
diindikasikan dengan model resistensi dalam berdemokrasi di tataran lokal dari
struktur-struktur yang dipandang klien terhadap patron-nya. Sebagai kasus dalam
penelitian ini adalah model resistensi yang dilakukan oleh para kepala desa terhadap
bupati di Pandeglang dalam bentuk tuntutan untuk melakukan penambahan honor
(insentif) kepala desa sehingga nilainya minimal sama dengan UMK (Upah
Minimum Kabupaten)5. Sebagai rangkaian tuntutannya, Ikades Kabupaten
Pandeglang juga menuntut dilakukannya rotasi sekdes6. Secara individual, kades
juga menuntut perbaikan kesejahteraan sebagaimana dilakukan Kades Nanggala
Kecamatan Cikeusik Sumarna yang menuntut peningkatan insentif kepala desa7.
5
Radar Banten, 21 November 2011.
6
Radar Banten, 23 November 2011.
7
Kabar Banten, 9 Maret 2012.
5

Beberapa tuntutan tersebut mengisyaratkan adanya konflik bupati dan kepala desa
yang dibalut urusan kesejahteraan dan administrasi kepegawaian.
Dalam tataran politik lokal yang lebih nyata, perseteruan politik terjadi
antara Bupati Pandeglang (EK, bupati inkumben pada saat pemilihan kepala daerah
tahun 2010) dengan salah seorang kepala desa (YS, Kepala Desa Kuluwut
Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pandeglang) yang juga menjadi salah satu kandidat
bupati. Meskipun pada akhirnya EK yang kembali terpilih, namun majunya seorang
kepala desa dalam pemilihan kepala daerah ini merupakan indikator kemajuan
demokratisasi di tingkat lokal. Dalam asumsi peneliti, keberanian seorang kepala
desa untuk tampil bersaing dalam arena politik lokal dapat dipandang sebagai
perwujudan pergeseran relasi kekuasaan antara bupati dan kepala desa dimana jika
pada masa sebelum era reformasi kepala desa tidak pernah dapat tampil dalam ruang
politik yang sama dengan bupati, namun setelah memasuki era reformasi
kesempatan tersebut menjadi terbuka, dalam aspek lain aksi kepala desa untuk
tampil dalam politik lokal dapat dipandang sebagai resistensi kepala desa terhadap
bupati.
Kultur patronase dan relasi kekuasaan yang mempengaruhi demokrasi lokal
merepresentasikan hasil dari sebuah model demokrasi lokal berdasarkan sistem
perwakilan (political representativeness) yang sah baik secara sistem politik maupun
sah secara perundang-undangan. Sementara itu pengaruh ulama dan jawara menjadi
sangat vital karena ternyata relasi kekuasaan yang terbangun secara struktural
(hubungan pemerintahan secara formal) tidak menjadi determinan utama dalam
membentuk relasi kekuasaan yang sesungguhnya. Demokrasi bergantung kepada
keputusan-keputusan informal (informal leader); para ulama dan jawara. Kondisi
model demokrasi ini memberikan peluang kepada menumpuknya kekuasaan
kelompok yang mampu membangun jaringan kekuasaan kepada ulama dan jawara
dengan memanfaatkan peluang era demokrasi. Hal inilah yang memupuk munculnya
beberapa klan penguasa atau dinas politik di Banten sebagaimana keluarga JB di
Lebak, TAS di Cilegon dan TCS untuk hampir seluruh wilayah Banten.
Masalah lain berkaitan dengan dampak demokrasi ini adalah pertanyaan
tentang apakah keberadaannya membawa kesejahteraan atau sebaliknya berdampak
kemunduran, keterbelakangan dan kemiskinan bagi masyarakatnya. Pertanyaan-
pertanyaan tersebut perlu dikedepankan sehubungan dengan pilihan berdemokrasi
sebagai sistem pemerintahan sebuah bangsa merupakan keyakinan bahwa model
demokrasi ini akan membawa kemanfaatan. Dengan demikian model demokrasi
akan tetap dipertahankan jika memberikan kemanfaatan dan tentunya perlu ditinjau
kembali jika sebaliknya yaitu tidak memberikan kemajuan kepada bangsa ini.
Adanya politik dinasti di Banten sebagaimana dijelaskan di atas adalah salah
satu contoh dari demokrasi yang tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan
masyarakat. Dari aspek pembangunan ekonomi, keberadaan desa-desa di Banten
terutama di wilayah Selatan tidak pernah beranjak dari ketertinggalan8. Untuk dapat
memahami permasalahan tersebut, maka perlu melakukan kajian mendalam terkait
praktek berdemokrasi melalui analisis relasi kekuasaan dalam masyarakat Banten

8
Untuk kasus Kabupaten Pandeglang, dari 326 desa yang ada terdapat 140 desa (42,94%)
diantaranya yang berstatus sebagai desa tertinggal. Kabupaten Pandeglang sendiri termasuk satu dari
enam kabupaten di pulau Jawa yang masuk dalam kategori daerah tertinggal selain Kabupaten Lebak
untuk wilayah Provinsi Banten dan Kabupaten Bondowoso, Situbondo, Bangkalan dan Sampang
untuk wilayah Provinsi Jawa Timur (http://bantenterkini.com/kabupaten-lebak-dan-pandeglang-
masuk-kategori-daerah-tertinggal/ diakses tanggal 6 Juni 2016).
6

yang dalam penelitian ini mengambil unit analisis relasi kekuasaan antara bupati
dengan kepala desa di Pandeglang.

Signifikansi Penelitian
Penelitian relasi kekuasaan bupati dan kepala desa sangat relevan untuk
diteliti karena beberapa alasan. Pertama, penelitian ini merupakan upaya untuk
memahami secara lebih mendalam konsep kekuasaan masyarakat pedesaan.
Kedua, tinjauan pelaksanaan otonomi daerah selama ini kurang menyentuh
kekhasan lokal yang berragam sebagai suatu kenyataan Indonesia yang ber-Bhineka
Tunggal Ika. Pengesampingan tinjauan kekhasan lokal menjadikan negara lalai
dalam mempertimbangkan perbedaan keberagaman daerah terlebih desa, padahal
perbedaan inilah yang menjadikan demokrasi membias kepada kekhasan lokal yang
dimilikinya – terlepas dari pemahaman demokrasi prosedural ataupun demokrasi
substansial. Sensitivitas politik lokal sejatinya perlu dipertimbangkan sehingga
otonomi menyentuh sasarannya, serta nilai-nilai kearifan lokal tidak dilangkahi oleh
prinsip-prinsip demokrasi atau sebaliknya. Pada tataran ini tentunya yang
diharapkan adalah bagaimana demokrasi dan nilai-nilai kearifan lokal dapat
bersinergi dengan baik.
Ketiga, relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa sangat menentukan
dalam keberhasilan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karenanya harmonisasi
diantara keduanya perlu mendapatkan perhatian serius sehingga mendukung
terhadap upaya-upaya pembangunan masyarakat.
Keempat, penelitian ini merupakan upaya pemikiran kritis implikasi praktek
demokrasi terhadap terjebaknya kemiskinan masyarakat pedesaan.

Penelitian Terdahulu
Relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa tidak dapat dilepaskan dari
peran yang mainkan oleh ulama dan jawara. Oleh karenanya tinjauan penelitian
hubungan ulama dan jawara menjadi menjadi sangat penting dalam kaitannya
dengan relasi bupati dengan kepala desa ini. Dinamika peran ulama dan jawara
sangat menarik karena meskipun keduanya berada dalam ranah tradisi ternyata
perkembangan kebijakan politik menjadi faktor determinan terhadap relasi tersebut,
sehingga dalam hal ini tidak hanya faktor budaya yang memberikan pengaruhnya.
Oleh karenaya dalam melakukan kajian tentang ulama dan atau jawara tidak hanya
bisa ditinjau dari dimensi budaya semata, karena dalam banyak kondisi justru faktor
politiklah yang banyak mempengaruhinya. Fakta ini misalnya dapat ditelusuri dari
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Aziz (2002), Hamid (2010), Bandiyah
(2010) dan Alkhudri (2013).
Pembatasan konsep ulama dan jawara yang dibingkai oleh relasi kekuasaan
keduanya juga mewarnai penelitian-penelitian yang telah dilakukan semisal
Kartodirdjo (1984) yang mengintrodusir istilah “bandit sosial” yang dilekatkan
kepada jawara karena pengaruh politik kolonial Belanda dan Tihami (1992) yang
mengkonstruksi jawara sebagai santri (murid kyai). Istilah “bandit sosial” dan
jawara sebagai santri ini kemudian banyak melatarbelakangi usaha-usaha kajian
jawara sebagaimana yang dilakukan oleh Bandiyah (2010) yang mencoba
menelusuri transformasi jawara sebagai “bandit sosial” pada masa kolonial menjadi
pejabat politik pada masa kontemporer.
Naik turunnya relasi ulama dan jawara banyak dikaitkan dengan terjadinya
pergeseran peran sosial dari kedua tokoh informal ini, sehingga kesan pembalikkan
peran yang selama ini nampak dalam konstelasi politik lokal Banten dimana jawara
7

cenderung lebih mendominasi juga banyak dianalisis dalam penelitian yang


dilakukan oleh Sunatra (1997), Suhaedi (2003), Alamsyah (2009), Hamid (2010),
Bandiyah (2010), Pribadi (2011) dan Alkhudri (2013).
Kecenderungan paling nampak dari menguatnya peran politik jawara
terutama setelah lahirnya era reformasi banyak dijadikan tema sentral dalam
penelitian-penelitian seperti yang coba dieksplorasi oleh Alamsyah (2009), Hamid
(2010), Bandiyah (2011), Pribadi (2011) dan Alkhudri (2013). Penelitian-penelitian
tersebut dilakukan setelah Banten memisahkan diri dari Jawa Barat sebagai provinsi
mandiri. Artinya adalah lahirnya Banten sebagai provinsi telah secara langsung
mempengaruhi penguatan posisi politik lokal jawara, yang padahal sebagaimana
dijelaskan Aziz (2002) pada awal pembentukan Banten sebagai provinsi, peran
strategis jawara sebenarnya belum memperlihatkan kekuatannya.
Dalam memahami relasi kekuasaan ulama dan jawara itu sendiri tidak bisa
dilepaskan dari tatanan relasi kekuasaan yang berlangsung dalam masyarakat
Banten. Oleh karenanya tinjauan tentang relasi-relasi kekuasaan pada masyarakat
pedesaan sangat penting dilakukan untuk dapat menggambarkan keterkaitannya
dengan pembentukan relasi kekuasaan ulama dan jawara. Diantara relasi-relasi
kekuasaan yang terbentuk, hubungan patron-klien mendominasi hampir sebagian
besar kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia sebagaimana tertuang dalam
ulasan yang dilakukan oleh Saxebol (2002), Hefni (2009), Kausar (2011), dan
Rustinsyah (2011; 2012).
Rujukan yang paling penting dari hubungan patron-klien ini adalah Scott
(1972) sebagai salah seorang penggagas pertama yang mengaitkannya dengan
hubungan pertukaran. Oleh karenanya konsep-konsep hubungan pertukaran perlu
dipersandingkan untuk memahami hubungan patron-klien secara komprehensif
sebagaimana upaya yang dilakukan oleh Emerson (1962). Melalui pemikiran
Emerson inilah dapat dipahami hubungan ketergantungan kekuasaan antara patron
dan klien yang mengikat sekaligus memelihara jalinan relasi diantara keduanya.
Sementara itu Sidel (1989) memberikan wawasan yang lebih luas tentang adanya
pola-pola relasi kekuasaan yang lebih mendalam dibandingkan dengan relasi patron-
klien, meskipun tidak dapat dilepaskan dari karakteristik yang serupa dengan relasi
ini. Artinya pada masyarakat-masyarakat dengan budaya patronase yang sangat kuat,
sangat dimungkinkan terjadinya hubungan yang lebih mendalam dibandingkan
dengan relasi patron-klien ini. Kecenderungan ini muncul di masyarakat pedesaan
Banten dalam bentuk relasi yang peneliti sebut sebagai relasi patron-klien khas
pedesaan Banten. Justru karena alasan ini pulalah, penelitian ini dilakukan sehingga
memperkaya tinjauan relasi patron-klien yang ragamnya akan bervariasi sesuai
dengan kultur yang membingkainya.
Dalam kaitannya dengan relasi desa dan supra desa yang menempatkan desa
sebagai subordinat menjadi fokus kajian untuk beberapa penelitian terutama yang
dipilari oleh penelitian Nordholt (1987) dengan tekanan hubungan antara camat dan
kepala desa. Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Dewi (2003) yang
menegaskan posisi desa adat dalam era otonomi desa, Dewi (2006) yang
menggambarkan konflik nagari sebagai akibat dari kebijakan otonomi daerah,
Nurdin (2009) yang menggambarkan hubungan negara dan nagari dalam kaitannya
dengan proses rekonstruksi nagari di Minangkabau dan Arisnaldi (2012) yang
menggambarkan pelaksanaan otonomi (desa dan daerah, meskipun tekanannya lebih
kepada otonomi daerah) dan demokrasi dalam dominasi kekuasaan negara.
8

Perkembangan terkini berkaitan dengan otonomi daerah dan desa juga


mempengaruhi relasi-relasi kekuasaan diantara unsur-unsur yang ada dalam tata
kelola desa, baik antara para elit desa sebagaimana yang nampak dalam penelitian
yang dilakukan Nurman (2002), Cahyono (2005), Akbar (2008), dan Nuraini (2010),
ataupun antara elit desa dengan masyarakat desa yang nampak dalam penelitian
Hudayana (2011).
Selain penelitian-penelitian tentang relasi kekuasaan masyarakat pedesaan
dan penelitian-penelitian tentang tata kelola desa, penelitian-penelitian tentang
kemiskinan pedesaan di Pandeglang juga menjadi sangat penting sebagai referensi
dalam memahami aspek-aspek kemiskinan dan strategi penanggulangannya.
Berdasarkan penelitian Lestari (2014) diketahui adanya korelasi yang signifikan dari
variabel modal sosial terhadap kemiskinan dengan suatu rekomendasi bahwa
partisipasi dalam organisasi berkontribusi besar terhadap peningkatan kesejahteraan.
Penelitian Tono (2009) merekomendasikan bahwa peran pemerintah sangat penting
dalam upaya memadukan upaya penanggulangan secara makro di tingkat lokal dan
secara mikro di tingkat rumah tangga miskin. Kesimpulan yang serupa juga dapat
ditelusuri dari penelitian Taufiqurokhman (2014) yang menyimpulkan kegagalan
peningkatan IPM di Pandeglang dipengaruhi oleh kurang optimalnya peran
pemerintah daerah dalam pengorganisasian, penafsiran dan penerapan pelaksanaan
program Jamsosratu. Sementara itu Lestari (2014) menyimpulkan bahwa program
pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah belum menekankan pada
strategi penanganan yang bersifat kewilayahan sehingga sebaran penduduk miskin di
Pandeglang cenderung bersifat mengelompok (cluster). Selain peran pemerintah,
terdapat peran yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan yang sangat
signifikan membantu upaya penanggulangan kemiskinan. Penelitian ini tersaji dalam
penelitian Sholahudin (2000) yang menjelaskan Sistem Orang Tua Angkat Dana
Firdaus Mathla’ul Anwar telah memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan
kemandirian pemuda pedesaan di Pandeglang.
Selanjutnya, untuk mempermudah pemilahan penelitian-penelitian yang
mendukung terhadap pembahasan penelitian yang dilakukan, maka peneliti akan
menyajikan tiga tinjauan pendekatan penelitian yaitu penelitian-penelitian tentang
relasi kekuasaan masyarakat pedesaan, penelitian-penelitian penatakelolaan desa
dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan desa dan supra desa dan penelitian-
penelitian tentang kemiskinan pedesaan di Pandeglang. Ketiga tinjauan penelitian
tersebut tersaji dalam daftar lampiran disertasi ini.

Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian


Untuk menganalisis relasi kekuasaan bupati dan kepala desa pada prinsipnya
terdapat dua faktor yang mempengaruhinya. Pertama adalah menyangkut kebijakan-
kebijakan politik pemerintah pusat melalui regulasi pengaturannya, dan kedua
berkaitan dengan karakter sosio-kultural yang membalut relasi kekuasaan tersebut.
Meskipun relasi desa supra desa berada dalam wilayah birokrasi modern yang
berdasarkan prinsip-prinsip legal-formal, pada dasarnya karakter sosio-kultural ini
memiliki peranan yang sangat urgen sehingga dalam kondisi tertentu justru standar
formalistik birokrasi modern ini terpinggirkan. Untuk itulah relasi desa dan supra
desa di Indonesia akan sangat berragam dikaitkan dengan bervariasinya nilai sosio-
kultural bangsa ini. Signifikansi kedua pertimbangan (aspek kebijakan politik dan
nilai sosio-kultural) inilah yang akan ditinjau untuk memahami proses relasi
kekuasaan antara desa dan supra desa.
9

Dinamika relasi kekuasaan bupati dan kepala desa mengalami perubahan dari
masa ke masa sejalan dengan regulasi formal yang mengatur hubungan sistem
pemerintahan daerah. Diawali pada masa orde lama, desa diberikan posisi yang
cukup strategis misalnya dengan menempatkannya sebagai titik berat otonomi
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah
yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri. Dalam ketentuan
peraturan ini, desa menjadi daerah tingkat ketiga di bawah provinsi dan kabupaten.
Meskipun ketentuan ini secara riil tidak terlaksana sebagian besar karena kondisi
peralihan kenegaraan, namun ketentuan ini merupakan salah satu penghargaan
kepada desa untuk mewujudkan otonominya.
Kondisinya kemudian menjadi terbalik dengan adanya kecenderungan
meminggirkan desa (dan daerah) ketika memasuki masa orde baru terutama setelah
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Desa. Keterpinggiran desa ini pertama berkaitan dengan
adanya nuasa penyeragaman (uniformity) dalam bentuk dan susunan pemerintahan
daerah termasuk desa meskipun masih diakuinya bangunan pemerintahan
berdasarkan akar budayanya seperti nagari dan subak. Kedua, berkaitan dengan
terlalu besarnya kekhawatiran disintegrasi bangsa sebagaimana terindikasi dalam
prinsip otonominya yaitu “otonomi nyata dan bertanggung jawab”. Kata
“bertanggung jawab” inilah yang dalam banyak hal kemudian membatasi ruang
gerak otonomi. Hal ini kemudian berimbas kepada sangat kuatnya pola-pola
pengawasan pusat terhadap daerah dan desa yang pada akhirnya mempengaruhi
relasi kekuasaan diantara struktur pemerintahan tersebut. Akibat kedua kondisi
tersebut adalah bahwa pada masa ini otonomi daerah terkesan setengah hati, di satu
sisi diberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus daerahnya sendiri, di sisi
lain adanya upaya-upaya pusat untuk mengendalikan daerah secara berlebih-lebihan
melalui fungsi-fungsi pengawasannya baik pengawasan umum, preventif maupun
represif. Bahkan menurut Marbun (2005:95) menyatakan bahwa hubungan
pemerintahan daerah pada masa orde baru merupakan hubungan pengawasan, bukan
merupakan hubungan antara bawahan dengan atasan atau hubungan menjalankan
pemerintahan seperti halnya hubungan antara pemerintah di daerah yang bersifat
administratif atau pemerintah wilayah dengan pemerintah pusat.
Pada masa orde baru ini meskipun dikenal otonomi bertingkat (daerah
tingkat I untuk kabupaten/kotamadya dan daerah tingkat II untuk provinsi), namun
desa tidak lagi termasuk dalam kategori daerah tingkat III, tetapi sebagai suatu
wilayah hukum dengan pemerintahan terrendah langsung di bawah camat. Titik
berat otonomi pun kemudian bergeser kepada daerah tingkat II dengan alasan
sebagai struktur menengah yang berfungsi menjembatani struktur pemerintahan ke
atas kepada provinsi dan pusat, dan ke bawah kepada kecamatan dan desa/kelurahan.
Pada pola sistem pemerintahan daerah ini otomatis membuat desa berada pada posisi
yang paling tertekan dalam hubungan pengawasan kekuasaan (“pengawasan”) yang
sangat terkontrol.
Di era reformasi, seiring dengan semakin kencangnya arus demokrasi
mengakibatkan meningkatnya tuntutan perubahan sistem pemerintahan daerah yang
dianggap kurang demokratis sebagaimana yang diimplementasikan pada masa orde
baru. Kemudian lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dengan tiga prinsip utamaya yaitu pertama, otonomi luas, nyata dan
10

bertanggung jawab. Kedua, penyelenggaraan otonomi memperhatikan aspek


demokrasi, partisipatif, adil dan merata dengan memperhatikan potensi dan
keragaman daerah. Dan ketiga, otonomi provinsi bersifat terbatas, sekaligus
menjalankan fungsi dekonsentrasi. Hubungan pusat dan daerah pun semakin
mencair terutama terkait dengan pembagian keuangan yang dinyatakan secara tegas
berdasarkan rasionya yang disesuaikan dengan urgensi jenis sumber dayanya.
Namun demikian, dengan menguatnya posisi daerah, memunculkan ego daerah yang
berlebih-lebihan sehingga menyulut terjadinya konflik, baik konflik vertikal (daerah
dengan pusat) maupun horizontal (antar daerah). Hal ini kemudian menimbulkan
pemikiran untuk mengevaluasi kembali prinsip otonomi yang dijalankan, sehingga
terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang ini mengintrodusir dua prinsip utamanya yaitu pertama, otonomi
seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Dan kedua, penyelenggaraan otonomi
yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan rakyat, menjamin hubungan
serasi antara daerah dan menjamin hubungan serasi daerah dengan pemerintah
(pusat).
Pada era reformasi ini, desa sebenarnya mendapatkan ruang geraknya dengan
semakin menguatnya kewenangan sebagaimana dalam melembagakan aturan
(peraturan desa) dan kewenangan pengelolaan keuangan sendiri sehingga berragam
paket anggaran banyak turun secara langsung pada kas desa tanpa melalui kas
daerah sebelumnya semisal fresh money. Namun demikian dengan alasan
kepentingan administrasi (terutama dalam aspek keuangan), pemerintah pusat
sebagaimana diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
menempatkan sekretaris desa (sekdes/carik) dalam jabatan negeri dengan
mengangkatnya sebagai sekdes definitif. Pengangkatan ini dalam dimensi lain
sebenarnya merupakan perwujudan kembali hubungan pengawasan yang terjadi
pada masa orde baru. Sekdes kemudian berdiri pada suatu peran ganda yang dapat
menimbulkan konflik dimana dalam satu hal ia harus memainkan peranannya
sebagai abdi negara dengan tugas melaksanakan administrasi desa sementara dalam
hal lain ia harus melaksanakan tugasnya sebagai bawahan kepala desa.
Keberadaan sekdes PNS9 ini tentu saja merupakan penguatan kesan
birokratisasi pemerintahan desa formal. Konsep ideal sebagaimana tipikal Weberian
menampilkan pemerintahan desa yang semakin seragam – khas desa masa Orde
Baru kembali terulang, yang secara otomatis semakin melunturkan karakteristik
spesifiknya masing-masing. Dengan mengadopsi sistem birokrasi ini secara jelas
mengindikasikan pem-Barat-an pemerintahan desa. Satu konsep yang dipaksakan
sama dan seragam untuk satu hal yang sangat berragam. Meskipun negara
memberikan kesempatan eksistensi bagi kekhasan tertentu, kenyataannya dari waktu
ke waktu corak khas masing-masing pemerintahan desa semakin tergilas. Sejatinya
selain negara memberikan kesempatan tersebut, juga mengupayakannya secara aktif
merevitalisasinya bukan justru membatasinya dengan berragam tipe ideal yang
semakin menyudutkan kekhasan desa.
Pada kondisi lainnya seiring dengan keberadaan BPD (Badan Perwakilan
Desa atau kemudian menjadi Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga
representasi warga yang juga melaksanakan fungsi pengawasan tugas kepala desa
dalam beberapa kasus juga sering menyulut hubungan konfliktual diantara
keduanya. Di tingkat supra desa, kecamatan sebagai administrator kewilayahan yang
9
Pengangkatan sekdes PNS sangat jelas menggerus otonomi dan kemandirian desa. Oleh karenanya,
atas kesadaran ini, kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
ketentuan ini direvisi dan sekdes tidak lagi dijabat oleh PNS.
11

dalam hal ini kepanjangan tangan bupati dalam aspek administrasi juga
melaksanakan pengawasannya terhadap pelaksanaan pemerintahan desa (kepala
desa). Pada akhirnya kepala desa menghadapi tumpukan tugas-tugas akuntabilitas
kepada supra struktur (daerah melalui kecamatan), kepada mitra pemerintahan desa
(Bamusdes) dan kepada warganya, sementara kapasitas sumber daya kepala desa
dan jajarannya memiliki banyak keterbatasan terutama terkait dengan kemampuan
administrasinya.
Pada kondisi relasi kekuasaan yang mau tidak mau memagari kepala desa
dengan berragam kelembagaan pengawasan ini menjadikan ruang gerak kepala desa
semakin terbatas yang pada saat lain kemudian memunculkan perlawanan untuk
keluar dari kondisi ini. Perlawanan (resistensi sebagaimana diistilahkan Scott) dalam
berragam bentuknya di beberapa daerah bahkan kemudian dilakukan secara kolektif
yang beberapa diantaranya melalui Ikatan Kepala Desa (Ikades) seperti yang terjadi
di Kabupaten Pandeglang. Hal inilah yang mempertegas adanya konflik antara
pemerintahan daerah (bupati) dan pemerintahan desa (kepala desa).
Pada skenario lain, hubungan negara dan desa nampak pada gerakan yang
dilakukan oleh para kepala desa dan unsur perangkatnya dalam memperjuangkan
posisi desa sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat. Perjuangan ini berbuah
dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Isu-isu
politik pun mengiringi kelahiran undang-undang tersebut misalnya terkait dengan
besaran alokasi keuangan desa yang direncanakan rasionya 10% dari APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus,
yang berarti kisarannya diperkirakan kurang lebih 1 milyar rupiah (ukuran saat ini).
Isu lain juga menyangkut kemampuan aparatur desa untuk mengelola alokasi dana
tersebut yang dipandang beberapa pihak akan menimbulkan maladministrasi, yang
jelas-jelas anggapan ini meminggirkan desa dengan segala aspeknya.
Satu hal yang paling bermakna dari lahirnya undang-undang ini adalah
adanya penguatan otonomi dan demokrasi di tingkat desa. Dengan dinaikkannya
taraf urusan desa pada level undang-undang, berarti pula pengaturan desa menjadi
setara dengan pengaturan daerah meskipun tidak bisa dikatakan terlepas dari
pengaturan daerah. Dengan kata lain, secara politis desa semakin otonom. Dalam
kaitannya dengan hubungan desa dan supra desa, penguatan otonomi desa ini
otomatis akan berpengaruh terhadap relasi kekuasaan diantara dua struktur tersebut.
Terutama dari aspek ketergantungan keuangan, dengan adanya kemandirian
pengelolaan dana keuangan yang dimiliki, desa secara posisi politik akan tidak
banyak bergantung kepada pihak kabupaten. Dalam pandangan Emerson, ketika
pihak subordinat mendapatkan penguatan, maka ketergantungan terhadap
superordinat pun akan berkurang. Jika ini berlangsung sesuai skenario perundang-
undangan, maka otonomi desa relatif berjalan pada jalur rel yang diinginkan.
Signifikansi pergeseran dalam tata kelola desa yang mengarah kepada
penciptaan otonomi desa yang lebih luas lagi sangat memungkinkan segala unsur
yang ada dalam tata kelola desa memainkan perannya sehingga sangat
memungkinkan pula pergeseran relasi kekuasaan diantara aktor tata kelola desa baik
internal maupun dengan pihak di luar desa (terutama sekali lagi dengan supra desa).
Namun demikian relasi kekuasaan desa dan supra desa tidak berhenti pada semata
tata aturannya saja, faktor sosial budaya tentunya memberikan pengaruh penting
terhadap proses, struktur dan pola relasi berlangsungnya relasi kekuasaan. Dengan
bervariasinya sistem sosial budaya yang ada di Indonesia memberikan dampak
konstruksi relasi kekuasaan yang berragam pada banyak daerah di Indonesia. Contoh
12

dalam kasus penelitian ini mengambil karakteristik Banten untuk mengeksplorasi


bagaimana pertautan sistem kelembagaan formal (aturan tata kelola sistem
pemerintahan daerah dan desa) yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya Banten
utamanya dua karakteristik sub kulturnya yaitu ulama dan jawara.
Sesungguhnya variasi tata kelola desa yang berdasarkan prinsip otonomi asli
dengan landasan sistem adat tertentu sudah sedemikian rupa difasilitasi secara apik
melaui sistem perundang-undangan nasional, tetapi realisasi konkretnya ternyata
sangat sulit mengangkat kembali nilai-nilai adat untuk dijadikan tata kelola desa
secara formal. Kenyataannya hanya desa-desa adat tertentu yang masih
memberdayakan tradisi lokalnya, untuk kasus Banten dapat diambil contoh
diantaranya adalah sistem adat kaolotan dan masyarakat Baduy di Banten Selatan.
Sementara desa-desa yang meskipun memiliki karakter kultur yang khas belum
berani untuk memformulasikannya secara formal menjadi sistem nilai tata kelola
desanya. Pola-pola penyeragaman pada masa orde baru sepertinya telah
menenggelamkan khasanah adat tertalu dalam, sehingga penggaliannya kembali
sangat sukar dilakukan karena generasi yang ada saat ini sudah tidak lekat dengan
adat nenek moyangnya sendiri. Sebagai contoh konkretnya adalah sistem kajaroan
yang pernah hadir dalam tata kelola desa-desa di Banten masa lalu yang saat ini
hanya menyisakan peristilahannya saja misal sebutan jaro untuk kepala desa yang
masih melekat di beberapa wilayah di Banten terutama Pandeglang dan Lebak.
Konstelasi sosial politik lokal yang melingkupi hubungan desa dan supra
desa mau tidak mau berimbas kepada relasi diantara unsur kepemimpinanya. Kepala
desa dan bupati sebagai lokomotif kedua struktur tentunya pihak yang paling besar
terkena dampak dari relasi desa dan supra desa tersebut. Dalam hal ini, maka relasi
kekuasaan diantara keduanya baik secara sosial maupun politik dipengaruhi secara
langsung maupun tidak langsung oleh faktor sosial budaya yang mengitari
lingkungan politik pada tataran lokal. Akibatnya dalam beberapa kondisi, posisi
struktur tidak lagi menentukan format relasi kekuasaan yang terbentuk, kekhasan
sosial politik lokal mengarahkan relasi kekuasaan membias kepada kekuatan
pengaruh sosial budaya yang dalam beberapa hal tertentu sangat mengabaikan
aturan formal. Ini mengindikasikan pentingnya peran informal leader dalam tokoh
elit desa agar tata kelola desa lebih membumi lagi. Untuk kasus Banten, tokoh elit
desa tersebut terwakili oleh ulama dan jawara. Kedua tokoh elit desa inilah yang
mengkonstruksi bangun struktur politik lokal khususnya relasi kekuasaan bupati dan
kepala desa di Pandeglang secara khusus dan Banten pada umumnya. Dengan kata
lain dapat dipertegas bahwa jalinan relasi kekuasaan bupati dan kepala desa sangat
dipengaruhi oleh jalinan relasi kekuasaan ulama dan jawara.
Realitas yang nampak dari besarnya pengaruh informal leader ini adalah
munculnya kekuatan jawara dalam politik lokal Banten. Kondisi inilah yang pada
akhirnya mengintrodusir istilah dinasti politik jawara dimana hampir seluruh
wilayah kabupaten dan kota di Banten dikuasai oleh keluarga jawara utamanya
keluarga Tubagus Chasan Sohib (selanjutnya disebut TCS). Posisi-posisi strategis
dalam pemerintahan lokal adalah indikator utamanya dimana dalam hal ini unsur
eksekutif dan legislatif didominasi oleh kekuatan jawara. Kekuatan politik lokal ini
juga pada skenario lanjutannya adalah menghantarkan kekuatan jawara yang mampu
berperan di level nasional (diantaranya sebagai anggota DPR RI).
Sementara itu peranan politik ulama dapat dikatakan semakin redup, bahkan
seolah berada dalam kooptasi kekuatan jawara. Ini semacam pembalikkan kondisi
politik pada masa kolonialisme dan awal kemerdekaan. Pada kedua masa tersebut
ulama memerankan politik yang sangat penting, bahkan menjadi pemimpin formal
13

baik dalam bidang militer maupun pemerintahan contohnya diwakili profil K.H.
Tubagus Achmad Chatib yang menjabat sebagai residen pertama Banten sekaligus
sebagai pimpinan militer pada saat itu. Pada masa kolonialisme pun sebenarnya
kekuatan jawara sangat ditentukan oleh pengaruh ulama terutama berdasarkan
keterikatan sebagai guru dan murid (Tihami:1992). Dominasi jawara dalam politik
Banten juga mengindikasikan adanya pengaruh yang cukup signifikan dari
perjalanan dua era politik yang dilaluinya yaitu pada masa orde baru dan era
reformasi itu sendiri. Artinya adalah terdapat keterkaitan yang sangat kuat antara
kebijakan-kebijakan politik pada dua masa tersebut terhadap penguatan peran politik
jawara. Oleh karenanya dalam memahami dominasi jawara dalam politik lokal
Banten, sangat penting untuk menghubungkannya dengan dinamika konstelasi
politik yang terjadi pada setiap periodisasi pemerintahan.
Kondisi yang terjadi dalam politik lokal Banten juga mengisyaratkan bahwa
birokrasi ideal yang sangat memperhatikan prinsip-prinsip formalistis sama sekali
tidak bisa ditegakkan. Peranan informal leader jauh lebih mengakar dibandingkan
dengan kekuatan otoritas legal formal, sehingga struktur kekuasaan pun bergeser
kepada nilai-nilai kultural melalui dua sub kultur utamanya yaitu ulama dan jawara.
Prinsipnya adalah birokrasi tidak akan terbangun secara ideal dalam model
Weberian karena pengaruh kultur yang sangat kuat. Kaitannya dengan relasi bupati
dan kepala desa, maka akan sangat banyak ditentukan oleh karakterisitik kultural ini,
meskipun terdapat persinggungan dengan (dipengaruhi pula oleh) kebijakan politik
yang mengatur hubungan keduanya.
Pergeseran relasi kekuasaan desa dan supradesa atau dalam hal ini antara
bupati dan kepala desa bagaimanapun sangat berkaitan erat dengan perubahan yang
terjadi dalam peraturan perundang-undangannya. Dinamika pemerintahan lokal dan
desa ini secara langsung mempengaruhi hubungan yang terjadi antara desa dan supra
desa sebagaimana tergambar dalam Tabel 1.1.
Berdasarkan referensi peraturan perundang-undangan sebagaimana terurai
dalam Tabel 1.1, meskipun terjadi kecenderungan penguatan posisi desa, namun
demikian posisi desa dalam beberapa hal terutama secara politis selalu terpinggirkan
misalnya pada saat berlangsungnya pemilihan kepala negara yang didanai oleh
APBN dan pemilihan kepala daerah yang didanai oleh APBD, sementara itu
pemilihan kepala desa masih dibiayai sendiri diantara para calonnya10.
Keterpinggiran kepala desa sebagai pejabat politik pun, secara struktural maupun
fungsional pada akhirnya terpinggirkan oleh kepentingan pejabat politik di atasnya.
Masa depan posisi kepala desa kemudian akan sangat tergantung
pengimplementasian UU 6/2014 yang nilai-nilai otonominya jauh lebih menguatkan
desa terutama dari aspek keuangan dan pembangunan. Rencana alokasi anggaran
yang sangat besar sampai dengan kisaran satu milyar rupiah untuk setiap desa adalah
bukti menguatnya desa dari kedua aspek tersebut, meskipun sebenarnya pola-pola
administrasinya semakin menenggelamkan keotonomian desa itu sendiri. Nilai-nilai
lokal yang sejatinya mendapatkan perhatian tidak banyak disinggung dalam undang-
undang ini. Kekhawatiran terbesar dari lahirnya undang-undang ini adalah adanya
kecenderungan pola-pola penyeragaman yang mirip dengan apa yang terjadi pada
masa orde baru.

10
Kondisi ini kemudian dikoreksi dalam pasal 34 ayat 6 UU No. 6 Tahun 2014 yang menyebutkan
biaya pemilihan kepala desa dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota
14

Tabel 1.1 Pergeseran Tatanan Pemerintahan Desa

No. Substansi UU 5/1979 UU 22/1999 UU 32/2004 UU 6/2014


1. Keuangan Desa sangat tergantung Desa berhak mengatur Mengindikasikan desa Desa relatif memiliki
pada kabupaten. Desa keuangan melalui peran desa hanya terbatas anggaran keuangan yang
hanya menjadi sumber APBDes. Rujukan pada sumber pungutan besar.
keuangan, namun pendirian badan usaha untuk kepentingan
keputusan penggunaan merujuk perundang- kabupaten.
tetap berada di undangan sehingga
kabupaten. mempersempit ruang
inisiatif desa.
2. Pemerintahan Desa menjadi daerah Muncul ruang Menunjukkan bahwa Prinsip-prinsip
yang sangat tergantung demokrasi dalam proses pemerintahan desa adalah transparansi dan
pada negara/kabupaten pertanggungjawaban perwakilan akuntabilitas
dalam menjalankan tata kepala desa kepada negara/kabupaten, selain pemerintahan
pemerintahannya. BPD. BPD merupakan sebagai pemerintahan mengarahkan desa
Menafikan pluralisme representasi rakyat yang otonom. Bamusdes menjadi desa formal.
budaya dan karena dipilih langsung adalah representasi Kondisi ini membuat
heterogenitas sistem oleh rakyat. Dalam keterwakilan golongan di desa “dikerangkeng” oleh
pemerintahan lokal. mengambil kebijakan masyarakat. Dalam idealisme birokrasi yang
Kepala desa berhak publik kepala desa mengambil kebijakan mulai menjauhkannya
mengatur desa tanpa berkonsultasi kepada publik kepala desa dari nilai-nilai lokal.
melibatkan masyarakat. BPD. berkonsultasi dengan
LMD dapat memberikan Bamusdes, namun tidak
saran dan pertimbangan bertanggung jawab
kepada kepala desa kepada Bamusdes.
dalam kebijakan publik.
3. Pembangunan Pembangunan ekonomi Pembangunan Kebijakan pembangunanModel perencanaan
dirumuskan para ditentukan oleh bersifat state oriented
pembangunan berbasis
teknokrat dan birokrat kabupaten. dibandingkan society pengelolaan keuangan
pusat. Keputusan oriented. secara otonom
pembangunan ada di memberikan kesempatan
tangan kepala desa yang besar bagi desa
sebagai legislatif untuk mengelola
sekaligus eksekutif.. pembangunan desanya
dengan tidak bergantung
kepada kabupaten.
4. Kemasyarakatan Kesadaran politik Secara umum substansi Undang-undang ini tidak Fungsi pelaporan kepala
(Civil Society) masyarakat desa ditekan. undang-undang ini membahas secara spesifik desa terhadap publik
Desa menjadi arena memberikan civil society di desa, yang diwakili Bamusdes
deideologisasi, melalui penghargaan terhadap selain lembaga-lembaga memperkuat fungsi
kooptasi Golkar. berkembangnya civil yang berhubungan kontrol masyarakat
society di desa. dengan negara. terhadap kepala desa.
Sumber: dimodifikasi dari Dharmawan (2006:52).

Perbedaan mendasar dari kewenangan desa sebagaimana diintrodusir oleh


ketiga peraturan perundang-undangan pada Tabel 1.1 adalah bahwa pada UU 5/1979
yang lebih menonjol adalah kewenangan administratifnya — hal ini karena dalam
dimensi politik desa sangat tertekan, sementara pada era reformasi berdasarkan UU
22/1999 dan UU 32/2004 yang lebih menonjol adalah kewenangan politisnya,
meskipun terdapat sedikit penurunan derajat kewenangan desa pada UU 32/2004.
Derajat kewenangan desa meningkat kembali setelah terbitnya UU 6/2014.
Dinamika pergeseran tatanan pemerintahan desa ini secara tidak langsung
mempengaruhi relasi kekuasaan bupati dan kepala desa, penyebabnya adalah tarik
ulur kewenangan yang mengindikasikan elastisitas politik di tingkat lokal.
Berdasarkan pengamatan dalam Tabel 1.1, secara umum sebenarnya
kemandirian dan kewenangan desa dalam empat aspek tersebut relatif meningkat.
Semakin meningkatnya kewenangan kepala desa secara regulasi formal di satu sisi
memberikan dampak positif bagi kepala desa, namun di sisi lain hal ini akan
menyulut hubungan konfliktual semisal dalam aspek pembangunan yang diatur
dalam UU 32/2004 dimana penentuan kebijakan berada pada pemerintah daerah
(bupati), sementara kepala desa hanya berhak mengusulkan prioritas pembangunan
di desanya melalui tahapan MUSRENBANGDES yang dibawa ke tingkat
15

kecamatan (MUSRENBANGKEC). Pertimbangan prioritas pembangunan pun pada


akhirnya akan semakin meminggirkan kepentingan desa manakala dibawa pada
tingkatan MUSRENBANGKAB yang semakin menutup peluang desa karena
prioritas pembangunan regional akan bersaing dengan prioritas pembangunan
sektoral dengan adanya kepentingan anggaran dari setiap satuan kerja perangkat
daerah.
Model perencanaan pembangunan semacam ini sangat jelas menempatkan
pengaturan desa, daerah dan pusat menjadi pola perencanaan terpusat yang
kekhawatirannya memunculkan kembali asas sentralisasi sehingga tidak mendorong
desentralisasi dan otonomi desa11. Kondisi masa lalu tersebut diharapkan akan
berubah seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang
menempatkan desa relatif memiliki alternatif-alternatif perencanaan keuangan dan
pembangunan secara mandiri.
Keterpinggiran desa sebenarnya sudah nampak terutama yang terjadi pada
masa orde baru. Pada pola hubungan patron-klien (patron-client) yang cukup kuat
dalam hampir seluruh penyelenggaraan pemerintahan masa orde baru saat itu,
menyebabkan relasi kekuasaan yang terbangun antara bupati dan kepala desa
mengikuti hubungan patron-klien tersebut. Pada pola hubungan semacam ini
berlangsung hubungan komando top-down yang menyempitkan peluang partisipasi
dan aspirasi desa (atau kepala desa) dapat muncul ke permukaan. Meskipun
cenderung tidak menampakkan riak atau gejolak perlawanan, namun hal ini tidak
dimaknai sebagai suatu kondisi harmonis dan menyejahterakan desa, tetapi lebih
kepada kuatnya dominasi bupati yang kemudian menghegemoni kepala desa. Bentuk
kepatuhan atau tepatnya ketergantungan kepada superordinat menjadi kuat karena
aliran pola-pola pembangunan dengan model top-down tersebut. Dalam relasi
kekuasaan pun pada akhirnya terbentuk kecenderungan suatu pola sebangun antara
bupati dan kepala desa, jika pun ada kepala desa yang berbeda maka “biasanya”
diabaikan dalam pemberian fasilitas pembangunan desanya.
Kondisinya berubah ketika pemerintahan memasuki babak baru, era
reformasi. Demokratisasi adalah salah satu kata kunci yang diusung dalam era ini
yang kemudian mendorong otonomi, daerah dan desa. Demokratisasi di tingkat
lokalpun menemukan jatidirinya. Dalam konstelasi politik secara luas, demokrasi
juga mendorong partisipasi politik segenap rakyat untuk terlibat dalam akses-akses
politik. Ini pada akhirnya mempengaruhi pola hubungan bupati-kepala desa ke arah
yang lebih partisipatif, transparan, partnership (bermitra kerja), bottom-up, dan
tentunya demokratis. Idealnya kondisi ini akan membawa perubahan relasi
kekuasaan keduanya sehingga tidak lagi bernuansakan superordinasi atau
subordinasi terhadap yang lainnya, tetapi memiliki akses yang sama untuk tampil
bermitra menyejahterakan rakyatnya.
Namun demikian, karena kesamaan kesempatan untuk tampil dalam ruang
publik inilah justru sering kali menyulut terjadinya konflik. Konflik terjadi karena
kemungkinan perbedaan kepentingan politik diantara keduanya (bupati dan kepala
desa) — meskipun pada perkembangan perundangan-undangan terkini (UU 6/2014)
terdapat semacam pemagaran hak politik kepala desa sehubungan dengan larangan
menjadi pengurus partai politik, atau justru alasan sosiologis inilah yang menyulut

11
Lala M. Kolopaking, Peningkatan Kapasitas dan Penguatan Struktur Kelembagaan Otonomi Desa
dalam Satria dkk. (ed.), 2011:135-136.
16

klausul pasal larangan pemagaran politik kepala desa tersebut12, hal ini berbeda
dengan bupati, gubernur maupun presiden yang sama-sama dipilih secara langsung
oleh rakyat.
Pada masa orde baru dimana kepala desa terhegemoni secara kuat, maka
tidak ada kuasa kepala desa untuk melawan kepentingan politik bupati pada masa
itu, sehingga orientasi politiknya relatif sama. Tetapi ketika bupati kehilangan
kendali politiknya (dominasi hegemoni), artinya perbedaan orientasi politik dengan
kepala desa sangat mungkin terjadi, maka perbedaan orientasi politik pun sangat
mungkin terjadi. Dan ketika perbedaan politik itu tampil secara berhadap-hadapan
dalam arena politik, maka konflik tidak dapat dihindarkan. Pada kondisi ini,
demokratisasi lokal bergantung kepada kepentingan politiknya. Inti politikpun yaitu
kekuasaan menjadi alasan untuk saling mempertahankan kepentingan politiknya
tersebut, dalam kondisi seperti ini konflik politik mempengaruhi hubungan
struktural dan fungsional bupati dan kepala desa.
Dalam perspektif politik, pada akhirnya pernyataan klasik Lord Acton pun
berlaku dimana “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely”
yaitu manusia yang mempunyai kekuasaan cenderrung untuk selalu
menyalahgunakan kekuasaannya terlebih kekuasaan yang tak terbatas (Budiardjo,
2005:52). Hal ini nampak dalam menyikapi pergeseran relasi kekuasaan pada era
reformasi ini, yaitu bupati “memanfaatkan” posisi struktur birokrasinya yang berada
pada posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepala desa. Posisi supra struktur
bupati dalam pemerintahan lokal menjadikan bupati memiliki kewenangan yang
lebih luas dibandingkan dengan kepala desa. Relasi kekuasan dengan kepala desa
nampak dalam penetapan anggaran pemerintahan dan pembangunan desa yang
terjadi di Kabupaten Pandeglang dimana pola pencairannya diatur sedemikian rupa
sehingga dalam beberapa kondisi kepala desa memiliki ketergantungan kekuasaan
(finansial) terhadap bupati.
Bupati (atau aparatnya) dapat melemahkan posisi kepala desa melalui pola
hubungan pengawasan dan administrasi. Posisi superordinat secara struktur formal
menempatkan bupati memiliki kewenangan kontrol terhadap desa, sebaliknya desa
hanya menjadi obyek kontrol tersebut tanpa adanya kesempatan yang lebih terbuka
untuk melakukan fungsi perimbangan kontrol terhadap bupati.
Dalam pengamatan peneliti, tidak hanya posisi struktur yang dimanfaatkan
oleh bupati, hampir seluruh segmen sosial-politik lokal yang potensial dimasuki oleh
bupati dalam mempertahankan kekuasaannya. Pada akhirnya dominasi bupati tidak
dapat tertandingi karena sebagian besar sumber-sumber dan saluran kekuasaan yang
ada dapat dikendalikan. Dominasi politik bupati ini pada akhirnya mengabaikan
kepentingan publik. Cita-cita demokrasi untuk menyejahterakan rakyat justru
terkooptasi oleh kepentingan individu dan politik bupati.
Berdasarkan uraian di atas, meskipun terjadi pergeseran relasi kekuasaan
diantara bupati dan kepala desa (dari terhegemoni menjadi independen, dari
terkontrol menjadi partisipatif, maupun dari model komando top-down menjadi
bottom-up), pada perkembangan terkini ternyata semakin memperbesar
kemungkinan terjadinya konflik. Artinya bahwa perubahan dalam aturan formal
yang memberikan keleluasaan kepala desa secara politik, dalam beberapa kondisi
akan berbenturan dengan kepentingan politik bupati. Relasi konfliktual antara bupati
dan kepala desa ini pada bagian akhirnya juga akan mengakibatkan pergeseran relasi
12
Lihat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daeran dan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
17

kepala desa dengan pihak-pihak lainnya seperti camat, BPD, masyarakat, sekretaris
desa dan aparatur desa lainnya.
Dalam penelitian ini, pergeseran yang terjadi dalam konstelasi politik-
pemerintahan di Pandeglang diakibatkan oleh dinamika regulasi formal yang
bersinergi dengan lingkungan sosial budaya yang membalut sistem politik lokalnya.
Wacana politik jawara dan dinasti politik semakin melengkapi relasi kekuasaan
bupati dan kepala desa yang tidak lepas oleh balutan karakteristik ke-Banten-an
tersebut. Ini bagian lain dari kondisi yang semakin memperuncing permasalahan
penata kelolaan pemerintahan di tingkat desa (rural governance) – meskipun di sisi
lain mempertajam kekhasan tata kelola desa itu sendiri.
Relasi kekuasaan bupati dan kepala desa pun dihadapkan pada dilema
permasalahan untuk mengedepankan demokratisasi lokal berdasarkan kepentingan
politik individual (dan juga kelompoknya) atau penatakelolaan desa berdasarkan
aturan formal (“negaranisasi” yang mengedepankan penyeragaman dan
pengendalian pemerintahan desa). Jika hanya mengedepankan kepentingan politik
atas nama demokratisasi, maka penatakelolaan desa berdasarkan aturan yang berlaku
“mungkin” akan terabaikan. Padahal fungsi pejabat pemerintahan sebagaimana
dikatakan Riggs yang dikutip Nordholt (1987:31) adalah melaksanakan ketentuan-
ketentuan dan peraturan-peraturan pemerintah. Sebaliknya jika penatakelolaan desa
mengacu kepada aturan yang berlaku, maka gerak demokratisasi lokal cenderung
terhambat karena perbenturan kepentingan politik dengan aturan yang berlaku tidak
dapat dihindarkan.
Pemahaman keberagaman dan kekhasan lokal pedesaan menjadi sangat
urgen untuk memahami bagaimana tata kelola desa berbasis kultural bersanding
dengan aturan formal. Pada bagian ini pula pemahaman tentang peranan elit desa
yang diperankan oleh ulama dan jawara menjadi sangat vital sehingga dapat
memahami secara mendalam bagaimana dalam memformulasikan tata kelola desa
perlu mempersandingkan aspek tradisional lokal dengan tata aturan formalnya.
Inilah sebenarnya yang melatarbelakangi adanya konsep shadow state atau dalam
istilah lain disebut juga informal governance yang sebagian besar berlangsung di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sistem sosial dan budaya
masyarakat pedesaan di Indonesia sangat memungkinkan tumbuh suburnya model
informal governance karena dalam masyarakat terdapat elit sebagai figur informal
leader yang pengaruh sosialnya kadangkala melebihi kuasa dan otoritas formal
leader selain faktor kultur patronase yang masih kuat. Persandingan atau pada
kondisi tertentu menjadi perpaduan antara informal governance dan formal
governance secara sinergis sudah teruji dapat memberikan kemanfaatan kepada
masyarakat dibandingkan dengan memaksakan untuk memberdayakan formal
governance dalam nilai dan standar yang tidak sesuai dengan kebijakan lokal. Inilah
makna terdalam bagaimana tata kelola desa yang bersandar pada perpaduan konsep
negara dan konsep adat. Untuk kasus ke-Banten-an, peran informal leader ini telah
secara apik dilakukan oleh ulama dan jawara yang menjadikan birokrasi dan politik
lokal Banten didominasi oleh nilai-nilai religi dan tradisi yang dibawa oleh kedua
pelaku informal leader (ulama dan jawara). Model demokrasi, tata kelola desa dan
relasi kekuasaan yang memberikan kuasa lebih kepada informal leader ini dalam
faktanya ternyata membuat Banten tidak semakin maju, kemiskinan masih dirasakan
oleh sebagian besar masyarakat pedesaaan. Ini menyulut pertanyaan apakah kiranya
realitas-realitas politik di Banten tersebut sebagai faktor penyebabnya atau terdapat
faktor lain yang lebih berpengaruh.
18

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini berupaya untuk mengkaji


relasi kekuasaan antara bupati dan kepala desa dalam kaitannya dengan
penatakelolaan desa di Pandeglang sebagai salah satu wilayah kabupaten di Banten
dengan mengajukan pertanyaan “Bagaimanakah proses relasi kekuasaan bupati
dengan kepala desa berlangsung dan bagaimana implikasinya terhadap
kemiskinan masyarakat pedesaan”. Untuk menjawab pertanyaan utama tersebut
dibutuhkan pertanyaan pengarah yaitu:
1. Bagaimanakah faktor sosial-kultural mempengaruhi relasi kekuasaan bupati
dengan kepala desa?
2. Bagaimanakah pola-pola relasi kekuasaan bupati dan kepala desa yang terbentuk
berpengaruh terhadap kemiskinan masyarakat pedesaan?

Tujuan Penelitian
Sejalan dengan pertanyaan penelitian yang diajukan, maka tujuan penelitian
ini adalah:
1. Menjelaskan faktor sosial-kultural yang mempengaruhi relasi kekuasaan bupati
dengan kepala desa.
2. Menemukan pola-pola relasi kekuasaan bupati dan kepala desa yang terbentuk
dan pengaruhnya terhadap kemiskinan.
3. Menganalisis proses relasi kekuasan bupati dan kepala desa dan implikasinya
terhadap kemiskinan masyarakat pedesaan.

Kebaruan (Novelty)
Penelitian ini merupakan upaya kritis terhadap penatakelolaan desa dalam
kaitannya dengan relasi kekuasaan yang terjadi antara desa dan supra desa dan
implikasinya terhadap kesejahteraan atau kemiskinan di pedesaaan Pandeglang.
Untuk melengkapi analisis dalam penelitian ini, beberapa teori juga menjadi
rujukannya diantaranya teori-teori demokrasi, teori elit dan kepemimpinan lokal,
teori sumber dan saluran kekuasaan dan teori relasi kekuasaan. Berdasarkan
pendekatan penelitian terdahulu dan rujukan teori-teori tersebut, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam hal:
1. Mengangkat isu-isu relasi kekuasaan dalam membangun hubungan yang sinergis
antara antara bupati dan kepala desa.
2. Memformulasikan strategi penatakelolaan desa melalui pemahaman yang
mendalam terhadap nilai-nilai kultural.
Penelitian yang dilakukan mengungkap relasi kekuasaan yang terjalin antara
bupati dengan kepala desa. Posisi suprastruktur bupati dalam hierarki pemerintahan
formal tidak menjadi jaminan terhadap terbentuknya relasi kekuasaan dominan
bupati terhadap kepala desa, dalam hal ini pembentukan jaringan kekuasaan menjadi
faktor determinannya. Pola-pola relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa yang
terbentuk ternyata berdampak kepada tidak terangkatnya tingkat kesejahteraan
masyarakat pedesaan. Berdasarkan kedua kesimpulan tersebut, maka aspek kebaruan
dalam penelitian ini adalah bahwa relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa
tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat
pedesaan di Kabupaten Pandeglang.
19

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

Ulama dan jawara serta bupati dan kepala desa dalam kapasitasnya sebagai
elit tentunya perlu dipahami dari pendekatan teori elit, dan sebagai sebuah
konstruksi sosial ulama dan jawara perlu didekati oleh tinjauan sistem sosial lokal.
Oleh karenanya untuk memahami ulama dan jawara sebagai elit dikaitkan dengan
bupati dan kepala desa akan diuraikan dengan mengikutsertakan pendekatan-
pendekatan lokal Banten. Dengan begitu elit sebagai sebuah konstruksi sosial ini
dapat dipahami latar sosial-kulturalnya. Teori elit ini erat kaitannya dengan teori
demokrasi elitis yang mewarnai model demokrasi di Asia dan model demokrasi-
demokrasi lokal di Indonesia. Dengan demikian sebelum membahas teori elit,
sebelumnya perlu diuraikan tentang persandingan demokrasi elitis yang berkembang
di negara-negara Asia dan demokrasi partisipatif yang menjadi idealisme negara-
negara Barat.

Demokrasi Elitis Versus Demokrasi Partisipatif: Pilihan Sistem Pemerintahan


yang Menyejahterakan
Akar sosial-budaya berpengaruh besar terhadap pembentukan demokrasi
sebagaimana diuraikan dalam latar belakang (bab 1). Dalam kaitan itu, pada bagian
ini akan diuraikan dua kecenderungan yang berbeda terkait dengan perkembangan
demokrasi di Asia dan di Barat. Kecenderungan tersebut adalah bahwa di Asia,
dengan kultur patronase yang kuat pada akhirnya membentuk demokrasi yang dalam
tataran ilmiah disebut sebagai demokrasi elitis. Sementara di dunia Barat relatif
mengarah kepada demokrasi partisipatif. Kedua demokrasi tersebut arah haluannya
sangat berbeda atau dapat dikatakan bertolak belakang dimana dalam demokrasi
elitis kuasa rakyat dijamin oleh kelompok elit tertentu, sementara dalam demokrasi
partisipatif kuasa rakyat menyebar kepada seluruh komponen masyarakat sehingga
pelibatan partisipasi seluruh rakyat menjadi keharusan dalam model demokrasi ini.
Dalam model demokrasi elitis, rakyat dipandang sebagai pihak yang tidak
perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik, karena rakyat
dianggap tidak mampu dan tidak berwenang untuk menyelesaikan persoalan--
persoalan yang kompleks dalam masalah-masalah pemerintahan. Selain itu rakyat
lebih baik apatis dan bijaksana untuk tidak menciptakan tindakan-tindakan yang
merusak budaya, masyarakat dan kebebasan (Walker, 1987:3). Peran rakyat dibatasi
pada penyelenggaraan pemilihan umum dimana melalui pemilihan umum tersebut
rakyat dapat menyalurkan aspirasi politiknya.
Dalam tinjauan para ahli politik, demokrasi elitis dianggap sebagai
demokrasi semu dimana kuasa rakyat sebenarnya nihil digantikan oleh peran yang
sangat luar biasa dari para elit yang memperoleh mandatnya melalui justifikasi
pemilihan umum. Pemilihan umum dianggap sebagai sebuah prosedural saja tanpa
ada makna substansi demokrasi yang sesungguhnya (demokrasi prosedural).
Berbeda dengan demokrasi elitis, demokrasi partisipatif memberikan peluang
yang luas kepada rakyat untuk berpartisipasi secara effektif dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan publik. Prinsip dalam
demokrasi partisipatoris adalah persamaan bagi seluruh warga negara dewasa untuk
ikut menentukan agenda dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan agenda yang
telah diputuskan secara bersama. Hal ini dilakukan agar perjalanan kehidupan
bernegara mendapatkan pemahaman yang jernih pada sasaran yang tepat dalam
rangka terwujudnya pemerintahan yang baik (Dahl, 2001:157). Indikasi demokrasi
20

partisipatif ditandai suatu masyarakat yang terbuka yaitu suatu keadaan dimana
pilihan manusia merupakan hal utama yang didasarkan atas dasar kebebasan,
persamaan dan partisipasi politik (Varma, 2010:218-225).
Penelusuran konsep demokrasi yang paling ideal tidak bisa bersandar kepada
satu keputusan bulat. Sebagaimana dijelaskan di awal sub judul ini bahwa akar
sosial-kultural sangat berpengaruh terhadap perwujudan demokrasi yang ada.
Masyarakat Asia yang sangat kuat kultur patronase-nya sebagaimana dikemukakan
Neher (1994) akan sangat sulit menerapkan model demokrasi partisipatif. Hal yang
berbeda dengan masyarakat Barat dimana akar sosial-budayanya memang bersandar
kepada nilai-nilai individualistik. Dengan demikian baik demokrasi elitis maupun
demokrasi partisipatif, keduanya merupakan pengaruh dari nilai-nilai sosial-kultural.
Oleh karenanya demokrasi yang paling ideal sebenarnya adalah demokrasi yang
menginternalisasikan nilai-nilai kultural.
Berdasarkan rujukan dua model demokrasi tersebut, maka demokrasi lokal di
Indonesia dapat dikategorikan sebagai demokrasi elitis. Hal ini tidak lepas dari
kuatnya kultur patronase dalam sebagian besar masyarakat di Indonesia dan adanya
personalism pada beberapa figur lokal sebagaimana pula karakteristik dalam Asian
Style Democracy (Neher, 1994) yang telah diuraikan dalam Bab 1.

Elit dan Kepemimpinan Lokal, serta Sumber dan Saluran Kekuasaannya


Kontribusi pemikiran tentang elit dari Gaetano Mosca, Vilpredo Paretto dan
Robert Michels sampai dengan saat ini masih merupakan rujukan utama kajian-
kajian sosial dengan berragam aspek yang melingkupinya misalnya tentang sumber
dan saluran kekuasaannya, pembentukannya maupun perputarannya. Meskipun
terdapat beberapa perbedaan pendapat dari ketiganya, namun terdapat dua kesamaan
pandangan yaitu bahwa menurut mereka masyarakat terbagi atas massa dan elit serta
adanya perputaran diantara elit tersebut.
Berdasarkan kedua kesepahaman pandangan tersebut, ketiganya
mengeksplorasi elit dan massa dalam tekanan yang berbeda dimana Mosca melihat
bagaimana hubungan elit dan massa dibangun atas keberadaan kelas penguasa (the
ruling class) dan yang dikuasai (the ruled class). Pareto memberikan sumbangan
pemikiran bagaimana diantara elit tersebut mengalami proses peningkatan dan
penurunan elit atau adanya sirkulasi di antara elit. Dan Michels memberikan ide-ide
tentang politik kontemporer – dalam kasusnya politik di Jerman – terutama
kecenderungan bentuk oligarki yang melekat dalam sejarah kehidupan manusia.
Ulasan sosiologi politik dari Mosca dan Michels memberikan gambaran
secara konkret bahwa elit teridentifikasi dengan adanya the ruling class dalam
pendekatan Mosca dan oligarki dalam pendekatan Michel. Disinilah peranan Pareto
dalam mengarahkan makna elit. Menurut Pareto (Hartmann, 2004:12), elit adalah
suatu kelas dari sekelompok orang yang direkrut dari orang-orang yang mampu
meraih level tertinggi dalam bidang aktivitasnya. Kemampuan mencapai level
tertinggi menjadikan elit mendapatkan penghormatan yang tinggi juga
menempatkannya pada lapisan struktur sosial tertinggi dalam masyarakatnya.
Kajian tentang elit pada dasarnya adalah eksplorasi mengenai bagaimana
relasi kekuasaan berlangsung dalam suatu masyarakat, utamanya antara satu
kelompok yang mempunyai pengaruh kuat terhadap kelompok lainnya. Karena
kekuatan pengaruhnya, elit menjadi tokoh sentral dalam perubahan suatu
masyarakat. Inilah yang dikatakan Hartmann (2004:2) bahwa elit memiliki pengaruh
yang kuat dalam pengembangan masyarakat.
21

Berkaitan dengan penelusuran elit pedesaan Banten yang terrefleksi dalam


tokoh ulama dan jawara sebagai representasi religi dan tradisi, menarik untuk
memperbandingkan pemikiran Mosca dan Pareto (Faulks, 2010:65-66) dalam
kaitannya dengan keunggulan atau superioritas elit terhadap yang lainnya. Mosca
menyangkal faktor moral dan intelektual sebagai aspek superioritas elit. Jika
dikaitkan dengan kasus ulama yang menjadi elit Banten karena faktor keilmuannya –
dalam istilah Mosca tersebut intelektualitas, maka Mosca tidak menyepakatinya.
Pemikiran Pareto justru lebih sesuai untuk menganalisis kehadiran jawara sebagai
elit dimana ia menyatakan bahwa faktor kekuatan fisik dan mental sangat
menentukan keberadaan elit.
Kajian terhadap elit pada dasarnya mencoba untuk memahami siapa elitnya,
apa yang dikuasainya dan bagaimana hubungan yang terjalin antara elit dan non elit
(massa). Sehingga eksplorasi tentang elit tidak berhenti untuk mengetahui siapa dan
peran apa yang dijalankannya, substansi yang lebih mendalam justru berada pada
pembahasan kekuasaan yang berlangsung dalam hubungan elit dan non elit tersebut.
Hal ini menjadi sangat wajar karena aspek elitis muncul ke permukaan dan sangat
kentara, sementara aspek kekuasaan dan juga relasi kekuasaan tersembunyi di balik
dimensi sosial budayanya.
Penguasaan sumber-sumber kekuasaan menjadikan seseorang mampu
menggapai posisi elit dalam masyarakatnya. Dan konsekuensinya adalah sebagian
yang lain terjebak pada posisi ketidakberdayaan secara kekuasaan. Disinilah terjadi
hubungan elit dan massa; dalam dimensi kekuasaan hal ini dapat dimaknai hubungan
antara yang kuat dan yang lemah. Kondisi inilah yang mendasari analisis Marxis
terhadap relasi kekuasaan dimana masyarakat selalu terpilah pada dua kelas yaitu
kelas superordinat yang diwakili kaum borjuis dan kelas subordinat yang diwakili
kaum buruh. Dalam makna konkretnya, relasi kekuasaan tipikal Marxis selalu dilihat
sebagai pola-pola dominasi dari kelas penguasa (kaum borjuis) terhadap kelas
proletar (kaum buruh).
Jika hubungan elit dan massa dimaknai sebagai hubungan antara yang kuat
dan yang lemah, lalu bagaimana hubungan diantara elit itu sendiri. Berdasarkan
prinsip zero sum theory dan dengan memaknai filosofi kekuasaan yang selalu
mengarahkan kepada penguasa dan yang dikuasai, atau the ruling class dan the
ruled class, maka dalam hubungan diantara elit pun terjadi the ruling elite dan the
ruled elite. Hal ini juga terjadi pada hubungan bupati, kepala desa, ulama dan
jawara. Relasi diantara keempat pihak (ulama, jawara, bupati dan kepala desa) dapat
dipastikan selalu berdimensi kekuasaan yang dibingkai oleh karakter sosial budaya
masyarakat Banten. Pada bagian inilah perlu memaknai secara mendalam konsep
kekuasaan dikaitkan dengan karakter sosial budayanya.
Makna kekuasaan itu sendiri dapat ditelusuri dari kata kuncinya yaitu
“mempengaruhi”, dalam hal ini kekuasaan dimaknai sebagai suatu tindakan yang
dilakukan seseorang untuk “mempengaruhi” orang lain. Tentunya terpengaruhnya
seseorang adalah dalam rangka mewujudkan keinginan yang mempengaruhinya.
Oleh karenanya kekuasaan sering diartikan sebagai “kemampuan (kapasitas)
seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar bertindak sesuai dengan
keinginannya”.
Batasan umum tentang kekuasaan ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh
konsep Weber tentang kekuasaan. Weber (Hicks, 2005:35) menyatakan kekuasaan
sebagai “the chance of a man or a number of men to realize their own will in a
social action even against the resistance of others who are participating in the
22

action”. Dalam batasan Weber, kata kunci “mempengaruhi” menjadi penting


meskipun hal ini mendapatkan tindakan perlawanan dari pihak lain (pihak yang
dipengaruhi).
Dalam batasan yang relatif identik dengan Weber, R.H. Tawney (Hicks,
2005:35) menjelaskan kekuasaan sebagai “the capacity of an individual, or group of
individuals, to modify the conduct of other individuals or groups in the manner
which he desires, and to prevent his own conduct being modified in the manner in
which he does not”. Batasan tersebut secara lebih sederhana dinyatakan oleh
Michael Mann (1986:6) sebagai “the ability to pursue and attain goals through
mastery of one’s environment”. Pada prinsipnya, pernyataan Tawney dan Mann
tersebut masih memiliki kesamaan makna kekuasaan dalam kata kuncinya yaitu
“mempengaruhi” sebagaimana konsep yang dilontarkan Weber.
Sementara itu signifikansi sumber kekuasaan dalam pembentukan kekuasaan
seseorang dapat ditelusuri dari konsep kekuasaan yang dikemukakan oleh Surbakti
(1992:29) bahwa “kekuasaan secara umum diartikan sebagai kemampuan
menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi perilaku
pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang
mempengaruhi. Dalam arti sempit, kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai
kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan itu
menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya”.
Dengan demikian maka besar kecilnya pengaruh dari suatu kekuasaan akan sangat
bergantung kepada penguasaan sumber-sumbernya, sehingga pencarian kekuasaan
dapat ditelusuri dari sumber-sumber kekuasaan yang berhasil dimilikinya.

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Sumber Kekuasaan

Jenis Sumber
No. Contoh Sumber Kekuasaan
Kekuasaan
1. Fisik Senjata: senapan, rudal, bom.
2. Ekonomi Kekayaan, pendapatan, barang dan jasa, sumber
daya alam.
3. Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi religius, legitimasi,
kewenangan.
4. Personal Kharisma pribadi, daya tarik kepribadian,
popularitas.
5. Keahlian Informasi, pengetahuan, intelejensia, keahlian
teknis.
Sumber: Andrain (1992:132)

Dalam penguasaan sumber kekuasaan ini faktor lingkungan (internal maupun


eksternal) dari sebuah sistem politik sangat menentukan dalam proses pembentukan
besarnya kekuasaan tersebut. Oleh karenanya sistem sosial-budaya yang melingkupi
kehidupan politik berpengaruh besar terhadap konstruksi struktur kekuasaannya.
Untuk itulah aspek-aspek sumber kekuasaan akan sangat bervariasi tergantung dari
sistem sosial-budaya masyarakatnya, sehingga tidak ada satu pun referensi teori
yang dapat merepresentasikan sumber-sumber kekuasaan dan juga salurannya secara
utuh. Pembahasan tentang sumber-sumber kekuasaan setidaknya dapat ditelusuri
dari apa yang dijelaskan oleh Charles F. Andrain (1992:132). Ia membagi tipe
23

sumber kekuasaan kepada lima jenis yaitu berdasarkan fisik, ekonomi, normatif,
personal dan keahlian (lihat dalam Tabel 2.1).
Relatif berbeda dengan penjelasan Charles F. Andrain, Keith Faulks
(2010:27) menyatakan bahwa sumber-sumber kekuasaan dipilari oleh lima hal yaitu
kekuatan fisik, informasi, gagasan, bahasa dan teknologi. Jika dibandingkan dengan
pendapat Charles F. Andrain, hanya satu aspek yang relatif identik yaitu dalam hal
fisik atau kekuatan fisik. Namun demikian, pada prinsipnya dari kedua referensi
teori sumber kekuasaan tersebut dapat dipahami bahwa semakin banyak akumulasi
sumber kekuasaan yang dimiliki, maka semakin besar pemilikian kekuasaannya
meskipun dari aspek pengaruhnya memiliki derajat yang berbeda.
Untuk mempersandingan karakteristik pedesaan dilihat dari sumber-sumber
dan saluran kekuasaannya, peneliti mengambil hasil penelitian yang dilakukan
Iberamsjah di Desa Gede Pangrango Sukabumi yang peneliti pandang memiliki
kemiripan karakter sosial kulturnya dengan masyarakat Banten. Berdasarkan hasil
penelitiannya, Iberamsjah membagi tipe-tipe sumber dan saluran kekuasaan yang
dikaitkan dengan pembentukan elit desa sebagaimana tergambar dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Sumber dan Saluran Kekuasaan dikaitkan dengan Pembentukan Elit Desa

No. Elit Desa Sumber Kekuasaan Saluran Kekuasaan


1. Agama Ilmu/hukum agama Islam 1. Lembaga keagamaan
2. Pengajian dan Majlis
Taklim
3. Lembaga pendidikan
agama
2. Cendekiawan Ilmu pengetahuan dan 1. Lembaga pendidikan
keterampilan 2. Lemaga dan organisasi
pemerintah
3. Organisasi sosial dan
politik
3. Jawara Ilmu bela diri 1. Perkumpulan dan
perguruan bela diri
2. Lembaga adat desa
4. Pemuda Prestasi dalam kegiatan 1. Organisasi pemuda
masyarakat 2. Kegiatan desa
5. Ekonomi Kekayaan dan materi Pemilikan asset kekayaan
dan materi
6. Wanita 1. Keterampilan
2. Status
7. Tradisional/Ke Hubungan 1. Lembaga adat
kerabatan kerabat/genealogis 2. Paguyuban
8. Politik Partai politik 1. Partai politik
2. Massa
9. Birokrasi 1. Dasar pemilihan oleh Pemerintahan desa
rakyat
2. Wewenang sebagai wakil
pemerintah (bupati)
Sumber: Iberamsjah (2002:84)
24

Jika dikomparasikan dengan sumber kekuasaan yang dijelaskan oleh Andrain


dan Faulks, maka sumber kekuasaan yang diintrodusir oleh Iberamsjah jauh lebih
berragam. Ini dapat dimaknai bahwa sumber-sumber kekuasaan di masyarakat
pedesaan tidak terkonsentrasi pada satu kekuasaan inti, meskipun derajat pengaruh
dari masing-masing sumber kekuasaan sangat berbeda. Hal ini menggambarkan pula
masyarakat desa dalam kompleksitas kekuasaannya.

Konsep Ulama dan Jawara: Pertautan Antara Politik dan Urusan Keduniaan
Ulama sebagai sebuah konsep secara sederhana dapat dimaknai sebagai
seseorang yang memiliki wawasan yang tinggi tentang keilmuan agama Islam. Gelar
atau panggilan ulama untuk beberapa masyarakat sangat bervariasi tergantung
kekhasan lokalnya. Untuk Banten sendiri, penyebutan gelar ulama diantaranya
adalah wali, abuya, kyai dan ustadz. Sementara itu panggilan kehormatan kepada
seorang ulama diantaranya abah, ajengan dan mama13.
Namun demikian konsep ulama yang awalnya dipahami sebagai orang yang
berpengetahuan agama tersebut memperkenalkan pula konsep-konsep baru terutama
karena persentuhan atau pertautannya dengan urusan politik dan keduniaan. Untuk
itulah pada perkembangan saat ini istilah-istilah ulama semakin berragam
diantaranya istilah kyai politik dan kyai hikmah. Kyai politik adalah kyai yang terjun
dalam urusan-urusan politik dengan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
orientasi dan kepentingan suatu partai politik tertentu, sementara kyai hikmah dapat
dimaknai sebagai kyai yang memberikan pelayanan-pelayanan urusan keduniaan
dengan memberikan bantuan keilmuannya secara supranatural.
Kedua jenis ulama tersebutlah yang saat ini paling nampak mewarnai
kehidupan sosial-politik masyarakat, sehingga dalam kondisi tertentu kedua konsep
ulama ini seringkali justru “tercerabut” dari akar keulamaannya. Untuk itulah dalam
hal ini perlu dipersandingkan jenis ulama lain yang dipandang idealis atau dalam hal
ini sering disebut sebagai kyai kitab. Kyai kitab ini tidak terjun ke politik ataupun
tidak memberikan pelayanan-pelayanan kepentingan duniawi. Kyai jenis ini hanya
memberikan pembelajaran agama di pesantrennya.
Meskipun pemilahan kyai ini tidak dapat dibedakan secara kaku, artinya
dapat saja kyai politik juga kyai hikmah, namun yang jelas pemilahan ini terjadi
karena dua aspek penting dalam kehidupan kemasyarakatan yaitu urusan politik dan
keduniaan.
Urusan politik juga mewarnai konsep jawara. Jawara adalah konsep lokal
yang sangat populer untuk wilayah Banten, Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya serta
Lampung. Konsep jawara secara umum dimaknai sebagai orang yang memiliki
kemampuan bela diri secara fisik. Dalam masyarakat kebanyakan, konsep jawara ini
mengalami derogasi sehingga peristilahan jawara selalu dikaitkan dengan hal-hal
yang negatif semisal kekerasan, prilaku kasar, pemaksaan fisik dan kejahatan.
Menurut Kartodirdjo (1984), penderogasian ini diawali oleh politik kolonial
Belanda untuk mencitrakan kaum jawara sebagai orang yang berprilaku jahat
dengan melabelisasinya sebagai “bandit sosial”. Untuk meyakinkan kesan buruk
jawara ini, pada mulanya Belanda membentuk sekelompok orang yang bertipikal
jawara terutama dari ciri-ciri penampilannya yang sering memakai baju hitam dan
peci hitam, memakai sarung dan membawa golok di pinggangnya, bergelang bahar

13
Panggilan abah, ajengan ataupun mama dalam bahasa lokal adalah panggilan kasih sayang dari
seorang anak kepada bapaknya. Abah dan mama itu sendiri berarti bapak, sementara ajengan adalah
orang yang diajeng (dihormati). Kadangkala dirangkaikan pula panggilannya sehingga menjadi abah-
ajengan atau mama-ajengan.
25

dan kadangkala memelihara kumis yang mempertegas kegarangannya. Kelompok


jawara bentukan Belanda inilah yang kemudian melakukan tindakan-tindakan
negatif yang disengaja menggerogoti karakter positif jawara sebenarnya seperti
melakukan tindakan-tindakan perampokan, pencurian dan lain-lainnya.
Konsep “bandit sosial” sebagaimana dijelaskan di atas, tentunya merupakan
pembalikkan dari konsep sebelumnya dimana jawara adalah sekelompok santri yang
dididik oleh kyai untuk melakukan perlawanan-perlawanan terhadap kolonialis.
Pada konsep jawara sebagai santri atau murid kyai inilah memunculkan pula konsep
jawara sebagai “khadam atau khodim para kyai”. Khadam artinya adalah pengawal,
yang melindungi kyai dari setiap upaya-upaya kekerasan terhadapnya. Dalam
konteks jawara sebagai khadam ini, nampak jelas bagaimana jawara diciptakan
secara khusus oleh kyai untuk melindunginya dan sekaligus menjadi kelompok
utama proses pergerakan kebangsaan. Oleh karenanya nilai-nilai patriotisme jawara
dalam konsep jawara sebagai santri dan khadam ini adalah unsur utama pembentuk
kajawaraan, bukan justru kemudian yang tergambar dalam citra jawara sebagai
“bandit sosial” dan kemudian terbawa hingga kini sehingga konsep jawara tidak bisa
dilepaskan dari kekerasan dan kejahatan.
Dalam kaitannya dengan konsep jawara sebagai sebuah konstruksi sosial,
dinamika konsep jawara pada akhirnya berakhir kepada pandangan masyarakat
umum yang paling mewarnai konseptualisasinya. Dalam hal ini konsep jawara tidak
dibatasi kepada seseorang yang menguasai kemampuan bela diri, kesaktian,
kedigjayaan dan kemampuan-kemampuan supra natural lainnya saja, tetapi aspek
yang lebih penting adalah menunjukkan kelebihannya tersebut dengan karakteristik
dan prilaku khasnya14. Karakteristik tersebut terkait dengan kelengkapan atribut
pakaian yang dikenakannya dan prilaku khasnya terkait dengan gaya bicaranya yang
cenderung kasar atau lebih tepatnya egaliter dan sompral.
Perkembangan terkini berkaitan dengan aktivitas jawara, dapat dipilah
kedalam dua kategori berikutya yang menampilkan sosok jawara sebagai jawara
politik dan jawara biasa. Jawara politik adalah para jawara yang tampil dalam arena
politik dan pemerintahan misalnya sebagai jaro dan atau pengurus partai politik.
Sementara jawara biasa adalah jawara murni yang kapasitas kajawaraan-nya hanya
diimplementasikan pada aktivitas-aktivitas pencarian kebutuhan hidupnya saja baik
sebagai centeng pasar, penguasa parkir, maupun beking tokoh pejabat atau tidak
menjadi apa-apa (sebagai warga biasa saja).
Dalam kaitannya dengan istilah jawara politik, hal ini merupakan fenomena
terkini dalam konstelasi sosial politik Banten, sehingga jawara tampil dan
mendominasi arena politik lokal terutama pasca lahirnya era reformasi. Hal ini
mengindikasikan adanya pengaruh kuat dari kelahiran era reformasi dan otonomi
daerah terhadap meningkatnya peran jawara dalam politik. Ini menjadi catatan
penting yang dapat diambil dari proses evolusi jawara sebagai “bandit sosial” pada
masa kolonialis menjadi pejabat politik pada masa kini sebagaimana yang
digambarkan oleh Bandiyah (2010).

14
Dalam konsep Hudaeri (2002), tipikal jawara ini dicirikan oleh keberaniannya atau menunjukkan
keberanian untuk berprilaku kasar, keras dan sok jago. Jika konsep jawara dimaknai sebagai
seseorang yang memiliki kemampuan bela diri, kekebalan senjata tajam dan kemampuan supra
natural lainnya maka akan banyak tipe yang masuk ke dalam kategori jawara, termasuk diantaranya
adalah para kyai juga memiliki kemampuan-kemampuan tersebut dan jawara sendiri sebagian
diantaranya memperoleh kemampuan tersebut dari para ulama.
26

Ulama dan Jawara dalam Pertarungan Elmu Putih dan Elmu Hideung
Kemampuan supra natural yang dimiliki oleh ulama dan jawara adalah
kelebihan yang dimilikinya sehingga melalui kelebihan inilah ulama dan jawara
menempati posisi dan peran strategis dalam masyarakatnya. Dalam masyarakat
Banten, keilmuan supra natural dikenal dalam dua kategori yaitu elmu putih (ilmu
putih) dan elmu hideung (ilmu hitam) atau sering pula disebut sebagai elmu ruyuk
atau elmu leuweung atau elmu rawayan. Elmu putih adalah ilmu yang berdasarkan
ajaran agama Islam, sementara elmu hideung adalah ilmu yang berdasarkan ajaran-
ajaran di luar agama Islam. Elmu hideung ini banyak dipengaruhi oleh keyakinan
masyarakat Banten sebelum datangnya Islam, biasanya untuk memperoleh
kemampuan supra natural berdasarkan elmu hideung ini seseorang diwajibkan untuk
merapalkan beberapa jangjawokan (semacam jampi-jampi) dalam bahasa lokal
(bahasa Sunda atau Jawa Banten, atau campuran keduanya). Namun demikian
kecenderungan sinkretisme lah yang lebih banyak muncul dari cara-cara kelompok
jawara memperoleh kesaktiannya – atau dalam hal ini percampuran elmu putih dan
elmu hideung. Sinkretisme disini adalah dengan memadukan percikan ayat-ayat Al
Qur’an pada sebagian jangjawokan tersebut, biasanya di awal perapalannya.
Contoh konkret sinkretisme dalam jangjawokan misalnya tertuang dalam
jangjawokan berikut ini: “Bismillahirohmanirohim maung pundung gajah ngapung,
datang nyembah kabeh ka awak ingsun……………….. (dan selanjutnya)”. Halil
seorang jawara dan praktisi debus15, mengatakan beberapa jangjawokan yang
dirapalkan dalam bahasa lokal sebenarnya adalah bagian dari rasa keyakinan kepada
Allah Tuhan Yang Maha Esa, namun pengucapannya tidak menggunakan bahasa
Arab, sehingga menurutnya pada prinsipnya pemerolehan kemampuan kekebalan
terhadap senjata tajam dan lain-lainnya yang sering dipertunjukkan dalam seni
debus adalah diawali oleh keyakinan mendalam terhadap kekuasaan Tuhan Allah,
Halil menegaskan jika kita ragu-ragu maka sebaiknya tidak melakukannya karena
ancamannya adalah jiwa kita sendiri. Contoh sinkretisme lainnya juga misalnya
dapat ditelusuri pada proses penggunaan kemenyan dalam beberapa ritual
kajawaraan seperti keceran. Penggunaan kemenyan tentunya dalam pandangan
ajaran Islam sangat tidak dibenarkan karena dianggap syrik (menyekutukan Tuhan).
Karena dipandang beberapa ritual sinkretisme dalam kelompok jawara ini
dapat menyesatkan umat, sebagian kalangan yang mewakili gerakan pemurnian
(purifikasi) ajaran Islam pun melakukan pergerakannya untuk menghilangkan unsur-
unsur yang mereka anggap sebagai bid’ah dan syrik dalam ritual kajawaraan,
demikian juga yang dilakukan oleh kelembagaan ulama (MUI/Majelis Ulama
Indonesia Banten) yang di tahun 2004 pernah mengeluarkan fatwa haram untuk
praktek-praktek debus karena dianggap mengandung unsur-unsur pra-Islam. Tentu
saja fatwa ini menyulut perlawanan dari kalangan jawara sebagai praktisi utama
kajawaraan dan seni debus.
Kondisi ini menyebabkan pula perseteruan di kalangan ulama yaitu antara
ulama reformis (pencetus gerakan purifikasi Islam), kyai hikmah dan kyai kitab
sebagaimana diuraikan dalam Ichwan (2012). Perseteruan ini disebabkan karena
diantara mereka sendiri terdapat perbedaan kepentingan mengenai praktek seni
debus ini. Jawara yang berdasarkan keilmuan yang diperolehnya sangat bergantung

15
Mengenai debus ini dapat ditelusuri dalam Bruinessen (1995) dimana sebagian besar pemerolehan
kemampuannya melalui wiridan, tawasul dan baiat yang sebagian besar merupakan ajaran Sufi
Rifaiyah.
27

kepada kyai hikmah, dalam situasi ini berlindung kepada kekuatan kyai hikmah16.
Kyai kitab sendiri relatif melakukan gerakan-gerakan puritan dengan cenderung
menjaga jarak baik kepada kyai hikmah, jawara maupun ulama semi formal dalam
kelembagaan MUI.
Ini sebenarnya menggambarkan secara riil bentuk-bentuk pertarungan yang
sesungguhnya – tidak hanya berbentuk kontestasi saja – antara elmu putih dan elmu
hideung dalam khasanah kajawaraan di Banten. Contoh konkret pertarungan ini
misalnya terjadi antara Buya Bustomi yang merepresentasikan elmu putih dan Jaro
Karis sebagai elmu hideung dimana keduanya sebagai tokoh yang paling disegani
melakukan pertarungan secara fisik yang mengakibatkan kekalahan di pihak elmu
hideung17. Dalam pendekatan historis juga menegaskan bagaimana awal berdirinya
kesultanan Banten dimulai dengan pertarungan antara Sultan Hasanudin dengan
Pucuk Umun di Gunung Karang Pandeglang – tepatnya di Kampung Tubuy yang
saat ini masuk wilayah Kecamatan Mandalawangi. Diceritakan pada saat itu Pucuk
Umun bersedia menyerahkan kekuasaan di wilayahnya jika Sultan Hasanudin
berhasil menaklukannya dalam pertarungan fisik dimana keduanya bertaruh
keilmuan melalui pertarungan ayam jago. Ayam jago Pucuk Umun bernama Jalak
Rarawe yang diciptakannya dari besi baja, berpamor air raksa dan berinti besi
berani, sedangkan ayam jago Sultan Hasanudin bernama Jalak Putih yang
merupakan penjelmaan jin yang berasal dari sorban putihnya. Keduanya pun
bertarung yang mengakibatkan kekalahan di pihak Pucuk Umun18.
Berdasarkan pendekatan historis di atas, dijelaskan bahwa pertama:
keberadaan elmu hideung sudah ada jauh sebelum Islam masuk Banten dan
mengawali sejarah pembentukan Kesultanan Banten sendiri. Kedua, pertarungan
elmu putih dan elmu hideung sudah berlangsung pada masa pra Islam, sehingga
sangat wajar jika perseteruan itu pun tetap terjadi hingga saat ini. Dan ketiga, relasi
kekuasaan di Banten sangat erat kaitannya dengan kemampuan bela diri dan
kesaktian yang pada akhirnya membentuk relasi penaklukan dan ketundukan. Relasi
ini nampak dalam ritual seba yang dilakukan masyarakat Baduy setiap tahun,
biasanya dilakukan setelah hari raya Kawalu – hari raya masyarakat Baduy. Seba itu
sendiri adalah bentuk ketundukan masyarakat Baduy terhadap kesultanan Banten
yang representasinya saat ini adalah Pemerintah Provinsi Banten, atau sebenarnya
juga bentuk ketundukan elmu hideung terhadap elmu putih.

16
Ketergantungan jawara kepada ulama (kyai hikmah) mengindikasikan model ketergantungan
kekuasaan yang dalam dimensi pertukaran dipandang keduanya sebenarnya memperoleh keuntungan
dari relasi tersebut. Dalam hal ini menurut Ichwan (2012), kyai hikmah membutuhkan jawara dalam
memberdayakan kekuasaan sosialnya terutama dari aspek ekonomi, sementara jawara tentu saja
sangat membutuhkan kyai hikmah untuk memperoleh kemampuan-kemampuan supra naturalnya. Hal
ini juga dapat dipandang sebagai hubungan guru dan murid yang mempertegas penelitian Tihami
(1992) tentang jawara sebagai santri.
17
Kejadian ini berlangsung sekitar tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an dan saat ini telah menjadi
forklor di masyarakat Banten khususnya Pandeglang. Sementara itu perlu dijelaskan disini bahwa
kedua tokoh ini baik Abuya Bustomi maupun Jaro Karis adalah tokoh yang sangat disegani di Banten
yang diyakini masyarakat memiliki kesaktian yang luar biasa.
18
Salah satu versi sejarah tentang keberadaan masyarakat Baduy di wilayah Lebak adalah karena
kejadian ini dimana setelah kekalahan Pucuk Umun kemudian anak buahnya melarikan diri ke
wilayah Lebak. Hal inilah yang kemudian mengintrodusir pula elmu hideung sebagai elmu rawayan.
Rawayan sendiri adalah panggilan lokal untuk masyarakat Baduy (lihat dalam Lubis (2003) dan
Falah (2006)).
28

Pola-Pola Relasi Kekuasaan Masyarakat Pedesaan: Dominasi Informal Leader


Pada prinsipnya konsep kekuasaan mendorong berlangsungnya proses zero-
sum yang dapat dianalogikan bahwa satu pihak akan memperoleh keuntungan dan
pihak lain akan menanggung kerugian. Karena pendekatan zero-sum inilah yang
menyebabkan kekuasaan tidak terelakkan dari situasi konfliktual dimana satu sama
lain dari kelas yang berhadap-hadapan akan berupaya mempertahankan atau meraih
kekuasaannya. Dengan demikian, sebenarnya relasi kekuasaan cukup tepat untuk
dikaji dari pendekatan Marxian yang memandang bahwa dalam relasi kekuasaan
selalu ada kelas yang dominan (superordinat) dan kelas yang tersubordinasi, dan
oleh karenanya sangat memungkinkan adanya gerakan perlawanan sebagai tipikal
Marxian.
Untuk memahami relasi kekuasaan Marxian ini dapat ditelusuri dari empat
pijakan pendekatannya (Jessop, 2006:7) yaitu: pertama, relasi kekuasaan sebagai
manifestasi dari mode atau konfigurasi khusus dari dominasi kelas daripada sebagai
fenomena hubungan interpersonal murni. Kedua, relasi kekuasaan sangat
memperhatikan hubungan antara ekonomi, politik dan dominasi ideologi kelas.
Ketiga, relasi kekuasaan memperhatikan keterbatasan-keterbatasan yang melekat
dalam banyak eksekusi kekuasaan yang berakar dalam suatu kelas atau bentuk
dominasi kelas lainnya dan mencoba untuk menjelaskan ini dalam kontradiksi dan
antagonisme struktural. Keempat, Marxian mengarahkan pada strategi dan taktik
untuk mereproduksi, mempertahankan atau menggulingkan dominasi kelas.
Adanya kelas dominan dalam pendekatan Marxian ini memunculkan konsep
dominasi dengan persetujuan akibat dari terlalu kuatnya kelas dominan dan
ketidakmampuan kelas subordinat untuk “melawan” kekuasaan kelas dominan
tersebut dalam bentuk transaksi, negosiasi dan kompromi. Untuk mengelaborasi
kondisi semacam ini, Gramsci menjelaskannya sebagai kondisi hegemonik (Bates,
1975; Jones, 2006:10).
Gramsci, sebagai seorang Marxian, mempercayai bahwa kapitalisme
menciptakan bentuk-bentuk kontradiksi, maka sistem hegemonik harus berupaya
secara terus-menerus untuk mengarahkan oposisi yang antagonistik menjadi
kesalingsesuaian. Oposisi terhadap negara demikian itu setidaknya mengambil dua
bentuk (Beilharz, 2002:203) yaitu: pertama, terdapat oposisi dari sistem kehidupan
masyarakat yang pernah eksis sebelumnya, yang berusaha ditangkal oleh negara,
dan kedua, terdapat oposisi dari seksi masyarakat baru yang kepentingannya tidak
sejalan dengan dunia.
Teori hegemoni Gramsci peneliti gunakan untuk menjelaskan hubungan
bupati-kepala desa yang terjadi pada masa orde baru dimana peneliti melihat
konstelasinya mirip dengan gambaran teori ini. Penjelasan Gramsci yang
menyatakan bahwa hegemoni tidak pernah bisa mencapai 100 persen dalam
pemahaman peneliti memaknainya sebagai peluang melakukan gerakan perlawanan
diantara ruang-ruang yang tidak terhegemoni. Pada bagian lain tipikal masyarakat
(pedesaan) Indonesia yang tidak menyukai disorder menyebabkan sebagian besar
diantaranya mengambil jalan “mencari aman”. Kondisi inilah yang melekangkan
hegemoni pemerintahan orde baru berlangsung lama.
Selain gambaran relasi kekuasaan yang bersifat hegemonik, hubungan
perikatan berbasis patrimonial juga sangat kental dalam tatanan pemerintahan
Indonesia, inilah yang menjadikan alasan untuk menjelaskan hubungan
29

pemerintahan sebagaimana hubungan patron dan klien. Kondisi ini sangat tepat
untuk dieksplorasi berdasarkan teori patron-klien19 Scott.
Teori patron-klien Scott menggambarkan ikatan antara pelindung (patron)
dan klien sebagai suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat dimana-mana di
kalangan petani Asia Tenggara yang dalam hal lainnya berkaitan dengan jarak sosial
dan seringkali moral, teristimewa apabila sang pelindung bukan warga desa.
Apakah ia seorang tuan tanah, seorang pejabat kecil atau pedagang, seorang patron
menurut definisinya adalah orang berada dalam posisi utuk membantu klien-
kliennya (Scott, 1994:41).
Scott selanjutnya menyatakan bahwa hubungan patron-klien merupakan
kasus khusus hubungan dua orang yang sebagian besar melibatkan hubungan
instrumental, dimana seseorang dengan status sosial ekonomi lebih tinggi (patron)
menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan dan atau
keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah yang pada gilirannya
membalas pemberian dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada
patron (Scott, 1994:7).
Teori patron-klien Scott adalah gambaran ketidakberdayaan klien terhadap
kuasa patronase sehingga hubungan tersebut menjadi “langgeng” karena
ketidakmampuan klien untuk mengubah kondisi yang ada yang kemudian justru
membentuk hubungan moral.
Menurut Saifuddin (2011:280), konsep patron-klien ini bekerja dengan baik
pada masyarakat tradisional yang berciri piramidal secara sosial-ekonomi.
Masyarakat Jawa yang memiliki latar belakang sejarah kerajaan merupakan contoh
yang dianalisis Wolf (penggagas pertama teori ini). Pada masyarakat dengan ciri ini
hubungan anggota masyarakat lapisan sosial ekonomi bawah dengan lapisan atas
tegas batas-batasnya, sehingga akses langsung dari lapisan bawah ke atas juga
terbatas kecuali melalui hubungan-hubungan personal, orang per orang, yang
melintasi batas-batas kedua lapisan tersebut. Persoalan muncul apabila kompleksitas
masyarakat meningkat. Status sosial tidak lagi semata-mata karena pewarisan sosial
(ascribed status) tetapi juga karena pencapaian prestasi (achieved status), sehingga
batas-batas lapisan tidak lagi seketat masa lalu. Kesempatan memperoleh pendidikan
berbagai jenjang tidak hanya dinikmati oleh lapisan atas masyarakat tetapi juga
lapisan bawah yang memiliki kemampuan. Yang kemudian terjadi adalah
tumbuhnya lebih banyak alternatif hubungan sosial yang mengakibatkan pola
patron-klien tradisional mengalami pelunturan. Hubungan patron-klien tidak lagi
satu-satunya hubungan vertikal, satu-satunya alternatif. Orang bahkan bisa
menembus batas lapisan sosial itu karena pencapaian prestasi sosialnya sendiri.
Banyak ahli sepakat bahwa pendidikan adalah salah satu faktor kunci yang
memungkinkan seseorang melintasi batas itu.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara patron-klien dan teori pertukaran,
berdasarkan paparan di atas, terdapat satu hal penting yang dapat digarisbawahi,
yaitu bahwa pada prinsipnya dalam pola hubungan patron-klien terdapat unsur

19
Berdasarkan penelusuran peristilahannya, “patron” berasal dari bahasa Spanyol yang secara
etimologis berarti “seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh”,
sedangkan klien berarti “bawahan” atau orang yang diperintah dan yang disuruh (Usman, 2004:132).
Pola hubungan yang berlangsung antara patron dan klien merupakan hubungan kelompok atau
individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, ataupun penghasilan, sehingga
memposisikan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan
yang lebih tinggi (superior).
30

pertukaran. Hubungan pertukaran sangat nyata berlangsung antara patron yang


memberikan perlindungan dan klien yang memberikan dukungan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pola hubungan patron-klien dapat dimasukkan ke dalam
hubungan pertukaran yang lebih luas, yaitu teori pertukaran.
Scott memang tidak secara langsung memasukkan hubungan patron-klien ke
dalam teori pertukaran. Meskipun demikian, jika memperhatikan uraian-uraian
teorinya, maka akan terlihat di dalamnya unsur pertukaran yang merupakan bagian
terpenting dari pola hubungan patronase. Menurut Scott (1992:91), hubungan
patron-klien berawal dari adanya pemberian barang atau jasa dalam berbagai bentuk
yang sangat berguna atau diperlukan oleh salah satu pihak, bagi pihak yang
menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas pemberian
tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik hubungan antara patron-klien
dan teori pertukaran, meskipun pertukaran yang berlangsung antara patron dan klien
terjadi dalam pola yang tidak seimbang (ketergantungan klien terhadap patron),
sehingga sangat tepat untuk mempersandingkan hubungan patron-klien ini dalam
teori pertukaran ketergantungan (exchange dependency theory). Dengan memaknai
bahwa relasi patron-klien sebagai bentuk pertukaran yang tidak seimbang, fenomena
ini menurut peneliti dapat pula ditemukan dalam hubungan antara bupati sebagai
patron dan kepala desa sebagai klien dengan dasar pemikirannya bahwa masing-
masing mengambil keuntungan dari hubungan yang terjadi diantara keduanya —
meskipun dalam porsi pertukaran yang tidak berimbang. Diantara sekian teori
pertukaran yang ada, teori kekuasaan-ketergantungan (power dependency theory)
Emerson dianggap paling layak untuk dipersandingkan sehubungan dengan inti
pemikirannya tentang pertukaran yang terjadi karena ketergantungan sebagaimana
yang terjadi dalam fenomena hubungan bupati dan kepala desa tersebut.
Teori kekuasaan-ketergantungan Emerson (Ritzer, 2011a:519) ini secara apik
menggambarkan bagaimana potensi struktural digunakan untuk menjaminkan
kekuasaannya. Interaksi ketergantungan berkaitan dengan pemberian cost dan
reward dijelaskan Emerson bahwa semakin tinggi ketergantungan B terhadap A,
maka akan semakin tinggi kemungkinan A tidak memberikan reward kepada B. Ini
dapat dimaknai bahwa semakin tinggi ketergantungan (politik, ekonomi dan
administrasi) kepala desa kepada bupati, maka akan semakin tinggi
kemungkinannya bupati mendistribusikannya kepada kepala desa.
Kaitan antara struktur kekuasaan dengan frekuensi dan distribusi pertukaran
dijelaskan oleh Emerson (Ritzer, 2011a:520) bahwa pertama: inisiasi pertukaran
semakin meningkat seiring dengan ketergantungan aktor. Hal ini berarti semakin
tinggi ketergantungan kepala desa kepada bupati (atau sebaliknya), maka akan
semakin tinggi proses pertukaran. Kedua, frekuensi pertukaran dalam sebuah relasi
meningkat seiring dengan kerapatan (cohesion); dan pada relasi-relasi tidak
berimbang (imbalanced relations). Ini dimaknai bahwa semakin dekat hubungan
kepala desa dan bupati atau semakin tidak berimbang relasi kekuasaan diantara
keduanya maka akan semakin tinggi frekuensi pertukarannya. Dan ketiga, rasio
perubahan pertukaran lebih memihak aktor yang lebih berkuasa dan lebih
ketergantungannya yang dimaknai bahwa perubahan pertukaran lebih
menguntungkan kepada aktor yang berkuasa atau juga sangat tergantung.
Dinamika relasi sosial menurut teori Emerson berkembang di seputar
kekuasaan, penggunaan kekuasaan, dan prosedur penyeimbang-kekuasaan, dan
sisanya pada konsep ketergantungan. Emerson mengakui bahwa pola-pola
ketergantungan memberikan fondasi struktural, baik bagi keterpaduan (integration)
31

maupun perbedaan (differentiation) dalam masyarakat. Relasi-relasi ketergantungan


mempersatukan orang (selama orang-orang itu saling tergantung, mereka lebih
berpeluang akan membentuk relasi, kelompok, dan tetap melanjutkan relasi dan
kelompok tersebut, tetapi juga menciptakan ketidaksetaraan kekuasaan yang dapat
menimbulkan konflik dan perubahan sosial (Ritzer, 2011a:519).
Emerson mendefinisikan ketergantungan seorang aktor pada aktor lain
dengan taraf sampai sejauh mana hasil-hasil yang dihargai oleh sang aktor itu
bergantung pada pertukaran dengan aktor yang satu lagi. Karena itu, Emerson
(Ritzer, 2011a:520) mengemukakan bahwa ketergantungan B terhadap A meningkat
seiring dengan nilai yang diberikan B atas sumber-sumber daya yang dikontrol oleh
A, dan menurun seiring dengan banyaknya sumber alternatif yang dimiliki B untuk
sumber-sumber daya milik A. Ketergantungan timbal-balik para aktor memberikan
dasar struktural bagi kekuasaan mereka atas satu sama lain. Kekuasaan A dan B
berasal dari dan setara dengan ketergantungan B terhadap A, dan sebaliknya.
Kekuasaan dalam relasi-relasi diadik digambarkan dengan dua dimensi
(Ritzer, 2011a:520): keseimbangan (balance) atau kekuasaan relatif A dan B atas
satu sama lain, dan kerapatan (cohesion) atau kekuasaan mutlak A dan B atas satu
sama lain. Bila kedua aktor sama-sama saling tergantung, kekuasaan di dalam relasi
itu berimbang (balanced). Namun, bila ketergantungan B terhadap A lebih besar,
kekuasaan tidak berimbang (imbalanced), dan A memiliki keuntungan kekuasaan
dalam relasi itu yang setara dengan derajat ketidakimbangannya. Semakin besar
ketergantungan timbal-balik kedua aktor terhadap satu sama lain—terlepas dari
ketidakimbangan kekuasaan mereka—semakin besar kerapatannya.
Konsep keseimbangan dan kerapatan Emerson ini, dalam tradisi yang sama
yaitu pertukaran, James S. Coleman menjelaskannya bahwa terdapat dua jenis
situasi dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan kekuasaan, yaitu hubungan
kekuasan menyatu dan hubungan kekuasaan memisah. Lebih jauh dijelaskan,
hubungan kekuasaan menyatu biasanya dijalin dengan penyerahan hak kontrol
secara unilateral, sedangkan hubungan kekuasaan memisah hanya terjalin jika
kompensasinya dibayarkan. Istilah hubungan “menyatu” dan “memisah” mengacu
kepada kepentingan bawahan dan perintah atasan. Dalam hubungan kekuasaan
menyatu, perintah atasan mengimplementasikan kepentingan bawahan. Sedangkan
hubungan kekuasaan memisah tidak demikian; kepentingan bawahan harus dipenuhi
dengan sarana ekstrinsik. Hubungan kekuasaan terjalin dengan adanya penyerahan
hal untuk mengontrol tindakan tertentu dari pelaku yang satu kepada pelaku yang
lain. Oleh karena itu untuk lebih tepatnya, hanya hubungan kekuasaan individual
yang bisa dijelaskan sebagai hubungan menyatu dan memisah (Coleman, 2009:98).
Relasi yang berimbang (balanced relation) bermakna relasi yang saling
berketergantungan (peneliti mengistilahkannya dengan relasi interdependensi) dan
relasi yang tidak berimbang (imbalanced relation) dijelaskan oleh Emerson sebagai
relasi ketergantungan atau peneliti mengistilahkannya sebagai relasi dependensi.
Emerson selanjutnya menambahkan bahwa relasi-relasi yang tidak
berimbang bersifat tidak stabil dan mendorong proses-proses “pengimbangan-
kekuasaan”20. Proses-proses ini akan mengurangi ketidakimbangan dengan jalan
menurunkan nilai pertukaran bagi aktor yang kurang berkuasa (“penarikan diri”),
meningkatkan nilai untuk aktor yang lebih berkuasa (“pemberian status”),
menambah alternatif-alternatif yang dapat dipakai oleh aktor yang kurang berkuasa

20
Bentuk “pengimbangan-kekuasaan” ini dalam konsep Marxian terwujud dalam bentuk resistensi.
32

(“perluasan jaringan”), atau mengurangi alternatif yang dapat dipakai untuk aktor
yang lebih berkuasa (melalui pembentukan koalisi).
Selanjutnya bahwa dalam kaitannya dengan penelitian relasi kekuasaan
bupati dan kepala desa ini, pernyataan Emerson tentang dinamika relasi sosial
berkembang di seputar kekuasaan, penggunaan kekuasaan, dan prosedur
penyeimbang-kekuasaan, dan sisanya pada konsep ketergantungan sangatlah tepat
untuk menggambarkan relasi kekuasaan yang berlangsung antara bupati dan kepala
desa yang dipandang di masa yang akan datang akan relatif mengikuti pola
ketergantungan. Sebagaimana dijelaskan di awal, hal ini terjadi karena keduanya
beraktivitas dalam urusan yang sama yaitu politik meskipun dengan level yang
berbeda. Justru karena perbedaan level politik inilah yang mengakibatkan keduanya
saling membutuhkan (saling berketergantungan).
Bagaimana konsep hegemoni, patron-klien dan ketergantungan berlangsung
dalam kajian penelitian ini?. Dapat dijelaskan bahwa secara historis perjalanan tata
kelola pemerintahan desa dan dan daerah di Indonesia tidak lepas dari ketiga konsep
tersebut. Gambaran hubungan hegemoni dan patron-klien sangat nampak pada masa
kolonial hingga orde baru dimana pola-pola tatanan pemerintahan selalu menginduk
kepada pola top-down dimana desa sebagai unit pemerintahan terkecil pada akhirnya
tidak pernah mampu mewujudkan otonominya.
Lahirnya era reformasi sebagai upaya mengoreksi total terhadap pola-pola
penyelenggaraan masa sebelumnya memberikan kesempatan untuk meningkatkan
posisi desa menjadi terbuka. Relasi kuasa pun berubah dimana setiap “penguasa
wilayah” (kepala desa, bupati dan gubernur) memiliki wilayah politik yang berbeda-
beda disesuaikan dengan tingkatan wilayah politiknya. Pada kondisi ini secara
keterwakilan politik, keterikatan kepala desa dengan rakyat pemilihnya jauh lebih
kuat karena faktor kedekatan baik secara geografis maupun sosiologis. Pada kondisi
ini, maka peran sosiologi politik kepala desa menjadi sangat signifikan sebagai
modal politik yang dapat dijadikan bahan untuk meningkatkan posisi tawarnya
dengan bupati, hubungan hegemonik dan patron-klien pun tidak dominan lagi.
Hubungan desa dan supra desa pun bergeser menjadi saling ketergantungan, masing-
masing saling mendapat cost dan reward dalam relasi kekuasaannya.
Lalu bagaimana konsep resistensi dapat muncul dalam kondisi ini?.
Resistensi terjadi ketika posisi tawar kepala desa mengalami penguatan karena
lahirnya era reformasi, sementara kondisi konstelasi sosial-politik memungkinkan
eksistensi kepala desa untuk semakin memperkuat posisi politiknya. Pada kondisi
dimana kepala desa secara strategis dapat memerankan fungsi sosial-politiknya,
pada kondisi inilah resistensi muncul.
Dari aspek kesejarahan, pada masa kolonialisme hingga masa orde baru,
ketika kepala desa tersubordinasi oleh kekuatan bupati, sebenarnya terjadi skenario
perlawanan yang dilakukan oleh kepala desa. Bentuk-bentuk perlawanan atau
resistensi ini karena terlalu kuatnya dominasi hegemoni bupati, sehingga jarang
sekali muncul ke permukaan atau hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Inilah alur pikir yang digunakan oleh Scott untuk merangkai teori resistensinya21.

21
Resistensi adalah semacam bentuk penolakan warga desa yang tidak mau tunduk dan taat
melakukan perintah-perintah tertetu. Bentuk penolakan bisa bermacam-macam, misalnya menyobek
blangko pinjaman JPS, tidak menghadiri rapat tahunan Koperasi Unit Desa (KUD), menolak
menanam bibit padi “unggulan” yang disarnkan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) pertanian dari
tingkat kecamatan, menolak menggunakan komposisi pupuk buatan yang disarankan oleh PPL,
merobek bendera partai politik dan memasang bendera partai politik yang dianjurkan kepala desa”.
Dalam teori resistensi Scott, bentuk resistensi bisa dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni yang
33

Wiratmoko (2004:223) menyebutkan bahwa Scott sebenarnya tidak


membicarakan kemungkinan bentuk-bentuk resistensi itu mengalami transformasi
dari satu bentuk ke bentuk lain walaupun ia beranggapan bentuk-bentuk resistensi
itu bisa saja dilakukan oleh orang yang sama. Transformasi dari satu bentuk ke
bentuk resistensi ini mungkin saja terjadi, sebagai suatu fenomena, misalnya karena
alam reformasi telah diterima dan diyakini menyediakan proses-proses sosial-politik
yang terbuka. Fenomena yang terjadi di desa sangat dipengaruhi oleh pemberitaan
dan pembentukan opini oleh media massa, terutama yang berkembang melalui
televisi. Dari opini yang dibentuk oleh media televisi ini, warga masyarakat
menerima pesan-pesan politik seperti keterbukaan, reformasi dan demokrasi.
Lebih lanjut Wiratmoko (2004:223) menyebutkan bahwa seiring dengan
berlangsungnya reformasi pemerintahan desa dan yang paling menonjol, perubahan
tatanan hubungan pemerintahan desa dengan dibentuknya Badan Perwakilan Desa
(BPD) yang diharapkan akan berfungsi sebagai kontrol eksekutif, terbuka pula
peluang bagi warga masyarakat untuk mengubah tindakan resistensi tersembunyi
menjadi tindakan resistensi terbuka dan prosedural. Warga masyarakat berani
melakukan protes dan unjuk-rasa menentang perilaku pemerintahan desa dengan
cara melayangkan surat protes ke DPRD II dan bahkan mengultimatum DPRD II
dengan “pengadilan rakyat”. Transformasi bentuk resistensi ini luar biasa dan tidak
dibicarakan oleh Scott sebagai suatu bagian dari proses sosial-politik melawan
dominasi, menuju tata hubungan demokrasi.
Lantas, apa kaitannya antara konsep the hidden transcripts dengan patron-
klien? Kesejajaran keduanya terdapat pada: Pertama, mode anti struktur yang terjadi
apabila ketergantungan pada lapisan sosial-ekonomi atas (atau dalam bahasa Wolf,
“ketergantungan pada patron”) berkurang karena lebih banyak alternatif untuk
menyalurkan aspirasi ekonomi, sosial, dan politik; kedua, keberadaan lapisan sosial
ekonomi atas yang tetap dominan menimbulkan konsekuensi resistensi yang tetap
tersembunyi di bawah permukaan; dan, ketiga, meski kompleksitas sosial
mengakibatkan keterbukaan struktur kondisi sosial ekonomi yang rendah (lapisan
bawah) merupakan kendala komunikasi tersendiri yang tetap sukar diretas
(Saifuddin, 2011:280).
Perkembangan terkini dalam regulasi desa – khususnya dengan terbitnya UU
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa – juga mempengaruhi relasi kekuasaan bupati
dan kepala desa dengan satu ulasan bahwa keberadaan regulasi desa ini niscaya akan
mengurangi ketergantungan kepala desa terhadap bupati. Artinya bahwa hubungan
pertukaran ketergantungan dan patron-client akan bergeser kepada kecenderungan
berhadap-hadapan. Budaya politik yang semakin terbuka dengan memberikan
kesederajatan kesempatan berpartisipasi politik juga semakin mendorong pergeseran
relasi kekuasaan ini. Namun demikian, relasi kekuasaan tidak pernah mencapai satu
posisi yang seimbang, dalam hal ini selalu ada pihak yang mendikte kekuasaan

termasuk ke dalam public transcript dan hidden transcript. Public transcript adalah bentuk yang
terselubung dari resistensi itu, misalnya terlihat dalam berbagai pertunjukan di atas pentas yang
diibaratkan pemain teater yang harus hidup di dua dunia, yakni dunia nyata sehari-hari dan dunia
“berpura-pura” di atas panggung. Sedangkan hidden transcript adalah bentuk resistensi yang
dilakukan tersembunyi atau lebih tepatnya di “belakang”: pelaku resistensi berpura-pura bersikap
baik di depan “lawannya” tetapi di “belakang” (atau ketika sedang berkumpul dengan temannya)
mereka membicarakan “lawannya” itu, misalnya dengan cara menggosip, memfitnah, mengumpat,
dan sebagainya.” (Wiratmoko, 2004:222).
34

pihak lainnya. Demikian pula relasi kekuasaan bupati dan kepala desa dimana dalam
realitas konkretnya adalah desa selalu dalam posisi tertekan terutama karena
pendekatan struktural yang menempatkan desa sebagai unit terkecil organisasi
kekuasaan dalam negara. Sementara itu, pengaruh kultural diantaranya patronase
yang mengikat hubungan masyarakat pedesaan juga mempengaruhinya, sehingga
semakin lengkaplah posisi tertekan desa, baik secara struktural maupun kultural.
Secara garis besar dapat dipahami bahwa relasi kekuasaan utama dalam
masyarakat pedesaan berlangsung secara patron-klien. Ini adalah kesimpulan awal
dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh Saxebol (2002), Kausar (2011) dan
Rustinsyah (2011). Sementara itu dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan yang
berlangsung pada wilayah tata kelola desa menunjukkan kondisi yang sama,
meskipun cenderung mengalami pergeseran sehubungan dengan faktor-faktor
regulasi formal berpengaruh secara struktur fungsional dan sistem politik yang
semakin demoktratis. Kesimpulan tersebut setidaknya dapat ditelusuri dari penelitian
yang dilakukan oleh Cahyono (2005), Dewi (2006), Akbar (2008) dan Nurdin
(2009).
Selain dari kecenderungan utama relasi patron-klien, masyarakat pedesaan
yang didominasi dalam hal ini oleh petani juga menunjukkan kecenderungan
resistensi yang cukup tinggi. Perlawanan petani Banten dalam penelitian Kartodirdjo
(1984) menunjukkan realitas ini sebagai sebuah gambaran dari kemampuan
perlawanan yang dilakukan oleh petani meskipun pada proses tersebut peran ulama
sangat besar terutama dalam membangkitkan class consciousness di kalangan para
petani. Pada saat ini proses resistensi tersebut tidak hanya menunjukkan cara-cara
secara hiden transcript, tetapi juga berlangsung secara terbuka.
Pada masa kini relasi-relasi konflik pedesaan justru menampakkan wujudnya
yang semakin konfliktual, pergeseran ini terjadi seiring dengan terjadinya
modernisasi birokrasi dan proses demokratisasi yang menggejala secara nasional dan
pada akhirnya mempengaruhi pula pola-pola relasi kekuasaan di masyarakat
pedesaan. Pengaruh modernisasi birokrasi dan proses demoktratisasi yang paling
terasa adalah adanya konflik diantara elit desa sebagaimana digambarkan oleh
Cahyono (2005). Menurut hasil penelitian Cahyono, terdapat tiga pola relasi
kekuasaan yang terbentuk antar elit desa yaitu pertama, relasi kolusi dan kolaborasi
yang dilakukan oleh kepala desa dalam “menjinakkan” elit desa lain terutama BPD.
Kedua, pola relasi konflik yang saling berhadapan secara antagonis satu sama lain.
Dan ketiga, pola relasi kompromi sehingga melahirkan perdamaian.
Model konflik elitis nampak dalam penelitian Cahyono tersebut dimana
konflik yang terjadi bukan antara elit dan warga tetapi diantara para elit semata.
Kecenderungan inilah yang terjadi sejak lahirnya era reformasi dan otonomi daerah,
sehingga penelitian-penelitian konflik pedesaan lebih cenderung berlangsung dalam
tataran elitis sebagaimana penelitian Nuraini (2010) yang menjelaskan pengaruh
perubahan peraturan perundang-undangan terhadap dinamika konflik yang terjadi
antara kepala desa dan BPD dan Hudayana (2011) yang menggambarkan kontestasi
glembuk22 diantara para elit desa.
Dari gambaran beberapa penelitian tersebut tinjauan teoritis di atas,
setidaknya ada tiga pola relasi kekuasaan utama dalam masyarakat pedesaan yaitu
relasi patronase (patron-klien), kompromi dan konflik. Ketiga pola relasi kekuasaan
tersebut tentunya sangat dipengaruhi pendekatan struktur dan kultural yang
membingkai hubungan kemasyarakatan di pedesaan. Untuk kasus Banten, dengan

22
Strategi politik secara persuasif dan negosiatif yang berguna untuk meraih kredibilitas warga.
35

sub kultur utamanya yaitu ulama dan jawara tentunya pola-pola kekuasaan ini sangat
banyak ditentukan oleh faktor kultural tersebut, sehingga pendekatan politik semata
tidak akan mampu mengurai secara mendalam relasi kekuasaan yang terbentuk.
Oleh karenanya pendekatan sosiologi politiklah yang akan memahami secara utuh
pola relasi kekuasan yang sesungguhnya.
Selain berpengaruh kepada relasi kekuasaan, faktor kultural atau sistem
budaya secara lebih luas membentuk struktur kekuasaan khas masyarakat pedesaan
yang didominasi informal leader23. Pada kasus Banten yang didominasi oleh aspek
religi dan tradisi, maka struktur kekuasaan didominasi oleh unsur-unsur yang
menguasai kedua aspek kultural tersebut , ulama dan jawaralah dalam hal ini yang
paling berperan penting dalam membentuk struktur kekuasaan lokal Banten.
Landasan struktur kekuasaan masyarakat Banten yang berbasis religi dan
tradisi ini mengindikasikan peranan informal leader yang amat besar dalam peri
kehidupan masyarakatnya. Oleh karenanya pengaruh informal leader jauh lebih
besar dibandingkan dengan formal leader secara individual maupun atas nama
organisasi kekuasaannya. Hal ini berbeda dengan gambaran struktur kekuasaan
dalam masyarakat modern sebagaimana dijelaskan Mills (1958)24. Dalam beberapa
kondisi, kekuasaan informal leader ini kemudian bersatu padu dengan kekuasaan
formal sehingga semakin memperkuat peran dan kedudukannya dalam masyarakat.
Hal ini terjadi misalnya ketika seorang jawara dalam suatu waktu menjadi jaro di
desanya.
Dinamika demokrasi desa pun sangat bergantung kepada proses politik di
tingkat lokal yang banyak dipengaruhi oleh informal leader. Oleh karenanya dapat
dikatakan bahwa terbentuknya demokrasi lokal di Banten adalah hasil dari peran
yang dimainkan oleh informal leader. Dengan demikian, otonomi desa sebagai
rangkaian yang tidak terpisahkan dari demokratisasi lokal, pada prinsipnya adalah
sebuah informal governance25.
Meskipun terdapat keterpaduan antara religi dan tradisi, atau dalam hal ini
tidak dapat dipisahkan diantara kedua unsur tersebut, namun sebenarnya struktur
kekuasaan puncaknya berada pada kepemimpinan religi yaitu para ulama.

23
Agama sebagai sistem budaya terurai dalam Geertz (1973:87-125).
24
Sebagai komparasi struktur kekuasaan ini salah satu rujukannya adalah gambaran C. Wright Mills
tentang masyarakat Amerika Serikat yang berbasis ekonomi, politik dan militer, sehingga elit-elit
dalam ketiga bidang tersebut lah yang menguasai struktur kekuasaannya (Mills,1958 dan
Poloma,1990:339). Ketiga basis kekuasaan tersebut berbeda jauh dengan basis kekuasaan dalam
masyarakat pedesaan yang berlandaskan pendekatan kultural.
25
Peters (2007:39) memberikan makna informal governance sebagai suatu proses pengambilan
keputusan formal yang melibatkan peran dari aktor-aktor di luar pemerintahan (non-governmental
actor). Fenomena informal governance ini, dalam kasus Banten dianalisis oleh Hidayat sebagai
shadow state (negara bayangan); konsep yang disitir dari William Reno. Shadow state biasanya akan
hadir, tumbuh dan berkembang tatkala terjadi pelapukan fungsi pada institusi pemerintah formal,
yang disebabkan oleh ketidakberdayaannya dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi,
dan politik dominan yang berada di luar struktur pemerintah. Fenomena ini hampir terjadi di setiap
daerah ketika seseorang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, dan sosial yang besar dan
mampu mengintervensi pemerintah dengan berbagai cara sehingga melemahkan pemerintah yang
sah. Hal tersebut bisa dilihat dari tiga hal penting: yaitu dalam momentum pemilihan kepala daerah
(pilkada) langsung, pemekaran daerah, dan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Dengan
kata lain, proses transisi ditandai dengan minimnya perilaku demokratis (democratic behaviour), baik
pada tataran penyelenggara negara maupun kalangan masyarakat (civil society) (Hidayat, 2007:68;
Syarif Hidayat, Shadow State ……? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten dalam Nordholt,
2007:267).
36

Kepemimpinan ulama Banten sendiri sudah dimulai ketika masa kesultanan dimana
saat itu ulama memainkan peranan tidak hanya sebagai informal leader, tetapi juga
formal leader. Artinya jauh sebelum kondisi struktur kekuasaan yang terbentuk saat
ini, ulama sudah memainkan peranannya. Akar historis inilah yang menjadi fondasi
peran penting ulama dalam sistem sosial politik Banten. Namun ketiga pergeseran
peran terjadi terutama sebagai akibat dari perkembangan prinsip-prinsip administrasi
pemerintahan yang semakin tidak dipahami oleh kaum ulama, kemudian ulama lebih
berkonsentrasi memperkuat posisinya di luar jalur pemerintahan. Tetapi tetap saja
pengaruh kuat ulama masih sangat signifikan dalam menentukan proses
pemerintahan dan urusan-urusan formal lainnya.

Kemiskinan Pedesaan: Demokrasi Yang Tidak Menyejahterakan


Pilihan demokrasi sebagai sistem pemerintahan merupakan upaya awal untuk
dapat membentuk bangsa yang sejahtera (welfare state). Untuk merealisasikan cita-
cita mulia tersebut dibuatlah kerangka sistem politik yang mendukung terhadap
proses demokratisasi dari level yang paling tinggi (negara) sampai dengan yang
terrendah (desa). Cara-cara berdemokrasi pun diperkenalkan kepada seluruh elemen
bangsa termasuk masyarakat pedesaan dengan satu asa yaitu kesejahteraan. Dengan
demikian maka demokrasi yang saat ini menjadi sistem pemerintahan Republik
Indonesia adalah bagian dari pilihan bangsa ini untuk mencapai tujuan nasional
kesejahteraan rakyat.
Pada fakta empirisnya, bukannya kesejahteraan yang diperoleh, masyarakat
pedesaan terjebak dalam kemiskinan. Kemiskinan membelit masyarakat pedesaan
justru karena proses demokratisasi baik karena adanya pembiasan ataupun karena
menghilangnya nilai-nilai lokal sebagai kekuatan desa. Adanya pembiasan ini
misalnya diindikasikan dari terbentuknya politik dinasti di Banten, sementara
menghilangnya nilai-nilai lokal berkaitan dengan tergusurnya model-model
pemerintahan desa tradisional yang digantikan oleh model birokrasi modern yang
dalam banyak hal tidak sesuai dengan sistem sosial-kultur masyarakatnya.
Karena kemiskinan sangat melekat dengan sistem sosial budaya, maka
konsepnya menghasilkan keberagaman sesuai dengan pendekatan sosiologisnya.
Dalam pendekatan ini kemiskinan tidak berlaku secara universal tetapi sangat
dikondisikan dengan nilai sosialnya. Berragam pendekatan tersebut menyebabkan
kemiskinan setidaknya dapat dikelompokkan dalam empat terminologi, yaitu
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural dan kemiskinan
struktural (BPS, 2014:7-9). Kemiskinan absolut menurut BPS, ditentukan
berdasarkan ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi
kebutuhan pokok minimumnya seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan
pendidikan. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial
dalam bentuk uang dan nilai minimum kebutuhan dasar yang dikenal dengan istilah
garis kemiskinan. Oleh karena itu, penduduk yang pendapatannya di bawah garis
kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Pengertian kemiskinan relatif
adalah suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum
mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan distribusi pendapatan. Kemiskinan kultural diakibatkan oleh faktor-
faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap
melekat dengan indikator kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan
yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur atau tatanan
kehidupan yang tidak menguntungkan.
37

Dalam analisis Alfitri (2009), kemiskinan atau kesenjangan merupakan


dampak dari praktek demokrasi yang berlangsung hanya dalam tataran prosedural
saja (demokrasi prosedural). Sementara dalam praktek demokrasi substansial tidak
pernah dilaksanakan, sehingga demokrasi menurut Alfitri (2009) tidak pernah
menyentuh substansinya sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 2.1. Dalam analisis
tersebut maka praktek demokrasi yang melahirkan kemiskinan adalah praktek
demokrasi yang menitikberatkan kepada prosedur, sementara dari aspek substansi
diabaikan (nihil). Dalam analisis ini dipahami bahwa terjadinya kemiskinan di
pedesaan adalah karena pelaksanaan demokrasi prosedural yang lebih mewarnai
demokrasi dibandingkan dengan penitikberatan pada substansinya.

Sumber: Alfitri (2009)


Gambar 2.1 Perbandingan Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substansial

Dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan terhadap supra desa, menurut


Soetrisno (1997) kemiskinan pedesaan terjadi karena campur tangan pemerintah
yang terlalu kuat dari negara (supra desa) terhadap kehidupan masyarakat
(pedesaan). Dalam tinjauan ini, kebijakan-kebijakan politik (pendekatan model
pembangunan) berkontribusi terhadap peminggiran kelompok-kelompok masyarakat
pada kondisi yang membuatnya tidak berdaya secara ekonomi, sosial dan politik.
Selain itu, menurut Soetrisno (1997), kemiskinan pedesaan sebagai masalah kultural.
Pandangan kedua ini merupakan faktor internal seperti adanya etos kerja dan
pendidikan yang rendah. Kedua tinjauan ini sebenarnya mengkategorisasikan
kemiskinan dari aspek struktur dan kultural.
Dalam tinjauan lain, kemiskinan dapat dipandang dari aspek ekonomi, politik
dan sosial-psikologis (Ellis dalam Suharto, 2006:133-135). Secara ekonomi,
kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan
sekelompok orang. Sumber daya dalam konteks ekonomi tidak hanya menyangkut
aspek finansial tetapi meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Secara politik, kemiskinan
dilihat dari rendahnya akses terhadap kekuasaan. Pengertian kekuasaan dalam
konteks ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan
38

sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya.26


Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekuatan jaringan dan struktur
sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan
produktivitas. Terutama dalam tinjauan politik, ketiga tinjauan tersebut berkaitan
erat dengan pelaksanaan praktek berdemokrasi. Dalam hal ini jika praktek
berdemokrasi dilaksanakan secara substansial dalam tata kelola desa secara
komprehensif (sebagaimana analisis Alfitri (2009)), maka kemiskinan dalam tiga
tinjauan dapat dihindarkan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan dapat
diwujudkan.

Kerangka Pikir
Menurut Marx, masyarakat terbentuk karena konflik. Pemerintahan desa
yang syarat dengan kesenjangan diantara berragam strukturnya juga memiliki
potensi konflik tersebut. Penguasaan alat produksi sebagai potensi konflik yang
diusulkan Marx, kemudian dievaluasi oleh Dahrendorf dengan penekanannya pada
kontrol terhadap alat produksi tersebut. Keduanya sama-sama mempercayai adanya
dua kelas (struktur) yang memiliki perbedaan terhadap akses alat produksi. Dalam
pemerintahan daerah, kedua kelas tersebut adalah antara penguasa politik di tingkat
daerah dan penguasa politik di tingkat desa yang diwakilkan oleh bupati dan kepala
desa.
Pada kondisi dimana bupati mendominasi kepala desa yang mendorong
terbentuknya hegemoni, terciptalah model relasi kekuasaan yang patron-klien.
Tetapi ketika terjadi perubahan nilai-nilai dalam masyarakat terutama berkaitan
dengan perkembangan demokrasi, kondisi ini mendorong terjadinya resistensi baik
yang dilakukan secara hidden transcript maupun public transcript.
Resistensi yang dilakukan oleh kepala desa ini dipandang sebagai suatu
pergeseran relasi kekuasaan dimana yang tadinya terhegemoni oleh dominasi bupati
kemudian bergerak melakukan resistensi khususnya setelah beberapa ikatan yang
memungkinkan tindakan kolektif seperti melalui Ikades (Ikatan Kepala Desa).
Resistensi ini pada akhirnya mendorong terjadinya pergeseran relasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa baik antara kepala desa dan sekretaris desa,
antara kepala desa dan kelembagaan formal desa, kepala desa dan masyarakat, serta
kepala desa dengan struktur supra desa lainnya semisal camat dan unsur
aparaturnya.
Selain pola relasi kekuasaan yang patron-klien, seiring dengan perubahan
tatanan pemerintahan karena perubahan pengaturannya mengakibatkan berubah pula
relasi kekuasaannya yang relatif bersifat pertukaran ketergantungan. Ini terjadi
seiring dengan semakin meningkatnya posisi politik kepala desa. Kepentingan
politik kepala desa dan bupati pun relatif berimbang, saling membutuhkan.
Pertukaran pun terjadi dengan bersandar kepada saling ketergantungan
(interdependensi).
Pada kondisi lain dimana kuasa negara yang “masih” dominan terutama
secara hirarkikal menyebabkan otonomi desa menghadapi jalan terjal. Di satu sisi
otonomi desa dipandang sebagai keharusan dalam menghargai keragaman perbedaan
berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, namun di lain sisi terdapat beberapa
kebijakan negara dengan kuasa hirarkikalnya tersebut yang cenderung membatasi

26
Tiga pertanyaan mendasar berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan adalah : 1) bagaimana orang
dapat memanfaatkan sumber daya yang ada dalam masyarakat, 2) bagaimana orang dapat ikut ambil
bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumber daya yang tersedia dan 3) bagaimana
kemampuan orang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
39

otonomi desa. Langkah-langkah yang “serupa” dengan pola-pola penyeragaman


masa orde baru sepertinya terulang kembali semisal dalam pengisian jabatan
sekretaris desa dari kalangan PNS. Dilema pokok inilah yang dihadapi oleh
pemerintahan desa yaitu penerapan demokratisasi lokal berdasarkan kepentingan
politik individual atau penatakelolaan desa berdasarkan aturan.
Pada tatanan hubungan kepala desa dengan supra desa dan unsur lainnya,
kepala desa “dipaksa” menghadapi serangkaian fungsi administrasi yang ketat.
Pelaporan tugas sebagai bagian dari pertanggungjawaban pekerjaannya harus
dilakukan oleh kepala desa kepada tiga bentuk pertanggungjawaban sekaligus yaitu
kepada bupati melalui camat, kepada BPD dan kepada masyarakat desa. Kondisi ini
secara jelas mengindikasikan penggiringan pemerintahan desa menjadi “benar-
benar” sebagai unit pemerintahan formal.
Pada tatanan konstelasi politik yang riil, hubungan kepala desa dengan bupati
seringkali berada dalam relasi konfliktual terutama ketika terjadi perbedaan orientasi
politik diantara keduanya. Pada model beraucratic polity (birokrasi yang terlibat dan
menguasai politik) sebagaimana yang terjadi dalam konstelasi politik lokal di
Indonesia saat ini – juga pada masa orde baru, maka tidak dapat dihindarkan bahwa
segenap unsur birokrasi relatif digiring pada orientasi politik penguasa lokalnya
(bupati atau gubernur). Pemaksaan orientasi politik oleh penguasa lokal
menghegemoni aparat birokrasi bahkan sampai dengan bagian-bagian terkecilnya
termasuk perangkat kecamatan dan desa. Kondisi ini tentunya mempengaruhi
hubungan kepala desa dengan segenap aparat birokrasi yang konfliktual karena
perbedaan orientasi politik. Tatanan pemerintahan desa pun terancam
keberlangsungannya oleh perbedaan orientasi politik tersebut.
Pada bagian lain, tekanan terhadap pemerintahan desa (kepala desa) semakin
berat karena posisi strukturalnya berada pada level yang paling bawah sehingga
tugasnya melebar tidak hanya fungsi-fungsi pemerintahan umum (pengaturan,
pemberdayaan, pembangunan dan pelayanan publik), tetapi juga melaksanakan
pekerjaan lain seperti tugas penagihan pajak bumi dan bangunan yang sejatinya
dilakukan oleh instansi terkait pengelolaan perpajakan daerah maupun pusat
meskipun terdapat asas tugas pembantuan (medebewind).
Berdasarkan penelitian pendahulan27, diketahui beberapa isu konflik yang
terjadi dalam pemerintahan desa diantaranya:
1. Kepala desa dalam beberapa kasus sering kali mengabaikan undangan rapat dari
pihak pemerintahan kecamatan maupun kabupaten.
2. Sekretaris desa merasa tidak percaya terhadap transparansi pengelolaan
keuangan desa yang dilakukan oleh kepala desa.
3. Kepala desa dalam beberapa hal seringkali mengangkat sekretaris desa
“bayangan” yang menyulut pertikaian kepala desa dan sekretaris desa.
4. Sebagai bentuk resistensi terhadap kepala desa, sekretaris desa menghabiskan
waktu pekerjaan sehari-harinya di kantor kecamatan, bukan di kantor
pemerintahan desa.
5. Kesenjangan pendapatan (antara sekretaris desa dan kepala desa) seringkali
menyulut konflik diantara keduanya dan juga perangkat desa lainnya. Hal ini
nampak dimana dalam beberapa kondisi, porsi kewenangan pengelolaan
keuangan sekretaris desa seringkali diminimalisir.

27
Data diperoleh melalui teknik wawancara dengan beberapa informan yang terdiri dari sekretaris
desa, sekretaris kecamatan dan camat di Kabupaten Pandeglang.
40

6. Kepentingan ekonomi juga menyulut konflik karena dalam beberapa kasus


ditemukan kejadian manipulasi administratif oleh kepala desa semata dalam
mengurangi keterlibatan sekretaris desa dalam urusan (ekonomi/keuangan)
tersebut.
Perspektif hubungan bupati dan kepala desa sejatinya tidak dilepaskan dari
akar sosialnya. Oleh karena itu relasi kekuasaan yang terjadi diantaranya tidak hanya
terjalin karena tekanan regulasi formal semata. Nilai-nilai sosial berkontribusi besar
terhadap pola relasi kekuasaan yang terbentuk. Kekhasan ke-Banten-an yang
membingkai permasalahan dalam studi ini akan banyak mempengaruhi
penganalisisannya terutama tekanannya pada karakter keulamaan dan kajawaraan.
Konteks sosial ini dalam hal tertentu justru sering menafikan keberadaan regulasi
formal. Oleh karenanya tidak lengkap jika melakukan analisis relasi kekuasaan tanpa
mengkaitkannya dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di lingkungannya.
Dalam menganalisis relasi kekuasan bupati dan kepala desa berdasarkan
konsep hegemoni, patron-klien, resistensi dan ketergantungan dapat dijelaskan
ketersinggungannya adalah bahwa era reformasi telah memberikan arahan relasi
kekuasaan kepada dominasi-semi otonom. Dominasi dilakukan bupati kepada
kliennya yaitu kepala desa. Dominasi ini berlangsung secara hegemonik yang
mengarahkan terbentuknya pola relasi patron-klien. Dalam kondisi lain, peningkatan
derajat politik yang mengarah ke tatanan sistem politik demokratis membawa angin
segar perubahan dalam tata kelola pemerintahan desa, meskipun baru menyentuh
tataran semi otonom. Namun demikian kecenderungan otonomi seluas-luasnya ini
mendorong keberanian kepala desa untuk melakukan tindakan resistensi. Pada
konteks ke-Banten-an, konsep resistensi juga dapat dilekatkan dengan tipikal jawara
pada kelompok masyarakat tertentu.
Konsep hegemoni dan resistensi muncul akibat relasi kekuasaan yang
bersifat dominasi-semi otonom yang terjadi pada masa era reformasi. Artinya adalah
bahwa hegemoni masih nampak dalam pola-pola hubungan yang dijalankan oleh
bupati kepada beberapa kepala desa terutama yang memiliki orientasi politik yang
sama. Selain pola hegemoni tersebut, relasi dominasi-semi otonom ini tentunya
melahirkan resistensi yang dilakukan oleh kepala desa. Konsep hegemoni pada
akhirnya melahirkan hubungan patron-klien yang dalam konsep Emerson sebagai
relasi tidak berimbang (imbalanced relation), sementara konsep resistensi
melahirkan hubungan negosiasi (relasi kompromi) yang dijelaskan dalam konsep
Emerson sebagai relasi berimbang (balanced relation) dan kompetisi (relasi
konflik). Kedua konsep resistensi di atas jika dikombinasikan dengan konsep Scott
tidak lain adalah bahwa negosiasi pada prinsipnya resistensi hidden transcript dan
kompetisi bermakna public transcript. Dalam perspektif pertukaran, konsep
Coleman tentang kekuasan menyatu dan memisah dapat diinternalisasikan dimana
resistensi yang berbentuk negosiasi ini bersifat menyatu, sementara yang berbentuk
kompetisi bersifat memisah.
Dari uraian di atas, relasi kekuasaan yang terjadi antara bupati dan kepala
desa akan berwujud relasi patron-klien, kompromi dan konflik. Relasi patron-klien
dalam pendekatan teori kekuasaan-ketergantungan Emerson disebut sebagai relasi
dependensi (ketergantungan) dan relasi kompromi disebut sebagai relasi
interdependensi (saling ketergantungan). Sementara relasi konflik peneliti istilahkan
sebagai relasi interplay (saling mempengaruhi). Relasi interplay berkaitan dengan
relatif seimbangnya saluran kekuasaan antara bupati dan kepala desa yang tidak
hanya tergantung kepada hubungan struktural yang cenderung melemahkan posisi
kepala desa, tetapi dalam bagian lain kepala desa dapat memiliki saluran kekuasaan
41

dan jejaring yang lebih besar dibanding bupati. Melalui kelebihan kemampuan
membentuk ikatan-ikatan dalam jaringan sosial, kepala desa berupaya
memaksimalkan keseimbangan kekuasaan dengan bupati. Untuk itulah dalam
penelitian ini jaringan sosial yang dikembangkan oleh kepala desa dengan tinjauan
ketergantungan kekuasaan Emerson akan menjadi alat analisis utama dalam
mengeksplorasi relasi kekuasaan yang terjadi antara bupati dan kepala desa.

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan Gambar 2.2, terdapat dua faktor yang mempengaruhi relasi


kekuasaan bupati dan kepala desa yaitu faktor kebijakan politik yang mengatur
hubungan keduanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
yang kedua adalah faktor sosial-kultural menjadi tekanan dalam penelitian ini.
Konstruksi kedua faktor tersebut yang disertai pula oleh upaya-upaya pendalaman
hegemoni bupati ataupun resistensi kepala desa menyebabkan relasi keduanya selalu
dinamis dari masa ke masa dengan suatu asumsi ke depan akan terjadinya hubungan
ketergantungan-pertukaran. Hubungan ketergantungan-pertukaran itu dipengaruhi
oleh pembentukan jaringan kekuasaan yang mengakibatkan posisi tawar kepala desa
meningkat sehingga ketergantungan kekuasaannya terhadap bupati semakin
menurun.
42

Pada akhirnya relasi kekuasaan yang terbentuk terpolakan secara konflik dan
kompromi. Kedua pola relasi kekuasaan ini kemudian berpengaruh secara langsung
atau tidak terhadap stagnannya tingkat kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Kerangka pikir tersebut merupakan ilustrasi adanya ketergantungan kekuasaan
kepala desa terhadap bupati yang dipengaruhi oleh pertukaran jaringan yang pada
bagian akhirnya membentuk keseimbangan kekuasaan menuju relasi kekuasaan
yang relatif bersifat konfliktual dan juga kompromis tersebut. Bentuk-bentuk relasi
kekuasaan dalam kedua pola tersebut tidak memberikan kontribusi yang maksimal
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
43

3. METODOLOGI PENELITIAN

Relasi kekuasaan dalam pandangan Marx adalah hubungan yang tidak


seimbang diantara dua pihak sehingga selalu saja ada kelas yang menguasai (the
rulling class) dan kelas yang dikuasai (the ruled class). Oleh karenanya konsep-
konsep hegemoni dan patronase sangat dimungkinkan dalam relasi kekuasaan dua
kelas tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti memandang bahwa relasi kekuasaan
bupati dan kepala desa berlangsung dalam hegemoni kekuasaan sekaligus juga
berlangsung secara patronase. Meskipun perkembangan dalam tataran sistem
pemerintahan saat ini relatif bergeser ke arah demokrasi, namun pengaruh sosial
kultur yang melingkupi hubungan keduanya secara signifikan membentuk kepatuhan
tradisional kepala desa terhadap bupati. Namun demikian pengaruh sosial kultur
tersebut juga mempengaruhi relasi kekuasaan yang membalikkan hegemoni bupati
menjadi superordinasi kepala desa, sebagai akibat dari pengaruh ulama dan jawara.
Asumsi teori dimana hegemoni tidaklah dapat terjadi secara 100 persen mendukung
terciptanya kondisi tersebut, sehingga celah-celah resistensi dalam berragam
wujudnya dapat saja terjadi.
Berdasarkan landasan empiris, relasi kekuasaan bupati dan kepala desa di
Pandeglang memperlihatkan dua bentuk relasi yaitu adanya hegemoni dan juga
patronase. Hegemoni terbentuk karena pengaruh supra struktur bupati dalam struktur
birokrasi formal yang berada dalam posisi superordinat. Keunggulan posisi bupati
ini menjadikan kepala desa memiliki ketergantungan kekuasaan terhadap bupati
terutama berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan atau
secara konkretnya adalah dalam urusan penganggaran keuangan daerah dan desa.
Sementara itu relasi patronase berkaitan erat dengan sistem sosial kultur yang
membalut hubungan bupati dan kepala desa di Pandeglang. Balutan sosial-kultur itu
juga menjadikan kepala desa selalu berada pada posisi subordinat sebagai klien
terhadap patron bupati. Namun demikian, hubungan pertukaran yang seringkali
terjadi dalam relasi patron-klien ternyata tidak nampak dalam hubungan bupati dan
kepala desa, sehingga relasi patronase ini lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
kulturnya atau atas dasar kepatuhan tradisional bukan atas dasar hubungan
pertukaran.
Landasan teoritis dalam tinjauan relasi patron-klien yang digunakan dalam
penelitian ini menggiring peneliti untuk mengambil beberapa pedoman atau tepatnya
hipotesis pengarah sebagai jawaban sementara terhadap pertanyaan-pertanyaan
penelitian yang diajukan. Pijakan hipotesis pengarah juga tidak lepas dari landasan
empiris yang peneliti peroleh dari data lapangan. Signifikansi hipotesis pengarah
inilah yang menempatkan pembahasannya ditempatkan di awal bab ini, meskipun
tidak dijadikan kerangka dasar untuk pengambilan kesimpulan di bagian akhirnya,
sehingga sangat memungkinkan terjadinya perbedaan antara apa yang tertuang
dalam hipotesis pengarah dengan apa yang menjadi kesimpulannya.

Hipotesis Pengarah
Hipotesis pengarah ini bukanlah tafsiran mutlak terhadap apa yang menjadi
landasan teoritis dan empiris dalam penelitian ini, oleh karenanya hal ini sangat
bersifat lentur dan terbuka terhadap berbagai perubahan dalam proses analisisnya.
Urgensi hipotesis pengarah terdapat pada signifikansinya untuk mengarahkan
analisis awal terhadap pertanyaan penelitian yang diajukan. Adapun hipotesis
pengarah ini terrangkum dalam uraian berikut ini:
44

1. Faktor Sosial-Kultural dalam Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa


Diantara sekian faktor sosial-kultural yang mempengaruhi relasi kekuasaan bupati
dengan kepala desa, sub kultur ulama dan jawara merupakan faktor yang paling
dominan mempengaruhinya. Dengan demikian kuasa bupati maupun kepala desa
sangat bergantung kepada bagaiamana ikatan yang dibangun dengan kedua
jaringan tersebut. Jika bupati atau kepala desa mampu membangun jaringan yang
baik dengan kedua jaringan tersebut, maka akan semakin memperkuat
kekuasaannya. Sebaliknya jika tidak, maka dapat dipastikan kekuasaannya tidak
sekuat jika ia mampu membangun ikatan dengan jaringan ulama dan jawara. Pada
masa orde baru, kekuatan Golkar juga salah satunya adalah kemampuannya
membuat jaringan ulama dan jawara (Satkar Ulama dan Satkar Jawara) sebagai
salah satu sayap politiknya.
2. Pola-pola Relasi Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa
Dengan mengambil kasus empirik di tiga desa yang merepresentasikan kepala
desa jawara yaitu berdasarkan dimensi senioritasnya (jawara kolot) di Desa
Awilega, kekuatan ekonominya (jawara pengusaha) di Desa Campaka dan
aktivitas politiknya (jawara politisi lokal) di Desa Citalahab, maka dapat
digambarkan tiga kecenderungan pola relasi kekuasaan bupati dan kepala desa
yang terbentuk yaitu relasi acuh tak acuh (indifferent) yang dilakukan oleh jawara
kolot, relasi opportunis yang dilakukan oleh jawara pengusaha dan pola relasi
konfliktual yang dilakukan oleh jawara politisi. Relasi acuh tak acuh antara bupati
dan kepala desa-jawara kolot berkaitan dengan tidak terdapatnya kepentingan
yang dapat menghubungkan keduanya, meskipun secara struktur kekuasaan
formal kepala desa dapat dikatakan sebagai “anak buah” bupati. Lain halnya
dengan relasi opportunis antara bupati dan kepala desa jawara pengusaha yang
karena balutan kepentingan ekonomi sehingga keduanya saling
berketergantungan. Relasi kekuasaan pun berlangsung dalam hubungan
pertukaran dimana bupati sangat membutuhkan peran kepala desa sebagai
kepanjangan tangannya, sementara di sisi lain kepala desa membutuhkan bupati
dalam rangka memperlancar kepentingan usaha ekonominya. Sementara itu relasi
kekuasaan antara bupati dan kepala desa jawara politisi menunjukkan relasi
konfliktual karena perbedaan kepentingan politik bupati dan kepala desa. Dalam
situasi konflik semacam ini, maka masyarakat desalah yang menjadi
pertaruhannya karena masyarakat desa adalah target utama politik dari keduanya.
Kondisinya akan berlainan jika diantara keduanya memiliki bendera dan
kepentingan politik yang sama dimana dapat saja relasinya menjadi relasi
kerjasama politik, namun untuk kasus dalam penelitian ini, hal tersebut tidak
terjadi karena kepala desa mengindikasikan sikap-sikap resistensi terhadap
kebijakan-kebijakan politik bupati.
3. Proses Relasi Kekuasaan dan Bentukan Struktur Kekuasaan
Relasi kekuasaan bupati dan kepala desa dipengaruhi oleh dua faktor yang satu
sama lain tidak dapat dipisahkan yaitu konstelasi sosial dan kondisi politik (baik
lokal maupun nasional). Konstelasi sosial berkaitan dengan sistem sosial yang
membalut relasi tersebut, sementara konstelasi politik berkaitan dengan kebijakan
regulasi politik yang mengatur hubungan diantara keduanya. Untuk itulah
pendekatan sosiologi politik penting untuk dilakukan dalam memahami
konstruksi relasi dan struktur kekuasaan yang terbentuk. Berdasarkan tinjauan
inilah tergambar bagaimana peran ulama dan jawara yang sangat vital dalam
membingkai relasi kekuasaan bupati dan kepala desa dimana pada akhirnya
mempengaruhi pula struktur kekuasaan yang terbentuk. Kondisi pola-pola relasi
45

kekuasaan yang banyak dipengaruhi oleh faktor ulama ini tidak memberikan
situasi yang positif terhadap pelaksanaan praktek berdemokrasi secara substansial
karena kekuatan pengaruhnya cenderung “dipolitisir” oleh pihak-pihak tertentu
untuk kepentingan politiknya. Pada beberapa kondisi, ulama relatif menarik diri
dari konstelasi politik lokal yang menyebabkan jawara semakin mengukuhkan
kekuatan politiknya. Pada kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan kepentingan
pemberdayaan masyarakat pedesaan termarginalkan yang membuatnya
terbelenggu dalam kemiskinan.

Paradigma Penelitian
Penelitian ini berupaya untuk memahami relasi kekuasaan dalam struktur
formal yang bersandar kepada tradisi dan religi. Sejatinya relasi kekuasaan dalam
struktur formal berlangsung secara legal-rasional, namun kenyataannya sandaran
tradisi dan religilah yang mendominasi relasi kekuasaan tersebut. Kondisi ini
mengindikasikan tidak berlakunya otoritas legal-rasional sekalipun dalam lingkup
birokrasi formal, padahal sejatinya dalam lingkungan birokrasi lah berlangsung
relasi yang legal-rasional tersebut. Kondisi inilah yang berlangsung dalam hubungan
antara bupati dan kepala desa dimana keduanya sebenarnya menduduki jabatan
formal dalam struktur birokrasi lokal, namun di luar statusnya sebagai bupati dan
kepala desa tersebut, pengaruh ulama dan jawara sebagai tokoh informal
mempengaruhi relasi kekuasaan keduanya.
Menyikapi kondisi di atas, maka peneliti berasumsi posisi supra struktur
tidak menjamin kepatuhan subordinat. Oleh karenanya peneliti menempatkan
paradigma penelitian kritis28 untuk dapat mengeksplorasi secara tepat makna dibalik
pembalikkan hubungan struktural tersebut. Paradigma ini merupakan kritisasi atas
materialisme Marx dan fokusnya yang tiada henti pada struktur ekonomi. Oleh
karenanya mazhab kritis menggeser perhatiannya dari “basis” ekonomi kepada
“suprastruktur” kultural.29 Dalam penelitian inilah prinsip tersebut dijelaskan yaitu
bahwa suprastrukturlah yang memegang kendali kuasa di lokus penelitian.
Meskipun basis ekonomi sebagaimana dalam pandangan materialisme Marx
tidak dapat dipersandingkan dengan kondisi bupati dan jawara yang hubungannya
dibangun berdasarkan relasi struktur formal, namun kritisasinya relatif serupa
dengan adanya penekanan pada pergeseran ke arah suprastruktur kultural yang
mengindikasikan peran informal leader yang diperankan ulama dan jawara. Dalam
hal ini pandangan mazhab kritis juga berlaku dalam kasus pergeseran relasi
kekuasaan bupati dan kepala desa yaitu dari formal leader ke informal leader atau
dari struktur birokasi formal ke arah struktur kultural.

Strategi Penelitian: Memahami Relasi Kekuasaan Masyarakat Pedesaan


Tujuan utama penelitian ini adalah upaya untuk memahami secara mendalam
tentang relasi kekuasaan masyarakat pedesaan dalam konteks relasi kekuasaan
antara bupati dan kepala desa. Landasan pemahamannya dilakukan melalui
interpretasi realitas masyarakat di lokasi penelitian. Oleh karena pemikiran tersebut,
maka penelitian ini dilakukan secara deskriptif berdasarkan prinsip-prinsip

28
Paradigma kritis ini menurut Guba dan Lincoln (Denzin, 2009) menegaskan sebuah ontologi yang
didasarkan pada realisme historis, sebuah epistemologi yang bersifat transaksional dan sebuah
metodologi yang bersifat dialogis dan dialektis.
29
Ritzer (2011b).
46

pendekatan penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif yang bersandar kepada


interpretatif, apa yang tampak dalam relasi bupati dan kepala desa sebenarnya
merupakan pantulan dari dunia ide dan makna yang ada di belakangnya (Bungin,
2003:6). Oleh karenanya tidak ada cara lain untuk memahami ide dan makna yang
ada didalamnya tersebut kecuali dengan pemahaman interpretatif (interpretative
understanding) yang dalam istilah Weber disebut sebagai verstehen. Dalam hal
inilah pendekatan kualitatif perlu dilakukan sehingga akan dapat menggali hal-hal
yang mendasari penampakan wajah relasi kekuasaan yang terjadi di permukaannya.
Pusat perhatian relasi kekuasaan yang dieksplorasi dalam penelitian ini
meliputi kekuatan jaringan kekuasaan utamanya jaringan ulama dan jawara dalam
relasi kekuasaan bupati dan kepala desa, pola-pola relasi kekuasaan yang terjalin
diantara keduanya dan struktur kekuasaan yang terbentuk sebagai gambaran jenjang
kekuasaan diantara tokoh-tokoh (formal dan informal) yang mempengaruhi relasi
kekuasaan antara bupati dan kepala desa. Untuk mengelaborasi peran sosial-politik
ulama dan jawara, peneliti menjelaskannya dengan menelusuri dinamika peran
ulama dan jawara dari masa kesultanan Banten hingga saat ini. Gambaran dinamika
ini sangat penting dalam rangka menampilkan sejumlah data faktual yang
menjelaskan peran signifikan ulama dan jawara dalam masyarakat Banten.
Gambaran ini pula yang kemudian dapat menjelaskan pola-pola relasi kekuasaan
yang terbentuk antara bupati dan kepala desa saat ini. Pada akhirnya gambaran
posisi strategi ulama dan jawara dijelaskan dengan piramida struktur kekuasaan
yang terbentuk.
Relasi kekuasaan bupati dan kepala desa sejatinya berlangsung dalam
hubungan formal pemerintahan sehingga fungsi-fungsi pemerintahan bersandar
kepada apa yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Artinya adalah hubungan yang terjadi berlangung mengikuti pola-pola power by
control. Kenyataannya landasan empiris penelitian tidak mendukung terhadap
kondisi tersebut, dalam hal ini peran ulama dan jawara “menggugurkan” perlakuan
hubungan berdasarkan kerangka aturan formal tersebut (hubungan struktural). Oleh
karenanya pola-pola power by influence lah (hubungan kultural) yang lebih
mendominasi hubungan-hubungan formal pemerintahan. Hal ini mengugurkan pula
prinsip-prinsip ideal birokrasi Weberian sebagai ciri masyarakat modern seperti
adanya formalistik dan hubungan impersonal antara bupati dan kepala desa karena
ternyata justru hubungan informal dan personal lah yang pada akhirnya
mendominasi sistem birokrasi.
Pertanyaannya adalah mengapa pola power by control yang berdasarkan
prinsip otoritas legal rasional dilangkahi oleh power by influence atas dasar prinsip
otoritas kharismatik atau juga tradisional?, kata kunci jawabannya adalah sistem
sosial-kultur sebagaimana dijelaskan dalam awal bab ini. Untuk itulah dalam
mengurai jawaban tersebut diperlukan pendalaman pemahaman tentang sistem sosial
dan kultural yang berlaku di Pandeglang. Pentingnya pemahaman mendalam ini
menggiring peneliti untuk memilih konsep verstehen Weber dalam menyibak makna
terdalam dari wajah relasi yang muncul di bagian permukaannya.
Rasionalitas instrumental30 sejatinya menjadi patokan baku dalam ranah
penyelenggaraan pemerintahan, begitu pula dalam kaitannya dengan relasi
kekuasaan antara bupati dan kepala desa. Namun demikian upaya untuk menangkap
realitas tindakan dari rasionalitas instrumental ini tidak akan dapat mengungkap
30
Meskipun teori-teori Marxian menjadi pijakan awal paradigma kritis, namun paradigma ini juga
banyak dipengaruhi oleh teori Weberian seperti direfleksikan dari fokus paradigma ini pada
rasionalitas sebagai perkembangan dominan di dunia modern (Ritzer, 2011b:107).
47

makna mendalam dari relasi kekuasaan yang sesungguhnya, oleh karenanya


pendekatan tindakan lain terutama dalam hal ini rasionalitas tradisi dan afektif
sangat penting untuk dilakukan.
Dalam memahami relasi kekuasaan bupati dan kepala desa, karena keduanya
berada dalam organisasi kekuasaan yang sama yaitu sebagai pemerintah, maka relasi
kekuasaannya dapat dianalisis dari sikap keduanya terhadap fungsi-fungsi
pemerintahan yang meliputi aspek pengaturan, pembangunan, pemberdayaan dan
pelayanan publik (Rasyid, 2000:59). Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai pejabat
politik, bupati dan kepala desa juga tidak dapat dilepaskan dari pertarungan
kepentingan. Oleh karenanya sensitivitas isu politik perlu diberikan perhatian yang
serius untuk memahami relasi keduanya. Berdasarkan pertimbangan itulah maka
dalam penelitian ini relasi kekuasaan keduanya ditelusuri dari sikapnya terhadap
kelima isu tersebut. Berdasarkan respon terhadap kelima isu tersebut inilah pola-pola
relasi kekuasaan terbentuk apakah mengarah kepada kerjasama (partner), konflik
atau cenderung saling melepaskan diri (indifferent).
Namun demikian pertimbangan pendekatan terhadap kelima isu ini
(pengaturan, pembangunan, pemberdayaan, pelayanan publik dan politik) tidak akan
berhenti pada pemahaman secara rasionalitas instrumen saja karena tanggapan yang
muncul baik dari bupati dan kepala desa cenderung normatif belaka, oleh karenanya
seiring dengan pendekatan verstehen, maka pendekatan tersebut perlu diperkuat oleh
pemahaman terhadap hal-hal yang sifatnya rasionalitas tradisi dan afektif. Disinilah
signifikansi pendekatan verstehen itu sangat diperlukan.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis
dekriptif31. Untuk memahami secara mendalam fenomena yang terjadi dalam relasi
kekuasaan secara spesifik di lokus penelitian, maka studi kasus dipilih sebagai
metode penelitiannya. Untuk memahami studi kasus sebagai strategi penelitian,
maka terdapat tiga cara yang dilakukan yaitu: menyelidiki fenomena dimana konteks
kasus berlangsung, memahami batas-batas antara fenomena dan konteks yang tidak
tampak secara tegas, dan menggunakan multi sumber data pada kasus-kasus tertentu
(Yin, 1996:18; Bungin, 2010:20).
Signifikansi data dalam penelitian kualitatif tidak ditekankan kepada
pengukurannya, tetapi data yang dapat menjelaskan fenomena penelitian. Untuk
itulah pengambilan data primer dalam penelitian ini dilakukan melalui metode
utama pengumpulan data yaitu teknik wawancara mendalam (in depth interview)32
dan pengamatan terlibat (participatory observation) yang peneliti anggap paling
ampuh untuk menjelaskan pertanyaan penelitian yang diajukan. Sementara data
sekunder diperoleh melalui teknik studi literatur. Sebagai data utama dalam

31
Analisis deskriptif selain sebagai strategi analisis juga dikaitkan dengan pilihan studi kasus sebagai
strategi metodologinya. Dalam penelitian studi kasus ini, dikaitkan dengan rumusan pertanyaan
penelitiannya apakah “why” (mengapa), “how” (bagaimana) dan “what” (apa/apakah) maka
penelitian studi kasus dapat dikategorikan sebagai penelitian studi kasus eksplanatoris, deskriptif atau
eksploratoris (Bungin, 2010:27).
32
Karena wawancara mendalam tidak membatasi pada pedoman wawancara layaknya wawancara
terstruktur atau semi terstruktur, maka sebagai guidance, pertanyaan difokuskan kepada 5 (lima) isu
relasi kekuasaan yang meliputi urusan pengaturan, pemberdayaan, pembangunan dan pelayanan
publik serta politik sesuai strategi penelitian. Melalui kelima isu tersebutlah, pertanyaan
dikembangkankan sesuai dengan situasi wawancara.
48

penelitian ini adalah data primer tersebut, adapun data-data sekunder digunakan
sebagai data yang sifatnya melengkapi dan mengkonfirmasi data primer.
Wawancara mendalam dilakukan dengan pertimbangan penekanan kepada
lima aspek fokus kajian penelitian yaitu informasi-informasi yang menyangkut
pengaturan, pemberdayaan, pembangunan, pelayanan publik dan politik.
Berdasarkan kelima aspek inilah, informasi berkembang mengalir secara apa adanya
pada informasi-informasi yang peneliti tidak perkirakan sebelumnya. Melalui
proses reduksi data dalam tahap analisis, informasi-informasi ini dipilih dan dipilah
untuk dipergunakan atau disingkirkan sesuai dengan kepentingan analisis penelitian.
Teknik pengambilan informan dilakukan secara purposive melalui teknik key
person yaitu para informan dengan karakter spesifik yang dianggap menguasai
permasalahan terutama informan kunci bupati dan (para) kepala desa. Adapun
informan penelitian tersebut mewakili unsur:
1. Tokoh Ulama
Peneliti memilih Haji Maman Badarzaman sebagai informan dengan
pertimbangan selain sebagai Ketua DKM Masjid Agung Pandeglang dan aktif di
kelembagaan MUI Pandeglang, informan juga memiliki pengalaman sebagai
mantan anggota DPRD Kabupaten Pandeglang dan mantan birokrat. Informan
kedua yang mewakili tokoh ulama adalah Aki Fuad sebagai tokoh ulama yang
berpengaruh di Pandeglang.
2. Tokoh Jawara
Peneliti menentukan tokoh jawara Abah Anda dan Halil. Abah Anda adalah
sesepuh jawara di Pandeglang yang jaringan jawaranya tidak hanya melingkupi
wilayah Provinsi Banten tetapi juga wilayah Provinsi Lampung dan DKI Jakarta.
Selain Abah Anda peneliti mewawancarai Saudara Halil sebagai jawara dan
praktisi debus.
3. Bupati
Informan ini adalah Bupati Pandeglang saat penelitian dilakukan yaitu EK.
4. Kepala Desa
Informan kepala desa dalam penelitian ini adalah kepala desa di tiga lokasi kasus
penelitian yaitu kepala desa yang mewakili unsur kepala desa jawara kolot di
Desa Awilega yaitu AJ, kepala desa jawara pengusaha di Desa Campaka yaitu
AA dan kepala desa jawara politisi di Desa Citalahab yaitu AH. Selain kepala
desa dengan tipikal jawara, untuk kepentingan penelitian, peneliti juga
mengambil tokoh kepala desa bukan jawara sebagai informan yang ditentukan
secara purposive yaitu Kepala Desa Kawoyang dalam hal ini Masrudi.
5. Camat
Camat yang dipilih sebagai informan adalah utamanya camat di tiga lokasi desa
kasus yaitu Aep Saepudin selaku Camat Banjar, Abdjah selaku Camat Kaduhejo
dan Rahkamil selaku Camat Koroncong. Namun untuk memperdalam informasi,
maka ditetapkan pula camat diluar ketiga kecamatan tersebut yaitu Saudara Epi
selaku Camat Sumur dan Saudara Basyar selaku Camat Sindangresmi, hal ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa adanya rotasi menjadikan penggalian
informasi kepada camat yang relatif baru kurang mendalam, oleh karenanya
perlu untuk menggali informasi kepada camat lain utamanya camat yang
sebelumnya menduduki jabatan camat di tiga desa kasus.
6. Aparatur Kecamatan
Untuk mengkonfirmasi informasi dari informan camat, peneliti menelusurinya
dari Endin Suhaerudin selaku Sekretaris Kecamatan Banjar, Agung Kurniawan
49

selaku Kasi Pemerintahan Kecamatan Kaduhejo dan Suherman selaku Kasubag


Keuangan Kecamatan Koroncong.
7. Aparatur Pemerintahan Desa
Data yang berkaitan dengan tata kelola desa perlu digali melalui aparaturnya.
Oleh karenanya peneliti mengambil Bima selaku Sekretaris Desa Citalahab,
Nana selaku Sekretaris Desa Campaka dan Sapri selaku Sekretaris Desa
Awilega.
8. Aparatur Pemerintahan Daerah
Aparat pemerintahan yang dipilih adalah yang memiliki kewenangan strategis
dalam pemerintahan daerah dan juga mengetahui secara langsung aktivitas-
aktivitas yang dilakukan oleh bupati dalam hal ini peneliti mewancarai Kasubag
Protokol yaitu Hendriana dan Ahmad Suhaeruddin selaku Kabid Pemerintahan
Desa Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa.
9. Masyarakat Biasa (akar rumput)
Sikap dan pandangan masyarakat dalam level akar rumput juga perlu
mendapatkan perhatian karena merekalah yang paling terkena dampak dari
segala kebijakan birokrasi baik lokal maupun desa. Informan masyarakat biasa
dipilih secara acak dari ketiga lokasi kasus yaitu yang mewakili para petani
penggarap atau buruh kasar. Peneliti menentukan Desin sebagai key informan di
Desa Campaka, Abah Gojali di Desa Citalahab dan Wa Jajang di Desa Awilega.
Selain metode wawancara, peneliti juga melakukan pengamatan terlibat atau
observasi partisipatoris dan studi literatur. Hal ini dilakukan karena peneliti sendiri
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pandeglang dalam hal ini sebagai
anggota masyarakat. Sebagai anggota masyarakat, peneliti hidup dan merasakan
secara langsung sistem sosial-kultur yang ada dan terutama ikut terlibat dalam
rangkaian aktivitas-aktivitas sistem tersebut. Selain itu sebagai anggota masyarakat,
peneliti juga terkena dampak secara langsung dari kebijakan-kebijakan birokrasi
lokal. Sebagai anggota masyarakat yang hidup dalam sosial budaya masyarakat
Pandeglang, juga tidak dapat dilepaskan dari beragam aktivitas tradisi keagamaan
dan kajawaraan, oleh karenanya pengamatan dilakukan dengan melibatkan diri pada
beberapa aktivitas tradisi tersebut. Studi literatur adalah kajian pustaka terhadap
penelitian-penelitian terdahulu, buku-buku referensi dan regulasi yang mendukung
terhadap pengayaan informasi-informasi penelitian. Studi literatur dilakukan karena
keterbatasan jangkauan informasi yang tidak dapat tergali melalui proses wawancara
mendalam dan pengamatan terlibat.

Analisis Data
Untuk menjamin keabsahan data, reliabilitas data dilakukan dengan empat
standar yang diintrodusir Lincoln dan Guba yaitu prinsip kredibilitas, transferibilitas,
dependabilitas dan konfirmabilitas. Sementara validitas data dilakukan dengan
teknik triangulasi, dengan tekanannya pada triangulasi sumber. Adapun analisis data
dilakuan secara kualitatif melalui tahapan proses reduksi data, display data dan
pengambilan kesimpulan.
Rangkaian analisis tersebut diterapkan pada unit analisis relasi kekuasaan
bupati dan kepala desa. Relasi kekuasaan tersebut didekati dengan referensi teori
ketergantungan kekuasaan Emerson yang dipersandingkan dengan nilai-nilai sosial-
kultur yang membalut relasi tersebut. Dengan konsentrasi permasalahan pada tiga
desa terpilih yang mewakilkan desa dengan kepala desa jawara kolot, kepala desa
50

jawara pengusaha dan kepala desa jawara politisi, data difokuskan kepada lima
aspek yaitu pengaturan, pemberdayaan, pembangunan, pelayanan publik dan politik.

Sumber: Miles (1994:26).


Gambar 3.1 Model Analisis

Analisis data tersebut merupakan proses yang saling terkait, untuk itulah
pada proses reduksi data pun sebenarnya merupakan proses pemaknaan juga, bahkan
menjadi dasar bagi proses penyajian dan pengambilan kesimpulan. Setelah data
terakumulasi, dalam proses reduksi dilakukan beberapa tahapan yang meliputi
perangkuman data (data summary), pengodean (coding), merumuskan tema-tema,
pengelompokan (clustering) dan penyajian cerita secara tertulis (Denzin, 2009:592)
sebagaimana Gambar 3.1. Interpretasi inti dari data penelitian dilakukan dalam
proses pengambilan kesimpulan yang dipedomani dengan tuntunan teori sebagai
persandingannya sehingga pengambilan kesimpulan tersebut terkontrol dan
terhindar dari subyektifitas peneliti.
Langkah-langkah analisis yang peneliti lakukan sebagaimana Gambar 3.1
adalah setelah data terkumpul, kemudian data direduksi berdasarkan kepentingan
penelitian dalam fokus lima aspek sebagaimana tersebut di atas dengan memberikan
kodifikasi A untuk pengaturan, D untuk pemberdayaan, B untuk pembangunan, L
untuk pelayanan publik dan P untuk politik. Selanjutnya dibuat catatan-catatan
reflektif atas data tersebut. Selanjutnya tahapan display data dilakukan dengan
menyajikannya dalam bentuk matriks. Adapun tahap pengambilan kesimpulan
dilakukan dalam dua tahapan yaitu kesimpulan awal yaitu pada saat beriringan
dengan proses penyusunan matriks atas catatan-catatan reflektif yang ada dan kedua
pada saat proses penarikan kesimpulan akhir untuk dijadikan laporan penelitian.
Dalam melakukan analisis data ini, disesuaikan dengan strategi penelitiannya
yaitu dalam hal ini untuk memahami relasi kekuasaan, maka peneliti menggunakan
Teknik Analisis Tema Kultural (Discovering Cultural Themes Analysis) sebagai
teknik analisisnya. Teknik analisis ini mencoba menghubung-hubungkan tema yang
dianalisis sehingga satu sama lain saling memiliki garis simpul yang pada akhirnya
menyerupai sarang laba-laba yang terstruktur (Bungin, 2010:98).
Teknik Analisis Tema Kultural mencoba mengumpulkan sekian banyak
tema, fokus budaya, etos budaya, nilai dan simbol-simbol budaya yang
terkonsentrasi pada domain-domain tertentu. Berdasarkan penelusuran tema-tema
kultural tersebut kemudian terpilah menjadi dua tema yaitu major themes dan minor
themes. Major themes adalah tema yang amat melekat dalam masyarakat tersebut
sehingga manifestasinya seakan hadir dalam setiap aktivitas masyarakat, sedangkan
51

minor themes adalah sebaliknya yaitu tema yang tidak selamanya muncul dalam
setiap aktivitas masyarakat.
Berkaitan dengan relasi kekuasaan bupati dan kepala desa sebagai unit
analisis dalam penelitian ini, maka major themes-nya berada pada seputar
superordinasi bupati secara struktural terhadap posisi subordinat kepala desa, dan
minor themes-nya adalah sebenarnya yang memperkaya dan memperdalam
penelitian ini yaitu tema-tema budaya sebagai tema yang tidak muncul dalam
pemahaman umum tentang relasi tersebut.

Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Sebagai sebuah wilayah administrasi pemerintahan di bawah Provinsi Banten,
Kabupaten Pandeglang juga tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan pendekatan
budaya dan historis Banten. Untuk itulah dalam melengkapi pembahasan
Pandeglang, perlu sekali untuk selalu mempersatukannya dengan kajian ke-Banten-
an baik sebagai entitas kelembagaan pemerintahan juga sebagai entitas sosial-
kultural.
Kasus penelitian berlangsung pada tiga desa yang dipilih secara purposive
yaitu Desa Campaka di Kecamatan Kaduhejo, Desa Awilega di Kecamatan
Koroncong dan Desa Citalahab di Kecamatan Banjar. Pertimbangan pemilihan
ketiga lokasi desa tersebut berdasarkan tipikal kepala desanya yang
merepresentasikan kepala desa jawara yang sangat mendukung terhadap
kepentingan penelitian.
Dari ketiga desa kasus tersebut juga tergambar kemiskinan yang menjerat
kehidupan pedesaan Pandeglang. Berdasarkan Data Potensi Desa 2014 yang
dikeluarkan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi,
ketiga desa tersebut termasuk kategori desa tertinggal sebagaimana tercantum dalam
Tabel 3.1 . Hal ini mengindikasikan bahwa ketiga desa kasus sangat layak untuk
dijadikan kasus kemiskinan di pedesaan Pandeglang.

Tabel 3.1. Status Desa Lokasi Penelitian


No. Desa Indeks Status
1. Campaka 0,5635 Tertinggal
2. Awilega 0,5375 Tertinggal
3. Citalahab 0,5794 Tertinggal
Sumber: Status Kemajuan dan Kemandirian Desa: Kementerian Desa, PDT dan
Transmigrasi, 2014.

Dari ketiga desa kasus tersebut justru mengalami degradasi status yaitu Desa
Awilega dan Citalahab dimana sebelumnya tidak termasuk Desa Tertinggal (Data
Desa Tertinggal Tahun 2007 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Pandeglang), bahkan untuk Desa Awilega indeks kemajuannya jauh lebih rendah
dibandingkan dengan Desa Campaka yang tidak pernah beranjak dari status sebagai
desa tertinggal.
Selain ketiga lokasi desa kasus, peneliti juga menentukan secara purposive
Desa Kawoyang sebagai desa yang merepresentasikan kepala desa bukan jawara.
Selain unsur kesengajaan memilih Desa Kawoyang, pertimbangan yang paling
penting adalah gambaran Desa Kawoyang ini yang relatif masih sangat tradisional
52

dimana beberapa kelembagaan tradisional desanya yang masih survive, oleh


karenanya sangat sesuai pula menggambarkan masyarakat tradisional pedesaan
Pandeglang.

Tahapan Penelitian
Pada prinsipnya penelitian sudah dilakukan sejak proses penyusunan
proposal penelitian dilakukan yaitu tepatnya sejak Awal Agustus 2013. Pasca
penyusunan proposal tersebut kemudian dilakukan pendalaman pemahaman tinjauan
teoritis. Proses yang panjang peneliti lakukan sehubungan dengan pilihan relevansi
teori yang digunakan yang pada akhirnya memposisikan peneliti untuk menempuh
langkah meninggalkan terlebih dahulu kontemplasi teoritis dengan sehingga
ditemukan formulasi tinjauannya, hingga akhirnya mulai bulan Oktober 2013
dilakukanlah pengumpulan data melalui teknik wawancara mendalam dan
pengamatan terlibat di lokasi penelitian.
Proses pengambilan data dilakukan secara terus-menerus hingga kurang
lebih satu tahun atau tepatnya bulan Oktober 2014 proses tersebut baru dapat
terselesaikan. Lamanya pengumpulan data berkaitan dengan terdapatnya informan
kunci yaitu Kepala Desa Awilega (AJ) yang sangat sukar dilakukan
pewawancaraannya sehubungan dengan kebiasaannya berada di luar desa hingga
tiga sampai dengan enam bulan lamanya, sehingga proses wawancara tersebut baru
dapat dilakukan pada pertengahan bulan September 2014. Selain itu pula protokoler
dalam proses birokrasi kadangkala menjebak peneliti untuk harus bersabar dan
berlama-lama dalam melakukan proses wawancara.
Kondisi lain juga mempengaruhi proses lamanya pengambilan data tersebut
yaitu menyangkut terjadinya proses dinamika politik diantaranya Pemilu 2014 dan
terbitnya regulasi tentang pemerintahan desa dan daerah yang secara langsung
mempengaruhi analisis penelitian ini. Proses dinamika politik (lokal dan nasional)
ini perlu dicermati karena berkontribusi besar terhadap pergeseran-pergeseran yang
terjadi dalam relasi kekuasaan bupati dan kepala desa di Pandeglang.
Setelah melalui proses panjang pengumpulan data tersebut, maka mulai
bulan November 2014 dilakukan pendalaman-pendalaman kajian penelitian ini
melalui konperensi dan diskusi ilmiah sekaligus proses penyusunan draft laporan
penelitian dilakukan.
53

4. KONDISI KEPENDUDUKAN, KEHIDUPAN KEAGAMAAN DAN


KEMISKINAN MASYARAKAT PEDESAAN PANDEGLANG

Penelitian ini dilakukan di Pandeglang, salah satu kabupaten di wilayah


Provinsi Banten yang memiliki sejarah panjang dan kontribusi besar terhadap
perjalanan Banten dari masa kesultanan Banten hingga saat ini. Pandeglang masa
lalu dan masa kini adalah pusat pembentukan jiwa Banten yang agamis, inilah yang
membuat Pandeglang banyak melahirkan tokoh besar Banten dimulai dari residen
Banten pertama kali yang juga berasal dari wilayah ini sampai dengan pencetusan
pembentukan Provinsi Banten yang juga dilakukan di Pandeglang.
Berdasarkan penelusuran katanya, Pandeglang dipercaya berasal dari kata
“pande” dan “gelang”. Kata “pande” artinya orang yang memiliki kemampuan
pengolahan benda-benda logam semisal dalam pembuatan golok, pisau, pedang,
persenjataan perang, alat musik tabuh seperti goong dan perangkat lainnya,
sementara “gelang” itu sendiri adalah gelang dalam pengertian perangkat atau
atribut yang sering dipakai orang kebanyakan. Pembentukan kata “pande” dan
“gelang” inilah yang kemudian membentuk kata Pandeglang yang dipercaya sebagai
tempat sultan melengkapi perangkat-perangkat logamnya baik untuk kepentingan
atribusi pakaian (seperti gelang-gelang, kalung dll.), persenjataan perang maupun
peralatan musik tabuh.
Pada masa pendudukan kolonialis Belanda, terbitlah Staatsblad 1874 Nomor
73 Ordonansi tanggal 1 April 1874 yang memberlakukan pembagian daerah di
Karesidenan Banten. Sejak saat itu Pandeglang menjadi wilayah kabupaten dengan 9
distrik atau kewedanaan yakni Pandeglang, Baros, Ciomas, Kolelet, Cimanuk,
Caringin, Panimbang, Menes dan Cibaliung. Atas Dasar inilah tanggal 1 April
disepakati dan ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Pandeglang. Sejak saat itu
pula Pandeglang memiliki pemerintahan sendiri. Hal ini dipertegas lagi dalam
Ordonansi 1877 Nomor 224 tentang batas-batas Karesidenan Banten, termasuk
batas-batas Kabupaten Pandeglang yang diatur kembali dalam tahun 1925 dengan
keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925 Nomor XI.
Kota Pandeglang sebagai ibu kota kabupaten merupakan kota yang berada di
wilayah kaki Gunung Karang. Sejak dulu kota ini dikenal sebagai kota santri, oleh
karenanya berbeda dengan sebagian besar ibu kota-ibu kota kabupaten atau kota di
pulau Jawa, di Pandeglang tidak ditemukan pusat-pusat hiburan malam semisal
bioskop dan mal. Kota ini relatif sangat sepi di malam hari, keramaian warga hanya
berpusat di alun-alun kota yang berada persis di hadapan Pendopo Kabupaten, itu
pun terjadi pada hari-hari libur atau perayaan tertentu.
Ketiadaan sarana hiburan malam tidak mengindikasikan rendahnya aktivitas
ekonomi masyarakat, melainkan imbas dari kepercayaan masyarakat setempat
bahwa jika Kota Pandeglang dibangun tempat-tempat hiburan maka Gunung Karang
akan meluluhlantakan Kota Pandeglang beserta segenap isinya. Oleh karenanya
setiap ada upaya dari pihak mana saja yang merencanakan pembangunan sarana
hiburan yang dipandang dapat menyesatkan umat, maka muncul resistensi
masyarakat dalam berragam penolakkannya.
Untuk mengetahui popularitas Pandeglang sebagai Kota Santri, maka jika
ditelusuri dalam mesin situs pencacah Google, setidaknya ditemukan 10833 situs
yang menyitirnya. Popularitas Pandeglang sebagai Kota Santri ini jauh melebihi

33
Data diakses tanggal 11 Oktober 2014.
54

julukan lain untuk Pandeglang sebagai Kota Badak yaitu hanya sekitar 57 situs. Hal
ini mengindikasikan bahwa kehidupan santri sangat melekat dengan Pandeglang.
Karakteristik Pandeglang sebagai kota santri juga dapat terlihat dari
ramainya tempat-tempat yang dipandang membawa keberkahan yang dikunjungi
para santri dan umat muslim pada umumnya setiap malam Jum’at atau waktu-waktu
yang dianggap memberikan berkah di tempat-tempat maqom Syeh Maulana
Mansyur, Syeh Asnawi Caringin, Syeh Mohamad Sohib, Syeh Dalam Bagi, Syeh
Maulana Maghribi, Batu Qur’an dll.
Pada bab ini beberapa bahasan akan mengikutsertakan juga ulasan tentang
Banten yang secara sosiologi-politik tidak dapat dipisahkan dengan Pandeglang.
Latar belakang historis Pandeglang baik sebagai sebuah wilayah administrasi
pemerintahan maupun akar sosiologisnya yang tidak dapat dipisahkan dari Banten.
Oleh karenanya dalam satu kajian dapat saja penjelasan tentang Pandeglang pada
dasarnya serupa dengan penjelasan tentang Banten, meskipun dalam beberapa hal
terdapat beberapa kesenjangan terlebih setelah Banten menjadi sebuah provinsi
mandiri. Kesenjangan tersebut berkaitan dengan semakin memudarnya tipikal
masyarakat pedesaan Banten terutama untuk wilayah Utara Banten (Kota Tangerang
dan sekitarnya) yang lebih multi ras dan metropolis.
Sebenarnya jika tidak dibatasi jangkauan administrasi pemerintahan,
beberapa wilayah di luar provinsi Banten secara sosiologis juga merepresentasikan
karakter ke-Banten-an dalam hal ini wilayah Barat Bogor (wilayah sekitar Tenjo,
Jasinga dan Parung Panjang). Kondisi ini berkaitan dengan pengaruh masa
kesultanan Banten yang menjangkau wilayah tersebut dan faktor geografi yang
berbatasan langsung dengan Provinsi Banten (Kabupaten Lebak).
Secara umum, Banten memiliki dua sub kultur utama yang satu sama lain
tidak dapat dipisahkan yaitu ulama dan jawara. Hal ini pula berlangsung dalam
kehidupan kemasyarakatan di Pandeglang. Namun demikian, untuk kepentingan
penelitian, dengan tidak mengabaikan dimensi ke-Banten-an secara keseluruhan,
peneliti akan memfokuskan kajian di Pandeglang sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Banten baik secara administrasi pemerintahan terlebih secara
sosiologi politik.

Kondisi Kependudukan dan Perkembangan Daerah


Secara geografis wilayah Kabupaten Pandeglang terletak antara 6o21’ –
7o10’ Lintang Selatan dan 104o48’ – 106o11’ Bujur Timur dengan luas wilayah
2.746,89 Km2 atau sebesar 29,98 persen luas wilayah Provinsi Banten. Batas
administrasi Kabupaten Pandeglang adalah sebelah utara berbatasan dengan
Kabupaten Serang, sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda, sebelah selatan
berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah timur berbatasan dengan
Kabupaten Lebak (lihat Gambar 4.1). Dari pendekatan administrasi pemerintahan,
Kabupaten Pandeglang terpilah ke dalam 35 kecamatan dan 322 desa dan 13
kelurahan. Berdasarkan klasifikasi desa, dari 335 desa dan kelurahan yang ada, 199
diantaranya termasuk desa swakarya dan sisanya sebanyak 136 termasuk desa
swasembada. Sementara itu berdasarkan pendekatan demografinya, hingga tahun
2010 penduduk Kabupaten Pandeglang berjumlah 1.149.610 jiwa dengan komposisi
penduduk laki-laki sebanyak 589.056 jiwa dan dan perempuan sebanyak 560.554
jiwa. Berdasarkan data tersebut, rasio jenis kelamin pada tahun 2010 sebesar 105,08.
Sebaran penduduk per kecamatan relatif tidak merata. Kecamatan dengan penduduk
terjarang yaitu Kecamatan Sumur dengan rata-rata sebanyak 88 jiwa/Km2,
sementara wilayah yang terpadat adalah Kecamatan Labuan, yaitu sebanyak 3.439
55

jiwa/Km2. Sedangkan rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Pandeglang adalah


419 jiwa/Km2. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kabupaten Pandeglang
berdasarkan data hasil Sensus Penduduk periode 1961 – 1971 sebesar 2,71 persen,
periode 1971 – 1980 sebesar 2,15 persen, periode 1980 – 1990 sebesar 2,14 persen,
periode 1990 – 2000 sebesar 1,64 persen dan 2000 – 2010 sebesar 1,30 persen.
Menurunnya angka laju pertumbuhan penduduk merupakan salah satu wujud
keberhasilan pembangunan bidang kependudukan yang salah satunya antara lain
adalah program Keluarga Berencana (Pandeglang, 2011).
Untuk memahami Pandeglang baik sebagai kesatuan administrasi maupun
sebagai kesatuan sistem sosial-kulturnya, maka tidak dapat dipisahkan dengan
pemahaman secara utuh mengenai Banten. Untuk itulah Banten selain sebagai
kesatuan administrasi pemerintahan, juga dapat dipandang dari kesatuan sosial-
kultural dan kesatuan ekologi yang membedakannya dengan wilayah lain di
Indonesia. Oleh karenanya ketiga pendekatan sekaligus perlu dilakukan untuk
memahami Banten secara komprehensif yaitu dari pendekatan administratif, sosial-
kultural maupun aspek kewilayahan ekologisnya (dalam hal ini ditinjau dari geografi
dan demografisnya).

Sumber: Bappeda Kabupaten Pandeglang, 2011


Gambar 4.1 Peta Pandeglang

Subkultur Banten dikaitkan dengan aspek geografi dan karakteristik


budayanya memilah Banten menjadi bagian utama yaitu Banten Utara dan Banten
Selatan. Jika ditilik dari bahasa sebagai unsur budaya yang berkembang di wilayah
ini dapat dijelaskan bahwa wilayah utara didominasi oleh bahasa Jawa-Banten,
sementara wilayah selatan banyak menggunakan bahasa Sunda-Banten. Walaupun
tidak terdapat batas demarkasi yang tegas antara kedua zona tersebut, Banten Utara
meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan,
Kabupaten Serang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Sementara Banten Selatan
meliputi dua kabupaten yaitu Lebak dan Pandeglang. Wilayah Utara Banten
didominasi sektor perdagangan, jasa dan perindustrian, dan untuk wilayah Selatan
menggantungkan kehidupaan dari sektor pertanian. Dari kedua pemilahan tersebut
mengakibatkan konsentrasi perekonomian berada di wilayah Utara.
56

Pemilahan kedua wilayah Banten juga memunculkan stereotipe Banten


Selatan sebagai wilayah “hitam”34, kasar dan terbelakang dari berbagai aspek seperti
pendidikan dan kesehatan. Satu kondisi yang sangat berlawanan dimana Banten
Utara menjadi salah satu pusat percepatan industri di Indonesia terutama Kota
Cilegon, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Secara historis, sejak masa kesultanan Banten, pusat pemerintahan dan
pembangunan memang terkonsentrasi di wilayah utara khususnya Serang dan
Cilegon. Sementara itu wilayah selatan cenderung tidak tergarap sehingga dalam
beberapa cerita rakyat diyakini bahwa keberadaan masyarakat Baduy di wilayah
Lebak sebagai bukti pembiaran politik wilayah selatan ini. Namun sebagai
pertahanan pengaruh ke-Islaman Banten dikembangkanlah wilayah Pandeglang
sebagai tameng pertama untuk menangkal “serangan” Baduy. Kondisi inilah yang
menjadikan Pandeglang pada masa kesultanan Banten dijadikan target utama
persebaran Islam khususnya untuk wilayah selatan. Didatangkanlah orang-orang
keturunan langsung sultan ataupun pemuka-pemuka agama Banten untuk
memperkokoh ke-Islaman masyarakat Pandeglang. Kehadiran orang-orang suci ini
dapat ditelusuri dari bertaburannya makom petilasannya di wilayah Pandeglang
seperti Syech Maulana Mansyur di Cikadueun, Syech Sohib di Mengger dan Syech
Maulana Maghribi di Kumalirang. Kondisi ini berbeda dengan perkembangan Islam
di wilayah Lebak yang cenderung tidak tersentuh, kebijakan pengusiran atau
peminggiran masyarakat Baduy ke wilayah pegunungan Kendeng menjadi alasan
pendukungnya.
Kebijakan politik kolonialisme Belanda sangat mempengaruhi pemilahan
konsentrasi Utara-Selatan Banten tersebut. Kondisi infrastruktur pada masa lalu
tidak sebaik sekarang, meskipun saat itu terdapat jalur kereta api sebagai perangkat
pengangkut kepentingan pertambangan emas di Cikotok. Namun seiring dengan
berkurangnya cadangan emas yang ada, dan kemudian semakin ditinggalkan pada
akhirnya hilang pulalah akses menuju wilayah Selatan Banten. Untuk
mempermudah koordinasi diantara Serang, Pandeglang dan Lebak, maka dibuatlah
ibu kota kabupaten yang jaraknya tidak berjauhan dengan Serang, sehingga antar
ketiga ibu kota tersebut jaraknya tidak lebih dari 30 KM. Hal ini mengakibatkan Ibu
Kota Kabupaten Pandeglang dan Lebak berada di pinggir wilayah Utara yang
berbatasan langsung dengan Kabupaten Serang, sementara wilayah terluasnya justru

34
Melekatnya daerah “hitam” untuk Banten Selatan karena pandangan orang luar terhadap fenomena
mistik (supra natural) di wilayah ini yang faktanya untuk wilayah-wilayah tertentu memang masih
berlangsung. Menurut pengamatan peneliti selain karena faktor budaya, kehidupan masyarakat yang
sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sektor agraris juga memupuk ikatan yang kuat
terhadap alam (makro kosmos), sehingga ketergantungan terhadap alam ini memupuk ketergantungan
pada kekuatan yang maha dahsyat. Beberapa desa di Banten Selatan, terutama di daerah-daerah
terpencil masih didominasi kehidupan mistis misalnya untuk kasus Desa Kawoyang di Pandeglang
dimana di desa ini masih kuat peranan elit desa yang berkaitan dengan alam mistis seperti kuncen dan
pawang. Kuncen menjadi tokoh spiritual yang sering kali menjadi tempat bertanya masyarakat
berkaitan dengan hal-hal yang dianggap di luar nalar ataupun rangkaian-rangkaian adat. Sementara
pawang adalah tokoh yang dianggap memiliki kemampuan menaklukan atau menghubungkan
masyarakat dengan kekuasaan supra natural dari satu hewan tertentu. Para pawang dipercaya
memiliki hubungan dengan para raja/ratu hewan seperti pawang ular berarti memiliki hubungan
dengan ratu ular. Dalam pengamatan peneliti sendiri, pelekatan “hitam” tersebut sebenarnya terlalu
berlebihan karena sebenarnya keberadaan tokoh-tokoh spiritual adalah semata fungsinya dalam
menciptakan social order. Pelekatan wilayah hitam untuk Banten Selatan juga disinyalir adanya
beberapa kelompok masyarakat yang tidak memeluk Islam dalam hal ini adalah beberapa kelompok
masyarakat kaolotan di wilayah Lebak terutama suku Baduy atau sering pula disebut Kanekes atau
Rawayan.
57

berada wilayah Selatan dimana bagian terluasnya inilah yang faktanya kurang
“tersentuh” aspek-aspek pembangunan. Saat ini ibu kota Pandeglang cenderung
hanya menjadi kota perlintasan menuju wilayah Selatan Banten. Kondisi-kondisi
inilah yang di era otonomi daerah diantaranya yang menyulut pergerakan
pemekaran wilayah yang dituntut sekelompok masyarakat Selatan Baik baik untuk
Kabupaten Lebak yang dilakukan oleh masyarakat Cilangkahan (Malingping,
Bayah, Wanasalam dan sekitarnya), maupun masyarakat Cibaliung (Cibaliung,
Cimanggu, Sumur, Cigeulis dan sekitarnya) dan Caringin (Labuan, Patia,
Panimbang dan sekitarnya) untuk Kabupaten Pandeglang.
Indikator keterbelakangan wilayah Selatan Banten ini secara jelas dapat
ditelusuri dari label Kabupaten Pandeglang sebagai daerah tertinggal. Selain
keterbelakangan, kemiskinan juga menjadi salah satu masalah yang dimiliki
Kabupaten Pandeglang. Tabel 4.1 menggambarkan tingkat kemiskinan penduduk
Kabupaten Pandeglang dengan persentase kemiskinan tertingginya terjadi pada
tahun 1999-2000 atau tahun-tahun awal era otonomi daerah. Jika dikaitkan dengan
dimensi ekonomi, keterpurukan di awal era otonomi daerah merupakan salah satu
imbas dari krisis multidimensional di penghujung era orde baru. Namun jika
dikaitkan dengan konstelasi politik, maka hal ini dapat dianalisis sebagai bagian tak
terpisahkan dari proses demokratisasi (otonomi daerah) yang berlangsung dalam
tatara lokal. Jika analisis yang kedua yang dimajukan, maka hal ini dapat dimaknai
bahwa terdapat hubungan antara proses demokratisasi dan kemiskinan yang terjadi.

Tabel 4.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Pandeglang


Tahun 1996-2013

Persentase Penduduk Pendapatan


Tahun Penduduk Miskin
Miskin Perkapita (Rp)
1996 111 577 11,9 32 159
1999 180 700 18,7 75 500
2000 198 983 19,8 84 725
2001 178 636 15,6 98 350
2002 157 291 15,1 105 402
2003 166 600 15,4 124 303
2004 151 500 13,8 133 300
2005 153 733 13,9 135 943
2006 177 895 15,8 144 543
2007 176 812 15,6 151 763
2008 165 242 14,5 162 059
2009 138 003 12,0 190 256
2010 127 800 11,1 202 483
2011 117 644 9,8 209 655
2012 109 100 9,3 219 592
2013 121 100 10,25 230 364
Sumber: BPS Kabupaten Pandeglang, 2014

Untuk Kabupaten Pandeglang, pemilahan Utara dan Selatan ini juga


dicirikan oleh kondisi alamnya dimana wilayah Utara didominasi oleh pegunungan
58

dengan ketinggian rata-rata di atas 1.000 M dpl dimana dua diantaranya adalah
gunung berapi aktif yaitu Gunung Karang dan Pulosari, sementara wilayah Selatan
dicirikan oleh wilayah laut. Kekhasan wilayah Selatan yang didominasi laut untuk
ini mempengaruhi unsur-unsur budaya nelayan yang lebih menonjol. Selain itu jalur
laut juga memungkinkan terjadinya proses migrasi masuk ke wilayah Selatan
Pandeglang, sehingga penduduk untuk beberapa kecamatan yang memiliki pesisir
seperti Labuan, Caringin, Panimbang dan Sumur sangat multi etnis dan multi kultur
diantaranya etnis Sunda, Jawa, Jawa Pantura dan Bugis. Penggunaan bahasa sehari-
hari yang digunakan pun mengikuti kekhasan multi kultur tersebut dimana dominasi
bahasanya adalah Sunda dan Jawa Pantura.
Selain kondisi alam pegunungan, Pandeglang juga kaya akan jalur sungai
dan pulau-pulau kecil yang mengitari wilayah utara dan selatannya. Setidaknya
terdapat dua puluh sungai besar yang ada dan belum termasuk sungai-sungai kecil
percabangannya. Sementara itu di wilayah laut juga terdapat pulau-pulau kecil yang
beberapa diantaranya dijadikan konservasi alam (flora dan fauna) seperti Pulau
Panaitan, Peucang dan Handeuleum serta terdapat juga yang dijadikan tempat wisata
seperti Pulau Umang.
Keberadaan etnis Jawa dan Jawa Pantura di wilayah Selatan Pandeglang
tidak hanya disebabkan oleh jalur laut sebagai persebarannya, namun karena
kebijakan kependudukan yang dilakukan oleh pemerintahan masa orde lama. Pada
tahun 1952, pemerintah melakukan kebijakan untuk memindahkan penduduk dari
wilayah-wilayah Pantura ke wilayah Pandeglang Selatan – sekarang menjadi
beberapa kecamatan diantaranya Sukaresmi, Panimbang dan Sobang. Kebijakan
migrasi penduduk ini dilakukan kembali pada tahun 1960-an atau pasca penumpasan
Gerakan 30 S PKI oleh orde baru. Migrasi penduduk yang kedua ini sangat khas
karena selain para penduduk biasa juga diantaranya adalah para penduduk eks PKI
(warga hukuman) dan eks militer. Keberadaan warga eks militer sendiri difungsikan
untuk memantau kegiatan warga eks PKI. Berkat keberadaan warga eks PKI inilah
sebenarnya yang paling berjasa membuka akses jalan darat ke wilayah-wilayah
Selatan Pandeglang dimana pada masa sebelumnya hanya bisa ditempuh melalui
jalur laut. Selain dari kedua gelombang migrasi tersebut, berdatangan pula kelompok
penduduk setelahnya yang sebagian besar karena inisiatif sendiri untuk mencari
penghidupan yang lebih baik. Dengan mengambil kasus di Kecamatan Sobang,
gambaran ketiga gelombang migrasi penduduk dibandingkan dengan keadaan
penduduk saat ini terurai dalam Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Pemilahan Golongan Penduduk Kecamatan Sobang

Jumlah (dalam
No. Golongan Penduduk
perkiraan)
1. Keluarga Migran Tahun 1952 dan generasi selanjutnya 45%
2. Keluarga Migran Tahun 1960-an dan generasi 40%
selanjutnya
3. Keluarga pendatang diluar kedua gelombang migrasi 15%
1952 dan 1960-an
Sumber: Muslim (2014)

Terbukanya akses jalan darat ke wilayah Selatan Pandeglang ini


berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat di wilayah ini.
Bahkan jika dibandingkan dengan dengan pertumbuhan ekonomi wilayah Utara,
59

maka wilayah Selatan jauh lebih berkembang karena sumber daya laut dan
pariwisata menjadi faktor penting tumbuh dan berkembangnya ekonomi di wilayah
ini. Inilah mungkin salah satu pertimbangan utama dari pemerintah pusat untuk
menjadikan wilayah Selatan Pandeglang sebagai salah satu kawasan ekonomi
khusus sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2012
tentang Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung. Tanjung Lesung sendiri adalah
satu wilayah tanjung yang sangat potensial untuk dijadikan kawasan pariwisata
karena memiliki alam pantai dan laut yang sangat eksotis.

Kebijakan Pemerintah Lokal dalam Kehidupan Keagamaan: Antara


Kepentingan Politik dan Keagamaan
Dengan karakteristik daerah yang dominasi kehidupan keagamaannya sangat
kuat, maka kebijakan-kebijakan pemerintahan daerahnya pun mencirikan tipikal
kehidupan kegamaan ini. Dalam menelusuri seberapa jauh pertimbangan keagamaan
menjadi faktor penentu kebijakan dapat dilihat dari regulasi-regulasi berbentuk
peraturan daerah ataupun keputusan-keputusan bupati yang diterbitkan.
Salah satu yang terpenting dari output kebijakan religi ini adalah Peraturan
Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Wajib Belajar
Madrasah Diniyah. Sebagai operasionalisasi dari peraturan daerah ini, bupati
menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Program Wajib Belajar Madrasah Diniyah Awaliyah. Peraturan bupati ini sendiri
adalah revisi dari Peraturan Bupati Nomor 1 Tahun 2007 tentang hal yang sama. Inti
dari peraturan-perundangan lokal ini adalah kewajiban lulus dan memiliki ijazah
Madrasah Diniyah Awaliyah (setingkat sekolah dasar agama Islam) bagi para siswa
yang akan melanjutkan ke tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP dan
sederajatnya).
Tidak hanya pengambilan kebijakan yang bersifat kedaerahan semata,
kebijakan-kebijakan keagamaan yang bernuansakan isu keagamaan secara nasional
pun ditularkan dalam kebijakan lokal secara lebih nyata misalnya Peraturan Bupati
Pandeglang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Larangan Aktivitas Ahmadiyah di
Kabupaten Pandeglang. Lahirnya peraturan bupati ini terutama didasarkan kepada
isu-isu kekerasan yang mewarnai pro-kontra organisasi Ahmadiyah termasuk
diantaranya peristiwa Cikeusik (Cikeusik itu sendiri adalah salah satu wilayah
kecamatan di Kabupaten Pandeglang) yang memakan korban kematian.
Meskipun kadangkala ditumpangi oleh kepentingan politik penguasa lokal
dan pihak-pihak tertentu lainnya. Sensitivitas kepentingan politik itu nampak dalam
salah satu kebijakan Pemerintah Kabupaten Pandeglang yang pernah digulirkan
yaitu Program Uang Santunan Kematian dan Bantuan Pernikahan. Program Uang
Santuan Kematian besarannya adalah satu juta rupiah (Rp 1.000.000,-) per satu jiwa
meninggal. Ada nuansa politik dibalik pemberian uang duka ini, jelasnya adalah
bagaimana unsur politik dapat mengambil hati rakyat melalui program bantuan
sosial. Pada akhirnya program ini pun tidak dilanjutkan karena: pertama, tidak
mendapat simpati rakyat – karena rakyat sudah faham keinginan politik elit dan
kedua, program ini justru menimbulkan ladang subur praktik korupsi.
Praktik korupsi dalam Program Uang Santunan Kematian dapat ditelusuri
dari para aparatur terutama di tingkat desa dan kecamatan yang relatif berlomba-
lomba membuat kematian fiktif, sehingga pada saat itu muncul istilah “uang boeh” –
boeh artinya kafan. Angka kematian meningkat, tetapi tidak riil karena dokumen
pendukungnya fiktif dan kenyataannya tidak ada. Jika kebijaksanaan tersebut tetap
60

diberlakukan, maka birokrasi merugi dalam beberapa hal yaitu ketidaktepatan


sasaran, anggaran terkorupsi dan registrasi kependudukan (kematian) menjadi tidak
terkontrol. Setelah kegagalan program uang duka ini, maka rencana pemberian
bantuan pernikahan pun tidak dilaksanakan.
Kebijakan-kebijakan yang sifatnya tidak tertulis pun mewarnai kehidupan
birokrasi yang religius semisal adanya instruksi kepada segenap masyarakat untuk
mendirikan tugu, gapura atau bangunan lainnya dalam bentuk yang menyerupai
kubah masjid. Hal inilah yang menyebabkan hampir di setiap persimpangan atau
gerbang komplek perumahan ditemui bangunan-bangunan kubah masjid.
Dalam dunia pendidikan, Instruksi Bupati Pandeglang juga mengarahkan
kepada pembentukan nilai-nilai keagamaan secara dini yaitu berkaitan dengan
pemisahan kelas murid laki-laki dan perempuan. Sehingga terdapat kelas-kelas
tersebut dipilah berdasarkan jenis kelaminnya yang dimaksudkan untuk menekan
persinggungan dan hubungan remaja yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.
Pada implementasi praktisnya, kebijakan ini sangat memberatkan pihak sekolah
terlebih untuk sekolah kejuruan karena tidak jarang terjadi ketimpangan rasio antara
siswa laki-laki dan perempuan, sehingga biaya operasional yang ditanggung akan
relatif membengkak terutama untuk kelas-kelas dengan jumlah siswa yang relatif
kecil.

Struktur Kekuasaan Berbasis Pesantren


Urusan dan masalah keagamaan adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan
dalam perikehidupan sosial masyarakat Pandeglang. Oleh karena keterikatan dengan
agama ini, maka tokoh agama memiliki peranan yang sangat signifikan dalam
pengambilan keputusan. Karena agama menjadi pokok kehidupan, maka para ulama
pun menjadi sumber kekuasaan di bidang-bidang lainnya terlebih masalah ritual adat
yang pelaksanaannya melekat dengan urusan keagamaan.
Harapan keberkahan dari seorang kyai misalnya dapat ditelusuri ketika
seorang bayi biasanya ditempelkan ciduh lak-lakan (ludah yang berasal dari
tenggorokan paling dalam) dengan harapan bayi tersebut menjadi anak soleh. Begitu
tingginya penghormatan kepada seorang kyai, sehingga hal yang dipandang tidak
lumrah pun justru menjadi pengharapan masyarakat. Hal ini pula yang terjadi dalam
hubungan antara kyai dan santri atau secara umum hubungan-hubungan personal
yang ada di lingkungan pesantren.
Dalam hal ini terdapat dua prinsip utama yang mendasari hubungan dalam
pesantren yaitu harapan dan keberkahan (harapan akan keberkahan). Tentunya
harapan disini berasal dari para santri dengan memberikan takjim dan penghormatan
setingi-tingginya kepada kyai semata dalam rangka memperoleh keberkahan. Oleh
karenanya terdapat keyakinan yang mendalam bahwa keberkahan dari kyai akan
diperoleh hanya jika kyai tersebut berkenan. Perkenan kyai itu sendiri tentunya
diberikan kepada santri terpilih yang dekat secara personal dan santri yang menurut
pendapatnya dapat dipercaya memegang amanah (dapat dipandang sebagai
keberkahan) yang akan diberikannya.
Pemikiran inilah yang mendorong beberapa santri selalu mendampingi kyai
dan melayani apapun kebutuhan kyai semisal membawakan kitab-kitabnya,
mengiringi kyai kemanapun bepergiannya, membawakan alas kaki, makanan atau
apapun properti milik kyai dan lain sebagainya. Secara umum, terdapat semacam
perlombaan para santri dalam melakukan pendekatan-pendekatan personal kepada
kyai. Perlakuan yang sangat tinggi kepada kyai ini dapat dianalogikan layaknya
hubungan antara tuan (master) dan pelayannya (servant). Hal ini pulalah yang
61

mendasari penegasan hubungan antara guru dan murid pada lingkungan pesantren
lebih dalam daripada sekedar pentransferan ilmu pengetahuan seperti halnya dalam
sekolah modern.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hubungan yang terbangun antara
kyai dan santri diibaratkan sebagai hubungan tuan dan pelayannya. Gambaran ini
jelas mengindikasikan hubungan dominasi yang kuat dari kyai terhadap santri. Santri
terhegemoni secara kuat dalam kuasa kyai berdasarkan superioritas kuasa
pengetahuannya. Meskipun digambarkan layaknya hubungan tuan dan pelayannya,
namun bentuk pengabdian santri tidaklah identik dengan perbudakan, tetapi hal ini
terjadi karena takjim (penghormatan yang sangat tinggi) dari seorang murid terhadap
gurunya.
Hegemoni santri oleh kyai ini tidak diciptakan oleh kyai, tetapi justru santri
yang membangunnya. Hal ini jelas berbeda dengan pola-pola hegemoni negara
sebagaimana digambarkan Gramsci atau hubungan patron-klien yang dijelaskan
Scott. Jika dalam hubungan negara dan rakyatnya, hegemoni tersebut dipelihara oleh
negara untuk melanggengkan kekuasaannya, sementara dalam hubungan kyai dan
santri yang melanggengkannya justru dari kelas subordinat (santri). Hal ini juga
berbeda dengan gambaran hubungan kuasa tengkulak terhadap para petani di
pedesaan yang relatif bersifat patron-klien dimana para tengkulaklah yang
memelihara hubungannya sehingga para petani merasa terlindungi dan tergantung
sangat kuat atas tengkulak. Untuk itulah memahami hubungan kyai dan santri tidak
hanya bisa dilihat dari konsep hegemoni Gramsci atau patron-klien Scott saja, tetapi
perlu secara lebih dalam dengan menggali balutan aspek-aspek budaya pesantren.
Berdasarkan proses pembentukan hubungannya pun berbeda dimana dalam
hubungan patron-klien pihak tengkulak yang mendatangi petani, atau negara yang
berinisiatif dalam hegemoni negara-rakyat, sementara dalam hubungan kyai dan
santri para santrilah yang awalnya mendatangi kyai dengan tujuan menuntut ilmu.
Dari aspek ini dapat dipandang bahwa yang membutuhkan adalah pihak santri,
bukan kyai. Kondisi ini jelas berbeda dengan konsep hegemoni negara-rakyat atau
dalam hubungan patronase tengkulak-petani.
Alasan pemeliharaan hubungan hegemoni oleh santri sekali lagi didasarkan
kepada harapan akan keberkahan35. Harapan keberkahan ini setidaknya nampak dari
keyakinan para santri bahwa “ciduhna kyai eta barokah keur santri” (ludahnya kyai
itu adalah berkah untuk santri). Namun sebenarnya tidak semua santri hanya
mengejar keberkahan yang diberikan oleh kyai. Dalam hal ini terdapat dua tipikal
santri yaitu pertama yang hanya menuntut ilmu keagamaan dan yang kedua adalah
santri yang tidak hanya mengkonsentrasikan dirinya dalam menuntut ilmu tetapi
juga mengejar keberkahan yang diberikan oleh kyai. Dalam kondisi tertentu,
berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, terdapat santri yang justru
hanya mengejar keberkahan kyai, sehingga aspek penguasaan ilmunya sebenarnya
sangat nihil.
Peristilahan khadam bagi santri yang dapat diartikan sebagai pelayan,
tameng, penjaga, atau pengawal santri mempertegas posisi subordinat santri dalam
hubungannya dengan kyai. Pada dasarnya peran penghambaan santri sebagai

35
Keberkahan dalam hal ini tidak hanya dipandang sebagai ganjaran ektrinsik belaka berbentuk
materi namun juga berwujud ganjaran intrinsic sebagaimana konsep pertukran Blau (Poloma,
1990:)82)
62

khadam-nya kyai ini adalah dengan tujuan untuk mencari keberkahan yang
diberikan oleh kyai selain sebagai bentuk penghargaan dari murid kepada gurunya.
Perlu dijelaskan disini tentang konsep keberkahan yang dimaksud oleh
peneliti. Keberkahan yang diterima oleh santri dari kyai berwujud penguasaan
keilmuan yang menggiringnya suatu saat nanti menjadi ahli agama atau ahli hikmah.
Perwujudan menjadi ahli agama (kyai besar) sangat erat kaitannya dengan keridhoan
dan keikhlasan kyai kepada santri tertentu yang dipandangnya dapat meneruskan
keilmuan agamanya. Dalam hal ini kyai sangat memahami karakter santri yang akan
dipilih menjadi penggantinya, sehingga dalam banyak kasus santri yang terpilih ini
biasanya dijadikan menantu kyai. Sementara itu perwujudan menjadi ahli hikmah
erat kaitannya dengan keridhoan kyai memberikan amalan-amalan (berbentuk
wiridan atau hizib) yang mengarahkan santrinya memiliki kemampuan supranatural
tertentu dimana suatu saat nanti membentuknya menjadi kyai hikmah.
Hubungan guru dan murid dalam kekhasan kehidupan pesantren ini membuat
struktur kekuasaan pesantren memiliki karakteristik spesifik yang berdasar kepada
hubungan tersebut. Kyai dalam hal ini sebagai pimpinan tertingginya menempati
struktur paling tinggi, bahkan menjadi pusat kekuasaan pengambilan keputusan
dalam hal apa saja. Pengambilan keputusan itu sendiri meskipun sering dibicarakan
secara musyawarah, namun pada prinsipnya kendali kekuasaan berada pada
keputusan komando dari kyai. Mengingat harapan akan keberkahan sebagaimana
diuraikan sebelumnya, maka keputusan satu komando ini berjalan secara efektif dan
efisien. Berdasarkan pengamatan penelitian, tidak ditemukan dalam pesantren
salafiyah yang memiliki lebih dari satu orang kyai. Oleh karena pucuk pimpinan
pesantren selalu berada pada satu orang kyai.
Selain kyai, struktur kekuasaan pesantren juga menempatkan istri kyai (nyai
atau nyi) pada posisi yang strategis. Walaupun tidak banyak terlibat dalam
pengambilan keputusan, namun petunjuk, arahan atau perintahnya menjadi rujukan
para santri terlebih para santri perempuan. Sering pula para santri perempuan
tersebut diperintahkannya untuk membantu urusan rumah tangga keluarga kyai
seperti memasak dan mengasuh anak. Para santripun menempatkan penghargaan
yang tinggi terhadap istri kyai, meskipun penghargaannya tidak setinggi terhadap
kyai itu sendiri.
Diantara para santri itu sendiri juga diangkat seorang pemimpin yang disebut
lurah kobong. Lurah kobong ini biasanya diangkat dari santri yang paling senior,
tetapi kemampuan penguasaan keilmuan keagamaan juga menjadi pertimbangan
utamanya. Pertimbangan kemampuan keagamaan menjadi penting karena ia juga
dilibatkan dalam pola pengajaran pesantren yaitu dalam memberikan pengarahan
dan pengajaran terutama bagi santri-santri muda.
Seorang lurah kobong memiliki kekuasaan yang besar karena ia menjadi
kepanjangan tangan kyai dalam menanamkan kedisiplinan para santri. Ketertiban
santri dalam beribadah, kebersihan lingkungan pesantren, penegakkan aturan-aturan
pesantren dan lain-lain yang berkaitan dengan kehidupan di kobong36 menjadi
tanggung jawab pengurusan lurah kobong. Karena posisinya yang cukup strategis,
para santri memberikan penghargaan yang cukup tinggi terhadap lurah kobong ini,
setiap perintah dan komandonya cukup efektif terlebih jika itu mengatasnamakan
kyai.

36
Kobong adalah sebutan lokal untuk bangunan pesantren salafiyah yang biasanya berbentuk
memanjang dengan jendela yang kecil.
63

Gambar 4.2 Struktur Kekuasaan Pesantren Salafiyah di Pandeglang

Berdasarkan uraian sebelumnya sebagaiamana digambarkan dalam Gambar


4.2, maka dapat dipahami bahwa dalam lingkungan pesantren salafiyah di
Pandeglang terdapat tiga pelaku penting dalam struktur kekuasaan, yang secara
berjenjang adalah kyai, kemudian istri kyai dan lurah kobong. Berdasarkan
pengamatan peneliti, anak seorang kyai juga dapat menempati posisi strategis dalam
struktur kekuasaan jika anak tersebut dianggap sudah mumpuni keilmuannya. Pada
posisi dimana anak kyai masih menjadi santri, maka posisinya tidak lebih
sebagaimana santri lainnya.
Kehidupan pesantren yang bergantung kepada keputusan kyai menyebabkan
kyai adalah pusat kekuasaannya. Untuk itulah, orientasi politik santri pada
prinsipnya adalah orientasi politik kyainya. Dengan demikian, untuk menguasai
politik santri maka kendali utamanya berada pada kuasa kyai.
Dengan memahami kondisi orientasi politik santri yang sangat ditentukan
oleh faktor kyai, sebagian kalangan politisi memanfaatkan kondisi ini dengan
menggandeng kyai sebagai target vote getter. Harapan terbesar dari para politisi
yang melakukan afiliasi politik dengan para kyai ini tentunya adalah target suara
politik santri, pada satu sisi juga sebenarnya adalah target massa lainnya mengingat
pengaruh kyai tidak hanya untuk para santri, tetapi juga secara umum untuk
kalangan masyarakat lainnya. Hal inilah pulalah yang dilakukan pemerintahan Orde
Baru dikala membentuk Satkar Ulama sebagai underbouw Golkar. Kondisi ini
sangat tepat dikatakan sebagai upaya-upaya politisisasi santri, yaitu suatu kondisi
yang menciptakan santri sebagai target suara kelompok tertentu.
Seiring dengan dibentuknya Satkar Ulama oleh Golkar tersebut, sebenarnya
yang diikat tidak hanya ulamanya, namun target massa dibelakangnya diantaranya
yang paling terkena dampak adalah para santri. Sehingga pada saat itu para ulama
yang tadinya relatif berbendera hijau – Partai Persatuan Pembangunan sebagai satu-
satunya partai politik bersendikan keagamaan pada masa itu, akhirnya berubah
haluannya ke Golkar.
Politisisasi santri ternyata tidak berhenti pada tataran target suara, dalam
beberapa kasus juga terdapat cara-cara melibatkan santri pada praktek-praktek
politik secara langsung seperti melibatkannya dalam aktivitas-aktivitas demonstrasi.
Fenomena demonstrasi santri yang paling terkini adalah ketika santri terjun ke jalan
64

untuk melakukan penolakkan pendirian perusahaan makanan PT. Mayora di wilayah


kecamatan Cadasari-Pandeglang. Penolakkan tersebut dilakukan oleh para santri
karena kehadiran PT. Mayora dianggap akan banyak merugikan masyarakat
terutama sumber air yang akan banyak tersedot dalam proses industri makanan
perusahaan ini. Berdasarkan pengamatan peneliti, isu sumber air tersebut bukanlah
isu utamanya karena perusahaan ini tidak akan menggunakan sumber air penduduk
atau serapannya dan telah lulus uji perizinan lingkungan dari pihak ketata-ruangan
(Dinas Tata Ruang dan Kebersihan Kabupaten Pandeglang). Isu pentingnya justru
adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk menggulingkan
kekuasaan kepala desa karena dianggap tidak populis dan lebih banyak
mementingkan kepentingan pribadi terutama dalam kaitannya dengan pendirian
perusahaan ini.
Pada proses-proses legislasi daerah juga banyak melibatkan santri salah satu
yang tidak luput dari pantauan peneliti adalah ketika akan dirumuskannya Perda
Wajib Diniyah dimana gerakan-gerakan massanya didominasi oleh kelompok santri,
meskipun penggerak utamanya adalah kelompok dalam jaringan pendidikan ke-
madrasah-an.

Agama dan Adat Istiadat: Antara Loyalitas Religi, Kearifan Tradisi dan
Sinkretis
Adanya keyakinan melekat bagi sebagahagian kelompok masyarakat di
pedesaan Pandeglang bahwa jika tidak mengikuti atau menyumbangkan sesuatu
untuk prosesi keagamaan atau adat; maka sejumlah bencana akan menimpanya,
menjadikan masyrakat seolah berlomba untuk menyukseskan hajatan agama atau
adat tersebut. Hal ini mereka lakukan meskipun dengan berhutang, menggadaikan
barang atau bahkan menjual aset properti keluarga. Sehingga tidak aneh misalnya
jika dalam acara muludan sering dijumpai masyarakat yang menggadaikan atau
bahkan menjual harta kekayaan keluarganya untuk bisa mengikuti prosesi
seremonial ini. Perlakuan terhadap prosesi agama maupun adat itu dilakukan sebagai
wujud kecintaan terhadapagama dan adat.
Bagi masyarakat pedesaan di Pandeglang, agama dan adat adalah satu
kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal inilah yang menjadikan acara-acara penting
dalam agama disatupadukan dengan prosesi adat semisal acara ngabubur suro yang
merupakan peringatan agama terhadap kejadian banjir bandang pada masa Nabi Nuh
(salah satu nabi dalam agama Islam) dirangkaikan dengan keyakinan bersedekah
melalui makanan bubur, belum lagi acara-acara seperti ngupat-ngaleupeut (membuat
sejenis makanan ketupat), mapais-masung (membuat kue lokal pais dan pasung).
Prosesi keagamaan yang dibalut dengan rangkaian penyediaan makanan tradisional
dimaknai sebagai wujud syukur atas limpahan berkah yang telah diberikan oleh
Yang Mahakuasa.
Prosesi kegamaan tersebut pada prinsipnya adalah cara mengingat kejadian-
kejadian penting dalam agama Islam, sehingga tradisi penyediaan makanan
tradisional dimaknai sebagai cara atau upaya untuk mengikat tali kekerabatan
(silaturahmi) antara keluarga atau diantara kelompok masyarakat dengan cara
bertukar makanan. Sehingga sudah menjadi kebiasaan jika antara anak dan orang tua
atau antara mertua dan menantu atau diantara sesama keluarga saling bertukar
mengirimkan makanan demi menjalin ikatan kekerabatan.
Kegiatan-kegiatan tersebut pada prinsipnya adalah bagaimana upaya
masyarakat untuk memperkuat dan melestarikan ajaran-ajaran Islam dalam
kehidupan yang lebih nyata sekaligus bagian dari proses pendalaman tradisi kepada
65

generasi penerusnya. Namun demikian pada beberapa prosesi terutama prosesi adat,
nampak pula hal-hal yang mencirikan bentuk-bentu sinkretisme. Hal ini misalnya
adanya sasajen (sesajian) yang dipercaya akan memberikan berkah pada beberapa
acara baik acara pribadi maupun acara masyarakat tertentu seperti sedekah bumi.
Kegiatan semisal membakar kemenyan pun sering dilakukan seperti dalam prosesi
keceran. Pembakaran kemenyan ini dipercaya akan menghadirkan roh-roh orang
besar dan disucikan seperti untuk kalangan pegiat Cimande (jawara beraliran
Cimande) misalnya Abah Khaer, Abah Main ataupun Abah Ranggawulung.
Percampuran antara religi dan tradisi juga nampak dari beberapa ritual
keagamaan semacam nadom dan maca syech. Nadom adalah cerita-cerita ke-Islaman
yang didominasi oleh cerita nabi dan rasul. Nadom ini dibacakan selama satu malam
pada acara-acara hajatan masyarakat (acara pernikahan atau khitanan) atau acara
keagamaan. Sementara maca syech adalah ritual keagamaan menceritakan
kehidupan perjalanan Syech Abdul Qodir Jaelani, seorang tokoh sufi Islam yang
sangat disucikan oleh kalangan masyarakat Islam pedesaan Banten. Kedua ritual ini
dibacakan dengan menggunakan sejenis irama lagu tradisional yang disebut pupuh37.
Masyarakat meyakini bahwa dengan memperdengarkan kedua ritual ini, maka roh-
roh orang suci (nabi, para wali dan terutama Syech Abdul Qodir Jaelani) akan
memberkahinya.
Keberadaan petilasan-petilasan yang mengindikasikan sinkretisme juga
nampak pada peristilahan-peristilahanya seperti petilasan yang dianggap
peninggalan salah satu penyebar Islam di Pandeglang yaitu Sanghyang Sirah dan
Sanghyang Dampal. Berdasarkan kedua istilah tersebut nampak jelas masih adanya
pengaruh Hinduisme, namun demikian sebagian masyarakat meyakininya sebagai
penyebar Islam terutama untuk wilayah Banten Selatan.
Keyakinan-keyakinan dalam kehidupan keseharian masyarakat Pandeglang
juga masih didominasi oleh pengaruh Hindu-Budha, animisme dan dinamisme
semisal konsep budaya pamali38 dan sandekala39. Namun demikian beberapa ritual
yang dipandang jauh dari nilai-nilai ke-Islaman, seiring dengan semakin
menguatnya gerakan-gerakan pemurnian Islam secara global termasuk di Banten
utamanya di Pandeglang, menggerus pula tradisi-tradisi yang dipandang
“mengotori” nilai-nilai Islam. Salah satu ritual tradisional itu misalnya beluk40. Di
sisi lain, semakin modernnya masyarakat juga dipandang bagian yang penting

37
Pupuh adalah sejenis irama lagu dalam seni karawitan yang dikenal dalam adat Sunda ataupun
Jawa. Jenis pupuh diantaranya seperti sinom, kinanti, asmarandana dan dangdanggula. Setiap bagian
dalam nadom ataupun maca syech terdapat aturan untuk membacanya dengan jenis-jenis pupuh
tersebut.
38
Pamali adalah sejenis larangan-larangan dalam tradisi lokal seperti dilarang memakan jenis-jenis
atau bagian-bagian tertentu dari binatang seperti ikan Bogo (sejenis ikan Gabus) atau dilarang
memakan bagian belakang ayam untuk laki-laki yang belum menikah. Budaya pamali dituturkan
biasanya dengan tanpa alasan-alasan yang mendasarinya, namun diyakini masyarakat jika
melanggarnya maka akan terkena musibah tertentu sebagai bagian dari sanksi pelanggarannya.
39
Sandekala adalah larangan melakukan sesuatu pada kondisi, tempat atau waktu-waktu tertentu
misalnya bersiul di hutan ataupun melakukan kegiatan tepat jam 12 siang yang disebut waktu
tangange.
40
Beluk adalah lantunan kalimat dalam bahasa Sunda yang dulunya dipercaya memanggil roh-roh
nenek moyang. Beluk ini sering juga dilakukan pada malam-malam suci Islam seperti Idul Fitri dan
Idul Adha. Oleh karena kekhawatiran dari kalangan ulama terhadap kesempurnaan ajaran Islam,
maka lambat-laun beluk ini semakin terpinggirkan.
66

menggusur tradisi-tradisi lokal ini. Suatu kondisi yang sebenarnya berlangsung di


hampir seluruh masyarakat di Indonesia.

Peran Sosial-Politik Ulama dan Jawara: Pergeseran dari Pejabat


Pemerintahan menjadi Vote Getter Politik dan dari Pengawal menjadi Pejabat
Politik
Pada masa lalu, jawara yang memberikan pelajaran mengaji (jawara sebagai
guru ngaji) sangatlah diminati oleh terutama kaum muda karena selain mendapatkan
bekal ilmu agama juga mendapatkan kemampuan bela diri. Dulu, setiap malam
Jum’at kaum muda dan tua bersama-sama melakukan keceran, peureuhan dan
ulinan41 dan kegiatan pelatihan bela diri lainnya, kemudian di malam Minggunya
biasa dilakukan khusus untuk kegiatan ulinan (permainan jurus). Saat ini tidak
banyak guru ngaji yang juga memberikan pelajaran bela diri. Sehingga tradisi lokal
ini dari waktu ke waktu semakin terpinggirkan, meskipun untuk bulan Maulid (bulan
penanggalan Islam) kegiatan ini menunjukkan aktivitas yang jauh lebih semarak.
Dalam bagian lain kondisi ini berpengaruh pula terhadap peran dan kedudukan
jawara di masyarakat. Ini adalah gambaran kecil dari pergeseran yang terjadi dalam
peran sosial jawara berdasarkan pengamatan peneliti. Pergeseran peran tersebut
tersaji dalam Tabel 4.3.
Berdasarkan Tabel 4.3 dijelaskan bahwa pada Masa Kesultanan Banten,
ulama sangat berperan besar dalam pemerintahan lokal karena bertindak juga
sebagai pemimpin pemerintahan, sementara jawara pengawalnya. Kondisinya
berubah ketika memasuki masa penjajahan seiring dengan dihancurkannya fungsi-
fungsi pemerintahan kesultanan yang menggeserkan pula peranan ulama. Ulama
kemudian menggeserkan peranannya ke pedesaan yang juga diikuti oleh jawara
untuk mengisi ruang-ruang kepemimpinan pedesaan dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan.
Pada masa awal kemerdekaan, kesempatan untuk memasuki kembali arena
pemerintahan lokal terbuka lebar karena sisa-sisa simbol pemerintahan kolonial
(para pejabat pemerintahan bentukan kolonial) tidak mendapat tempat di hati rakyat.
Pilihan rakyat jatuh kepada para ulama sebagai tokoh yang dianggap mampu
menempati posisi pemerintahan di masa vacuum of power. Pada masa ini jawara
memerankan diri sebagai tameng pejuang pelindung kemerdekaan yang untuk itu
semua diperkuat dengan keahlian ulama pula. Sehingga jalinan ulama-jawara masih
sangat kuat karena ikatan untuk mempertahankan kemerdekaan. Secara umum masa
awal kemerdekaan hingga masa orde lama secara keseluruhan memberikan peran
yang cukup penting bagi ulama dalam proses pemerintahan. Hanya saja seiring
dengan munculnya pejabat-pejabat pemerintahan yang memiliki kemampuan teknis
pemerintahan di sisi lain dan ketidakmampuan ulama di sisi lainnya menjadikan
kaum ulama mulai tersisihkan sehingga secara lambat-laun kondisi ini pada akhirnya
mengembalikan fungsi utama ulama sebagai pelaksana syiar/dakwah.

41
Peureuhan adalah semacam ujian memperkuat ketahanan fisik dengan cara diurut dan dipukul baik
dengan tangan kosong maupun alat keras lainnya (biasanya dengan menggunakan batang tebu) oleh
guru silat atau murid senior. Sementara ulinan adalah latihan untuk memperdalam permainan jurus.
Kegiatan-kegiatan pelatihan bela diri tersebut banyak dilakukan di malam Jum’at dan malam
Minggu, sementara untuk malam Sabtu adalah malam larangan melakukan latihan bela diri sekalipun
hanya ulinan.
67

Tabel 4.3 Pergeseran Peran Sosial-Politik Ulama dan Jawara


Periodisasi Peran Sosial-Politik
No.
Pemerintahan Ulama Jawara
1. Kesultanan - Pejabat pemerintahan - Pengawal para ulama
Banten - Penasehat agama (kadi)
- Pelaksana syiar/dakwah
2. Kolonialisme - Aktor utama gerakan - Pengawal gerakan
Belanda perlawanan perlawanan
- Suksesor kepemimpinan - Pejabat pemerintahan desa
elit desa (sebagai jaro)
- Pelaksana syiar/dakwah - Bandit sosial42
3. Awal - Pejabat pemerintahan - Guru ngaji
Kemerdekaan - Pejabat militer - Guru silat
- Perekat (unsur pemersatu) - Ahli pengobatan
negara kesatuan RI tradisional
- Pimpinan pejuang pembela - Laskar pejuang pembela
kemerdekaan kemerdekaan
- Pelaksana syiar/dakwah
- Guru supranatural
4. Orde Baru - Vote getter partai - Guru ngaji
politik/pemerintah - Guru silat
- Pelaksana syiar/dakwah - Ahli pengobatan
- Guru supranatural tradisional
- Vote getter politik
pemerintah
5. Era Otonomi - Vote getter partai politik - Guru silat
Daerah - Pelaksana syiar/dakwah - Ahli pengobatan
- Guru supranatural tradisional
- Vote getter partai politik
- Political broker
- Economic broker
- Pejabat politik
Sumber: Kartodirdjo (1984), Tihami (1992), Nasution (1994), Suharto (2001),
Hamid (2010), Ichwan (2012) dan pengamatan penelitian.

Jalinan ulama dan jawara sebagai guru dan murid atau tuan dan pengawalnya
mulai berubah karena intervensi politik pada masa orde baru. Kebijakan
pemerintahan pada saat itu untuk menyeragamkan kelompok-kelompok sosial dalam
format politik korporatis yang dibalut strategi militer dan kekerasan menyebabkan
terpasungnya orientasi politik. Begitu pula halnya yang terjadi dengan ulama dan
jawara yang diorientasikan dalam satu wadah Satkar Ulama untuk kaum ulama dan
Satkar Jawara untuk para jawara. Meskipun peran sosialnya tidak jauh berbeda
dengan pada masa orde lama, ulama dan jawara pada masa ini cenderung digunakan
pemerintah sebagai alat politik dalam hal ini sebagai vote getter belaka. Di lain hal,

42
Istilah ini semata merupakan upaya derogasi jawara oleh Belanda, namun faktanya kondisi inilah
yang mengawali konseptualisasi jawara sebagai pelaku tindakan negatif yang selama ini menjadi
terkonstruksi dalam masyarakat.
68

di rangkulnya jawara oleh pemerintah ternyata menjadi pilar awal dominasi jawara
dalam politik lokal. Hal ini terjadi karena untuk merangkul jawara, pemerintah
memberikan kesempatan kepada kaum jawara untuk exist dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi dan pembangunan melalui diserahkannya berbagai macam proyek
pembangunan infrastruktur yang sangat marak pada masa itu. Hal ini semakin
memupuk peran politik jawara karena ikatan ekonomi, politik dan pemerintahan
sangat erat. Sementara itu, meskipun dirangkul pemerintah, tetapi hanya difungsikan
sebagai alat politik saja karena tidak mungkin melibatkan ulama secara aktif dalam
kegiatan ekonomi dengan cara memberikannya peluang-peluang proyek
pembangunan.
Pada masa era otonomi daerah, jalan untuk mendominasi politik lokal bagi
jawara semakin terbuka lebar karena seiring menguatnya nilai-nilai demokrasi
(lokal) menguat pula peran aktor-aktor didalamnya. Jawara yang sudah memiliki
kekuatan ekonomi semakin mudah menguasai sektor sosial-politik secara
keseluruhan. Semakin beragam pulalah peran sosial-politik jawara dari perannya
sebagai guru silat untuk jawara di level pedesaan sampai dengan pejabat politik di
level lokal dan nasional. Sementara itu, ulama tetap menjalankan perannya sebagai
pelaksana syiar/dakwah (kyai bale rombeng) dan sebagian ikut terlibat dalam politik
(kyai politik) sebagai vote getter. Tetapi perlu dicatat bahwa meskipun keterlibatan
politik ulama relatif kecil jika dibandingkan dengan jawara, namun pada prinsipnya
proses pengambilan keputusan dan kebijakan-kebijakan di tingkat lokal sangat
bergantung kepada ulama terlebih hal-hal yang sensitif terhadap masalah religi dan
tradisi. Oleh karenanya secara struktur kekuasaan, meskipun peran politik ulama
dalam pengertian keterlibatannya secara aktif dalam politik lokal sangat minimalis
tetapi pengaruh sosial-politiknya masih mendominasi. Dengan demikian secara
struktur kekuasaan, posisi ulama (yang dalam penelitian ini peneliti posisikan dalam
kelas atas) tetap berada di atas jawara (sebagai kelas menengah) dengan catatan
bahwa jawara yang bisa bertransformasi menjadi pejabat politik dapat
diklasifikasikan sebagai kelas atas (kelas penguasa).
Pergeseran peran sosial-politik ulama dan jawara juga erat kaitannya dengan
dinamika pelaku penguasa yang terjadi dari setiap periodenya sehingga terdapat
semacam suksesi kepemimpinan politik diantara setiap periode pemerintahan.
Berdasarkan pertimbangan pergantian pelaku penguasa tersebut dikaitkan dengan
struktur kekuasaan yang ada dapat digambarkan dinamikanya sesuai Tabel 4.4.
Dalam Tabel 4.4 nampak bahwa terjadi pergantian posisi puncak struktur
kekuasaan (penguasa) yang dimulai oleh para tokoh ulama pada Masa Kesultanan
Banten. Pada masa ini, dalam konsep ulama-umaro tentunya kaum ulama
menempati struktur tertinggi karena menguasai pengambilan kebijakan di tingkat
kesultanan yang didukung oleh para bangsawan. Pada Masa Kolonialisme Belanda,
seiring dengan melemahnya kekuasaan kesultanan maka melemah pulalah pengaruh
kaum ulama yang pada akhirnya terpinggirkan ke pedesaan. Sementara puncak
struktur kekuasaan diambil oleh kaum kolonialis melalui para aparaturnya
(birokrasi). Pada Masa Awal Kemerdekaan, dengan tumbangnya kekuasaan
kolonialis memberikan kesempatan bagi kaum ulama untuk mereaktualisasikan
kepemimpinan politiknya sehingga tampillah para tokoh ulama menjadi tokoh
pemerintahan pada masa itu. Di Era Orde Baru dengan adanya obesitas birokrasi
sebagai wujud kekuasaan negara yang “berlebih-lebihan” menjadikan melemahnya
kelembagaan sosial termasuk kelembagaan ulama dan jawara. Strategi politik
korporatisasi Orde Baru pada saat itu semakin memperparah keadaan ini, sehingga
di satu sisi birokrasi semakin tidak tertandingi (dengan dukungan Golkar), di sisi
69

lain ulama semakin terpinggirkan secara politik. Kondisi ini berubah setelah
memasuki Era Otonomi Daerah yang memberikan celah meningkatnya fungsi
kelembagaan sosial termasuk dalam hal ini peran ulama. Hal ini menyebabkan
ulama kembali menempati posisi struktur kekuasaan namun karena tidak didukung
oleh kemampuan manajerial dan administrasi pemerintahan kontemporer, sehingga
berbeda dengan pada Masa Kesultanan Banten, ulama lebih memposisikan diri
sebagai penguasa tradisi yang mengontrol jalannya pemerintahan melalui power by
influence (kekuasaan sosial) yang dimilikinya.

Tabel 4.4 Dinamika Penguasa dalam Struktur Masyarakat Pedesaan Pandeglang

Periodisasi Pemerintahan
Kelas Kesultanan Kolonialisme Awal Era Otonomi
Orde Baru Keterangan
Banten Belanda Kemerdekaan Daerah
Kelas Tokoh Ulama Birokrasi Tokoh Ulama Birokrasi Tokoh Ulama Proses penguasaan
Penguasa dan dan Birokrasi (Negara) dan oleh satu kelas yang
Bangsawan Bupati berlansung tidak
Kesultanan selamanya berjalan
berdasarkan prinsip
hegemoni tetapi juga
pada satu masa
berlangsung pula
dominasi-koersi
seperti yang terjadi
pada Masa
Kolonialisme.
Kelas Jawara dan Ulama, Jawara dan Jaro Ulama, Birokrasi, Kelas Menengah pada
Menengah Jaro Jawara dan Jaro Jawara dan Kepala Desa Era Otonomi Daerah
Kepala Desa dan Jawara secara lebih lengkap:
Birokrasi Lokal,
Politisi Lokal, Tokoh
Jawara, Kepala Desa,
Ustadz, Jawara
Broker, Birokrasi
Desa dan Elit Desa
(juragan petani,
pengusaha dan tokoh
pemuda)
Kelas Petani Petani Petani Petani Petani
Bawah Penggarap Penggarap dan Penggarap dan Penggarap Penggarap
dan Buruh Kasar Buruh Kasar dan dan
Buruh Kasar Buruh Kasar Buruh Kasar
Sumber: Data berbagai sumber yang diolah peneliti.

Pergeseran yang terjadi dalam peran sosial politik ulama dan jawara dapat
dimaknai sebagai berikut: pertama, kebijakan politik negara sangat berpengaruh
terhadap peran dan aktivitas sosial politik ulama dan jawara. Artinya adalah bahwa
terdapat beberapa kebijakan yang langsung atau tidak langsung ditujukan untuk
mempersempit atau memperluas gerakan ulama dan jawara. Misalnya adalah
kebijakan yang dilakukan kolonialis Belanda dengan mempolitisir jawara sebagai
bandit sosial jelas merupakan langkah pensterotipan kaum jawara yang pada
akhirnya menurunkan derajat sosialnya. Begitu pula halnya dengan yang terjadi pada
masa orde baru dimana pembentukan satkar ulama dan jawara tidak lebih dari upaya
dari pemerintah untuk mengontrol aktivitasnya. Kedua, hal ini mengindikasikan pula
70

bahwa terdapat kepentingan politik (political interest) negara untuk “mengarahkan”


peran sosial-politik ulama secara langsung.
Untuk menilik pergeseran peran ulama dan jawara sebagaimana telah
diuraikan di atas, dapat pula ditelusuri dari sumber-sumber dan saluran kekuasaan
yang dilibatkannya. Sumber dan saluran kekuasaan yang ada dalam suatu
masyarakat tentunya sangat dipengaruhi oleh sistem dan nilai kultur yang
membalutnya, untuk itulah setiap masyarakat memiliki karakteristik tersendiri yang
berkaitan dengan kedua aspek ini.
Dalam memahami kondisi di atas, maka rekomendasi teoritis terkait sumber
kekuasaan sebagaimana diungkapkan oleh C. Wright Mills43 yaitu ekonomi, politik
dan militer, tentunya tidak bisa digunakan untuk memahami bagaimana
terbentuknya elit di pedesaan yang sebagian besar relasi sosialnya dibalut oleh aspek
kultural. Kondisi ini secara nyata terwujud dalam masyarakat Pandeglang,
khususnya Pandeglang yang memunculkan dua tokoh elit yaitu ulama dan jawara
dimana basis kekuasaannya bersumber dari agama dan tradisi yang berbeda jauh
dengan pandangan Mills di atas meskipun kadangkala penguasaan basis
kekuasaannya meluas kepada sektor-sektor lainnya seperti ekonomi dan politik
lokal.
Pengaruh latar sosial sangat mempengaruhi bentuk sumber kekuasaannya.
Karakteristik pedesaan juga menjadi salah satu aspek pembedanya. Dalam hal inilah,
masyarakat Pandeglang menampakkan perwujudan karakteristik aspek-aspek
kekuasaan yang sangat khas baik dari strukturnya, salurannya, sumber-sumbernya
maupun metodenya sebagaimana tersaji dalam Tabel 4.5.
Sumber kekuasaan ulama berasal dari dua faktor yaitu ilmu agama dan
kemampuan supranatural yang dimilikinya, meskipun untuk ustadz kemampuan
supranaturalnya belum tergali secara optimal. Hal ini berkaitan dengan pemilikkan
keilmuannya yang dalam pandangan masyarakat dianggap kurang mendalam.
Namun biasanya seiring dengan perjalanan waktu, ustadz ini juga dapat menemukan
kekuatan pengaruhnya sejalan dengan pendalaman keilmuan dan keahliannya.
Saluran kekuasaan abuya, kyai bale rombeng dan ustadz relatif
terkonsentrasi pada dua akses yaitu pesantren dan majelis pengajian. Abuya dan kyai
bale rombeng dalam pandangan masyarakat sudah mencapai taraf ke-zuhud-an yaitu
tahapan dimana tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat keduniawian.
Sementara keterbatasan saluran kekuasan ustadz berkaitan dengan lingkup
aktivitasnya yang biasanya hanya sebatas guru ngaji untuk beberapa kampung saja.
Hal ini berbeda dengan kyai hikmah dan kyai politik.
Kyai hikmah memantapkan kekuasaannya karena frekuensi hubungan
dengan pejabat politik, pejabat pemerintahan, wirausahawan dan elemen-elemen
masyarakat lainnya. Hubungan tersebut terjalin karena pelayanan keilmuan yang
diberikan oleh kyai hikmah untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya personal,
meskipun dalam sisi yang lain sumber kekuasaannya semakin mengecil karena
keterlibatannya dalam urusan pengajian dan aktivitas di pesantren yang semakin
menurun.
Sama halnya dengan kyai hikmah, kyai politik pun sebenarnya sangat lemah
dalam saluran kekuasaan pesantren dan majelis pengajian karena sebagian besar
waktunya dicurahkan untuk urusan politik – bahkan dapat dikatakan banyak sekali

43
Meskipun C. Wright Mills tidak mengatakan secara tegas mengenai sumber kekuasaan elit, tetapi
ia menyatakan bahwa “…...........the men of the elite are those at the head of the large economic,
political, and military organizations……….”, yang dapat dimaknai bahwa ekonomi, politik dan
militer sebagai sumber kekuasaan (Hartmann 2004:41).
71

kyai hikmah dan kyai politik yang pada akhirnya tidak memiliki santri (pesantren).
Untuk itulah kyai politik lebih banyak mencurahkan waktunya dalam urusan politik
juga kemasyarakatan, oleh karenanya saluran kekuasaan utamanya berfokus pada
partai politik dan organisasi kemasyarakatan.

Tabel 4.5 Sumber dan Saluran Kekuasaan Ulama dan Jawara


Tipe Ulama dan
Sumber Kekuasaan Saluran Kekuasaan Keterangan
Jawara
Wali - Ilmu agama Saluran kekuasaan wali tidak nampak
- Kemampuan karena dianggap kapasitas seorang wali
supranatural sudah relatif membebaskan diri dari
keterhubungannya dengan urusan
duniawi.
Abuya - Ilmu agama - Pesantren
- Kemampuan - Majelis pengajian
supranatural
Kyai Bale - Ilmu agama - Pesantren
Rombeng - Kemampuan - Majelis pengajian
supranatural
Kyai Hikmah - Ilmu agama - Pesantren Yang dimaksudkan dengan pelayanan
- Kemampuan - Majelis pengajian kepentingan pribadi adalah pelayanan
supranatural - Pelayanan urusan kepentingan-kepentingan
kepentingan pribadi pribadi.
Kyai Politik - Ilmu agama - Pesantren
- Kemampuan - Majelis pengajian
supranatural - Partai politik
- Organisasi
kemasyarakatan
Ustadz Ilmu agama - Pesantren
- Majelis pengajian
Jawara Kolot Kemampuan bela diri - Perguruan silat
- Kelembagaan tradisi
Jawara Politik - Ilmu agama - Perguruan silat
- Kemampuan - Partai politik
ekonomi - Organisasi
kemasyarakatan
Jawara - Kemampuan - Perguruan silat
Pengusaha ekonomi - Perusahaan
- Organisasi
kemasyarakatan
Jawara Broker Kemampuan bela diri - Satuan pengamanan
pejabat politik
- Satuan pengamanan
kegiatan
pemerintahan
- Satuan pengamanan
usahawan
- Pengamanan pasar
tradisional
Sumber: pengamatan peneliti.

Sementara itu berkaitan dengan sumber kekuasaan yang dimiliki kelompok


jawara pada dasarnya bersandar pada keahlian bela dirinya. Namun adanya
kelompok jawara politik ternyata aktivitasnya tidak hanya didasari oleh
kelebihannya dalam kemampuan bela diri saja tetapi juga kelebihan yang
dimilikinya dalam sumber daya ekonomi. Meskipun kemudian sumber daya
ekonomi ini mempengaruhi posisi politiknya, atau juga sebaliknya kapasitas
politiknya tersebut yang semakin memperbesar sumber daya ekonominya.
72

Nampaknya ada simbiosis mutualistis antara sumber daya ekonomi jawara dengan
potensi sumber daya politik lokal. Oleh karena perbedaan sumber kekuasaan inilah
maka jawara politik relatif banyak bermain dalam supra struktur politik lokal,
sementara jawara broker terpinggirkan hanya mengurusi sektor-sektor informal dan
dalam beberapa hal kadangkala “dimanfaatkan” oleh aktor politik lokal termasuk
oleh jaringan jawara sebagai vote getter.
Struktur kekuasaan masyarakat Banten dalam kaitannya dengan ulama dan
jawara sangat ditentukan oleh tingkatan keulamaan dan kajawaraan-nya. Untuk
itulah, maka struktur kekuasaan yang terbentuk menggambarkan tingkatan ulama
dan tingkatan kajawaraan yang ada di masyarakat. Dalam hal ini, maka semakin
tinggi tingkat keulamaan semakin tinggi pula struktur yang dimilikinya. Gambaran
struktur kekuasaan dengan mempertimbangan terminologi ulama tersebut dijelaskan
dalam Gambar 4.3.

Gambar 4.3 Struktur Kekuasaan Ulama dan Jawara

Dalam Gambar 4.3 tersebut dapat dijelaskan bahwa tidak selamanya jawara
berada pada posisi subordinat terhadap ulama. Dalam kondisi dimana pengaruh
sosial jawara lebih besar misalnya perbandingan antara jawara kolot dengan ustadz
atau juga antara jawara politik dengan ustadz, maka posisinya relatif lebih tinggi
jawara. Lain halnya jika diperbandingkan dengan jenis ulama lainnya yaitu kyai
hikmah, kyai politik, kyai bale rombeng ataupun abuya, maka jawara berada pada
posisi subordinat. Adapun kyai hikmah, kyai politik, jawara non politikdan jawara
politik digambarkan dalam satu lingkaran dengan maksud menjelaskan bahwa
diantara keempat unsur tersebut terjadi hubungan pertukaran sehingga diantara
unsur-unsur tersebut pada dasarnya berlangsung hubungan ketergantungan
kekuasaan satu sama lain.
73

Hubungan ketergantungan kekuasaan tersebut adalah misalnya kyai hikmah


membutuhkan jawara non politik dalam memperkuat pengaruh sosialnya, sementara
jawara kolot membutuhkan kyai hikmah dalam rangka meningkatkan kemampuan
supra naturalnya. Sementara itu kyai politik dan jawara politik berkolaborasi untuk
saling memperkuat pengaruh politiknya. Hubungan-hubungan antara ulama dan
jawara tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap terkungkungnya
masyarakat pedesaan dalam dominasi ulama dan jawara yang saling bertukar
“kepentingan”. Dalam kondisi ini kepentingan masyarakat pedesaan relatif
diabaikan tertekan oleh kepentingan individual ulama dan jawara. Masyarakat
pedesaan tidak pernah beranjak dari kemiskinan karena orientasi politiknya
dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu melalui kekuatan jaringan ulama
dan jawara tersebut.

Gambaran Kemiskinan Pedesaan Pandeglang


Untuk mengetahui gambaran kemiskinan pedesaan Pandeglang, berdasarkan
Tabel 4.6 dijelaskan bahwa dari 326 desa terdapat sekitar 65,65% (214) diantaranya
berstatus sebagai daerah tertinggal dan sangat tertinggal, sementara sisanya 34,35%
(112) sudah beranjak menjadi desa berkembang, maju dan mandiri. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebagian besar kehidupan pedesaan di Pandeglang
didominasi oleh kemiskinan, ketertinggalan dan keterbelakangan.

Tabel 4.6. Status Kemajuan dan Kemandirian Desa di Kabupaten Pandeglang


No. Status Desa Jumlah (persentase)
1. Desa Mandiri 1 (0,30)
2. Desa Maju 13 (3,98)
3. Desa Berkembang 98 (30,06)
4. Desa Tertinggal 175 (53,68)
5. Desa Sangat Tertinggal 39 (11,96)
Sumber: Status Kemajuan dan Kemandirian Desa: Kementerian Desa, PDT dan
Transmigrasi44

Kondisi kemajuan dan kemandirian desa-desa di Kabupaten Pandeglang


sangat ironis karena data status desa tertinggal mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan data desa tertinggal yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Pandeglang Tahun 200745dimana pada saat itu
hanya terdapat 140 (23,28%) desa yang berkategori desa tertinggal. Artinya selama
7 tahun (2007 s.d. 2014) terdapat peningkatan jumlah desa tertinggal sebanyak
22,69%. Kondisi yang sama ironisnya adalah bahwa terdapat dua desa sebagai ibu
kota kecamatan yang termasuk dalam kategori desa tertinggal yaitu Desa

44
Status kemajuan dan kemandirian desa ditetapkan berdasarkan Data Indeks Desa Membangun
sejumlah 75.754 Desa yang merujuk pada Data Potensi Desa Tahun 2014. Klasifikasi status dan
kemandirian desa berdasarkan Indeks Desa Membangun adalah (a) Desa Mandiri atau Desa Sembada
dengan indeks > 0,8155, (b) Desa Maju atau Desa Pra-Sembada dengan indeks > 0,7072 s.d. 0,8155,
(c) Desa Berkembang atau Desa Madya dengan indeks > 0,5989 s.d. 0,7072, (d) Desa Tertinggal atau
Desa Pra-Madya dengan indeks > 0,4907 s.d. 0,5989 dan (e) Desa Sangat Tertinggal atau Desa
Pratama dengan indeks ≤ 0,4907.
45
Sebagaimana Tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Tahun
2006-2010, Bappeda Kabupaten Pandeglang. Status desa hanya dipilah ke dalam dua kategori yaitu
desa tertinggal dan desa maju.
74

Sumberjaya (ibu kota Kecamatan Sumur) dan Desa Patia (ibu kota Kecamatan
Patia). Bahkan kondisi yang juga sangat ironis adalah ternyata dari 13 kelurahan
yang ada terdapat 1 diantaranya yang berstatus tertinggal yaitu Kelurahan Babakan
Kalanganyar yang justru berada di Kecamatan Pandeglang sebagai ibu kota
kabupaten.
Dari kedua rujukan status desa di Kabupaten Pandeglang, sangat jelas
mengindikasikan adanya penurunan derajat kesejahteraan masyarakat pedesaan
Pandeglang setidaknya dalam 7 tahun terakhir.
Seturut dengan kondisi ketidaksejahteraan masyarakat pedesaan Pandeglang,
dari aspek keuangan daerah mengindikasikan bahwa Derajat Otonomi Fiskal (DOF)
atau kemandirian keuangan daerah juga sangat rendah. DOF yang menggambarkan
ketergantungan keuangan daerah terhadap pusat mengindikasikan bahwa Kabupaten
Pandeglang sangat bergantung kepada pendapatan yang bersumber dari bantuan
pusat sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 4.7.

Tabel 4.7. Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten Pandeglang Tahun 2011-2014


DOF
Tahun PAD Total Pendapatan Kategori46
(%)

2011 56.189.031.724 1.220.626.200.478 4,60 Sangat Kurang

2012 54.048.393.635 1.345.730.831.850 4,02 Sangat Kurang

2013 80.584.075.435 1.541.836.433.848 5,23 Sangat Kurang

2014 140.046.902.014 1.747.029.494.546 8,02 Sangat Kurang

Rata-
82.717.100.702 1.463.805.740.181 5,47 Sangat Kurang
rata
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pandeglang, 2015

Data kemandirian keuangan daerah sebagaimana Tabel 4.7 mengindikasikan


bahwa Kabupaten Pandeglang sangat bergantung kepada pusat meskipun pada
Tahun 2014 mengalami kenaikan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan 3
periode sebelumnya.
Akumulasi ketertinggalan ini menjadikan Kabupaten Pandeglang termasuk
salah satu daerah tertinggal diantara 122 daerah tertinggal di Indonesia yang 6
diantaranya berada di Pulau Jawa (4 kabupaten di Provinsi Jawa Timur yaitu:
Bondowoso, Situbondo, Bangkalan dan Sampang serta 2 kabupaten di Provinsi
Banten yaitu Lebak dan Pandeglang)47.
Berdasarkan data jumlah penduduk miskin sebagaimana tersaji dalam Tabel
4.1 dengan angka persentase tertinggi terjadi pada tahun 1999-2000

46
Kategori dilakukan berdasarkan rasio perbandingan Pendapatan Asli Daerah Sendiri terhadap dana
bantuan pusat dengan kategori rasio 0% - 10% dalam kategori sangat kurang, 10,01% – 20% dalam
kategori kurang, 20,01% - 30% dalam kategori sedang, 30,01% - 40% dalam kategori cukup, 40,01%
- 50% dalam kategori baik dan > 50% dalam kategori sangat baik (Munir, 2004:24).
47
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah
Tertinggal Tahun 2015 – 2019. Penetapan daerah tertinggal dilakukan berdasarkan kriteria: a.
perekonomian masyarakat; b. sumber daya manusia; c. sarana dan prasarana; d kemampuan keuangan
daerah; e. aksesibilitas; dan f. karakteristik daerah.
75

mengindikasikan bahwa kondisi pemerintahan sangat berpengaruh terhadap kondisi


kemiskinan karena pada masa itu adalah era pemulihan krisisi multi dimensional
yang melanda bangsa Indonesia. Penurunan secara signifikan terjadi pada rentang
tahun 2006 hingga tahun 2010 atau pada masa kepemimpinan bupati AD. Penurunan
angka kemiskinan ini salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah daerah
untuk mencarikan solusi dana pembangunan yang dilakukan pada tahun 2006
dengan melakukan pinjaman dana pembangunan 200 milyar kepada pihak Bank
Jabar.
Pada rentang tahun 2006-2010 tersebut, bupati AD mampu menggerakkan
unsur pimpinan hingga unit pemerintahan terkecil (desa) dalam satu kesatuan
komando pembangunan. Relasi kekuasaan yang terjadi antara bupati dan unsur
pimpinan birokras termasuk para kepala desa pun relatif berlangsung secara patron-
klien. Hal ini memudahkan bupati mengarahkan fungsi-fungsi pemerintahan untuk
mendukung percepatan pembangunan yang salah satunya juga didukung oleh unsur
legislatif dengan memberikan persetujuan peminjaman 200 milyar kepada pihak
Bank Jabar. Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa pada saat itu dapat dikatakan
bahwa mayoritas kepala desa mendukung secara penuh kebijakan bupati. Hal ini
secara jelas mengindikasikan kuatnya ikatan kepatuhan kepala desa terhadap bupati
yang terjadi pada saat itu. Hal ini berbeda dengan relasi kekuasaan yang terjalin
antara bupati dengan kepala desa pada masa kepemimpinan EK (masa setelah tahun
2010) yang dalam beberapa kondisi berlangsung secara konfliktual sebagaimana
diuraikan dalam latar belakang penelitian.
Prinsip pembangunan AD pada saat itu sendiri adalah “biar kecil tetapi
menjangkau”. Maksud dari prinsip tersebut adalah dalam hal pembangunan infra
struktur jalan desa tidak perlu mempertimbangkan lebarnya jalan yang dibangun,
tetapi yang terpenting adalah jangkauannya yang masuk ke pelosok-pelosok
pedesaan. Prinsip kebijakan inilah yang salah satunya mendapat dukungan sebagian
besar para kepala desa karena akses desa-kota dapat ditingkatkan melalui adanya
pembangunan infra struktur jalan desa meskipun dengan kondisi luas jalan yang
kecil.
Meskipun strategi kebijakan AD ini secara signifikan berhasil menurunkan
jumlah penduduk miskin masyarakat pedesaan (lihat data Tabel 4.1 dari tahun 2006-
2010), tetapi sebenarnya belum secara luas meningkatkan ketertinggalan Kabupaten
Pandeglang karena status sebagai daerah tertinggal masih melekat baik pada masa
kepemimpinan bupati AD maupun pada masa kepemimpinan bupati EK. Kondisi ini
didukung oleh fakta bahwa pada tahun 2006 (masa kepemimpinan AD), dengan
angka persentase penduduk miskin sebesar 15,8 persen terdapat 140 desa tertinggal.
Kondisinya berubah dengan semakin meningkatnya angka persentase penduduk
miskin 10,25 persen pada tahun 2013 (masa kepemimpinan EK), sehingga pada
tahun 2014 (lihat Tabel 4.6) terdapat 214 desa berstatus tertinggal dan sangat
tertinggal. Hal ini mengindikasikan adanya korelasi antara angka desa tertinggal
dengan angka penduduk miskin di pedesaan. Hal ini mengindikasikan pula bahwa
relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa pada masa kepemimpinan AD yang
relatif berlangsung secara patronase mampu menekan angka desa tertinggal.
Sementara relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa pada masa kepemimpinan
EK yang relatif berlangsung secara konfliktual cenderung meningkatkan angka desa
tertinggal, meskipun pada dua tahun pertama kepemimpinannya (2011-2012) terjadi
penurunan angka persentase penduduk miskin hingga mencapai 9,3 persen.
76

5. DINAMIKA RELASI KEKUASAAN BUPATI DENGAN KEPALA DESA:


PERKEMBANGAN DAN KONDISINYA SAAT INI

Terdapat dua aspek yang mempengaruhi relasi kekuasaan bupati dengan


kepala desa sebagaimana diuraikan dalam pola pikir penelitian ini pada Bab 2,. Pada
bab ini uraian tersebut diuraikan secara detail tentang aspek-aspek yang
mempengaruhinya yaitu dari asepk regulasi dan aspek sosial kultural.
Dinamika relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa tidak bisa dilepaskan
dari aspek regulasi karena relasi keduanya pada prinsipnya berlangsung dalam
konteks formal jika dilihat dari aspek keduanya yang sama-sama sebagai pejabat
pemerintahan. Dengan demikian peraturan perundang-undangan baik secara
nasional maupun lokal mengikat keduanya dalam model-model resmi relasi
kekuasaan. Sementara itu aspek sosial-kultural utamanya yang berkaitan dengan
budaya politik sangat mempengaruhi cara berrelasi kekuasaan diantara keduanya.
Dalam kaitannya dengan kondisi kondisi masyarakat yang menempatkan
peranan informal leader pada proses-proses pengambilan keputusan formal, maka
kekuasaan sebenarnya berpusat pada informal leader tersebut. Pada sisi lain, otoritas
pemerintahan formal juga membutuhkan formulasi keputusan seefisien dan sepolitis
mungkin. Terjadilah pergeseran relasi-relasi kekuasaan (terutama dari formal ke
informal leader) dengan pengaruh besar dari faktor budaya.
Selain karena faktor budaya, realitas sistem politik yang berlangsung
terutama berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang mengatur tata kelola
pemerintahan tentunya sangat mempengaruhi relasi kekuasaan baik antara desa dan
supra desa (khususnya bupati dan kepala desa) maupun elemen-elemen yang ada
dalam tata kelola pemerintahan sendiri. Pada akhirnya, faktor budaya dan sistem
politik bersatu padu menyelaraskan relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa
dengan suatu kecenderungan bahwa informal leader berperan signifikan dalam
mengarahkan struktur relasi kekuasaan yang terbentuk.
Dalam melengkapi pembahasan relasi kekuasaan, peneliti menghantarkan
uraian tentang dinamika relasi kekuasaan desa dan supra desa pada periode
pemerintahan masa-masa sebelumnya. Tinjauan historis ini diperlukan untuk
memberikan gambaran relasi kekuasaan bupati dan kepala desa pada masa
kolonialisme, era orde lama dan orde baru dengan tekanannya di Banten, yang
peneliti percaya berpengaruh terhadap relasi kekuasaan yang berlangsung saat ini.
Selain itu, peneliti juga akan menguraikan format masa depan relasi tersebut dalam
pemikiran peneliti sendiri dikaitkan dengan kebijakan politik yang dilakukan
pemerintah pusat saat ini.

Dinamika dan Masa Depan Relasi Bupati dan Kepala Desa


Dinamika relasi desa dan supra desa bergantung pada rezim yang berkuasa
pada masanya. Pada rezim yang relatif sentralistis dimana konsentrasi kuasa ada di
pusat, saat itu pula posisi periphery desa akan selalu terpinggirkan. Kondisi inilah
yang kira-kira berlangsung dalam tatanan relasi desa dan supra desa dari masa
kolonialisme hingga saat ini.
Pembahasan tentang dinamika relasi desa dan supra desa erat kaitannya
dengan regulasi perundang-undangan yang mengaturnya, oleh karenanya penting
sekali untuk mempersandingkannya dengan periodisasi pemerintahan. Pemilahan
periodisasi pemerintahan sangat urgen dilakukan karena perbedaan kebijakan politik
yang menyertainya berpengaruh secara signifikan terhadap bentukan relasi yang
terjadi. Pendekatan politik ini kemudian dipertajam oleh pendekatan sosiologi yang
77

membalut relasi tersebut. Pada akhirnya kedua pendekatan ini (sosiologi dan politik)
tidak dapat dilepaskan satu sama lain untuk memahami secara mendalam relasi desa
dan supra desa dari setiap periode pemerintahan yang pernah ada, saat ini dan masa-
masa yang akan datang.
Pada masa kolonialisme, desa diposisikan sebagai pendukung keberhasilan
program-program pemerintahan kolonialis berkaitan dengan pengerahan masa. Hal
ini terjadi karena sebagian besar penduduk terkonsentrasi di pedesaan. Perekrutan
besar-besaran penduduk desa dilakukan dengan satu tujuan memperkuat posisi
kolonial sebagaimana yang terjadi pada program pengerahan tenaga kerja paksa rodi
di era kolonialisme Belanda maupun romusha di era pendudukan Jepang.
Pada masa kolonialisme Belanda, peraturan perundang-undangan tentang
pemerintahan desa yang berlaku pertama kali adalah Inlandse Gemeente Ordonantie
(IGO) yang terbit tahun 1906. Dalam tinjauan sosiologi politik, kelahiran IGO ini
adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial dalam menyikapi tingkat
kemiskinan yang semakin merajalela terutama sehubungan dengan ledakan
penduduk Jawa dan Madura.
Dengan kondisi sosial yang sangat terpuruk tersebut, desa pun menjadi alat
eksploitasi pokok untuk meningkatkan kesejahteraan diantaranya dibentuknya unit-
unit ekonomi pemerintahan di desa seperti bank desa yang justru kehadirannya
semakin memperburuk ekonomi rakyat sehubungan dengan banyaknya korupsi.
Dalam aspek otonomi dan demokratisasi desa pun, kebijakan pemerintahan kolonial
untuk melakukan penggabungan desa jelas merusak tatanan kehidupan desa-desa
Jawa yang otonom dan semi demokratis.48
Maschab (2013:33) menjelaskan bahwa selain eksploitasi para penjajah
asing, desa-desa juga tetap harus memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada para
penguasa pribumi seperti membayar upeti, menghadap pada waktu yang ditentukan
untuk menunjukkan kesetiaan kepada penguasanya, wajib kerja dalam waktu
tertentu tanpa digaji dll. Dengan demikian, kedudukan desa semakin lemah dan
beban desa menjadi semakin berat karena harus tunduk dan melayani kepentingan
dua penguasa yang berbeda.
Penindasan ini kemudian menyulut terjadinya pemberontakan sebagai bentuk
ketidakpuasan penduduk. Di samping harus membayar sewa tanah dan berbagai
macam pungutan terhadap penguasa tanah, penduduk juga harus kerja rodi dan
masih juga tetap melakukan kewajiban tradisional lainnya kepada penguasa-
penguasa pribumi. Menurut Maschab (2013:34), ketika penduduk merasa bahwa
pemimpin-pemimpin tradisional tidak bisa membelanya, apalagi justru ikut
menyebabkan penderitaan mereka, maka mereka berpaling kepada tokoh lain
semisal ulama di Banten selain juga karena pengaruh dari anasir-anasir komunis
yang berkembang karena diawali ketidakpuasaan penduduk tersebut.
Sementara itu, akibat dari kebijakan peningkatan kesejahteraan pemerintahan
kolonial yang kapitalistik, maka hubungan yang terjadi antara residen (dan
controlleur) dan kepala desa pun bersifat kapitalis-feodalistik dimana pemerintah
kolonial dengan bertameng politik etis “memanfaatkan” tenaga kepala desa sebagai

48
Untuk tujuan efisiensi dan menciptakan struktur pemerintahan yang lebih rasional, pemerintah
kolonial melakukan penggabungan desa sehingga dari 30.500 desa yang ada di Jawa tahun 1897
menjadi hanya 18.584 desa di tahun 1927 (Triputro (2005) dan Ricklefs (2005)).
78

struktur feodal pedesaan untuk menekan rakyat. Rakyat tidak berdaya sehubungan
dengan paternalistik-feodalis yang dimiliki oleh para kepala desa.49
Pada masa awal kemerdekaan atau pada masa peralihan secara prinsip
penyelenggaraan pemerintahan desa tidak banyak mengalami perubahan
sebagaimana dengan yang terjadi pada masa kolonialisme. Pada masa ini, prinsip
demokratisasi desa dan keberagaman sangat ditonjolkan, hal ini nampak dalam
pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja.
Prinsip demokratisasi dan keberagaman adalah refleksi cita-cita bangsa sejak
awal perjuangan kemerdekaan, sehingga sangat wajar ketika kemerdekaan tersebut
tercapai, para founding father mengimplementasikannya dalam tatanan
pemerintahan. Namun demikian, seiring dengan tumbangnya masa orde lama yang
digantikan dengan kemunculan masa orde baru, maka UU 19/1965 pun tidak
dipergunakan lagi karena sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969
bahwa setiap undang-undang yang jiwa dan sistem pengaturannya dapat membawa
ke arah ketidakstabilan politik di desa-desa dinyatakan tidak berlaku termasuk
undang-undang ini. Sementara itu kesan hierarkhis sangat nampak dalam penerapan
desa sebagai daerah tingkat III, inilah yang menjelaskan bahwa hubungan pejabat
pemerintahan daerah tingkat II dan kepala desa pada masa itu berlangsung secara
hierarkhis tetapi demokratis.
Pada masa ini terutama di awal masanya yaitu ketika para bupati Pandeglang
diisi oleh kaum ulama, eksistensi pemerintahan desa kajaroan masih sangat kental.
Sehingga identitas ke-Banten-an dalam tata kelola desa masih melekat bahkan pasca
tergantikannya kepemimpinan ulama di tingkat lokal oleh para pejabat karir
birokrasi.
Dengan kebijakan otonomi yang dititikberatkan di desa, maka desa adalah
unsur perekat utama kesatuan bangsa. Beruntung sekali jiwa nasionalisme masih
kuat tertanam pada hati sanubari rakyatnya, sehingga setiap upaya Belanda untuk
kembali menguasai Indonesia direspon oleh pergerakan-pergerakan tidak hanya
unsur militer tetapi juga segenap rakyat. Bahkan ancaman disintegrasi bangsa tidak
hanya datang dari luar, dari dalam pun muncul letupan-letupan perpecahan seperti
yang dilakukan oleh Ce Mamat. Pada kondisi inilah peran strategis para jaro sangat
penting karena rakyat masih sangat tergantung kepada kepemimpinan tradisional.
Pertimbangan pemerintahan orde lama untuk menitik beratkan otonomi di
desa adalah apresiasi pusat terhadap signifikansi desa dalam pemerintahan nasional.
Sementara itu pendekatan ini peneliti pandang sebagai kecerdasan pemerintah pada
masa itu yang melihat potensi bangsa terletak pada masyarakat pedesaan karena
memang konsentrasi penduduk berada di pedesaan. Adapun bupati difungsikan
mengurusi kepentingan administrasi kabupaten yang kemudian dibantu pula oleh
kawedanaan untuk mempermudah koordinasi kewilayahan sehingga dibentuklah
empat kawedanaan yaitu Pandeglang, Menes, Caringin dan Cibaliung. Kondisi
geografis dan infra struktur transportasi adalah pertimbangan utama dibentuknya
empat kawedanaan tersebut. Melalui para wedana tersebutlah jalinan relasi
kekuasaan kepala desa dan bupati berlangsung. Artinya adalah hubungan bupati dan
kepala desa secara face to face terkendala oleh faktor geografis, dengan demikian
para wedana lah yang banyak mempertemukan kepentingan bupati dan kepala desa.
Pada masa orde baru, seiring dengan perubahan dalam konstelasi sosial
politik pada masa itu terutama dengan “kuningisasi” birokrasi (beraucratic polity)
49
Posisi tertekan kepala desa ini mengakibatkan tidak sedikit kepala desa yang melakukan usulan
pemberhentian dan terdapat juga yang bergabung dengan gerakan pemberontakan (Kartodirdjo,
1984:412).
79

dalam sistem mayoritas tunggal (single majority system) menjadikan segenap


struktur pemerintahan diarahkan kepada kesatuan orientasi politik Golkar. Oleh
karenanya hubungan yang terjadi adalah setiap struktur atas mendominasi struktur
subordinatnya. Proses hegemonipun terjadi dimana desa sebagai unit pemerintahan
terkecil dan terrendah dalam struktur menjadi bagian yang paling tertekan. Ini dapat
dimaknai bahwa hubungan antara bupati (pada masa itu sebenarnya adalah pejabat
karir/administrasi) menghegemoni kekuasaan kepala desa secara administrasi dan
politik. Untuk tujuan politik, kadangkala administrasi (pembangunan) menjadi
pertaruhannya, sehingga biasanya pada desa-desa yang tidak satu bendera politik
dengan pemerintah akan mendapat perlakuan pembangunan yang relatif
dipinggirkan.
Keadaan yang memasung otonomi desa paling kental justru pada masa orde
baru ini. Konsep-konsep penyeragaman desa adalah bukti pemasungan otonomi
tersebut dimana kelembagaan desa dipaksa memenuhi kerangka desa yang
diintrodusir negara. Desa-desa pun mengalami kehilangan jati dirinya yang sedikit
demi sedikit kemudian mengikis pula nilai-nilai lokal dalam tata kelola desa. Hal ini
berlangsung di hampir seluruh wilayah nusantara. Sebagai contoh kasus pengikisan
tersebut misalnya adalah yang terjadi dalam model pemerintahan desa kajaroan di
Banten.
Selain fenomena penyeragaman desa yang berujung terjadinya penggerusan
identitas lokal, di Pandeglang khususnya dan umumnya di Banten, seiring dengan
peminggiran peran ulama dalam pemerintahan formal juga terjadi semacam
peminggiran putera daerah. Isu yang paling mengemuka pada saat itu adalah apa
yang disebut dengan “PENJABARAN”50. Keadaan inilah salah satunya yang
menyulut terjadinya penguatan tuntutan pemisahan diri dari Jawa Barat di awal era
reformasi.
Isu-isu yang dimunculkan dalam relasi bupati dan kepala desa pun seringkali
bersentuhan dengan sentimen ketidak adilan antara pembangunan pedesaan Jawa
Barat wilayah priangan dan Banten. Karena bupati yang berasal dari wilayah
priangan, maka sentimen kedaerahan tersebut dilekatkan dengan status daerah asal
bupati ini.
Era otonomi daerah lahir sebagai bentuk koreksi total terhadap
penyelenggaraan pemerintahan orde baru. Implikasi strategisnya adalah terhadap
penyelenggaraan tatanan pemerintahan desa yang lebih otonom. Namun demikian,
otonomi ini ternyata dibatasi oleh kepentingan administrasi dan pengawasan
pemerintahan yang kecenderungannya lebih mengarah kepada semi otonom.
Dikatakan semi otonom, karena sebenarnya otonomi desa yang sejatinya berasal dari
otonomi adat bukan pemberian daerah ternyata “dikerangkeng” oleh kepentingan
administrasi sehingga fungsi-fungsi administrasi tersebut justru “dikendalikan” oleh
daerah dengan adanya pengangkatan sekretaris desa dari unsur pegawai negeri sipil
sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004.
Kepala desa yang pada masa sebelumnya terhegemoni oleh kekuasaan supra
strukturnya, mengalami perubahan 180o seolah mendapatkan ruang untuk
meningkatkan partisipasi politiknya. Kondisi ini meningkatkan bargaining positon

50
“PENJABARAN” yang dimaksud disini adalah pen-Jawa Barat-an yaitu sindiran putera daerah
terhadap kebijakan pusat untuk mengisi posisi-posisi strategis kepemimpinan lokal misalnya posisi
bupati atau sekretaris daerah dari orang-orang yang didatangkan sebagian besar wilayah priangan
(Jawa Barat).
80

kepala desa dalam konstelasi sosial politik. Dalam kondisi ini, kepala desa
diuntungkan oleh penguasaan wilayah dan kedekatannya dengan warga. Kondisi ini
pulalah yang dapat dipandang memberikan kelebihan tertentu kepada kepala desa
yang selanjutnya sangat dibutuhkan oleh bupati dalam mempertahankan kekuasaan
politiknya. Kondisi inilah yang menciptakan jalinan hubungan kepala desa dan
bupati relatif bersifat dominasi-semi otonom, kondisi yang juga terjadi dalam
tatanan pemerintahan lokal di Pandeglang.
Pada perkembangan terkini, signifikansi relasi desa dan supra desa ditandai
oleh kelahiran dua perundangan-undangannya yaitu UU No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua undang-
undang tersebut memiliki dua kecenderungan yang paling menonjol yaitu pertama:
otonomi yang sangat besar dari desa dalam mengelola keuangannnya, dan kedua:
besarnya otonomi desa dari aspek keuangan ini diikuti oleh aspek-aspek pembatasan
administrasi semisal keharusan kepala desa untuk membuat akuntabilitas kepada
pihak BPD, masyarakat dan bupati atau juga adanya keharusan untuk membuat
akuntabilitas berbentuk LID (Lembaga Informasi Desa) yang dari persepektif
sumber daya desa dipandang sangat memberatkan. Uraian relasi kekuasaan bupati
dan kepala desa tergambar dalam Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Dinamika Relasi Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa

Hubungan
Fungsi Bupati Fungsi Kepala Desa Relasi Kekuasaan
Periodisasi
Pemerintahan
Masa Kolonial Elit pemerintah Perangkat utama Eksploitasi-feodalistik
penjamin keberhasilan eksploitasi
kapitalis
Masa Awal Kemerdekaan Perantara menengah Pengikat keutuhan Hierarkis-demokratis
antara pusat dan desa bangsa (desa sebagai
titik berat otonomi)
Masa Orde Baru Penguasa birokrasi Pelaksana fungsi Dominasi-subordinatif
dan politik politik
Era Reformasi Penguasa politik lokal Penguasa politik desa Dominasi-semi
otonom
(masa pasca era reformasi) Penguasa politik lokal Penguasa politik desa Ketergantungan-
Pertukaran
Sumber: data penelitian yang diolah peneliti

Pada masa yang akan datang, berdasarkan pemikiran peneliti, seiring dengan
semakin kecilnya ketergantungan kepala desa kepada bupati, maka pola relasi
kekuasaan yang sangat mungkin terjadi adalah dalam bentuk ketergantungan-
pertukaran. Hal ini terjadi karena semakin otonomnya desa di masa yang akan
datang sepanjang UU Nomor 6/2014 masih menjadi dasar pelaksanaan aturannya,
maka semakin rendah pula ketergantungan keuangan desa kepada supra desa
(kabupaten). Kondisi pertukaran menjadi konsekuensi logis untuk dilakukan
mengingat keduanya sama-sama saling membutuhkan (berketergantunan satu sama
lain), tetapi pertukaran tersebut bukan terjadi sebagian besar dalam batasan politis.
Pertukarannya akan sangat tinggi jika ketergantungan politiknya juga tinggi, atau
sebaliknya.
81

Dampak Demokrasi dan Otonomi Desa


Pada era kontemporer saat ini dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah
kebenaran. Demokrasi adalah mainstream kehidupan sosial politik yang
mendominasi bangsa-bangsa di dunia, baik negara sosialis-komunis maupun liberal-
kapitalis hampir semuanya mengadopsi demokrasi sebagai sistem pemerintahannya.
Indonesia adalah salah satu bangsa yang menerapkan ide demokrasi ini. Konsep ini
kemudian menulari seluruh perikehidupan bangsa sampai kepada tataran yang paling
kecil termasuk desa.
Sistem sosial budaya, akar historis perjuangan bangsa dan berragam faktor
lingkungan yang mempengaruhinya sebagaimana diuraikan dalam latar belakang,
kemudian membentuk variasi demokrasi di berbagai belahan dunia. Hal inilah
kemudian yang memunculkan model-model demokrasi seperti demokrasi liberal,
demorasi sosialis, demokrasi konstitusional ataupun demokrasi komunis. Hal ini
mengindikasikan bahwa ide demokrasi tidak dapat digeneralisir pada satu konsep
yang sama. Indonesia sendiri yang berazaskan Pancasila mengintrodusir demokrasi
ini dengan sebutan Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi
yang nilai-nilai kehidupan kebangsaan dan kenegaraannya dipilari oleh lima dasar
Pancasila.
Sebagai negara yang menganut faham demokrasi, Indonesia telah
menempatkan kuasa rakyat di atas segala-galanya. Pernyataan ini dapat ditelusuri
dari Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Kedaulatan adalah di
tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya menurut undang-undang dasar”. Secara
sistem ketatanegaraan, wujud dari kedaulatan rakyat ini adalah adanya kelembagaan
DPR sebagai salah satu lembaga tinggi negara.
Wujud demokrasi juga diindikasikan adanya desentralisasi. Prinsip
desentralisasi yang memberikan kewenangan secara penuh kepada daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri ini kemudian diterjemahkan dalam konsep
otonomi daerah. Seiring perubahan yang terjadi dalam hampir seluruh perikehidupan
bangsa dalam satu era yang disebut era reformasi, otonomi daerah pun
diimplementasikan seluas-luasnya sebagaimana prinsip yang dianutnya. Pada skala
yang lebih mendalam lagi, otonomi ini diimplementasikan pada desa, sehingga
otonomi yang paling nyata sebenarnya adalah otonomi yang berlangsung pada
tataran pedesaan (otonomi desa), karena pada tingkatan inilah ditemukan nilai-nilai
dan identitas sosial-budaya yang sebenarnya.
Implementasi kebijakan yang diambil negara untuk merealisasikan otonomi
desa ini semakin tegas dengan terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014. Jalan
kemandirian desa pun semakin menemukan bentuknya karena penghargaan otonomi
desa ini didampingi oleh otonomi keuangan yang sangat besar yaitu sebagaimana
diatur dalam pasal 72 ayat 4 undang-undang ini bahwa “alokasi dana desa paling
sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima
kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi
Dana Alokasi Khusus”. Dengan demikian, ketergantungan keuangan desa terhadap
daerah tidak lagi menjadi masalah karena desa dapat secara mandiri merencanakan
alokasi anggarannya, sehingga kemungkinan terpinggirkannya kepentingan desa
yang seringkali tidak teragregasikan dalam musyawarah perencanaan pembangunan
di tingkat kabupaten dapat dieliminir.
Tanggapan optimistis mengemuka dari AH dalam menanggapi rencana
pengimplementasian keuangan desa berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2014 ini yaitu
“baheula mah hayang proyek turun teh lain saukur kudu mawa proposal doang,
82

kudu bae pan barang bawa mah, naon bae pamentana diturutkeun nu penting
proyek turun. Sugan kahareup mah bisa ngatur sorangan” (dahulu jika
menginginkan proyek turun tidak hanya harus membawa proposal saja, selalu saja
harus membawa sesuatu, apa saja permintaannya diberikan yang penting proyek
turun. Semoga saja ke depan bisa mengatur secara mandiri”.
Harapan dari AH tersebut sebenarnya penegasan optimismenya tentang
pengimplementasian otonomi desa secara riil sehingga ketergantungan keuangan
yang selama ini dihadapi oleh desa dapat dieliminir. Menurut pengakuannya, sangat
sulit jika rumusan musrenbangdes dapat diakomodir di tingkat musrenbangkab,
bahkan jangankan 50%-nya, untuk sampai 20%-nya saja sangat sukar.
Dampak yang paling penting dari pengejawantahan demokrasi dan otonomi
desa adalah desa yang semakin independen dan mandiri terhadap kepentingan
pemerintahan kabupaten. Dalam keterkaitannya dengan relasi kekuasaan bupati dan
kepala desa, hal ini menjadikan kepala desa yang semakin memiliki kesetaraan
posisi tawar terhadap kekuasaan bupati. Jika dulu segala sesuatu yang berkaitan
dengan proses pemerintahan dan pembangunan desa sangat bergantung kepada
“kebijaksanaan” kabupaten – karena aspek keuangan merupakan faktor penentu
berlangsungnya kedua proses itu, maka dengan memiliki sendiri sejumlah anggaran
keuangan secara mandiri membuat kepala desa tidak harus “menghamba” kepada
“kerelaan” bupati.
Semakin terlepasnya ketergantungan desa terhadap pemerintahan kabupaten
akan mempengaruhi relasi kekuasaan diantara keduanya, jika dulu bupati dapat
mempolitisir kondisi inferior keuangan desa dan kepala desa, maka setelah desa
memiliki kekuatan keuangan sendiri oleh karenanya kepala desa tidak akan mudah
diarahkan orientasi politiknya sesuai keinginan bupati. Pada kondisi inilah satu-
satunya rumusan yang dapat terjadi dalam relasi bupati dan kepala desa adalah
formulasi pertukaran atau dengan kata lain satu sama lain akan melakukan hubungan
jika dalam satu kondisi keduanya saling membutuhkan.
Satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukan oleh bupati untuk
membatasi kepala desa adalah kendali pengawasan yang menjadi
pertanggungjawabannya selaku struktur pemerintahan yang berada di atas desa.

Negara, Ulama dan Jawara: Politik Korporatis


Salah satu strategi rezim orde baru dalam rangka membungkam (atau
tepatnya memasung) kekuatan-kekuatan politik civil society adalah politik
korporatis. Strategi ini juga dilakukan dalam rangka memudahkan kontrol terhadap
kelompok-kelompok tertentu. Beberapa organisasi bentukan pemerintah pun
diperkenalkan dan diakui sebagai satu-satunya organisasi yang diakui pemerintah
seperti PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang tujuan pembentukannya untuk
mengawasi gerakan pers dan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) yang
tujuan pendiriannya untuk mengontrol aktivitas kepemudaan.
Ulama dan jawara pun tidak luput dari pantauan rezim orde baru. Dengan
memahami kuatnya peranan ulama dan jawara di Banten, kemudian kedua unsur ini
dipersatukan dalam wadah Golongan Karya dalam jalur kesatkaran yaitu Satkar
Ulama dan Satkar Jawara.
Selain politik korporatis dilakukan oleh rezim orde baru dengan
pembentukan Satkar Ulama dan Satkar Jawara, keorganisasian semi formal seperti
MUI juga ditengarai sebagai upaya pemerintahan orde baru “memasung” ulama
sekaligus mengarahkan orientasi politiknya kepada Golkar. Oleh karenanya tidak
83

sedikit pula ulama yang sebenarnya memilih bersikap apatis bahkan kontraposisi
terhadap kelembagaan MUI ini.
Pada bagian lain, keberadaan organisasi jawara lainnya seperti TTKKDH
(Tjimande Tarik Kolot Kebon Djeruk Hilir) sebagai organisasi perguruan silat yang
paling populer di Pandeglang tidak luput dari politik korporatis orde baru. Tidak
heran jika para tokoh organisasi ini sangat lekat dengan kepentingan politik
pemerintahan pada masa itu terutama berkaitan dengan target suara. Organisasi
TTKKDH sendiri sangat strategis karena anggotanya menjangkau kalangan muda,
tua, petani, guru, pejabat dan berragam unsur kemasyarakatan lainnya. Melalui
jaringan keanggotaan TTKKDH inilah Golkar memainkan strategi politiknya
sehingga kemudian pada masa ini TTKKDH dikooptasikan sebagai salah satu
organisasi kemasyarakatan di bawah naungan Golkar (subordinat Golkar).
Selain strategi politik korporatis tersebut, pada masa orde baru juga terdapat
upaya-upaya untuk menggiring ulama maupun jawara dalam orientasi politik golkar
yaitu dengan cara menempatkan ulama dan jawara dalam kelembagaan legislatif
(DPRD maupun DPRRI). Internalisasi ulama maupun jawara ini dapat dilakukan
karena pada saat itu terdapat dua fraksi yang dapat menampung keanggotaannya
yaitu fraksi utusan golongan dan fraksi utusan daerah.
Strategi-strategi politik orde baru ini berimplikasi terhadap menguatnya
peran politik ulama dan jawara, namun di sisi lain sebenarnya juga melemahkan
kekuasaan sosialnya. Pelemahan kekuasaan sosial berkaitan dengan adanya
pandangan dari sebagian besar masyarakat yang menganggap bahwa terjunnya
ulama dan jawara (khususnya ulama) sebagai suatu bentuk kemudharatan.

Desa sebagai Ujung Tombak dan Ujung Tombok Pemerintahan


Dari berragam pendalaman wawancara dan pengamatan penelitian yang
dilakukan, terdapat satu pernyataan menarik yang dikemukan oleh AA. Dalam satu
sesi wawancara ia mengemukakan bahwa “desa mah ujung tombak jeung ujung
tombok pamarentahan (desa itu ujung tombak dan ujung tombok pemerintahan)”.
Maksud dari ujung tombak pemerintahan adalah bahwa keberhasilan pemerintahan
dan pembangunan bangsa ini sangat bergantung kepada keberhasilan desa dalam tata
kelolanya. Jika desa-desa sukses dalam penatakelolaannya, maka keberhasilan pun
akan menyertai seluruh aspek pembangunan bangsa. Sementara yang dimaksud
dengan ujung tombok pemerintahan adalah bahwa desa lah yang menanggung segala
resiko dari apa yang menjadi kebijakan pemerintahan baik di tataran pusat, regional
maupun lokal. Pertanggungjawaban desa (kepala desa) menurutnya sampai dengan
hal-hal seperti mengantarkan warga yang sakit, menengahi kasus-kasus pertikaian
warga ataupun mengantarkan ibu yang akan melahirkan. Baginya sudah menjadi
pertanggungjawaban manakala ada warganya yang kesulitan dan meminta
pertolongan meskipun itu pada saat tengah malam sekalipun.
Kepala desa adalah pimpinan formal “terdekat” yang dimiliki warga. Kata
terdekat ini adalah sangat luas tidak hanya karena faktor dekatnya jarak saja, yang
paling mendalam adalah aspek hubungan emosionalnya. Kepala desa adalah tempat
mengeluh, tempat berlindung dan tempat meminta tolong para warganya. Sehingga
akan sukar sekali bagi kepala desa yang fasilitas hidupnya kurang mendukung untuk
dapat secara optima membantu para warganya. Dari tiga desa kasus dalam penelitian
ini, peneliti mendapati fakta bahwa status ekonomi para kepala desa dapat dikatakan
lebih dari cukup. Oleh karenanya sangat mungkin bagi kepala desa menjadi
pertaruhan warganya dalam meminta bantuan.
84

Dalam informasi lain Masrudi menyatakan bahwa tidak mungkin seorang


kepala desa untuk menolak apapun permintaan warganya. Seorang kepala desa
adalah tempat bernaung, berlindung dan meminta pertolongan warga. Dalam situasi
ini tidak mungkin seorang kepala desa yang dipilih rakyat tidak memiliki
kemampuan ekonomi yang mumpuni karena menurut Masrudi tidak ada biaya
operasional dari desa yang diperuntukkan untuk menalangi hal-hal tersebut. Artinya
mau tidak mau seorang kepala desa harus berkorban dari keuangan pribadi untuk
menalangi kepentingan tersebut. Inilah yang disebut sebagai ujung tombok
(menanggung segala resiko).
Selanjutnya Masrudi menjelaskan bahwa sebagai ujung tombok, maka
menjadi sudah biasa bagi kepala desa mengurusi warganya selama 24 jam dari
urusan meminjamkan kendaraan untuk mengantarkan warga yang sakit atau warga
yang akan melahirkan berikut tanggungan administrasinya, urusan kematian, urusan
pernikahan sampai pada urusan-urusan di luar administrasi pemerintahan misalnya
terkait dengan urusan menyekolahkan warganya.
Dalam kaitannya desa sebagai ujung tombak, sebenarnya bupati harus menyadari
bahwa keberhasilan kepemimpinannya sangat ditentukan oleh desa, atau dalam hal
ini sangat ditentukan oleh kepala desa. Dengan demikian bahwa jalinan hubungan
bupati kepala desa sejatinya terpola secara struktur fungsional sehingga terjadi
harmonisasi pemerintahan diantara keduanya. Dalam kondisi dimana kepala desa
menomboki (menanggung segala resiko) pemerintahan, bupati sebenarnya terbantu
oleh keikhlasan dan inisiatif kepala desa tersebut. Ini adalah substansi otonomi desa,
termasuk model penolakan AA terhadap bantuan pemerintah berdasarkan
pertimbangan kemudharatan yang dapat ditimbulkan dari bantuan tersebut,
meskipun ia harus menanggung segala resikonya.

Politik Desa dalam Dinamika Politik Lokal: Quo Vadis Demokrasi Desa?
Desa adalah target suara, itulah kira-kira yang menjadi perhatian utama para
politisi lokal, hal ini sangat logis karena Pandeglang yang didominasi oleh
konstituen yang tinggal di pedesaan. Sebagai suatu target politik, maka segala upaya
dilakukan oleh para politisi tersebut untuk sebesar-besarnya meraup suara dari desa.
Pada akhirnya strategi-strategi politik dengan segala riaknya (positif maupun
negatif) dibawa ke wilayah pedesaan. Masyarakat desa pun menjadi sangat faham
tentang money politic (politik uang), jual beli suara, ataupun “politik dagang sapi”.
Desa menjadi sangat materialistis, beberapa kelompok masyarakat menggadaikan
keyakinan politiknya untuk sejumlah uang. Kemudian desa semakin politis, desa
semakin materialistis dan semakin kapitalis. Demokrasi Pancasila pun bergeser
sangat jauh kepada praktek-praktek demokrasi kapitalis sehingga relatif mereka
yang kuat secara ekonomilah yang kemudian bisa mengambil keuntungan politik
desa.
Mudah masuknya kekuatan ekonomi untuk “membius” orientasi politik
masyarakat pedesaan didukung oleh kondisi keterbatasan, ketertinggalan dan
keterbelakangan masyarakat desa baik secara ekonomi (miskin) maupun secara
politik. Tingkat pendidikan yang rendah menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat
desa untuk memahami sistem politik yang ideal. Kondisi-kondisi ini
menenggelamkan posisi politik masyarakat desa ke jurang yang paling dalam,
sehingga bukan saja termarginalkan secara politik namun juga hanya menjadi obyek
yang “dimanfaatkan”. Kondisi yang sangat berbeda dengan apa yang dirasakan dan
didapatkan oleh para elit desa. Hiruk pikuk dan geliat politik di tingkat lokal dalam
banyak hal menguntungkan kelompok masyarakat ini, terutama secara ekonomi.
85

Jual beli politik dengan menjanjikan sejumlah suara kepada calon anggota
legislatif ataupun calon kepala daerah adalah suatu fenomena yang biasa dilakukan
para elit dan politisi desa (atau lebih tepatnya disebut sebagai opportunis) yang
berwujud broker politik ini. Bahkan dinamika politik di tingkat desa lebih jelas
terlihat karena aktivitas-aktivitas politiknya memperhadapkan secara langsung
antara massa sebagai target suara dengan broker politik sebagai kepanjangan tangan
politisi. Malpraktek politik pun menjadi sangat familiar, dan ungkapan-ungkapan
seperti “wani pira” atau yang semacamnya yang bernuansakan politik (sebagai
tawar-menawar suara) sangat dikenal bahkan oleh anak-anak kecil pedesaan dan
kalangan ibu rumah tangga.
Dalam menyikapi perubahan cara pandang politik di pedesaan ini, rupanya
berkaitan dengan apa yang terjadi dalam konstelasi di tingkat supra desa. Kondisi
yang lebih memprihatinkan adalah bahwa hal ini mulai menulari proses politik di
tingkat desa semisal pemilihan kepala desa. Ketika sogok-menyogok suara menjadi
“budaya” jelas nilai-nilai demokrasi secara substansial menjadi hilang, demokrasi
menjadi suatu formalitas belaka dimana pada bagian akhirnya kepemimpinan publik
yang dihasilkan bukanlah pemimpin yang mewakili sosok ideal yang diharapkan.
Kenyataan ini jelas merupakan suatu degradasi demokrasi di tingkat desa.
Jika pada masa lalu pemilihan kepala desa sama sekali tidak bersentuhan dengan
politik uang, jual beli suara, black campaign dan berragam kecurangan politik
lainnya, maka sekarang nuansanya sudah jauh berubah sehingga masyarakat dalam
level grassroot pun sepertinya melazimkan kondisi ini. Di satu sisi, regulasi desa
semakin mengotonomkan, namun di sisi lain desa demokrasi desa semakin tergerus
oleh kepentingan-kepentingan politik sesaat, kepentingan pribadi dan kepentingan
uang.
Dalam menyikapi kondisi ini, maka gambaran demokrasi desa yang sejatinya
berjalan beriringan dengan sistem adat yang ada, kenyataannya justru demokrasi
desa saat ini tidak lebih sama dengan demokrasi kapitalistik yaitu demokrasi yang
bersandar kepada kekuatan uang. Dengan demikian sebenarnya gambaran demokrasi
desa sama halnya dengan apa yang berlangsung di tingkat lokal dan nasional.
Semakin tergerusnya demokrasi tradisional desa nampak dari dua ciri
karakteristiknya yang semakin tenggelam yaitu dalam hal musyawarah-mufakat dan
gotong-royong. Dalam pengamatan peneliti, sikap gotong-royong yang dulu
menjiwai kehidupan desa sekarang sudah makin tergantikan oleh kepentingan
pilihan rasional masyarakat. Dulu ketika satu anggota masyarakat membutuhkan
bantuan semisal dalam proses pendirian bangunan rumah, dengan begitu mudahnya
segenap warga hadir secara ikhlas dan bergotong-royong bahu-membahu dalam
proses pembangunan tersebut hanya dengan mengundangnya melalui tabuhan
kentungan. Dulu ketika warga dihadapkan pada kesulitan ketiadaan fasilitas
pendidikan apakah madrasah ataupun sekolah, melalui musyawarah warga
bersepakat untuk membangun secara mandiri dan bergotong-royong dengan penuh
kebersamaan dalam proses pembangunannya. Saat ini hal-hal itu sangat sulit
dilakukan. Sebagaimana pengakuan dari AH, AA dan AJ terdapat kecenderungan
masyarakat untuk menyerahkan segala sesuatunya kepada pemerintah.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membuat
demokrasi desa semakin berhingar-bingar. Rayuan keuangan desa yang semakin
“menggunung” menjadikan beberapa orang berlomba-lomba menduduki kekuasaan
tertinggi di desa, sehingga posisi kepala desa dalam hal ini menjadi sesuatu yang
sangat diidamkan oleh beberapa kalangan. Dalam pandangan orang-orang tersebut
86

saat ini lebih menggiurkan menjadi kepala desa dibandingkan dengan menjadi
anggota dewan (DPRD)51. Termasuk apa yang dilontarkan oleh AH, “kahareup mah
jadi kepala desa teh ngeunah, boga duit sorangan, jadi teu ngantik punta-penta ka
luhur (ke depan itu jadi kepala desa enak, punya uang sendiri, jadi tidak perlu minta-
minta ke atas”. Ketika dikonfirmasi rencanyanya untuk kembali mencalonkan diri
menjadi kepala desa, AH secara tegas memang akan mencalonkan kembali dengan
bahasa diplomatis “sepanjang didukung oleh masyarakatnya. Sebagai elit Apdesi
memang AH termasuk tokoh kepala desa yang paling aktif menyuarakan lahirnya
undang-undang desa ini, ia bersama dengan beberapa rekan kepala desa yang lain
berulang kali melakukan demonstrasi penuntutan percepatan undang-undang ini.
Artinya adalah memang sejak dari awal AH termasuk yang berharap besar terjadinya
perubahan dalam tata pemerintahan desa terutama menyangkut anggaran
keuangannya.
Lalu apa dampak yang paling terasa mengiringi kelahiran undang-undang
desa ini? Karena tidak sedikit yang mengidam-idamkan jabatan kepala desa, maka
politik desa menjadi memanas. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara
dengan para camat dan kasi pemerintahan di tiga kecamatan terpilih sebagai kasus
penelitian, ketiga-tiganya menghadapi permasalahan yang sama yaitu adanya
pertarungan beberapa kelompok masyarakat yang menginginkan menjadi penjabat
kepala desa (pejabat sementara/Pjs kepala desa). Keberadaan Pjs ini terjadi karena
adanya kekosongan jabatan kepala desa sehubungan dengan rencana pelaksanaan
pemilihan kepala desa serentak yang direncanakan penyelenggaraannya di bulan
April 2015. Akibatnya adalah kekosongan jabatan di hampir seluruh desa di
Pandeglang, sementara itu kekosongan jabatan kepala desa ini perlu untuk segera
diisi sehingga tugas-tugas pemerintahan desa dapat dilanjutkan. Perebutan jabatan
kepala desa ini sendiri berkaitan dengan belum turunnya anggaran keuangan baik itu
Alokasi Dana Desa maupun fresh money dan beberapa alokasi anggaran lainnya
terutama untuk kwartal terakhir 2014 dan termasuk kwartal pertama 2015 karena
tentunya tidak akan ada kepala desa definitif hingga April 2015 sebelum
dilaksanakannya pemilihan kepala desa serentak.
Sementara itu terkait pengisian jabatan kepala desa ini sesuai dengan amanat
peraturan perundang-undangan yang berlaku terdapat dua kondisinya yakni
pertama: diisi oleh Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) di lingkungan kecamatan
yang ditunjuk bupati melalui camat; dan kedua: diisi oleh PNSD yang dengan
musyawarah mufakat disepakati warga untuk diusulkan menjadi Pjs kepala desa.
Pertimbangan kondisi pertama berkaitan dengan kepentingan administrasi
pemerintahan, sementara kondisi kedua berkaitan dengan penyerapan aspirasi
masyarakat desa. Kondisi kedua inilah yang menyulut pertarungan kelompok
masyarakat untuk memperebutkan posisi kepala desa. Padahal hanya ada satu
kondisi yang memungkinkannya yaitu sepanjang orang yang disusulkannya tersebut
berstatus PNSD, artinya adalah yang bertarung memperebutkan posisi Pjs adalah
sebenarnya para aparat birokrasi lokal meskipun di belakang semua itu bisa saja
terjadi tawar-menawar atau dukung-mendukung politik dari berbagai kalangan
masyarakat. Akhirnya para aparat birokrasi lokal ini pun terjebak dalam pertarungan
politik desa yang sebenarnya.
Menurut pengakuan Agung (Kasi Pemerintahan Kecamatan Kaduhejo), ia
seperti dikejar-kejar oleh seluruh warga desa karena hampir setiap hari didatangi
51
Data tersebut hasil penelusuran wawancara dengan beberapa kelompok masyarakat desa baik di
level masyarakat biasa maupun elitnya terutama dikaitkan dengan pemilihan kepala desa secara
serentak tahun 2015.
87

oleh orang-orang yang menyatakan dukungan terhadap kandidat tertentu, bahkan


informan mengaku terkadang merasakan terganggu oleh hiruk-pikuk ini karena tidak
hanya mendatangi kantor, bahkan hampir 24 jam selalu saja ada kelompok warga
yang mendatanginya di rumah. Ini adalah fakta yang tidak terbantahkan dari
implikasi keuangan desa yang semakin otonom. Pengalaman yang sama juga
diceritakan Camat Basyar yang kendati rumahnya dapat dikatakan jauh dari kantor
camat (rumahnya berada perkotaan Pandeglang), para warga yang memiliki
kepentingan berduyun-duyun mendatangi rumahnya. Tidak sedikit pula unsur
aparatur desa (sekdes, para kaur di desa dan unsur staf desa lainnya) yang terlibat
dalam dukung mendukung terhadap salah satu orang yang mereka dukung.
Sementara itu BPD sebagai lembaga “legislatif” desa yang sejatinya mampu
menengahi chaos desa semacam ini ternyata juga tidak luput dari kepentingan
politik yang berragam. Sehingga musyawarah-mufakat sebagai karakter dasar
demokrasi desa tidak muncul ke permukaan, yang terjadi justru gontok-gontokan
dalam perebutan kekuasaan Pjs ini, sehingga BPD dengan anggotanya yang tidak
lebih dari sebelas orang ini menjadi tidak berdaya. Akhirnya camat sebagai orang
yang berkuasa memutuskan sengketa ini – pejabat yang memiliki otoritas legal
rasional melakukan penunjukkan Pjs – dibutuhkan tangan dinginnya yaitu apakah
mendahulukan kepentingan administrasi pemerintahan desa atau menyerap aspirasi
masyarakat dengan pertaruhan dalam politik desa.
Menurut pengamatan peneliti, demokrasi yang sebenarnya menggariskan
kekuasaan rakyat telah tercemari oleh kepentingan materialistis. Dalam pandangan
Marx sebenarnya ini sangat wajar, karena sejarah terjadi dari pergulatan materialistis
(historis-materilisme), namun menjadi sangat mengkhawatirkan karena desa yang di
masa dulu dikarakteristikkan sebagai masyarakat yang guyub, face to face, adem,
tentram berubah menjadi sangat materialis yaitu mengedepankan pertimbangan
“uang” dalam berbagai kehidupannya terutama menyangkut nilai-nilai demokrasi.
Politik desa pun menjadi sangat pragmatis dimana pertarungannya berkisar
perebutan uang termasuk tawar-menawar politik. Dalam hal ini sepanjang ada
dukungan uang, maka dukungan politik pun mengalir. Begitu pula halnya dengan
dukung-mendukung terhadap beberapa kandidiat masyarakat desa yang “kebetulan”
berstatus sebagai PNSD.
Dalam pengamatan peneliti, ada kecenderungan aparat PNSD yang juga
aparat birokrasi lokal ini sebenarnya “dikorbankan” untuk kepentingan segelintir
kelompok masyarakat. Mereka bersepakat mendukungnya dengan syarat bersedia
memberikan sejumlah materi dari proses kepemimpinan Pjs kepala desa ini atau
berragam kompromo politik lainnya. Secara politis, tentunya ini sangat lazim,
namun dari perspektif substansi demokrasi desa ini jelas suatu kemunduruan. Hal ini
karena desa tidak lagi mencitrakan desa yang layaknya dicontohkan di atas yaitu
guyub, adem, tentram dan damai dimana pemufakatan dalam bentuk apapun selalu
berdasarkan prinsip musyawarah. Maksud dari kondisi kedua dalam penunjukkan
Pjs kepala desa ini sendiri adalah pemufakatan warga untuk mengusulkan satu orang
yang dianggap layak menjadi Pjs kepala desanya, bukan kemudian saling beradu
kekuatan untuk mengusulkan “jagoan”-nya.
Berdasarkan uraian di atas, secara nyata saat ini desa (masyarakat desa)
sudah dikenalkan kepada politik praktis yang materialistis. Relasi kekuasaan antara
warga dan pimpinan formal baik kepala desa, camat dan bupati pun diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan materialistis. Warga desa sudah berani untuk melibatkan
diri dalam kancah politik desa. Desa digiring bukan hanya kepada kepentingan
88

politik kelompok tertentu, tetapi juga kepentingan personal para warganya. Prinsip
demokrasi pun bergeser kepada materi bukan tatanan sosial yang sejahterakan. Desa
semakin miskin terutama secara politik karena tanggung jawab para politisi dalam
pembangungan karakter bangsa tidak jelas, sementara di lain pihak para tokoh
informal berpengaruh relatif menarik diri dari situasi ini sebagaimana dilakukan oleh
para kyai kitab.

Antara Relasi Kekuasaan, Politik Anggaran dan Kemiskinan Pedesaan


Relasi kekuasaan yang berlangsung dalam tata kelola pemerintahan daerah,
bargaining dan operasionalisasi anggaran secara bersatu padu semakin
menenggelamkan kepentingan pembangunan desa. Sebagaimana struktur belanja
daerah yang tersaji dalam Tabel 5.2, terindikasi jelas bahwa anggaran yang ada sama
sekali tidak memihak kepentingan pembangunan.
Dalam hal mencermati politik anggaran dalamm kaitannya dengan
ketidakberpihakkannya terhadap pembangunan perdesaan, terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhinya. Aspek yang pertama adalah struktur anggaran yang belum
berorientasi hasil.
Fakta yang paling penting sebagai indikasi struktur anggaran yang tidak
beriorientasi kepada hasil adalah bahwa adanya kecenderungan untuk
memaksimalkan setiap indeks harga belanja dengan tujuan agar anggaran terserap.
Meskipun setiap indeks Standar Satuan Harga Belanja (SSHB) memiliki batas
terrendah dan batas tertingginya, namun pada operasionalisasinya jarang sekali
penyerapan anggaran menggunakan batas terrendah. Berdasarkan pengamatan
peneliti, sebagian besar penyerapan anggaran menggunakan batas tertingginya atau
mendekati batas tertingginya. Penyerapan anggaran memang dapat dioptimalkan,
tetapi hal ini mengindikasikan bahwa hasil kegiatan belum menjadi targetnya. Target
utama semata adalah dalam rangka menyerap anggaran, sehingga kegiatan
dipandang berhasil jika penyerapan anggaran sudah dilaksanakan meskipun dengan
menggunakan biaya pembangunan yang sangat tinggi. Padahal sejatinya biaya
pembangunan dapat ditekan dengan menggunakan standar belanja yang sesuai,
sehingga hasil kegiatan dapat dioptimalkan dengan penggunaan anggaran yang
relatif lebih kecil.
Berdasarkan pendekatan struktur kepejabatan aparatur yang ada juga kurang
mendukung terhadap pelaksanaan anggaran secara efektif dan efisien. Hal ini
diindikasikan dengan relatif rendahnya struktur kepejabatan fungsional
dibandingkan dengan jabatan struktur yang ada pada hampir seluruh Satuan Kerja
Perangakat Daerah (SKPD) Kabupaten Pandeglang. Sebagai contoh adalah Dinas
Pendapatan Daerah (Dispenda) Kabupaten Pandeglang, pada lembaga yang
memiliki kewenangan dalam pengkoordinasian dan penarikan sektor Pendapatan
Asli Daerah ini ternyata tidak terdapat satu pejabat fungsional pun yang mengisi
kotak jabatan fungsional tertentu. Hal ini membuat fungsi-fungsi operasionalisasi
kegiatan tidak bisa dioptimalkan baik yang menyangkut fungsi pendataan,
pemeriksaan maupun penagihan sektor-sektor pajak daerah dan pendapatan aslid
daerah lainnya. Pada akhirnya pelaksanaan anggaran pun mengikuti alur
kepentingan struktur bukan kepentingan fungsinya, sehingga optimalisasi anggaran
kurang menyentuh sasarannya karena penyelesaian tugas (task accomplishment)
lebih menekankan basis strukturnya (struktural), bukan menekankan fungsinya
(fungsional).
Dampak yang lebih luas dari penekanan anggaran berbasis struktur ini adalah
adanya kepentingan-kepentingan yang bermain baik yang melakukan penekanan
89

maupun upaya lainya dalam mempengaruhi kebijakan teknis dari struktur tersebut.
Hasil kegiatan pun membias karena “ditumpangi” oleh kepentingan-kepentingan
tersebut yang membuat sasaran anggaran tidak tersentuh. Hal ini baik langsung
maupun tidak langsung berdampak kepada pencapaian sasaran pembangunan atau
dalam skala yang lebih luas lagi adalah terabaikannya kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan.
Dalam analisis terhadap struktur APBD, kepentingan untuk mendahulukan
struktur dibanding fungsi ini sangat nampak pada rasio perbandingan antara Belanja
Pegawai dan Belanja Lain-lain (Pembangunan) sebagaimana tersaji pada Tabel 5.2.
Berdasarkan data tabel tersebut, 57,64% anggaran belanja daerah terserap untuk
belanja pegawai. Artinya adalah lebih dari separuh anggaran digunakan untuk
kepentingan aparatur, atau dalam hal ini adalah strukturnya, dan sisanya
dialokasikan untuk kegiatan pembangunan. Beban berat daerah dalam menanggung
kepentingan aparatur ini jelas membebani kemajuan pembangunan daerah.

Tabel 5.2 Struktur Belanja Daerah Kabupaten Pandeglang Tahun 2014


No. Uraian Jumlah (Rp) Keterangan
I Belanja Daerah 1,549,715,674,713.11 Raso Belanja Pegawai
II Belanja Tidak Langsung 901,020,771,904.11 terhadap Belanja Lain-lain
a. Belanja Pegawai 833,437,820,404.11 (pembangunan) adalah
{(II.a+III.a)/I x 100} =
b. Belanja Hibah 13,985,000,000.00
57,64%
c. Belanja Bantuan Sosial 14,891,201,500.00
d. Belanja Bagi Hasil 7,021,327,500.00
e. Belanja Bantuan Keuangan 26,685,422,500.00
f. Belanja Tidak Terduga 5,000,000,000.00
III Belanja Langsung 648,694,902,809.00
a. Belanja Pegawai 59,909,075,109.00
b. Belanja Barang dan Jasa 229,902,245,955.00
c. Belanja Modal 358,883,581,745.00
Jumlah Belanja 1,549,715,674,713.11
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pandeglang, 2015.

Dengan kondisi tanggungan beban berat pada belanja pegawai


mengakibatkan belanja pembangunan terabaikan. Pada kondisi ini sangat jelas
bahwa kepentingan masyarakat juga tersisihkan oleh kepentingan kesejahteraan
aparatur pemerintahan. Hal ini mengindikasikan bahwa posisi rakyat yang lemah
secara struktural (sistem politik) mengakibatkan kepentingannya tersisihkan.
Selain terabaikan secara operasionalisasi anggaran, hal yang paling penting
juga adalah bahwa sejak dari awal perencanaan anggaran, pola-pola perencanaannya
tidak mendukung terhadap teragendakannya kepentingan masyarakat. Misalnya
adalah hal yang berkaitan dengan pagu indikatif yang dimaksudkan untuk memacu
motivasi masyarakat dalam berpartisipasi aktif pada proses musrenbang. Pagu
indikatif ini adalah batasan perencanaan pembangunan yang diberikan oleh pihak
kabupaten sebagai patokan standar yang akan dilakukan pada tahun berikutnya. Pada
tataran praktisnya adalah bahwa pagu indikatif desa tidak dapat dimaksimalkan
karena desa tidak mampu menyusun perencanaan pembangunan atas tiga
pertimbangan mana yang masuk dalam kategori prioritas, kebutuhan atau yang
dipandang sebagai urgen. Hal ini mengakibatkan tetap saja pada akhirnya
90

kepentingan pembangunan desa tidak pernah secara optimal terserap dalam APBD
Kabupaten.
Terkait dengan perencanaan anggaran ini, menurut informan Ahmad
Suhaeruddin (Kabid Pemerintahan Desa) menyatakan bahwa “secara sistematis
harus dipahami bahwa terdapat kategori-kategori dalam aspek pembangunan desa
yaitu ada yang menjadi kewenangan kabupaten dan ada yang menjadi kewenangan
desa. Misalnya adalah untuk infrastruktur jalan, harus dipilih mana yang termasuk
jalan desa dan mana yang termasuk jalan kabupaten. Jadi harus ada pemeringkatan
kebutuhan yang dikaji oleh desa secara komprehensif”.
Kemampuan desa dalam melakukan pemeringkatan kebutuhan ini tidak
dapat dilakukan secara tepat karena ketidakmampuan kepala desa dan aparaturnya
dalam memilah dan memilih mana yang termasuk prioritas, kebutuhan dan yang
dipandang urgen. Sehingga pada proses akhirnya, dengan tidak jelasnya perencanaan
pembangunan desa pada tiga tekanan tersebut mengakibatkan disisihkannya
perencanaan pembangunan desa pada tingkat agenda kabupaten.
Satu temuan penelitian yang cukup mencengangkan dalam pembagian
kewenangan ini adalah bahwa seringkali penyerapan anggaran pembangunan yang
menjadi kewenangan kabupaten dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang
tidak formal. Menurut informan Ahmad Suhaeruddin menyatakan bahwa “pada
kondisi-kondisi tertentu memang terdapat anggaran pembangunan desa yang
menjadi kewenangan kabupaten diserap hanya dengan memberikan celah kepada
desa untuk melakukan pendekatan secara intensif kepada kabupaten”.
Hal tersebut mengindikasikan relasi kompromi harus dilakukan oleh pihak
desa untuk dapat menurunkan sejumlah anggaran pembangunan. Hal ini jelas tidak
sesuai dengan konsep-konsep pembangunan yang berdasar kepada model bottom-up
planning sebagaimana diakui oleh informan Ahmad Suhaeruddin bahwa “secara
teoritis memang perencanaan dilakukan secara bottom-up, tetapi dalam tataran
praktisnya tetap saja yang berlangsung adalah model top-down”.
Model perencanaan bottom-up yang dimaksudkan adalah bahwa perencanaan
pembangunan dilakukan dengan diawali musrenbangdes dibawa kepada
musrenbangkec dan musrenbangkab. Namun pada kenyataannya, karena desa tidak
mampu menginterpretasikan konsep (visi dan misi) pembangunan di tingkat
kabupaten, sehingga memang sejak dari awal musrenbangdes tidak terdapat
konektivitas antara konsep pembangunan kabupaten dengan konsep pembangunan
yang diusulkan desa. Oleh karenanya hal ini membuat kabupaten menyusun pagu
indikatif desa sebagai batasan penganggaran desa yang dimaksudkan untuk menjaga
konektivitas konsep pembangunan di tingkat kabuapaten. Dengan demikian
sebenarnya tetap saja yang berlangsung adalah model top-down terlebih fakta
temuan di atas yang semakin mengindikasikan pola-pola pembangunan model top-
down tersebut. Dengan demikian pula hal ini menegaskan bahwa keberhasilan
kepala desa dalam menyerap anggaran pembangunan yang ada di kabupaten sangat
ditentukan oleh pola-pola relasi kompromi terhadap pihak kabupaten (bupati). Jika
kepala desa mampu menjalin hubungan yang baik tidak menutup kemungkinan akan
banyak anggaran yang turun terhadap desanya.
Hal yang lebih penting lagi menurut informan Ahmad Suhaeruddin bahwa
“selama ini tidak pernah ada satu pemerintahan desa pun yang sudah menyusun
RPJMDes. Padahal RPJMDes ini adalah dokumen wajib dalam proses perencanaan
pembangunan desa”. Dengan demikian menjadi sangat jelas bahwa ketiadaan
RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) membuat kendali
pembangunan di desa pun tidak jelas yang berarti konsep pembangunan di desa
91

tidak berdasarkan dokumen resmi. Hal inilah yang menyebabkan anggaran


pembangunan desa setiap tahunnya (APBDes) pun semata disusun sebagai dokumen
formal untuk penyerapan anggaran semata, atau formalitas belaka.
Perlu dijelaskan disini bahwa keberadaan RPJMDes ini sangat penting selain
menjadi rujukan APBDes untuk tiap tahunnya, juga menjadi dokumen formal untuk
menjaga konektivitas dengan RPJMD di tingkat kabupaten. Oleh karenanya jika
RPJMDes tersusun, maka sebenarnya sudah terbangun kesamaan arah pembangunan
antara desa dan kabupaten. Dengan demikian pula harapannya adalah anggaran desa
teradopsi dalam anggaran kabupaten (APBD). Ketiadaan RPJMDes inilah salah
satunya yang mengakibatkan kepentingan desa tersisihkan.
Selain model-model struktural dalam perencanaan pembangunan desa,
kepentingan politik juga menentukan terserapnya anggaran pembangunan ini.
Komunikasi yang dibangun oleh para anggota legislatif melalui model reses adalah
model yang sangat efektif dan efisien untuk dapat menurunkan sejumlah anggaran
pembangunan. Meskipun kepentingan kekuasaan mewarnai urusan pembangunan
desa ini, namun ini adalah salah satu model yang paling cepat agar pembangunan
desa terrealisasikan. Kepentingan kekuasaan disini adalah bahwa untuk menjaga
ikatan keterwakilannya, satu-satunya cara agar para politisi ini diakui keberadaannya
oleh masyarakat adalah dengan bukti kemampuannya memberikan kontribusi
pembangunan bagi konstituennya (masyarakat pemilihnya).
Pada model tersebut relasi kompromi tiga pihak berlangsung yaitu antara
kepala desa, politisi dan bupati. Hal ini mengindikasikan pula bahwa relasi yang
dibangun kepala desa dengan politisi juga sangat menentukan turunnya sejumlah
anggaran pembangunan.
Berdasarkan uraian di atas, keberhasilan pembangunan desa sangat
ditentukan oleh kemampuannya menjalin relasi dengan pihak kabupaten (bupati) dan
juga politisi. Bagi kepala desa yang mampu melakukannya, maka keberhasilan
pembangunan pun menyertai kepemimpinannya, tetapi bagi yang tidak mampu
justru sebaliknya. Padahal tidak semua kepala desa mampu melakukan jalinan relasi
tersebut. Dengan demikian sebenarnya berlangsung kompetisi diantara para kepala
desa untuk membangun jalinan relasi terhadap supra strukturnya baik terhadap supra
struktur politik (politisi) maupun supra struktur pemerintahan (bupati). Balutan
relasi kekuasaan dalam politik anggaran ini tentunya berimplikasi terhadap
kesejahteraan masyarakat pedesaan dengan suatu kecenderungan bahwa kemiskinan
tetap saja akan melingkupi kehidupan pedesaan karena tidak mungkin semua kepala
desa berhasil dalam membangun jalinan relasinya. Atau dengan kata lain secara
keseluruhan tetap saja bahwa kemiskinan pedesaan menjadi pertaruhan dalam
model-model politik anggaran yang berlangsung. Uraian tersebut dapat
diilustrasikan dalam Gambar 5.1.
92

Gambar 5.1 Hubungan Antara Relasi Kekuasaan, Politik Anggaran dan


Kemiskinan Pedesaan

Berdasarkan Gambar 5.1 bahwa anggaran sejak awal sudah tersegmentasi


dalam dua bagian yaitu belanja pegawai dan belanja pembangunan yang
menyisihkan kepentingan pembangunan karena rasionya lebih besar untuk sektor
belanja pegawai. Dari sebagian anggaran belanja pembangunan pun ternyata tidak
bisa diagendakan dalam APBD karena tidak semua anggaran yang terdapat dalam
APBDes sebagai hasil musrenbangdes dapat diadopsi dalam ABPD. Hal ini semakin
meminggirkan kepentingan pembangunan desa. Sementara saluran-saluran lain yaitu
melalui relasi kompromi kepala desa dengan pihak bupati dan politisi berikut
dinamika politiknya pun tidak menjamin keberhasilan untuk dapat menurunkan
sejumlah anggaran pembangunan ke desanya. Hal ini karena kemungkinan terjadi
pula kompetisi diantara masing-masing kepala desa untuk sama-sama berjuang
dalam menyerap anggaran pembangunan tersebut. Dengan demikian selain struktur
APBD yang meminggirkan kepentingan pembangunan desa karena rasionya yang
memihak kepentingan aparatur, juga proses perencanaan pembangunan melalui
APBDes dan saluran politik semakin menyulitkan desa untuk dapat mengagendakan
kepentingan pembangunannya di tingkat kabupaten (dalam APBD).

Ikhtisar
Untuk kasus Pandeglang, dinamika politik lokal sangat dipengaruhi oleh riak
politik di tingkat desa. Hal ini karena mayoritas masyarakatnya yang tinggal di
pedesaan. Pada kondisi masyarakat pedesaan yang sangat bergantung kepada tokoh
ulama dan jawara, maka dapat dipastikan bahwa keberhasilan suatu target politik
sangat ditentukan oleh peran kedua informal leader tersebut. Hal inilah yang
dipahami secara mendalam oleh rezim orde baru dengan mengkooptasi kaum ulama
dan jawara dalam politik korporatisnya.
93

Terjunnya ulama dalam arena politik ini pun sebenarnya menyulut pro kontra
di kalangan para ulama sendiri. Fakta memang menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa social power ulama yang menjadi aktor politik (kyai politik) mengalami
penurunan. Oleh karenanya sebagian besar kalangan pesantren salafiyah menjaga
jarak terhadap keterlibatan kaum ulama dalam politik. Bagi mereka sejatinya ulama
tetap berada pada ruang edukasi saja.
Perdebatan yang sama juga terjadi pada pilihan strategi dakwah ulama yaitu
apakah diperkenankan dengan cara-cara kekerasan atau tidak. Dalam hal inilah
dikedepankan dua pilihan antara konsep ulama ngajawara atau jawara nyantri
dengan kecenderungan bahwa pilihan yang ideal bagi masyarakat saat ini adalah
konsep jawara-nyantri. Adapun konsep ulama ngajawara itu sendiri dapat dipahami
sebagai cara berpolitik praktis ulama dalam menggulingkan paham-paham politik
yang mereka anggap tidak sesuai dengan syariat Islam. Hal ini mereka lakukan
karena menurut pandangan mereka negara seringkali absen dalam menyelesaikan
permasalahan sosial politik.
Di sisi lain, kebijakan-kebijakan yang terkait dengan tata kelola daerah dan
desa juga mempengaruhi dinamika relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa. Hal
inilah yang menyebabkan pola-pola relasi kekuasaan keduanya bekesesuaian dengan
periodisasi pemerintahan yang berlangsung. Kecenderungan yang paling nampak
saat ini bahwa seiring dengan penguatan posisi desa sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 adalah bahwa relasi kekuasaan bupati dengan
kepala desa akan berlangsung secara ketergantungan-pertukaran. Dalam pandangan
ini struktur kekuasaan ditentukan oleh bagaimana pola-pola pertukaran diantara
keduanya berlangsung. Dengan demikian struktur formal yang menempatkan bupati
berada di atas kepala desa bukan jaminan sehingga kekuasaan bupati lebih tinggi
daripada kepala desa karena hal ini sangat bergantung kepada pola pertukaran yang
ada.
Kepala desa juga diuntungkan oleh faktor kedekatan yang dibangunnya
dengan warganya meskipun kepala desa menanggung (menombok) segala
ketergantungan warga terhadapnya. Ikatan bathin kepala desa dengan warga ini
merupakan nilai lebih yang tidak dimiliki oleh bupati. Kelebihan ini menempatkan
kepala desa memiliki kesempatan membangun jaringan kekuasaannya melalui jalur-
jalur tradisi.
Namun ketentraman desa saat ini terusik seiring dengan perkembangan
demokratisasi prosedural yang materialistis. Masyarakat desa diperkenalkan kepada
cara-cara politik materialistis yang sangat jauh dari substansi demokrasi yang
sesungguhnya. Nilai-nilai dasar demokrasi desa semakin ditinggalkan. Hal ini
misalnya diindikasikan dari cara bermusyawarah dan bermufakat yang semakin
bergeser kepada cara-cara pemaksaan kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Kondisi-kondisi di atas dapat dikategorikan sebagai demokrasi yang lebih
menekankan pada prosedural yang dalam analisis Alfitri (2009) merupakan akar dari
terjadinya kesenjangan dan kemiskinan.
Dalam memaknai relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa terutama
sebelum era reformasi yang menempatkan kepala desa terdominasi secara struktural
pada akhirnya tidak hanya memarginalkan kepala desa dalam struktur kekuasaan
tetapi juga memarginalkan kepentingan masyarakat desa secara keseluruhan.
Akibatnya kesejahteraan masyarakat desa tidak pernah terangkat.
Sementara itu pergulatan kekuasaan dan cara-cara berdemokrasi yang
materialistis semakin menenggelamkan kepentingan desa. Isu-isu dukung
94

mendukung kekuasan yang ada selalu dalam rangka memperoleh suara dukungan
sebanyak-banyaknya dari rakyat, sehingga rakyat lebih cenderung menjadi obyek
politik target suara bukan bagaimana politik menampung suara rakyat untuk
diagendakan dalam proses politik dan pembangunan. Pada akhirnya rakyat tidak
pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang ditujukan untuk
meningkatkan taraf hidupnya. Rakyat relatif bersifat pasif terhadap segala keputusan
yang dihasilkan dari proses dukung mendukung kekuasaan tersebut.
Kondisi-kondisi yang meminggirkan kepentingan masyarakat pedesaan
tersebut semakin ironis dengan politik anggaran yang juga tidak memihak. Struktur
anggaran baik dalam pengaturan secara formal dalam APBD maupun
operasionalisasinya sangat tidak memihak kepentingan pembangunan desa.
Orientasi pembangunan hanya mengejar terpenuhinya kesejahteraan supra struktur
dan mengabaikan pembangunan desa, hal yang semakin menenggelamkan
kesempatan desa untuk meningkatkan kesejahteraannya.
95

6. RELASI KEKUASAAN BUPATI DENGAN KEPALA DESA:


PERTARUNGAN JARINGAN KEKUASAAN

Pada bab ini peneliti akan menjelaskan pertarungan kekuasaan di tingkat


lokal dalam kaitannya dengan geliat politik di tingkat desa. Meskipun peran
birokrasi lokal di level menengah (kecamatan) memiliki peran yang penting
terhadap kontribusi pembentukan kekuasaan bupati, namun demikian peran kepala
desa sebagai kepala unit pemerintahan terkecil yang berhubungan langsung dengan
konstituen politik (massa di level grassroot) juga sangat penting. Oleh karenanya
tidak salah jika perhatian politisi lokal terhadap politik desa juga menjadi penting
sebagai asset pemenangan politiknya.
Unsur birokrasi pemerintahan desa atau dalam hal ini kepala desa sebagai
aktor utamanya, mau tidak mau apakah karena alasan kepentingan politik pribadi
maupun atas nama pembangunan desanya tidak dapat melepaskan diri dari
kepentingan politik di tingkat lokal (supra desa). Secara etika birokrasi, jika
administrator publik melibatkan diri dalam kepentingan politik maka dapat
dikatakan birokrasi tersebut tidak netral. Pada kondisi inilah kepala desa dihadapkan
pada satu dilema antara melayani satu kepentingan politik tertentu (penguasa politik
lokal) atau melepaskan diri dari atribut politik semata-mata untuk menjamin
independensi pelayanan publik. Kenyataannya berdasarkan pengamatan peneliti
mayoritas kepala desa memilih untuk berpihak pada politik, terlepas apakah
melayani kepentingan politik penguasa inkumben maupun politisi lokal lainnya.
Terjadilah hubungan politik struktural atas nama desa dan supra desa.
Pada bagian lain, pertarungan politik di tingkat desa tidak bisa dipisahkan
dari peran yang dijalankan oleh ulama dan jawara. Sebagai pilar agama dan budaya,
ulama dan jawara mewakili kuasa sebagian besar massa akar rumput. Pada wilayah
pedesaan yang jangkauan ke kotanya sangat jauh misalnya peneliti mengambil desa
Kawoyang, dapat digambarkan bagaimana suara rakyat adalah suara mereka.
Keputusan-keputusan politik desa pun tidak dilaksanakan di kantor desa, melainkan
dalam musyawarah di bale-bale (balai-balai) pengajian. Untuk itulah, formulasi
keputusan desa tidak berhenti pada apa yang menjadi rujukan di tingkat pusat atau
lokal, melainkan bagaimana hal ini disepakati di tingkat musyawarah desa dimana
ulama dan jawara memainkan peranannya. Dengan demikian sebenarnya
pertarungan kekuasaan antara bupati dengan kepala desa sangat bergantung kepada
bagaimana keduanya dapat memperkuat ikatan jaringan kekuasaan dengan jaringan
ulama dan jawara. Namun demikian dalam realitas konkretnya, pertarungan
kekuasaan tidak dapat dilepaskan pula dengan kekuatan jaringan kekuasaan lainnya
sehingga membuat pertarungan kekuasaan sebenarnya adalah pertarungan jaringan
kekuasaan diantara keduanya.

Struktur Relasi Desa dengan Supra Desa


Gambaran Hans Antlov (2002) yang melukiskan bagaimana kesibukan
kepala desa pada masa orde baru yang tidak melayani kepentingan masyarakatnya
tetapi melayani kepentingan aktor di atasnya. Kepala desa terhegemoni oleh
kekuasaan orde baru sehingga aktivitasnya adalah semata menjalankan apa yang
dititahkan oleh negara (supra desa). Gambaran ini jelas menempatkan kepala desa
sebagai subordinat dalam struktur relasi desa dengan supra desa.
Perkembangan otonomi daerah sebagaimana diusung Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 menengarai perubahan dalam pembentukan desa yang lebih
96

mandiri. Namun asa desa untuk berotonomi berdasarkan undang-undang ini ternyata
masih jauh. Tidak banyak hal yang diatur oleh undang-undang ini tentang desa,
hanya sekitar 8 pasal saja (pasal 93 sampai dengan pasal 111). Ini mengindikasikan
kerdilnya urusan desa bagi negara. Sebenarnya dalam kaitannya dengan
pembentukan regulasi, orde baru dapat dikatakan lebih maju dengan memisahkan
urusan desa yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979,
meskipun semangatnya berbeda dimana undang-undang tersebut relatif
menenggelamkan otonomi desa dengan model-model penyeragamannya. Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini lebih banyak mengkonsentrasikan pada tekanan
otonomi daerah dibandingkan dengan otonomi desa. Sehingga tetap saja belum
muncul political will dari negara untuk mengangkat derajat otonomi desa.
Pemarginalan kepentingan desa juga terjadi pada Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Pada undang-undang ini lebih banyak mengatur muatan pemilihan
kepala daerah. Bahkan semangat penyeragaman muncul kembali seiring dengan
adanya pengangkatan Sekdes PNS. Sama halnya dengan peraturan perundang-
undangan sebelumnya, semangat undang-undang ini hanya menekankan kepada
pelaksanaan otonomi daerah, urusan penyelenggaraan desa (otonomi desa) dianggap
bukan hal yang strategis, sehingga negara hanya mengaturnya melalui kelembagaan
eksekutif yaitu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005.
Asa pemberdayaan desa kembali menguap seiring dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 dengan isu pengiring yang mengemuka adalah
tentang “1 milyar 1 desa”. Isu kemandirian keuangan ini memantik semaraknya
perebutan kekuasaan di desa sehingga desa digiring kepada suasana yang tidak
harmonis. Desa semakin memanas karena banyak anggota masyarakatnya yang
“terpesona” oleh angka 1 milyar tersebut. Untuk meredamnya, supra desa
mengagendakan pelaksanaan pemilihan kepala desa secara serentak.
Dari aspek keuangan, kewenangan desa terangkat secara sangat signifikan
karena alokasi dana desa sangat memungkinkan desa mengatur rumah tangganya
sendiri secara optimal. Pemberdayaan masyarakat pun, dari aspek ini memiliki
peluang yang bagus karena penyerapan anggaran pemberdayaan masyarakat tidak
hanya mengandalkan dari alokasi dana desa tetapi terdapat pula bantuan-bantuan
langsung kepada masyarakat. Namun hal yang paling strategis dalam struktur relasi
desa dan supra desa adalah sebenarnya bagaimana agar posisi tawar desa semakin
kuat yang justru belum terangkat.
Kemandirian keuangan bukan merupakan jaminan akan memperkuat posisi
tawar desa karena posisi tawar erat kaitannya dengan pemetaan kekuasaan.
Sementara saat ini struktur kekuasaan dalam kaitannya dengan relasi desa dan supra
desa tidak menempatkan desa memiliki akses untuk memperkuat posisi tawarnya.
Desa tidak memiliki akses untuk menyuarakan kepentingannya karena tidak
memiliki kelembagaan perwakilan sebagaimana daerah di tingkat pusat dimana
daerah terwakilkan oleh kelembagaan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Konsep
yang sama sejatinya membentuk dewan perwakilan desa baik di tingkat daerah
(DPRD) maupun di tingkat pusat (DPR RI).
Saat ini yang berlangsung desa tertekan oleh kepentingan kekuasaan semata,
kepentingan desa tidak bisa terrangkat secara optimal karena desa tidak memiliki
wakilnya dalam kelembagaan legislatif. Sementara saluran kekuasaan melalui partai
politik tidak menjamin kepentingan desa dapat teragregasikan secara optimal.
Dengan demikian, kepentingan desa saat ini adalah bagaimana formula sistem
politik yang dapat memfasilitasi desa mengagendakan kepentingannya. Model-
model pengagendaan kepentingan desa melalui saluran formal semacam
97

Musrenbangdes (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa) ternyata tidak


terlalu efektif mengangkat aspirasi dan kepentingan desa sebagaimana penelitian
Sumaryo (2013), Hirawan (2014) dan Yulizar (2014). Kesimpulan dari penelitian-
penelitian tersebut adalah bahwa Musrenbang hanya merupakan hal formalitas
belaka sehingga pendekatannya administratif saja. Indikasi Musrenbangkab yang
memarginalkan desa ini menyulut gerakan kepala desa di Kabupaten Jepara yang
menuntut 50 persen hasil Musrenbangdes di Tingkat Kecamatan direalisasikan
(sebagaimana termuat dalam Harian Suara Merdeka 5 Februari 2015).
Dimensi kekuasaan menyebabkan desa tidak berdaya terhadap perencanaan
pembangunan yang dimodelkan Musrenbangkab meskipun mengadopsi pendekatan
bottom-up planning. Hal ini karena proses APBD sebagai muara akhir dari
Musrenbangkab adalah merupakan proses politik yang sarat dengan kepentingan
kekuasaan kelompok-kelompok tertentu. Sementara itu, desa sama sekali tidak
terlibat dalam proses tersebut. Hal inilah yang mengakibatkan kepentingan desa
termarginalkan.
Struktur kekuasaan yang memposisikan desa sebagai periphery
menyebabkan desa tidak mampu mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh
pusat kekuasaan baik di tingkat lokal terlebih di tingkat nasional. Meskipun
superordinasi supra desa mengalami penurunan seiring peningkatan derajat anggaran
desa, namun relasi kekuasaan desa dan supra desa sebenarnya tidak lebih baik dari
pola hegemoni sebagaimana yang terjadi pada masa orde baru dalam gambaran
Antlov (2002) karena secara kekuasaan tetap saja desa tidak memiliki posisi tawar
yang memberikan peluang kepada desa untuk memperbaiki kesejahteraannya. Inilah
sebenarnya inti dari belum berjalannya demokratisasi lokal karena desa belum
mampu menempatkan diri sebagai entitas yang memiliki potensi kekuasaan dalam
mempengaruhi kebijakan di tingkat lokal khususnya utamanya nasional.

Struktur Kekuasaan Khas Pedesaan Banten


Dalam pendekatan teori kekuasaan ketergantungan Emerson, struktur sosial
menjadi determinan utama terhadap relasi kekuasaan yang terbentuk, oleh karenanya
dalam menganalisis relasi kekuasaan sangat perlu melihatnya dari struktur
kekuasaan yang ada. Secara teori politik, struktur kekuasaan sejatinya
dikonstruksikan oleh pengaruh-pengaruh unsur strukturnya. Artinya adalah semakin
besar struktur tersebut (katakanlah partai mayoritas), maka semakin besar kekuasaan
yang dimilikinya. Berdasarkan pendekatan sistem politik David Easton sebagaimana
dijelaskan dalam Gambar 6.1, keputusan politik mengalir dari input yang berasal
dari struktur yang diagregasikan dan diartikulasikan oleh struktur tersebut kemudian
diproses menjadi output berbentuk keputusan politik. Namun demikian proses
politik dalam sistem politik ini diawali oleh suatu pengaruh yang sangat besar dari
faktor lingkungan (internal maupun eksternal).
Dapat dipahami disini bahwa dalam kaitannya dengan proses politik di
Pandeglang akan dipengaruhi oleh dua faktor utamanya yaitu pertama berkaitan
dengan konsep demokratisasi yang semakin mengglobal sebagai pengaruh dari
lingkungan luar (ekstrasosial) dan kedua adalah faktor sosial-kultural sebagai
pengaruh lingkungan dalam (intrasosial).
Namun demikian, jika dibuat perbandingan antara dua faktor tersebut
(ekstrasosial dan intrasosial), maka untuk kasus Pandeglang tentunya faktor
intrasosiallah yang paling banyak memiliki peranan dalam proses sistem politik ini.
Kesimpulan ini dapat diindikasikan dari bentukan dinasti politik yang mendominasi
98

organisasi-organisasi kekuasaan formal di Pandeglang secara khusus dan Banten


pada umumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai-nilai demokrasi sebenarnya
“dijungkir balikkan” oleh kuasa tradisi lokal, yang dapat diartikan bahwa pengaruh
ekstrasosial hanya berperan sebagai perangsang saja. Kuasa tradisi lokal yang sangat
tinggi tersebut dapat digambarkan dalam struktur kekuasaan sebagaimana dijelaskan
dalam Gambar 6.2.

Sumber: Chilcote (2004:202).


Gambar 6.1 Model Aliran Sistem Politik David Easton

Gambar 6.2 menggambarkan bahwa berdasarkan dimensi politik praktis pada


prinsipnya kelas atas (kelas penguasa) hanya diisi oleh bupati, tetapi sebenarnya
bupati dalam kepemimpinan politiknya dikendalikan kekuasaannya – secara kultural
– terutama oleh jaringan ulama. Dengan demikian kelas atas ini terpilah menjadi dua
kategori yaitu penguasa politik dalam hal ini bupati dan penguasa tradisi (jaringan
ulama). Sementara pada kelas menengah diisi oleh para elit yang secara langsung
bersentuhan dengan kehidupan masyarakat desa, meskipun level strukturnya berbeda
artinya adalah kemampuan mempengaruhi sistem sosial-politiknya berragam
sehingga tetap saja elit di tingkat lokallah (baik elit politik maupun elit birokrasi)
yang lebih memiliki pengaruh terhadap dinamika di tingkat lokal dibandingkan
dengan elit yang bermain di level pedesaan. Kemudian di level paling bawah (kelas
bawah) diisi oleh masyarakat biasa yang tidak mempunyai kemampuan
mempengaruhi kebijakan politik, yaitu masyarakat level akar rumput yang diisi oleh
para petani penggarap dan buruh kasar.
99

Gambar 6.2 Piramida Struktur Kekuasaan Masyarakat Pedesaan Pandeglang

Adanya struktur tertinggi yang berada pada kelas penguasa tradisi


merupakan kenyataan bahwa struktur kekuasaan yang terbentuk di Pandeglang
sangat bergantung kepada kuasa ulama, atau dalam hal ini kuasa informal leader.
Dengan demikian dapat ditegaskan disini bahwa tata kelola pemerintahan relatif
berwujud informal governance baik di tingkat lokal maupun desa, yaitu tata kelola
yang berbasis kuasa informal leader. Sehingga keputusan-keputusan politik yang
dihasilkannya pun seringkali justru berseberangan dengan formulasi yang
100

direkomendasikan oleh regulasi formal. Sebagai percontohan dapat diindikasikan


dari cara-cara pengambilan keputusan yang dilakukan oleh AA dengan konsepnya
yaitu 75% urusan agama berbanding 25% urusan pemerintahan. Untuk contoh di
tingkat lokal misalnya keputusan membatalkan pendirian industri makanan PT.
Mayora sebagai pertimbangan penolakan kelompok pesantren (Abuya Muhtadi)
karena dianggap pendirian pabrik tersebut akan banyak menyedot cadangan air
masyarakat, padahal segala hal yang berkaitan dengan perizinan kelayakan usaha
sudah selesai. Hal ini berarti keputusan formal “dikalahkan” oleh keputusan
informal.
Bersandarnya keputusan politik kepada informal leader menyebabkan
struktur kekuasan yang ada pun didominasi oleh informal leader khususnya dalam
hal ini adalah para ulama. Untuk itulah struktur puncak diisi oleh para ulama yaitu
dari mulai struktur pertama sampai dengan yang keempat. Struktur itu sendiri
terbentuk karena dua prinsip yang mengusungnya yaitu pertama: prinsip
penghambaan dalam relasi patron-klien khas pedesaan Banten dan kedua: prinsip
penaklukan dan ketundukan. Prinsip penghambaan terjadi dari struktur bawah
kepada struktur atasnya, dapat saja kondisi strukturnya melompat sehingga bisa saja
struktur ke-8 (ustadz) menjadi pelayan terhadap klien yang ada di struktur ke-3 (kyai
bale rombeng). Sementara itu prinsip penaklukan dan ketundukan juga mendasari
pembentukan struktur kekuasan tersebut dimana dapat dicontohkan misalnya antara
kyai hikmah (struktur ke-4) dan jawara non politik (struktur ke-7).
Tingkatan struktur kekuasaan sebagaimana digambarkan dalam Gambar 6.2
nampak sangat kompleks sehingga tidak sesederhana pada model tiga pelapisan
struktur yang biasanya terjadi dalam masyarakat pada umumnya yaitu kelas
penguasa (ruling class), kelas menengah (middle class) dan kelas bawah (ruled
class) saja. Kompleksitas struktur kekuasaan dalam masyarakat Pandeglang ini
berkaitan dengan tingkatan pengaruhnya terhadap sistem sosial politik lokal yang
tentunya sangat berragam mengikuti konsep lokal Pandeglang. Oleh karenanya
struktur kekuasaan tersebut tersusun secara hirarkikal terutama berdasarkan kepada
derajat pengetahuan agamanya.
Dengan bersandar kepada struktur kekuasaan yang menempatkan ulama pada
level puncaknya, maka untuk memperoleh kekuasaan yang maksimal perlu
membangun ikatan-ikatan yang solid terhadap jaringan ulama. Jaringan ulama inilah
yang kemudian mengendalikan struktur kekuasaan yang ada. Di satu sisi,
masyarakat pedesaan berada pada level paling bawah (level akar rumput) yaitu level
yang paling banyak menjadi pertaruhan kuasa di atasnya. Dengan demikian
sebenarnya terangkatnya kepentingan masyarakat pedesaan Pandeglang sangat
bergantung kepada keputusan yang diambil jaringan ulama. Namun demikian
kondisinya mengindikasikan bahwa taraf hidup masyarakat Pandeglang tidak pernah
beranjak ke arah yang lebih baik.
Sebagaimana tergambar dalam Tabel 4.1, persentase penduduk miskin di
Kabupaten Pandeglang terus mengalami penurunan terutama sejak masa era otonomi
daerah (Tahun 2000-an). Hal ini lah yang mendasari pemikiran bahwa era
demokratisasi dan otonomi daerah tidak semakin menyejahterakan rakyat
Pandeglang. Berkecamuknya pertarungan kekuasaan memperebutkan masyarakat
desa secara jelas mengabaikan kepentingan masyarakat desa sendiri. Terbentuknya
orang kuat-orang kuat lokal (baca: dinasti politik) sebagai tuah demokratisasi jelas
menjadi indikasi kuat bahwa proses demokratisasi hanya menguntungkan pihak-
pihak tertentu dan menenggelamkan kepentingan rakyat.
101

Pola-Pola Relasi Kekuasaan Pedesaan Banten


Birokrasi sebagai sebuah struktur, secara ideal hubungan diantara strukturnya
dibangun atas prinsip profesionalisme dan formalistik. Kenyataannya, kedua prinsip
tersebut terpinggirkan oleh pola-pola hubungan yang berbasis tradisional lokal
dengan kekhasannya adalah relasi antara tuan dan pelayannya layaknya hubungan
kyai dan santri.52 Pada akhirnya hubungan pengawasan yang selama ini menonjol
dalam regulasi birokrasi lokal baik UU No. 32 Tahun 2004 maupun yang akan mulai
diimplementasikan yaitu UU No. 23 Tahun 2014 semakin memperkuat relasi patron-
klien khas pedesaan Banten di dalam birokrasi utamanya nampak terlihat dalam
hubungannya dengan supra desa meskipun sebenarnya dari dimensi keuangan,
kepala desa semakin otonom. Kondisi ini jelas mempengaruhi relasi bupati dan
kepala desa dengan kecenderungan yang sama yaitu hubungan relasi patron-klien
dalam wujud relasi patron-klien.
Sebagaimana dijelaskan oleh kepala desa jawara pengusaha yang
mengatakan bahwa “model ayeuna mah mun teu disodok-sodok, hese turunna
(model yang sekarang adalah kalau tidak didekati, susah turunnya)” dan kepala desa
jawara politisi yang menyatakan “sagala kudu diajul, karek turun (semuanya harus
dipetik, baru turun)”. Keduanya mengakui seringkali harus melakukan upaya
“penghambaan” untuk memperoleh sejumlah kegiatan agar diturunkan atau
ditujukan ke desanya. Bentuk “penghambaan” itu misalnya dengan membawakan
“upeti” kepada para pejabat kabupaten. Pola-pola seperti ini menurut kepala desa
jawara politisi merupakan hal yang wajar, karena hanya dengan inilah anggaran
pembangunan desanya dapat dilaksanakan, pola yang ia sebut diajul.
Apa yang dilakukan oleh contoh kedua kepala desa di atas, nampaknya juga
berlangsung dalam aktivitas birokrasi secara keseluruhan. Berdasarkan pengamatan
peneliti, cara-cara para birokrat dalam memperlakukan atasannya tidak jauh dengan
proses yang terjadi dalam kehidupan antara kyai dan santrinya dimana misalnya
seorang birokrat akan melakukan apa saja yang “dititahkan” atasannya sebagai
bentuk tunduk dan patuh kepada atasan.
Cara-cara ini diyakini oleh kalangan birokrat sebagai bentuk loyalitas
personal terhadap atasan yang dapat meningkatkan karir dalam jabatan birokrasinya.
Sehingga tidak heran jika pola-pola pengangkatan dan penempatan pegawai tidak
mengikuti prinsip-prinsip profesionalitas administrasi kepegawaian yang
distandarkan, melainkan kepada kepatuhan hubungan bawahan terhadap atasannya.
Tidak mengherankan jika seorang bupati dapat mengendalikan kekuatan-kekuatan
politiknya untuk memperkokoh jabatannya di hampir di segenap tingkatan birokrasi.
Hal ini pulalah yang menyulut dinasti politik berlangsung di Banten.
Relasi kekuasaan bupati dan kepala desa dipengaruhi oleh relasi-relasi
kekuasaan dengan pihak lain yang pada prinsipnya merupakan pengaruh baik secara
langsung maupun tidak langsung dari faktor ulama dan jawara.
Relasi yang paling dominan dalam membentuk kekuatan jaringan adalah
relasi yang disebut sebagai saguru saelmu (seguru dan seilmu). Relasi saguru
saelmu akan memperkuat ikatan jaringan diantara sesamanya, tetapi sebaliknya
relasi perbedaan keilmuan akan menyulut pertarungan untuk menentukan pihak yang
unggul. Relasi perbedaan keilmuan (guru) jugalah yang dalam sejarah Banten
dijelaskan sebagai cikal bakal berdirinya Kesultanan Banten yaitu latar sejarah

52
Hal ini jelas menegaskan bahwa pendapat Blau (2000) tentang birokrasi sebagai ciri masyarakat
modern tidak berlaku dalam format birokrasi Banten.
102

tentang penaklukan Pucuk Umun oleh Sultan Hasanudin. Latar belakang sejarah ini
memberikan dua gambaran penting dalam relasi kekuasaan Banten masa kini yaitu
pertama: sejak dari awal Banten sudah dibalut oleh kisah penaklukan dan
ketundukan; dan. kedua, sejak dari awal Banten terpilah kepada dua kubu keilmuan
yaitu elmu hideung yang diturunkan Pucuk Umun dan elmu putih yang diwariskan
Sultan Hasanudin. Meskipun saat ini kekuatan jaringan diantara keduanya tidak
nampak, namun jaringan saguru saelmu justru makin menguat terutama ketika
jawara masuk ke arena politik.
Sebenarnya kedua kelompok keilmuan (elmu hideung dan elmu putih)
sampai dengan saat ini pun masih terpelihara, termasuk relasi konflik diantara
keduanya. Gambaran konflik antara Buya Bustomi dan Jaro Karis yang berujung
kepada pertarungan diantara keduanya. Hal ini pulalah yang diyakini oleh sebagian
besar masyarakat pesantren salafiyah tentang keyakinan akan adanya serangan
balasan dari kelompok elmu hideung atas kekalahan Pucuk Umun di masa lalu. Oleh
karenanya pewarisan keilmuan putih – sebagian besar berbentuk hizib – di kalangan
pesantren salafiyah, dalam pengamatan peneliti masih sangat nampak, selain
memang kepentingannya tidak selalu berdasarkan kepentingan bela diri terhadap
serangan elmu hideung melainkan juga urusan keduniaan yang lainnya.
Berdasarkan kepada latar sejarah tersebut, maka dapat dipahami bahwa relasi
ulama dan jawara tidak hanya berbasis guru dan murid sebagaimana gambaran kyai
dan santri tetapi juga relasi penaklukan dan penundukan yaitu pihak ulama dalam
hal ini yang menaklukan dan pihak jawara yang tunduk kepada kondisi penaklukan
tersebut. Relasi penaklukan dan ketundukan ini pula yang membalut hubungan
antara ulama dan jawara (baik jawara putih maupun jawara hideung) tentunya dalam
posisi dimana jawara tersubordinasi (terdominasi) oleh kekuasaan ulama. Untuk
itulah seringkali masyarakat yang sedang mengalami konflik dengan para jawara,
biasanya meminta bantuan pertolongan atau lindungan kepada kyai.
Posisi subordinat jawara terhadap ulama ini yang diyakini masyarakat
Pandeglang untuk tidak terlalu khawatir dengan gerakan-gerakan kekerasan, paksaan
atau sejenisnya yang dilakukan oleh jawara karena pada prinsipnya jawara tidak
akan mampu menandingi kemampuan supranatural ulama. Dalam kondisi ini ulama
merupakan tempat mengadu masyarakat terhadap prilaku-prilaku menyimpang
jawara. Sehingga relasi kekuasaan yang terbangun antara ulama dan umatpun bukan
saja berbasis keilmuan agama tetapi juga karena perlindungan kekuasaan.
Lalu bagaimana halnya relasi kekuasaan antara ulama dengan pemerintah.
Relasi bupati atau pemerintahan secara umum dengan ulama mengalami grafik turun
naik yang dikonstruksikan oleh konstelasi politik yang ada. Menjauh dan
mendekatnya (dalam analisis Coleman adalah menyatu dan memisahnya) hubungan
diantara keduanya berpengaruh pada tata kelola pmerintahan dan politik lokal yang
ada. Jika dikuantifikasikan dalam bentuk angka maka kualitas relasi yang paling
kuat terjadi pada masa kesultanan dimana ulama menjadi struktur puncak
pemerintahan sekaligus mengendalikan integrasi agama dan urusan pemerintahan
dalam kehidupan keseharian masyarakat. Untuk itulah berdasarkan Gambar 6.3
posisi relasi ulama dan pemerintahan pada masa kesultanan ditempatkan pada posisi
yang paling atas dimana hal ini tidak pernah terulang lagi pada periode-periode
berikutnya.
Pada masa Kesultanan Banten berlangsung model kepemimpinan
pemerintahannya terintegrasi dalam konsep ulama-umaro, sehingga ulama adalah
umaro dan umaro adalah ulama. Setelah proses “perampasan” kepemimpinan
ulama-umaro oleh kolonialis Belanda, kemudian model pemerintahan ulama-umaro
103

tersebut tumbuh kembali pada masa awal kemerdekaan dengan adanya


kepemimpinan lokal dari kaum ulama. Namun perjalanannya tidak terlalu lama
karena peran politiknya semakin terpinggirkan akibat ketidakmampuan secara teknis
menguasai bidang-bidang pemerintahan yang dalam perkembangannya banyak
menyerap keilmuan Barat (Belanda). Pada saat proses penyerapan keilmuan Barat
itulah, ulama tertinggal dalam banyak hal yang mengakibatkannya tidak mampu
mengimbangi perkembangan pemerintahan pada masa-masa setelahnya.

Gambar 6.3 Dinamika Relasi Ulama dan Umaro berdasarkan Perspektif Peranan
Ulama dalam Pemerintahan
Secara umum, peranan ulama sebagai umaro menjadi hilang sama sekali
sejak memasuki masa orde baru atau masa-masa akhir orde baru terutama setelah
pemerintah pusat menitikberatkan kepemimpinan pemerintahan kepada kaum
104

profesional yang banyak diisi oleh pejabat yang didatangkan dari Priangan53. Ulama
pada akhirnya menempatkan diri sebagai figur informal leader. Ulama menarik diri
dari keterlibatannya secara langsung dalam urusan-urusan pemerintahan, semakin
profesional birokrasi semakin menjauhkan peranannya dalam birokrasi tersebut.
Kondisi inilah yang menjadikan ulama secara politik (pengambilan-pengambilan
keputusan politik) pada masa orde baru sangatlah lemah. Justru karena kondisi yang
demikian sehingga negara (rezim yang berkuasa pada masa itu) mempolitisir
perannya untuk kepentingan-kepentingan kuasa status quo.
Tidak jarang physical enforcement dilakukan oleh pemerintahan orde baru
terhadap para ulama tersebut sebagaimana yang terjadi pada masa gerakan-gerakan
subversif terjadi seperti gerakan NII (Negara Islam Indonesia)54. Situasi ini sangat
terasa berlangsung pada permulaan pemerintahan orde baru (tahun 1970-an) ketika
sentimen keagamaan dan disintegrasi nasional sangat kental sebagai pengaruh dari
transisi dari orde lama ke orde baru. Physical enforcement yang diterima oleh
banyak kalangan ulama dikaitkan dengan proses pergerakan NII yang banyak
melibatkan ulama dan unsur-unsur Islam lainnya, sehingga langkah-langkah
pemerintah kadang kala tidak tepat sasaran dan cenderung membabi buta karena
memang prasangka dan saling tuduh dimunculkan oleh pihak-pihak tertentu dalam
rangka memanaskan situasi politik yang ada.
Tidak hanya pihak kesatuan militer, bupati melalui struktur perangkatnya55
juga melakukan upaya-upaya pembatasan gerakan subversif yang dianggap dapat
menyulut disintegrasi bangsa. Sebagian besar gerakan tersebut ditunggangi oleh
warna agama, oleh karenanya tidak heran jika ulama seringkali terkena dampaknya,
meskipun sasaran tembaknya adalah kelompok lain. Akibatnya pada kondisi tertentu
hubungan ulama dan umaro dalam kondisi memanas. Kyai kitab yang cenderung
menjaga jarak dengan pemerintahanlah yang paling banyak terkena dampak karena
sikap politiknya yang dalam pandangan pemerintah dianggap sebagai anti status
quo. Sikap-sikap politik tersebut diantaranya menolak bantuan atau sumbangan
pemerintah, penolakan terhadap pengarahan politik atau menolak terhadap program-
progam pemerintah.
Tidak jarang pemerintah melakukan upaya-upaya interogasi sampai dengan
penahanan terhadap kaum ulama karena sikap politiknya tersebut. Hal ini misalnya
dilakukan pemerintah terhadap K.H. Sulem karena menolak Program Keluarga
Berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk56. Sikap politik ini sebenarnya bukanlah berkaitan dengan gerakan
perlawanan dan anti statis quo, melainkan pandangan beberapa kaum ulama tentang
penggunaan alat kontrasepsi yang dapat dikategorikan sebagai tindakan haram. Oleh
karenanya mereka mengambil sikap menolak terhadap Program KB ini.

53
Pada tahun 1950-an sampai dengan 1960-an Pemerintah Pusat mengangkat bupati-bupati yang
sebagian besar berasal dari Priangan diantaranya Rd. Haroen Sastrakoesoema (1958-1959), M. Ebby
(1959-1961), Rd. Moch. Sjahra Sastrakoesoema (1961-1964), Rd. Akil Achjar Mansjoer (1964) dan
Rd. Sjamsoedin Natadisastra (1964-1968) (sumber: Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah
Kabupaten Pandeglang). Sejak masa inilah praktis ulama sama sekali tidak memiliki peranan formal
dalam birokrasi pemerintahan.
54
Isu NII yang sangat bernuansakan keagamaan menjadikan para ulama sebagai target sasaran politik
pemerintahan orde baru. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Abuya Dimyati yang pernah ditahan
karena kasus ini, padahal beliau tidak tersangkut gerakan tersebut (wawancara dengan Wahyudin,
mantan pamong desa).
55
Pada masa ini terdapat organisasi perangkat daerah yang membidangi urusan sosial politik yaitu
Kantor Sosial Politik.
56
Sebagaimana diceritakan Haji Maman Badarzaman.
105

Pada bagian lain, strategi politik orde baru untuk meraup target suara dari
kaum agama sebanyak-banyaknya juga menginternalisasikan kaum ulama yang
salah satunya melalui satkar ulama. Selain itu beberapa orang kyai pun diangkat
menjadi anggota DPRD berdasarkan bendera Golkar. Strategi ini dilakukan untuk
mengimbangi kekuatan ulama dalam basis politik PPP. Akibatnya secara politik
kaum ulama terpilah pada tiga golongan yaitu ulama Golkar, ulama PPP dan kyai
bale rombeng (kyai kitab) yang memutuskan tidak ikut terlibat dalam urusan politik.
Pasca tumbangnya pemerintahan orde baru, tidak hanya di tataran nasional,
geliat politik di level lokal pun menemukan bentuknya terutama dengan semakin
kencangnya arus demokratisasi dan otonomi daerah. Berkah demokrasi dan otonomi
daerah ini bagi ulama adalah kesempatannya untuk kembali menginternalisasikan
dan melembagakan nilai-nilai agama dalam kehidupan pemerintahan setelah pada
masa sebelumnya hal ini sangat sulit dilakukan karena kuatnya hegemoni negara.
Upaya-upaya ini nampak dari kebijakan-kebijakan pemerintahan lokal di
Pandeglang yang bernuansakan keagamaan seperti wajib diniyah awaliyah dan
berragam kebijakan lainnya sebagaimana terurai pada Bab 4. Meskipun ulama tidak
terlibat langsung dalam proses politik lokal, namun kekuatan pengaruhnya tidak
terbantahkan mengarahkan pemerintahan lokal pada garis-garis keagamaan yang
diinginkannya. Dapat dikatakan pada masa era otonomi daerah ini, dengan prinsip-
prinsip demokrasi yang semakin dihargai, ulama pun mampu menyuarakan
kepentingannya melalui jalur-jalur politik yang semakin demokratis tersebut. Inilah
buah demokratisasi di tingkat lokal bagi kaum ulama Pandeglang. Pada prinsipnya
hubungan bupati dan ulama pada masa kini dapat dipandang sebagai hubungan
pertukaran dimana ulama mendapatkan keuntungan dengan diartikulasikannya
kepentingan-kepentingan agama dalam agenda pemerintahan, sementara bupati
memperoleh dukungan politis dari kalangan ulama yang semakin memperkuat posisi
politiknya.
Hubungan pertukaran bupati dan ulama bahkan nampak sangat jelas jika
menilik adanya konsep lokal yang menyebut kyai tangkal manggah atau kyai amis
jambu atau kyai proposal57. Jenis ulama ini adalah ulama yang bekerjasama dengan
pihak bupati untuk memperlancar kepentingan keuangan fasilitas kelembagaannya
seperti pembangunan pesantren berikut kelengkapan fasilitasnya, sementara bupati
tentunya mendapatkan sejumlah keuntungan politik dengan “terjaminnya” kantong-
kantong politik dari kalangan ulama dan pesantren.
Berbeda dengan hubungannya terhadap kyai tangkal manggah, kyai politik
dan kyai hikmah yang relatif berlangsung secara transaksional. Dalam hubungannya
dengan kyai bale rombeng (kyai kitab) dan abuya, bupati menempatkan dirinya
sebagai pelayan (klien) dalam relasi patron-klien khas pedesaan Banten. Selain
melalui pengamatan, berdasarkan penelusuran data dari bagian protokoler bupati
diperoleh informasi bahwa bupati seringkali harus bersabar diri untuk hanya sekedar
dapat menjumpai seorang kyai. Informasi yang diperoleh dari Hendriana (Kasubag
Protokoler) yang menyatakan dalam beberapa kali bupati tidak bisa menjumpai
seorang kyai karena kyai tersebut tidak berkenan menemuinya, informan

57
Penyebutan kyai tangkal manggah (kyai pohon mangga) karena tepat di samping Pendopo
Kabupaten Pandeglang terdapat pohon mangga, sehingga jenis kyai ini diidentikan kyai yang sering
mendatangi pendopo dengan biasanya membawa proposal pengajuan pembangunan pesantren, masjid
atau kepentingan agama lainnya. Untuk itulah jenis kyai ini disebut pula kyai proposal. Dalam
penelitian ini kyai tangkal manggah ini pada prinsipnya adalah kyai politik.
106

menegaskan bahwa “atuh nungarana nepungan abuya mah, ulah tah bupati,
presiden geh kudu ngantri (yang namanya ingin menemui abuya itu, jangankan
bupati, presiden sekalipun harus antri”. Pernyataan informan tersebut sebenarnya
pernyataan umum yang artinya bahwa tidak hanya bupati yang posisinya sebagai
klien terhadap abuya, informan sebagai anggota masyarakat sendiri menempatkan
dirinya sebagai klien terhadap abuya. Artinya bahwa superordinasi abuya sangat
tinggi terhadap masyarakat secara keseluruhan.

Jaringan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa


Secara struktur kekuasaan terutama karena aspek otoritas legal-rasional,
kepala desa tersubordinasi oleh dominasi kekuasaan bupati. Dalam pendekatan
jaringan kekuasaan, ketika struktur menempatkan suatu pihak terdominasi, maka
tidak ada jalan lain untuk melakukan pengimbangan kekuasaan atau melepaskan
ketergantungan kekuasaannya adalah dengan cara membangun jaringan kekuasaan
yang dapat meningkatkan derajat kekuasaannya. Dalam perspektif berpikir tersebut,
maka ketergantungan kekuasaan dieliminasi melalui pembentukan jaringan
kekuasaan. Hal inilah yang dalam penelitian ini dilakukan oleh kepala desa untuk
mengimbangi kekuasaan bupati. Bupati yang notabene secara struktur formal
memiliki kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan kepala desa ternyata
mampu diimbangi oleh kepala desa karena kepala desa mampu meningkatkan
kualitas kekuasaannya melalui pembentukan jaringan kekuasaan.
Pada bagian ini akan digambarkan jaringan kekuasaan bupati dan kepala
desa sebagai ilustrasi bagaimana bupati dan kepala desa membangun jaringan
kekuasaannya dan yang pada akhirnya dapat menjelaskan relasi kekuasan yang
terbentuk diantara keduanya.
Dalam pengembangan jaringan kekuasaannya, bupati lebih diuntungkan
karena posisi strategisnya sebagai pejabat birokrasi dan juga pejabat politik
memungkinkannya “menggunakan” sayap-sayap birokrasi dan politik untuk
memperkuat kekuasaannya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Gambar 6.4.
107

Gambar 6.4 Jaringan Kekuasaan Bupati

Meskipun berdasarkan Gambar 6.4 bupati relatif memiliki jaringan


kekuasaan yang lebih besar dibandingkan kepala desa, namun bupati tidak mampu
mengefektifkan jaringan kekuasaannya karena kekuatan ikatan terhadap jaringan
tersebut tidak sedalam yang dimiliki oleh kepala desa. Dalam hal ini ikatan
kajawaraan berdasarkan prinsip seguru-seilmu tentunya lebih mendalam
dibandingkan dengan prinsip-prinsip lainnya apalagi hal yang berkaitan dengan
dukung-mendukung kekuasaan.
Dengan demikian sebenarnya ikatan-ikatan dalam jaringan sangat
mendukung terhadap pola-pola relasi kekuasaan yang terbentuk. Pada kondisi ini,
tidak mungkin bupati mampu menggunakan otoritas yang dimilikinya untuk
mengontrol jaringan kekuasaan yang dimiliki oleh kepala desa. Kondisi ini sangat
nampak dari gaya kepemimpinan tiga kepala desa kasus yang kecenderungannya
sangat tidak terpengaruh oleh pola-pola otoritas kepemimpinan bupati. Untuk
memperjelas jaringan kekuasaan beserta ikatannya yang dimiliki oleh para kepala
desa ini dijelaskan dalam Tabel 6.1. Gambaran dalam jaringan kekuasaan dalam
Tabel 6.1 ini adalah ilustrasi secara umum, hal ini karena dengan tiga kasus kepala
desa yang berbeda terdapat perbedaan pula dalam konsentrasi bangunan jaringan
kekuasaannya semisal untuk kasus kepala desa jawara politisi yang merupakan
loyalis PPP, maka ia lebih menekankan kepada lingkaran politik untuk memperkuat
jaringan kekuasaannya.
108

Tabel 6.1 Relasi Kekuasaan dalam Jaringan Kekuasaan Kepala Desa


Aktor dalam Ikatan dalam Relasi Kekuasaan
Keterangan
Jaringan Jaringan Yang Terbentuk
Kyai Kitab Hubungan guru Patron-klien Dalam posisi sebagai murid, kepala desa
dan murid jawara memperkuat ikatannya melalui ikatan
silaturahmi berkelanjutan dan menjadikannya
sebagai tempat meminta bantuan dan
perlindungan karena kekuasaan sosial kyai
kitab yang paling tinggi diantara jenis kyai
lainnya.
Kyai Hikmah Hubungan guru Patron-klien Hubungan guru dan murid mengikat kepala
dan murid desa terhadap kyai hikmah, tetapi kepala desa
berdasarkan ikatan tersebut dapat
“menggunakan” kyai hikmah untuk
kepentingan-kepentingan pribadinya.
Kyai Politik Kepentingan Kompromi Terjalin ikatan seandainya berada dalam
dukungan (menyatu) atau kepentingan kekuasaan yang sama.
kekuasaan konflik Sebaliknya jika berbeda, maka relatif
(memisah) membentuk konflik. Namun hal yang lebih
menguntukan adalah bahwa faktor keulamaan
dan kajawaraan relatif mampu meredam
konflik keduanya.
Jawara Kolot Seguru-seilmu Patron-klien Ikatan seguru-seilmu terkadang jauh lebih
kuat dibandingkan dengan ikatan-ikatan
lainnya bahkan ikatan kekerabatan sekalipun.
Relasi patron-klien terjadi karena hubungan
senior dan junior.
Jawara Politisi Seguru-seilmu, Patron-klien Ikatan seguru-seilmu menguatkan ikatan
kepentingan kesamaan kepentingan kekuasaan sekaligus
dukungan meredamnya jika terjadi perbedaan orientasi
kekuasaan kekuasaannya.
Jawara Seguru-seilmu, Patron-klien Ikatan seguru-seilmu memperkuat jalinan
Pengusaha kepentingan kepentingan wirausaha
wirausaha
Jawara Broker Seguru-seilmu Patron-klien Ikatan seguru-seilmu dapat dipergunakan juga
untuk mengendalikan jawara broker baik
untuk urusan ekonomi maupun kekuasaan.
Kelembagaan Seguru-seilmu, Patron-klien Misalnya adalah BPPKB atau TTKDH dan
Resmi anggota Ikades. Ikatan ini memperkuat tali silaturahmi
(Jawara/Kepala organisasi diantara para sekaligus menjadi pengendali
Desa) aktivitas.
Politisi Desa Kepentingan Patron-klien Karena faktor kedekatan secara genealogis,
dukungan maka bisa saja lebih memperkuat kepentingan
kekuasaan dukungan kekuasaan atau meredamnya jika
terjadi perbedaan kepentingan kekuasaan.
Aparatur Atasan-bawahan Patron-klien Relasi patron-klien semakin menguatkan
Pemerintahan ikatannya.
Desa
Elit Desa Tata kelola desa Setara atau Ikatan didalamnya bisa saja terdapat ikatan
patron-klien jika kekerabatan dan aspek kedekatan lainnya
terdapat ikatan yang semakin memperkuat jaringan
yang kekuasannya.
menempatkan
kepala desa
sebagai
superordinat
Sumber: pengamatan penelitian
109

Meskipun relasi kekuasaan dalam jaringan kepala desa didominasi pola


patron-klien, namun kondisi pertukaran secara diadik diantara unsur yang berikatan
dengan kepala desa masih tetap berlangsung. Hal ini misalnya yang terjadi dalam
relasinya dengan kyai kitab, meskipun kepala desa memposisikan diri sebagai klien,
tetapi hubungan pertukaran tetap terjadi semisal ketika kepala desa meminta bantuan
atau perlindungan dari kyai kitab tersebut, biasanya kepala desa membawakan
“pambuka lawang58” selain juga biasanya memberikan hadiah tanda respek terhadap
kyai kitab tersebut.
Dalam bentuk gambar, Tabel 6.1 dapat dinterpretasikan sebagai jaringan
kekuasaan kepala desa yang diilustrasikan dalam Gambar 6.5 di bawah ini.

Gambar 6.5 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa

Berdasarkan Gambar 6.5 dan Tabel 6.1, kekuatan jaringan yang dibangun
oleh kepala desa lebih kuat karena aspek ikatan sosial-kultural lebih mendalam
dibanding dengan faktor-faktor lainnya. Oleh karenanya dalam gambar tersebut
tidak digambarkan beberapa ikatan jaringan kekuasaan kepala desa dengan pihak
lain yang bukan berdasarkan pendekatan sosial-kultural misalnya dengan camat
yang sebenarnya juga bagian dari jaringan kekuasaan kepala desa terutama para
camat yang anti bupati. Sementara itu meskipun bupati memiliki dominasi otoritas
legal-rasional, namun ikatannya tidak mendalam sebagaimana relasi yang dibangun
oleh kepala desa. Ikatan jaringan kekuasaan bupati kurang mendalam karena
membangun jaringan kekuasaanya melalui pola-pola dominasi pemerintahan formal

58
Pambuka lawang dalam Bahasa Indonesia artinya adalah pembuka pintu. Maksudnya adalah
membawakan hadiah untuk tuan rumah.
110

(otoritas superordinat birokrasi) sehingga dalam satu sisi terdapat “keterpaksaan”


dari aktor yang terdominasi, itupun dalam beberapa kondisi tidak dilakukan secara
langsung melainkan melalui pelaku lain semisal dalam mempengaruhi jaringan
ulama bupati dalam hal ini menggunakan para camat sebagai kepala wilayah. Hal ini
membuat bupati terjebak pada cara-cara formal dalam membangun jaringan
kekuasaannya yang sebenarnya melemahkan pengaruhnya dalam aspek sosial-
kulturalnya (kekuasaan sosialnya).
Dengan tiga kasus kepala desa yang berlatar belakang yang berbeda,
bangunan jaringan kekuasaan yang dibentuk oleh ketiganya pun memiliki penekanan
yang berbeda. AH sebagai kepala desa jawara politisi yang loyalis PPP membangun
jaringan kekuasaannya dengan para loyalis PPP. AA sebagai kepala desa jawara
pengusaha yang merupakan seorang pengusaha membangun jaringannya dengan
jaringan pengusaha yang juga tidak luput dari kekuasaan jawara untuk
meningkatkan aktivitas usahanya dan memperkuat ikatan dengan jaringan ulama
untuk tata kelola desanya. Sementara AJ selaku kepala desa jawara kolot yang
notabene masih aktif dalam kegiatan kajawaraan-nya, memperkokoh jaringannya
melalui aktivitas kajawaraan-nya. Dengan demikian meskipun ketiga kepala desa
relatif memiliki jaringan kekuasaan yang sama, namun kekuatan ikatan jaringan
dengan masing-masing unsur dalam jaringan tentunya berbeda-beda. Untuk
memperjelas struktur jaringan secara lebih detail, masing-masing kepala desa ini
memiliki pola pengembangan jaringan kekuasaan yang berbeda-beda sebagaimana
dijelaskan dalam Gambar 6.6, Gambar 6.7 dan Gambar 6.8.

Gambar 6.6 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Politisi


111

Pada Gambar 6.6, terdapat sekitar 10 unsur jaringan yang berhubungan


secara diadik dengan kepala desa jawara politisi. Hubungan dengan jaringan ulama
dilakukan dalam memperkuat posisinya sebagai kepala desa juga untuk
meningkatkan kekuasaan sosialnya. Sebagaimana dikatakannya “nu patut diturut ku
urang salaku umat nya kyai, tapi kyai nungawuruk santrina lain kyai nu carmuk
(yang wajib diikuti oleh kita selaku umat siapa lagi kalau bukan kyai, tapi kyai yang
mengajari santrinya bukan kyai yang carmuk (cari muka)”. Berdasarkan pernyataan
tersebut mengindikasikan adanya ikatan patron-kliennya terhadap ulama khususnya
ia katakan sebagai kyai yang mengajari santrinya atau dalam hal ini kyai kitab.
Sementara ikatan dengan jaringan jawara dilakukan dengan menjalin
silaturahmi melalui aktivitas kajawaraan baik itu keceran maupun rurujakan
sebagaimana pengakuannya “ari acara keceran mah urang hayu bae, ngaranna geh
silaturahmi ieuh (kalau acara keceran itu ya selalu siap, namanya juga silaturahmi)”.
Prinsip saguru-saelmu dalam relasi kekuasaan ini mengikatnya dengan jaringan
jawara.
Dalam jaringan partai politik ia mengakui bahwa ia masih loyalis PPP
sebagaimana pengakuannya “sababaraha kali ditawaran ku barudak ti PPP titah
nyalon, tapi rarasaan ku jadi jaro geh cukup lah (beberapa kali ditawari oleh anak-
anak dari PPP untuk mencalonkan diri, tapi perasaan menjadi kepala desa juga sudah
cukup)”.
Sementara itu elit desa dan unsur aparatur pemerintah desa tidak lebih dari
kliennya karena sebenarnya pengambilan keputusan di desanya didominasi oleh
kuasanya sendiri. Bahkan orang nomor dua pada unsur pemerintahan desa yaitu
sekretaris desanya adalah anak kandungnya sendiri.
Dalam jaringan para kepala desa, posisinya sebagai Wakil Ketua Ikades
Kabupaten Pandeglang memposisikannya memiliki pengaruh yang luar biasa
diantara para kepala desa. Selain unsur senioritas, ikatannya dengan jaringan jawara
semakin menguatkan posisinya dalam kelembagaan Ikades ini.
Pada prinsipnya jaringan kekuasaan yang dibangunnya dengan enam unsur
jaringan di atas tidak mampu mengimbangi kualitas jaringan yang dibangun oleh
bupati sebagaimana dalam Gambar 6.4. Hal yang paling strategis dilakukan kepala
desa jawara politisi untuk mengimbangi kekuasaan bupati adalah dengan
membangun jaringan kekuasaannya dengan cara bergabung dalam aliansi politik
pendukung IN59 yaitu dengan para kepala desa, para camat dan birokrat yang loyalis
IN.
Sebagai gambaran kekuatan aliansi jaringan pendukung IN ini, peneliti
menjelaskan bahwa pertarungan politik IN dan bupati diawali pada proses pemilihan
bupati tahun 2010. Bupati EK berhasil memenangkan pemilihan bupati karena faktor
dukungan jaringan jawara yaitu dengan merangkul wakil bupati dari jaringan ini.
Pada proses pemilihan tersebut, unsur aparatur pun terpilah menjadi dua aliansi yaitu
yang pro terhadap IN dan pro terhadap Bupati EK. Akibatnya hubungan birokrasi
dan politik pun berakhir dengan tersingkirnya aparat birokrasi pro IN oleh kebijakan
Bupati EK yang beberapa diantaranya didemosikan pada jabatan-jabatan lebih

59
IN adalah Anggota DPR RI dari PPP mewakili wilayah pemilihan Kabupaten Lebak dan
Pandeglang yang merupakan calon bupati yang kalah pada saat proses pemilihan bupati yang
dimenangkan bupati EK. Jaringan kekuasaan IN sangat kuat karena tidak hanya meliputi jaringan
ulama yang merupakan unsur utama pendukungnya, tetapi juga sebagian kalangan birokrat, kepala
desa, kaum ibu-ibu pengajian dll.
112

rendah ataupun dimutasikan pada jabatan-jabatan non strategis. Para birokrat korban
kekuasaan tersebut pun kemudian membentuk jaringan sendiri sebagai loyalis IN
termasuk juga membangun jaringannya dengan para kepala desa termasuk AH
(kepala desa jawara politisi). Dukung mendukung diantara kalangan birokratpun
sangat kentara karena masing-masing melibatkan diri dalam politik praktis terlebih
AH. Sementara itu jaringan kekuasaan IN sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan
dengan jaringan kekuasaan Bupati EK karena jaringan kekuasaan IN tidak hanya
merambah wilayah lokal dan regional tetapi juga secara nasional. Hal ini selain
karena IN sendiri adalah anggota DPR dan fungsionaris PPP, suami IN sendiri
memiliki jaringan yang lebih luas lagi.
Ikatan jaringan kepala desa politik terhadap jaringan kekuasaan IN inilah
yang membuat posisi tawarnya semakin besar sebagai strategi untuk melakukan
pengimbangan kekuasaan terhadap bupati. Semakin besar kekuatan jaringan
kekuasaan IN, maka semakin besar pula jaringan kekuasaan yang dibangun oleh
kepala desa jawara politisi. Dari waktu ke waktu jaringan kekuasaan kepala desa
jawara politisi semakin besar, kondisi ini berbalik dengan jaringan kekuasaan yang
dimiliki oleh bupati yang semakin kecil seiring dengan perjalanan waktu terutama
menjelang akhir masa kepemimpinannya.
Semakin membesarnya jaringan kekuasaan IN karena adanya peluang untuk
menduduki jabatan bupati untuk periode 2016-2021. Sehingga langkah-langkah
solid untuk memperkuat jaringannya sudah dilakukan sejak dari awal. Hal ini
berbeda dengan jaringan kekuasaan bupati yang semakin melemah karena bupati
sendiri menarik diri dari pertarungan kekuasaan yang berlangsung. Bahkan adanya
kecenderungan untuk berkonsolidasi dengan kekuasaan jaringan Rau60 yang
notabene pada mulanya adalah pendukung utama keberhasilan suksesi bupati EK
semakin memperkuat jaringan kekuasaan IN.
Kondisi ini membuat para pendukung bupati pun mulai beralih kepada
jaringan kekuasaan IN termasuk unsur birokratnya. Hal ini jelas mempengaruhi
kualitas pengaruh jaringan kekuasaan IN yang semakin meningkat, sehingga tidak
secara kuantitas saja. Dukungan jaringan Rau yang mulai beralih ke jaringan IN
semakin memperkuat jaringan kekuasaan IN ini. Posisi tawar kepala desa jawara
terhadap bupati pun semakin kuat. Semakin menguatnya posisi tawar ini
diindikasikan dari komentar-komentar kritis kepala desa jawara politisi terhadap
kepemimpinan bupati diantaranya “bupati nu kuari mah diatur ku pamajikanna, pan
nu dipilih mah EK lain pamajikanna (bupati yang sekarang itu diatur oleh istrinya,
padahal yang dipilih itu kan EK bukan istrinya”. Komentar miring tersebut muncul
dari kepala desa jawara politisi yang mengkritisi bupati karena pengambilan
keputusannya dipengaruhi oleh istrinya. Pada saat penelitian ini dilakukan, peran
besar istri dalam mempengaruhi pengambilan keputusan bupati memang merupakan
salah satu isu yang sedang hangat dibicarakan tidak hanya di kalangan pejabat lokal
tetapi juga masyarakat biasa.
Berdasarkan analisis Emerson ketika posisi tawar ini semakin kuat, maka
ketergantungan kekuasaan terhadap semakin lemah dan pada kondisi demikian relasi
kekuasaan akan semakin memisah karena tidak lagi terjadi intensitas pertukaran
yang tinggi. Inilah yang terjadi dalam relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa
jawara politisi sebagai akibat dari perubahan dalam struktur jaringan kekuasaan.

60
Rau adalah kependekan dari Pasar Rau yaitu Pasar Tradisional terbesar di wilayah Banten yang
berlokasi di Kota Serang. Pasar Rau ini dikembangkan oleh jaringan jawara TCS yang saat ini
mendominasi kekuasaan di Banten.
113

Berbeda dengan jaringan kekuasaan kepala desa jawara politisi yang


meningkatkan kekuatannya melalui ikatan jaringan kekuasaan IN, jaringan
kekuasaan kepala desa jawara pengusaha lebih mengambil jalan tengah dengan
membangun jaringan terhadap jaringan ulama dan organisasi pengusaha (jaringan
pengusaha).
Jaringan ulama menjadi basis kepala desa jawara pengusaha dalam tata
kelola desanya. Sebagaimana diakuinya bahwa “urusan desa eta bagian
pamarentahanna mah ngan saukur 25%, sesana nu loba nya urusan agama (urusan
desa itu bagian pemerintahannya hanya 25%, sisanya yang lebih banyak adalah
urusan agama), hal ini berarti keputusan desa sangat bergantung kepada kuasa
jaringan ulama.
Lebih lanjut kepala desa jawara pengusaha menyatakan bahwa “kagiatan
pamarentahan mah milu-milu bae kana kagiatan agama, lamun aya acara-acara
pangajian karek urusan pamarentahan numpang omongan (kegiatan pemerintahan
itu menyertai kegiatan agama, jika ada acara pengajian baru urusan pemerintahan
ikut dibicarakan)”.

Gambar 6.7 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Pengusaha

Selain dengan jaringan ulama, jaringan jawara juga mempengaruhi kualitas


kekuasaannya. Sebagaimana pengakuannya “atuh kumaha deui ja usahana geh kieu
ieuh, atuh kudu rada teuas mun hayang hasil mah, jadi kudu deukeut jeung jawara
jeung kudu ngajawara saeutikmah (mau gimana lagi usahanya juga keras, haru
sedikit keras lagi supaya berhasil, jadi harus dekat dengan jawara dan harus
ngajawara). Hal ini mengindikasikan adanya jaringan jawara yang dibangunnya
114

untuk melindungi aktivitas usaha ekonominya. Dalam analisis peneliti, tindakan


yang dilakukan kepala desa jawara pengusaha ini karena struktur kekuasaan dalam
kelembagaan pengusaha di Banten sendiri yang menuntut untuk membangun
jaringan kekuasaan dengan jawara. Hal ini karena aktivitas usaha ekonomi di Banten
yang didominasi jawara terlebih dalam kelembagaan organisasi Kadinda (Kamar
Dagang dan Industri Daerah).
Ikatan dengan birokrasi lokal dilakukan oleh kepala desa baik secara pribadi
maupun dalam keanggotannya sebagai pengusaha. Ikatan dengan birokrasi lokal ini
dilakukan karena selaku pengusaha mau tidak mau menuntut untuk adanya
hubungan birokratis dalam aktivitas usahanya.
Ikatan dengan kelembagaan Ikades, bagi kepala desa jawara pengusaha tidak
terlalu memberikan kontribusi peningkatan kekuasaan yang signifikan karena
posisinya sendiri tidak lebih sebagai anggota biasa saja. Jaringan dengan Ikades
semata dilakukan untuk meningkatkan rasa solidaritas diantara para kepala desa
sebagaimana pengakuannya “ari Abah mah pipilueun bae lah, nyerahkeun bae ka
batur komo kanungarora mah (kalau Bapak sih ikut aja lah, menyerahkan saja
kepada orang lain terutama yang masih muda)”.
Sementara itu para elit desa dan aparatur pemerintahan desa sangat
bergantung kepada kuasa ulama. Jadi pada prinsipnya kedua unsur tersebut tidak
terlalu berpengaruh kepada peningkatan kualitas jaringan kekuasaan yang
dibangunnya. Bahkan dalam banyak kedua unsur ini justru merupakan klien
setianya.
Kualitas jaringan kekuasaan yang paling utama dalam pengimbangan
kekuasaan sebenarnya adalah ikatannya dengan kelembagaan organisasi pengusaha
(Kadinda). Dalam jaringan ini, kepala desa jawara pengusaha berpeluang untuk
mengembangan kualitas kekuasaannya dengan memperkuat hubungannya dengan
elit lokal, birokrasi lokal, jaringan jawara dan jaringan jawara pengusaha. Ikatannya
dengan kelembagaan ini sangat penting karena dominasi kekuasaan di Pandeglang
bahkan secara umum di Banten sangat ditentukan oleh kuasa jawara dan kuasa
pengusaha atau kedua-duanya yaitu jawara pengusaha. Ikatannya dengan
kelembagaan ini tidak hanya semakin meningkatkan posisi tawarnya, tetapi juga
memungkinkannya bekerjasama dengan bupati karena adanya saling mempengaruhi
antara aktivitas bupati sebagai kepala pemerintahan dan pembangunan lokal dengan
usaha aktivitas pembangunan itu sendiri yang dilakukan oleh para pengusaha.
Satu hal yang menarik dari amatan penelitian terhadap jaringan kekuasaan
jawara pengusaha ini, meskipun tidak secara terbuka adanya pengakuan langsung
dari informan, namun peneliti menangkap amatan penelitian bahwa informan juga
termasuk dalam jaringan kekuasaan IN. Hal ini diindikasikan dari pernyataan-
pernyataannya yang selalu merendahkan kualitas kepemimpinan bupati EK di satu
sisi dan sangat menghargai apa yang dilakukan oleh Pak Endeh sebagai bupati
sebelumnya yang notabene suami dari IN. Indikasi lain adalah adanya beberapa
orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan IN yang hubungannya sangat dekat
dengan informan. Meskipun amatan tersebut belum terkonfirmasi secara valid,
gejala ini dapat dianalisis sebagai bagian dari hal yang mendukung terhadap
peningkatan kualitas kekuasaan kepala desa jawara pengusaha yang pada akhirnya
semakin mengurangi ketergantungannya terhadap bupati.
Seperti halnya jaringan kekuasaan yang dibangun oleh kepala desa jawara
pengusaha, jaringan aktivitas usaha juga sebenarnya mewarnai jaringan kekuasaan
yang dibangun oleh kepala desa jawara kolot. Tetapi aktivitas usaha yang
dilakukannya adalah dalam aktivitas usaha-usaha informal dalam hal ini adalah
115

economic broker pada pasar-pasar tradisional di Jakarta dan Lampung. Namun


proses aktivitasnya memungkinkannya untuk saling mempengaruhi terhadap
birokrasi pasar yang ada, elit lokal di seputarnya, jaringan pedagang dan jaringan
usaha informal lainnya seperti tukang parkir, pemulung dan tukang sapu pasar.

Gambar 6.8 Jaringan Kekuasaan Kepala Desa Jawara Kolot

Jaringan jawara menjadi kekuatan pendukung utama karena untuk


mempertahankan aktivitas economic broker-nya ia harus menjalin ikatan dengan
jaringan jawara. Posisi tinggi dalam struktur jaringan jawara menempatkannya pada
posisi kuasa yang tinggi pula. Aktivitas usaha di Jakarta dan Lampung inilah yang
memperkuat posisinya dalam mengimbangi kekuasaan terhadap bupati sekaligus
mengurangi ketergantungannya terhadap kuasa bupati tersebut. Ikatan dengan
jaringan jawara ini tidak hanya dibangun di Jakarta dan Lampung, tetapi juga ia
bangun bersama dengan jawara lokal yang ada di Pandeglang meskipun dilakukan
secara tradisional berdasarkan prinsip saguru-saelmu bukan dalam kelembagaan
formal seperti TTKKDH dan BPPKB.
Sementara kaitannya dengan jaringan ulama, kepala desa jawara kolot tetap
memposisikan sebagai klien sebagaimana pengakuannya “atuh kyai mah ngaranna
geh guru urang anu tangtu wajib dipiturut ku urang sadayana (kyai itu namanya
juga guru kita yang tentunya wajib diikuti oleh kita semua)”. Pernyataan ini tentunya
sangat jelas menempatkan posisinya berada pada kuasa ulama. Dengan demikian
ikatan dengan jaringan ulama semata dilakukan dalam memperkuat kekuasaan
sosialnya di masyarakat.
Lain halnya dengan ulama, elit desa dan aparatur pemerintahan desa justru
menjadi klien terhadap kepala desa jawara kolot. Bahkan meskipun ia seringkali
harus berada di Jakarta atau Lampung dalam waktu yang lama (1-3 bulan), ia merasa
tidak terbebani karena memiliki “anak” (sekretaris desa) yang mampu menangani
seluruh tata kelola desanya. Begitu pula halnya dengan elit desa yang tidak terlihat
peranannya karena besarnya faktor patron kepala desa. Sementara jaringan Ikades,
116

seperti halnya dengan kepala desa jawara pengusaha, ia pun tidak terlalu
mengefektifkan ikatannya dengan jaringan ini.
Pengimbangan kekuasaan yang dilakukan oleh kepala desa jawara kolot
terhadap bupati sebagian besar dilakukannya melalui aktivitas kajawaraan-nya
dalam sektor informal di wilayah Jakarta dan Lampung. Dalam hal ini berarti yang
mampu meningkatkan posisi tawarnya terhadap kuasa bupati pada karena aktivitas
kajawaraan-nya. Potensi strutkur pemerintahan bupati yang memposisikannya
menjadi superordinat atas kepala desa jawara kolot, tidak membuatnya bergantung
kepada kuasa bupati karena aktivitas kajawaraan yang dibangunnya mampu
meningkatkan kualitas kekuasaannya.

Pertarungan Jaringan Kekuasaan: Kasus Pencalegan Istri Bupati


Pada saat pemilihan Bupati Tahun 2004, K.H. Datep Muhdi selaku Ketua
MUI Kabupaten Pandeglang menyatakan keharusan untuk memilih ADN sebagai
bupati. Pernyataan atau dapat dikatakan fatwa tersebut menyulut berragam pendapat
baik yang pro maupun tidak terhadap keputusan MUI. Meskipun terdapat sebagian
kalangan yang memandang apa yang dilakukan MUI keluar dari tuntunan agama,
namun kenyataannya langsung maupun tidak langsung pernyataan ini membuat
suara dukungan terhadap ADN yang pada saat itu sebagai bupati inkumben semakin
kuat dan pada akhirnya memenanginya. Terlepas dari ketokohan K.H. Datep Muhdi
ataupun pengaruh kelembagaan MUI, kondisi ini menggambarkan bahwa konstelasi
politik di Pandeglang sangat peka terhadap peranan ulama.
Dalam bahagian lain, tidak terbantahkan bahwa peranan jawara di Banten
secara umum sangatlah penting. Hal ini setidaknya diindikasikan oleh kuatnya
dominasi dinasti jawara yang ada di hampir seluruh kabupaten dan kota di Banten,
termasuk juga Pandeglang.
Dengan memahami peta kekuatan tokoh agama dan budaya di Banten,
beberapa politisi lokal menjadikan ulama dan jawara ini sebagai vote getter untuk
mendongkrak target suara dukungannya. Artinya pada beberapa kondisi sangat
memungkinkan terjadinya perbenturan diantara ulama dan jawara dalam meraih
suara dukungan tersebut. Namun kenyataannya, di desa-desa Pandeglang sangat
jarang atau bahkan sama sekali tidak terdengar konflik ulama dan jawara dalam
kasus peraihan suara dukungan politik. Dari pengamatan peneliti, hal ini terjadi
karena keduanya pada prinsipnya memiliki segmen dukungan masing-masing.
Artinya bahwa jika ulama sebagai tokoh yang berpengaruh dalam bidang agama,
maka sebagian besar dukungan politiknya berasal dari aktivitas keagamaannya.
Sementara jawara sebagai tokoh budaya dukungannya tentunya dari para pelaku
aktivitas budaya. Latar belakang historis (guru dan murid) dan perbedaan sumber
kekuasaan juga mempengaruhi kondisi ini.
Munculnya jawara dalam dominasi politik lokal Banten saat ini sebagaimana
penjelasan Hamid (2010), terjadi karena kekuatan ekonomi yang disandingkan
dengan aspek-aspek kekerasan dan pemaksaan fisik. Dalam pengamatan peneliti,
dominasi jawara justru adalah kemampuannya dalam menjadikan birokrasi lokal
sebagai mesin politiknya.
Struktur birokrasi dalam banyak hal ternyata memiliki peranan yang kuat
untuk mengarahkan orientasi politik masyarakat, meskipun sekali lagi balutan
informal leader menyertai lingkaran kekuasaannya. Dalam pendekatan administrasi,
konstelasi ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap netralitas birokrasi.
Dalam realitasnya justru masyarakat terhegemoni oleh birokrasi yang tidak netral ini
yang sebenarnya wujud dari kuasa informal leader. Oleh karenanya, sebenarnya
117

bukan sistem birokrasinya yang kuat, melainkan faktor patronasenya yang


mengangkangi kekuatan birokrasi.
Untuk dapat memahami bagaimana hubungan antara ulama, jawara, bupati,
kepala desa dan birokrasi itu sendiri dan proses pengaruh-mempengaruhi diantara
kelimanya dengan variasi lingkungan perubahan yang ada, maka gambarannya
tersaji dalam Gambar 6.9.
Perebutan diantara aktor yang ada bergantung pada kemampuan aktor
tersebut memperkokoh posisi tawarnya melalui pembentukan jaringan politik.
Kekuatan politik dimaksimalkan dengan menyerap empat area yang ada, baik dari
dimensi administrasi publik, struktur pemerintahan, budaya maupun politik.
Berdasarkan gambar tersebut terlihat bagaimana kemampuan bupati untuk
memberdayakan jaringan-jaringan yang ada tersebut. Bahkan ketika bupati tidak
dapat berhubungan langsung dengan salah satu aktor, ia kemudian memaksimalkan
saluran jaringan lain sehingga dari empat zona yang ada bupati hadir didalamnya.

Gambar 6.9 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Politik Desa 1

Beberapa aktor tidak berhubungan secara langsung semisal antara camat dan
politisi lokal karena tidak ada hubungan struktural atau apapun diantara keduanya.
Namun atas dasar kesamaan orientasi politik yang diarahkan oleh bupati, bisa saja
keduanya dipersatukan dalam kepentingan politik yang serupa. Artinya adalah
meskipun garis hubungan keduanya tidak tergambarkan, tetapi relasinya masih
sangat memungkinkan melalui jalur-jalur politik yang ada.
118

Dari aktor-aktor yang ada dalam gambar tersebut, terdapat enam aktor yang
terlibat langsung dalam percaturan politik di tingkat desa yaitu birokrasi desa, kepala
desa, jaringan ulama, jaringan jawara, elit desa dan politisi desa. Konflik-konflik
politik yang berujung kepada kekerasan fisik dan lain-lainnya akan sangat besar
peluangnya karena kedekatan hubungan dengan basis massa. Sedangkan sebenarnya
pada level supra struktur inilah yang mendapatkan keuntungan politisnya dari apa
yang terjadi dalam konstelasi politik desa.
Sementara itu, hubungan-hubungan yang terjadi dari masing-masing zona
pada prinsipnya adalah didominasi oleh kuasa bupati. Hubungan yang terjadi dalam
zona I relatif berlangsung secara struktural. Karena hubungan struktural itulah justru
memudahkan pelaksanaan komandonya. Tanpa melihat faktor X lainnya, posisi
birokrasi desa niscaya selalu berada di bawah birokrasi lokal. Pun demikian yang
terjadi pada zona II, kesan pemerintahan bertingkat yang sudah melembaga dalam
tatanan pemerintahan daerah bagaimanapun masih berlangsung, hal ini belum
diperparah oleh faktor budaya yang semakin menenggelamkan desa (kepala desa).
Sehingga selalu dalam kondisi demikian, bupati berada pada posisi superior atas
kepala desa.
Pada zona I dan II, kepala desa bertarung secara politik dengan camat dan
birokrasi lokal. Camat dalam hal ini sebagai kepala wilayah mendapatkan mandat
penuh dari bupati baik dalam hal otoritas delegatif maupun atributif untuk
mengkondisikan wilayah secara administrasi pemerintahan. Kewenangan inilah
yang menjadikan hubungan camat superordinat terhadap kepala desa.
Zona III adalah wilayah budaya dimana kepala desa dapat memaksimalkan
fungsi-fungsi politiknya baik hubungannya dengan jaringan ulama, jawara maupun
elit-elit desa. Pada wilayah inilah terjadi pertarungan politik yang sebenarnya. Pada
wilayah inilah kekuatan politik antara bupati, kepala desa serta pihak-pihak yang
bermain dalam politik lokal relatif berada dalam posisi yang seimbang.
Sementara itu pada area IV sebagai wilayah politik, hubungan-hubungan
antar aktor justru lebih cenderung berlangsung diantara struktur kepartaian. Pada
area IV ini kepala desa tidak dapat memainkan fungsi politiknya karena adanya
kebijakan politik yang melarang kepala desa dalam kapasitasnya sebagai pejabat
pemerintahan desa terjun ke dunia politik. Pembatasan aktivitas politik terhadap
kepala desa ini jelas mempersempit ruang gerak kepala desa. Lain halnya dengan
bupati, yang meski sama-sama sebagai pejabat publik namun masih diperkenankan
secara aktif terlibat dalam politik.
Selain berdasarkan pembagian atas empat zona, berdasarkan hierarki
hubungannya terpilah kepada tiga level yaitu level suprastruktur politik, level antara
dan level infrasruktur politik. Ketiga level ini tidak dimaknai berdasarkan hierarki
kewilayahannya atau struktur kewenangan, tetapi relatif berdasarkan mobilitasnya.
Pada level yang paling bawah (infrastruktur politik) terdapat birokrasi desa, kepala
desa, elit dan politisi desa yang di bagian inilah terjadi hubungan secara langsung
antara vote getter dan massa. Pada level ini pulalah sebenarnya keberhasilan politik
suprastruktur dipertaruhkan. Oleh karenanya sebenarnya penggiringan (mobilisasi)
orientasi politik sangat dipengaruhi bagaimana keempat aktor ini bermain. Namun
demikian justru faktor keberhasilannya sangat ditentukan oleh bagaimana keempat
faktor ini dapat dipengaruhi. Dalam kondisi inilah level antara yang diisi oleh camat,
jaringan ulama dan jaringan jawara memainkan peranannya. Jaringan ulama dan
jawara meskipun diposisikan pada level antara, sebenarnya mereka sangat cair,
ruang geraknya bisa masuk ke setiap level, justru karena pertimbangan inilah
keduanya peneliti tempatkan pada level antara. Berdasarkan pemetaan garis
119

kulturalnya (lihat Gambar 6.9 dan 6.10), jaringan ulama dan jawara mempunyai
hubungan yang paling banyak terhadap aktor-aktor lokal dengan menjangkau
seluruh zona yang ada. Berdasarkan pemetaan tersebut, ulama dan jawara dapat
mempengaruhi kebijakan yang diambil di zona administrasi publik, mempengaruhi
struktur pemerintahan, aktor utama dalam zona budaya dan memiliki peranan yang
strategis untuk mempengaruhi zona politik.
Sementara itu, camat yang juga bermain di level antara memiliki kelebihan
karena fungsinya sebagai penghubung antara kebijakan politik di tingkat supra dan
implementasinya dalam tataran infrastruktur. Camat adalah kepanjangan tangan
bupati terutama secara administrasi pemerintahan. Melalui fungsi-fungsi kontrol
administrasinya inilah camat dapat memaksimalkan tugas politik yang diembankan
kepadanya.
Berdasarkan penjelasan Gambar 6.9 di atas dapat dipahami bahwa kondisi
yang terjadi di desa-desa Pandeglang berada pada posisi subordinat terhadap kuasa
bupati. Pada kasus dimana kepala desa berlatar belakang sebagai jawara
sebagaimana tiga desa kasus yang dipilih, gambarannya akan sedikit mengalami
perubahan sebagaimana Gambar 6.10.

Gambar 6.10 Relasi Kekuasaan Antar Aktor dalam Politik Desa 2

Pada Gambar 6.10 ini kepala desa terlibat dalam empat area sekaligus,
meskipun untuk area IV digambarkan secara berarsir yang menandakan
persinggungannya relatif kecil. Kecilnya persinggungan dengan politik karena
pembatasan negara kepada kepala desa untuk terjun secara langsung dalam politik
120

semisal larangan menjadi pengurus salah satu partai politik. Meskipun dalam
realitasnya tidak demikian dimana tidak sedikit kepala desa yang melaksanakan atau
juga bergantung kepada fungsi-fungsi politik tertentu sebagaimana kasus Desa
Citalahab. Pun demikian untuk kasus yang terjadi di Desa Awilega dan Desa
Campaka, dalam posisinya sebagai kepala desa yang dianggap memiliki pengaruh
besar terhadap orientasi politik warganya selalu menjadi bidikan kepentingan-
kepentingan politik untuk dijadikan vote getter. Oleh karenanya sangat mustahil,
memisahkan antara fungsi-fungsi kepala desa sebagai administrator dengan hal-hal
yang berkaitan dengan politik. Ketika seorang kepala desa memposisikan diri netral
terhadap politik, pada sisi lain kepentingan bupati beserta segenap aktor
subordinatnya mengarahkannya kepada politik tertentu. Jadi sangat mustahil untuk
memisahkan urusan administrasi dan urusan politik. Hal ini juga berlaku baik di
tingkat lokal dan nasional dimana selalu saja urusan administrasi pemerintahan
dicampuri oleh politik.
Dibandingkan dengan kepala desa murni (non jawara), kepala desa jawara
lebih memiliki bargaining position (posisi tawar) yang lebih baik dikaitkan dengan
relasinya kepada bupati. Terutama dari aspek zona budaya, kepala desa jawara
memiliki nilai lebih berkaitan dengan jaringan jawaranya. Secara langsung ataupun
tidak, jaringan jawara dapat menjadi alat kepala desa dalam mempengaruhi
kebijakan politik bupati, apalagi jika ia memiliki posisi struktur kekuasaan yang
bagus dalam jaringan jawara tersebut. Sehingga sifatnya tidak hanya mempengaruhi
jaringan, tetapi ia dapat mengendalikan jaringan tersebut. Hal ini memudahkannya
dalam melalukan relasinya dengan bupati apalagi jika bupati tersebut juga berada
dalam kendali jawara. Pada kondisi ini otomatis yang berlaku adalah hubungan
kajawaraan, bukan lagi hubungan formal pemerintahan, sehingga pengambilan
keputusan politiknya lebih bernuansakan kajawaraan dibandingkan dengan
kepentingan politik lainnya.
Apa yang terjadi ketika istri bupati ikut meramaikan arena politik dengan
mencalonkan salah satu anggota legislatif. Dengam memahami peta politik
sebagaimana terurai dalam Gambar 6.9 dan Gambar 6.10, dapat dipastikan tidak ada
kendala besar untuk menghadang laju kepentingan politiknya. Inilah yang terjadi di
Pandeglang dimana SEN sebagai istri bupati Pandeglang mencalonkan diri menjadi
salah satu calon legislatif DPRD Provinsi Banten dari Partai Golongan Karya.
Sebagaimana logika politik yang diuraikan sebelumnya, akhirnya SEN berhasil
menjadi anggota legislatif dengan mengantongi suara mayoritas yaitu 37.741 suara
dan merupakan suara terbanyak diantara 10 anggota legislatif DPRD Provinsi
Banten yang mewakili zona 9 Banten (zona Kabupaten Pandeglang)61. Jika hitung-

61
Berdasarkan kepartaiannya nama-nama anggota legislatif DPRD Provinsi Banten yang mewakili
Pandeglang adalah (http://www.radarbanten.com/read/berita/10/18827/Caleg-yang-Bakal-Duduk-di-
DPRD-Banten-Dapil-Pandeglang.html diakses tanggal 15 Oktober 2014):
1. Parta Golkar 104.783 (SEN 37.741, H. Fitron Nur Ikhsan, M.Sc 11.382)
2. PPP 71.047 (H. Yayat Supriatna HS., 17.898)
3. Partai Gerindra 68.625 (H. M. Kuswandi, SH. 14.863)
4. PDI Perjuangan 61.639 (Eri Suhaeri 17.525)
5. Partai Demokrat 60.318 (Yoyon Sujana, SE. 15.089)
6. PKB 53.305 (Ir. H. Thoni Fathoni Mukson 18.780)
7. Partai NasDem 46.001 (M. Redy, SE.,MM. 9.285)
8. PKS 37.681 (Drs. Saukotudin 8.916)
9. Partai Hanura 26.587 (Upiyadi Mouslekh, SH.,MH. 5.320).
121

hitungan matematis digunakan, perolehan suara ini sebenarnya dapat membawanya


duduk di pusat (DPR RI).62
Berdasarkan Gambar 6.9 dan Gambar 6.10 dapat dianalisis keberhasilan dari
strategi politik SEN. Melalui jalur birokrasi lokal, SEN senantiasa mengikutkan diri
dalam program-program pemerintahan – menumpang dalam urusan birokrasi,
sehingga menjadi semacam free rider program pemerintahan dan organisasi-
organisasi fungsional seperti GOW dan Dharma Wanita. Melalui aktivitas inilah
kepentingan-kepentingan politiknya baik hal-hal yang kecil maupun hal yang besar
dapat disuarakan. Melalui camat, bupati mengerahkan kekuatan komando
strukturalnya. Komando struktural ini kemudian diteruskan kepada kepala desa,
selain camat sendiri mengomandoi pengarahan orientasi politik di wilayahnya
melalui jalur-jalur kepemimpinan informal (jaringan ulama, jawara dan elit desa
lainnya). Sementara itu, berdasarkan jalur kepartaian (Partai Golkar), menurut
pengamatan peneliti meskipun ada pengaruhnya, tetapi hal ini kurang signifikan
mengingat SEN sendiri adalah kader instant yang baru masuk meramaikan arena
politik pada masa Pemilu Legislatif 2014 atau di saat setelah suaminya menduduki
posisi bupati. Jadi pada prinsipnya, SEN terpilih bukan karena popularitanya
(“dikenal” masa), tetapi karena “dikenalkan” oleh lokomotif mesin politiknya
(bupati) dan mesin politiknya itu sendiri yakni birokrasi. Pada akhirnya birokrasi
pun mau tidak mau menjadi limbung karena kepentingan politik SEN.
Loyalitas, kepatuhan dan ketundukan aparatur birokrasi terhadap bupati
menjadi berkah bagi SEN. Ia dengan mudah menyetir dan mengarahkan para aparat
tersebut untuk kepentingan politiknya, ditambah lagi dengan janji-janji promosi
karir termasuk juga ancamannya semakin meningkatkan daya dukung para aparatur
birokrasi tersebut. Tentunya cara-cara ini relatif identik dengan strategi Golkar masa
orde baru, suatu strategi yang mengkooptasikan birokrasi dalam politik
(bureaucratic polity).
Bagaimana yang terjadi dalam percaturan politik di pedesaan, terutama
hubungan bupati dan kepala desa berkaitan dengan pencalegan SEN ini dapat
ditelusuri dari pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh para kepala desa dalam
kasus penelitian ini. Pernyataan-pernyataan kontra politik yang paling tegas
dikemukakan oleh kepala desa politisi dengan menyatakan bahwa “ari kudu
ngondisikan warga geura bae, tapi ka ngaran pimpinan mah secara pribadi bae
ngadukungna (kalau harus mengondisikan warga silahkan saja, tapi namanya ke
pimpinan secara pribadi saja mendukungnya)”.
Pernyataan tersebut sebenarnya pernyataan penolakkan secara halus (hidden
transcript) dari kepala desa politisi terhadap pencalegan SEN atau terhadap upaya-
upaya pengarahan masa untuk pemenangan suara SEN di wilayah kekuasaannya.

62
Bandingkan dengan perolehan suara anggota legislatif yang mewakili zona Pandeglang dan Lebak
berdasarkan peringkat suara caleg di masing-masing parpol. 6 caleg yang melenggang ke Senayan
(http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2041649/melenggang-ke-senayan-2-anak-ratu-atut-dapat-
suara-terbanyak yang diakses tanggal 15 Oktober 2014) adalah:
1. Partai Golkar 168.120 suara (Andika Hazrumy dengan 61.505 suara)
2. PDIP 139.270 suara (Mochamad Hasbi Asyidiki Jayabaya 51.095 suara)
3. PPP 129.417 suara (IN 84.120 suara)
4. Partai Gerindra 119.656 suara (Anda 26.841 suara)
5. Partai Demokrat 107.747 suara (Vivi Sumantri Jayabaya 31.458 suara)
6. Partai Nasdem 103.015 suara (Tri Murny 36.571 suara).
122

Hal ini sebenarnya wajar terlebih jika melihat latar belakangnya sebagai loyalis PPP,
sementara SEN sendiri berada dibawah bendera Golkar dan untuk Pandeglang,
kedua partai tersebut pada pemilihan bupati sebelumnya merupakan “musuh besar”
bagi satu sama lainnya. Perlu dicatat bahwa sebelum bupati terpilih saat ini yang
berpartaikan Golkar, pada masa sebelumnya PPP-lah yang berhasil menempatkan
kadernya menjadi bupati. Padahal saat ini pengaruh PPP terutama dalam sosok IN
sangat kuat yang kemudian menghantarkannya kembali menjadi anggota DPR
dengan perolehan suara mayoritas. Dan perlu dicatat pula bahwa IN ini adalah calon
bupati yang dikalahkan oleh bupati EK (suami SEN) pada pemilihan bupati 2010.
Kecenderungan perseteruan politik Golkar dan PPP akan terjadi lagi pada suksesi
kepemimpinan bupati berikutnya di tahun 2016 jika terjadi percepatan atau di tahun
2018 jika terjadi penundaan – percepatan atau penundaan pemilihan kepala daerah
ini berkaitan dengan rencana pusat untuk menggelar pemilihan kepala desa secara
serentak – karena PPP kemungkinan mengandalkan kembali IN sebagai kandidat
bupatinya.
Sementara itu, secara pribadi kepala desa politisi menyatakan bahwa
kedekatannya kepada tokoh IN, menurutnya “pan geus kabuktian yen Pak Endeh
geus bisa ngabangun jalan ka kampung-kampung, beda jeung bupati nukiwari
euweuh buktina (kan sudah ada buktinya bahwa Pak Endeh (suami IN/mantan bupati
sebelumnya) sudah bisa membangun jalan ke kampung-kampung, beda dengan
bupati yang sekarang tidak ada buktinya)”. Oleh karenanya loyalitasnya tidak
terbatas atas nama partai (PPP) tetapi juga kepada sosok personal IN. Relasi
kekuasaan diantara keduanya pun berlangsung secara patron-klien.
Dalam kasus lain, baik kepala desa jawara pengusaha maupun kepala desa
jawara kolot relatif biasa-biasa saja menanggapi pencalegan SEN ini. Dalam bahasa
yang relatif sama dengan kepala desa jawara politik, keduanya menyerahkan
keputusan memilih kepada warganya. Kepala desa jawara pengusaha menyatakan
bahwa “Abah mah moal pipuluen, kumaha masyarakat bae (Bapak sih tidak akan
ikut-ikutan, bagaimana masyarakat saja)”. Sementara kepala desa jawara kolot
menanggapinya bahwa “akh eta mah hak rakyat, keun bae rek milih henteuna mah
(akh itu mah hak rakyat, biarkan saja mau memilih atau tidaknya)”. Namun sekedar
untuk memperkenalkan SEN ini sebagai caleg, keduanya juga menginformasikan
warga bahwa SEN dalam kapasitasnya sebagai isteri bupati mencalonkan diri dari
Partai Golkar. Langkah ini berbeda dengan yang dilakukan oleh kepala desa jawara
politisi dimana ia hanya berkenan mendukungnya secara pribadi. Artinya ia tidak
melakukan langkah apapun ketika SEN memintakan dukungan mengarahkan warga
desanya.
Dengan memahami apa yang dilakukan oleh ketiga kepala desa dalam
kaitannya dengan penggiringan suara dukungan ini, peneliti berpandangan bahwa
masih ada perasaan segan terhadap pimpinan mengatakan “tidak” kepada apa yang
menjadi kebijakannya. Aspek budaya yang menempatkan pimpinan sebagai patron
berpengaruh pada kondisi ini. Hal ini setidaknya terindikasi dari pernyataan kepala
desa jawara politis yang menyatakan “kukumaha oge Pak Bupati mah bapa urang
kabehan (bagaimana pun juga Pak Bupati itu bapak kita semua)”. Padahal secara
sepakat, dengan cara yang berbeda ketiganya memandang bupati belum melakukan
apapun untuk kemajuan Pandeglang, tetapi mereka menyepakati pula bahwa
meskipun belum melakukan apapun tetapi bupati sudah meminta yang lain-lain
semisal dukungan politik kepada isterinya ini. Menurut mereka ini jelas bukan
tipikal pimpinan yang baik.
123

Dalam analisis peneliti, keberhasilan SEN menjadi anggota legislatif bukan


ditentukan oleh aktor kepala desa. Hal ini karena harus diakui bahwa selain kepala
desa jawara politisi, mayoritas kepala desa adalah loyalis IN63. Lalu bagaimana
peran informal yang dimainkan oleh ulama dan jawara dalam kaitan politik SEN ini.
Pengamatan peneliti, kedua jaringan ini bukanlah mesin politik utama SEN
meskipun hubungan dengan jaringannya masih ada. Oleh karenanya afiliasi politik
jaringan ulama dan jawara kemungkinan bersatu dengan kepentingan politik lainnya.
Bahkan peran kepartaian Golkar pun tidak terlalu banyak berpengaruh. Sekali lagi
mesin politik birokrasi sangat penting peranannya dalam perolehan suara SEN ini
(Gambar 6.4).
Meskipun bupati yang mengendalikan mesin politik birokrasi lokal, namun
sebenaranya aktor utama keberhasilan SEN ini adalah camat. Camat adalah “pemain
lincah” yang mampu mengkonsolidasikan sektor-sektor kekuatan politik di level
infrastruktur dan level antara. Peran camat dalam melakukan pendekatan-pendekatan
terhadap jaringan ulama dan jaringan jawara dengan memanfaatkan kapasitasnya
sebagai kepala wilayah. Dengan demikian kekuatan pengaruh ulama dan jawara
dimanfaatkan secara apik oleh camat. Dalam kapasitasnya sebagai kepala wilayah
tersebutlah seorang camat mampu mengarahkan kelembagaan struktur yang berada
dalam kewenangan koordinasinya untuk mendukung SEN. Sementara kekuatan-
kekuatan politik lainnya ia biarkan bermain secara lepas mendukung berragam
kepentingan politik termasuk kekuatan-kekuatan informal leader (ulama dan jawara,
serta elit desa lainnya). Tetapi untuk elit desa yang memiliki ketergantungan
terhadap birokrasi, ia bisa manfaatkan sebagai vote getter yang cukup strategis. Elit
desa semacam ini misalnya adalah para guru PNS yang mempunyai pengaruh sosial
yang cukup kuat bagi masyarakat pedesaan Pandeglang. Camat juga mampu
mengendalikan birokrasi desa karena pengaruh strukturalnya. Terutama melalui
aktor sekretaris desa yang terikat karena status PNS, camat mengendalikan birokrasi
desa secara efektif dan efisien untuk mendulang dukungan suara SEN.
Meskipun jika dipandang dari pendekatan administrasi publik, apa yang
dilakukan oleh birokrasi ini dianggap sebagai perilaku deviasi. Tetapi secara
sosiologi politik adalah sah ketika terdapat ikatan antara birokrasi dan politik. Hal
ini karena birokrasi tidak akan berjalan baik jika tanpa dukungan politik, begitu pula
sebaliknya. Dinamika politik ini dapat saja sebagai bagian dari budaya yang
mencirikan karakter politik masyarakat Pandeglang. Sama halnya dengan
kecenderungan prilaku-prilaku politik masyarakat saat ini seperti money politic, jual
beli suara, korupsi politik, black campaign dan lain-lain.
Berdasarkan Gambar 6.10, pertarungan antara kepala desa politik dengan
bupati dapat digambarkan bahwa bupati secara jaringan jauh lebih besar
dibandingkan dengan kekuatan jaringan kepala desa, meskipun jika ditelusuri dari
ikatan-ikatan dalam jaringannya kepala desa juga memiliki jaringan kekuasaan yang

63
Hasil wawancara kepada 5 orang kepala desa (yang dipilih secara purposive) yang tidak termasuk
ketiga informan utama dimana semuanya bernada mendukung IN. Pengamatan penelitian juga
menununjukkan dukungan rakyat pedesaan sangat tinggi kepada sosok IN. Jadi ceritanya akan lain
jika SEN manggung menjadi caleg DPR Pusat. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa SEN
mengkonsentrasikan sasaran politiknya ke level provinsi karena memahami kuatnya pengaruh IN di
tataran pedesaan. Tetapi SEN menjelaskan bahwa pilihannya untuk menjadi anggota legislatif DPRD
Provinsi Banten semata karena alasan domisili yang mengharuskannya tinggal di Jakarta jika ia
terpilih menjadi anggota DPR Pusat. Dan itu memberatkannya dalam kapasitasnya sebagai isteri
bupati.
124

besar sebagaimana diuraikan dalam Gambar 6.9. Terdapat lima struktur jaringan
yang dimanfaatkan bupati untuk memperkuat kepentingan pemenangan politiknya
melalui jalur komando (power by control), sementara kepala desa hanya mampu
membangun jaringan dengan dua struktur camat dan kepala desa yang anti bupati.
Dalam Gambar 6.10 tersebut secara konkret sebenarnya selain pertarungan politik
langsung antara bupati dan kepala desa juga terdapat kubu yang saling berhadap-
hadapan secara kepentingan politik yaitu antara camat dan kepala desa yang pro
bupati dengan camat dan kepala desa yang anti bupati. Camat dan kepala desa yang
anti bupati ini adalah mereka yang merupakan loyalis IN. Para loyalis IN merupakan
jaringan “abadi” kepala desa jawara politisi (AH). Dikatakan “abadi” karena
meskipun IN tidak menjadi bupati, tetapi pengaruh politiknya masih kuat kepada
jaringan politik di lingkungan birokrasi tersebut (para camat dan kepala desa).
Sebenarnya terdapat pula aparat birokrasi yang anti bupati (loyalis IN juga), tetapi
tidak bisa disebut sebagai struktur jaringan kepala desa politik (AH) karena
keterbatasan struktur kepala desa. Lain halnya dengan camat dan kepala desa loyalis
IN yang jalinan kekuatan jaringannya relatif terbangun secara terus-menerus karena
figur IN sendiri memelihara kekuatan jaringannya tersebut.

Gambar 6.11 Pertarungan Jaringan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa

Sementara itu jaringan jawara, aparat pemerintahan desa, elit desa dan
jaringan ulama merupakan lahan pertarungan bupati dan kepala desa. Perebutan
pengaruh terjadi pada keempat struktur jaringan tersebut, dalam hal ini tentunya
bupati lebih diuntungkan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, karena bupati
memiliki mesin politik camat, melalui jalur komando bupati mampu “menekan”
posisi camat baik camat yang pro maupun yang loyalis IN. Meskipun
kemungkinannya untuk camat yang loyalis IN relatif tidak efektif namun
125

sebagaimana diungkapkan oleh Camat Epi Sutiasa bahwa “ngaranna geh kolot keur
boga hajat piraku teu mantuan (namanya juga orang tua sedang punya hajatan
masak sih tidak membantu)”. Pernyataan tersebut sangat jelas menempatkan bupati
secara kultural sebagai patron yang harus didukung.
Bupati juga diuntungkan secara posisi struktural dalam fungsi pengawasan
aparatur sehingga aktivitas camat, kepala desa dan unsur birokrat lain yang loyalis
IN terbatas ruang geraknya. Lain halnya dengan unsur birokrasi yang pro
terhadapnya, ia biarkan untuk bergerak bebas dalam memaksimalkan kekuatan
jaringannya. Persentuhannya dengan jaringan ulama dan jawara tidak ia bangun
sendiri secara langsung, melainkan melalui tangan keduanya yaitu para camat pro
terhadapnya yang relatif lebih menguasai wilayahnya sendiri.
Kepala desa jawara politisi sendiri tidak memaksimalkan ikatannya dengan
jaringan kekuasaan IN karena pada proses pencalegan istri bupati sendiri ia tidak
frontal berhadap-hadapan dengan kepentingan kekuasaan bupati. Ia lebih memilih
untuk meningkatkan suara IN yang levelnya berbeda dimana istri bupati
mencalonkan diri sebagai caleg DPRD Provinsi sementara IN mencalonkan diri
sebagai caleg DPR RI. Sebagaimana pengakuannya bahwa “ari ka Bu IN mah eta
mah kolot sorangan, jadi wajib sifatna kudu ngadukung nepi ka jadi (kalau dengan
Bu IN itu kan orang tua sendiri, jadi wajib sifatnya mendukung sampai dengan
jadi)”.
Keterpilihan SEN sebagai anggota legislatif sebenarnya banyak ditentukan
relasi patron-klien dalam jaringan kekuasaan bupati terutama dari unsur birokrasi
lokal. Ketunduk dan patuhan aparat birokrasi terhadap figur bupati mendukung
terhadap mobilisasi dan pengarahan suara kepada SEN. Dengan demikian
keunggulan dominasi bupati ditentukan oleh potensi struktur kekuasaan
pemerintahannya. Adapun posisi kepala desa yang tidak terlalu memiliki
kepentingan dalam pertarungan kekuasaan tersebut lebih memilih posisi secara
statis. Untuk kepala desa jawara politisi sendiri karena adanya ikatan PPP dan
jaringan kekuasaan IN, pertarungan tersebut dialihkan kepada upaya untuk
memenangi suara di tingkat pusat dalam hal ini pengarahan suara dukungan kepada
IN.

Ikhtisar
Dinamika struktur relasi kekuasaan desa dengan Supra Desa berkembang
mengiringi proses perubahan peraturan perundang-undangannya. Pada masa orde
baru ketika berlangsung hegemoni negara yang sangat kuat terhadap desa, desa
sebagaimana ilustrasi Antlov (2002) tidak lebih digambarkan sebagai pelayan supra
desa. Struktur itu lambat laun berubah meskipun tidak secara signifikan seiring
lahirnya era otonomi daerah, dan perkembangan terkini yang semakin menempatkan
kuasa desa adalah seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Lemahnya struktur desa atas supra desa itu juga mempengaruhi relasi
kekuasaan yang terjadi antara kepala desa dengan bupati. Pola-pola relasi kekuasaan
yang berlangsung dalam masyarakat secara umum juga mempengaruhi relasi bupati
dengan kepala desa sebagai faktor sosial-kultural. Oleh karenanya selain faktor
kebijakan politik (peraturan perundang-undangan), relasi-relasi kekuasaan khas
pedesaan Banten mempengaruhi pula relasi kekuasaan yang terbentuk termasuk
relasi kekuasan yang ada dalam jaringan kekuasaan.
Relasi kekuasaan yang ada dalam jaringan kekuasaan bupati berlangsung
sebagian besar dalam pola dominasi dan patron-klien. Ikatan jaringan yang
126

dilakukannya semata menggunakan potensi strukturnya sebagai kepala


pemerintahan. Hal ini berbeda dengan jaringan kekuasaan yang dibangun oleh
kepala desa yang menjadi kasus dalam penelitian ini. Kepala desa jawara politisi
membangun jaringan kekuasaannya dengan berikatan dalam aliansi jaringan
kekuasaan IN. Kepala desa jawara pengusaha membangun jaringan kekuasaannya
dengan kelembagaan pengusaha. Kepala desa jawara kolot membangun jaringan
kekuasaanya dalam aktivitas kajawaraan pada aktivitas-aktivitas usaha informal di
pasar-pasar tradisional wilayah Jakarta dan Lampung.
Pembentukan jaringan kekuasaan yang dilakukan oleh tiga kasus kepala desa
ini berhasil meningkatkan derajat atau kualitas kekuasaan kepala desa sehingga
meningkatkan pula posisi tawarnya terhadap bupati. Pada akhirnya ketergantungan
kekuasaan kepala desa terhadap bupati semakin berkurang seiring dengan
peningkatan derajat kekuasaannya.
Pada kasus pencalegan SEN, keunggulan suara yang diperoleh semata karena
bupati mampu membangun jaringan melalui pola-pola dominasi birokrasi.
Sementara kepala desa jawara politisi pun tidak mengkonsentrasikan untuk
bertarung secara frontal dalam kasus tersebut, tetapi mengalihkan pertarungan
kepada pemenangan IN. Sehingga kepala desa jawara politisi dalam hal ini tidak
dapat dikatakan sebagai pihak yang tersisih karena keunggulan suara IN juga
mengindikasikan kuatnya jaringan kekuasaan IN yang didalamnya termasuk kepala
desa jawara politisi sendiri. Sementara itu kepala desa jawara pengusaha dan jawara
kolot relatif menarik diri dari pertarungan kekuasaan tersebut.
Berdasarkan uraian dalam bab ini, dapat dipahami bahwa potensi struktur
memang menentukan pembentukan kekuasaan, tetapi kemampuan dalam
membangun jaringan kekuasaan juga menentukan dalam proses pengimbangan
kekuasaan. Dengan demikian kekuasaan ketergantungan yang diakibatkan oleh
kesenjangan struktur dapat dieliminasi oleh bangunan jaringan kekuasaan.
127

7. POLA RELASI KEKUASAAN BUPATI DENGAN KEPALA DESA:


RELASI KEKUASAAN YANG TIDAK MENYEJAHTERAKAN

Dalam kapasitasnya sebagai pejabat politik lokal, bupati memiliki otoritas


penuh (kewenangan legal rasional) dalam melakukan penataan daerahnya dalam
mencapai kesejahteraan secara maksimal. Hal ini karena titik berat otonomi
pemerintahan berada pada tingkat kabupaten ata kota bukan desa atau kelurahan,
bukan pula provinsi. Titik berat otonomi yang menempatkannya pada daerah
kabupaten atau kota ini adalah karena alasan bahwa daerah kabupaten atau kota ini
merupakan level yang paling tepat dalam jangkauan pengawaan pemerintahan (span
of control) baik ke tingkat atas (provinsi dan pusat) maupun ke bawah (kecamatan
dan desa/kelurahan). Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat pedesaan
sebenarnya secara otonomi pemerintahan berada pada kuasa bupati dan relasi yang
dibangunnya dengan pusat dan khususnya dengan desa (kepala desa).
Berdasarkan pendekatan struktur fungsional, relasi kekuasaan bupati dengan
kepala desa ini akan mendukung terhadap perwujudan kesejahteraan masyarakat
pedesaan jika tercipta kompromi yang baik dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan, dan akan sangat tidak mendukung jika relasi yang terjadi bersifat
konfliktual. Sementara itu dalam pendekatan konflik, perubahan sosial menuju
terwujudnya kesejahteraan terjadi karena adanya konflik.
Untuk menelusuri pola-pola yang terbentuk antara bupati dengan kepala
desa di Pandeglang, terlebih dahulu perlu dipahami tentang respon dari keduanya
baik dari bupati terhadap kepala desa maupun sebaliknya. Dengan demikian dapat
diketahui sikap prilaku keduanya terhadap peran dan kepemimpinan pemerintahan
yang dilakukan, apakah menuju terciptanya konflik atau kompromi.
Pergeseran nilai sosial berkaitan dengan kekuasaan sangat mempengaruhi
relasi diantara keduanya. Utamanya yang berkaitan dengan kepentingan kekuasaan,
keduanya memiliki perbedaan orientasi kekuasaan yang menyulut terjadinya konflik.
Pola konflik inilah yang paling mengemuka dalam relasi bupati dengan kepala desa
karena ternyata kecenderungannya sangat nampak dibandingkan dengan pola
kompromi.

Respon Bupati atas Peran Kepala Desa


Kesan normatif mengiringi beberapa jawaban dari informan bupati terkait
dengan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepadanya perihal peran kepala
desa dalam proses pemerintahan dan pembangunan. Informan menyatakan bahwa
“terlepas dari jawara atau bukan, kepala desa atas nama jabatannya adalah pimpinan
pemerintahan. Oleh karenanya ia harus tunduk dan patuh pada norma dan etika
pemerintahan yang ada”. Dalam jawaban tersebut informan tidak
mempermasalahkan status informal kepala desa karena status kepala desanyalah
yang mengikatnya harus berprilaku sebagai kepala pemerintahan.
Dari pernyataan informan tersebut dimaknai bahwa bupati memelihara
relasinya dengan kepala desa dalam kapasitasnya sebagai aktor yang memiliki
kewenangan legal rasional. Sehingga informan selalu mendudukan permasalahan
dalam ruang tersebut.
Dalam menyikapi adanya kepala desa yang sering tidak berada di tempat (di
desanya) sehingga proses pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat tidak
128

dapat dilakukan dengan baik64, informan menyatakan bahwa “saya serahkan


seluruhnya kepada masyarakat yang memilihnya, jika dipandang kepala desa
tersebut sudah tidak amanah biar masyarakat yang menilainya, tokh semua itu ada
aturannya”. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa bupati hanya bersedia
menegaskan kuasa pemerintahannya sepanjang mendapat persetujuan
masyarakatnya.
Namun demikian informan menyatakan bahwa “maju mundurnya desa ya
tergantung pimpinannya (kepala desa), jika desanya ingin maju ya kepala desanya
harus punya kinerja yang baik”. Artinya bahwa kepala desa sangat menentukan
kemajuan desanya. Dalam pandangan informan, kepala desa yang baik yaitu kepala
desa yang tunduk dan patuh pada aturan yang berlaku baik dalam proses
penatakelolaan desa maupun dalam proses pembangunan desanya. Informan
menjelaskan bahwa “jangan sampai karena alasan demi desa, kepala desa melakukan
cara-cara yang tidak benar, jelas itu salah lagi apapun alasannya misalnya
pembayaran PBB ditanggung dari dana desa itu jelas tidak benar meskipun niatnya
mungkin bagus”.
Sementara itu kaitannya dengan peran ulama dan jawara sebagai tokoh
informal, informan menyatakan bahwa peran keduanya sangat dibutuhkan, bahkan
terjunnya ulama atau jawara ke dalam politik menjadi keharusan sehingga keduanya
bisa berpartisipasi secara langsung atas kondisi politik yang berlangsung. Menurut
informan “Tidak masalah ulama atau jawara untuk terjun ke arena politik, bahkan
sangat penting kiranya seorang ulama atau jawara untuk terjun ke politik karena
dengan demikian ia dapat memberikan sumbangsih pemikirannya secara optimal”.
Pun demikian dengan kepala desa jawara, informan menyatakan “ini adalah hak
politik, sepanjang tidak mencederai kapasitasnya sebagai kepala desa saya kira sah-
sah saja”.
Adapun halnya dengan beberapa tuntutan publik terkait proses pembangunan
infrastruktur jalan, informan menanggapinya bahwa “proses perencanaan
pembangunan telah disepakati bersama antara eksekutif dan legislatif, hanya perlu
kesabarannya saja dari masyarakat karena hal itu juga ada skala prioritas
pembangunannya”.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, maka pada prinsipnya apa yang
diambil dari langkah-langkah kebijakan bupati sudah sesuai dengan kapasitasnya
sebagai kepala pemerintahan. Relasi yang dibangunnya dengan kepala desa pun
diposisikan dalam ruang pemerintahan (otoritas legal rasional). Hal ini
mengindikasikan bupati menggunakan struktur kekuasaan pemerintahannya yang
menempatkannya lebih superior dari kepala desa.

Respon Kepala Desa atas Kepemimpinan Bupati


Pada bagian ini mengurai respon kepala desa atas kepemimpinan bupati baik
dalam proses pembangunan maupun dalam kapasitasnya sebagai kepala
pemerintahan daerah secara umum. Respon kepala desa ini sangat penting untuk
mengetahui tafsiran kepala desa atas struktur legal rasional bupati yang
menempatkan bupati pada struktur tertinggi. Dengan demikian dapat dipahami
apakah struktur tersebut mempengaruhi atau tidak mempengaruhi pola relasi
kekuasaan yang terjadi. Jika pengaruh struktur legal rasional bupati tidak terlalu
berpengaruh, maka terdapat faktor determinan lain yang mempengaruhi relasi

64
Dalam kasus ini adalah Kepala Desa Awilega.
129

kekuasaan bupati dengan kepala desa. Faktor-faktor itulah yang mempengaruhi


relasinya secara signifikan.
Dengan latar kepala desa yang berbeda, berbeda pula persepsi yang diberikan
kepala desa atas kepemimpinan bupati. Ada yang menunjukkan kekecewaannya
yang sangat mendalam, ada pula yang menanggapinya secara biasa saja. Melalui
pemahaman respon yang disampaikan diketahui pula sikap kepala desa terhadap
kepemimpinan bupati.
Pernyataan yang menunjukkan kecenderungan konfliktual dapat dipahami
dari apa yang dilontarkan oleh kepala desa jawara politisi yang menyatakan bahwa
“ari keur hayang dipilih mah turun bae, ari geus jadi mah diondang geh hese
(ketika ingin dipilih mau turun, setelah jadi diundang juga susah)”. Dari beberapa
hasil wawancara dengan unsur masyarakat biasa juga menegaskan bahwa bupati saat
ini jarang sekali memenuhi undangan warga. Kalaupun dipenuhi biasanya unsur
bawahannya yang hadir misalnya sekretaris daerah atau bahkan level pejabat yang
lebih rendah. Dengan demikian respon masyarakat tidak hanya kepala desa terhadap
kesediaan bupati untuk hadir pada acara-acara kemasyarakatan sangat rendah.65
Pembangunan infrastruktur pedesaan khususnya menyangkut akses jalan
desa juga banyak mendapat respon negatif dari kepala desa. Kepala desa jawara
politisi menyatakan “bupati EK mah euweuh buktina, jaman Pak ADN mah kan
sanajan laleutik oge jalanna tapi kan jalan marulus (bupati EK itu tidak ada
buktinya, jaman Pak ADN (bupati sebelumnya) meskipun jalannya kecil-kecil tetapi
jalannya bagus-bagus”. Pernyataan tersebut sangat jelas mengungkap kekecewaan
terhadap kepemimpinan bupati dalam membangun infrastruktur jalan pedesaan.
Pernyataan yang serupa juga dilontarkan oleh kepala desa jawara kolot yang
menyatakan bahwa “motor hade nu asup ka desa kami mah paling ngadon
bingkeung velgna, bupatina ieuh euweuh kahayang, lain jiga keur tacan jadi (motor
bagus yang masuk ke desa kami paling velgnya rusak, bupatinya ini tidak
mempunya keinginan untuk membangun, beda dengan sebelum jadi)”. Lebih lanjut
ia mengemukakan “pokokna mah si jalan teh geus teu layak (pokoknya itu jalan
sudah sangat tidak layak)”.
Ketika dilontarkan perbandingan hasil pembangunan antara bupati saat ini
dengan bupati sebelumnya. Sama halnya dengan kepala desa jawara politisi, kepala
desa jawara kolot juga menyatakan “atuh jauh yeuh mun dibandingkan jeung Pak
ADN mah, bupati nukiwari mah teu sakukuna acan (jelas sangat jauh jika
dibandingkan dengan Pak ADN (bupati sebelumnya), bupati yang sekarang itu
bahkan tidak seujung kukunya)”.
Pernyataan-pernyataan ini jelas mengindikasikan ketidakpuasan kepala desa
jawara kolot atas kepemimpinan bupati dalam kaitannya dengan proses
pembangunan desa. Dalam pandangan kepala desa jawara politisi dan kepala desa
jawara kolot, bupati hanya mementingkan ketika ingin jadinya saja, tetapi setelah
jadi bupati melupakan rakyat yang memilihnya.
Sementara kepala desa jawara pengusaha menanggapinya dengan sedikit
berbeda yang menyatakan bahwa “memang diantara wilayah desa kami aya nu

65
Terkait dengan ketidakhadiran bupati atas undangan wargai ini, pernyataan yang berbeda
disampaikan oleh beberapa aparatur birokrat misalnya yang disampaikan oleh Camat Epi Sutiasa dan
Basyar. Menurut kedua informan, ketidakhadiran bupati disebabkan karena bupati tidak memiliki
dana operasional yang khusus untuk menghadiri undangan tersebut, sementara dana taktis sangat
dibutuhkan karena setiap menghadiri undangan tidak menutup kemungkinan adanya tuntutan warga
atas dana bantuan bupati.
130

tacan kasentuh pembangunan jalanna, tapi khusus keur jalan utama desa mah
lumayan lah (memang diantara wilayah desa kami ada yang belum tersentuh
jalannya, tapi khusus untuk jalan utama itu lumayan baik)”. Tanggapan kepala desa
jawara pengusaha jelas mengindikasikan kepuasan atas kondisi infrastruktur jalan
yang ada. Berdasarkan pengamatan peneliti, berbeda dengan kondisi jalan disa di
Citalahab dan Awilega, memang kondisi jalan di Desa Campaka relatif lebih baik
meskipun jalan menuju ke arah pegunungan kondisinya masih belum layak.
Dari aspek kesejahteraan, ketika ditanyakan kepada tiga kepala desa kasus
dalam penelitian ini, ketiganya menyepakati bahwa bupati tidak memberikan
kesejahteraan berarti untuk para warganya. kepala desa jawara politisi menyatakan
“zaman ADN mah atuh ngeunaheun, loba bantuan keur warga, kiwarimah naon eta
bebenah-bebenah bae bari jeung teu puguh (zaman Pak ADN itu enak, banyak
bantuan untuk warga, sekarang itu apa bebenah-bebenah66 saja sembari tidak jelas).
Kepala desa jawara kolot juga menyatakan hal yang sama yaitu “pan
baheula mah jang nupaeh aya bantuanna, jang nukawin oge komo jang ustadz mah,
kiwari mah boro-boro (kan dulu mah untuk yang meninggal dunia ada bantuannya,
untuk yang menikah juga apalagi bantuan untuk ustadz, sekarang tidak ada apa-
apanya)”.
Kepala desa jawara pengusaha juga menyatakan hal yang sama “memang
kalau dibandingkan dengan zamanna Pak ADN, atuh jauh pisan (sangat jauh)”.
Lebih lanjut kepala desa jawara pengusaha menyatakan bahwa “nukarasa ku kami
bae salaku kepala desa, pan harita mah ngeunah urang loba kucuran dana ti Pemda
(yang dirasakan oleh kami selaku kepala desa, dulu itu enak karena banyak kucuran
dana bantuan dari Pemda)”.
Pernyataan-pernyataan dan tanggapan kepala desa tersebut mengindikasikan
bahwa kepala desa relatif tidak puas atas apa yang dilakukan oleh bupati bagi
pembangunan pedesaan. Pernyataan-pernyataan tersebut juga mengindikasikan sikap
kritis kepala desa terhadap bupati. Hal ini menunjukkan gambaran yang berbeda
dengan apa yang diilustrasikan Antlov dimana kepala desa pada masa orde baru
yang menempatkan kepala desa tidak lebih sebagai “pelayannya” bupati.
Sikap penolakan terhadap kebijakan bupati atau juga supra desa ditunjukkan
oleh kepala desa jawara pengusaha dengan tidak mengambil beberapa bantuan
pemerintah misalnya BLT karena dianggap tidak memberikan manfaat yang banyak
bagi kesejahteraan warganya. Justru dalam pandangan kepala desa jawara pengusaha
bantuan tersebut lebih banyak memberikan kerugiannya karena menurutnya hal ini
dapat memicu konflik diantara warga. Menurutnya, “daripada nyieun masalah,
mending ulah sama sakali (daripada membuat masalah, sebaiknya tidak usah
mendapatkan bantuan sekalian). Konflik tersebut menurut kepala desa jawara
pengusaha karena data penerima tidak sesuai dengan data riil di lapangan, dan ini
menurutnya sangat rawan memicu konflik horizontal diantara warga.
Pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh para kepala desa relatif selalu
memperbandingkannya dengan kepemimpinan bupati sebelumnya (Pak ADN)
khususnya apa yang dilakukan kepala desa jawara politisi. Dalam analisis peneliti,
hal ini tidak semata karena ketidakpuasan kepala desa atas kepemimpinan bupati
tetapi terdapat ikatan antara kepala desa dengan jaringan kekuasaan Pak ADN
(jaringan kekuasaan IN). Dengan demikian sebenarnya keberanian untuk
menyatakan ketidakpuasan dan kekecewaan mendalam kepala desa adalah karena
66
Bebenah adalah jargon pembangunan yang dipropagandakan Bupati Pandeglang EK pada saat
sebelum dan setelah terpilih menjadi Bupati Pandeglang. Bebenah itu sendiri dalam Bahasa Indonesia
artinya adalah berbenah.
131

ikatannya dengan jaringan kekuasaan yang lebih besar. Hal ini dapat dimaknai
bahwa pengimbangan kekuasaan kepala desa dilakukan dengan membangun ikatan
jaringan dengan jaringan kekuasaan IN.
Hal yang paling nampak adalah apa yang dilakukan oleh kepala desa jawara
politisi. Secara terang-terangan ia mengemukakan bahwa “ti mimiti geh kuring mah
pan teu milih ka EK mah, geus apal meureun… (sejak dari awal juga saya kan tidak
memilih EK, pasti sudah tahu kan…)”. Sebagai loyalis IN, kepala desa jawara
politisi menempatkan EK sebagai lawan politiknya, sehingga setiap kebijakan bupati
saat ini dipandangnya sebagai kebijakan yang tidak populis.
Sikap para kepala desa yang relatif memandang rendah terhadap hasil
kepemimpinan bupati mengindikasikan bahwa terdapat keberanian dari kepala desa
untuk melawan supra strukturnya. Ini juga mengindikasikan bahwa: pertama, relasi
kekuasaan patron-klien yang mendominasi kehidupan pedesaan Pandeglang untuk
kondisi ini tidak terjadi. Kedua, bahwa potensi supra struktur bupati tidak menjadi
jaminan untuk bisa mendominasi kekuasaan kepala desa. Terakhir adalah bahwa hal
ini dapat dipandang sebagai kondisi yang mengindikasikan adanya penyeimbangan
kekuasaan kepala desa. Penyeimbangan kekuasaan kepala desa ini sebagian besar
dipengaruhi oleh kemampuan kepala desa dalam membangun jaringan
kekuasaannya. Dengan demikian jaringan kekuasaan menjadi faktor determinan
dalam proses penyeimbangan kekuasaan yang dilakukan oleh kepala desa sehingga
ketergantungan kekuasaannya terhadap bupati semakin rendah. Dalam analisis
Emerson, semakin rendahnya ketergantungan kekuasaan maka semakin rendah pula
pertukaran yang terjadi. Di sisi lain, ketika pertukaran semakin rendah, maka
kekuasaan ini akan semakin memisah yang menyebabkan relasi konflik akan lebih
mewarnainya dibandingkan dengan relasi kompromi.

Kepentingan Kekuasaan Bupati dan Kepala Desa


Vested interest mewarnai penilaian kepala desa atas kepemimpinan bupati
sebagaimana yang disampaikan oleh kepala desa jawara politisi dalam uraian sub
judul sebelumnya yang menyatakan bahwa bupati hanya melakukan pendekatan
kepada masyarakat pada saat sebelum terpilih saja. Tetapi setelah terpilih bupati
seolah enggan untuk turun secara langsung melihat warganya, bahkan bupati dinilai
enggan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat karena fasilitas infrastruktur jalan
yang ada tidak kunjung diperbaiki. Inilah yang dinilai kepala desa jawara politisi
bahwa kepentingan bupati hanya kekuasaan belaka, setelah menduduki kekuasaan
bupati seolah melupakan janji-janjinya untuk menyejahterakan masyarakat. Menurut
kepala desa jawara politisi, inidikatornya adalah kualitas infrastruktur jalan yang
sama sekali tidak tersentuh dan dari waktu ke waktu semakin hancur. Sebagaimana
pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh kepala desa jawara kolot dalam uraian
di atas.
Dari data wawancara dengan informan bupati, memang tidak ada komentar
minor atas kinerja kepala desa karena bupati relatif mendudukan permasalahan
dalam ruang otoritas legal-rasional. Artinya tidak ada penilaian buruk atas
kepentingan kepala desa, meskipun informan juga tidak menjelaskan kepuasannya
atas kinerja kepala desa. Namun sebenarnya berdasarkan pemahaman secara
mendalam, dalam analisis peneliti, pembentukan jaringan kekuasaan yang dilakukan
oleh kepala desa baik oleh kepala desa jawara politisi yang mengefektifkan
hubungannya dengan jaringan kekuasaan IN, kepala desa jawara pengusaha yang
memiliki keluasan jaringan pengusaha, maupun kepala desa jawara kolot yang
132

beraktivitas dalam jaringan jawara Jakarta dan Lampung, selain merupakan cara-
cara pengimbangan kekuasaan juga terdapat kepentingan-kepentingan tertentu dari
kepala desa dalam ikatan itu utamanya dalam mempertahankan kekuasaannya.
Dengan demikian sebenarnya selalu ada kepentingan dalam relasi-relasi yang
dibangun oleh kepala desa baik dalam hubungannya dengan bupati maupun dalam
cara-cara pengimbangan kekuasaan terhadap kuasa bupati. Termasuk sebenarnya
cara berrelasi kekuasaan dalam bentuk konflik maupun kompromi.
Muara dari kepentingan-kepentingan tersebut adalah kekuasaan baik itu
upaya untuk mempertahankannya maupun upaya untuk memperbesar derajat
kekuasaan yang dimiliki. Misalnya adalah apa yang dilakukan oleh kepala desa
jawara pengusaha dalam menolak bantuan bupati atas nama pemerintah pusat, di
satu sisi dapat memicu konflik terhadap bupati, namun di sisi lain dapat
meningkatkan derajat kekuasaan kepala desanya karena warga semakin menaruh
apresiasi yang tinggi kepada kepala desa. Pemberian penghormatan kepada kepala
desa jawara pengusaha dari para warganya karena ia kemudian menalangi bantuan
sebagai penggantian bantuan pemerintah tersebut. Dalam hal ini kepala desa jawara
pengusaha menggunakan sumber kekuasaan ekonomi yang dimilikinya untuk
meningkatkan derajat kekuasaannya. Dalam makna lain bentuk penolakkannya
terhadap bantuan pemerintah berpengaruh meningkatkan kuasa kepala desa di satu
sisi, dan menurunkan derajat kuasa bupati di sisi lain karena warga akan
memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kepala desa di satu sisi dan menurunkan
apresiasi terhadap bupati di sisi lain.
Secara keseluruhan baik relasi konflik maupun kompromi, relasi yang terjadi
antara bupati dengan kepala desa selalu diwarnai kepentingan kekuasaan. Misalnya
adalah relasi konflik yang ditunjukkan kepala desa jawara politisi, meskipun
menjaga jarak bahkan memposisikan diri berseberangan dengan kuasa bupati,
namun kondisi opposisi yang dilakukannya semata untuk memperbesar
kekuasaannya pada jaringan lain (jarigan kekuasaan IN). Dalam hal ini adalah
bahwa meskipun kepala desa jawara politisi semakin jauh dari kekuasaan bupati,
tetapi derajat kuasanya semakin besar karena ikatan dengan jaringan kekuasaan IN
semakin kuat. Dengan demikian relasi konflik yang dibangunnya dengan bupati
justru semakin meningkatkan posisi tawarnya terhadap bupati. Hal ini jelas bahwa
kepentingan kekuasaan menjadi variabel determinan dalam relasi kekuasaan kepala
desa dengan bupati.
Kasus yang paling nampak dari adanya kepentingan kekuasaan bupati ini
adalah tentang pencalegan SEN sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya.
Proses yang berujung kepada tujuan pemenangan SEN dilakukan oleh bupati dengan
menggiring mesin politik birokrasi. Secara administrasi dan politik, pelibatan
birokrasi dalam politik merupakan bentuk maladministrasi. Namun untuk tujuan
kekuasaan, bupati mengabaikan semuanya. Kekuasaan telah menutup “mata hati”
bupati untuk setinggi-tingginya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Dalam hal
ini rakyat bahkan dimobilisasi untuk tujuan kekuasaannya. Potensi struktur
kekuasaan yang dimilikinya digunakannya untuk membangun jaringan kekuasaan
dalam pola-pola relasi dominasi. Pada akhirnya pola-pola pembentukan kekuasaan
tersebut semakin meminggirkan partisipasi politik rakyat pedesaan yang semakin
tidak menyejahterakannya.
Dalam hal lain, kepala desa menghadapi permasalahan keterpinggirannya
dari struktur kekuasaan yang ada. Tidak dilibatkannya kepala desa secara optimal
dalam proses-proses pengambilan keputusan di tingkat lokal menjadikannya sebagai
pihak yang tidak memiliki posisi tawar yang kuat dalam mempengaruhi kebijakan
133

lokal tersebut. Oleh karenanya dalam menghindari pola relasi dominasi bupati,
kepala desa membangun ikatan jaringan yang dapat meningkatkan posisi tawarnya
sebagaimana dijelaskan dalam bab 6. Apa yang dilakukan oleh kasus tiga kepala
desa menjelaskan bahwa pembentukan jaringan yang dilakukannya baik itu
merupakan upaya yang disengaja ataupun tidak berpengaruh terhadap peningkatan
posisi tawarnya. Artinya adalah sebenarnya kepentingan kekuasaanlah yang menjadi
faktor utama pembentukan jaringan tersebut. Dengan demikian baik bupati maupun
kepala desa sebenarnya sama-sama berkepentingan dengan kekuasaan. Bedanya
adalah bupati yang sangat diuntungkan dengan potensi strukturnya menggunakannya
untuk kepentingan pribadi dan golongannya (keluarga dll), sementara kepala desa
melakukannya untuk tujuan yang lebih mulia yaitu agar posisi tawarnya lebih
meningkat lagi sehingga mampu mengimbangi kekuasaan terhadap bupati yang pada
akhirnya mengurangi ketergantungan kekuasaannya.

Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa Jawara Politisi


Pola relasi kekuasaan konfliktual sangat nampak dalam relasi kekuasaan
bupati dengan kepala desa jawara politisi. Selain karena faktor kekecewaan kepala
desa atas proses pembangunan desa sebagaimana uraian di awal, hal ini juga
dilatarbelakangi oleh perbedaan kepentingan politik. Kepala desa jawara politisi
memposisikan diri berseberangan dengan orientasi kekuasaan bupati, bahkan
posisinya relatif saling berhadap-hadapan dimana kepala desa jawara politisi adalah
loyalis sejati dari pihak kandidat bupati yang sebelumnya tersingkir dalam proses
pemilihan bupati.
Karena perbedaan orientasi kekuasaan tersebut, kepala desa jawara politisi
mengambil sikap untuk tidak mendukung setiap kebijakan yang ditujukan untuk
memperbesar kekuasaan bupati misalnya yang paling konkret adalah dalam kasus
pencalegan istri bupati sebagaimana diuraikan dalam bab 6.
Meskipun relasi konfliktual terjadi, ternyata relasi kompromi juga terjadi
diantara bupati dengan kepala desa jawara politisi. Relasi kompromi ini berlangsung
misalnya dalam hal pencairan dana desa. Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan
dana desa, bupati memagarinya dalam kondisi dimana dana tersebut dapat dicairkan
jika kepala desa memenuhi dua kondisi yaitu yang pertama adalah dimana pajak
bumi dan bangunan (PBB) tahun berjalan dilunasi dalam jumlah persentase tertentu
katakanlah 80%-nya (target diatur oleh Dispenda Kabupaten Pandeglang sesuai
besaran objek pajaknya). Kondisi yang kedua adalah bahwa dana desa tersebut dapat
dicairkan jika peraturan desa yang mengatur APBDes (Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa) sudah dirampungkan.
Pada kondisi yang pertama, kerjasama pun berlangsung dimana bupati
terbantu karena penarikan PBB dapat dioptimalkan sehingga Pendapatan Asli
Daerah Sendiri (PADS) meningkat, sementara kepala desa jawara politisi terbantu
dengan proses pencairan dana dan proses akuntabilitasnya dapat direalisasikan.
Artinya adalah bahwa kepala desa juga terbantu karena unsur pendapatan asli desa
dapat direalisasikan. Kepala desa jawara politisi juga terbantu karena kelunasan PBB
selalu mendapatkan insentif dari pihak bupati yang biasanya berbentuk pemberian
subsidi kendaraan dinas atau perangkat kantor (misalnya komputer). Dengan
demikian proses pertukaran berlangsung secara apik diantara keduanya.
Relasi kompromi ini diakui positif oleh hampir seluruh kepala desa termasuk
kepala desa jawara politisi sebagaimana terungkap dalam pernyataannya “meski
kami ieu dipaksa ngalunasan PBB, tapi ari upahna cocok mah atuh satuju bae yeuh
134

(meskipun kami ini dipaksa melunasi PBB, tapi jika upahnya sesuai ya setuju saja”.
Yang dimaksud upah dalam pernyataan tersebut adalah insentif yang diberikan oleh
bupati.
Persetujuan kepala desa atas cara memagari desa untuk terlibat langsung
dalam urusan pemerintahan daerah67, merupakan pola kompromi atau kerja sama
yang baik. Tetapi dalam hal ini masyarakat sangat dirugikan oleh cara-cara
pemaksaan tata kelola pemerintahan yang terjadi. Hal ini karena proses pelunasan
seringkali tidak mengindahkan sistem dan prosedur yang ada. Tujuan pelunasan
semata-mata agar proses pencairan dana desa dapat direalisasikan sehingga apapun
caranya ditempuh dalam merealisasikan tujuan tersebut. Pada akhirnya pembayaran
secara masal dilakukan, misal target PBB desa A adalah 50 juta, kemudian kepala
desa menalangi uang sejumlah 50 juta dengan tidak memerinci obyek PBB yang
dibayarkannya. Pada akhirnya rakyat dirugikan karena tidak jelas siapa yang sudah
melunasi pembayaran PBB dan siapa yang belum melakukannya. Tidak menutup
kemungkinan warga berpenghasilan tinggi sudah ditalangi sementara warga yang
berpenghasilan rendah diabaikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, kerjasama dalam peningkatan PADS/PADes
ini meskipun berkontribusi positif terhadap peningkatan PADS/PADes yang pada
akhirnya meningkatkan pula kemandirian daerah dan desa, tetapi juga karena cara-
cara yang dilakukannya mengabaikan sistem dan prosedur yang ada pada akhirnya
rakyat kembali menanggung resiko dari relasi tersebut.
Pada kondisi yang kedua yaitu terkait dengan keharusan kepala desa
menyelesaikan peraturan desa tentang APBDes juga berlangsung relasi kompromi
yang secara prinsip menyalahi tata kelola administrasi yang ideal. Berdasarkan
temuan penelitian sebagaimana dikemukakan oleh informan Kasi Pemerintahan
Kecamatan Kaduhejo (Agung Kurniawan) bahwa “tidak hanya untuk Desa
Campaka, sebagian besar desa yang ada menitipkan penyusunannya kepada pihak
kecamatan”. Informan Kasubag Keuangan Kecamatan Koroncong (Suherman) juga
menyatakan persetujuannya “disini juga sama saja, dalam kaitannya dengan
APBDes itu kepala desa mau beresnya saja”. Begitu pula halnya pernyataan dari
Sekretaris Kecamatan Banjar (Endin Suhaerudin) yang mengemukakan bahwa
“relatif kepala desa dan perangkatnya belum mampu menyusun APBDes secara
baik”.
Pernyataan-pernyataan di atas mengindikasikan lemahnya kemampuan
kepala desa dalam menyusun APBDes secara mandiri. Berdasarkan pengamatan
penelitian, pada akhirnya para kepala desa menyerahkan urusan penyusunan
APBDes itu pada pihak kecamatan. Dalam hal ini maka penyusunannya hanyalah
bersifat formalitas belaka yang tidak menutup kemungkinan dilakukan secara copy-
paste (salin-menyalin) saja. Dampaknya adalah bahwa perencanaan pembangunan
desa tidak terformulasikan secara baik, kesan penyelenggaraan musrenbangdes pun
tidak lebih dari kegiatan formalitas saja.
Jika cara-cara tata kelola desa dilakukan seperti ini pastinya kepentingan
desa tidak akan mungkin teragendakan dengan baik, apakah dalam APBD ataupun
dalam APBDes. Dengan kondisi tersebut tentunya masyarakat akan banyak
dirugikan. Artinya adalah relasi kompromi dalam penyusunan APBDes ini tidak
mendukung terhadap peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat.

67
PBB adalah salah satu unsur pajak daerah yang menjadi kewenangan daerah sekaligus sumber
pendapatan asli daerah sendiri sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah.
135

Relasi kompromi juga terjadi pada proses pendistribusian bantuan


pemerintah seperti proses pendistribusian beras miskin. Fungsi utama pendistribusi
ini sebenarnya kepala daerah yang dibantu unsur kecamatan. Meskipun proses
pendistribusian ini dalam kasus di Desa Campaka relatif menjadi konflik, tetapi pada
proses di Desa Citalahab dan Desa Awilega berlangsung secara apik. Diakui oleh
kepala desa jawara politisi bahwa “alhamdulillah ari raskin mah geus aya RT nu
leuwih apal wargana, jadi kami mah syukur bae sabab memang aya diantara warga
kami anu butuh keneh (alhamdulillah kalau urusan raskin itu ada Ketua RT yang
lebih paham warganya, jadi kami bersyukur sebab memang masih ada warga kami
yang masih membutuhkannya)”. Pernyataan tersebut jelas mengindikasikan rasa
terima kasih kepala desa jawara politisi terhadap kebijakan pemerintah (termasuk
bupati) untuk memberikan bantuan kepada warga miskin. Dalam sisi lain tentunya
proses penyaluran bantuan tersebut membantu pihak bupati yang terbatas sumber
daya manusianya untuk terjun secara langsung dalam proses pendistribusiannya.
Penjelasan-penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa meskipun relasi
konfliktual berlangsung antara bupati dengan kepala desa jawara politisi, namun
pola kompromi juga berlangsung utamanya dalam konteks pemerintahan. Dengan
demikian pola relasi kekuasaan konfliktual bersandingan dengan pola relasi
kekuasaan kompromi. Pola konfliktual terjadi karena perbedaan kepentingan
kekuasaan, sementara pola kompromi berlangsung atas dasar pertukaran karena
masing-masing saling membutuhkan. Namun demikian derajat relasi konfliktual
jauh lebih tinggi daripada relasi kompromi. Kepala desa semakin berani untuk
menunjukkan sikap politiknya berlawanan dengan bupati bahkan dalam satu
kesempatan kepala desa pernah secara lantang di hadapan pejabat lokal menyatakan
bahwa “mun Pandeglang teu maju-maju, kuring mah rek nyalonkeun Bupati tina
independen, ja bupati nu kiwari teu bisa nanaon (kalau Pandeglang tidak bisa maju,
saya akan mencalonkan diri menjadi bupati dari jalur independen, sebab bupati yang
sekarang tidak bisa apa-apa)”. Keberanian sikap politik kepala desa tersebut
merupakan hal yang luar biasa karena disuarakan justru dalam lingkaran bupati
sendiri. Pernyataan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai relasi konflik yang
diakibatkan proses pembangunan desa yang menurut kepala desa jawara politisi
tidak mengalami kemajuan.
Dalam analisis peneliti, keberanian sikap kepala desa jawara politisi ini
karena merasa kekuasaannya semakin seimbang dengan bupati. Dalam masa 2 tahun
menjelang berakhirnya kepemimpinan bupati memang terdapat kecenderungan
semakin melemahnya jaringan kekuasaan yang dibangun bupati, sementara di sisi
lain semakin menguatnya jaringan kekuasaan yang dibangun oleh kepala desa
jawara politisi. Hal ini karena jaringan IN yang merupakan pembentuk kekuasaan
kepala desa jawara semakin menguat yang meningkatkan pula derajat kekuasaan
kepala desa jawara politisi. Semakin menguatnya jaringan IN ini termasuk
diantaranya terdapat kecenderungan semakin merapatnya dengan jaringan Rau yang
notabene merupakan pendukung utama terpilihnya bupati pada masa proses
pencalonannya. Dengan demikian jaringan IN semakin kuat karena mendapat
dukungan jaringan Rau, sementara bupati semakin melemah karena semakin
ditinggalkan para pendukungnya yang sudah mulai memalingkan orientasinya
kepada jaringan IN. Dengan kondisi inilah maka kuasa kepala desa jawara politisi
semakin menguat. Dalam analisis Emerson, semakin menguatnya kuasa kepala desa
jawara politisi ini akan menyebabkan ketergantungan kekuasaannya kepada bupati
136

semakin melemah yang pada akhirnya relasinya akan memisah. Dalam kondisi
demikian maka relasi konfliktual adalah suatu kondisi yang paling wajar.

Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa Jawara Pengusaha


Kepala desa jawara pengusaha menginternalisasikan peran ulama dalam
sebagian besar pengambilan keputusannya. Dibandingkan dengan komando bupati,
ia lebih memperhatikan saran yang diberikan oleh jaringan ulama. Untuk itulah
dalam format pemerintahannya ia menyatakan bahwa “urusan desa eta bagian
pamarentahanna mah ngan saukur 25%, sesana nu loba nya urusan agama (urusan
desa itu bagian pemerintahannya hanya 25%, sisanya yang lebih banyak adalah
urusan agama). Dalam menerapkan tata kelola desanya, kepala desa jawara
pengusaha senantiasa menggandeng peranan ulama dengan begitu masyarakat dapat
diarahkan dengan baik yaitu caranya adalah dengan menyampaikan sedikit urusan
pemerintahan pada acara-acara keagamaan. Pengambilan keputusan pun pada
akhirnya bersandar kepada kuasa jaringan ulama. Termasuk ketika memutuskan
penolakkan terhadap bantuan pemerintah.
Kepala desa jawara pengusaha sebagaimana dijelaskan pada awal bab ini
adalah termasuk kepala desa yang pernah menolak bantuan pemerintah karena
dianggap bantuan tersebut dalam beberapa hal lebih banyak memberikan
kemudharatannya dibandingkan dengan kemanfaatannya. Penolakkan kepala desa
jawara pengusaha ini menurutnya dilakukan terlebih dahulu dengan meminta
pendapat dari jaringan ulama, “atuh satacan Abah nangtukeun geh tatanya heula ka
kyai kira-kira panuju henteuna (sebelum Bapak memutuskan tentunya bertanya dulu
ke kyai apakah mereka setuju atau tidaknya)”.
Dari pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa sandaran keputusan formal
yang diambil oleh kepala desa jawara pengusaha adalah para ulama. Hal ini berarti
pula mengabaikan kuasa bupati yang sebetulnya juga dapat dipandang sebagai
kondisi yang menyulut konflik. Dengan demikian sebenarnya bentuk penolakkan
tersebut dapat dipandang sebagai relasi konfliktual.
Keberanian untuk melakukan relasi konflik dalam bentuk penolakkan
bantuan tersebut adalah karena sumber kekuasaan dan jaringan kekuasaan yang
dimiliki oleh kepala desa jawara dipandang mampu mengimbangi kuasa bupati.
Sumber daya ekonomi kepala desa jawara pengusaha yang melampaui kemampuan
bupati sangat menentukan posisi tawarnya. Bahkan ia berani menanggung resiko
materil yang diakibatkan dari penolakkan yang dilakukannya. Hal ini jelas
mengindikasikan bahwa sumber kekuasaan kepala desa yang bersandar kepada
penguasaan propertinya sangat menentukan dalam pengimbangan posisi tawarnya
kepada bupati.
Selain hal tersebut pembentukan jaringan yang dilakukannya terhadap
jaringan ulama, jaringan jawara dan jaringan pengusaha termasuk jaringan jawara
pengusaha sebagaimana digambarkan pada bab 6 juga semakin mengukuhkan
pengimbangan kekuasaannya terhadap bupati. Namun demikian ikatannya dengan
jaringan pengusaha justru menjadi akses bagi kepala desa jawara pengusaha untuk
melakukan relasi kompromi dengan bupati. Hal ini karena aktivitas usaha yang
dilakukannya bersama dengan jaringan pengusaha berkoneksi langsung dalam
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan bupati.
Menurut informan kepala desa jawara pengusaha “atuh bupati geh moal bisa
kukumaha mun euweuh kami mah, kami geh sarua moal bisa nanaon mun bupati teu
boga kahayang ngabangun (bupati juga tidak akan bisa melakukan apapun tanpa
kami, begitu pula kami tidak akan bisa melakukan apapun jika bupati tidak memiliki
137

keinginan untuk membangun)”. Bupati sangat bergantung kepada jaringan


pengusaha karena proses pembangunan lokal membutuhkan jaringan pengusaha,
sementara jaringan pengusaha juga membutuhkan kebijakan bupati untuk
menghidupkan aktivitas usahanya. Dengan demikian relasi yang terjadi dalam
kondisi ini adalah relasi kompromi berbasis kepentingan pembangunan daerah.
Sama halnya dengan kepala desa jawara politisi, kepala desa jawara
pengusaha pun menyepakati bahwa pengelolaan PBB sebagai upaya peningkatan
PADes bagi desa dan PADS bagi kabupaten merupakan kewajiban pokok setiap
warga. Oleh karenanya ia mengatakan “ari PBB mah etah geus kawajiban urang
kabehan, atuh urang babarengan bae lah jeung pihak Pemda, jadi lain kana ngudag
insentifna sabenerna mah (kalau PBB itu sudah menjadi kewajbian kita semua, kita
bersama-sama saja lah dengan pihak Pemda, jadi sebenarnya bukan karena mengejar
insentifnya)”.
Sementara itu dalam kaitannya dengan penyusunan APBDes, berdasarkan
pengamatan penelitian ditemukan fakta yang serupa dengan yang terjadi di Desa
Citalahab dimana kepala desa memasrahkan penyusunannya kepada pihak
kecamatan sebagaiman pernyataan informan sebelumnya.

Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa Jawara Kolot


Pola relasi kekuasaan yang terbentuk antara bupati dengan kepala desa
jawara kolot adalah pola konflik. Selain kekecewaan terhadap proses pembangunan
desa yang dalam pandangannya belum dilakukan oleh bupati, dari hasil penelitian
relasi konfliktual juga dilakukan oleh kepala desa jawara kolot dengan sikap
apatisnya. Apatisme ini dilakukan oleh kepala desa jawara kolot dengan cara
menarik diri dari urusan-urusan pemerintahan secara tidak langsung yaitu dengan
mengkonsentrasikan aktivitasnya dalam lapangan informal pada aktivitas-aktivitas
di pasar-pasar tradisional Jakarta atau Lampung. Pada beberapa kondisi kepala desa
jawara kolot juga tidak menghadiri kegiatan-kegiatan formal pemerintahan di tingkat
kecamatan dan kabupaten, serta menyerahkan seluruh urusan tata kelola desa kepada
sekretaris desa. Secara terbuka kepala desa jawara kolot menyatakan bahwa
“alhamdulillah Abah mah gaduh sekdes nu tiasa ngabantos teu tiasana abah
(alhamdullah Saya memiliki sekdes yang bisa membantu ketidakbisaan saya)”.
Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa sebagian urusan tata kelola desa dilakukan
oleh sekretaris desanya. Hal ini juga sesuai dengan pengamatan peneliti yang
menemukan bahwa aktivitas sekdes jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepala
desanya, setidaknya ini diindikasikan dari kehadiran rapat-rapat koordinasi di
tingkat kecamatan yang sebagian besar diwakili oleh sekretaris desanya.
Apatisme kepala desa jawara kolot ini dipandang sebagai pola konflik karena
merupakan bentuk halus dari pembangkangan kepala desa terhadap bupati meskipun
bupati merasa tidak mempermasalahkan bentuk apatisme ini. Sebagaimana
penjelasan bupati di awal tulisan bab ini yang menyatakan bahwa segalanya
diserahkan kepada penilaian masyarakat. Pun demikian dengan adanya beberapa
kepala desa yang tidak menghadiri undang-undangan formalnya dipandang sebagai
kelalaian saja.
Namun demikian sikap apatis kepala desa jawara kolot ini, untuk dapat
dikatakan sebagai pembangkangan juga tidak terlalu tepat karena berdasarkan hasil
pengamatan terhadap gaya bicara, profil, dan sikap kepala desa jawara kolot tidak
mengindikasikan adanya model-model pembangkangan meskipun sebagaimana
uraian sebelumnya terdapat beberapa pernyataan kekecewaan dan ketidakpuasan
138

terhadap bupati karena kepemimpinan bupati yang dipandangnya tidak memberikan


kontribusi yang maksimal terhadap kemajuan pembangunan desanya. Apa yang
nampak di permukaan adalah sebenarnya tipikal jawaranya sebagai pelindung bukan
kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan formal. Dengan kondisi demikian, AJ
lebih tepat sebagai jawaranya, bukan sebagai kepala pemerintahannya. Sebagai
jawara ia mampu menjadi pelindung bagi warganya, sehingga ia mendapatkan
penghormatan yang sangat tinggi karena fungsi perlindungannya selain juga karena
jangkauan kuasa jawaranya yang sangat luas dan termasuk yang dihormati dalam
struktur jaringan jawara.
Secara administrasi pemerintahan, kelalaian terbesar yang dilakukan oleh
kepala desa jawara kolot ini adalah kurangnya kehadiran dalam proses tata kelola
desa. Dari hasil pengamatan ditemukan fakta bahwa kepala desa jawara kolot ini
sangat sering meninggalkan desanya untuk beraktivitas dalam waktu yang sangat
lama hingga sampai dengan 1-3 bulan di Jakarta atau Lampung dalam aktivitas
kajawaraan-nya. Sementara aktivitas tata kelola desa diserahkan secara total kepada
sekretaris desanya. Hal ini jelas mengganggu proses tata kelola desa meskipun
warga desa sendiri tidak mempermasalahkannya karena merasa sekretaris desa
sudah mampu menanganinya dengan baik. Kendala koordinasi justru dialami oleh
pihak kecamatan dan bupati karena tidak selamanya proses tata kelola desa dapat
ditangani oleh sekretaris desa. Hal ini karena terdapat beberapa kewenangan kepala
desa yang tidak bisa didelegasikan kepada sekretaris desanya. Inilah kiranya yang
dapat menyulut terjadinya konflik, artinya adalah bahwa relasi bupati dengan kepala
desa dengan bupati berlangsung secara konfliktual yang disebabkan karena
rendahnya koordinasi pemerintahan.
Kendala koordinasi dapat menjadi penyulut konflik karena bisa saja
komando yang diberikan bupati tidak tersampaikan kepada masyarakat secara cepat,
tepat dan akurat. Pengambilan keputusan di tingkat desa pun tidak bisa efektif
karena pimpinan pemerintahan desa tidak selalu berada pada posisinya.
Konsekuensinya adalah ketika terdapat beberapa kebijakan pembangunan dari
bupati, maka kebijakan tersebut akan terhambat karena pelaku utama pengambil
keputusan desa absen. Hal ini tentunya berdampak langsung terhadap proses
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa.
Sementara itu berkaitan dengan kerjasama peningkatan PADS/PADes dan
pendistribusian bantuan, sama halnya dengan kepala desa jawara politisi, kepala
desa jawara kolot mengakui bahwa hal tersebut sebagai bagian dari kewajibannya
sebagai kepala desa dengan menyatakan bahwa “urusan PBB mah geus jadi
kawajiban tiap warga, jadi kukumaha geh eta mah kudu dibayar (urusan PBB itu
sudah menjadi kewajiban setiap warga, jadi bagaimana pun itu harus dibayar)”.
Berkaitan dengan relasi kompromi dalam penyusunan APBDes, sebagaimana
halnya yang terjadi di Desa Citalahab dan Desa Campaka, kepala desa jawara kolot
juga menyerahkannya kepada pihak kecamatan dengan menyatakan bahwa
“perkawis APBDes mah parantos diurus ku Sekdes sareng padamel di kecamatan
(soal APBDes itu sudah diurus oleh Sekdes dan pegawai kecamatan)”. Ini
menegaskan informan Kasubag Keuangan (Suherman) sebagaimana sudah disitir
sebelumnya.
Pernyataan senada juga berkaitan dengan pendistribusian bantuan yang
menurutnya “Abah mah atuh sabisana bae kumaha carana bantuan eta nyampe ka
warga anu layak narima (Bapak itu sebisanya saja bagaimana supaya bantuan itu
sampai kepada warga yang layak menerima)”. Pada pernyataan terakhir tersebut
terdapat tekanan untuk menyalurkan bantuan kepada warga yang layak menerima
139

meskipun tanpa memerinci kelayakan berdasarkan fakta di lapangan atau sesuai data
pemerintahan. Namun secara jelas pernyataan tersebut merupakan penerimaan atas
pola-pola kerjasama dalam proses pendistribusian bantuan pemerintah.

Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa: Relasi Kekuasaan yang tidak
Menyejahterakan
Relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa, baik relasi yang bersifat konflik
maupun kompromi, keduanya relatif menunjukkan adanya bentuk keseimbangan
kekuasaan kecuali untuk beberapa bentuk kompromi dengan pertukaran yang lebih
memposisikan bupati sebagai superordinat. Hal ini terlihat dalam bentuk kompromi
pencairan dana desa. Adanya pembatasan-pembatasan syarat pencairan
mengindikasikan dominasi bupati terhadap kepala desa. Namun dalam bentuk-
bentuk konflik justru kepala desa memiliki peningkatan kualitas kekuasaannya
sehingga ketergantungannya terhadap bupati melemah.
Dalam analisis Emerson, proses melemahnya ketergantungan kekuasaan
akan melemahkan pula pertukaran yang dilakukan. Hal ini karena semakin
tergantung kepala desa terhadap bupati, maka semakin tinggi pula jenis
pertukarannya. Kondisi ini hanya terjadi pada proses pencairan dana desa saja
dimana kepala desa sangat bergantung kepada kuasa bupati. Potensi struktur
kekuasaan bupati dalam hal ini sangat menentukan sehingga membuatnya mampu
mengontrol kepala desa.
Pola relasi konflik menunjukkan kondisi yang sangat berbeda. Penguatan
jaringan kekuasaan yang dilakukan oleh kepala desa mampu meningkatkan posisi
tawarnya sehingga relatif seimbang dengan kekuasaan bupati. Pada kondisi ini
secara lugas kepala desa memiliki keberanian untuk mengkritisi bupati. Dengan
demikian secara prinsip kemampuan mengurangi ketergantungan kekuasaan kepala
desa terhadap bupati sangat ditentukan oleh kemampuannya dalam membangun
jaringan kekuasaan.
Dari jaringan kekuasaan yang dikembangkan oleh ketiga kasus kepala desa
sebagaimana digambarkan dalam Gambar 6.6, 6.7 dan 6.8 menunjukkan bahwa
ikatan yang selalu melekat pada ketiga bentuk jaringan kekuasaan itu adalah
ikatannya dengan jaringan ulama dan jaringan jawara meskipun tekanannya
berbeda-beda. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jaringan memiliki peran dan
kedudukan yang sangat strategis.
Berdasarakan uraian sebelumnya, relasi kekuasaan bupati dengan kepala
desa di Pandeglang pada prinsipnya berlangsung baik secara konflik maupun
kompromi. Secara konflik disebabkan karena proses pembangunan desa, perbedaan
kepentingan kekuasaan, penolakkan bantuan dan kurangnya koordinasi
pemerintahan. Secara kompromi berlangsung dalam bentuk pendistribusian bantuan,
pembangunan daerah, peningkatan PADS/PADes dan penyusunan APBDes. Pola
relasi kekuasaan tersebut secara detail tersaji dalam Tabel 7.1.
Relasi konflik yang pertama adalah dalam proses pembangunan desa yang
terjadi karena kekecewaan kepala desa atas lambatnya pembangunan desa
khususnya berkaitan dengan infra struktur jalan desa. Berdasarkan pengamatan
penelitian, fasilitas jalan desa untuk Desa Citalahab dan Desa Awilega pada saat
penelitian dilakukan memang kondisinya sangat parah. Inilah kiranya yang memicu
kekecewaan dari kepala desa tersebut. Faktor pemicunya adalah kinerja
kepemimpinan bupati yang tidak cepat dalam merespon tuntutan publik (kepala
desa) untuk segera memperbaiki kualitas infra struktur pedesaan.
140

Tabel 7.1 Pola Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa

Pola Relasi Jenis Kepala


Bentuk Deskripsi Proses Relasi
Kekuasaan Desa
Konflik Kekecewaan Jawara Kepala desa memandang bahwa bupati telah gagal
atas stagnansi Politisi dan dalam melakukan percepatan pembangunan desa.
pembangunan Jawara Kolot Kepala desa juga memandang bupati tidak pernah mau
desa turun langsung untuk melihak kondisi riil pedesaan,
berbeda ketika bupati belum terpilih dimana janji-janji
bebenah-nya hanyalah pemanis bibir saja.
Perbedaan Jawara Kepala desa jawara politisi yang merupakan loyalis
kepentingan Politisi PPP dan termasuk dalam jaringan kekuasan IN
kekuasaan berhadap-hadapan dengan bupati yang merupakan
lawan politik IN.
Penolakkan Jawara Kepala desa memandang bahwa pemberian bantuan
bantuan Pengusaha lebih cenderung membawa kemudharatan
dibandingkan kemanfaatannya.
Apatisme tata Jawara Kolot Kepala desa seringkali absen dalam proses tata kelola
kelola desa desa dengan mendelegasikan kewenangannya kepada
sekretaris desa. Hal ini menyebabkan kurangnya
koordinasi antara bupati dengan kepala desa.
Kompromi Pembangunan Jawara Kepala desa dan bupati bekerja sama dalam proses
daerah Pengusaha pembangunan desa dengan sama-sama mengambil
manfaat dari proses tersebut.
Pendistribusian Jawara Kepala desa membantu proses pendistribusian bantuan
bantuan Politisi dan pemerintah kepada warga desa.
Jawara Kolot
Peningkatan Semua jenis Kepala desa dan bupati bekerja sama dalam proses
PADS/PADes peningkatan PADS bagi kabupaten dan PADes bagi
desa dalam hal pengelolaan PBB.
Penyusunan Semua jenis Kepala desa dan bupati bekerja sama dalam proses
APBDes penyusunan APBDes dimana bupati mendapatkan
keuntungan dengan terselesaikannya APBDes secara
formal sebagai bagian dari tata kelola pemerintahan,
sementara kepala desa terbantu dalam dua hal yaitu
yang pertama proses pencairan dana desa dan yang
kedua berkaitan dengan dimilikinya perdes APBDes.
Sumber: Pengamatan Penelitian

Relasi konflik bupati dengan kepala desa semakin tinggi karena bupati relatif
diam dengan jawaban-jawaban normatifnya. Sementara kepala desa yang
berhadapan langsung dengan kondisi riil di lapangan juga merasa terbebani oleh
penderitaan masyarakatnya. Di satu sisi kepala desa semakin lantang, sementara
bupati bersikukuh tidak bersedia turun langsung untuk merespon tuntutan tersebut.
Relasi kekuasaan pun semakin memisah. Hal ini menyebabkan hubungan bupati
dengan kepala desa tidak bersinergi dengan baik, sehingga bukannya infra struktur
jalan tersebut diperbaiki tetapi justru semakin tidak tersentuh karena kedua pimpinan
publik semakin tidak bisa dipersatukan.
Hal ini menyebabkan rakyat semakin menderita karena kondisi jalan desa
yang tidak kunjung mendapatkan perbaikan. Padahan hanya dengan kondisi jalan
yang baiklah sehingga hasil pertanian dapat terangkut secara efektif dan efisien,
serta akses desa-kota semakin cepat. Sejatinya bupati bersedia untuk turun
menjelaskan secara langsung kepada publik atau berkomunikasi dengan pihak
kepala desa untuk membicarakan duduk perkara yang sebenarnya mengapa terdapat
keterlambatan dalam proses pembangunan infra struktur jalan pedesaan. Adapun
kepala desa juga bisa menjadi perantara tuntutan publik dan memberikan masukan-
141

masukan konstruktif sehingga infra struktur jalan bisa segera diperbaiki dengan
kualitas yang baik. Penjelasan bupati tersebut tidak hanya bisa didelegasikan kepada
camat, karena dalam pemahaman publik yang berjanji atas percepatan
pembangunan adalah bupati bukan camat dan publik juga kepala desa merasa
terpuaskan jika jawaban itu berasal langsung dari bupati.
Relasi konflik yang kedua adalah berkaitan dengan adanya perbedaan
kepentingan kekuasaan. Konflik tersebut terjadi antara bupati dengan kepala desa
jawara politisi. Sejak dari awal kepala desa jawara politisi memang memposisikan
berhadap-hadapan secara kepentingan kekuasaan dengan bupati. Kepala desa jawara
politisi ini adalah loyalis dan pendukung utama jaringan kekuasaan IN yang
merupakan lawan politik bupati.
Perbedaan kepentingan kekuasaan secara jelas membuat relasi keduanya
memisah. Bupati memupuk kekuasaannya dalam jaringan kekuasaan yang
dimiikinya, sementara itu kepala desa juga berupaya menandinginya dengan
meningkatkan kualitas dan derajat kekuasaannya melalui jaringan kekuasaan IN.
Kondisi ini membuat bupati dengan kepala desa tidak dapat bersinergi untuk
membangun peta kekuasaan yang secara bersama-sama dalam meningkatkan
pembangunan. Ini pulalah yang menyebabkan bupati dan kepala desa tidak bisa
duduk bersama merumuskan strategi pembangunan dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Akibatnya adalah kepala desa antipati terhadap kebijakan
bupati dan relatif memberikan stereotipe terhadap kepemimpinan bupati misalnya
ketika mengidentikkan keputusan bupati yang didominasi pengaruh istrinya
sebagaimana dijelaskan di atas. Hal ini secara tidak langsung menyinggung
sensitivitas pribadi yang dapat menyulut kepada konflik pribadi antara bupati
dengan kepala desa.
Jika konflik sudah bermuara kepada hal yang sifatnya pribadi dapat
dipastikan permasalahannya akan semakin rumit. Dampaknya bisa saja bupati
mengambil langkah-langkah yang tidak populis misalnya dengan mengabaikan
proses pembangunan di wilayah desa yang menjadi kewenangan kepala desa dalam
hal ini Desa Citalahab. Sehingga sangat wajar kemudian jika proses pembangunan
desa menjadi terhambat. Sebagaimana diuraikan dalam bab 3, indikasi ini sangat
jelas dengan masuknya kembali Desa Citalahab (juga Desa Awilega) sebagai Desa
Tertinggal pada Tahun 2014 yang padahal sebelumnya berdasarkan data Tahun 2007
tidak termasuk dalam kategori tersebut.
Secara politik, analisisnya adalah adanya kepentingan kekuasaan
menyebabkan bupati mengabaikan proses pembangunan desa pada wilayah kepala
desa yang menjadi lawan politiknya. Langkah yang dilakukan oleh bupati tersebut
adalah dengan tujuan sehingga kepala desa tidak lagi mendapatkan kepercayaan
warganya. Tentunya analisis tersebut masih perlu diperdebatkan validitasnya, tetapi
tidak menutup kemungkinan bupati melakukannya dalam rangka menurunkan
derajat kekuasaan kepala desa. Indikatornya adalah tidak bersedianya bupati untuk
turun ke desa meski sudah diundang adalah bagian dari proses pengabaian itu.
Secara singkat bahwa perbedaan kepentingan kekuasaan membuat bupati dan
kepala desa lebih memperhatikan kepentingan kekuasaannya masing-masing.
Dengan demikian mereka relatif melupakan kepentingan rakyat sebagai pihak yang
paling wajib mereka layani. Kepentingan-kepentingan rakyat pun pada akhirnya
diabaikan dengan lebih mendahulukan kepentingan kekuasaannya masing-masing.
Inilah kiranya yang kemudian mengakibatkan kesejahteraan masyarakat tidak bisa
terangkat secara optimal.
142

Relasi konflik yang ketiga adalah berkaitan dengan penolakkan bantuan.


Relasi ini terjadi karena kepala desa memandang bahwa bantuan yang diberikan
lebih banyak membawa kemudharatannya dibandingkan dengan kemanfaatannya.
Dikatakan memberikan kemudharatan karena adanya kesenjangan data antara data
warga yang mendapatkan bantuan dengan data riil yang ada. Meskipun pada
akhirnya warga mendapatkan bantuan melalui dana pengganti dari kepala desa, hal
ini sebenarnya bentuk ketidakpercayaan kepala desa terhadap pengelolaan data
kependudukan oleh pemerintah (pusat maupun daerah).
Kondisi ini dapat menyulut konflik yang lebih tinggi lagi jika bupati
menanggapinya secara lebih sensitif lagi dengan menyalahkan kepala desa sebagai
unsur pemerintahan yang tidak mendukung kebijakan pemerintah. Karena sejatinya
data dana bantuan tersebut merupakan data final yang terakumulasi baik melalui
proses sensus, survei penduduk maupun administrasi kependudukan secara reguler
yang dilakukan oleh pemerintahan desa. Dengan demikian sebenarnya data itu
adalah data yang tersaji hasil pemutakhiran bersama antara pemerintah pusat, daerah
dan desa. Namun karena bupati selalu mendudukkan permasalahan dalam ruang
normatif sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka konflik ini tidak bermuara
kepada konflik yang lebih besar lagi.
Konflik yang nyata justru terjadi dengan pihak kecamatan. Sebagaimana
diakui oleh informan Agung selaku Kasi Pemerintahan Kecamatan Kaduhejo bahwa
“kami tentunya terbebani oleh kewajiban kami meng-spj-kan pendistribusian
bantuan tersebut”. Sehingga konflik terjadi karena bagaimanapun prinsipnya adalah
bantuan tersebut harus tersampaikan kepada masyarakat. Akhirnya dengan melalui
pendekatan jaringan kepala desa, proses pertanggungjawan laporannya pun dapat
diselesaikan. Konflik dengan pihak kecamatan meskipun tidak secara langsung
dengan bupati, dapat dimaknai sebagai konflik bupati sendiri. Dengan demikian
konflik ini tetap terjadi meskipun hanya berkisar pada proses pelaporan kegiatannya.
Meskipun pada akhirnya proses konflik itu dapat diselesaikan dan pihak
publik tidak menanggung kerugian, bahkan mendapatkan pemerataan bantuan yang
lebih layak dan merata karena keterlibatan kepala desa, namun dari aspek koordinasi
dengan pihak kecamatan hal tersebut sangat mengganggu jalannya sinergitas tata
kelola pemerintahan. Hal ini secara tidak langsung sebenarnya mempengaruhi
pelayanan publik yang merupakan fungsi utama pemerintahan. Bahkan bisa memicu
konflik yang lebih besar lagi jika pada akhirnya ada keengganan dari pihak
kecamatan untuk memasukan Desa Campaka sebagai target bantuan
pemerintahannya. Pada prinsipnya akibat dari penolakkan tersebut adalah suasana
koordinasi yang tidak berjalan dengan baik dalam hubungan pemerintahan antara
kepala desa dan pihak kecamatan.
Relasi konflik yang keempat adalah apatisme yang dilakukan oleh kepala
desa jawara kolot. Apatisme ini dilakukan dengan pengabaian kepala desa terhadap
fungsinya sebagai kepala pemerintahan desa. Kepala desa dalam waktu yang relatif
lama seringkali tidak melaksanakan fungsinya tersebut misalnya 1sampai dengan 3
bulan berada di wilayah Jakarta atau Lampung untuk beraktivitas dalam sektor
informal. Hal ini menyebabkan koordinasi antara pihak pemerintah kabupaten dan
desa tidak berlangsung dengan baik. Sementara pendelegasian kewenangan yang
diberikan oleh kepala desa tidak selamanya bisa dilakukan karena hal-hal yang
menyangkut permasalahan strategis tidak dapat cukup ditangani oleh sekretaris desa
saja.
Meskipun dalam hal ini masyarakat tidak mempermasalahkannya, namun
koordinasi pemerintahan menjadi terganggu. Padahal dalam kaitannya dengan
143

fungsi-fungsi manajemen pemerintahan, masalah koordinasi pemerintahan


merupakan hal yang sangat vital. Kepentingan publik dapat saja terpinggirkan
karena tidak terjalin koordinasi antara bupati dengan kepala desa. Sementara itu
pihak bupati pun menyerahkan permasalahan ini kepada penilaian publik saja.
Artinya sikap statis bupati juga tidak mendukung terhadap penciptaan kondisi
koordinasi yang baik. Idealnya dengan kuasa potensi strukturnya, bupati dapat
“memaksa” kepala desa, namun bupati relatif mengabaikannya. Bahkan bupati
sendiri cenderung menarik diri dari permasalahan ini karena sikapnya untuk tidak
bersedia turun langsung ke desa dan menangkap aspirasi masyarakat secara
langsung. Jadi sebenarnya apatisme juga tidak hanya dilakukan oleh kepala desa,
tetapi juga dilakukan oleh bupati.
Sikap apatisme yang dilakukan oleh bupati dan kepala desa ini niscaya
sangat mengganggu proses penatakelolaan dan pembangunan desa. Kepala desa
apatis terhadap akses informasi dan fungsi koordinasi yang dilakukan oleh pihak
bupati, begitu pula dengan bupati yang apatis menangkap aspirasi masyarakat
pedesaan. Dengan demikian yang terpinggirkan sebenarnya adalah kepentingan
masyarakat pedesaan.
Sementara itu, pada relasi kompromi atau kerja sama, bentuk relasi yang
pertama adalah dalam hal proses pembangunan daerah antara bupati dan kepala desa
jawara pengusaha. Bentuk relasi ini saling mendukung dimana bupati membutuhkan
peran pengusaha dalam proses pembangunan infra struktur sarana perkantoran,
jembatan, jalan, pasar dan lain-lain. Sementara pengusaha membutuhkan dukungan
bupati terkait dengan kehidupan usahanya.
Sinergitas dalam relasi ini sebenarnya berlangsung dengan baik. Pertukaran
secara seimbang relatif terjadi karena masing-masing pihak relatif menanggung
keuntungan yang sama. Namun proses bergulirnya relasi ini perlu mendapat
perhatian karena tidak menutup kemungkinan terdapat cara-cara yang tidak sah
didalamnya. Hal ini karena terdapat beberapa indikasi kasus korupsi sebagaimana
yang terjadi dalam proyek pengadaan alat peraga pendidikan jasmani Dinas
Pendidikan Kabupaten Pandeglang Tahun 2014 yang melibatkan unsur pejabat
pemerintahan lokal (unsur kepala dinas dan pejabat pembuat komitmen) dan pihak
pengusaha CV. Putra Ujung Kulon sehingga dua orang pejabat pemerintahan lokal
tersebut dan satu orang mewakili unsur pengusaha terjerumus sebagai terpidana
korupsi. Meskipun bupati tidak tersentuh, sebenarnya terdapat fungsi manajerial
pengawasan yang tidak dijalankan dengan baik dalam kapasitasnya sebagai pejabat
pembina kepegawaian di daerah. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang
dan unsur stafnya dalam kaitannya dengan pengadaan alat peraga tersebut
sebenarnya pula melaksanakan salah satu kewenangan yang didelegasikan oleh
bupati.
Terlepas dari kepentingan-kepentingan pribadi yang mewarnai kasus korupsi
ataupun karena tekanan pihak-pihak tertentu, jika cara-cara berrelasi kekuasaan itu
yang terjadi, maka hal ini akan menurunkan kualitas hasil-hasil pembangunan.
Kualitas hasil-hasil pembangunan pun pada akhirnya tidak sesuai dengan kualitas
nilai yang distandarkan. Sehingga dengan demikian sebenarnya yang menanggung
kerugian adalah masyarakat secara keseluruhan.
Bentuk relasi kompromi yang kedua adalah dalam hal pendistribusian
bantuan pemerintah. Kepala desa memberikan apresiasi atas niatan baik pemerintah
memberikan bantuan kepada masyarakat. Sehingga dalam relasi tersebut baik bupati
144

maupun kepala desa bersinergi secara apik untuk mendistribusikannya secara cepat
dan tepat.
Bentuk relasi kompromi yang ketiga adalah kerja sama dalam peningkatan
PADS/PADes. Kerja sama ini intinya adalah dalam proses penarikan PBB Sektor
Pedesaan. Meskipun bentuk relasinya adalah kerja sama, namun hal-hal yang
prinsipnya adalah maladministrasi mewarnai pola kompromi tersebut. Bupati
mempersyaratkan pencairan dana desa dengan pelunasan PBB. Untuk memacu
motivasi pelunasan PBB, bupati mengiming-imingi kepala desa dengan sejumlah
insentif. Sehingga kepala desa dipacu untuk melunasi PBB karena dua hal yaitu
untuk pencairan dana desa dan mengejar insentif pelunasan PBB.
Akhirnya dengan segala cara kepala desa berupaya untuk melunasi PBB
tersebut sesuai target tahunannya. Berdasarkan pengamatan penelitian, kepala desa
pada akhirnya melakukan dengan dana talangan dari alokasi keuangan apa pun
sepanjang target pelunasan dapat dilakukan dengan tidak memerinci pembayaran
sesuai objek pajak masing-masing. Hal ini karena pembayaran dilaksanakan secara
gelondongan sesuai total nilai tagihannya. Pada akhirnya tidak terurai secara jelas
mana saja warga yang sudah memenuhi kewajibannya dan mana warga yang belum
melunasinya. Sehingga setiap tahun wajib pajak selalu bertambah piutangnya. Hal
ini karena terdapat beberapa data objek pajak yang sebenarnya tidak dibayarkan,
karena pembayaran tidak berdasarkan objeknya. Kemudian data piutang pajak
semakin besar yang membebani tidak hanya pihak pemerintah kabupaten maupun
desa, tetapi juga masyarakat desa orang perorang secara luas. Membengkaknya
piutang PBB ini tersaji dalam Tabel 7.2.

Tabel 7.2 Piutang PBB Perdesaan pada Tiga Desa Lokasi Penelitian

Data Piutang PBB (dalam Rupiah)


Nama Desa
Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Total
Desa Citalahab 12.666.074 12.719.204 12.740.656 * * 38.125.934
Desa Campaka 8.225.490 8.225.490 460.138 7.357.341 1.377.992 25.646.631
Desa Awilega 5.400.410 5.675.422 5.678.315 * * 16.844.247
Keterangan: * tidak ada data
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pandeglang, 2016.

Berdasarkan Tabel 7.2, ketiga desa tersebut semakin terbebani oleh jumlah
data piutang PBB yang dari tahun ke tahun semakin besar jumlahnya meskipun
untuk Desa Campaka relatif mengalami penurunan yang menunjukkan adanya
perbaikan dalam tata kelola desanya. Data tersebut belum termasuk piutang PBB
sebelum tahun 2010 yang jika diakumulasikan tentunya akan lebih besar lagi.
Padahal berdasarkan keterangan dari Bidang Piutang Dinas Pendapatan Daerah,
bahwa piutang PBB yang belum terselesaikan diawali sejak tahun 1993. Artinya
adalah tidak menutup kemungkinan lebih dari 50% objek PBB di Kabupaten
Pandeglang menanggung piutang sejak tahun tersebut.
Dengan demikian akibat dari bupati dan kepala desa yang “menghalalkan”
segala cara dalam peningkatan PADS/PADes-nya, akhirnya masyarakat terbebani
beban pajak tersebut. Akibat yang lebih luasnya adalah proses ekonomi pedesaan
baik itu jual beli tanah, ijin usaha dan lain sebagainya tidak bisa direalisasikan
sepanjang piutang PBB belum diselesaikan. Proses ekonomi pedesaan menjadi
terhambat karena administrasi izin usaha secara resmi semisal pendirian pabrik
penggilingan padi, usaha dagang dan jenis usaha lainnya selalu mewajibkan
pelunasan pajaknya, sementara untuk melunasi pajak secara total membutuhkan
145

biaya yang tidak sedikit. Dengan demikian masyarakat pedesaan akan terjebak
dalam kondisi keterpurukan diakibatkan oleh maladministrasi dalam proses relasi
kompromi antara bupati dengan kepala desa.
Bentuk relasi kompromi yang terakhir adalah relasi yang berlangsung dalam
proses penyusunan APBDes. APBDes adalah dokumen resmi penyusunan anggaran
pendapatan dan belanja desa yang diformulasikan secara bersama-sama antara pihak
kepala desa dan Bamusdes. Namun dalam proses penyusunannya, berdasarkan
temuan penelitian ternyata berlangsung kompromi administrasi antara pihak kepala
desa dengan bupati melalui pihak kecamatan.
Pihak bupati dalam hal ini mewajibkan terselesaikannya APBDes sebagai
salah satu syarat pencairan dana desa. Dalam hal ini bupati berkepentingan untuk
menyelesaikan administrasi pemerintahan secara tepat, sementara tentunya kepala
desa berkepentingan untuk merealisasikan pencairan dana desa. Terjadilah
kompromi antara kepala desa dengan bupati dengan cara meminta bantuan kepada
pihak kecamatan untuk menyusun APBDes tersebut.
Pihak kecamatan kemudian membantu proses penyelesaian APBDes yang
pada prinsipnya sebetulnya yang harus lebih paham adalah kepala desa sendiri. Hal
ini menyebabkan kepentingan masyarakat tidak terformulasikan dengan baik karena
penyusunan APBDes semata dilakukan untuk kepentingan formalitas administratif
saja. Pada kondisi yang memarginalkan kepentingan rakyat ini jelas menutup
peluang untuk semaksimal mungkin terangkatnya kesejahteraan masyarakat
pedesaan.
Berdasarkan uraian di atas, mayoritas relasi kekuasaan yang berlangsung
antara bupati dengan kepala desa baik dalam pola konflik maupun kompromi
berpengaruh negatif terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan
Pandeglang.

Ikhtisar
Dalam merespon beberapa kinerja kepala desa, bupati relatif menempatkan
semua permasalahan pada ruang lingkup normatif saja. Berdasarkan pernyataan-
pernyataan yang dikemukakannya, bupati berusaha memaksimalkan potensi
strukturnya. Dengan begitu bupati mampu mengontrol kepala desa sesuai aturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sementara respon kepala desa sangat bersifat kritis terutama yang berkaitan
dengan isu-isu pembangunan desa. Sehingga baik kepala desa jawara politisi,
pengusaha maupun jawara kolot, memberikan kritisi terhadap kinerja kepemimpinan
bupati meskipun dengan tekanan yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut, hal
ini mengindikasikan berlangsungnya pola relasi kekuasaan konflik. Sementara itu,
pola relasi juga tidak selamanya berlangsung dalam situasi konfliktual, karena
ternyata masih ada kepentingan dari keduanya untuk saling bekerjasama dengan
sama-sama mengambil keuntungan dari kerjasama tersebut. Oleh karenanya,
disamping pola relasi konflik, berkembang pula pola relasi kompromi.
Baik pola relasi konflik maupun kompromi sebenarnya merupakan buah dari
proses penguatan jaringan kekuasaan yang dibangun kepala desa sehinga membuat
posisi tawarnya semakin meningkat dan ketergantungannya terhadap bupati semakin
menurun. Meskipun akan sulit mengukur derajat keseimbangan kekuasaan antara
bupati dan kepala desa, namun pola-pola relasi kekuasaan konflik yang
dikembangkan oleh kepala desa mengindikasikan keberanian kepala desa tersebut.
Keberanian ini merupakan indikasi adanya peningkatan derajat kekuasaannya.
146

Pola relasi konflik ini berlangsung dalam hal kekecewaan kepala desa
terhadap stagnansi pembangunan desa, perbedaan kepentingan kekuasaan,
penolakkan bantuan pemerintah dan apatisme tata kelola desa. Sementara pola relasi
kompromi berlangsung dalam proses pembangunan daerah, pendistribusian bantuan,
peningkatan PADS/PADes dan penyusunan APBDes.
Bentuk-bentuk relasi kekuasaan tersebut pada akhirnya mempengaruhi
ketidakterangkatnya kesejahteraan masyarakat karena baik relasi kekuasaan yang
bersifat konfliktual maupun yang bersifat kompromi sebagian besar berdampak
kepada masyarakat sebagai obyek akhir yang menanggung resiko dari relasi
tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa relasi kekuasaan bupati dan
kepala desa di Pandeglang tidak memberikan kemanfaatan yang signifikan bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
147

8. KESIMPULAN: RELASI KEKUASAAN DAN KEMISKINAN PEDESAAN

Era otonomi daerah selain memberikan angin segar dalam proses


demokratisasi di tingkat lokal, pada kenyataannya justru membias terlalu jauh
sehingga memunculkan raja-raja kecil daerah seperti halnya di Banten. Rupanya
pengaruh sistem sosial kultur berperan besar dalam mewujudkan fakta empiris
tersebut. Kenyataan inilah yang mendorong terciptanya politik dinasti di Banten.
Suatu kenyataan yang tidak terbantahkan sebagai tuah dari sistem politik yang pro
demokrasi dan juga didukung oleh sistem sosial-kultural. Substansi dari sistem
sosial kultur itu adalah relasi kekuasaan masyarakat pedesaan Banten dengan
berragam karakteristiknya yang melemahkan sistem politik yang ada.
Relasi kekuasaan ke-Banten-an itu nampak dalam relasi yang terjadi antara
bupati dan kepala desa di Pandeglang. Meskipun balutan hubungan struktural sangat
kental dalam hubungan keduanya, namun temuan penelitian menghasilkan suatu
kesimpulan bahwa pengaruh sosial kultur jauh lebih mendominasi kerangka
hubungan berdasarkan regulasi struktur formal. Oleh karenanya dominasi kekuasaan
yang dimiliki bupati melalui potensi struktural dapat diimbangi oleh kepala desa
dengan ikatan jaringan kekuasaannya yang berbasis sosial-kultural.
Dalam kasus relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa di Pandeglang,
ditemukan fakta bahwa meskipun relasi patron-klien mendominasi kehidupan
masyarakat pedesaan, namun relasi yang terjadi dalam kasus ini adalah adanya
bentuk-bentuk yang menjurus kepada pola konflik dan kompromi. Dengan demikian
untuk memahami relasi kekuasaan keduanya, maka pendekatan teori pertukaran
sangat diperlukan. Dalam penelitian ini basis teori ketergantungan kekuasaan
menjadi rujukannya untuk melihat bagaimana proses relasi yang terjadi yang
sebelumnya berlangsung secara berketergantungan menjadi relatif seimbang sebagai
pengaruh dari faktor sosial-kultural.

Faktor Sosial Kultural dalam Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa
Penghargaan terhadap kaum ulama yang sangat tinggi dalam masyarakat
Banten secara umum dan Pandeglang secara khusus disebabkan karena
masyarakatnya yang sangat religius. Karena ulama dipandang sebagai orang yang
paham agama maka ulama pun dijadikan sebagai tempat bersandar dalam sebagian
besar aspek kehidupannya.
Di samping aspek religi, dalam masyarakat Pandeglang berkembang pula
tradisi kajawaraan yang sebenarnya mengikuti prinsip-prinsip religi. Pembentukan
kemampuan kajawaraan dipercaya masyarakat sebagai bagian dari keyakinan
mendalam terhadap ajaran agama, dalam hal ini maka tidak mungkin akan mampu
menjalankan tata-laku kajawaraan jika tidak dibekali oleh pengetahuan-pengetahuan
keagamaan. Kenyataan inilah yang juga termasuk melekangkan eksistensi jawara
dalam masyarakat Pandeglang.
Dengan memperhatikan peran dan kedudukan ulama dan jawara, maka
ikatan terhadap kedua unsur sub kultur tersebut merupakan faktor determinan dan
selalu ditemukan dalam jaringan kekuasaan baik yang dibangun oleh bupati maupun
oleh kepala desa. Sehingga kemampuan dalam meningkatkan derajat kekuasaan
bergantung kepada kemampuannya dalam memperkuat ikatan jaringan dengan
kedua unsur ini.
Disamping aspek tradisi-religi, faktor perkembangan demokrasi yang
semakin menguat dalam segenap aspek kehidupan terlebih dunia pemerintahan,
148

mempengaruhi pula relasi kekuasaan yang terjadi antara bupati dengan kepala desa.
Desa yang semakin otonom terutama secara finansial, memberikan penguatan posisi
tawarnya terhadap bupati. Dengan demikian faktor-faktor tersebut bersinergi dalam
meningkatkan kekuasaan kepala desa yang menjadikannya semakin tidak tergantung
kepada kuasa bupati.
Secara konkret, untuk meningkatkan kekuasaannya tersebut, kepala desa
membangun ikatan jaringan kekuasaan kepada pihak yang secara sruktur mampu
mengimbangi struktur superordinat bupati. Ikatan itu dilakukan kepada jaringan
ulama dan jawara yang secara struktur kekuasaan sebagaimana dalam Gambar 6.2
mampu mengimbangi struktur kekuasaan bupati. Untuk lebih meningkatkannya,
kepala desa juga membangun ikatan dengan kelompok-kelompok tertentu dalam hal
ini kepala desa jawara politisi menjalinnya dengan jaringan kekuasaan IN, kepala
desa pengusaha menjalinnya dengan kelompok pengusaha dan kepala desa jawara
kolot menjalinnya dengan unsur kajawaraan dalam lapangan usaha informal.
Kekuatan jaringan kekuasaan para kepala desa ini sendiri sebagaimana digambarkan
Gambar 6.5 s.d. Gambar 6.8 sangat ditentukan oleh ikatannya terhadap jaringan
ulama dan jawara. Dengan demikian jaringan ulama dan jawara senantiasa menjadi
rebutan aktor-aktor yang memupuk kekuasaannya melalui jaringan kekuasaan.

Pola-Pola Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa


Proses pengimbangan kekuasaan yang dilakukan oleh kepala desa yang
utamanya dilakukan melalui pembentukan jaringan kekuasaan mengakibatkan
keduanya berrelasi secara konflik dan kompromi. Dengan demikian konflik dan
kompromi tersebut mengindikasikan kondisi keseimbangan antara bupati dan kepala
desa relatif sudah seimbang sebagaimana dijelaskan Emerson bahwa ketidaksetaraan
dapat menimbulkan konflik dan perubahan sosial. Pola patronase yang sebagian
besar berlangsung dalam masyarakat pedesaan Pandeglang, dalam hal ini tidak
terjadi antara bupati dan kepala desa yang sudah bergeser ke arah konflik dan
kompromi.
Secara konflik, relasi kekuasaan terjadi dalam empat bentuk yaitu: (a)
kekecewaan atas stagnansi pembangunan desa, (b) perbedaan kepentingan
kekuasaan, (c) penolakkan bantuan dan (d) apatisme tata kelola desa. Sementara itu,
pola relasi kompromi berlangsung juga dalam empat bentuk yaitu: (a) pembangunan
daerah, (b) pendistribusian bantuan, (c) peningkatan PADS/PADes dan
(d) penyusunan APBDes.
Pola relasi konflik lebih sering berlangsung antara bupati dengan kepala desa
jawara politisi dan jawara kolot. Sementara dalam pola relasi kompromi relatif
berlangsung secara merata. Dengan demikian hal ini mengindikasikan bahwa
kepentingan pertukaran dalam aktivitas usaha ekonomi berpengaruh terhadap pola
relasi kekuasaan yang terbentuk.

Faktor Determinan dalam Relasi Kekuasaan Bupati dengan Kepala Desa dan
Dampaknya terhadap Kemiskinan Masyarakat Pedesaan
Ketergantungan kekuasaan kepala desa terhadap bupati relatif dipengaruhi
oleh potensi struktur bupati yang menempatkannya superordinat terhadap kepala
desa. Perkembangan peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan
bupati dengan kepala desa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
berpengaruh besar terhadap superordinasi bupati tersebut.
Perkembangan terkini seiring dengan perubahan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagai faktor kebijakan politik dan perkembangan
149

demokrasi serta faktor sosial kultural lainnya (khususnya pengaruh dari informal
leader ulama dan jawara) berpengaruh secara beriringan dalam cara berrelasi antara
bupati dengan kepala desa. Ketergantungan kekuasaan kepala desa pun mengalami
pergeseran ke arah yang semakin seimbang karena pengaruh kedua faktor tersebut.
Dominasi bupati karena potensi strukturnya, diimbangi oleh kepala desa dengan
membangun jaringan kekuasaan yang membuat derajat kekuasaannya menjadi lebih
tinggi.
Berdasarkan bentuk-bentuk relasi kekuasaan yang terjadi antara bupati
dengan kepala desa diketahui terdapat beberapa faktor yang menyulutnya yaitu
(a) stagnansi pembangunan desa, (b) kepentingan kekuasaan, (c) proses
pembangunan daerah, (d) administrasi pencairan dana desa, dan (e) bantuan
pemerintah.
Stagnansi pembangunan desa menyulut relasi konfliktual, begitu pula halnya
dengan adanya perbedaan kepentingan kekuasaan. Sementara itu dalam hal proses
pembangunan daerah dan administrasi pencairan dana desa berlangsung secara
kompromi atau kerjasama. Namun halnya dengan bantuan pemerintah berlangsung
dalam dua pola yaitu secara konflik juga secara kompromi.
Pola-pola relasi kekuasaan tersebut, baik secara konflik maupun kompromi
keduanya menenggelamkan kepentingan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pola
relasi konflik menyebabkan bupati dan kepala desa lebih mengedepankan ego dan
kepentingan kekuasaannya. Sementara pola relasi kompromi juga banyak melanggar
rambu-rambu administrasinya, yang pada akhirnya justru membuat masyarakat yang
dirugikan. Dengan demikian pola-pola relasi kekuasaan tersebut, baik itu yang
bersifat konfliktual maupun kompromi selalu berujung kepada kerugian yang
ditanggung oleh masyarakat. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa relasi
kekuasaan bupati dengan kepala desa sangat tidak mendukung terhadap perwujudan
kesejahteraan masyarakat pedesaan.

Implikasi Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini memberikan pengayaan dalam teori
pembentukan jaringan kekuasaan yang berdampak terhadap pola-pola relasi
kekuasan. Sementara dalam aspek praktisnya, penelitian ini memberikan sumbangan
pemikiran dalam format tata kelola desa dan daerah yang memberikan semaksimal
mungkin kesejahteraan bagi masyarakat pedesaan.

Implikasi Teoritis
Teoritisasi yang coba dibangun dalam penelitian ini adalah pengembangan
teori pertukaran yaitu dengan menghubungkan antara ketergantungan kekuasaan dan
proses pengimbangan kekuasaan yang dilakukan melalui pembentukan jaringan,
serta terbentuknya relasi kekuasaan sebagai hasil dari proses pengimbangan
kekuasaan tersebut. Rangkaian teoritisasi ini diilustrasikan dalam Gambar 8.1.
Pola relasi kekuasan konfliktual dan kompromis yang terbentuk antara bupati
dan kepala desa merupakan hasil dari proses pengimbangan kekuasaan yang
dilakukan oleh kepala desa. Pada mulanya potensi struktur bupati dalam struktur
pemerintahan membuatnya menjadi superordinat sehingga kepala desa memiliki
ketergantungan yang sangat tinggi.
150

Gambar 8.1 Hubungan Ketergantungan Kekuasaan dan Terbentuknya Pola Relasi


Kekuasaan

Dalam analisis Emerson, kekuasaan yang tidak seimbang menyebabkan


ketergantungan yang sangat tinggi dan ketidakseimbangan dalam hubungan. Ketika
derajat ketergantungan berlangsung sangat tinggi, maka pertukaran pun sangat tinggi
dengan pihak superordinat yang mendapatkan keuntungan terbesarnya. Oleh karena
posisi ketidakseimbangan tersebut, kepala desa melakukan upaya untuk menurunkan
derajat ketergantungannya.
Menurut Emerson terdapat beberapa cara untuk mengurangi
ketidakseimbangan yaitu dengan jalan: pertama, menurunkan nilai pertukaran bagi
aktor yang berkuasa (penarikan diri); kedua, meningkatkan nilai untuk aktor yang
lebih berkuasa (pemberian status); ketiga, menambahkan alternatif-alternatif yang
dapat dipakai oleh aktor yang kurang berkuasa (perluasan jaringan), atau
mengurangi alternatif yang dapat dipakai untuk aktor yang lebih berkuasa (melalui
pembentukan koalisi). Dalam penelitian ini, sebagian besar upaya ini dilakukan oleh
kepala desa untuk mengimbangi kekuasaan bupati adalah dengan cara membangun
jaringan kekuasaan terhadap struktur yang mampu menandingi kekuasaan bupati.
Sebagaimana kasus dalam pencalegan istri bupati yang diuraikan dalam bab
6, pertarungan kepala desa dengan bupati sebenarnya adalah pertarungan jaringan
kekuasaannya. Pada akhirnya kepala desa dan jaringan kekuasaan yang dibangunnya
mampu mengimbangi kekuasaan bupati. Relasi kekuasaan pun berubah, dari
ketergantungan menjadi semakin seimbang yang justru menyulut terjadinya konflik.
Terjadinya konflik ini karena seiring dengan seimbangnya kekuasaan kepala desa
terhadap bupati, seiring itu pula kepala desa berani untuk mengkritisi kebijakan-
kebijakan bupati yang tidak populis.
Selain menyulut konflik, pola relasi kekuasaan kompromi juga berlangsung
dimana kedua pihak mendapatkan keuntungan dari relasinya tersebut. Pola relasi
kompromi ini juga sebagai pengaruh dari relatif seimbangnya kekuasaan yang
dimiliki oleh bupati dan kepala desa.
Temuan teoritik menegaskan bahwa ketergantungan kekuasaan antara bupati
dengan kepala desa terjadi semata karena potensi struktur yang dimiliki oleh bupati.
Ketergantungan kekuasaan ini sebagaimana dijelaskan Emerson melalui perjalanan
waktu lambat laun akan semakin seimbang. Semakin seimbangnya kekuasaan kepala
desa dan bupati karena kemampuan kepala desa dalam mengurangi
ketergantungannya kepada bupati yang dalam penelitian ini ditentukan oleh
kemampuannya membangun jaringan kekuasaan. Berdasarkan temuan dalam pola
relasi kekuasaan bupati dengan kepala desa, dapat dijelaskan hubungan teori
ketergantungan kekuasaan Emerson dan pembentukan jaringan kekuasaan yang
berdampak kepada semakin seimbangnya kekuasaan bupati dan kepala desa.
151

Upaya-upaya pengembangan jaringan kekuasaan yang dilakukan oleh bupati


dan kepala desa berdasarkan kepada ilustrasi teoritik di atas hanya berdampak
kepada penguatan posisi tawar kepala desa saja dan juga elit-elit lainnya. Hal ini
menjadikan jaringan kekuasaan yang terbentuk hanya memberikan keuntungan bagi
para elit tersebut termasuk bupati dan relatif mengabaikan unsur masyarakat dalam
level akar rumput. Aspek kepentingan dalam ikatan jaringan menjadi pemicu
terabaikannya kepentingan masyarakat. Kondisi inilah yang berkontribusi terhadap
terabaikannya masyarakat pedesaan yang membuatnya tetap dalam jebakan
kemiskinan. Dengan demikian jaringan kekuasaan hanya memberikan manfaat
pembentukan kekuasaan bagi para elit saja, tidak berdampak kepada kepada
kesejahteraan masyarakat secara luas.

Implikasi Kebijakan
Meskipun pola-pola relasi kekuasaan yang terbentuk antara bupati dengan
kepala desa di Kabupaten Pandeglang ini tidak berdampak terhadap terancamnya
tatanan sosial masyarakat pedesaan, namun dampaknya terhadap ketidaksejahteraan
merupakan hal krusial yang harus segera diperbaiki sehingga relasi yang ada
memberikan kontribusi positif. Dalam kaitannya dengan tata kelola pemerintahan
daerah dan desa, pola relasi yang terjadi antara bupati dan kepala desa baik yang
bersifat konfliktual maupun kompromis membentuk kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Harmonisasi tata kelola pemerintahan
Ketidakharmonisan yang terjadi antara bupati dengan kepala desa terjadi karena
kurangnya komunikasi yang berlangsung diantara keduanya. Hal ini terjadi
karena masing-masing menilai kebenaran pendiriannya. Sementara itu tidak ada
lembaga pemerintahan yang berdiri secara independen mampu mendamaikan
ketidakharmonisan tersebut, karena pihak kecamatan pun dalam posisi ini tetap
dianggap bagian dari kepentingan bupati.
2. Konektivitas perencanaan pembangunan desa dan daerah
Musrenbangdes sebagai wadah formal dalam menampung aspirasi masyarakat
pedesaan sejatinya menjadi formula yang konkret bukan dilaksanakan untuk
memenuhi adminstrasi saja. Demikian pula musrenbangkab yang sejatinya
menjadi format akhir yang menampung agenda kepentingan desa.
3. Sensitivitas kepentingan masyarakat desa
Posisi tawar masyarakat pedesaan sangat lemah karena tidak terdapat sub sistem
politik yang bisa mengartikulasikan kepentingannya. Berbeda dengan format
sistem politik di tingkat pusat dimana sistem bikameral dalam kelembagaan
legislatif DPR RI memberikan kesempatan daerah mengaspirasikan
kepentingannya melalui DPD. Hal ini berbeda dengan format dalam
kelembagaan DPRD Kabupaten yang tidak mewakilkan kepentingan desa. Hal
ini menyebabkan posisi tawar desa dan juga masyarakat pedesaan menjadi
lemah. Oleh karenanya pembentukan jaringan kekuasaan sebagaimana diuraikan
dalam bab 6 tidak lebih sebagai upaya dan strategi kepala desa untuk
meningkatkan posisi tawarnya.
4. Peningkatan kapasitas sumber daya aparatur desa
Adanya proses penyusunan APBDes yang dilakukan oleh pihak kecamatan
terjadi karena ketidakmampuan teknis pihak kepala desa dan aparaturnya dalam
hal tersebut. Dengan demikian upaya-upaya peningkatan kapasitas sumber daya
aparatur desa perlu senantiasa ditingkatkan sehingga ketergantungan terhadap
152

sumber daya di tingkat kecamatan yang juga sebenarnya merupakan


ketergantungan terhadap bupati dapat dikurangi.
5. Pembenahan administrasi pemerintahan desa
Ketidaktepatan sasaran dalam proses pencairan dana bantuan pemerintah yang
memicu relasi konflik terjadi karena adanya data yang tidak diperbaharui secara
kontinyu. Leading sector fungsi pembaharuan data tersebut sebenarnya berada
pada kuasa desa dalam hal ini bagaimana administrasi kependudukan di tingkat
desa di-update secara reguler.
Berdasarkan poin-poin di atas, peneliti berasumsi bahwa tata kelola desa
hanya dapat dilaksanakan dengan baik jika dalam berrelasi kekuasaan terdapat suatu
kelembagaan formal yang menjadi mediator dalam relasi tersebut. Dalam hal ini
diperlukan kelembagaan yang berdiri secara independen menengahi konflik-konflik
yang terjadi antara bupati dan kepala desa. Selama ini berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tidak terdapat kelembagaan resmi tersebut yang
diberi amanat oleh negara untuk menjembatani permasalahan relasi kekuasaan
antara bupati dengan kepala desa.
Keterpinggiran desa secara kekuasaan menyebabkan kepentingannya sulit
teragregasikan. Oleh karenanya diperlukan suatu format sistem politik lokal yang
dapat menampung dan mengartikulasikan kepentingannya. Dalam hal ini peneliti
mengusulkan adanya semacam Dewan Perwakilan Desa sebagaimana format sistem
dua kamar yang dianut dalam kelembagaan legislatif nasional (DPD RI), sehingga
kepentingan desa memiliki saluran kekuasaannya.
Peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan desa perlu selalu diupayakan
secara berkelanjutan sehingga utamanya kepala desa memiliki kemampuan
komprehensif baik teknis maupun manajerial. Upaya-upaya konkret yang perlu
dilakukan adalah beberapa diantaranya dapat melalui proses diklat aparatur desa dan
pendampingan administrasi pemerintahan desa. Proses pendampingan dapat
melibatkan pihak pemerintah sendiri, perguruan tinggi, LSM maupun kelembagaan
non profit lainnya.
Sejalan dengan hal di atas, pembenahan administrasi merupakan upaya akhir
dalam menata kelola desa secara baik sehingga tidak hanya proses administrasi yang
dilaksanakan secara baik, tetapi juga pada akhirnya berkontribusi terhadap
pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
153

DAFTAR PUSTAKA

Abrori A. 2003 Peran Politik Jawara Banten dalam Proses Politik di Banten (Tesis).
Depok(ID): UI.
Akbar AAS. 2008. Konflik dan Kontestasi Aktor Intra Desa Buah Demokrasi Minus
Transformasi. Jurnal Swara Politika. Vol. 10 No. 3.
Alamsyah AR. 2009. Islam, Jawara & Demokrasi: Geliat Politik Banten Pasca-Orde
Baru. Jakarta(ID): Dian Rakyat.
Alfitri R. 2009. Demokrasi Indonesia: Mewujudkan Kesetaraan atau Melahirkan
Kesenjangan. Jurnal PPKn dan Hukum Vol. 4(1):1-12.
Alkhudri AT. 2013. Kepemimpinan Elit Lokal di Pedesaan pada Era Desentralisasi:
Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang (Tesis). Bogor(ID): IPB.
Andrain CF. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta(ID): Tiara
Wacana.
Antlov H. 2002. Negara dalam Desa: Patronase Kepemimpinan Lokal.
Yogyakarta(ID): Lappera Pustaka Utama.
Arisnaldi. 2012. Implementasi Demokrasi Lokal di Bayang-Bayang. Jurnal
Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Vol. 25 No. 2.
Aziz, YMA. 2002. Elite dan Masyarakat Sipil dalam Gerakan Sosial Pembentukan
Provinsi Banten. Jurnal Paradigma Polistaat. Vol. 4. No. 7.
Badan Pusat Statistik. 2014. Penghitungan dan Indikator Kemiskinan Makro 2014.
Jakarta(ID): BPS.
Bandiyah. 2010. Evolusi Jawara di Banten (Studi Evolusi dari Bandit Menjadi
Pejabat). Jurnal Interaktif Universitas Brawijaya. 1(2):111-171.
Bates TR. 1975. Gramsci and the Theory of Hegemony. Journal of the History of
Ideas. 36 (2): 351-366.
Beilharz P. 2002. Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis terhadap Para Filosof
Terkemuka. Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar.
Blau PM, Meyer MW. 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern. Jakarta(ID):
Prestasi Pustakaraya.
Bruinessen Mv. 1995. Shari`a Court, Tarekat and Pesantren: Religious Institutions
in the Sultanate of Banten. Archipel. (50): 165-200.
Budiardjo M. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka
Utama.
Bungin B (ed.). 2010. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta(ID): PT.
RajaGrafindo Persada.
Burke P. 2001. Sejarah dan Teori Sosial, alih bahasa Mestika Zed, Jakarta (ID):
Yayasan Obor Indonesia.
Cahyono H. Konflik Elit Politik di Pedesaan: Relasi Antara Badan Perwakilan dan
Pemerintah Desa. Jurnal Penelitian Politik. Vol. 1 No. 1.
Chilcote RH. 2004. Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma.
Jakarta(ID): RajaGrafindo Persada.
Coleman JS. 2009. (terjemahan Iman Muttaqien, dkk). Dasar-Dasar Teori Sosial:
Referensi Bagi Reformasi, Restorasi dan Revolusi. Bandung(ID): Penerbit
Nusa Media.
Dahl R.A. 2001. Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Secara Singkat.
Jakarta(ID): Yayasan Obor Indonesia.
Darban AA. 2004. Ulama Jawa dalam Perspektif Sejarah. Humaniora. 16(1):27-34.
154

Dharmawan AH. 2006. Pembaruan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan
Kemitraan. Bogor(ID): PSP3-LPPM IPB.
Denzin NK, Lincoln YS (ed.). 2009. (terjemahan Dariyatno, dkk.). Handbook of
Qualitative Research. Yogyakarta(ID): Pustaka Pelajar.
Dewi, KN. 2003. Peran Desa Adat dalam Otonomi Desa: Kasus di Desa Sesetan,
Bali. Jurnal Widyariset. Vol. 4.
Dewi, SF. 2006. Konflik dalam Pemerintahan Nagari: Penelitian di Nagari Padang
Sibusuk Kabupaten Sawahlunto Sijunjung Sumatera Barat. Jurnal
Demokrasi. Vol. 5 No. 1.
Dye T.R., Zeilgler H. 1996. The Irony of Democracy Uncommon Introduction to
American Politic. California(US). Wardsworth Publishing Company.
Emerson RM. 1962. Power-Dependence Relation. Jurnal American Sociological
Review. Vol. 27 No. 1.
Faulks K. 2010. (terjemahan Helmi Mahadi dan Shohifullah). Sosiologi Politik
Pengantar Kritis. Bandung (ID): Penerbit Nusa Media.
Geertz C. 1973. The Interpretation of Cultures: New York(US): Basic Books, Inc.
Publisher.
Hamid A. 2010. Memetakan Aktor Politik Lokal Banten Pasca Orde Baru: Studi
Kasus Kiai dan Jawara di Banten. Politika. 1(2):32-45.
_______. 2011. Pergeseran Peran Kyai alam Politik di Banten Era Orde Baru dan
Reformasi. Al Qalam. 28(2): 339-364.
Hanafi M.I. 2010. Hubungan Modal Sosial dengan Kemiskinan Masyarakat Nelayan
di Desa Panimbang Jaya Pandeglang. Bogor(ID): IPB.
Hartmann M. 2004. The Sociology of Elites. New York(US): Routledge.
Hicks AM, Janoski T , Schwartz MA. 2005. Introduction: Political Sociology in The
Millenium dalam Janoski T dkk (ed.). The Handbook of Political Sociology:
States, Civil Societies and Globalization. Cambridge(UK): Cambridge
University Press.
Hidayat S. 2007. Too Much Too Soon, Local State Elite’s Perspective on and The
Puzzle of Contemporary Indonesian Regional Autonomy Policy. Jakarta(ID):
PT Raja Grafindo Persada.
Hirawan Z. 2014. Efektivitas Musrenbang Dalam Penyusunan APBD Kabupaten
Subang. Jurnal Elektronik FISIP Untirta. 5(2):216-231.
Hudaeri M. 2002. Jawara di Banten: Peran, Kedudukan dan Jaringannya (Laporan
Penelitian). Serang(ID): STAIN SMHB.
Hudaya B. 2011. Glembuk Strategi Politik dalam Rekrutment Elit Penguasadi Desa
Pulungsari Yogyakarta. Jurnal Humaniora. Vol. 23 No. 1.
Ichwan MN. 2012.The Local Politics of Orthodoxy: The Majelis Ulama Indonesia in
the Post-New Order Banten. .Journal of Indonesian Islam. 6(1):166-194.
Jessop B. 2006. Developments in Marxist Theory dalam Nash K dan Scott A (ed.).
The Blackwell Companion to Political Sociology. Malden(US): Blackwell
Publishing.
Jones S. 2006. Antonio Gramsci. New York(US): Routledge.
Karomani. 2005. Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara
di Menes Banten Selatan. Jurnal Mediator. 6(2):228-235.
Kartodirdjo S. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta(ID): Pustaka Jaya.
Kausar, Zaman K. Analisis Hubungan Patron-Klien (Studi Kasus Hubungan Toke
dan Petani Sawit Pola Swadaya di Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten
Rokan Ulu. Jurnal Journal of Agricultural Economics (IJAE). Vol. 2 No. 2.
155

Lestari E.P. dan Arief R.S. 2014. Analisis Sebaran Kemiskinan di Kabupaten
Pandeglang. Jakarta(ID): UT.
Lubis NH. 2003. Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara.
Pustaka. Jakarta(ID): LP3ES.
Marbun B.N. 2005. Kamus Politik. Jakarta(ID): Pustaka Sinar Harapan.
Mann M. 1986. The Sources of Social Power (Volume I: A history of power from
the beginning to A.D. 1760). Cambridge(UK): Cambridge University Press.
Maschab M. 2013. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. Yogyakarta(ID): PAU
UGM.
Miles MB, Huberman AM. 1994. Qualitative Data Analysis: An Expanded
Sourcebook. California(USA): Sage Publications.
Muslim A. 2014. Migrasi dan Pertumbuhan Desa: Kasus di Desa Kubangkondang
dan Desa Sobang Kabupaten Pandeglang. Jurnal Goverma. 2(1):100-120.
Munir HD. 2004. Kebijakan dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta(ID):
Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia (YPAPI).
Nasution IP. 1994. Kedudukan dan Peranan Tokoh Agama dalam Birokrasi
Kerajaan Islam Banten Abad 16-18 (Laporan Penelitian). Jakarta(ID): UI.
Neher CD. 1994. Asian Style Democracy. Jurnal Asian Survey. 34 (11): 949-961.
Nordholt NS. 1987. Ojo Dumeh: Kepemimpinan Lokal dalam Pembangunan.
Jakarta(ID): Pustaka Sinar Harapan.
Nordholt NS et al. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta (ID): KITLV Jakarta-
Yayasan Obor Indonesia.
Nuraini S. 2010. Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa. Jurnal Kybernan.
Vol. 1 No. 1.
Nurdin BV. 2009. Antara Negara dan Nagari: Kontestasi Elit Lokal dalam
Rekonstruksi Nagari di Minangkabau pada Masa Otonomi Daerah. Jurnal
Administratio. Vol. 3 No. 7.
Nurman. 2002. Konflik Antar Lembaga di Pedesaan (Penelitian di Kanagarian
Pianggu, Sumatera Barat). Jurnal Demokrasi. Vol. 1 No. 1.
Peters, BG. 2007. Forms of Informal Governance: Searching for Efficiency and
Democracy dalam Christiansen T dan Larsson T. (ed.). The role of
Committees in the Policy-Process of the European Union. Cheltenham (UK):
Edward Elgar.
Poloma MM. 1990. Sosiologi Kontemporer. Jakarta(ID): PT. RajaGrafindo Persada.
Pribadi Y. 2011. Strongmen and Religious Leaders in Java: Their Dynamic
Relationship in Search of Power. Al-Jamiah. 49(1):159-190.
Rasyid R. 2000. Makna Pemerintahan. Jakarta(ID): PT. Yarsif Watampone.
Ricklefs M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta(ID): Serambi.
Ritzer G, Smart B (ed). 2011a. (terjemahan Iman Muttaqien, dkk). Handbook Teori
Sosial. Bandung(ID): Nusa Media.
Ritzer G, Goodman DJ. 2011b. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-
Marxian. Bantul(ID): Kreasi Wacana.
Rustinsyah. 2011. Hubungan Patron-Klien di Kalangan Petani Desa Kebonrejo.
Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Vol. 24 No. 2.
Saifuddin AF. 2011. Catatan Reflektif Antropologi Sosialbudaya. Jakarta(ID):
Institut Antropologi Indonesia.
Satria A. Menuju Desa 2030. Yogyakarta(ID): Pohon Cahaya.
Saxebol T. 2002. The Madurese Ulama as Patrons: A case study of power relation in
an Indonesian Community (Disertasi). Oslo (NOR): Universitas Oslo.
156

Scott JC. 1972a. Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia.
Jurnal The American Political Science Review Vol. 66 No. 1 pp. 91-113.
Scott JC. 1972b. The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural
Southeast Asia. Jurnal Journal of Asian Studies Vol. 32 No. 1 pg. 5.
_______. 1992. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta(ID): Yayasan Obor.
_______. 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Jakarta(ID): LP3ES.
Sholahudin D. 2000. Model Pengentasan Kemiskinan Bagi Pemuda Pedesaan
Melalui Sistem Orang tua Angkat (Studi Kasus Pemberdayaan ekonomi yang
diselenggarakan oleh Badan Pelaksana Dana Firdaus Mathla’ul Anwar di
Desa Sukajaya Kecamatan Cadasari Kabupaten Pandeglang) (Tesis).
Bandung(ID): UPI.
Sidel JT. 1989. Beyond Patron-Client Relations: Warlordism and Local Politics in
Philipines. Jurnal Kasarinlan Vol. 4 No. 3.
Soetrisno L. 1997. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogyakarta(ID):
Kanisius.
Suhaedi. 2003. Tasbih dan Golok: Studi tentang Kharisma Kyai dan Jawara di
Banten. Jurnal Istiqro. 2(1):57-87.
Suhaedi HS. 2006. Jawara Banten: Kajian Sosial-Historis tentang Mobilitas Sosial
Jawara (Tesis). Depok(ID): UI.
Suharto. 2001. Banten Masa Revolusi, 1945-1949: Proses Integrasi Dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Disertasi). Depok(ID): UI.
Suharto E. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung(ID):
Refika Aditama.
Sumaryo G. 2013. Efektivitas Pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan
(Tesis). Surakarta(ID): UNS.
Sunatra. 1997. Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam
Budaya Politik Lokal (Studi Kasus Kepemimpinan Informal Perdesaan di
Banten Selatan) (Disertasi). Bandung(ID): Unpad.
Surbakti R. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta(ID): PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Taufiqurokhman. 2015. Pandeglang dalam Implementasi Kebijakan Peningkatan
IPM: Sebuah Disertasi. Jakarta(ID): Universitas Moestopo Beragama.
Tihami MA. 1992. Kiyai dan Jawara di Banten: Studi tentang Agama, Magi dan
Kepemimpinan di Desa Pasanggrahan Serang (Tesis). Depok(ID): UI.
Triputro R.W. dan Supardal (ed.). 2005. Pembaharuan Otonomi Daerah. Yogyakarta
(ID): STPMD APMD Press.
Tono. 2009. Analisis Kemiskinan di Pedesaan dan Strategi Penanggulangannya:
Studi Kasus di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten (Tesis). Bogor(ID):
IPB.
Usman S. 2004. Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi. Yogyakarta(ID). Center
for Indonesian Research and Development [CIReD].
Varma S.P. 2010. Teori Politik Modern. Jakarta(ID): Raja Grafindo Persada.
Walker GQ. 1987. Initiative and Referendum: The People’s Law. Syndey(AU): The
Centre for Independent Studies.
Wignjosoebroto S. 2002. Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.
Jakarta(ID): Elsam-Huma.
Wiratmoko NT. (ed.). 2004. Yang Pusat dan Yang Lokal: Antara Dominasi,
Resistensi, dan Akomodasi Politik di Tingkat Lokal. Salatiga(ID): Percik.
157

Yin RK. 1996. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta(ID): Rajawali Press.
Yulizar K. 2014. Efektivitas Musrenbang Nagari pada Perencanaan Sektor
Pembangunan Daerah di Sektor Pertanian (Studi Kasus: Musrenbang Nagari
Kambang di Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir Selatan) (Tesis).
Padang(ID): Unand.
158

LAMPIRAN
159

Penelitian-Penelitian Terdahulu tentang Relasi Kekuasaan

Tema Konsep Yang


No. Penulis Tahun Judul Publikasi Teori Fakta-Fakta Temuan Novelty
Penelitian Digunakan
Peneltiian- 1. Emerson, 1962 Power- Jurnal Teori  Hubungan  Hubungan kekuasaan dapat terjadi antar  Hubungan sosial menghasilkan ikatan
penelitian Richard M. Dependence American Kekuasaan- Kekuasaan individu, kelompok dan individu dan atara ketergantungan mutualisme diantara
tentang relasi Relation Sociological Ketergantungan Ketergantungan kelompok. bagian-bagian yang berhubungan.
kekuasaan Review, Vol. 27 Emerson (power-  Bentuk resiprositas dalam hubungan kekuasaan-  Kekuasaan ada karena ketergantungan
masyarakat No. 1 dependence ketergantungan dapat berupa keseimbangan pihak lain.
pedesaan relation. (balance) atau ketidakseimbangan (imbalance).  Kekuasaan didefinisikan sebagai potensi
 Keseimbangan struktural dan perlawanan (resistensi).
dan
ketidakseimbang
an kekuasaan.
2. Scott, James 1972 The Erosion of Jurnal Journal Teori Patron-  Ikatan patron-  Karakteristik pertukaran dalam hubungan patron-  Hubungan patron-klien adalah hubungan
C. Patron-Client of Asian Klien Scott klien. klien menekankan pada basis ketidaksetaraan pertukaran vertikal.
Bonds and Studies, Vol.  Dependensi dan (basis in inequality) dan penyebarannya yang  Legitimasi patron tidak benar-benar
Social Change in 32 No. 1 legitimasi. fleksibel (diffuse flexibility. merupakan fungsi linear dari
Rural Southeast  Posisi tawar  Karakteristik masyarakat tradisional Asia keseimbangan pertukaran.
Asia relatif (relative Tenggara sangat memungkinkan berlangsungnya  Keseimbangan resiprositas sangat
bargaining hubungan patron-klien. Negara cenderung lemah bergantung pada posisi tawar relatif
position). melindungi warganya, pada kondisi ini kekuasaan (relative bargaining position) dari kedua
efektif cenderung berada pada kekuasaan lokal. bagian.
 Dasar ikatan patron-klien pada masyarakat Asia  Corak struktur masyarakat Asia
Tenggara sangat berragam dari satu periode ke Tenggara pra kolonialisme cenderung
periode berikutnnya. membatasi perluasan ketergantungan
personal dan menjaga keseimbangan
pertukaran dari pergerakan radikal
terhadap kebaikan patron.
 Perubahan ekonomi politik di bawah
aturan kolonial secara sistematis
menjaga komprehensivitas pertukaran
dan posisi tawar relatif klien.
 Stratifikasi di pedesaan meningkat
dengan terpolarisasi antara produsen
bebas dan terikat sebagai keseimbangan
pertukaran yang bergerak lebih lanjut ke
arah kaum tani.
3. Sidel, John 1989 Beyond Patron- Jurnal Teori Patron-  Local politic Terdapat dua model yang muncul untuk Terbentuknya petty sultanistic yang sangat
Thayer Client Relations: Kasarinlan 1st Client Scott  Patron-client menggambarkan pengaruh penekan eksternal berbeda dengan karakteristik ikatan
160
Warlordism and Quarter relation ekonomi dan politik pada relasi patron-klien di clientelistic di tataran politik lokal
Local Politics in  Pyramid of pedesaan Philipina yaitu: pertama adanya Philipina.
Philipines patron-client tie pertumbuhan ekonomi dan penetrasi kelembagaan Politik lokal Philipina mengarah kepada
 Patron-client birokrasi yang menekan hubungan patron-klien dan kecenderungan autokratik dan koersif
democracy modernisasi politik pedesaan Philipina dan kedua dibandingkan ke arah demokratik, dengan
penetrasi kapitalisme di pedalaman Philipina dan ikatan patron-klien antara local strongmen
komersialisasi agrikultur yang mengganggu relasi dan kelembagaan polik level nasional serta
patron-klien tradisional dan yang mengacam aktor-aktor pro status quo.
struktur pemerintahan.
4. Saxebol, 2002 The Madurese Disertasi Ilmu Teori Patron-  Patronage Pada masa sebelum jatuhnya orde baru, ulama akan Ulama Madura sebagai patron ditelusuri
Torkil Ulama as Politik Institut Client Scott  Patron-client kehilangan dukungan jika terjun ke dunia politik, melalui tiga aspek yaitu pertama, melalui
Patrons: A case Ilmu Politik relation namun pasca jatuhnya Suharto kecenderungannya jalinan hubungan sosial informal; kedua,
study o power Universitas adalah adanya kombinasi antara kepemimpinan melalui dan keorganisasian dan ketiga,
relation in an Oslo agama dan politik. melalui keterlibatan dalam bidang
Indonesian ekonomi.
Community
5. Rustinsyah 2011 Hubungan Jurnal Teori Patron-klien Dalam rangka menjaga kelanggengan hubungan, Hubungan patron-klien dapat dimaknai
Patron-Klien di Masyarakat rasionalitas maka patron berupaya dengan pertama: sebagai hubungan pertukaran dimana
Kalangan Petani Kebudayaan moral Scott dan menunjukkan kederwanan terhadap kliennya patron memperoleh keuntungan pasokan
Desa Kebonrejo dan Politik, rasional Popkin semisal dengan memberikan hadiah lebaran. Dan ekonomi (sumber daya maupun hasilnya),
Vol. 24, No. 2 kedua: patron memberikan jaminan hidup keluarga sementara klien memperoleh jaminan
klien sepanjang tahun dengan mempekerjakan klien subsisten. Ini mengikuti pemikirannya
pada usaha ekonomi di luar pertanian seperti usaha Scott. Sementara Popkin menilai bahwa
penggergajian kayu. hubungan patron-klien sebagai hubungan
Putusnya hubungan patron-klien sebagian besar eksploitasi karena patron menarik komisi
terjadi karena pengingkaran yaitu semisal dengan yang cukup besar dan seakan-akan
klien beralih kepada patron baru dari kerabatnya menghalangi kebebasan klien menjual hasil
sendiri. panen ke alternatif pasar lainnya.
Berdasarkan kedua cara pandang tersebut,
maka hubungan patron klien di kalangan
petani dapat dipandang sebagai eksploitasi
dan penggerakan kegiatan ekonomi
pedesaan. Kewajiban klien memberi komisi
hasil penjualan yang ditetapkan patron
merupakan satu bentuk eksploitasi. Namun
hubungan patron-klien dapat
menggerakkan kegiatan ekonomi petani
pedesaan karena memberikan perlindungan
subsistensi kepada petani miskin,
menyediakan modal, menciptakan lapangan
pekerjaan, mengakses pasar, dan mediator
dalam mendistribusikan hasil panen ke luar
desa.
161
6. Kausar dan 2011 Analisis Jurnal Journal Teori Patron-  Relasi patron-  Hubungan patron-klien menjadikan petani Dari aspek sosial hubungan patron-klien
Komar Zaman Hubungan of Agricultural Client klien banyak mengalami kerugian misalnya dalam antara pedagang dengan petani bersifat
Patron-Klien Economics  Saluran penentuan harga yang tidak melalui negosiasi saling menguntungkan. Namun dari aspek
(Studi Kasus (IJAE) Vol. 2 pemasaran sebelumnya. ekonomi hubungan ini cenderung
Hubungan Toke No. 2  Faktor-faktor penyebab terjadinya relasi patron menguntungkan pedagang dimana
dan Petani Sawit klien diantaranya (1) pemasaran yang tidak penentuan harga secara sepihak dilakukan
Pola Swadaya di memungkinkan petani menjual langsung ke oleh toke.
Kecamatan pabrik karena keterbatasan kuantitas panenan,
Tambusai Utara (2) biaya usaha tani, (3) kebutuhan konsumsi, (4)
Kabupaten biaya kesehatan dan (5) biaya pendidikan anak.
Rokan Ulu)
Penelitian- 1. Nordholt, 1987 Ojo Buku Pustaka Teori Kultur  Prilaku ewuh-  Prilaku ewuh pekewuh dalam kultur Jawa Berdasarkan titik tekan pada hubungan
penelitian Nico Schulte Dumeh:Kepemi Sinar Harapan, Birokrasi pekewuh. membuat birokrasi mampu mengendalikan camat dan kepala desa, Nordholt
penatakelola mpinan Lokal Jakarta  Nilai ojo dumeh. bentuk-bentuk bantahan dari bawahan termasuk menemukan bahwa sikap ojo dumeh
an desa dalam aspek kontrol pemerintahan lainnya. menjadi pegangan hubungan antara camat
dalam Pembangunan  Orang Jawa memegang etika dalam bertindak, dan kepala desa yang terlibat langsung
kaitannya yakni sikap atau perilaku yang tepat dalam dalam pembangunan di tiga desa penelitian.
dengan relasi berkehidupan. Dengan demikian masyarakat Hubungan yang baik antara camat dan
kekuasaan Jawa memiliki peraturan hidup yang diterima kepala desa berlangsung karena dijaga
desa dengan secara umum di antara berbagai lapisan sosial, kualitas hubungannya melalui nilai ojo
supra desa yang masing-masing pihak mempunyai hak dan dumeh.
kewajiban satu sama lain termasuk terhadap
lingkungannya.
2. Nurman 2002 Konflik Antar Jurnal Teori Konflik  Konflik Konflik penguasaan pasar nagari antara Rekonsiliasi konflik dilakukan dengan
Lembaga di Demokrasi Weberian  Pemerintahan pemerintahan desa dengan KAN (Kerapatan Adat pembenahan kembali secara menyeluruh
Pedesaan Vol. 1 No. 1 desa Nagari) bersumber kepada: pertama, konflik keadaan pemerintahan desa di Sumatera
(Penelitian di penguasaan pasar nagari muncul dari sumber Barat dengan menjadikan luas wilayah
Kenagarian adanya perbedaan nilai-nilai yang mendasari dan pemerintahan desa sesuai dengan luas
Pianggu, dianut pemerintahan desa dengan nilai-nilai yang wilayah nagari serta dengan memakai nilai-
Sumatera Barat) mendasari dan dianut oleh KAN. Kedua, kekuasaan nilai ber-nagari dalam tata kelola
dan wewenang yang tumpang tindih antara pemerintahan desa.
pemerintah desa dengan KAN. Ketiga, adanya
pertentangan kepentingan ekonomi antara
pemerintah desa dengan KAN. Dan keempat,
konflik bersumber dari kebijakan pemerintahan
yang lebih tinggi.
3. Dewi, 2003 Peran Desa Adat Jurnal Teori  Desa adat  Desa adat di Bali mempunyai peran dan posisi Relasi yang berkembang dalam otonomi
Kurniawati dalam Otonomi Widyariset Vol. Hegemoni  Otonomi desa strategis bersama dengan desa dinas desa di Bali tidak sepenuhnya tunggal. Hal
Hastuti Desa: Kasus di 4 Gramsci mewujudkan prakondisi yang memadai bagi ini sangat tergantung beberapa hal:
Desa Sesetan, perwujudan good governance melalui sangkepan pertama, penafsiran masyarakat terhadap
Bali desa. makna otonomi desa. Kedua, bagaimana
 Kendala datang dari pengangkatan bendesa adat krama desa memanfaatkan momentum ini.
yang sangat memegang teguh ketokohan, Ketiga, kesiapan komunitas desa (krama
162
sehingga memperbesar peluang melanggengkan desa dan elitnya) untuk beradaptasi dengan
kekuasaan pada beberapa orang saja. Selain itu sistem pemerintahan yang baik,
terdapat kecenderungan partisipasi ‘semu’ krama keterbukaan, partisipasi dan transparansi.
desa dalam forum-forum sangkepan desa. Dan keempat, kecerdasan dan keberanian
politik the rulling class di desa untuk
melibatkan partisipasi rakyat dalam tarap
optimal melalui sangkepan desa dan juga
BPD.
4. Cahyono, 2005 Konflik Elit Jurnal Teori konflik  Relasi kekuasaan  Relasi kekuasaan yang terbentuk antara kepala BPD dalam perkembangannya relatif
Heru Politik di Penelitian  Konflik elit desa dan BPD adalah: menjadi oligarkhi baru di desa, selain
Pedesaan: Relasi Politik, Vol. 2, 1. kolusi atau kolaborasi; pemerintah desa. BPD cenderung mewakili
Antara Badan No. 1 2. posisi antagonis; kepentingannya sendiri dengan
Perwakilan Desa 3. kompromi dan perdamaian. mengatasnamakan kepentingan rakyat.
dan Pemerintah  Selain terbentuknya tiga pola relasi tersebut,
Desa temuan lainnya adalah telah berfungsinya BPD
sebagai sebuah institusi yang sangat instrumental,
yakni sebagai alat dari pertarungan politik antar-
elit dengan menggunakan arena institusi BPD.
Sehingga kehadirannya menyulut konflik elit.
 Temuan lain adalah adanya kecenderungan untuk
menggunakan cara-cara kekerasan dalam
keberlangsungan konflik tersebut.
5. Dewi, Susi 2006 Konflik dalam Jurnal Teori Konflik  Konflik politik Dalam proses kembali ke pemerintahan nagari, Resistansi pada nagari terjadi ketika
Fitria Pemerintahan Demokrasi  Resistensi menemui berbagai konflik yang berkaitan dengan munculnya pengaruh feodalisme dan
Nagari: Vol. 5 No. 1 kekuasaan, budaya dan kepemilikan tanah ulayat. kemapanan ekonomi.
Penelitian di Konflik-konflik tersebut dalam kasus Padang
Nagari Padang Sibusuk menyangkut:
Sibusuk  Pemahaman yang berbeda antara para Ninik
Kabupaten Mamak dengan aparatur Nagari mengenai
Sawahlunto makna dan hakikat kembali ke Nagari.
Sijunjung  Konflik internal wali Nagari dengan anggota
Sumatera Barat lembaga BPAN.
 Konflik eksternal yang terjadi antara aparatur
pemerintahan Nagari Padang Sibusuk dengan
pemerintah kabupaten.
 Konflik politik terberat yang dihadapi
masyarakat dan aparatur Nagari padang Sibusuk
adalah konflik dengan elit desa Kampung Baru.
6. Akbar, A. Ali 2008 Konflik dan Jurnal Swara Teori Konflik  Aktor politik Demokratisasi desa tidak sepenuhnya menampilkan Konflik desa dilatarbelakangi oleh tiga
Said Kontestasi Aktor Politika Vol. 10  Konflik wajah politik yang efektif dan beradab tetapi jebakan dalam proses demokrasi desa yaitu:
Intra Desa: Buah No. 3  Kontestasi kadangkala penuh dengan nuansa konflik dan  Jebakan formalisme dimana elit lokal
Demokrasi kekerasan. dan desa lebih fokus pada administrasi
Minus modern yang mengatur hubungan antar
163
Transformasi aparatur desa dan hubungan dengan
supra desa.
 Jebakan romantisme yaitu menguatnya
posisi aristokrat dan elit lokal pada
masa orde baru yang mendorong
motivasi romantisme baru atas sistem
dan proses politik yang telah bergeser di
era reformasi.
 Jebakan konservatisme dimana
pemerintahan desa hanya mengatur sisi
domestik dan konvensional desa seperti
ketertiban, retribusi, adat dan penyakit
masyarakat, tetapi tidak terampil
mengatur kelembagaan, pembangunan
dan ekonomi desa.
7. Nurdin, 2009 Antara Negara Jurnal Teori  Kontestasi Masyarakat Minangkabau secara umum memiliki Nagari adalah imajinasi.
Bartoven dan Nagari: Administratio Resistensi Scott  Elit lokal keyakinan bahwa kembali ke nagari adalah kembali Nagari pada masa otonomi daerah adalah
Vivit Kontestasi Elit Vol. 3 No. 7  Otonomi Daerah ke adat dan agama sebagai identitas dan jati diri. “new nagari”
Lokal dalam Namun kepentingan politik ikut mewarnai yang yang mirip tapi tidak sama dengan nagari-
Rekonstruksi menimbulkan adanya kontestasi di antara elit lokal nagari sebelumnya. Jadi kembali ke
Nagari di yang berbentuk resistensi, akomodasi, friksi, identitas adalah rekonstruksi identitas baru
Minangkabau negosiasi dan kompromi. pula. Sebagian elit lokal terbuai ada
pada Masa imajinasi masa lampau tentang jati diri dan
Otonomi Daerah identitas tapi perubahan
sosial budaya yang besar alam
masyarakat Minangkabau tidak bisa
dihindarkan.
8. Nuraini, Siti 2010 Hubungan Jurnal Teori  Relasi Kekuasaan Hubungan antar elit dalam pemerintahan desa Hubungan kekuasaan elit pemerintahan
Kekuasaan Elit Kybernan, Vol. kekuasaan  Konflik Elit mengikuti peraturan perundang-undangan yang desa dalam upaya demokratisasi desa dapat
Pemerintahan 1, No. 1 Robert Dahl mengaturnya. Pada masa UU No. 5/1974 dan UU dikatakan belum terwujud. Hal ini karena
Desa No. 5/1979 tidak terjadi demokratisasi desa terlalu dominannya kewenangan kepala
sehubungan dengan kuatnya dominasi kepala desa desa yang seharusnya penyelenggaraan
sehingga kelembagaan elit (LMD/LKMD) yang pemerintahan desa tersebut dilakukan
sejatinya menjadi lembaga legislasi desa menjadi bersama-sama unsur elit desa lainnya.
tidak bermakna. Pada era reformasi, dengan
diberlakukannya UU No. 22/1999 terjadi konflik
antara kelembagaan BPD (Badan Perwakilan Desa)
dengan kepala desa sehubungan dengan fungsi
pengawasan yang dimiliki BPD. Kondisi ini direvisi
dengan UU No. 32/2004 yang menyempitkan fungsi
BPD tidak lagi memiliki kewenangan pengawasan
dan budgeting.
9. Hudayana, 2011 Glembuk, Jurnal Teori Elit  Glembuk Isu kredibilitas menjadi penting karena hubungan Strategi politik glembuk yaitu strategi
164
Bambang Strategi Politik Humaniora,  Kredibilitas patronase sudah tidak kental lagi akibat mata politik dengan membujuk warga, sehingga
dalam Vol. 23, No. 1  Elit desa pencaharian hidup yang nonfarm, sehingga relasi wargapun menjadi terpikat. Dalam makna
Rektrutment kuasa yang terjadi antara elit dan warga adalah elityang lebih luas, glembuk dimaknai sebagai
Elite Penguasa di berusaha menjinakkan warga, sementara warga strategi politik yang “halus”. Glembuk
Desa Pulungsari berusaha keluar dari hegemoni dan mendorong bermuara terciptanya kredibilitas,
Yogyakarta munculnya elit yang populis. perpaduan glembuk dan kredibilitas ini
menjadi basis kekuasaan di Desa
Pulungsari Yogyakarta.
10. Arisnaldi 2012 Implementasi Jurnal Hegemoni  Demokrasi Lokal Dalam melaksanakan otonomi negara, pemerintah Demokrasi lokal
Demokrasi Masyarakat  Otonomi telah yang dilaksanakan di nagari dengan latar
Lokal di Balik Kebudayaan melakukan beberapa strategi penting diantaranya: belakang tiga bentuk kelarasan yang syarat
Bayang-bayang dan Politik Vol. Pertama, mengendalikan praktik demokrasi di dengan nilai
Otonomi Negara 25 No. 2 tingkat lokal dengan menguatkan peran institusinya adat dan tradisi mulai bergeser karena
di pengaruh sistem pemerintahan modern
daerah. Peran institusi ini dapat dilihat dari upaya yang dilaksanakan.
pemerintah meningkatkan kinerja birokrasi Nilai adat dan tradisi nagari cenderung
pemerintah dalam melaksanakan fungsi negara. “dipaksa” menerima praktik pemerintahan
Untuk urusan ini, pemerintah menerapkan modern di
kebijakan reformasi birokrasi guna menghasilkan tingkat terendah. Kuatnya intervensi negara
insititusi birokrasi yang solid, efektif dan efisien. ke dalam praktik pemerintahan terendah ini
Kedua, melakukan penguatan perannya melalui membawa
konkretisasi otonomi dampak kepada perkembangan demokrasi
negara ini dengan mempertegas prosedur dan lokal tersebut. Demokrasi yang
kaedah pemerintah pusat dengan intervensi dilaksanakan sifatnya
langsung kepada daerah. Dan ketiga, menguatkan menjadi prosedural dan berorientasi pada
perannya di daerah, namun tidak membatasi praktik suara terbanyak dan bukannya substansi
demokrasi yang dilaksanakan oleh masyarakat. yang
mementingkan permufakatan—ciri
demokrasi etnik Minangkabau.
Penelitian- 1. Sholahudin, 2000 Model Tesis Teori-Teori  Kemiskinan Pelatihan yang dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Pengentasan kemiskinan pedesaan melalui
penelitian Doddy Pengentasan Universitas Pemberdayaan  Pengentasan Dana Firdaus Mathla’ul Anwar di Desa Sukajaya Sistem Orang Tua Angkat
tentang Kemiskinan Pendidikan Masyarakat Kemiskinan memberikan dampak positif bagi kelompok pemuda
kemiskinan Bagi Pemuda Indonesia peserta pelatihan dengan lahirnya pengetahuan
di Kabupaten Pedesaan tentang modal usaha tani, pemupukan, manajemen
Pandeglang Melalui Sestem usaha di bidang agribisnis dan juga keterampilan
Orang Tua dalam mempergunakan peralatan pertanian modern.
Angkat (Studi Selain itu terjadi perubahan sikap positif dengan
Kasus tumbuhnya self respect dan percaya pada
Pemberdayaan kemampuan sendiri.
Ekonomi yang
diselenggarakan
oleh Badan
Pelaksana Dana
165
Firdaus
Mathla’ul Anwar
di Desa Sukajaya
Kecamatan
Cadasari
Kabuppaten
Pandeglang)
2. Tono 2009 Analisis Tesis Institut Teori-teori  Kemiskinan Persentase desa miskin lebih tinggi pada daerah non Upaya penanggulangan kemiskinan harus
Kemiskinan di Pertanian tentang Strategi  Strategi pertanian, daerah pesisir dan daerah berpenduduk dilakukan secara terpadu antara makro dan
Pedesaan dan Bogor Kemiskinan Penanggulangan padat. Persentase rumah tangga miskin hasil mikro. Upaya penanggulangan kemiskinan
Strategi Kemiskinan penelitian menunjukkan angka yang lebih tinggi secara makro dilakukan melalui
Penanggulangan jika dibandingkan persentase rumah tangga miskin optimalisasi pemanfaatan SDA,
nya: Studi Kasus Badan Pusat Statistik. pembangunan dan perbaikan fasilitas,
di Kabupaten meningkatkan kualitas SDM dan partisipasi
Pandeglang masyarakat, meningkatkan akses
Provinsi Banten permodalan dan menciptakan lapangan
kerja. Secara mikro di tingkat rumah tangga
dilakukan melalui pemanfaatan tenaga
kerja rumah tangga untuk kegiatan usaha
produktif, pemanfaatan modal sosial,
pengembangan kapasitas dan keterampilan
rumah tangga miskin serta pembangunan
sara air bersih dan jaringan listrik bagi
rumah tangga miskin.
3. Hanafi, M. 2010 Hubungan Tesis Institut Modal Sosial  Kemiskinan Masyarakat nelayan di Desa Panimbang Jaya Adanya peningkatan partisipasi nelayan
Iqbal Modal Sosial Pertanian  Modal Sosial memiliki karakteristik modal sosial yang cukup baik terhadap keikutsertaan dalam partisipasi
dengan Bogor  Masyararakat (termasuk kategori tinggi), kecuali variabel organisasi bagi peningkatan
Kemiskinan Nelayan partisipasi sosial masyarakat dalam komunitas dan kesejahteraannya.
Masyarakat vairael partisipasi di luar kelompok yang berada
Nelayan di Desa pada posisi rendah dan sedang. Sementara variabel
Panimbang Jaya kemiskinan menunjukkan pada taraf kategori
Pandeglang sedang. Hasil penelitian menjelaskan bahwa
terdapat korelasi yang signifikan dari sekian
variabel modal sosial terhadap kemiskinan.
4. Lestari, Etty 2014 Analisis Sebaran Laporan Teori  Kemiskinan Berdasarkan hasil pemetaan analisis spasial pada Program pengentasan kemiskinan yang
Puji dan Arief Kemiskinan di Penelitian Kebijakan  Persebaran tahun 2000, 2003 dan 2006 sebaran penduduk diambil oleh pemerintah belum
Rahman Kabupaten Universitas Kemiskinan miskin dan kepadatan penduduk di Kabupaten menekankan pada strategi penanganan
Susila Pandeglang Terbuka  Kebijakan Pandeglang cenderung bersifat mengelompok yang bersifat kewilayahan. Dengan
(disampaikan Pengentasan (cluster). Berdasarkan analisis dampak manfaat demikian pemerintah harus lebih
pada seminar Kemiskinan berlakunya otonomi daerah untuk pengentasan memprioritaskan program penanggulangan
nasional UII kemiskinan diperoleh bahwa faktor ekonomi adalah kemiskinan yang didasarkan atas
2014) faktor yang paling dominan diikuti oleh faktor karakteristik masing-masing wilayah.
sosial dan lingkungan.
166
5. Taufiqurokhm 2015 Pandeglang Buku hasil Teori  Impelentasi Implementasi kebijakan peningkatan IPM di Terdapat tiga tahapan aktivitas yang
an dalam penelitian Kebijakan Kebijakan Kabupaten Pandeglang merupakan sebuah proses mempengaruhi belum optimalnya
Implementasi disertasi  Indeks implementasi kebijakan yang dipengaruhi oleh isi peningkatan IPM di Kabupaten Pandeglang
Kebijakan Universitas Pembangunan kebijakan dan konteks implementasi. yaitu pengorganisasian, penafsiran dan
Peningkatan Padjajaran Manusia adanya penerapan pelaksanaan program
IPM: Sebuah Jamsosratu.
Disertasi
167

RIWAYAT HIDUP

Peneliti dilahirkan di kota Multatuli tepatnya di Rangkasbitung-Banten


tanggal 4 April 1976 sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara dari ayah almarhum
H. Hasip Syaeful dan ibu Hj. Siti Upen Supenti. Pendidikan S1 diselesaikan pada
tahun 1998 di Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Undip Semarang dan S2
tahun 2005 di Program Studi Administrasi Publik FIA Unkris Jakarta. Pada tahun
2011 peneliti melanjutkan studi pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Institut
Pertanian Bogor.
Saat ini peneliti bekerja sebagai aparatur pemerintahan di lingkungan
Pemerintah Kabupaten Pandeglang selain aktif pada beberapa lembaga pendidikan
dan kemasyarakatan seperti di LSM Lakkpi, PSPP (Pusat Studi Politik dan
Pemerintahan) dan Perguruan Besar MA Banten.
Berkaitan dengan penyelesaian tema penelitian dalam disertasi ini, penulis
telah menghasilkan tulisan yang berjudul “Dinamika Peran Sosial Politik Ulama
dan Jawara di Pandeglang Banten sebagaimana dimuat dalam Jurnal Mimbar Vol.
31 No. 2 Desember 2015 dan artikel berjudul “The Shift of Power Structure in Rural
Banten: A Case of Local Leadership Typology of Ulama and Jawara in Pandeglang”
yang diterbitkan dalam International Journal of Humanities and Social Science Vol.
6 No. 6 Juli 2016.

Anda mungkin juga menyukai